Anda di halaman 1dari 17

MODUL 3

TRAUMA SISTEM UROGENITAL

Lebam di pinggang

Marni, 21 tahun, dibawa ke IGD RS setelah ditabrak oleh sepeda motor dan terkena stang sepeda
motor di bagian pinggang ketika sedang berlari pagi, kemudian ia jatuh dan kesakitan. Pemeriksaan
fisik menunjukkan adanya lebam di bagian pinggang kanan, nyeri pinggang perut kanan bawah, serta
adanya darah di urine. Pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan adanya trauma pada kandung kemih
dan urethra.Marnii dirawat kemudian diobservasi dengan terlebih dahulu dipasang indwelling
cathether melalui urethtranya.

Di ruang yang sama ada laki-laki muda datang tidak sadarkan diri dengan syok hipovolemic TD 80/60,
HR 120x/i (normal), dengan lebam dan bengkak di pinggang kanan. Dokter kemudian memutuskan
untuk melakukan explorasi laparatomy oleh karenan curiga ada perdarahan yang berasal dari ginjal.

Di ruang obstetri ada seorang dokter yang sedang menangani pasien kasus pemerkosaan.

Bagaimana anda menjelaskan apa yang terjadi pada kasus-kasus diatas?

Terminologi

1. indwelling catether adalah selang yang dimasukan ke salran kemih

2. Kandung kemih : organ yang berfungsi menyimpan urin dari ginjal hingga siap dikeluarian

3. explorasi lapartomy : operasi yang dilakukan untuk kebutuhan diagnostik

4. syok hipovolemik keadaan darrat seperti kehilangan darah yang membuat jantung susah
memompa

5. pemerkosaan :

Rm

1. Apakah ada hubungan antara usia dan jenis kelamin dgn kasus marni?
2. Apa saja kemungkinan dampak KLL trauma di bag pinggang?
3. Bagaimana interpertasi pem fisik pada marni?
4. Apa pem lanjutan yang dilakukan untuk marni?
5. Kenapa ada darah di urin marni?
6. Kenapa ada trauma pada kandung kemih dan urethra Marni?
7. Kenapa marni dipasangkan indewelling kateter?
8. Apa diagnosis kasus marni?
9. Bagaimana tatalaksana dan prognosis kasus marni?
10. Bagaimana interpretasi paisen kedua?
11. Kenapa pasie kedua menglami syok hipovolemik?
12. Kenapa dr melakukan explorasy laparotomy karna curiga perdarahan dari ginjal
13. Apa saja proses pemeriksaan korban pemerkosaan dan kemungkinann trauma yang dialami
korban?
Hipotesa

1. marni mengalami trauma kandug kemih dan urethra, didapatkan dari trauma urogenital dan dari
cidera kandung kemih, trauma urethra banyak dijumpai pada laki laki. Bisa jadi trauma ginjal
biasanya terjadi di usia rata rata 13,5 thn sampai 17 thn.

2. jika trauma di pinggang dan daerah abdomen maka bisa terkena di tulang belakang juga. Kondisi
membuat otot melemah dan tidak stabil menyebabkan fraktur pelvic

3. darah di urin terjdi karena cidera pada kandung kemih, nyeri di abdomen bisa terjadi karena
trauma abdomen dan trauma saluran kemih.

4. pem lanjutan marni piv, urethrography,multiple ctsan, emergency laparotomy.

5. ada darah di urin marni karena trauma pada ginjal, yang menyebabkan robekan sehingga keluar
darah dari ginjal yang menyebabkan urin marni keluar darah. Yang dapat menyebabkan urin ada
darahnya ISK, trauma, glomerulonefritis.

6. cidera panggul menyebabkan trauma kandug kemih disebabkan oleh distorsi sendi panggul,
trauma urethra sangat jarang terjadi pada wanita. Disebabkan karena anatomi organ dekat dengan
pinggul atau pinggang.

7. dipasang indewelling kateter karena inkontinensia urin, retensi urin, adanya batu ginjal,
pembengkakan prostat, cedera tulang belakang dan dapat dipasang sebelum pasien operasi, dan
fungsinya untuk mengatur pembuangan urin.

8. diagnosa marni adanya trauma pelvic dan vesica urinaria dan urethra karena ia mengalami
kecelakaan.

9. tatalaksana pemasangan kateter dan operasi laparotomy

Skema
Learning Objective

1.trauma urinarius

A.ginjal

Ruptur ginjal adalah diskontinuitas jaringan ginjal yang biasanya disebabkan oleh trauma. Ginjal
merupakan organ saluran kemih yang paling rentan cedera, dengan atau tanpa diikuti cedera organ
intraabdomen lainnya. Ruptur ginjal dapat terjadi tanpa diikuti cedera organ intraabdomen di
sekitarnya (isolated renal trauma), namun 80–95% kasus ruptur ginjal diikuti dengan cedera organ
intraabdomen lain. Ruptur ginjal terjadi pada sekitar 1-5% seluruh kejadian trauma dan pada sekitar
10% pasien trauma abdomen.

Penyebab ruptur ginjal yang utama adalah trauma, baik trauma tumpul (blunt trauma) maupun
trauma tembus (penetrating trauma).  Di Amerika Serikat, >80% ruptur ginjal disebabkan oleh
trauma tumpul. Trauma tembus pada ginjal merupakan kasus yang jarang,, namun dapat
menyebabkan kerusakan yang lebih parah. Selain trauma, ruptur ginjal dapat terjadi secara spontan
(nontraumatic  atau spontaneous renal rupture) pada kasus yang jarang terjadi,
seperti angiomyolipoma.

Indonesia

Belum ada studi khusus secara nasional mengenai angka kejadian ruptur ginjal di Indonesia. Sebuah
studi yang dilakukan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru terhadap pasien trauma saluran kemih
menunjukkan bahwa trauma saluran kemih terjadi pada 0,4% pasien trauma. Ginjal merupakan
organ saluran kemih yang paling sering terkena trauma (32%). 69,5% kasus trauma pada ginjal
disebabkan oleh mekanisme trauma tumpul.

Patofisiologi ruptur ginjal berbeda sesuai dengan jenis trauma yang menyebabkan. Perbedaan
patofisiologi dapat disebabkan oleh perbedaan energi yang mengenai jaringan ginjal.

Trauma Tumpul, Patofisiologi trauma ginjal tumpul tidak sepenuhnya dipahami, tetapi unsur utama
yang mungkin menyebabkan trauma adalah kekuatan perlambatan dan percepatan (deceleration
and acceleration). Ginjal ditutupi oleh lemak dan fascia Gerota di retroperitoneum, serta pedikel
ginjal dan ureteropelvic junction (UPJ) adalah elemen perlekatan utama. Oleh karena itu, kekuatan
perlambatan (deceleration) pada elemen-elemen ini dapat menyebabkan cedera ginjal, seperti
pecah atau trombosis. Kekuatan percepatan (acceleration) dapat menyebabkan tabrakan antara
ginjal dengan unsur-unsur di sekitarnya, seperti tulang rusuk dan tulang belakang, dan menyebabkan
cedera parenkim dan pembuluh darah.

Trauma Tembus, Trauma tembus dapat terbagi menjadi kecepatan tinggi (seperti senjata api laras
panjang), kecepatan menengah (seperti pistol), dan kecepatan rendah (seperti tusukan
pisau).Senjata berkecepatan tinggi menimbulkan kerusakan yang lebih besar karena peluru
menghasilkan energi dalam jumlah besar ke jaringan. Proyektil peluru akan membentuk kavitasi
ekspansif sementaram yang kemudian hancur dan membentuk gaya geser (shear force) dan
kerusakan di area yang jauh lebih besar daripada saluran proyektil itu sendiri. Pada cedera
kecepatan rendah, kerusakan biasanya terbatas pada jalur proyektil.

Spontaneous Rupture, Ruptur spontan pada ginjal atau ruptur nontraumatik merupakan kasus yang
jarang. Kasus ruptur spontan pada ginjal disebut juga Wunderlich’s syndrome. Mekanisme ruptur
spontan tergantung pada penyebab yang mendasari, misalnya pecahnya aneurisma atau terjadi
vaskulitis. 

Diagnosis ruptur ginjal ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Adanya mekanisme trauma pada area pinggang adalah indikator kecurigaan trauma pada ginjal.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri dan jejas pada area pinggang. Pemeriksaan penunjang
sensitif yang dapat dilakukan adalah CT scan.

Penatalaksanaan ruptur ginjal tergantung pada jenis trauma yang dialami dan status hemodinamik
pasien. Stabilisasi dan keadaan gawat harus ditangani terlebih dahulu. Tercapainya hemodinamik
yang stabil merupakan langkah penting dalam tata laksana ruptur ginjal. [2]

Tata Laksana Nonoperatif

Pada pasien ruptur ginjal dengan hemodinamik stabil, tata laksana nonoperatif atau konservatif
merupakan standar manajemen pasien. Tata laksana nonoperatif melingkupi supportive care, tirah
baring dengan pemantauan ketat terhadap tanda vital dan laboratorium, pemberian antibiotik, dan
pencitraan ulang dengan menggunakan tindakan invasif minimal
(angioembolization atau stent  ureter) bila diperlukan. Tata laksana nonoperatif terutama
diindikasikan pada ruptur ginjal grade 1–2.
A. GINJAL

Etiologi ruptur ginjal yang tersering adalah trauma. Trauma dapat berupa trauma tumpul ataupun
trauma tembus.

Ginjal terluka pada 10% pasien yang mengalami trauma perut yang signifikan. Secara keseluruhan,
sekitar 65% cedera genitourinari (GU) melibatkan ginjal. Ini adalah organ GU yang paling sering
terluka akibat trauma eksternal warga sipil.

Sebagian besar cedera ginjal (85-90% kasus) diakibatkan oleh trauma benda tumpul, biasanya karena
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau serangan. Sebagian besar cedera ringan. Cedera
penyerta yang paling umum terjadi di kepala, sistem saraf pusat, dada, limpa, dan hati. Cedera
tembus biasanya diakibatkan oleh luka tembak dan biasanya berhubungan dengan beberapa cedera
intra-abdomen, paling sering ke dada, hati, usus, dan limpa.

Klasifikasi

Cedera ginjal diklasifikasikan menurut tingkat keparahan menjadi 5 tingkatan :

Derajat 1: Hematoma subkapsular dan / atau memar ginjal

Derajat 2: Laserasi dengan kedalaman ≤ 1 cm tanpa ekstravasasi urin

Derajat 3: Laserasi> 1 cm tanpa ekstravasasi urin

Derajat 4: Laserasi yang melibatkan sistem pengumpulan dengan ekstravasasi urin; cedera vaskular
ginjal segmental; infark ginjal; laserasi pelvis ginjal dan / atau gangguan ureteropelvis

Derajat 5: Ginjal yang hancur atau mengalami devaskularisasi dengan perdarahan aktif; laserasi atau
avulsi vaskular ginjal utama

Penentuan derajat trauma pada ginjal yang paling banyak digunakan adalah berdasarkan
klasifikasi American Association for the Surgery of Trauma  (AAST).

Klasifikasi AAST ditentukan berdasarkan hasil CT scan ataupun eksplorasi. AAST dapat menentukan
derajat, kebutuhan transfusi darah, kebutuhan nefrektomi, dan prognosis ruptur ginjal. AAST juga
dapat digunakan dalam memprediksi morbiditas trauma tumpul dan tembus, serta mortalitas
trauma tumpul pada ginjal.
pemeriksaan fisik biasanya ditemukan jejas di regio flank (pinggang) atau abdomen (perut),
hemodinamik stabilitasnya dinilai mulai tensi, nadi, suhu, gross hematuria, dari pemeriksaan
laboratorium; urinalisis (ditemukan erytrosit urine (+)), darah lengkap (hematokrit serial), baseline
fungsi ginjal (serum kreatinin). Pemeriksaan Imaging: USG : evaluasi primer (USG fast), CT-scan:
menentukan grade trauma ginjal, jika hemodinamik stabil, IVP: evaluasi ginjal kontralateral

sebelum dilakukan tindakan operasi eksplorasi ginjal, angiografi: jika perlu (sebelum dilakukan
tindakan embolisasi)

Diagnosa

1. Evaluasi klinis, termasuk penentuan tanda vital berulang

2. Urinalisis dan hematokrit (Hct)

3. Jika diduga terjadi cedera ginjal derajat tinggi, CT dengan kontras ditingkatkan
dengan gambar tertunda (dilakukan sekitar 10 hingga 15 menit setelah studi awal)

Pasien dengan trauma tumpul yang secara hemodinamik stabil dan hadir dengan hematuria
mikroskopis saja biasanya memiliki cedera ginjal minor yang tidak memerlukan perbaikan bedah;
oleh karena itu, CT tidak diperlukan.

Pengujian laboratorium harus mencakup Hct dan urinalisis.


Diagnosis cedera ginjal derajat tinggi harus dicurigai pada setiap pasien setelah trauma tumpul
dengan satu atau lebih temuan berikut:

1. Hematuria mikroskopis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg)

2. Hematuria kotor

3. Cedera perlambatan yang signifikan (misalnya, jatuh dari ketinggian yang signifikan,
kecelakaan kendaraan bermotor berkecepatan tinggi)

4. Tanda sabuk pengaman

5. Nyeri perut yang menyebar

6. Pukulan langsung ke sayap

7. Fraktur proses transversal tulang rusuk bagian bawah atau vertebralis

Pasien yang menggunakan antikoagulan atau yang memiliki kelainan ginjal bawaan dapat
mengalami hematuria berat setelah trauma yang relatif kecil.

Jika dicurigai terjadi cedera ginjal derajat tinggi, CT yang ditingkatkan dengan kontras harus
dilakukan untuk menentukan derajat cedera ginjal dan mengidentifikasi trauma dan komplikasi
intraabdomen yang menyertai, termasuk perdarahan retroperitoneal dan ekstravasasi urin. Gambar
yang tertunda harus dilakukan sekitar 10 hingga 15 menit setelah studi awal. CT penting untuk
mengkarakterisasi dan menilai cedera ginjal, mengidentifikasi keterlibatan sistem pengumpulan atau
gangguan sambungan ureteropelvis, dan mengidentifikasi cedera intra-abdominal terkait.

Dengan trauma tembus ke perut dan dada bagian bawah, CT diindikasikan pada semua
pasien dengan hematuria mikroskopis atau kotor. Selain itu, angiografi dapat diindikasikan untuk
menilai perdarahan yang menetap atau tertunda dan dapat dikombinasikan dengan embolisasi arteri
selektif.

Cedera ginjal pediatrik dievaluasi dengan cara yang sama, kecuali bahwa semua anak dengan
trauma tumpul yang urinalisisnya menunjukkan> 50 sel darah merah (sel darah merah) / medan
daya tinggi memerlukan pencitraan. Karena anak-anak mempertahankan tonus vaskular lebih tinggi
daripada orang dewasa dan mempertahankan tekanan darah meskipun kehilangan darah dalam
derajat tinggi, hipotensi merupakan tanda tidak sensitif dari trauma ginjal mayor.

Tatalaksana

1. Istirahat yang ketat dengan pemantauan ketat terhadap tanda-tanda vital

2. Perbaikan bedah atau intervensi angiografik untuk beberapa cedera ginjal tingkat
tinggi yang tumpul dan paling tajam

Sebagian besar cedera ginjal tumpul, termasuk semua cedera tingkat 1 dan 2 dan sebagian besar
cedera tingkat 3 dan 4, dapat ditangani dengan aman tanpa operasi. Pasien harus dipertahankan
pada tirah baring yang ketat sampai hematuria kotor teratasi. Intervensi diperlukan untuk pasien
dengan yang berikut:
1. Perdarahan persisten (yaitu, cukup untuk memerlukan transfusi berulang)

2. Memperluas hematoma perinefrik

3. Avulsi pedikel ginjal atau cedera renovaskular signifikan lainnya

Intervensi dapat mencakup pembedahan, penempatan stent, atau embolisasi angiografik selektif.

Trauma penetrasi biasanya memerlukan eksplorasi bedah, meskipun observasi mungkin sesuai untuk
pasien yang cedera ginjalnya telah dipentaskan secara akurat dengan CT, tekanan darah stabil, dan
tidak ada cedera intra-abdomen terkait yang memerlukan pembedahan.

Penatalaksanaan trauma ginjal diawali dengan airway, breathing, dan sirkulasi menejemen
dipastikan aman, jika belum aman harus diselesaikan dengan baik. Selanjutnya adalah stabilisasi
hemodinamik. Jika hemodinamik stabil maka

dilakukan tindakan konservatif (non operatif menejemen) berupa: observasi, bed rest total, serial
hematocrit, injeksi antibiotic jika didapatkan ekstravasasi urine diluar pelvic calyc system. Pada
keadaan hemodinamik yang tidak stabil, terdapat expanding atau pulsating perirenal hematom
selama laparotomy, trauma grade 5 dengan cidera vaskuler maka dilakukan tindakan operatif
berupa eksplorasi ginjal (rekonstruksi atau nephrectomy).

Pada fasilitas kesehatan tingkat 1 kasus kecurigaan trauma ginjal dapat diketahui dari anamnesis
terkait trauma disekitar flank (pinggang) dan pemeriksaan fisik yang memperlihatkan jejas. Selain itu
terkadang dijumpai hematuria setelah trauma. Penatalaksanaan yang dapat dikerjakan adalah
bantuan hidup dasar terkait stabilisasi airway dengan manuver jaw trust, pemasangan orofaringeal
tube. Pemasangan collar brest juga masih memungkinkan jika alat tersedia di fasilitas kesehatan
tingkat 1. Stabilisasi breathing merupakan tahap selanjutnya yang harus dikerjakan pemberian
oksigenasi dengan canule, masker atau ambubag dapat diberikan sesuai dengan problem yang
dihadapi sampai kondisi pernafasan normal. Stabilisasi sirkulasi merupakan hal yang paling penting
karena kasus trauma ginjal yang berat sering berkomplikasi pada ketidakstabilan hemodinamik dan
sirkulasi. Tatalaksana yang dapat dilakukan pada faskes 1 adalah pemasangan infus atau transfuse
set untuk resusitasi cairan dan darah. Memberikan cairan isoosmolar adalah pilihan pertama untuk
memberikan resusitasi ketidak seimbangan hemodinamik. Berikutnya adalah cairan koloid maupun
darah untuk menstabilkan sirkulasi. Tatalaksana definitive untuk ginjal yang mengalami trauma
faskes tingkat 1 tidak dapat dikerjakan karena untuk menegakkan diagnosis dan menentukan grading
trauma ginjal membutuhkan pemeriksaan CT Scan Abdomen yang adannya difasilitas kesehatan
yang lebih tinggi. Sehingga kasus ini harus dirujuk ke fasilitas yang lebih tinggi.
B.ureter

Sebagian besar cedera ureter terjadi selama operasi. Prosedur yang paling sering melukai ureter
termasuk ureteroskopi, histerektomi, reseksi kolon anterior rendah, dan perbaikan aneurisma perut
terbuka. Mekanismenya meliputi ligasi, transeksi, avulsi, crush, devascularization, kinking, dan
elektrokoagulasi.

Cedera ureter noniatrogenik hanya terjadi sekitar 1 sampai 3% dari semua trauma
genitourinari. Biasanya akibat luka tembak dan jarang dari luka tusuk. Pada anak-anak, cedera avulsi
lebih sering terjadi dan terjadi di sambungan ureteropelvis. Komplikasi termasuk kebocoran urin
peritoneal atau retroperitoneal; abses perinefrik; pembentukan fistula (misalnya, ureterovaginal,
ureterokutan); dan striktur ureter, obstruksi, atau keduanya.

Diagnosa

 Pencitraan, operasi eksplorasi, atau keduanya

Diagnosis dicurigai berdasarkan riwayat dan membutuhkan indeks kecurigaan yang tinggi, karena
gejala tidak spesifik dan hematuria tidak ada pada> 30% pasien. Diagnosis dipastikan dengan
pencitraan (misalnya, CT dengan kontras yang mencakup gambar tertunda, pyelografi retrograde),
operasi eksplorasi, atau keduanya. Demam, nyeri tekan panggul, ileus berkepanjangan, kebocoran
saluran kemih, obstruksi, dan sepsis adalah tanda-tanda tertunda yang paling umum dari cedera
tersembunyi. Diagnosis cedera intraoperatif dapat dibantu dengan menyuntikkan pewarna intravena
(misalnya, indigo carmine, methylene blue).

Tatalaksana

 Untuk cedera ringan, tabung nefrostomi perkutan atau stent ureter

 Untuk luka berat, bedah perbaikan

Semua cedera ureter membutuhkan intervensi. Sebuah tabung nefrostomi perkutan yang
mengalihkan atau penempatan stent ureter (retrograde atau antegrade) seringkali cukup untuk
cedera ringan (misalnya, memar atau transeksi parsial). Transeksi lengkap atau cedera avulsi
biasanya memerlukan teknik rekonstruksi, termasuk reimplantasi ureter, anastomosis ureter primer,
flap kandung kemih anterior (Boari), interposisi ileum, dan, sebagai upaya terakhir,
autotransplantasi.

c. VESICA URINARIA

Cedera kandung kemih eksternal disebabkan oleh trauma tumpul atau tembus ke perut
bagian bawah, panggul, atau perineum. Trauma tumpul adalah mekanisme yang lebih umum,
biasanya dengan perlambatan mendadak, seperti pada kecelakaan atau jatuh kendaraan bermotor
berkecepatan tinggi, atau dari hantaman luar ke perut bagian bawah. Cedera yang paling sering
menyertai adalah fraktur pelvis, terjadi pada> 95% dari ruptur kandung kemih yang disebabkan oleh
trauma tumpul. Cedera bersamaan lainnya termasuk patah tulang panjang dan cedera sistem saraf
pusat dan dada. Cedera tembus, paling sering luka tembak, menyebabkan <10% cedera kandung
kemih.

Kandung kemih adalah organ yang paling sering mengalami cedera selama operasi panggul.
Cedera tersebut dapat terjadi selama operasi transurethral, prosedur ginekologi (paling sering
histerektomi perut, operasi caesar, eksisi massa panggul), atau reseksi usus besar. Faktor
predisposisi termasuk jaringan parut dari operasi sebelumnya atau terapi radiasi, peradangan, dan
beban tumor yang luas.

Cedera kandung kemih diklasifikasikan sebagai kontusio atau ruptur berdasarkan luasnya
cedera yang terlihat secara radiografi. Ruptur bisa ekstraperitoneal, intraperitoneal, atau keduanya;
kebanyakan ekstraperitoneal.

Komplikasi

dari cedera kandung kemih termasuk asites urin (urin bebas di rongga peritoneum) karena ruptur
intraperitoneal, infeksi (termasuk sepsis), hematuria persisten, inkontinensia, ketidakstabilan
kandung kemih, dan fistula. Kematian dengan ruptur kandung kemih akibat trauma eksternal bisa
mendekati 20%; hal ini lebih disebabkan oleh cedera organ yang terjadi bersamaan daripada cedera
kandung kemih.

Gejala dan Tanda

Gejala mungkin termasuk nyeri suprapubik dan ketidakmampuan untuk berkemih; tanda-
tanda mungkin termasuk hematuria, nyeri tekan suprapubik, distensi, syok hipovolemik (karena
perdarahan), dan, dalam kasus ruptur intraperitoneal, tanda-tanda peritoneal. Ruptur kandung
kemih tumpul hampir selalu terjadi dengan fraktur pelvis dan hematuria berat.

Cedera kandung kemih yang terjadi selama operasi biasanya diidentifikasi selama operasi.
Temuan dapat mencakup ekstravasasi urin, peningkatan perdarahan yang tiba-tiba, munculnya
kateter kandung kemih pada luka, dan selama laparoskopi, distensi kantung drainase urin dengan
gas.

Diagnosa

 Kistografi retrograde dengan foto polos x-ray atau CT


Gejala dan tanda seringkali tidak kentara atau tidak spesifik; oleh karena itu, diagnosis
membutuhkan tingkat kecurigaan yang tinggi. Diagnosis dicurigai berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, temuan radiografi, dan adanya hematuria (terutama secara kasar). Konfirmasi
dilakukan dengan sistografi retrograde menggunakan 350 mL kontras yang diencerkan untuk
langsung mengisi kandung kemih. X-ray atau CT film biasa dapat digunakan, tetapi CT memberikan
keuntungan tambahan dalam mengevaluasi cedera intra-abdominal dan fraktur pelvis yang terjadi
bersamaan. Film drainase harus diperoleh hanya jika menggunakan rontgen film biasa. Jika
gangguan uretra dicurigai pada pria, uretrografi harus dilakukan sebelum memasukkan kateter
uretra.

Pemeriksaan rektal harus dilakukan pada semua pasien dengan mekanisme cedera tumpul
atau tembus untuk menilai darah, yang sangat menunjukkan adanya cedera usus yang terjadi
bersamaan. Selain itu, pasien wanita harus menjalani pemeriksaan panggul menyeluruh untuk
menilai keterlibatan vagina.

Tatalaksana

 Drainase kateter

 Terkadang perbaikan melalui operasi

Kontusi kandung kemih hanya membutuhkan drainase kateter sampai hematuria bruto sembuh.
Sebagian besar ruptur ekstraperitoneal hanya memerlukan drainase kateter jika urin mengalir
dengan bebas dan leher kandung kemih tidak terkena. Dengan keterlibatan leher kandung kemih,
eksplorasi dan perbaikan bedah diperlukan untuk membatasi kemungkinan inkontinensia. Demikian
pula, manajemen bedah diindikasikan pada kasus hematuria bruto persisten, retensi bekuan, atau
keduanya. Semua trauma tembus dan ruptur intraperitoneal akibat trauma tumpul memerlukan
eksplorasi bedah. Kebanyakan cedera kandung kemih yang terjadi selama operasi diidentifikasi dan
diperbaiki selama operasi.

D.urehtra :

B. URETRA

Ruptur uretra merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan urologi karena adanya trauma
lain yang lebih mengancam nyawa. Pemeriksaan radiologi memiliki peran penting dalam diagnosis.
Penatalaksanaan yang terlambat dan tidak tepat akan mengurangi kualitas hidup dan meningkatkan
mortalitas.

Cedera uretra biasanya terjadi pada pria. Sebagian besar cedera uretra utama disebabkan
oleh trauma tumpul. Trauma uretra tembus lebih jarang terjadi, terjadi terutama akibat luka
tembak, atau, sebagai alternatif, karena memasukkan benda ke dalam uretra selama aktivitas
seksual atau karena penyakit kejiwaan.
Cedera uretra diklasifikasikan sebagai kontusio, gangguan parsial, atau gangguan total, dan
mungkin melibatkan segmen uretra posterior atau anterior. Cedera uretra posterior terjadi hampir
secara eksklusif dengan fraktur pelvis. Cedera uretra anterior sering kali merupakan konsekuensi dari
cedera straddle perineum akibat jatuh, pukulan perineum, atau kecelakaan kendaraan bermotor.
Cedera iatrogenik terjadi selama instrumentasi transurethral (misalnya, penempatan atau pelepasan
kateter, sistoskopi).

Komplikasi

termasuk infeksi, inkontinensia, disfungsi ereksi, dan striktur atau stenosis ("stenosis" adalah
penyempitan uretra posterior sedangkan "striktur" mengacu secara eksklusif pada uretra anterior).

Gejala dan Tanda

Gejala berupa nyeri saat berkemih atau ketidakmampuan untuk berkemih. Darah di meatus
uretra adalah tanda terpenting dari cedera uretra. Tanda tambahan termasuk ekimosis perineum,
skrotum, penis, dan labial, edema, atau keduanya. Lokasi prostat yang tidak normal pada
pemeriksaan rektal (disebut prostat high-riding) merupakan indikator yang tidak akurat dari cedera
uretra. Darah pada pemeriksaan digital, rektal, atau vagina membutuhkan evaluasi menyeluruh.

Diagnosa

 Retrograde urethrography

Setiap pasien pria dengan gejala atau tanda yang menunjukkan cedera uretra harus menjalani
urethrography retrograde. Prosedur ini harus selalu mendahului kateterisasi. Kateterisasi uretra
pada pria dengan cedera uretra signifikan yang tidak terdeteksi dapat meningkatkan gangguan
uretra (misalnya, mengubah gangguan parsial menjadi gangguan total). Pasien wanita membutuhkan
sistoskopi segera dan pemeriksaan vagina menyeluruh.
Tatalaksana

 Biasanya kateterisasi uretra (untuk kontusio) atau sistostomi suprapubik

 Kadang-kadang penataan kembali endoskopi atau perbaikan bedah (untuk


cedera tertentu)

 Operasi definitif tertunda


Luka memar dapat diobati dengan aman menggunakan kateter transurethral selama sekitar 7 hari.
Gangguan parsial paling baik ditangani dengan drainase kandung kemih melalui sistostomi
suprapubik. Dalam beberapa kasus gangguan parsial posterior, penataan kembali uretra primer
(endoskopi atau terbuka) dapat dilakukan; jika berhasil, pendekatan ini dapat membatasi stenosis
uretra berikutnya.

Pilihan paling sederhana dan teraman untuk kebanyakan pasien dengan gangguan total
adalah drainase kandung kemih melalui sistostomi suprapubik. Pembedahan pasti ditunda selama
sekitar 8 sampai 12 minggu sampai jaringan parut uretra stabil dan pasien pulih dari cedera yang
menyertai.Perbaikan terbuka dari cedera uretra terbatas pada yang berhubungan dengan patah
tulang penis, luka tembus, dan semua luka pada wanita.

2.truma genital

-feminina

A. WANITA

Straddle Injury atau Genital Trauma

Cedera straddle / trauma genital terjadi ketika seorang wanita menabrak vulva atau
perineum (genitalia eksternal wanita) pada suatu objek dan kekuatan yang ditimbulkan oleh berat
tubuhnya menyebabkan cedera. Ini dapat terjadi saat jatuh atau kecelakaan.

Vulva termasuk labia minora, labia majora dan klitoris. Perineum adalah ruang antara lubang
vagina dan anus.

Kebanyakan cedera straddle menyebabkan trauma pada vulva dan perineum. Jarang terjadi
luka pada selaput dara atau vagina.
Tanda dan Gejala

Gadis yang mengalami cedera straddle biasanya melaporkan rasa sakit dan mungkin
mengalami pendarahan, memar atau bengkak. Gadis muda dengan cedera straddle atau trauma
pada alat kelamin mungkin mengalami nyeri saat buang air kecil atau kesulitan buang air kecil.

Tatalaksana

Perawatan tergantung pada luasnya cedera. Penting untuk mendapatkan pemeriksaan vulva,
perineum dan vagina yang baik. Dalam kebanyakan kasus, ini dapat dilakukan saat pasien bangun.
Namun, ada beberapa kasus di mana pasien mungkin perlu dibius untuk melakukan pemeriksaan
menyeluruh untuk menentukan tingkat cederanya.

Seringkali cedera straddle tidak memerlukan perbaikan melalui pembedahan. Penyedia


dapat merekomendasikan hal berikut untuk perawatan / kenyamanan:

 Rendam bak mandi di bak air hangat

 Obat nyeri over-the-counter

 Paket es

 Krim estrogen dioleskan ke vulva untuk membantu penyembuhan kulit

Jika ada luka / luka yang perlu diperbaiki dapat dilakukan dengan obat penenang. Jahitannya akan
larut dengan sendirinya.

Vulva dan perineum biasanya sembuh dengan sangat baik dan cedera straddle kemungkinan besar
tidak akan memiliki konsekuensi jangka panjang.

-masculina

B. PRIA

Kebanyakan trauma genital terjadi pada pria dan mungkin melibatkan cedera pada testis,
skrotum, dan penis. Cedera kelamin yang parah paling sering terjadi di medan perang karena bahan
peledak tanah yang biasa digunakan. Mutilasi alat kelamin perempuan dengan membuang klitoris
yang dilakukan di beberapa budaya merupakan salah satu bentuk trauma genital dan penganiayaan
anak.
Kebanyakan cedera testis terjadi akibat trauma tumpul (mis., Serangan, tabrakan kendaraan
bermotor, cedera olahraga); luka tembus testis jauh lebih jarang. Cedera testis diklasifikasikan
sebagai kontusio atau, jika tunica albuginea terganggu, sebagai ruptur.

Cedera skrotum dapat disebabkan oleh luka bakar, avulsi, dan trauma tembus.

Cedera penis memiliki mekanisme yang beragam. Cedera karena ritsleting lebih sering terjadi pada
anak-anak. Fraktur penis, yang merupakan pecahnya korpus kavernosum, paling sering terjadi saat
penis ditekuk secara paksa selama aktivitas seksual dan dapat disertai dengan cedera uretra.
Amputasi (biasanya dilakukan sendiri atau karena pakaian yang terperangkap oleh mesin berat) dan
pencekikan (biasanya karena cincin penis yang menyempit yang digunakan untuk meningkatkan
ereksi) adalah mekanisme tambahan. Luka tembus, termasuk gigitan hewan dan manusia serta luka
tembak, lebih jarang terjadi; Luka tembak sering kali mengenai uretra.

Komplikasi

cedera genital termasuk infeksi, kehilangan jaringan, disfungsi ereksi, hipogonadisme pria,
dan jaringan parut uretra.

Gejala dan Tanda

Gejala setelah pukulan langsung skrotum biasanya nyeri dan bengkak pada skrotum. Tanda-
tandanya mungkin termasuk perubahan warna skrotum dan massa skrotum yang lunak dan kuat
yang gagal bertransiluminasi, menunjukkan adanya hematokel. Penetrasi skrotum menunjukkan
kemungkinan keterlibatan testis. Seringkali pemeriksaan dibatasi oleh ketidaknyamanan pasien.
Fraktur penis biasanya terjadi selama hubungan seksual dan mengakibatkan suara retak, nyeri
langsung, penis bengkak dan ekimosis, dan biasanya kelainan bentuk yang terlihat. Kehadiran
hematuria menunjukkan kemungkinan cedera uretra bersamaan.

Diagnosa

 Evaluasi klinis

 Ultrasonografi (untuk cedera testis)

 Retrograde urethrography (untuk cedera penis dengan kemungkinan


keterlibatan uretra)

Diagnosis cedera skrotum dan penis eksternal biasanya dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik
saja. Pencitraan, seperti MRI dan sonografi, dapat dipertimbangkan dalam kasus trauma penis yang
samar. X-ray dengan kontras uretra (urethrography retrograde) harus dilakukan untuk fraktur penis
atau trauma penetrasi penis ketika dicurigai cedera uretra (misalnya, dengan hematuria atau
ketidakmampuan untuk berkemih). Diagnosis klinis dari kontusio testis dan ruptur bisa sulit karena
derajat cedera mungkin tidak sesuai dengan temuan fisik, sehingga pasien dengan cedera testis
tumpul biasanya memerlukan ultrasonografi skrotum.

Tatalaksana

 Terkadang perbaikan melalui operasi

Penatalaksanaan non-operatif cocok untuk banyak cedera. Pasien dengan cedera testis tembus atau
karakteristik klinis atau sonografi yang menunjukkan ruptur testis memerlukan eksplorasi dan
perbaikan bedah. Demikian pula, semua patah tulang penis dan luka tembus harus dieksplorasi
dengan pembedahan dan cacat diperbaiki. Amputasi penis harus diperbaiki dengan reimplantasi
bedah mikro jika segmen yang diamputasi layak. Cedera pencekikan biasanya dapat ditangani hanya
dengan membuang zat pembatas, yang mungkin memerlukan penggunaan pemotong logam. Gigitan
hewan dan manusia yang melibatkan alat kelamin harus ditangani dengan irigasi berlebihan,
debridemen yang sesuai, dan profilaksis antibiotik; penutupan luka primer merupakan
kontraindikasi. Cedera akibat ritsleting harus ditangani dengan melepas bagian atas slider ritsleting

Untuk melepas ritsleting, anestesi lokal disuntikkan ke area tersebut. Minyak mineral
digunakan untuk melumasi ritsleting, dan kemudian satu upaya dilakukan untuk membuka ritsleting.
Jika upaya ini tidak berhasil, pemotong kawat kokoh (pemotong diagonal) digunakan untuk
memotong batang median di bagian atas penggeser ritsleting, yang menghubungkan pelat depan
dan belakangnya. Kemudian penggeser jatuh menjadi 2 bagian, dan gigi ritsleting segera terlepas.

Anda mungkin juga menyukai