Anda di halaman 1dari 15

MODUL 3

OBESITAS DAN SISTEM METABOLIK

SKENARIO 3 JALAN-JALAN

Nn. Y 32 tahun datang ke Poli Penyakit dalam dengan keluhan susah berjalan dan nyeri di persendian .
Diketahui BB Ny.Y 102 kg dengan TB 160cm, merokok (+) . Keluhan ini sudah dirasakannya sejak 1 tahun
yang lalu, selama ini pasien mengkonsumsi obat kampung. Dari auto anamnesis diketahui Ny.Y juga
mengalami kolesterol, hasil pemeriksaan kolesterol total 1 bulan yang lalu 450 mg/dl. RPO : Simvastatin
20 mg, namun tidak rutin minum obat. Ia sangat ingin berjalan seperti dulu lagi. Bagaimana anda
menjelaskan kasus diatas

Jump 1 : Terminologi

1. Obesitas : adalah ketika berat badan lebih dari 120& dari berat badan relatif

2. Sindrom metabolik : sekelompok gangguan yang terjadi secara bersamaan seperti hipertensi,
tingginya kolesterol dan tingiinya trigliserida

3. Kolesterol : lemak yang berbentuk steroid

4. Simvastatin : obat untuk menurunkan kadar kolesterol

Jump 2 : Rumusan Masalah

1. Apa saja yang dapat menyebabkan obesitas ?

2. Apa saja yang dapat menyebabkan sindrom metabolik ?

3. Apa yang menyebabkan Ny. Y susah dalam berjalan ?

4. Bagaimana mekanisme dari terjadinya nyeri di persendian ?

5. Apa saja pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengukur kolesterol di tubuh ?

6. Apa yang dapat menyebabkan kolesterol tinggi pada seseorang ?

7. Apa indikasi dari simvastatin ?

8. Bagaimana farmakokinetik dari simvastatin ?

9. Apa yang terjadi jika seseorang tidak rutin dalam meminum obatnya ?

10. Apa yang yang dapat dilakukan agara Ny. Dapat berjalan seperti dahulu ?

11. Program diet seperti apa yang cocok untuk Ny.Y tersebut ?

Jump 3 : Hipotesis
1. Kurang tidur, faktor genetik, ibu kandung yang mengalami kenaikan berat badan yang
berlebihan, gangguan hormon, kebiasaan masa kecil, konsumsi obat-obatan, kecelakaan dan
cedera otak (saraf yang menagtur tentang rasa lapar)

2. Belum diketahui secara pasti. Tapi penyebab primer nya adalah resistensi insulin dimana hal ini
menyebabkan komplikasi makrovaskuler contohnya penyakit jantung. Faktor resiko nya adalah :
gaya hidup, pola makan, genetik, serta stress. Resiko ini akan meningkat jika mengalami
diabetes

3. Obesistas mempengaruhi gaya berjalan bagi tubuh salah satunya mengurangi elastisitas ligamen
pada otot. Jika pasien sudah mengalami obesitas sejak anak-anak maka kemungkinan besar
peluang susah berjalan di usia dewasa. Fraktur dan kelainan tulang akibat obesitas juga bisa
mendukung susahnya berjalan pada mereka yang obesitas.

4. Pada dasarnya itu merupakan gangguan fisiologi. Pada persendian, kita mempunyai cairan
sinovial. Kekurangan cairan sinovial ini bisa mengakibatkan nyeri pada persendian. Hal ini bisa
diakibatkan karna adanya inflamasi dan tingginya asam urat. Jadi, kemungkinan rematik ataupun
obesitas mendukung gejala ini terjadi.

5. a. Pemeriksaan kolesterol mandiri : dengan cara mengambil darah dari pembuluh kapiler. Hal ini
akurat tetapi pemeriksaan ini hanya menunjukkan kolesterol total

b. pemeriksaan laboratorium : yang dilakukan oleh tenaga media. Pemeriksaan ini menggunakan
darah yang diambil dari pembuluh darah vena serta pasien harus dipuasakan terlebih dahulu.
Pemeriksaan ini menghasilkan hasil yang lebih akurat dan lengkap seperti LD dan HDL

LDL < 130 mg/dL

HDL > 60 mg/dL

6. ada hal yang mempengaruhi tingkat kolesterol

a. makanan

b. kelebihan berat badan

c. kurangnya aktivitas fisik

d. Umur & jenis kelamin. Setelah mencapai umur 20 tahun, biasanya kolesterol sudah mulai
meningkat.

e. Genetik. Terjadi mutasi gen bagi mereka yang mempunyai orang tua hiperkolesterolemia

7. Simvastatin adalah obat yang digunakan untuk menurunkan kolesterol dalam tubuh. Simvastatin
digunakan bagi mereka yang penyakit dengan gejala hiperkolesterolemia

8. Simvastatin di absorbed sebanyak 60-80% setelah konsumsi oral tapi hal itu tergantungfirst pass
metabolisme dari sistem CYP3A4. Bioavailibilitas dari HMG-CoA mengurangi kerja dari
simvastatin sebanyak 5% dari konsumsi oral
9. Dapat meyebkan 30-40% kegagalan pengobatan dan peningkatan resiko kematian. Kelalaian
dalam konsumsi simvastatin bisa meningkatkan kematian hingga 20%. Hal ini merupakan
persentase yang tinggi akibat kelalaian konsumsi obat

10. a. Menurunkan berat badan

b. rehabilitasi untuk melatih kembali jalan si pasien

11. - konsumsi banyak serat seperti buah, kacang2 gandum

- Makanan yang tinggi kalium

- Diet rendah lemak dan karbohidrat

- Konsummsi banyak lemak tak jenuh

Jump 4 Skema

Jump 5 Lo
1. Sindrom metabolik (Epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan,
tatalaksana, komplikasi dan prognosis)

Pengertian

Sindroma metabolik merupakan suatu faktor risiko multipel untuk penyakit kardiovaskular,
dan sindrom ini berkembang melalui kerjasama yang saling terkait antara obesitas dan
kerentanan metabolik. Sindroma ini merupakan salah satu risiko untuk penyakit
kardiovaskular aterosklerotik – atherosclerotic cardiovascular disease (ASCVD). Faktor resiko
tersebut antara lain obesitas abdominal, kenaikan kadar gula darah (hiperglikemik), kenaikan
kadar trigliserida dan penurunan kadar kolesterol HDL. Penderita sindrom metabolik beresiko
tinggi menderita penyakit diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular serta berbagai
gangguan kesehatan lainnyaseperti cholesterol gallstones, fatty liver, radang paru, gangguan
tidur dan beberapa jenis kanker.

Sindroma ini pertama kali diamati dan dilaporkan pada tahun 1923 yang mengkategorikannya
sebagai gabungan dari hipertensi, hiperglikemia, dan gout. Berbagai abnormalitas metabolik
lain dikaitkan dengan sindroma ini diantaranya obesitas, mikro albuminuria, dan abnormalitas
fibribolisis dan koagulasi. Pada tahun 1998, World Health Organization (WHO)
memperkenalkan istilah sindroma metabolik.

Kriteria Sindrom Metabolik

Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien sindrom metabolik adalah NCEP-ATP III,
yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati, antara lain: lingkar perut
pria > 102 cm atau wanita > 88 cm; hipertrigliseridemia (kadar serum trigliserida > 150 mg/dL),
kadar HDL-C < 40 mg/dL untuk pria, dan < 50 mg/dL untuk wanita; tekanan darah > 130/85
mmHg; dan kadar glukosa darah puasa > 110 mg/dL. Suatu kepastian fenomena klinis yang
terjadi yaitu obesitas sentral menjadi indikator utama terjadinya sindrom metabolik sebagai
dasar pertimbangan dikeluarkannya diagnosis terbaru oleh IDF tahun 2005. Seseorang
dikatakan menderita sindrom metabolik bila ada obesitas sentral (lingkar perut > 90 cm untuk
pria Asia dan lingkar perut > 80 cm untuk wanita Asia) ditambah 2 dari 4 faktor berikut: (1)
Trigliserida > 150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau sedang dalam pengobatan untuk
hipertrigliseridemia; (2) HDL-C: < 40 mg/dL (1,03 mmol/L) pada pria dan < 50 mg/dL (1,29
mmol/L) pada wanita atau sedang dalam pengobatan untuk peningkatan kadar HDL-C; (3)
Tekanan darah: sistolik > 130 mmHg atau diastolik > 85 mmHg atau sedang dalam pengobatan
hipertensi; (4) Gula darah puasa (GDP) > 100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau diabetes tipe 2. Hingga
saat ini masih ada kontroversi tentang penggunaan kriteria indikator SM yang terbaru tersebut
(IDF, 2005).

Faktor yang Mempengaruhi Sindrom Metabolik

a) Umur

b) Jenis Kelamin

c) Etnis

d) Obesitas
e) Pola makan

f) Aktivitas Fisik

g) Faktor Genetik

h) Psikososial dan Stress

i) Merokok

j) Konsumsi Alkohol

Evaluasi Klinis Sindrom Metabolik

Terhadap individu yang dicurigai mengalami sindrom metabolik hendaklah dilakukan evaluasi
klinis, yang meliputi :

1) Anamnesis, tentang riwayat keluarga dan penyakit sebelumnya., riwayat adanya


perubahan berat badan, aktifitas fisik sehari-hari., asupan makanan sehari-hari

2) Pemeriksaan fisik, meliputi : pengukuran tinggi badan, berat badan tekanan darah,
Indeks Massa Tubuh (IMT), Pengukuran lingkar pinggang merupakan prediktor yang lebih baik
terhadap risiko kardiovaskular

3) Pemeriksaan laboratorium, meliputi : kadar glukosa plasma dan profil lipid puasa,
pemeriksaan klem euglikemik atau HOMA (homeostasis model assessment) untuk menilai
resistensi insulin secara akurat biasanya hanya dilakukan dalam penelitian dan tidak praktis
diterapkan dalam penilaian klinis, highly sensitive c-reactive protein , kadar asam urat dan tes
faal hati dapat menilai adanya NASH

Penatalaksanaan Sindrom Metabolik

Berdasarkan studi klinis, penatalaksanaan agresif terhadap komponen-komponen sindrom


metabolik dapat mencegah atau memperlambat onset diabetes, hipertensi dan penyakit
kardiovaskular. Semua pasien yang didiagnosis dengan sindrom metabolik hendaklah dimotivasi
untuk merubah kebiasaan makan dan latihan fisiknya sebagai pendekatan terapi utama.
Penurunan berat badan dapat memperbaiki semua aspek sindrom metabolik, mengurangi
semua penyebab dan mortalitas penyakit kardiovaskular. Namun kebanyakan pasien mengalami
kesulitan dalam mencapai penurunan berat badan. Latihan fisik dan perubahan pola makan
dapat menurunkan tekanan darah dan memperbaiki kadar lipid, sehingga dapat memperbaiki
resistensi insulin. Adapun penatalaksanaan sindrom metabolik adalah sebagai berikut :

1) Latihan Fisik

2) Diet

3) Edukasi

4) Farmakoterapi
Pencegahan Sindrom Metabolik

Tips untuk pencegahan sindrom metabolik, antara lain:

a.Olahraga secara teratur sepanjang hidup kita, supaya tidak bosan cobalah untuk
mengikutsertakan keluarga, tetangga, rekan kerja, jika perlu ikutlah klub olahraga di sekitar
rumah.

b.Memberi dukungan kepada keluarga untuk memiliki aktivitas fisik tiap harinya, berikanlah
pilihan permainan yang memerlukan aktivitas fisik, seperti outbond, dll.

c.Mengkonsumsi makanan sehat, seimbang gizi, hindari lemak jenuh, perbanyak


mengkonsumsi sayuran dan buah.

d.Hentikan kebiasaan merokok.

e.Kenali diri, apakah memiliki kecenderungan secara genetik (keturunan) terkena penyakit
diabetes, penyakit jantung, dan sindrom metabolik.

f.Usahakan melakukan medical check-up secara teratur dan rutin. Terapi secara dini terutama
jika mempunyai riwayat penyakit tertentu

2. Obesitas ( Epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan, tatalaksana,


Upaya preventif dan promosi obesitas, komplikasi dan prognosis)

Epidimiologi Obesitas

Obesitas adalah penumpukan lemak yang berlebihan atau abnormal yang dapat menggangu
kesehatan (WHO,2017). Penyebab utama terjadinya obesitas yaitu ketidakseimbangan antara
asupan energi dengan pengeluaran energi (Betty, 2004). Obesitas adalah kondisi yang ditandai
gangguan keseimbangan energi tubuh yaitu terjadi keseimbangan energi positif yang akhirnya
disimpan dalam bentuk lemak di jaringan tubuh (Nelm, et, al 2011). Sehingga obesitas adalah
terjadinya penumpukan lemak dalam tubuh yang abnormal dalam kurun waktu yang lama
dan dikatakan obesitas bila nilai Z-scorenya >2SD berdasarkan IMT/U umur 5-18 tahun
(Kemenkes, 2010).

Etiologi Obesitas

Fisiologis Obesitas

Zat gizi makro dan mikro menghasilkan energi yang diperlukan oleh tubuh. Asupan zat gizi
makro yaitu karbohidrat, protein dan lemak bila di konsumsi berlebihan dapat menyebabkan
gangguan kesehatan. Asupan lemak lebih banyak menghasilkan energi dibandingkan dengan
karbohidrat atau protein. Setelah makan, lemak dikirim kejaringan adiposa untuk disimpan
sampai dibutuhkan kembali sebagai energi. Oleh karena itu asupan lemak berlebih akan lebih
mudah menambah berat badan. Kelebihan asupan protein juga dapat diubah menjadi lemak
tubuh. Asupan protein yang melebihi kebutuhan tubuh, maka asam amino akan melepas
ikatan nitrogennya dan diubah melalui serangkaian reaksi menjadi trigiserida. Kelebihan
karbohidrat akan disimpan dalam bentuk glikogen dan lemak. Glikogen akan disimpan
didalam hati dan otot. Kemudian lemak akan di simpan disekitar perut dan dibawah kulit
(Kharismawati, 2010).

Pengukuran Obesitas

Menurut Supariasa dkk, 2012 pengukuran status gizi dapat dilakukan dengan metode
antropometri. Metode ini menggunakan pengukuran terhadap berat badan, tinggi badan, dan
tebal lapisan kulit. Pengukuran tersebut bervariasi menurut umur dan kebutuhan gizi.
Antropometri dapat memberikan informasi tentang riwayat gizi masa lampau. Tingkat
obesitas dapat dihitung menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai berikut :

Keterangan :

IMT : Indeks Massa Tubuh

BB : Berat Badan

TB : Tinggi Badan

Sumber: Supariasa, dkk (2012)

Dampak Obesitas

Obesitas yang terjadi pada masa remaja ini perlu mendapatkan perhatian, sebab obesitas
yang timbul pada waktu anak dan remaja bila kemudian berlanjut hingga dewasa akan sulit di
atasi. Beberapa dampak yang terjadi dalam jangka panjang menurut Damayanti, 2008
diantaranya adalah sebagai berikut :

a.Sindrom resistensi insulin

b.Tekanan Darah Tinggi

c.Penyakit Jantung Koroner

d.Gangguan pernafasan seperti asma, nafas pendek, menggorok saat tidur dan tidur apnue.

e.Gangguan tulang persendian

Faktor Risiko Obesitas


Faktor risiko obesitas dipengaruhi oleh banyak faktor. Sebagian besar faktor risiko obesitas
yaitu jenis kelamin, faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktivitas fisik, asupan
makan, sosial ekonomi (Putri, 2015)

Tatalaksana

Tatalaksana obesitas bersifat komprehensif mencakup penanganan obesitas dan dampak yang
terjadi. Prinsip dari tatalaksana obesitas adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan
keluaran energi dan mencakup pengaturan diet, peningkatan aktivitas fisik, merubah pola hidup,
dan keterlibatan keluarga dalam proses terapi (Sjarif, 2011).

•Pengaturan diet

Prinsip pengaturan diet pada anak obesitas adalah diet seimbang sesuai dengan Recommended
Daily allowance (RDA). Kalori yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan normal.
Pengurangan kalori berkisar 200-500 kalori sehari dengan target penurunan berat badan 0,5 kg
per minggu. Penurunan berat badan ditargetkan sampai mencapai kira-kira 10% di atas berat
badan ideal atau cukup dipertahankan agar tidak bertambah, karena pertumbuhan linier masih
berlangsung (Sjarif, 2011; Reed dkk., 2015).

•Pengaturan aktivitas fisik

Cara yang dilakukan adalah melakukan latihan dan meningkatkan aktivitas harian.

Peningkatan aktivitas fisik dapat menurunkan nafsu makan dan meningkatkan laju metabolisme.

•Modifikasi perilaku

Prioritas utama dalam tatalaksana obesitas adalah perubahan perilaku dan perlu

menghadirkan peran orangtua sebagai komponen intervensi.

•Terapi intensif

Terapi intensif diterapkan pada obesitas anak dan remaja yang disertai penyakit penyerta dan
tidak memberikan respons terhadap terapi konvensional.

Diagnosis

Secara klinis obesitas dapat dengan mudah dikenali dengan tanda dan gejala yang khas antara
lain wajah membulat, pipi tembem, dagu rangkap, leher relatif pendek, dada yang membesar
dengan payudara yang membesar, perut membuncit dengan dinding perut yang berlipat-lipat
dan kedua tungkai umumnya berbentuk X. Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan
pengukuran yang obyektif dengan pengukuran antropometrik dan laboratorik (Sjarif, 2011).
3. Dislipidemia (Epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan, tatalaksana,
komplikasi dan prognosis)

Definisi Dislipidemia

Dislipidemia adalah keadaan kadar lipid yang abnormal pada plasma dan mencakup spectrum
yang luas. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, LDL, dan
trigliserida serta penurunan kadar HDL (Dipiro et al, 2015)

Klasifikasi Dislipidemia

Klasifikasi dislipidemia berdasarkan proses terjadinya penyakit yaitu :

1) Dislipidemia Primer

Dislipidemia primer yaitu dislipidemia yang disebabkan karena kelainan penyakit genetik dan
bawaan yang dapat menyebabkan kelainan kadar lipid dalam darah. Dislipidemia primer yang
berhubungan dengan obesitas ditandai dengan peningkatan trigliserida, penurunan kadar
HDL, LDL, dan komposisi abnormal (Grundy, 2004).

2) Dislipidemia Sekunder

Dislipidemia Sekunder yaitu dislipidemia yang disebabkan oleh suatu keadaan seperti
hiperkolesterolemia yang diakibatkan oleh hipotiroidisme, syndrome nefrotik, kehamilan,
anoreksia nervosa, dan penyakit hati obstruktif. Hipertrigliserida disebabkan oleh diabtes
mellitus, konsumsi alkohol, gagal ginjal kronik, miokard infark, dan kehamilan. Selain itu
dislipidemia dapat disebabkan oleh gagal ginjal akut, dan penyakit hati (Grundy, 2004).

Epidemiologi Dislipidemia

Data dari American Heart Association diperkirakan bahwa saat ini terdapat 98 juta warga
Amerika mempunyai kadar kolesterol lebih dari 200 mg/dl dan diperkirakan akan terus
meningkat. Dislipidemia merupakan faktor resiko primer utuk penyakit jantung koroner dan
berperan sebelum faktor resiko utama lainnya muncul. Data epidemiologi menunjukkan
bahwa setiap penurunan LDL sebesar 30 mg/dL maka akan terjadi penurunan resiko untuk
penyakit jantung koroner sebesar 30% (Grundy, 2004).

Etiologi Dislipidemia

Etiologi dislipidemia dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya seperti:

1) Faktor Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan faktor yang berhubungan dengan rendahnya kolesterol HDL. Resiko
terjadinya dislipidemia pada wanita lebih besar daripada pria. Sebagaimana penelitian Cooper
pada 589 perempuan didapatkan respon peningkatan kolesterol sedikit berbeda yaitu kadar
LDL kolesterol meningkat lebih cepat sedangkan kadar HDL kolesterol juga meningkat
sehingga rasio kadar kolesterol total/HDL menjadi rendah (Djauzi, 2005).

2) Faktor Usia

Semakin tua usia seseorang maka fungsi organ tubuhnya semakin menurun, begitu juga
dengan penurunan aktivitas reseptor LDL, sehingga bercak perlemakan dalam tubuh semakin
meningkat dan menyebabkan kadar kolesterol total lebih tinggi, sedangkan kolesterol HDL
relative tidak berubah. Pada usia 10 tahun bercak perlemakan sudah dapat ditemukan di
pembuluh darah. Prevalensi hiperkolesterolemia pada kelompok usia 25-34 tahun adalah
9,3% dan meningkat sesuai dengan pertambahan usia hingga 15,5% pada kelompok usia 55-64
tahun (Djauzi, 2005).

3) Faktor Genetik

Faktor genetik merupakan salah satu faktor terjadinya dislipidemia. Dalam ilmu genetika
menyebutkan bahwa gen diturunkan secara berpasangan memerlukan satu gen dari ibu dan
satu gen dari ayah, sehingga kadar hiperlipidemia tinggi dan diakibatkan oleh faktor
dislipidemia primer karena faktor genetik (Djauzi, 2005).

4) Faktor Kegemukan

Salah satu penyebab kolesterol naik adalah karena kelebihan berat badan atau juga bisa
disebut dengan penyakit obesitas. Kelebihan berat badan ini juga bisa disebabkan oleh
makanan yang terlalu banyak yang mengandung lemak jahat tinggi di dalamnya. Kelebihan
berat badan dapat meningkatkan trigliserida dan dapat menurunkan HDL (Anwar, 2004).

5) Faktor Olahraga

Manfaat berolahraga secara teratur dapat membantu untuk meningkatkan kadar kolesterol
baik atau HDL dalam tubuh. Selain itu berolahraga mampu meproduksi enzim yang berperan
untuk membantu proses memindahkan kolesterol LDL dalam darah terutama pada pembuluh
arteri kemudian dikembalikan menuju ke hati untuk diubah menjadi asam empedu. Asam
empedu ini diperlukan melancarkan proses pencernaan kadar lemak dalam darah. Semakin
rutin berolahraga dengan teratur maka kadar kolesterol LDL dalam tubuh akan semakin
berkurang sampai menuju ke titik normal (Arisman, 2008).

6) Faktor Merokok

Merokok dapat meningkatkan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida, dan
menurunkan kolesterol HDL. Ketika pengguna rokok menghisap rokok maka secara otomatis
akan memasukkan karbon monoksida ke dalam paru-paru dan akan merusak dinding
pembuluh darah. Nikotin yang terkandung dalam asap rokok akan merangsang hormone
adrenalin, sehingga akan mengubah metabolisme lemak yang dapat menurunkan kadar
kolesterol HDL dalam darah (Anwar, 2004).

7) Faktor Makanan
Konsumsi tinggi kolesterol menyebabkan hiperkolesterolemia dan arterosklerosis. Asupan
tinggi kolesterol dapat menyebabkan peningkatan kadar kolestertol total dan LDL sehingga
mempunyai resiko terjadinya dislipidemia (Anwar, 2004).

Patofisiologi

Kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid diangkut dalam darah sebagai kompleks lipid dan
protein (lipoprotein). Lipid dalam darah diangkut dengan 2 cara yaitu jalur eksogen dan jalur
endogen. Jalur eksogen yaitu trigliserida dan kolesterol yang berasal dari makanan dalam usus
dikemas sebagai kilomikron. Selain kolesterol yang berasal dari makanan dalam usus juga
terdapat kolesterol dari hati yang diekskresi bersama empedu ke usus halus. Baik lemak di
usus halus yang berasal dari makanan maupun yang berasal dari hati disebut lemak eksogen.
Jalur endogen yaitu trigliserida dan kolesterol yang disintesis oleh hati mengalami hidrolisis
dalam sirkulasi oleh lipoprotein lipase yang juga menghidrolisis kilomikron menjadi partikel
lipoprotein yang lebih kecil. LDL merupakan lipoprotein yang mengandung kolesterol paling
banyak (60-70%). Lipoprotein dikelompokkan menjadi 6 kategori yaitu : I (Kilomikron), IIa
(LDL), IIb (LDL+very-low-density lipoprotein [VLDL]), III (intermediate density lipoprotein), IV
(VLDL), V (VLDL+kilomikron) (Dipiro et al, 2015).

Pengelolaan Dislipidemia

Pengelolaan dislipidemia adalah upaya non farmakologis yang berupa diet, latihan jasmani,
serta pengelolaan berat badan. Tujuan terapi diet adalah menurunkan resiko penyakit jantung
koroner dengan mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol serta mengembalikan
keseimbangan kalori. Perbaikan keseimbangan kalori biasanya memerlukan peningkatan
penggunaan energi melalui kegiatan jasmani serta pembatasan asupan kalori.

a. Terapi Non Farmakologi

1.Terapi Nutrisi Medis

Pasien dengan penyakit dislipidemia dianjurkan untuk mengurangi asupan lemak jenuh dan
lemak trans tidak jenuh sampai < 7-10% total energi. Penggantian makanan sumber kolesterol
dan lemak jenuh dengan makanan alternative lainnya misal produk susu rendah lemak. Pasien
disarankan mengonsumsi makanan padat gizi (sayuran, kacang-kacangan, dan buah) serta
dianjurkan untuk menghindari makanan tinggi kalori (makanan berminyak dan soft drink)
konsumsi makanan suplemen contohnya asam lemak omega 3, makanan tinggi serat dan
sterol. Meskipun begitu, upaya perubahan pola diet harus dilakukan secara bertahap
(Sugiarto, 2015).

2.Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik yang dianjurkan merupakan program latihan yang mencakup setidaknya 30
menit aktivitas fisik dengan intensitas sedang (menurunkan 4-7 kkal/menit) 4 sampai 6 kali
seminggu, dengan pengeluaran minimal 200 kkal/hari. Kegiatan yang disarankan meliputi
jalan cepat, bersepeda, dan berenang. Tujuan aktivitas fisik harian dapat dipenuhi dalam satu
sesi atau beberapa sesi sepanjang rangkaian dalam sehari (minimal 10 menit). Bagi beberapa
pasien, beristirahat selama beberapa saat disela aktivitas penguatan otot dianjurkan
dilakukan minimal 2 hari seminggu (Sugiarto, 2015).

b. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu terapi dalam jangka pendek dan
jangka panjang. Tujuan dari terapi farmakologi dislipidemia dalam jangka pendek adalah
untuk mengontrol kadar LDL dan HDL dalam darah. Tujuan jangka panjang untuk mencegah
terjadinya jantung koroner. Cara penanganannya dengan menormalkan kadar kolesterol LDL
dan kolesterol HDL dalam darah (Anwar, 2004).

4. Tatalaksana

a. Obesitas (farmako & Non Farmako)

Obesitas farmako

Obat untuk Obesitas


Obat yang bekerja di usus menghambat penyerapan lemak atau kalori ke dalam tubuh
dan obat yang bekerja secara sentral pada pusat pengaturan nafsu makan di otak,
sehingga nafsu makan dapat ditekan. Sebenarnya masih ada obat yang beredar akhir-
akhir ini disebut sebagai fat burner, yang bekerja membakar lemak di bawah kulit pada
orang gemuk. Beberapa obat lain yang bekerja mengatur hormon tertentu, dapat pula
dipakai menekan nafsu makan seseorang. Pada obesitas yang sangat berat, dimana upaya
diet, olahraga dan obat sudah diberikan namun belum ada hasil yang menggembirakan,
maka ahli bedahlah yang akan berperan melakukan pemotongan sebagian usus si gemuk,
atau operasi bariatik dengan memasang klem pada lambung. Beberapa rumah sakit juga
dapat melakukan penyedotan lemak perut atau liposuction. Adapula yang melakukan
mesoterapi, yaitu suntikan ke bawah kulit untuk membakar lemak. Mengingat orang
obesitas biasanya juga disertai penyakit atau komplikasi lain, maka semua tindakan di
atas harus dipersiapkan dengan baik, karena bisa memberikan dampak yang kurang baik
bagi si pasien. Kerjasama yang baik dari suatu tim dokter akan bisa memecahkan masalah
kegemukan anda.

Tatalaksana

Tatalaksana obesitas bersifat komprehensif mencakup penanganan obesitas dan dampak


yang terjadi. Prinsip dari tatalaksana obesitas adalah mengurangi asupan energi serta
meningkatkan keluaran energi dan mencakup pengaturan diet, peningkatan aktivitas fisik,
merubah pola hidup, dan keterlibatan keluarga dalam proses terapi (Sjarif, 2011).

•Pengaturan diet
Prinsip pengaturan diet pada anak obesitas adalah diet seimbang sesuai dengan
Recommended Daily allowance (RDA). Kalori yang diberikan disesuaikan dengan
kebutuhan normal. Pengurangan kalori berkisar 200-500 kalori sehari dengan target
penurunan berat badan 0,5 kg per minggu. Penurunan berat badan ditargetkan sampai
mencapai kira-kira 10% di atas berat badan ideal atau cukup dipertahankan agar tidak
bertambah, karena pertumbuhan linier masih berlangsung (Sjarif, 2011; Reed dkk., 2015).

•Pengaturan aktivitas fisik

Cara yang dilakukan adalah melakukan latihan dan meningkatkan aktivitas harian.

Peningkatan aktivitas fisik dapat menurunkan nafsu makan dan meningkatkan laju
metabolisme.

•Modifikasi perilaku

Prioritas utama dalam tatalaksana obesitas adalah perubahan perilaku dan perlu

menghadirkan peran orangtua sebagai komponen intervensi.

•Terapi intensif

Terapi intensif diterapkan pada obesitas anak dan remaja yang disertai penyakit penyerta
dan tidak memberikan respons terhadap terapi konvensional.

b. Sindrom metabolik (farmako & Non Farmako)

Adapun penatalaksanaan sindrom metabolik adalah sebagai berikut :

1. Latihan Fisik

Otot rangka merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap insulin didalam tubuh, dan
merupakan target utama terjadinya resistensi insulin. Latihan fisik terbukti dapat
menurunkan kadar lipid dan resistensi insulin didalam otot rangka. Pengaruh latihan fisik
terhadap sensitivitas insulin terjadi dalam 24 – 48 jam dan hilang dalam 3 sampai 4 hari.
Jadi aktivitas fisik teratur hendaklah merupakan bagian dari usaha untuk memperbaiki
resistensi insulin. Pasien hendaklah diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan
derajat aktifitas fisiknya. Manfaat paling besar dapat diperoleh bila pasien menjalani
latihan fisik sedang secara teratur dalam jangka panjang.Kombinasi latihan fisik aerobik
dan latihan fisik menggunakan beban merupakan pilihan terbaik. Dengan menggunakan
dumbbell ringan dan elastic exercise band merupakan pilihan terbaik untuk latihan
dengan menggunakan beban. Jalan kaki dan jogging selama satu jam perhari juga terbukti
dapat menurunkan lemak viseral secara bermakna pada laki-laki tanpa mengurangi
jumlah kalori yang dibutuhkan.

2. Diet
Sasaran utama dari diet terhadap sindrom metabolik adalah menurunkan risiko penyakit
kardiovaskular dan diabetes melitus. Review dari Cochrane Database mendukung peranan
intervensi diet dalam menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Bukti-bukti dari suatu
studi besar menunjukkan bahwa diet rendah sodium dapat membantu mempertahankan
penurunkan tekanan darah. Hasil-hasil dari studi klinis diet rendah lemak selama lebih
dari 2 tahun menunjukkan penurunan bermakna dari kejadian komplikasi kardiovaskular
dan menurunkan angka kematian total.

The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation
and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) merekomendasikan tekanan darah sistolik
antara 120 – 139 mmHg atau diastolik 80 – 89 mmHg sebagai stadium pre hipertensi,
sehingga modifikasi gaya hidup sudah mulai ditekankan pada stadium ini untuk mencegah
penyakit kardiovaskular. Berdasarkan studi dari the Dietary Approaches to Stop
Hypertension (DASH), pasien yang mengkonsumsi diet rendah lemak jenuh dan tinggi
karbohidrat terbukti mengalami penurunan tekanan darah yang berarti walaupun tanpa
disertai penurunan berat badan.

Penurunan asupan sodium dapat menurunkan tekanan darah lebih lanjut atau mencegah
kenaikan tekanan darah yang menyertai proses menua. Studi dari the Coronary Artery
Risk Development in Young Adults mendapatkan bahwa konsumsi produk-produk rendah
lemak dan garam disertai dengan penurunan risiko sindrom metabolik yang bermakna.
Diet rendah lemak tinggi karbohidrat dapat meningkatkan kadar trigliserida dan
menurunkan kadar HDL kolesterol,sehingga memperberat dislipidemia. Untuk
menurunkan hipertrigliseridemia atau meningkatkan kadar HDL kolesterol pada pasien
dengan diet rendah lemak, asupan karbohidrat hendaklah dikurangi dan diganti dengan
makanan yang mengandung lemak tak jenuh (monounsaturated fatty acid = MUFA) atau
asupan karbohidrat yang mempunyai indeks glikemik rendah. Diet ini merupakan pola
diet Mediterrania yang terbukti dapat menurunkan mortalitas penyakit kardiovaskular.
Suatu studi menunjukkan adanya korelasi antara penyakit kardiovaskular dan asupan biji-
bijian dan kentang. Para peneliti merekomendasikan diet yang mengandung biji-bijian,
buah-buahan dan sayuran untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Efek jangka
panjang dari diet rendah karbohidrat belum diteliti secara adekuat, namun dalam jangka
pendek, terbukti dapat menurunkan kadar trigliserida, meningkatkan kadar HDL-
cholesterol dan menurunkan berat badan.

Pilihan tepat untuk menurunkan asupan karbohidrat adalah dengan mengganti makanan
yang mempunyai indeks glikemik tinggi dengan makanan indeks glikemik rendah yang
banyak mengandung serat. Makanan dengan indeks glikemik rendah dapat menurunkan
kadar glukosa post prandial dan insulin.

3. Edukasi
Dokter keluarga mempunyai peran besar dalam penatalaksanaan pasien dengan sindrom
metabolik, karena mereka dapat mengetahui dengan pasti tentang gaya hidup pasien
serta hambatan-hambatan yang dialami mereka dalam usaha memodifikasi gaya hidup
tersebut. Dokter keluarga juga diharapkan dapat mengetahui pengetahuan pasien tentang
hubungan gaya hidup dengan kesehatan, yang kemudian memberikan pesan-pesan
tentang peranan diet dan latihan fisik yang teratur dalam menurunkan risiko penyulit dari
sindrom metabolik. Dokter keluarga hendaklah mencoba membantu pasien
mengidentifikasi sasaran jangka pendek dan jangka panjang dari diet dan latihan fisik yang
diterapkan serta membantu mengidentifikasi adanya hambatan dalam menerapkan
perubahan gaya hidup.

4. Farmakoterapi
Terhadap pasien-pasien yang mempunyai faktor risiko dan tidak dapat ditatalaksana
hanya dengan perubahan gaya hidup, intervensi farmakologik diperlukan untuk
mengontrol tekanan darah dan dislipidemia. Penggunaan aspirin dan statin dapat
menurunkan kadar C- reactive protein dan memperbaiki profil lipid sehingga diharapkan
dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Intervensi farmakologik yang agresif
terhadap factor-faktor risiko telah terbukti dapat mencegah penyulit kardiovaskular pada
penderita DM tipe 2.

Jika ternyata olahraga dan diet tidak cukup optimal untuk mengobati sindrom metabolik,
maka mau tidak mau pada bagian inilah obat-obatan diperlukan. Jika ternyata seseorang
memiliki gejala-gejala sindrom metabolik maka, diskusi terperinci diperlukan antara
pasien dengan dokter, dikarenakan pengobatan untuk tiap pasien sifatnya unik, dan yang
terpenting adalah kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi, karena terapi ini sifatnya
berkelanjutan, komunikasi antara dokter dan pasien mutlak diperlukan, misalkan saja
mengenai pemilihan obat, menyangkut harga dan efek samping yang mungkin terjadi.

Anda mungkin juga menyukai