Anda di halaman 1dari 15

MODUL 2 DIABETES MELLITUS

SKENARIO 2:
KRISIS
Seorang wanita umur 28 tahun G1P0A0 8-10 minggu, dibawa ke UGD dalam keadaan tidak
sadar. TD ; 80/60 mmHg. Nadi : 110x/menit. T: 35,6 C. RR: 24x/menit. Alloanamnesis pasien
sangat pemilih dalam mengkonsumsi makanan Hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan kadar gula darah yang tinggi, glukosuria dan ketonuria. Dokter
mendiagnosanya sebagai diabetes mellitus tipe I (insulin dependent).
Bagaimana anda menjelaskan kasus diatas?

Jump 1 terminologi
diabetes melitus : suatu gangguan metabolik yang ditandai dengan peningkatan KGD akibat
kerusakan pada sekresi insulin dan kerja insulin
Glucosuria : Glikosuria adalah kondisi ketika urine atau air seni mengandung gula. Kondisi ini
umumnya disebabkan oleh hiperglikemia atau terlalu tingginya kadar glukosa darah.
Ketonuria : ketonuria merupakan terjadinya peningkatan benda keton didalam darah yang
melebihi nilai ambang batas ginjal yang kemudia diekskresikan ke dalam urin.
Istilah benda keton terdiri dari 3 senyawa yaitu asetoasetat, aseton, dan beta
hidroksibutirat. Ketonuria akibat gangguan metabolisme karbohidrat terjadi pada penderita
diabetes melitus, pelaku program diet, serta gangguan kehamilan seperti hiperemis.
Peningkatan kadar ketonuria didalam tubuh dapat menyebabkan ketoasidosis dan
penurunan pH darah jika tidak segera mendapatkan penanganan, pada ibu hamil dapat
menyebabkan kematian janin serta ketoacidic koma.

Jump 2 rumusan masalah


1. Apa saja pembagian dari penyakit diabetes?
2. Apa yang dapat menyebabkan seorang ibu hamil mengalami penurunan kesadaran?
3. Apa interprestasi dari TTV?
4. Makanan seperti apa yang cocok untuk ibu hamil?
5. Pemeriksaan apa yang di gunakan untuk memeriksakan kadar gula darah seseorang?
6. Apa yang dapat menyebabkan KGD tinggi?
7. Apa yang dapat menyebabkan glukosuria?
8. Apa yang menyebabkan ketonuria?
9. Apa faktor resiko dari diabetes melitus tipe 1?
10. Apa etiologi dari diabetes melitus tipe 1?
11. Apakah ada hubungan kondisi wanita ini dengan kehamilan nya?
12. apa terapi untuk tipe 1?

Jump 3 hipotesa
1. Diabetes dibagi dalam 4 jenis yaitu :
a. Diabetes Melitus Tipe 1
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun.
b. Diabetes Melitus Tipe 2
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa
glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin.
c. Diabetes Melitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi akibat penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar
glukosa darah.
d. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali
pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga.

2. ada banyak sekali hal yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran pada ibu hamil,
mulai dari keadaan tubuh terlalu lelah, kurang asupan gizi, tekanan darah rendah, dll.
jika dikaitkan dengan skenario, kemungkinan ibu hamil mengalami ketoasidosis diabetik
dokter mendiagnosa dgn dm tipe 1, saat menderita diabetes melitus, seseorang akan
mengalami kekurangan insulin atau insulin yang diproduksi tidak bisa bekerja dengan
normal (resistensi insulin). Hal ini menyebabkan glukosa yang ada di dalam darah
menumpuk dan tidak bisa digunakan, sementara sel-sel tubuh tetap membutuhkan bahan
makanan untuk menghasilkan energi.
Untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan energi, sel-sel tubuh akhirnya mengolah lemak
menjadi energi. Salah satu zat sisa hasil pengolahan lemak adalah zat yang bersifat asam,
yaitu keton. Jika hal ini terus berlanjut, keton akan menumpuk di dalam tubuh. Akibatnya,
tubuh menjadi lebih asam (asidosis).
salah satu faktor resiko dari ketoasidosis diabetik ini adalah pada saat hamil dan menstruasi,
dan salah satu gejalanya itu adalah penurunan kesadaran hingga pingsan

3. tekanan darah : 90/60 ( hipotensi)


Nadi : 110/menit ( normal)
Suhu tubuh : 35,6 c (hipotermia)
Rr : 24/menit (takipneu)

4. Makanan sumber protein


yang terdiri dari protein
hewani (ikan, telur, ayam,
daging, susu dan keju), dan
protein nabati (kacang-
kacangan berupa kacang
kedelai, kacang hijau,
kacang tanah, kacang merah,
dan kacang tolo), beserta
semua hasil olahannya
seperti tahu, tempe, dan susu
kedelai.

5. macam-macam pemeriksaan gula darah menurut Depkes(2008) :


- Gula darah sewaktu
- Gula darah puasa dan 2 jam setelah makan
beberapa cara untuk mengukur KGD :
- tes darah
- tes urin
- Glukometer
6. Penimbunan kgd itu disebabkan karena tidak ada nya perubahan dari glukosa ini menjadi
glikogen. Maka nya sebagian besar penimbunan kgd disebabkan karena rusaknya mesin
pengubah glukosa ini. Bisa disimpulkan mungkin rusaknya sel beta pankreas sehingga
mengakibatkan produksi insulin menjadi tidak maksimal.
Factor lain :
-kurangnya aktivitas fisik
- stress
- kurang tidur
- makanan cepat saji/junkfood dan kurangnya olahraga
- obesitas
- tekanan darah tinggi

7. Hampir dapat dipastikan bahwa penyebab glukosuria adalah simtoma hiperglisemia yang
tidak mendapatkan perawatan dengan baik.
Hiperglisemia ini merupakan suatu kondisi tingginya rasio gula dalam
plasma. Apabila kadar glukosa darah meningkat, filtrat glomerulus akan
mengandung lebih banyak glukosa daripada yang dapat direabsorpsi.
Pada individu normal, glukosuria dapat terjadi jika gula darah vena lebih
tinggi dari 160-180 mg/dl

8. Beberapa faktor penyebab ketonuria antara lain :


1. Tubuh tidak mampu menggunakan karbohidrat sebagai bahan
pembentukan energi, misalnya pada penderita diabetes melitus.
2. Ketidakseimbangan tubuh dalam mengatur pola makan seseorang yang
melakukan program diet, karena kelaparan, paparan dingin dan demam akut
pada anak-anak.
3. Hilangnya karbohidrat karena sering muntah,biasanya terjadi pada ibu
hamil trimester I serta adanya gangguan reabsorpsi ginjal.

9. Diabetes melitus tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas yang diperantarai
berbagai faktor. Faktor genetik dan dipicu oleh faktor lingkungan diduga sebagai penyebab
terjadinya proses autoimun yang menyebabkan destruksi sel beta pankreas. Onset diabetes
melitus tipe 1 biasanya terjadi sebeum usia 25-30 tahun. Beberapa faktor lingkungan yang
diduga memicu terjadinya diabetes melitus tipe 1 antara lain infeksi virus (rubela kongenital,
mumps, dan sitomegalovirus), radiasi, ataupun makanan (Rustama dkk., 2010).
Pada anak, jenis DM tersering adalah tipe-1, terjadi defisiensi insulin absolut akibat
kerusakan sel kelenjar pankreas oleh proses autoimun.
Risiko untuk mengalami DM tipe-1 berhubungan dengan kerusakan gen, saat ini diketahui
lebih dari 40 lokus gen yang berhubungan dengan kejadian DM tipe-1. Riwayat keluarga
jarang dijumpai, hanya 10%-15% pasien memiliki keluarga derajat pertama dan kedua
dengan DM tipe-1.
Faktor lingkungan yang berhubungan dengan DM tipe-1, antara lain, infeksi virus dan diet.
Sindrom rubella kongenital dan infeksi human enterovirus diketahui dapat mencetuskan DM
tipe-1. Konsumsi susu sapi, konsumsi sereal dini, dan vitamin D maternal diduga
berhubungan dengan kejadian DM tipe-1, tetapi masih dibutuhkan investigasi lebih lanjut.

10. Suatu kondisi kronis saat pankreas memproduksi insulin sedikit atau tidak sama sekali.
akibat dari penyakit autoimun dimana penyebab autoimunnya tidak diketahui pasti samapai
saat ini

11. Iya berhubungan,wanita hamil dengan faktor resiko seperti obesitas,riwayat diabetes
melitus gestasional sebelumnya, glukosuria,riwayat keluarga dengan diabetes,abortus
berulang,riwayat melahirkan dengan cacat bawaan atau bayi >4000 gr ,dan riwayat
preeklampsia maka dapat meningkatkan terjadinya diabetes melitus.Wanita dengan
diabetes pada kehamilan di trimester 1 bisa mengalami DM tipe 1 atau 2 sedangkan
diabetes melitus gestasional dapat didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga.

12. terapi farmako dm tipe 1 : pemberian insulin, setelah itu pengaturan makan dan
olahraga, pasien harus cek sendiri gula darah di rumah untuk memantau.
Dm tipe 2 : pemberian edukasi tentang peyakit dm, setelah itu berikan terapi gizi medis,
harus melakukan olahraga.

Jump 5 learning objective


1. Diabetes melitus pada anak
1. DM PADA ANAK
Pendahuluan
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik dengan insiden yang semakin
meningkat di seluruh dunia. Penyakit ini tidak hanya menyerang orang dewasa,
tetapi juga pada anak. Diabetes mellitus ditandai dengan peningkatan kadar gula
darah akibat gangguan produksi insulin, gangguan kerja insulin, atau keduanya.
Berdasarkan penyebabnya, DM dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu DM tipe-
1, DM tipe-2, DM tipe lain dan diabetes pada kehamilan atau gestasional. Pada anak,
jenis DM tersering adalah tipe-1, terjadi defisiensi insulin absolut akibat kerusakan
sel kelenjar pankreas oleh proses autoimun.1 Masalah utama DM tipe-1 di Indonesia
adalah kesadaran masyarakat dan tenaga kesehatan yang kurang sehingga banyak
pasien tidak terdiagnosis dan tidak mendapatkan tata laksana adekuat.

Epidemiologi DM tipe-1 di Indonesia


Berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2018, tercatat
1220 anak penyandang DM tipe-1 di Indonesia. Insiden DM tipe-1 pada anak dan
remaja meningkat sekitar tujuh kali lipat dari 3,88 menjadi 28,19 per 100 juta
penduduk pada tahun 2000 dan 2010. Data tahun 2003-2009 menunjukkan pada
kelompok usia 10-14 tahun, proporsi perempuan dengan DM tipe 1 (60%) lebih
tinggi dibandingkan laki-laki (28,6%). Pada tahun 2017, 71% anak dengan DM tipe-1
pertama kali terdiagnosis dengan Ketoasidosis Diabetikum (KAD), meningkat dari
tahun 2016 dan 2015, yaitu 63%.

Patogenesis DM Tipe-1 pada anak


Diabetes mellitus tipe-1 terjadi akibat destruksi sel beta pankreas akibat proses
autoimun, walaupun pada sebagian kecil pasien tidak didapatkan bukti autoimunitas
atau idiopatik. Umumnya, gejala klinis timbul ketika kerusakan sel-sel pankreas
mencapai ≥ 90%. Banyak faktor yang berkontribusi dalam patogenesis DM tipe-1, di
antaranya faktor genetik, epigenetik, lingkungan, dan imunologis. Namun, peran
spesifik masing-masing faktor terhadap patogenesis DM tipe-1 masih belum
diketahui secara jelas. Risiko untuk mengalami DM tipe-1 berhubungan dengan
kerusakan gen, saat ini diketahui lebih dari 40 lokus gen yang berhubungan dengan
kejadian DM tipe-1. Riwayat keluarga jarang dijumpai, hanya 10%-15% pasien
memiliki keluarga derajat pertama dan kedua dengan DM tipe-1

Diagnosis DM Tipe-1 pada Anak


Gejala DM tipe-1 pada anak sama dengan gejala pada dewasa, yaitu poliuria dan
nokturia, polifagia, yang dapat timbul adalah kesemutan, lemas, luka yang sukar
sembuh, pandangan kabur, dan gangguan perilaku. Pemeriksaan autoantibodi pada
anak dengan DM belum menjadi pemeriksaan yang rutin dilakukan karena
ketersediaan pemeriksaan yang belum luas dan relatif mahal di Indonesia. Penanda
serologi untuk autoimunitas terhadap sel β pankreas, antara lain, (1) glutamic acid
decarboxylase 65 autoantibodies (GAD), (2) Tyrosine phosphatase-like insulinoma
antigen 2 (IA2), (3) insulin autoantibodies (IAA), dan (4) β-cell-specific zinc
transporter 8 autoantibodies (ZnT8). Hasil positif pada salah satu penanda serologi
tersebut memastikan diagnosis DM tipe-1. Skrining DM tipe- 1 pada anak
asimtomatik dengan panel antibodi hanya direkomendasikan dalam penelitian dan
jika memiliki anggota keluarga derajat pertama dengan DM tipe-1.

Penanganan Diabetes pada Anak


Diabetes merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, akan tetapi dengan
tata laksana dan pemantauan yang adekuat anak dapat memiliki kualitas hidup yang
baik. Tujuan dari terapi pada DM tipe-1 adalah mencapai kontrol metabolik yang
optimal, mencegah komplikasi akut, mencegah komplikasi jangka panjang
mikrovaskular dan makrovaskular, serta membantu psikologis anak dan keluarga.
Lima pilar tata laksana DM tipe-1 pada anak adalah injeksi insulin, pemantauan gula
darah, nutrisi, aktivitas fisik, serta edukasi. Dalam menangani DM tipe-1, dibutuhkan
pendekatan holistik dari tim tenaga kesehatan terintegrasi yang terdiri atas dokter
anak endokrinologi, ahli gizi, psikiater atau psikolog dan, edukator DM.

Tantangan dalam tata laksana DM Tipe-1 di Indonesia


Dengan meningkatnya angka pasien anak dengan DM tipe-1, kebutuhan akan
perawatan DM Tipe-1 yang berkualitas juga meningkat termasuk petugas kesehatan
berkompetensi. Berbagai usaha telah dilakukan oleh IDAI, di antaranya adalah
kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, pelatihan dokter anak dan
dokter umum, pelatihan keluarga dan edukator, serta perkemahan diabetes. Peran
aktif pemegang kebijakan, termasuk Kementerian Kesehatan, asuransi kesehatan,
dan farmasi sangat penting untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan bagi
anak dengan DM tipe-1. Tantangan lainnya adalah dengan bertambahnya angka
kesintasan pasien dengan DM tipe-1, akan timbul komplikasi jangka panjang
sehingga dibutuhkan kesiapan tenaga kesehatan untuk menangani kondisi ini.

2. Diabetes melitus pada orang dewasa


Definisi
Diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme yang disebabkan beberapa
faktor. Diabetes melitus ditandai dengan adanya hiperglikemia kronis akibat
gangguan sekresi insulin, gangguan kerja insulin, ataupun keduanya. Diabetes
melitus tipe 1 lebih diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin akibat
kerusakan sel beta pankreas yang didasari oleh proses autoimun (Rustama dkk.,
2010).
Epidemiologi
Insiden DM tipe 1 bervariasi di setiap negara. Insiden tertinggi DM tipe 1 terdapat di
Finlandia yaitu 43 dari 100.000 anak usia kurang dari 15 tahun. Di Amerika Serikat,
didapatkan 215.000 anak dibawah usia 20 tahun mengalami DM tipe 1 pada tahun
2010, atau sekitar 1 dari 400 anak di Amerika Serikat mengalami DM tipe 1 (Menke
dkk., 2013). Insiden DM tipe 1 di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia,
juga diperkirakan akan terus meningkat. Insiden DM tipe 1 ini diperkirakan akan
terus meningkat sebanyak 3% setiap tahunnya.
Etiologi
Diabetes melitus tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas yang
diperantarai berbagai faktor. Faktor genetik dan dipicu oleh faktor lingkungan diduga
sebagai penyebab terjadinya proses autoimun yang menyebabkan destruksi sel beta
pankreas. Onset diabetes melitus tipe 1 biasanya terjadi sebeum usia 25-30 tahun.
Beberapa faktor lingkungan yang diduga memicu terjadinya diabetes melitus tipe 1
antara lain infeksi virus (rubela kongenital, mumps, dan sitomegalovirus), radiasi,
ataupun makanan (Rustama dkk., 2010).
Patogenesis
Diabetes melitus tipe 1 merupakan penyakit autoimun kronis yang berhubungan
dengan kehancuran selektif sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Timbulnya
penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta yang mengarah ke DM
tipe 1. Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan pada terjadinya DM tipe 1.
Walaupun hampir 80% penderita DM tipe 1 baru tidak memiliki riwayat keluarga
dengan penyakit serupa, faktor genetik diakui berperan dalam patogenesis DM tipe
1 (Rustama dkk., 2010). Beberapa lokus gen telah dipelajari untuk menentukan
hubungan faktor genetik dengan DM tipe 1. Pada awalnya, antigen B8 dan B15 HLA
kelas I diduga sebagai penyebab diabetes karena tingginya ekspresi antigen ini pada
penderita DM tipe 1 dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, saat ini fokus
genetik bergeser ke lokus HLA-DR kelas II, serta ditemukan bahwa DR3 dan DR4 lebih
menonjol daripada HLA-13 pada DM tipe 1. Selain itu, lokus alel HLA- DQ juga
berperan sebagai faktor premorbid DM tipe 1. Keterlibatan HLA-DQ ini dibuktikan
melalui analisis dengan metode Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
dan disekuensi langsung dengan menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR)
untuk memperkuat urutan DNA spesifik. Bukti lain menunjukkan bahwa faktor
genetik yang berperan sebagai salah satu faktor risiko DM tipe 1 berada dalam residu
asam amino tunggal dari rantai b- HLA-DQ. Penggunaan lokus spesifik
oligonukleotida untuk menyelidiki derivat rantai b-HLA-DQ semakin memperjelas
hubungan antara subtipe DR4 dan DM tipe 1 terkait alel DQ. Ditemukan bahwa
hanya mereka yang memiliki haplotipe DR4 positif yang membawa alel DQW8 pada
lokus HLA-DQ terkait dengan DM tipe 1 (Nam dkk., 2013).
Proses terjadinya DM tipe 1 telah dipelajari dan dianalisis dengan menggunakan
tikus non-obese diabetic (NOD). Aktivasi sel T CD4+ spesifik oleh antigen sel pulau
langerhans pankreas memegang peranan penting dalam perkembangan diabetes di
semua model hewan DM tipe 1. Sel T CD4+ spesifik untuk sel-sel pulau langerhans
yang berasal dari tikus NOD terbukti menginduksi insulitis dan diabetes saat
disuntikkan ke tikus prediabetes atau nondiabetes. Walaupun diketahui bahwa sel T
CD4+ cukup untuk menimbulkan insulitis, sel T CD8+ juga berkontribusi pada
kerusakan sel beta pankreas yang lebih luas. Temuan ini menunjukkan bahwa sel T
CD4+ mungkin hanya sel imunokompeten yang diperlukan dalam proses penyakit.
Hanya sebagian sel T CD4+ yang bertanggung jawab untuk induksi penyakit.
Penurunan regulasi respon autoimun diabetogenik oleh sel limpa yang berasal dari
hewan yang dirawat dengan adjuvan juga dapat dijelaskan oleh subset sel T CD4+
saling mempengaruhi (Danescu dkk., 2009, Homenta, 2012).
Penelitian awal menunjukkan bahwa pemberian terapi adjuvan tidak akan
menghalangi proses autoimun yang terjadi, melainkan menyebabkan diferensiasi sel
T dari Th-1 dominant dan memicu terdiferensiasinya sel T kearah Th-2 pathway.
Sitokin yang diproduksi oleh Th-1, yaitu interleukin (IL)-2 dan interferon gamma (IFN-
γ) diketahui memiliki korelasi dan meningkatkan induksi diabetes autoimun model
eksperimental. Sel Th-I menghasilkan IFN-γ yang akan mengaktifkan makrofag.
Penelitian dengan menggunakan mikroskopis elektron untuk mengamati pankreas
pada model hewan DM tipe 1 menunjukkan bahwa makrofag adalah sel pertama
yang menyerang sel-sel pulau langerhans (Busta dkk., 2011, Li dkk., 2014).
Interferon gamma berfungsi untuk mengaktivasi makrofag dan memicu mensintesis
nitric oxide (NO). Beberapa bukti menunjukkan bahwa aktivitas
sintesis NO terlibat dalam perkembangan DM tipe 1. Bukti-bukti ini menunjukkan
bahwa NO merupakan salah satu faktor patogen dalam proses autoimunitas DM tipe
1 dan adanya kemungkinan adanya golongan imunomodulator baru yang mampu
memodulasi sekresi NO (Chakhtoura dan Azar, 2013).
Dalam penelitian in vitro, didapatkan bahwa IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF-α),
dua sitokin utama yang diproduksi oleh makrofag, menyebabkan terjadinya
perubahan struktural sel beta pankreas serta menekan
kemampuan sel beta pankreas untuk memproduksi dan mensekresikan insulin
Pada infeksi rubella kongenital, 20% dari anak yang terinfeksi kemudian berkembang
menjadi diabetes. Hasil studi ini menunjukan bahwa selain urutan asam amino dari
rantai DQ-b yang berperan sebagai faktor premorbid, protein envelope virus rubella
yang serupa dengan antigen pada permukaan sel beta pankreas mendukung proses
mimikri antigen virus sebagai faktor etiologi dalam DM tipe 1 (Nam dkk., 2013).
Infeksi virus lainnya yang juga diperkirakan sebagai etiologi DM tipe 1 antara lain
enterovirus melalui mekanisme induksi autoantibodi dan mimikri antigen virus
sehingga menyebabkan sel beta pankreas, dan infeksi virus mumps/parotitis melalui
mekanisme infeksi pada sel beta pankreas dan meningkatkan ekspresi HLA kelas I
dan II pada sel beta pankreas (Tavares dkk., 2012).
Pada saat terjadi defisiensi insulin akibat kerusakan dari sel beta pankreas, maka
hiperglikemia terjadi akibat dari tiga proses, yaitu peningkatan glukoneogenesis
(pembuatan glukosa dari asam amino dan gliserol), percepatan glikogenolisis
(pemecahan glukosa disimpan) dan penurunan pemanfaatan glukosa oleh jaringan
perifer (Homenta, 2012).
Patofisiologi
Pada DM tipe 1 terjadi penurunan produksi dan sekresi insulin akibat destruksi sel-
sel beta pankreas oleh proses autoimun. Insulin memegang peranan penting dalam
proses sintesis cadangan energi sel. Pada keadaan normal, insulin disekresikan
sebagai respon terhadap adanya peningkatan glukosa darah yang diatur oleh suatu
mekanisme kompleks yang melibatkan sistem neural, hormonal, dan substrat. Hal ini
memungkinkan pengaturan disposisi energi yang berasal dari makanan menjadi
energi yang akan dipakai ataupun disimpan dalam bentuk lain. Dengan menurunnya
produksi insulin pada DM tipe 1, cadangan glukosa tidak dapat masuk kedalam hepar
ataupun sel otot untuk disimpan (glikogenesis) dan menimbulkan keadaan
hiperglikemia post prandial (sesudah makan) di dalam darah (Danescu dkk., 2009).
Menurunnya insulin post prandial pada DM tipe 1 akan mempercepat proses
katabolisme. Akibat glukosa yang tidak dapat memasuki hepar ataupun sel otot,
maka akan dikirimkan sinyal bahwa tubuh kekurangan cadangan glukosa. Hal ini
mengakibatkan tubuh memproduksi glukosa dengan berbagai cara, yaitu
glikogenolisis (pemecahan glikogen dalam hepar untuk diubah menjadi glukosa) dan
glukoneogenesis (proses pembentukan glukosa dari bahan selain karbohidrat).
Kedua proses tersebut memperparah kondisi hiperglikemia yang sebelumnya telah
terjadi. Akan tetapi karena glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel
hepar ataupun sel otot, maka hepar akan berusaha lebih keras lagi untuk
memproduksi glukosa. Selain itu juga akan terjadi proteolisis (proses pemecahan
cadangan protein dalam sel otot menjadi asam amino) dan lipolisis (proses
pemecahan lipid dalam jaringan adipose menjadi gliserol dan asam lemak bebas).
Keseluruhan proses tersebut akhirnya menimbulkan kondisi hiperglikemia puasa
(Rustama dkk., 2010).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi (>180 mg/dL), ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar. Hal ini mengakibatkan
lolosnya glukosa tersebut dari proses rearbsorpsi ginjal dan glukosa akan muncul
dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke urin,
ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan pula.
Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik yang menyebabkan pasien mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria). Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang
berlebihan, pasien akan mengalami dehidrasi dan rasa haus (polidipsia) (Homenta,
2012).
Gambar 2.2 Patofisiologi diabetes melitus tipe 1 (Homenta, 2012) Defisiensi insulin
juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang

menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera


makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Di dalam hepar juga terjadi
proses ketogenesis yang mengakibatkan meningkatnya konsentrasi keton di dalam
darah, menyebabkan terjadinya kondisi asidosis metabolik yang disebut ketoasidosis
diabetikum pada pasien dengan DM tipe I (Luong dkk., 2005).
Manifestasi klinis
Perjalanan penyakit diabetes melitus tipe 1 melalui 4 tahapan sebelum akhirnya
menetap seumur hidup. Keempat tahapan tersebut adalah:
(1). Tahap pre-diabetes
Fase pre-diabetes diawali dengan kerentanan genetik dan diakhiri dengan kerusakan
total sel beta pankreas. Kerusakan sel beta pankreas ditandai oleh menurunnya
sekresi C-peptide. Periode ini ditandai dengan ditemukannya Islet cell autoantibodies
(ICA), Glutamic acid decarboxylas (GAD) autoantibodies, Insulin autoantibodies (IA),
dan IA2 (dikenal sebagai ICA 512 atau tyrosine posphatase autoantibodies) yang
merupakan prediktor terhadap timbulnya diabetes klinis. Ditemukannya lebih dari
satu autoantibodi akan meningkatkan kemungkinan timbulnya diabetes. Sebagai
salah satu contoh, jika terdapat IA2 dan GAD, maka risiko untuk menjadi DM tipe 1
dalam kurun waktu lima tahun adalah sebesar 70% (Nam dkk., 2013).
(2). Tahap manifestasi klinis diabetes
Studi observasional jangka panjang menunjukkan bahwa gejala klinis DM tipe 1
sangat bervariasi, mulai dari gejala klasik DM yang muncul dalam beberapa minggu
atau muncul sebagai ketoasidosis diabetikum yang terjadi secara akut. Selain itu,
penelitian Diabetes Prevention Trial menunjukkan bahwa 73% pasien yang
didiagnosis DM tipe 1 tidak menunjukkan gejala klinis (Rustama dkk., 2010).
(3). Tahap "honeymoon"
Periode "honeymoon" ini merupakan periode "remisi parsial" akibat berfungsinya
kembali jaringan residual pankreas sehingga pankreas mensekresikan kembali sisa
insulin. Periode ini berakhir apabila pankreas sudah menghabiskan seluruh sisa
insulin. Secara klinis, periode ini dicurigai bila seorang penderita baru DM tipe 1
sering mengalami serangan hipoglikemia sehingga kebutuhan insulin harus dikurangi
untuk menghindari hipoglikemia. Periode ini berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu atau bulan setelah terapi insulin. Kriteria periode "honeymoon"
yaitu bila kebutuhan insulin kurang dari 0,5 U/kgBB/hari dengan HbAlc <7%. Hal ini
perlu dijelaskan kepada keluarga yang biasanya menganggap fenomena ini sebagai
tanda-tanda kesembuhan serta perlu dijelaskan kepada keluarga bahwa pada saat
cadangan insulin sudah habis, penderita akan kembali membutuhkan insulin dan
mulai memasuki periode ketergantungan total terhadap insulin (Rustama dkk.,
2010).
(4). Tahap ketergantungan terhadap insulin
Perjalanan penyakit dari periode "honeymoon" ke periode ketergantungan insulin
seumur hidup biasanya cukup lama, tetapi bisa dipercepat dengan adanya penyakit
lain. Terapi sulih insulin merupakan satu-satunya pengobatan untuk DM tipe 1.
Sebagian besar penderita DM tipe 1 mempunyai riwayat perjalanan klinis yang akut.
Biasanya gejala poliuria, polidipsi, polifagia, dan berat badan yang cepat menurun
terjadi antara satu sampai dua minggu sebelum diagnosis ditegakkan. Apabila gejala-
gejala klinis ini disertai dengan hiperglikemia maka diagnosis DM tipe 1 tidak
diragukan lagi. Insiden DM tipe I di Indonesia belum diketahui secara pasti, sehingga
sering terjadi kesalahan diagnosis yang mengakibatkan keterlambatan diagnosis.
Akibatnya pasien sering datang dengan ketoasidosis diabetikum pada saat awitan
diagnosis. Kesalahan diagnosis yang sering terjadi adalah pola napas kusmaul
disangka sebagai bronkopneumonia atau dehidrasi disangka disebabkan oleh
gastroenteritis (Ghosh dkk., 2009).
Diagnosis
Diagnosis diabetes melitus tipe 1 dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dan pemeriksaan
fisik dapat ditemukan gejala klasik DM tipe 1 antara lain poliuria, polidipsi, polifagia,
dan berat badan yang cepat menurun. Walupun demikian, beberapa penderita
bahkan tidak menampakkan satupun gejala seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya. Dalam mendiagnosis DM tipe 1, klinisi sangat dibantu dengan adanya
pemeriksaan penunjang, terutama untuk mengetahui kondisi hiperglikemia pada
pasien. Hal yang ditemukan pada pemeriksaan penunjang penderita dengan DM tipe
1 antara lain (Rustama, 2010):
1. Kadar glukosa darah puasa >126 mg/dL dan 2 jam setelah makan > 200 mg/dL.
2. Ketonemia dan/atau ketonuria.
3. Glukosuria
4. Bila hasil kadar glukosa darah puasa meragukan atau asimptomatis, perlu
dilakukan uji toleransi glukosa oral (oral glucosa tolerance test).
5. Kadar C-peptide.
6. Marker imunologis antara lain ICA, IA, GAD dan IA2.

3. Komplikasi DM
Komplikasi
Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi adalah hipoglikemia dan
ketoasidosis. Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi setelah tahun kelima,
berupa nefropati, neuropati, dan retinopati. Nefropati diabetik dijumpai pada satu
diantara tiga penderita DM tipe 1. Diagnosis dan pengobatan dini penting untuk
mengurangi terjadinya end stage renal disease yang memerlukan dialisis, sehingga
mampu memperpanjang umur penderita. Adanya mikroalbuminuria merupakan
parameter yang paling sensitif untuk identifikasi penderita risiko tinggi untuk
nefropati diabetik. Pada anak dengan DM tipe 1 selama >5 tahun, dianjurkan untuk
melakukan skrining mikroalbuminuria setiap tahunnya. Apabila tes menunjukkan
hasil positif, maka pemeriksaan dianjurkan untuk lebih sering dilakukan (Homenta,
2012).
Menurut Lemone, Burke & Bauldoff tahun 2015, komplikasi pada diabetes mellitus
terbagi dalam komplikasi akut dan komplikasi kronik.
1) Komplikasi Akut
Komplikasi akut terdiri dari hiperglikemia, diabetik ketoasidosis (DKA), dan
hiperglikemik hiperosmolar (HHS).
a.Hiperglikemia
Menurut International Society for Pediatrics and Adolescent Diabetes (2007),
hiperglikemia adalah suatu keadaan kadar gula darah sewaktu ≥ 11,1 mmol/L (200
mg/dL) ditambah dengan gejala diabetes atau kadar gula darah puasa (tidak
mendapatkan masukan kalori setidaknya dalam 8 jam sebelumnya) ≥ 7,0 mmol/L
(126 mg/dL). Masalah utama akibat hiperglikemia pada penyandang DM adalah DKA
dan HHS, dua masalah lain adalah fenomena fajar dan fenomena somogyi.
Fenomena fajar adalah kenaikan glukosa darah antara jam 4 pagi dan jam 8 pagi
yang bukan merupakan respons terhadap hipoglikemia. Penyebab pastinya tidak
diketahui namun bisa dipastikan dikarenakan oleh peningkatan hormon
pertumbuhan pada malam hari. Fenomena somogyi adalah kombinasi hipoglikemia
selama malam hari dengan pantulan kenaikan glukosa darah di pagi hari terhadap
kadar hiperglikemia (Corwin, 2009).
b. Diabetik Ketoasidosis (DKA)
Diabetik Ketoasidosis (DKA) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik
yang ditandai dengan oleh trias DKA yaitu hiperglikemia, asidosis dan ketosis yang
merupakan salah satu komplikasi akut metabolik diabetes mellitus yang paling serius
dan mengancam nyawa (Masharani, 2010). Keberhasilan penatalaksanaan DKA
membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia, asidosis dan kelainan elektrolit,
identifikasi faktor presipitasi komorbid dan yang terpenting adalah pemantauan
kondisi pasien terus menerus (Yehia, Epps, Golden, 2008).
c.Hiperglikemik Hiperosmolar (HHS)
HHS ditandai dengan osmolaritas plasma 340 mOsm/L atau lebih (kisaran normal
adalah 280-300 msOsm/L), naiknya kadar glukosa darah dengan cepat (lebih dari 600
mg/dl dan sering kali 1000-2000 mf/dl), dan perubahan tingkat kesadaran yang
berat. Faktor pemicu HHS yang paling umum adalah infeksi. Manifestasi gangguan ini
dapat muncul dari 24 jam hingga 2 minggu. Manifestasi dimulai dengan
hiperglikemia yang menyebabkan haluaran urine sehingga menyebabkan plasma
berkurang dan laju GFR menurun. Akibatnya glukosa ditahan dan air menjadi hilang,
glukosa dan natrium akan menumpuk di darah dan meningkatkan osmolaritas serum
yang akhirnya menyebabkan dehidrasi berat, yang mengurangi air intraseluler di
semua jaringan termasuk otak (Soewondo, Pradana, 2009).

2) Komplikasi Kronik
Komplikasi kronis terdiri atas komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular.
Komplikasi makrovaskular diantaranya adalah penyakit pada kardiovaskular,
penyakit arteri koroner, penyakit serebrovaskular, hipertensi, dan penyakit vaskuler
perifer dan infeksi. Sedangkan komplikasi mikrovaskular diantaranya adalah
retinopati, nefropati, ulkus kaki, neuropati sensorik dan neuropati otonom yang akan
menimbulkan berbagai perubahan pada kulit dan otot (Rochman, 2006).

4. Tatalaksana faramakologi dan non farmakologi


Hal pertama yang harus dipahami bahwa DM tipe 1 tidak dapat disembuhkan tetapi
kualitas hidup penderita dapat dipertahankan seoptimal mungkin dengan
mengusahakan kontrol metabolik yang baik. Kontrol metabolik yang baik adalah
mengusahakan kadar glukosa darah berada dalam batas normal atau mendekati nilai
normal, tanpa menyebabkan hipoglikemia. Walaupun masih ada kelemahan,
parameter HbAlc merupakan parameter kontrol metabolik standar pada diabetes
melitus tipe 1. Nilai HbAlc < 6,5% berarti kontrol metabolik baik, HbAlc < 8% cukup,
dan HbA1c > 8% dianggap buruk. Kriteria ini pada anak perlu disesuaikan dengan
usia anak mengingat semakin rendah HbA1c semakin tinggi risiko terjadinya
hipoglikemia (Ghosh dkk., 2009).
Komponen pengelolaan DM tipe 1 meliputi pemberian insulin, pengaturan makan,
olahraga, edukasi yang didukung oleh pemantauan mandiri. Keseluruhan komponen
berjalan secara terintegrasi untuk mendapatkan kontrol metabolik yang baik
(Rustama dkk., 2010).
(1) Insulin
Insulin merupakan elemen utama kelangsungan hidup penyandang DM
tipe 1. Saat ini telah dikembangkan beberapa jenis insulin yang memungkinkan
pemberian insulin dalam berbagai macam regimen. Dosis pemberian
insulintergantung pada banyak faktor antara lain usia, berat badan, status pubertas,
hasil pemantauan kadar glukosa darah dan HbA1c, lama dan fase diabetes,asupan
makanan, pola olahraga, dan rutinitas sehari-hari (Homenta, 2012).
Berdasarkan lama kerjanya, insulin dibagi menjadi 4 macam, yang pertama insulin
kerja pendek (short acting). Yang termasuk di sini adalah insulin regular (Crystal Zinc
Insulin / CZI ). Saat ini dikenal 2 macam insulin CZI, yaitu dalam bentuk asam dan
netral. Preparat yang ada antara lain : Actrapid, Velosulin, Semilente. Insulin jenis ini
diberikan 30 menit sebelum makan, mencapai puncak setelah 1– 3 macam dan
efeknya dapat bertahan samapai 8 jam. Kedua kerja sedang (intermediate acting).
Yang dipakai saat ini adalah Netral Protamine Hegedorn (NPH), MonotardÒ,
InsulatardÒ. Jenis ini awal kerjanya adalah 1.5 – 2.5 jam.
Untuk pasien DM tipe 2 hanya memerlukan insulin apabila tidak dapat mengontrol
kadar glukosa darah. Pemberian insulin kepada penderita diabetes hanya bisa
dilakukan dengan cara suntikan, jika diberikan melalui oral insulin akan rusak
didalam lambung. Setelah disuntikan, insulin akan diserap kedalam aliran darah dan
dibawa ke seluruh tubuh. Disini insulin akan bekerja menormalkan kadar gula darah
(blood glucose) dan merubah glukosa menjadi energi.

(2) Diet
Pengaturan makanan segera dilakukan setelah diagnosis. Ada beberapa
cara untuk menghitung kebutuhan kalori, antara lain berdasarkan berat badan ideal
dan berdasarkan umur. Jumlah kalori yang dibutuhkan jika dihitung
berdasarkann berat badan ideal memerlukan data umur, jenis kelamin, tinggi badan
dan berat badan saat penghitungan serta data kecukupan kalori yang dianjurkan.
Dapat pula menggunakan penghitungan berdasarkan umur yaitu bila anak berusia 0-
12 tahun menggunakan rumus 1000 + (usia dalam tahun x 100) kalori/hari,
sedangkan bila anak berusia lebih dari 12 tahun menggunakan rumus 2000 kal/m2.
Komposisi sumber kalori per hari yang disarankan sebaiknya terdiri atas: 50-55%
karbohidrat, 10-15% protein (semakin menurun dengan bertambahnya umur), dan
30-35% lemak. Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3
kali makanan kecil dengan rincian 20% berupa makan pagi, 10% berupa makanan
kecil, 25% berupa makan siang, 10% berupa makanan kecil, 25% berupa makan
malam, dan 10% berupa makanan kecil (Harris dkk., 2005).

(3) Olahraga
Pada penderita DM tipe 1 olahraga dapat membantu menurunkan kadar
glukosa darah, menimbulkan perasaan sehat dan meningkatkan sensitivitas terhadap
insulin, sehingga dapat mengurangi kebutuhan terhadap insulin. Perlu diwaspadai
bahwa o1ahraga pada penderita DM tipe 1 dapat menyebabkan keadaan
hipoglikemia. Oleh karena itu, penderita DM tipe 1 sebaiknya berolahraga teratur,
dengan menentukan waktu, lama, jenis, dan intensitas olahraga sebelumnya.
Pemberian asupan karbohidrat 1-3 jam sebelum berolahraga dan pemantauan
terhadap gula darah selama berolahraga wajib dilakukan untuk mencegah terjadinya
hipoglikemia (Ghosh dkk., 2009).

(4) Edukasi dengan pemantauan mandiri


Salah satu tujuan dalam pengelolaaan pasien DM tipe 1 adalah
kemampuan mengelola penyakitnya secara mandiri. Pasien sendiri dan keluarganya
mampu mengukur kadar glukosa darahnya secara cepat dan tepat. Pengukuran
kadar glukosa darah beberapa kali dalam sehari harus dilakukan untuk menghindari
terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia, yang sangat penting untuk dapat
menyesuaikan dosis insulin (Rustama dkk., 2010).
A. Farmakologi
Terapi farmakologi meliputi obat-obatan yang digunakan oleh pasien, baik itu itu
pemberian diabetik oral, insulin, atau kombinasi keduanya. Menurut ADA (2011),
tatalaksana terapi DM tipe 2 seperti pada gambar 1:

1) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)


Menurut Sugondo, (2006) dalam Farmakoterapi pada pengendalian glikemia
diabetes melitus tipe 2. Obat-obat diabetes oral adalah sebagai berikut:
a. Sulfonilurea
Sulfonilurea memiliki efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas dan menjadi pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal atau
kurang tetapi tidak dianjurkan untuk pasien geriatrik, gangguan ginjal, gangguan hati
serta malnutrisi. Contoh dari obat ini adalah glibenklamid, glimepirid dan glipizid.

b. Glinid
Secara umum cara kerjanya hampir sama dengan sulfonilurea, namun lebih
ditekankan pada sekresi insulin fase pertama. Obat ini baik untuk mengatasi
hiperglikemi postprandial. Contoh dari obat golongan ini adalah repaglinid.

c. Biguanid
Biguanid paling banyak digunakan adalah metformin yang merupakan pilihan
pertama untuk penderita DM gemuk disertai dislipidemia dan resistensi insulin. Cara
kerjanya menurukan kadar glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan
menurunkan produksi glukosa hati. Contoh dari obat golongan ini adalah metformin.

d. Tiazolidinedio
Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosaperifer. Tiazolidindion
dikontraindikasi pada gagal jantung karena meningkatkan retensi cairan. Contoh dari
obat golongan ini adalah pioglitazone.

e. Acarbose
Obat ini bekerja mengurangi absorbsi glukosa di usus halus. Acarbose tidak memiliki
efek samping hipglikemi seperti sulfonilurea tetapi efek sampingnya pada saluran
cerna seperti kembung dan flatulens.

Anda mungkin juga menyukai