Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

1. Pengertian Diabetes Melitus

Diabetes Melitus adalah suatu penyakit karena ketidakseimbangan antara

ketersediaan insulin dengan kebutuhan insulin yang disebabkan oleh adanya

gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Gangguan tersebut dapat

berupa defisiensi insulin absolut, gangguan pengeluaran insulin oleh sel beta

pankreas, ketidakadekuatan atau kerusakan pada reseptor insulin, produksi insulin

yang tidak aktif dan kerusakan insulin sebelum bekerja (Syamsiyah, 2017). Menurut

American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan suatu

kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO

dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan suatu kumpulan problema anatomik dan

kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi

insulin absolut atau relative dan gangguan fungsi insulin. Menurut IDAI world

diabetes foundation

Diabetes mellitus merupakan kondisi hiperglikemia persisten yang disebabkan oleh

defek pada sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya.

2. Tanda dan Gejala

Menurut Lanywati (2011) keluhan yang sering terjadi pada pasien Diabetes

Melitus adalah:
a. Poliura (banyak kencing)

Poliura merupakan gejala umum pada penderita diabetes melitus. Banyaknya

kencing ini disebabkan kadar gula darah dalam darah berlebihan, sehingga

merangsang tubuh untuk berusaha mengeluarkannya melalui ginjal bersama air dan

kencing. Gejala banyak kencing ini terutama menonjol pada waktu malam hari, yaitu

pada saat kadar gula dalam darah relatif tinggi.

b. Polidipsi (banyak minum)

Polidipsi merupakan akibat (reaksi tubuh) dari banyak kencing tersebut.

Untuk menghindari tubuh dari kekurangan cairan (dehidrasi), maka secara otomatis

akan timbul rasa haus/kering yang menyebabkan timbulnya keinginan untuk terus

minum selama kadar gula dalam darah belum terkontrol baik. Sehingga dengan

demikian, akan terjadi banyak kencing dan banyak minum.

c. Poliphagi (banyak makan)

Poliphagi merupakan gejala yang tidak menonjol. Terjadinya banyak makan

ini disebabkan berkurangnya cadangan gula dalam tubuh meskipun kadar gula dalam

darah tinggi. Sehingga dengan demikian, tubuh berusaha untuk memperoleh

tambahan cadangan gula dari makanan yang diterima.

3. Faktor resiko

Menurut Sudoyo (2006) di dalam Damayanti (2015), faktor-faktor resiko

terjadinya Diabetes Melitus antara lain:

a. Faktor keturunan (genetik)


Riwayat keluarga dengan Diabetes Melitus tipe 2, akan mempunyai peluang

menderita DM sebesar 15% dan resiko mengalami intoleransi glukosa yaitu

ketidakmampuan dalam metabolisme karbohidrat secara normal sebesar 30%. Faktor

genetik dapat langsung mempengaruhi sel beta dan mengubah kemampuannya untuk

mengenali dan menyebarkan rangsang sekretoris insulin. Keadaan ini meningkatkan

kerentanan individu tersebut terhadap faktor-faktor lingkungan yang dapat mengubah

integritas dan fungsi sel beta pankreas secara genetik. Faktor genetik yang dapat

meningkatkan resiko DM tipe 2 biasanya terjadi pada ibu dari neonatus yang beratnya

lebih dari 4 Kg, individu dengan gen obesitas, ras atau etnis tertentu yang mempunyai

insiden tinggi terhadap Diabetes Melitus.

b. Obesitas

Kelebihan berat badan ≥20% dari berat ideal atau BMI (Body Mass Index)

≥27kg/m2 merupakan pengertian dari obesitas atau kegemukan. Kegemukan dapat

menyebabkan berkurangnya jumlah reseptor insulin yang bekerja di dalam sel pada

otot skeletal dan jaringan lemak. Hal ini dinamakan resistensi insulin perifer.

Kegemukan juga merusak kemampuan sel beta untuk melepas insulin saat terjadi

peningkatan glukosa darah.

c. Usia

Perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia merupakan faktor resiko

penyebab penderita Diabetes Melitus tipe 2 diatas usia 30 tahun. Perubahan dimulai

dari tingkat sel, kemudian berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat

organ yang dapat mempengaruhi hemeostasis. Setelah seseorang mencapai umur 30


tahun, maka kadar glukosa darah naik 1-2% tiap tahun saat puasa dan akan naik 6-

13% pada 2 jam setelah makan, hal tersebut menunjukkan bahwa umur merupakan

faktor utama terjadinya kenaikan relevansi diabetes serta gangguan toleransi glukosa.

Menurut WHO, penderita usia terbagi atas dua golongan yaitu usia pertengahan (45-

59 tahun) dan lanjut usia (60-74 tahun).

d. Tekanan darah

Pada umumnya penderita Diabetes Melitus dapat mempunyai tekanan darah

tinggi (Hypertensi) yaitu tekanan darah ≥ 140/90 mmHg. Hipertensi yang tidak

dikelola dengan baik akan mempercepat kerusakan pada ginjal dan kelainan

kardiovaskular. Sebaliknya apabila tekanan darah dapat dikontrol maka akan

memproteksi terhadap komplikasi mikro dan makrovaskuler yang disertai

pengelolaan hiperglikemia yang terkontrol.

e. Aktivitas fisik

Salah satu yang merupakan faktor penyebab rsistensi insulin pada Diabetes

Melitus tipe 2 adalah kurangnya aktivitas fisik. Individu yang aktif memiliki insulin

dan profil glukosa yang lebih baik daripada individu yang tidak aktif. Mekanisme

aktivitas fisik yang aktif dapat mencegah atau menghambat perkembangan Diabetes

Melitus tipe 2 yaitu, penurunan resisten insulin/ peningkatan sensitivitas insulin,

peningkatan toleransi glukosa, penurunan lemak adiposa tubuh secara menyeluruh,

pengurangan lemak sentral, serta perubahan jaringan otot.

f. Kadar Kolesterol
Obesitas dan Diabetes Melitus erat kaitannya dengan kadar abnormal lipid

darah. Kurang lebih penderita hiperkolesterolemia adalah 38% pasien dengan BMI

27. Kadar HDL kolesterol ≤ 35 mg/dL (0,09 mmol/L) dan atau kadar trigliserida ≥

259 mg/dl (2,8 mmol/L), pada kondisi ini perbandingan antara HDL (High Density

Lipoprotein) dengan LDP (Low Density Lipoprotein) cenderung menurun (di mana

kadar trigliserida secara umum meningkat) sehingga memperbesar resiko

atherogenesis (Sudoyo, 2009). Terjadinya pelepasan asam-asam lemak bebas secara

cepat yang berasal dari suatu lemak visceral yang membesar merupakan salah satu

mekanisme yang diduga menjadi presdisposisi Diabetes tipe 2. Proses ini

menerangkan bahwa kemampuan hati untuk mengikat dan mengestrak insulin dari

darah menjadi berkurang karena terjadinya sirkulasi tingkat tinggi dari asam-asam

lemak bebas di hati. Hal ini dapat mengakibatkan hiperinsulinemia dan glukosa darah

meningkat. Peningkatan asam-asam lemak bebas juga akan mengakibatkan

pengambilan glukosa terhambat oleh sel otot.

g. Stres

Respon tubuh yang bersifat tidak spesifik terhadap setiap tuntutan atau beban

diatasnya merupakan pengertian dari stres. Stres akan muncul ketika seseorang

sedang memiliki beban atau tugas berat dan orang tersebut tidak dapat mengatasi

tugas yang dibebankan, sehingga orang tersebut dapat mengalami stres. Penderita

Diabetes yang mengalami stres dapat tanpa sengaja merubah pola makan, latihan,

penggunaan obat yang biasanya dipatuhi dan hal ini menyebabkan terjadinya

hiperglikemi.
h. Riwayat Diabetes Gestasional

Riwayat keluarga, obesitas, dan glikosuria merupakan faktor resiko DM

gestasional. Pada populasi ibu hamil dijumpai 2-5 % DM tipe ini. Wanita yang

memiliki riwayat melahirkan bayi dengan berat badan ≥ 4 kg akan memiliki resiko

untuk menderita Diabetes Melitus tipe 2. Pada ibu hamil biasanya tekanan darah akan

kembali normal setelah melahirkan namun dikemudian hari resiko untuk

mendapatkan Diabetes Melitus tipe 2 cukup besar.

4. Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi etiologis diabetes melitus (ADA, 2010).

1) Diabetes Melitus Tipe 1

Destruksi sel beta, menjurus kepada defisiensi insulin absolut, autoimun dan

idiopatik

2) Diabetes Melitus Tipe 2

Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin

relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.

3) Tipe Lain

Defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin

pankreas, endokrinopati, obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang,

sindrom genetik lain berkaitan dengan diabetes melitus.

4) Diabetes melitus gestasional

Diabetes melitus gestasional (DMG) adalah suatu gangguan toleransi

karbohidrat yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan sedang
berlangsung. Penilaian adanya risiko DMG perlu dilakukan sejak kunjungan pertama

untuk pemeriksaan kehamilan. Faktor risiko DMG antara lain: obesitas, adanya

riwayat keluarga dengan diabetes melitus, abortus berulang, riwayat melahirkan bayi

dengan kelainan kongenital atau melahirkan bayi dengan berat >4000 gram, riwayat

preeklamsia.

Karakteristik untuk membedakan diabetes melitus tipe 1 dan 2, yaitu:

1) Diabetes Melitus Tipe 1: mudah terjadi ketoasidosis, pengobatan harus dengan

insulin, onset akut, biasanya kurus, biasanya pada umur muda, berhubungan dengan

HLA-DR3 dan DR4, didapatkan Islet Cell Antibody (ICA), riwayat keluarga diabetes

(+) pada 10%, 30-50% kembar identik terkena.

2) Diabetes Melitus Tipe 2: tidak mudah terjadi ketoasidosis, tidak harus dengan

insulin, onset lambat, gemuk atau tidak gemuk, usia biasanya >45 tahun, tak

berhubungan dengan HLA, tidak ada Islet Cell Antibody (ICA), riwayat keluarga (+)

pada 30%, ± 100% kembar identik terkena

5. Komplikasi Diabetes Melitus tipe 2

Komplikasi Diabetes Melitus tipe 2 digolongkan menjadi komplikasi akut dan

komplikasi kronis. Komplikasi akut terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan

glukosa darah. Jenis komplikasi akut DM tipe 2 yaitu diabetik ketoasidosi,

hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, dan hipoglikemia. Komplikasi krois

(menahun) dibedakan menjadi 2 yaitu komplikasi mikrovaskuler yang disebabkan

oleh kelainan pembuluh darah halus (mikroangiopati) yang meliputi mata (retinopati),

ginjal (nefropati), dan kulit (dermopati). Sedangkan komplikasi makrovaskuler yang


diakibatkan karena perubahan ukuran diameter pembuluh darah. Komplikasi

makrovaskuler yang meliputi penyakit jantung, infark miokard, stroke, hipertensi,

neuropati, dan penyakit vaskuler (Lewis et al., 2011).

6. Pencegahan

1) Pencegahan primer

Semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegahn timbulnya hiperglikemia

pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.

Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena yang menjadi sasaran adalah

orang-orang yang belum sakit artinya mereka sehat. Cakupannya menjadi sangat luas.

Yang bertanggung jawab bukan hanya profesi tetapi seluruh masayakat termasuk

pemerintah. Semua pihak harus mempropagandakan pola hidup sehat dan

menghindari pola hidup berisiko. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah

penyakit jauh lebih baik daripada mengobatinya.

2) Pencegahan sekunder

Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan

terutama pada populasi risiko tinggi. Dengan demikian pasien diabetes yang

sebelumnya belum terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian dapat

dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi

masih reversibel.

3) Pencegahan tersier

Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi

itu.
Usaha ini meliputi :

 Mencegah timbulnya komplikasi

 Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi

kegagalan organ.

 Mencegah kecacatan tubuh

7. Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Penatalaksanaan dan pengelolaan penderita Diabetes Melitus dilakukan

bertujuan untuk menurunkan kadar glukosa darah, sehingga kondisi penderita

diabetes dapat terus stabil dan mencegah terjadinya komplikasi (Sutanto, 2013). Ada

empat komponen dalam penatalaksanaan Diabetes Melitus tipe 2, yaitu terapi nutrisi

(diet), latihan fisik, terapi farmakologi dan edukasi (Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia, 2015).

a. Manajemen diet

Tujuan umum penatalaksanaan diet penderita Diabetes Melitus tipe 2 yaitu

untuk mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah dalam rentang normal,

mencapai dan mempertahankan berat badan dalam batas-batas normal dari berat

badan idaman, mencegah komplikasi akut (Suyono, 2009). Prinsip pengaturan makan

pada penyandang Diabetes Melitus hampir sama dengan anjuran makan untuk

masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan

kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang Diabetes Melitus perlu

diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan


jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang

meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri (Syamsiyah, 2017).

b. Latihan fisik

Pada saat berolahraga resisten insulin berkurang, sebaliknya sensitivitas

insulin meningkat, hal ini menyebabkan kebutuhan insulin pada Diabetes Melitus tipe

2 akan berkurang. Respon ini hanya terjadi setiap kali berolahraga, tidak merupakan

efek yang menetap atau berlangsung lama, oleh karena itu olahraga harus dilakukan

terus menerus dan teratur (Soegondo, 2009).

c. Penyuluhan

Edukasi Diabetes Melitus merupakan pendidikan dan pelatihan mengenai

pengetahuan dan keterampilan bagi penderita Diabetes Melitus guna menunjang

perubahan perilaku, meningkatkan pemahaman penderita

d. Manajemen Obat

Pengelolaan Diabetes Melitus dimulai dengan pengaturan makan dan latihan

jasmani selama beberapa waktu (2–4 minggu). Bila kadar glukosa darah belum

mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan pemberian obat

hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan insulin. OHO saat ini terbagi dalam 2

kelompok, yaitu 1) obat yang memperbaiki kerja insulin, 2) obat yang meningkatkan

produksi insulin. Obat-obatan seperti metformin, glitazone, dan akarbose adalah obat-

obatan kelompok pertama. Mereka bekerja pada hati, otot, jaringan lemak, dan usus.

Sulfonil, Repaglinid, Nateglinid dan insulin yang disuntikkan adalah obat-obatan

kelompok kedua, yang bekerja meningkatkan pelepasan insulin yang disuntikkan


sehingga menambah kadar insulin disirkulasi darah (Damayanti, 2015). tentang

penyakitnya, sehingga tercapai kesehatan yang optimal, penyesuaian keadaan

psikologis dan meningkatkan kualitas hidup (Soegondo, 2009).

B. Konsep Pengetahuan

1. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui

pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan

raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga

(Notoatmodjo, 2014).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk

tindakan seseorang (overt behaviour). Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif

mempunyai enam tingkatan (Notoatmodjo, 2014), yaitu:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali

(recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang

telah diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkatan pengetahuan yang paling

rendah.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat mengintrepretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atas materi dapat mnejelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap obyek

yang dipelajari.

3. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan

sebagai aplikasi atau pengguanaan hukum-hukum, metode, prinsip, dan sebagainya

dalam konteks atau yang lain.

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek

ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan

masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah suatu bentuk kemampuan menyusun formulasi baru

dari formulasi-formulasi yang baru

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justfikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada

suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah

ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan menggunakan wawancara

atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek

penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita

ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu:

1. Faktor Internal meliputi:

a Umur

Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang

akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja dari segi kepercayaan

masyarakat yang lebih dewasa akan lebih percaya dari pada orang yang belum

cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman jiwa

(Nursalam, 2011).

b.Pengalaman

Pengalaman merupakan guru yang terbaik (experience is the best

teacher), pepatah tersebut bisa diartikan bahwa pengalaman merupakan

sumber pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan cara untuk memperoleh

suatu kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun dapat

dijadikan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan

dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam

memecahkan persoalan yang dihadapai pada masa lalu (Notoadmodjo, 2010).

c. Pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin banyak pula

pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya semakin pendidikan yang kurang akan

mengahambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru

diperkenalkan (Nursalam, 2011).

d. Pekerjaan

Pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk

menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya (Menurut Thomas

2007, dalam Nursalam 2011). Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi

lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan berulang

dan banyak tantangan (Frich 1996 dalam Nursalam, 2011).

e Jenis Kelamin

Istilah jenis kelamin merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum

laki-laki maupun perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun

kultural.

2. Faktor eksternal

a Informasi

Menurut Long (1996) dalam Nursalam dan Pariani (2010) informasi

merupakan fungsi penting untuk membantu mengurangi rasa cemas.

Seseorang yang mendapat informasi akan mempertinggi tingkat pengetahuan

terhadap suatu hal.

b Lingkungan
Menurut Notoatmodjo (2010), hasil dari beberapa pengalaman dan

hasil observasi yang terjadi di lapangan (masyarakat) bahwa perilaku

seseorang termasuk terjadinya perilaku kesehatan, diawali dengan

pengalaman-pengalaman seseorang serta adanya faktor eksternal (lingkungan

fisik dan non fisik)

c. Sosial budaya

Semakin tinggi tingkat pendidikan dan status sosial seseorang maka

tingkat pengetahuannya akan semakin tinggi pula.

3. Cara Memperoleh Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2010) terdapat beberapa cara memperoleh

pengetahuan, yaitu:

1. Cara kuno atau non modern

Cara kuno atau tradisional dipakai untuk memperoleh kebenaran pengetahuan,

sebelum ditemukannya metode ilmiah, atau metode penemuan statistik dan logis.

Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode ini meliputi:

a. Cara coba salah (trial and error)

Cara ini dilakukan dengan mengguanakan kemungkinan dalam

memecahkan masalah dan apabila kemungkinan tersebut tidak bisa dicoba

kemungkinan yang lain.

b. Pengalaman pribadi
Pengalaman merupakan sumber pengetahuan untuk memperoleh

kebenaran pengetahuan.

c. Melalui jalan fikiran

Untuk memeperoleh pengetahuan serta kebenarannya manusia harus

menggunakan jalan fikirannya serta penalarannya. Banyak sekali kebiasaan-

kebiasaan dan tradisi-tradisi yang dilakukan oleh orang, tanpa melalui

penalaran apakah yang dilakukan baik atau tidak. Kebiasaan-kebiasaan seperti

ini biasanya diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya.

Kebiasaan-kebiasaan ini diterima dari sumbernya sebagai kebenaran yang

mutlak.

2. Cara modern

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan lebih sistematis,

logis, dan alamiah. Cara ini disebut “metode penelitian ilmiah” atau lebih populer

disebut metodologi penelitian, yaitu:

a Metode induktif

Mula-mula mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala-gejala

alam atau kemasyarakatan kemudian hasilnya dikumpulkan astu

diklasifikasikan, akhirnya diambil kesimpulan umum.

b Metode deduktif

Metode yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk

seterusnya dihubungkan dengan bagian-bagiannya yang khusus.

4. Kriteria Pengetahuan
Menurut Arikunto (2010) pengetahuan seseorang dapat diketahui dan

diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu:

1. Baik, bila subyek menjawab benar 76%-100% seluruh pertanyaan.

2. Cukup, bila subyek menjawab benar 56%-75% seluruh pertanyaan.

3. Kurang, bila subyek menjawab benar <56% seluruh pertanyaan.

C. Konsep Perilaku

1. Pengertian Perilaku

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme

(makhluk hidup) yang bersangkutan. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku

manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang

mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis,

tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Dari uraian diatas dapta

disimpulkan bahwa perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia,

baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar

(Notoatmodjo, 2014).

Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2014) merumuskan bahwa perilaku

merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).

Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme,

dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner disebut “S-O-R”

atau Stimulus Organisme Respons. Skinner membedakan adanya dua respons, yaitu:
1. Respondent response atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut elicting

stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. Respons-respons

ini mencakup perilaku emosional.

2. Operasi response atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan

berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.

2. Bentuk Perilaku

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini maka perilaku dapat dibedakan

menjadi dua (Notoatmodjo, 2014), yaitu:

1. Perilaku tertutup (covert behaviour)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau

tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas

pada perhatian, persepsi pengetahuan/ kesadaran, dan sikap yang terjadi pada

orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum diamati secara jelas oleh

orang lain.

2. Perilaku terbuka (overt behaviour)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata

atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk

tindakan atau praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau

dilihat oleh orang lain.

3. Domain Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau

rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat

tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan.

Hal ini berarti meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons tiap-

tiap orang berbeda. Menurut Notoatmodjo (2014) faktor-faktor yang membedakan

respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku, yang dibedakan

menjadi dua, yaitu:

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang

bersifat given atau bawaan

2. Determinan atau faktor eksternal, yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial,

budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan merupakan faktor yang

dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

4. Proses Pembentukan Perilaku

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perihal yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2014) mengungkapkan

bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam dari

orang tersebut terjadi proses berurutan, disingkat AIETA yang artinya:

1. Awarness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui

stimulus (obyek) terlebih dahulu.

2. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.


3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.

5. Adoption, subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran,

dan sikapnya terhadap stimulus.

Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti

ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran dari sikap yang positif, maka perilaku

tersebut akan besifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku tidak

didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.

Anda mungkin juga menyukai