Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO


(BPPV)

Pembimbing :
Dr. Dumasari Siregar, Sp.THT,KL
Disusun oleh:
Yopi Anugrah Wati
030.14.202

KEPANITRAAN KLINIK ILMU THT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RSUD BUDHI ASIH
PERIODE 30 APRIL – 1 JUNI 2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

Nama Mahasiswa :Yopi Anugrah Wati

NIM : 030.14.202

Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu THT

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti


Periode Kepaniteraan :30 April – 1 Juni 2018

Judul Referat :Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)

Pembimbing :dr. Dumasari Siregar, Sp.THT,KL

Jakarta, Mei 2018

Pembimbing,

dr. Dumasari Siregar, Sp.THT, KL

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas


rahmat dan izin-Nya penyusun dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) tepat pada waktunya. Referat ini
disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik Bagian Ilmu THT RSUD
Budhi Asih.

Penyusun mengucapkan terimakasih kepada dr. Dumasari Siregar


Sp.THT, KLyang telah membimbing penyusun dalam mengerjakan referat ini,
serta kepada seluruh dokter yang telah membimbing penyusun selama di
kepaniteraan klinik Bagian Ilmu THT RSUD Budhi Asih. Dan juga ucapan terima
kasih kepada teman-teman seperjuangan di kepaniteraan, serta kepada semua
pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penyusun.

Penyusun sadar bahwa referat ini masih jauh darikesempurnaan, masih


banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
membangun sangat penyusun harapkan. Akhir kata, penyusun mengharapkan
semoga referat ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua.

Jakarta, Mei 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................................... i


KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. iii
BAB I ............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN...................................................................................................................... 1
BAB II ........................................................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 2
2.1 Definisi .............................................................................................................................. 2
2.2Anatomi .............................................................................................................................. 2
2.2.1 Telinga Luar............................................................................................................. 3
2.2.2 Telinga Tengah ....................................................................................................... 3
2.2.3 Telinga Dalam ......................................................................................................... 4
2.3 Fisiologi ............................................................................................................................. 5
2.3.1 Fisiologi Pendengaran........................................................................................... 5
2.3.2 Fisologi Terjadinya Keseimbangan .................................................................. 6
2.4 Epidemiologi .................................................................................................................... 7
2.5 Etiologi .............................................................................................................................. 8
2.6 Patofisiologi ..................................................................................................................... 8
2.7 Gejala Klinis ................................................................................................................. 11
2.8 Diagnosis........................................................................................................................ 11
2.9 Diagnosis Banding ...................................................................................................... 14
2.10 Tatalaksana ................................................................................................................. 14
2.11 Prognosis ..................................................................................................................... 18
BAB III ....................................................................................................................................... 19
KESIMPULAN ........................................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Vertigo merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terjadi akibat


gangguan keseimbangan pada system vestibular ataupun gangguan pada system
saraf pusat.(1)Salah satu penyebab gangguan keseimbangan perifer yaitu benign
paroxysmal positional vertigo (BPPV) / vertigo posisi paroksismal jinak (VPPJ).
Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) merupakan vertigo yang
dicetuskan oleh perubahan posisi kepala atau badan terhadap gaya grafitasi tanpa
disertai lesi pada sistem saraf pusat.(2)BBPV adalah gangguan vertigo yang paling
umum terjadi di masyarakat. Dalam beberapa studi menyatakan BPPV merupakan
penyebab tertinggi terjadinya vertigo yaitu sebanyak 17,7%sampai saat ini.(2,3,4,5)
Sekitar 50% penyebab BPPV adalah idiopatik, selain idiopatik penyebab
terbanyak adalah trauma kepala (17%) diikuti dengan neuritis vestibularis (15%),
migraine, implitasi gigi dan operasi telinga dapat pula sebagai akibat dari posisi
tidur lama pada pasien post operasi atau bed rest total lama.(2)
Kejadian BPPV ditandai dengan episode pendek namun berat dan
kemungkinan disertai mual atau muntah serta keringat dingin dan sering terjadi
pada pagi hari.Episode ini biasanya berlangsung kurang dari 30-40 detik, tetapi
kebanyakan sekitar 15 detik, dan sering ditemukan pada orang yang berusia antara
46-50 tahun baik laki-laki maupun perempuan.
Adapun gejala cardinal pada BPPV ini yaitu vertigo tiba-tiba yang
disebabkan oleh perubahan posisi kepala seperti membalikkan di tempat tidur,
berbaring di tempat tidur, mencari, berguling, membungkuk, atau perubahan
mendadak dalam posisi kepala. Gejalanya dapat berlangsung selama berhari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun, atau berulang selama
bertahun-tahun.(4,5,6)
Untuk itu pada referat ini penyusun akan membahas mengenai
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, tatalaksana dan
prognosis pada kejadian Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) merupakan vertigo yang
dicetuskan oleh perubahan posisi kepala atau badan terhadap gaya gravitasi.(1)
BPPV adalah gangguan vestibular yang ditandai dengan episode vertigo
dan dipicu oleh perubahan posisi kepala dan terjadi pada posisi kepala tertentu,
misalnya ketika seseorang tidur terbalik, perubahan posisi tidur atau gerakan
bangun cepat.(4)
Vertigo posisi paroksismal jinak (VPPJ) adalah gangguan keseimbangan
perifer berupa vertigo yang menddak muncul setelah perubahan posisi kepala.
Rekurensi VPPJ tinggi namun dapat membaik dengan sendirinya.(7)

2.2Anatomi

Gambar 1 Anatomi telinga


Pada dasarnya selain sebagai organ pendengaran telinga juga
merupakan organ keseimbangan yang dimiliki oleh tubuh manusia.
Telinga terbagi atas tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan
telinga bagian dalam.Setiap bagian memiliki komponen serta fungsi
masing-masing.

2
2.2.1 Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai
membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan
kulit.Liang telinga berbentuk huruf S dengan rangka tulang rawan pada
sepertiga bagian luar sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri
dari tulang. Pada sepertiga bagian kulit liang telinga terdapat banyak
kelenjar serumen (kelenjar keringat) dan rambut, sedangkan pada duapertiga
bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen. Membran timpani
berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat
oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas membran timpani disebut
dengan pars flaksida (shrapnel) sedangkan bagian bawah disebut pars tensa
(membrane propia). Pars flaksida terdiri dari dua lapis yaitu bagian luar
merupakan lanjutan dari epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi
oleh sel kubus bersilia. Pada pars tensa mempunyai satu lapis yaitu serat
kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier dibagian luar
dan sirkuler pada bagian dalam.
Bayangan menonjol dibagian bawah maleus membran timpani
disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of
light) kearah bawah yaitu pukul 5 pada membrane timpani kanan dan arah
pukul 7 pada membrane timpani kiri. Secara klinis refleks cahaya dinilai
misalnya pada gangguan tuba eustacius maka refleks cahaya akan mendatar.
Membran timpani dibagia atas 4 kuadran yaitu atas-depan, atas-belakang,
bawah-depan dan bawah-belakang untuk menyatakan letak perforasi
membrane timpani.
2.2.2 Telinga Tengah
Terdapat bagian dari membrane timpani yaitu pars flaksida terdapat
suatu daerah yang disebut dengan atik, ditempat ini terdapat aditus ad
antrum yang merupakan lubang yang mengubungkan telinga tengah dengan
antrum mastoid. Didalam telinga tengah terdapat tulang pendengaran yang
saling berhubungan yaitu maleus, inkus dan stapes.Prosesus longus maleus
melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus

3
melekat pada stapes.Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan
dengan koklea.Pengubung antara tulang-tulang pendengaran merupakan
persendian.Tuba Eustacius merubakan bagian yang menghubungkan antara
nasofaring dan telingan tengah.
Batas-batas yang membentuk telinga tengah terdiri dari batas luar
yaitu membrane timpani, batas depan oleh tuba eustacius, batas bawah oleh
vena jugularis , bagian belakang dibatasi oleh aditus ad antrum dan kanalis
fasialis pars vertikalis, batas atas dibatasi oleh tegmen timpani dan batas
dalam dibatasi oleh kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis,
tingkap lonjong, tingkap bundar dan promontorium.
2.2.3 Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah
lingkaran dan vstibuler yang terdiri dari tiga buah kanalis
semisirkularis.Helikotrema merupakan bagian ujung atau puncak koklea
yang menghubungkan perilimf skala timpani dengan skala vestibule.
Kanalis semirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap.Pada irisan melintang koklea
tampak skala vestibule sebelah atas, skala timpani disebelah bawah dan
skala media diantaranya.Skala vestibule dan skala timpani berisi perilimfa
sedangkan pada skala media berisi endolimfa.Terdapat perbedaan ion dan
Na di perlimfa dan endolimfa hal ini penting dalam pendengaran.Dasar skla
vestibule disebut sebagai membrane vestibule (reisssner’s membrane) dan
skala media adalah membrane basalis dan pada organ ini terletak organ
korti.Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membrane tektoria, dan pada membrane basal melekat sel rambut yang
terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti yang
membentuk organ korti.

4
2.3 Fisiologi
2.3.1 Fisiologi Pendengaran

Gambar 2 Fisiologi pendengaran


Terjadinya proses mendengar diawali dari ditangkapnya energi suara
berupa gelombang yang ditangkap oleh daun telinga. Kemudian gelobang
tersebut melewati kanalis austikus eksterna dan menggetarkan membran
timpani yang kemudian diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang akan
mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membrane timpani dan tingkap lonjong. Energi
getar yang di telah di amplifikasi selanjutnya akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimf pada skala vestibule
bergerak. Kemudian membran reissner’s akan mendorong endolimf
sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan
membran tektoria.
Setelah proses rangsangan mekanik terjadi akan menyebabkan
terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut reseptor organ korti yang mana
terjadi perubahan posisi. Defleksinya stereosilia akan menyebabkan kanal
ion terbuka dan terjadinya pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel.
Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut sehingga
melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang selanjutnya akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke
nucleus auditorius sampai ke korteks pendengarn di lobus temporalis untuk
persepsi suara.

5
2.3.2 Fisologi Terjadinya Keseimbangan

Gambar 3 Organ Korti


Keseimbangan dan orientasi tubuh terhadap lingkungan bergantung
kepada input sensoris dari reseptor vestibular, organ visual dan propioseptif
yang mana nanti akan di olah di SSP sehingga akan menggambarkan keadaan
posisi tubuh saat itu. Utrikulus dan sakulus merupakan pelebaran labirin
membrane yang terdapat dalam membrane labirin tulang.Pada setiap
pelebaran terdapat macula utrikulus yang didalamnya terdapat sel-sel reseptor
keseimbangan.Terdapat daerah pelebaran pada kanalis semisirkularis yang
berhubungan dengan utrikulus yang disebut dengan ampula yang berisi krista
ampularis yang terdiri dari sel-sel reseptor keseimbangan dan seluruhnya
tertutup oleh suatu substansi gelatin yang disebut kupula.
Gerakan atau perubahan pada kepala dan tubuh akan menimbulkan
perpindahan cairan endilomfa di labirin sehingga terjadi penekukan pada
silia. Silia yang menekuk menyebabkan perubahan permeabilitas membrane
sel sehingga ion kalsium masuk ke dalam sel. Sehingga terjadi proses
depolarisasi dan merangsang penglepasan neurotransmitter eksitator yang
selanjutnya akan meneruskan impuls sensoris melalui saraf aferen ke pusat
keseimbangan di otak. Sewaktu berkas silia terdorong ke arah berlawanan,
maka terjadi hiperpolarisasi.

6
Organ vestibular berfungsi sebagai transduser yang mengubah energi
mekanik akibat rangsangan otolit dan gerakan endolimfa didalam kanalis
semirkularis menjadi energy biolistrik sehingga dapat memberi informasi
mengenai perubahan posisi tubuh akibat percepatan linier atau percepatan
sudut.Dengan demikian dapat memberi informasi mengenai semua gerak
tubuh yang sedang berlangsung.
2.4 Epidemiologi

Gambar 4 Prevalensi vertigo


Benign paroxysmal positional vertigo merupakan penyebab vertigo
terbanyak dari semua penyebab vertigo yaitu mencapai 17,7%.Kejadian
BPPV ini berkisar antara 10-100 kasus per 100.000 jiwa pertahun dengan
20% kasus memiliki riwayat trauma kepala dan 10-15% dengan riwayat
neuronitis vestibular.(4,7)
Studi lain mengatakan kira-kira kejadian BPPV di jepang mencapai
10,7% hingga 17,3% per 100.000 kasus pertahunnya, meskipun begitu hal ini
tidak terlalu menjadi perhatian karena sebagian besar kasus BPPV sembuh
secara spontan dalam beberapa bulan.(3)
Kejadian BPPV banyak dialami pada usia antara dewasa muda sampai
lanjut usia atau sekitar 40 - >50 tahun baik pada laki-laki maupun
perempuan.BPPV banyak terjadi pada kanalis posterior (64%) dan kanalis
anterior (12%) dan tidak dapat ditentukan (23%).(4,7)

7
2.5 Etiologi

Penyebab utama pada BPPV yaitu debris otokonia meskipun sekitar


50% penyebab BPPV adalah idiopatik, selain idiopatik penyebab terbanyak
adalah trauma kepala (17%) diikuti dengan neuritis vestibularis (15%),
migraine, implitasi gigi dan operasi telinga dapat pula sebagai akibat dari
posisi tidur lama pada pasien post operasi atau bed rest total lama.BPPV
dapat berhubungan dengan penyakit meniere dan migren vestibular,yang
akhirnya menjadi osteopenia, osteoporosis, dan/atau konsentrasi serum yang
rendah vitamin D.(2,9)

2.6 Patofisiologi
BPPV terjadi saat otokonia yang merupakan suatu kalsium karbonat
yang terbentuk di macula utrikulus terlepas dan masuk ke dalam knalis
semisirkularis.Kalsium karbonat dua kali lebih padat dibandingkan
endolimfe, sehingga bergerak sebagai respon terhadap gravitasi dan
pergerakan akseleratif lain. Ketika kristal kalsium karbonat bergerak dalam
kanal semisirkular (kanalitiasis), mereka menyebabkan pergerakan endolimfe
yang menstimulasi ampula pada kanal yang terkena. Hal ini meyebabkan
sensasi berputar ketika terjadi perubahan posisi kepala.Lokasi tersering BPPV
adalah kanalis posterior yaitu kanal yang dipengaruhi oleh perbedaan
gravitasi. Lepasnya otokonia juga cukup sering terjadi pada kanalis
semisirkularis horizontal namun keluhan umumnya akan spontan baik
dibandingkan dengan posterior. BPPV jarang pula terjadi pada kanalis
semisirkularis anterior karena disebabkan posisi kanal yang paling atas
sehingga otokonia jarang sekali masuk kedalamnya.(5,6)
Hasil studi mengatakan bahwa BPPV dapat disebabkan oleh baik
canalithiasis atau cupulolithiasis dan secara teoritis dapat mempengaruhi
masing-masing dari tiga kanalis semisirkularis.

8
Gambar 5 Canalitiasis kanal posterioe dan cupulolitiasis kanal lateral
a. BPPV Kanal Posterior
Sebagian besar dari semua kasus BPPV adalah dari varian kanal
posterior.Agrawal dan Parnes menemukan partikel endolimus
mengambang bebas pada 30% dari telinga yang pernah dioperasi untuk
kanal posterior BPPV.Patofisiologi yang menyebabkan sebagian besar
kasus BPPV kanal posterior dianggap sebagai canalithiasis.Ini
dimungkinkan akibat debris yang mengambang bebas di endolimf
cenderung jatuh ke kanal posterior disebabkan karena kanal ini adalah
bagian vestibulum yang berada pada posisi yang paling bawah saat kepala
pada posisi berdiri ataupun berbaring.Mekanisme nistagmus yang terjadi
yaitu akibat partiket yang terakumulasi menjadi masa/kanalit di bagian
bawah dari kanalissemisirkularis posterior dan kanalit akan bergerak ke
bagian paling bawah saat kanalis mengami perubahan posisi atau dengan
gravitasi.Tarikan yang dihasilkan harus dapat melampaui resistensi dari
endolimfe pada kanalis semisirkularis dan elastisitas dari barier kupula,
agar bisa menyebabkan defleksi pada kupula. Hal tersebut diatas
menjelaskan periode laten yang terlihat selama Dix-Hallpike.(6)
b. BPPV Kanal Lateral (horizontal)
Dari bebrapa kasus BPPV, dapat dikatan BPPV kanal lateral adalah
kasus yang paling sedikit dibandingkan dengan BPPV kanal posterior.Hal
ini karena setiap saluran lateral yang miring ke atas dan memiliki

9
penghalang cupular di ujung atas. Oleh karena itu, debris otokoniayang
mengambang bebas di kanal lateral akan cenderung mengapung kembali
ke utrikulus sebagai akibat dari gerakan kepala alami.Sehingga jarang
terjadi vertigo akibat debris otokonia di kanalis lateral.
Dalam kanalitiasis pada kanal lateral, partikel paling sering
terdapat di lengan panjang dari kanal yang relatif jauh dari ampula. Jika
pasien melakukan pergerakan kepala menuju ke sisi telinga yang terkena,
partikel akan membuat aliran endolimfe ampulopetal, yang bersifat
stimulasi pada kanal lateral. Nistagmus geotropik (fase cepat menuju
tanah) akan terlihat. Jika pasien berpaling dari sisi yang terkena, partikel
akan menciptakan arus hambatan ampulofugal. Meskipun nistagmus akan
berada pada arah yang berlawanan, itu akan tetap menjadi nistagmus
geotropik, karena pasien sekarang menghadap ke arah berlawanan.
Stimulasi kanal menciptakan respon yang lebih besar daripada respon
hambatan, sehingga arah dari gerakan kepala yang menciptakan respon
terkuat (respon stimulasi) merupakan sisi yang terkena pada geotropic
nistagmus.
Kupulolitiasis memiliki peranan yang lebih besar pada BPPV tipe
kanal lateral dibandingkan tipe kanal posterior.Karena partikel melekat
pada kupula, sehingga vertigo sering kali berat dan menetap saat kepala
berada dalam posisi provokatif. Ketika kepala pasien dimiringkan ke arah
sisi yang terkena, kupula akan mengalami defleksi ampulofugal
(inhibitory) yang menyebabkan nistagmus apogeotrofik. Ketika kepala
dimiringkan ke arah yang berlawanan akan menimbulkan defleksi
ampulopetal (stimulatory), menghasilkan nistagmus apogeotrofik yang
lebih kuat. Karena itu, memiringkan kepala ke sisi yang terkena akan
menimbulkan respon yang terkuat. Apogeotrofik nistagmus terdapat pada
27% dari pasien yang memiliki BPPV tipe kanal lateral.(6)

10
Gambar 6 Nistagmus geotropik kiri dan nistagmus apogeotropik kiri
2.7 Gejala Klinis
Gejala utama pada BPPV yaitu :
- Pusing berputar yang berdurasi singkat (beberapa detik)
- Intensitas berat
- Mual
- Muntah
- Keringat dingin
- Keluhan sering terjadi pada pagi hari
- Dapat dipicu oleh perubahan posisi kepala relative terhadap gravitasi
(berbaring, bangun dari tidur, berguling, membungkuk, dan posisi kepala
menengadah dalam waktu yang cukup lama)
Gelaja klisis pada BPPV sangat khas sehingga untuk menegakkan
diagnosis dan menentukan sisi telinga yang terkena dapat dilihat dari
anamnesis.(7)

2.8 Diagnosis
Diagnosis pada BPPV dapat ditegakkan dengan anamnesis serta
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis ditemukan vertigo yang sangat berat
yang timbul mendadak akibat gerakan kepala tertentu, berlangsung sangat
singkat (10-20 detik) dapat disertai mual dan muntah tanpa disertai gangguan
pendengaran, defisit neurologis dan nistagmus spontan.(7)
Pada pemeriksaan penunjang terdapat tiga jenisperasat yang dapat
memprovokasi nistagmus untuk mengidentifikasi jenis BPPV.(2,3,7)

11
a. Perasat Dix-Hallpike

Gambar 7 Perasat Dix-Hallpike


Perasat ini sering digunakan karena posisinya tepat untuk segera dilakukan
canalith repositioning treatment.Perasat Dix Hallpike terdiri dari dua yaitu
Dix-Hallpike kanan untuk mengtahui BPPV pada kanalis anterior kiri dan
kanalis posterior kanan dan Dix-Hallpike kiri untuk mengetahui BPPV
kanalis posterior kiri. Adapun cara pada Dix-Hallpike kanan yaitu pasien
duduk tegak di atas meja pemeriksa dengan kepala menghadap 45 ke
kanan kemudian pemeriksa membaringkan pasien ke sisi kanan dengan
cepat dalam keadaan kepala pasien tetap menoleh 45 hingga kepala
pasien menggantung 20-30 padaujung meja pemeriksa, lalu tunggu
selama 40 detik hingga respon abnormal muncul. Perhatikan respon
selama 1 menit atau hingga respon menghilang.Setelah itu bisa dilanjutkan
dengan rindakan CRT. Sedangkan pada Dix-Hallpike kiri yaitu kepala
pasien dihadapkan 45 ke sisi kiri lalu tnggu selama 40 detik hingga
respon abnormal hilang setelah itu dapat dilanjutkan tindakan CRT.
b. Perasat side lying
Terdpat tiga perasat side lying yaitu side lying kanan dan side lying
kiri.Prinsip dari perasat side lying kanan yaitu menempatkan posisi kepala
pasien pada posisi dimana terbentuk bidang tegak lurus garis horizontal
antara kanalis anterior kiri atau kanalis posterior kanan dengan kanalis
posterior pada posisi paling bawah. Adapun caranya yaitu pasien duduk
diatas meja pemeriksaan dengan kaki menggantung di tepi meja
laluarahkan kepala pasien dalam posisi tegak ke sisi kanan. Tunggu

12
selama 40 detik hingga timbul respon abnormal. Pebedaan perasat side
lying kanan dengan kiri yaitu bidang tegak lurus garis horizontaknya
antara kanalis anterior kanan dengan posterior paling bawah. Adapun
caranya yaitu setelah perasat side lying kanan pasien dikembalikan posisi
semula lalu jatuhkan pasien secara cepat ke sisi kiri dengan kepala
menoleh 45 ke posisi kanan tujuannya untuk meletakkan kepala pada
posisi kanalis anterior kanan atau kanalis posterior kiri lalu tunggu selama
40 detik hingga timbul respon abnormal.
c. Perasat roll
Apabila perasat Dix-Hellpike atau side lying menimbulakn nistagmus
horizontal yang dapat disebkan oleh nistagmus spontal, posisi atau BPPV
pada kanalis horizontal (lateral).
Respon abnormal yang dapat timbul dan dinilai dari pemeriksaan
diatas yaitu adanya nistagmus. Nistagmus pada orang normal akan
diketemukan timbul saat gerakan provokasi ke belakang dan hilang setelah
gerakan selesai sedangkan pad BPPV nistagmus timbul lambat setelah
gerakan provokasi, berlangsung sekitar 40 detik dan menghilang kurang dari
1 menit pada kanalitiasis dan lebih dari 1 menit pada kupulolitiasis. Letak
kelainan dapat diketahui dari arah fase cepat nistagmus pada mata pasien
yang menetap lurus kedepan.Untuk kanalis anterior kanan maka face cepat
kebawah dan berputar ke arah kanan. Untuk kanalis anterior kiri akan
timbul fase cepat ke bawah dan berputar ke arah kiri. Untuk kanalis
posterior kanan akan timbul fase cepat ke atas dan berputar ke arah kanan.
Sedangkan pada kanalis posterior kiri timbul fase cepat ke atas dan perputar
ke arah kiri.
Untuk dapat menegakkan diagnognosis klinis BPPV, maka harus
memenuhi empat kriteris yaitu:
1. Vertigo berkaitan dengan karakteristik torsi campuran dan
nystagmus vertikal yang telah dilakukan uji dengan Tes Dix-
Hallpike.
2. Vertigo berkaitan dengan karakteristik torsi campuran dan

13
nystagmus vertikal yang telah dilakukan uji dengan Tes Dix-
Hallpike.

3. Terjadi (biasanya 1 sampai 2 detik) antara selesainya tes Dix-
Hallpike dan timbulnya vertigo dan nistagmus. 

4. Bersifat paroksismal dari saat timbulnya vertigo dan nystagmus

(yaitu, terjadi peningkatan lalu penurunan selama periode 10
sampai 20 detik).
5. Terjadi pengurangan vertigo dan nystagmus apabila tes Dix-Hallpike
(9)
diulang.

2.9 Diagnosis Banding


Gejala pusing berputar merupakan suatu gejala yang banyak di
miliki oleh semua kelainan pada system vestibular perifer maupun kelainan
pada pusat keseimbangan sentral.Diagnosis banding pada BPPV yaitu seperti
meniare disease, tumor N VIII, neuritis vestibuler dan multiple
skeloris.Terdapat pula gangguan keseimbanagn yang di berasal dari sentral
seperti adanya neoplasma, insufisiensi vaskuler berulang, transient ischemic
attack, trauma dan stroke. Untuk itu dalam penegakan BPPV harus benar-
benar memperhatikan anamnesis dan pada pemeriksaan fisik serta
penunjang.(10,11)

2.10 Tatalaksana
Tujuan terapi pada BPPV yaitu melepaskan otokonia dari dalam
kanalis atau kupula mengarah agar keluar dari kanalis semirirkularis menuju
utrikulus melalui ujung non ampulatory kanal.
Terapi medikamentosa pada BPPV tidak terlalu memberikan hasil
yang baik, namun pada penderita vertigo yang disertai mual dan muntah
dapat diberikan medikamentosa berupa preparat golongan vertibular
depresan disertai anti emetik, namun pada pasien dengan keadaan diatas
tidak memungkinkan akan dilakukannya tindakan maneuver diagnostik.(2)
Medikamentosa :betahistin 48 mg/hari dibagi dalam 2 atau 3 dosis(8)

14
Non medikamentosa(7)
a. Canalith Repositioning Treatment (CRT)

Gambar 8 Canalith Repositional Therapy


CRT dirancang untuk memindahkan partikel otoconia dari kanalis
semisirkularis kembali ke ruang depan. Manuver yang paling sering
digunakan untuk mengobati canalolithiasis kanal posterior BPPV.
Pasien pertama ditempatkan dalam posisi Dix-Hallpike yang
memprovokasi vertigo mereka kemudian kepala digulingkan 180 derajat
dalam dua langkah sampai telinga yang terkena naik dan akhirnya pasien
kembali ke posisi duduk. Pasien mungkin akan mengalami kekambuhan
dan membutuhkan pengulangan dari manuver Epley di rumah selama
beberapa minggu.(9)
b. Perasat Liberatory
Terapi ini untuk memindahkan otolit (debris) dari kanalis
semirkularis.Di indikasikan untuk BPPV pada kanalis posterior kana dan
kanalis posterior kiri serta kanalis anterior kanan dan kanalis anterior kiri.

15
Gambar 9Perasat liberatory

 Perasat liberatory kanan


Pasien duduk diats meja pemeriksa dengan kepala
menghadap 45ke arah kiri kemudian membaringkan cepat
pasien ke sisi kanan dengan kepala menggantung ke bahu
kanan tunggu 1 menit kemudian gerakkan pasien kembali
duduk ke posisi awal dengan cepat. Lalu, arahkan kepala
pasien menghadap ke 45ke arah kiri lalu baringkan ke sisi
kiri tunggu 1 menit llu perlahan kembalikan pasien keposisi
duduk awal dan berikan penopang leher. Untuk BPPV
kanalis anterior kanan dengan cara serupa namun kepala
diarahkan untuk menghadap ke sisi kanan.
 Perasat liberatory kiri
Arahkan pasien untuk berada pada posisi side lying kiri
kemudian ubah keposisi perasat side lying kanan dengan
kepala menghadap ke kanan. Untuk BPPV kanalis anterior
kiri dengan cara serupa namun kepala diarahkan
menghadap ke sisi kiri.
c. Latihan Brandt-Daroff

16
Gambar 10 Brandt-Daroff
Tindakan brandt-daroff ini dilakukan bila stelah melakukan CRT
nanum masih terdapat gejala sisa yang ringan.Serta tindakan ini dapat
dilakukan oleh pasien maupun terapi dengan frekuensi 3 kali/hari masing-
masing 10-20 kali hingga vertigo hilang.
Adapun caranya sebagai berikut:
 Duduk kesamping (kearah yang dapat mencetuskan
vertigo) dengan kepala menghadap kea rah yang
berlawanan.
 Tunggu selama 30 detik lalu berbaring dengan cepat ke sisi
yang berlawanan sambil kepala menoleh kea rah
berlawanan.
 Tunggu selama 30 detik lalu duduk kembali dengan cepat.
d. Pembedahan
Pembedahan dilakukan bila pada BPPV yang gagal ditangani
dengan medikamentosa maupun perasat dan tidak memiliki kelainan
intracranial.Adapun tujuan dari pembedahan yaitu untuk menciptakan
oklusi kanalis posterior dengan cara mastoidektomi dan membuat fenetrasi
pada kanalis posterior yang dilanjutkan dengan penutupan duktus
membranenosa memakai otot, fasia, atau tulang.

17
2.11 Prognosis
Angka kesembuhan pada BPPV dengan tindakan terapi yang baik akan
menghasilkan prognosis yang baik pula, sedangkan angka kekambuhan pada
BPPV dan fungsi organ cenderung baik.(8)

18
BAB III
KESIMPULAN

Benign Paroxysmal Positional Vertigo(BPPV) adalah gangguan vestibular


yang ditandai dengan episode vertigo dan dipicu oleh perubahan posisi kepala dan
terjadi pada posisi kepala tertentu, misalnya ketika seseorang tidur terbalik,
perubahan posisi tidur atau gerakan bangun cepat.
BPPV merupakan penyebab vertigo terbanyak meskipun penyebab dari
BPPV itu sendiri masih belum jelas, ada bebrapa studi yang mejelaskan bahwa
BPPV akibat dari suatu debris otokonia di dalam kanalis semisirkularis
vestibularis yang terlepas dari utikulus sehingga menyebabkan gangguan
keseimbangan.
BPPV dapat dikatakan sebagai self limting karena gejala dapat mereda
atau hilang dalam jangka waktu enam bulan dari onset. Meskipun begitu terdapat
tatalaksana yang dapat membantu mengurangi atau menghilangkan gejala dengan
terapi rehabilitasi vestibular. Terutama yaitu canalith repositional treatment atau
maneuver Epley, perasat Liberatory dan latihan Brandt-daroff yang bisa pasien
lakukan sendiri dirumah. Meskipun kejadian BPPV dapat berulang namun angka
kesembuhan untuk BPPV baik dengan tatalaksana yang adekuat.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiawati S, Susianti. Diagnosis dan Tatalaksana Vertigo. Majority


2016;5(4):91- 4
2. Edward Y, Roza Y. Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxysmal
Positional Vertigo (BPPV) Horizontal Berdasarkan Head Roll Test. Jurnal
Kesehatan Andalas 2014;3(1):77-81
3. Parnes LS, Agrawal SK, Atlas J. Diagnosis And Management Of Benign
Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV). CMAJ 2003;169(7):681-91
4. Kirana ID, Dewi YA, Nurhayati T. Characteristics Of Patient With Benign
Paroxysmal Positional Vertigo in Dr. Hasan Sadikin General Hospital
Bandung From 2009-2013. Althea Medical Journal 2016;3(2):275-8
5. Aninditha T, Wiratman W, editors. Buku Ajar Neurologi.
Jakarta:Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2017.
6. Hornibrook J. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV): Hystory,
Pathophysiology, Office Treatment and Future Directions. International
Journal Of Otolaryngology 2011:1-10
7. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran
Essential of Medicine. Jakarta:Media Aesculapius 2014
8. Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher Indonesia. Panduan Praktik Klinis Panduan Praktik Klinik Tindakan
Clinical Pathway. Jakarta:Pengurus Pusat Perhati KL.2016.
9. Thereensia A, Iyos RN. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV).
Majority 2016;51(5):108-11
10. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Ed 7. Jakarta:
FKUI. 2017
11. Falenra S. A 38 Years Old Man With Benign Paroxysmal Positional
Vertigo (BPPV). Jurnal Medula Unila 2014;(3(3):113-17

20

Anda mungkin juga menyukai