Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

MULTIPLE TRAUMA

Oleh:
UMAR ASADULLAH/201410330311045

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma adalah penyebab kematian utama pada manusia antara usia 1-44
tahun. Pada kelompok usia yang lebih tua, penyebab kematian ini hanya
dilampauii oleh kanker dan penyakit kardiovaskuler. Bagaimanapun kerugian
akibat trauma dalam hal kehilangan kesempatan hidup produktif, melebihi
kerugian yang ditimbulkan oleh kanker dan penyakit kardiovaskuler. Sebagai
penyebab utama kematian dan kecacatan, trauma telah menjadi masalah
kesehatan dan social yang signifikan. Multi trauma adalah Keadaan yang di
sebabkan oleh luka atau cedera defenisi ini memberikaan gambaran superficial
dari respon fisik terhadap cedera, trauma juga mempunyai dampak psikologis
dan social. Pada kenyataannya trauma adalah kejadian yang bersifat holistic dan
dapat menyebabkan hilangnya produktif seseorang. Berdasarkan
mekanismenya, terdapat trauma tumpul yang biasanya disebabkan karena
kecelakaan kendaraan bermotor dan trauma tajam biasanya disebabkan karena
tusukan, tikaman atau tembakan senapan.
Orang yang mengalami cedera berat harus dikaji dengan cepat dan
efisien. Kriteria dan protocol untuk memudahkan pengkajian awal, intervensi,
dan triage untuk korban trauma telah dikembangkan oleh American College of
Surgeons, Committee on Trauma. Kemajuan dalam bidang perawatan pasien
trauma telah dicapai dalam beberapa decade terakhir. Perkembangan pusat-
pusat pelayanan trauma telah menurunkan mortalitas dan morbiditas diantara
korban kecelakaan. Perawatan dan sarana angkutan prarumah sakit yang
semakin baik telah menyebabkan kenaikan jumlah korban kecelakaan dengan
keadaan kritis sampai ke rumah sakit dalam keadaan hidup. Akibatnya, pasien
trauma yang tiba di unit perawatan kritis sekarang ini cenderung mengalami
cedera serius yang melibatkan banyak organ dan mereka sering kali
membutuhkan asuhan keperawatan yang ekstensif dan kompleks. Penanganan
secara.
Penanganan secara sistematis sangat penting dalam penatalaksanaan
pasien dengan trauma. Perawatan penting yang menjadi prioritas adalah
mempertahankan jalan napas, memastikan pertukaran udara secara efektif, dan
mengontrol pendarahan.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui mengenai definisi,

etiologi, faktor resiko, pathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, dan

penatalaksanaannya Multiple Trauma

1.3 Manfaat

Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan

pemahaman penulis maupun pembaca mengenai Multiple Trauma serta

penanganannya
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih


kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa
menyebabkan kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau
kelainan psikososial dan disabilitas fungsional. Trauma kepala paling banyak dicatat
pada pasien politrauma dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi,
kelainan pendengaran dan penglihatan, post-traumatic stress syndrome dan kondisi
kelainan jiwa yang lain (Veterans Health Administration Transmittal Sheet).
2.2 Macam – Macam Trauma
Berdasarkan Hudak Carolyn 1996:517-534 bahwa klasifikasi dari multi trauma
adalah sebagai berikut :
1. Trauma Tumpul
Pada kecelakaan kendaraan mobil, badan kendaraan memberikan
sebagian perlindungan dan menyerap energi dari hasil benturan tabrakan.
Pengendara atau penumpang yang tidak menggunakan sabuk pengman,
bagaimanapun akan terlempar dari mobil dan dampaknya mendapat cedera
tambahan. Pengendara sepeda motor mempunyai perlindungan yang minimal
dan seringkali akan menderita cedera yang lebih parah apabila terlempar dari
motor.
Perlambatan yang cepat selama KKB atau jatuh dapat menyebabkan
kekuatan yang terputus yang dapat merobek struktur tertentu. Organ-organ
yang berdenyut seperti jantung dapat terlepas dari pembuluh besar yang
menahannya. Demikian juga organ-organ abdomen (limpa, ginjal, usus) akan
terlepas dari mesenteri.
Tipe kedua trauma tumpul termasuk kompresi yang disebabkan oleh
kekuatan tabrakan berat. Pada kasus demikian, jantung dapat terhimpit
diantara sternum dan tulang belakang. Hepar, limpa, dan pancreas juga sering
tertekan terhadap tulang belakang. Cedera karena benturan seringkali
menyebabkan kerusakan internal dengan sedikit tanda-tanda trauma eksternal.
Tipe kerusakan pada kendaraan seringkali memberikan petunjuk-
petumjuk cedera spesifik yang diderita pada KKB. Stir atau kemudi kendaraan
yang bengkok atau rusak memperbesar dugaaan akan kemungkinan cedera
pada dada, iga, jantung, trakea, tulang belakang atau abdomen. Trauma kepala
dan wajah, cedera tulang belakang servikal dan cedera trakeal sering berkaitan
dengan kerusakan pada kaca depan mobil atau dashboard. Benturan lateral
dapat menyebabkan patah iga, luka dada penetrasi akibat pegangan pintu atau
jendela, cedera limpa atau hepar dan fraktur pelvis.
2. Trauma Penetrasi
Luka tembak berkaitan dengan derajat kerusakan yang lebih tinggi dari
luka-luka tikaman. Peluru dapat menyebakan lubang di sekitar jaringan dan
dapat terpecah atau merubah arah dalam tubuh, mengakibatkan peningkatan
cedera. Perdarahan internal, perforasi organ, dan fraktur kesemuanya dapat
disebabkan oleh cedera penetrasi. Dengan menggunakan keterampilan
pengkajian yang baik dan kewaspadaan pada mekanisne terjadinya cederam,
perawat unit perawatan kritis dapat membantu dalam mengidentifikasi cedera
yang tidak didiagnosa di unit kegawatdaruratan.
3. Trauma Torakik
Kurang lebih 25% dari kematian karena trauma adalah karena cedera
torakik. Banyak cedera toraks yang secara potensial mengancam jiwa,
misalnya tension atau pneumotoraks terbuka, hemotoraks massif, iga
melayang (flail chest) dan tamponade jantung, dapat ditangani secara cepat
dan mudah, seringkali tanpa operasi besar. Jika tidak ditangani, maka akan
mengancam jiwa. Cedera pada paru dan iga :
a. Pneumotoraks dan hematoraks
Trauma tumpul dan penetrasi dapat menyebabkan pneumotoraks dan
hemotoraks. Seringkali satu-satunya tindakan yang diperlukan adalah
pemasangan selang dada. Hemotoraks massif (>1.500ml pada awalnya atau
>100-200ml/jam) akan memerlukan torakotomi, sedangkan selang dada
untuk mengembangkan kembali paru-paru seringkali sudah memadai
tamponade dengan sumber perdarahan yang lebih kecil. Intervensi
pembedahan juga mungkin diperlukan dalam kasus pneumotoraks terbuka
(luka menyedot dada) atau kebocoran udara yang tidak terkontrol.
Selain memberikan perawatan rutin post operasi (spirometri, batuk,
latihan napas dalam), perawatan unit perawatan kritis harus mengkaji
fungsi pernapasan dan hemodinamik dengan cermat. Pasien dengan cedera
paru mempunyai resiko lebih besar untuk mengalami komplikasi pulmonal
seperti atlektaksis, pneumonia, dan empiema. Selang dada harus dikaji
patensi dan fungsinya serta dokter harus diberitahu jika drainase menjadi
berlebihan. Untuk kehilangan darah dalam jumlah besar dari selang dada,
mungkin harus dilakukan ototranfusi.
b. Iga melayang
Iga melayang terjadi bila trauma tumpul menyebabkan fraktur multiple
iga, menyebabkan ketidakstabialan dinding dada. Iga melayang berkaitan
dengan pneumotoraks, hemotoraks kontusio pulmonal, kontusio
miokardial. Tujuan utama dari perawatan terhadap tulang iga mengambang
adalah untuk meningkatkan ventilasi yang adekuat. Jika status pernapasan
terganggu atau diperlukan operasi untuk cedera terjadi, maka ada indikasi
pemasangan intubasi dan ventilasi mekanis. Mungkin juga digunakan
tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP). Pada kejadian yang langka,
mungkin dilakukan stabilisasi operatif dengan kawat dan staples. Fraktur
iga tidak pernah dibalut karena hal ini nantinya hanya akan mengurangi
fungsi pulmonal.
Fraktur iga sering berkaitan dengan nyeri hebat. Control nyeri yang
adekuat dapat meningkatkan ekspansi paru tanpa memerlukan ventilasi
mekanis jangka panjang. Sering diberikan analgesi parenteral,
intramuscular, atau analgesia yang dikontrol pasien. Analgesic sistemik
tidak cukup kuat untuk menghilangkan nyeri iga melayang, sehingga
membutuhkan metode lain untuk meringankan nyeri seperti blok interkosta
atau analgesia epidural.
Asuhan keperawatan pada pasien dengan iga melayang ditujukan pada
pengkajian dan pengontrolan nyeri deisertai dengan peningkatan
oksigenasi dan pertukaran gas yang adekuat. Hipoventilasi akiibat nyeri
meningkatkan resiko terhadap komplikasi pernapasan, termasuk
atlektaksis dan pneumonia. Berbagai intervensi untuk memperbaiki fungsi
pernapasan dapat dilaksanakan termasuk batuk dan napas dalam,
spirometrik, drainase, dan chapping, mukolitik, bronkodilator, pernapasan
tekanan positif intermitten (PTPI), suksion endotrakeal dan nasotrakeal,
bronkoskopi terapeutik. Serangkaian pengkajian pulmonal, termasuk sinar
x-dada, gas-gas arterial darah, pemeriksaan fisik, dan kadang-kadang
pemantauan dengan oksimetrik adalah penting.
c. Kontusio pulmonal
Kontusio pulmonal adalah memar pada parenkim paru, seringkali akibat
trauma tumpul. Gangguan ini dapat tidak terdiagnosa pada foto dada awal.
Bagaimanapun adanya fraktur iga atau iga melayang harus mengarah pada
dugaan kemungkinan adanya kontusio pulmonal. Kontusio pulmonal
terjadi bila perlambatan cepat memecahkan dinding sel kapiler,
menyebabkan hemoragi dan ekstravasasi plasma dan protein ke dalam
alveolar dan spasium interstisial. Hal ini mengakibatkan atlektaksis dan
konsolidasi, mengarah pada pengalihan (shunting) intrapulmonal dan
hipoksemia. Tanda-tanda dan gejala-gejalanya tgermasuk dispnea, rales,
hemoptisis, takipnea. Kontusio yang hebat juga akan mengakibatkan
peningkatan tekanan puncak jalan udara, hipoksemia, dan asidosis
respiratorik. Kontusio pulmonal mirip dengan ARDS dimana keduanya
berespon sangat terburuk terhadap fraksi inspirasi oksigen yang tinggi
(FiO2).
Perbedaan antara kontusio pulmonal dan ARDS
Kontusio ARDS
pulmonal
Awitan gagal Awitan gagal pernapasan mendadak
pernapasan
bertahap
Perubahan- Perubahan-perubahan gambaran
perubahan radiografi seringkali tertunda 2-3
gambaran hari setelah timbul gejala- gejala.
radiografi
dapat segera
terlihat
Infiltrat Infiltrat menyebar
setempat
Dapat Dapat mengarah pada fibrosis
mengarah pulmonal kronis
pada
terbentuknya
rongga dan
abses
Pasien dengan kontusio ringan memerlukan pengamanan ketat. Perlu
sering dilakukan pengukuran gas darah arterial (GDA) atau oksimetri nadi.
Inter vensi keperawatan tambahan termasuk pengkajian pernapasan yang
kerap, perawatan pulomonal dan control nyeri. Fisioterapi dada dan
analgesia epidural kontinu juga akan sangat bermanfaat. Kontusion
pulmonal yang parah akan memerlukan dukungan ventilator dengan
TAEP. Kateter arteri oksimetrik pulmonal ( oximetri Swans-Ganz) dan
biasanya aliran arteri untuk membantu memantau GDA, hemodinamik dan
parameter respiratori (pengiriman oksigen, pirau intrapulmonal).
Meskipun ventilasi alveolar membaik dengan penambahan TAEP,
aliran darah ke alveoli dapat berkurang, mengarah pada pirau
intrapulmonal. Untuk mengoptimalkan perfusi jaringan dan oksigenasi,
setiap pergantian pada TAEP membutuhkan status pirau, pengiriman
oksigen, dan indicator lain perfusi jaringan (curah jantung, tekanan darah,
haluaran urine). Pernapasan yang parah, peningkatan atau paralisis dapat
menjadi tanda untuk menurunkan pemakaian energi dan kebutuhan
oksigen. Tempat tidur berrotasi seperti Roto-Rest (Kinetic Concepts, Ins.,
San Antonio, TX) juga harus dipertimbangkan. Penggunaan ventilasi jet
frekuensi tinggi untuk tipe cidera seperti ini masih merupakan suatu
kontroversia. Kontusio unilateral berat dapat ditangani dengan ventilasi
paru independen simultan dan membaringkan posisi pasien dengan bagian
cidera di sebelah atas.
Penatalaksanaan cairan juga penting. Masukkan dan haluarkan, berat
badan setiap hari, tekanan vena central, tekanan desak kapiler pulmonal
harus dipantau. Konsentrasi medikasi mungkin diperlukan untuk
mengurangi masukan yang berlebihan, dan diuretik akan diperlukan secara
periodik. Pembatasan ketat cairan tidak dianjurkan. Sebaliknya,
keseimbangan cairan harus dipertahankan pada tingkat mendekati normal
untuk mendukung curah jantungdan pengiriman oksigen. Karena paru yang
basah dan mengalami kontusio mengalami kemampuan untuk
membersihkan bakteri, mungkin diberikan antibiotik profilaktik. Steroid
profilaktik dan pemberian protein tetap menjadi suatu hal yang
kontroversial. Pneumonia dan gangguan ARDS adalah komplikasi yang
umum.
d. Cidera Trakeobronkial
Cedera pada trakea atau bronki dapat disebabkan oleh trauma tumpul
atau penetrasi dan seringkali disertai dengan kerusakan pada esofagus dan
vaskuler. Ruptur bronki sering terjadi berkaitan dengan fraktur iga bagian
atas atau pneumotoraks. Cedera trakeobronkial yang parah mempunyai
angka kematian yang tinggi, bagaimana pun dengan bertambah baiknya
perawatan dan transportasi prarumah sakit akhir-akhir ini, maka makin
banyak pasien ini yang bertahan hidup. Cidera jalan udara seringkali tidak
tersamar. Tanda-tandanya termasuk dispnea (adakalanya satu-satunya
tanda), hemoptasis, batuk, dan emfisema subkutan. Berdasarkan sinar-x
dada dapat memberikan tanda pada dokter terhadap kemungkinan adanya
cedera, bagaimanapun biasanya diagnosa dibuat dengan bronkoskopi atau
selama operasi. Perbaikan operasi dengan ventilasi mekanis pascaoperasi
melalui selang endotrakeal atau trakeostomi akan diperlukan.
Asuhan keperawatan melibatkan pengkajian terhadap oksigenasi dan
pertukaran gas, disertai dengan perawatan pulmonal yang tepat. Selama
beberapa hari pertama, dokter akan melakukan bronkoskopi untuk melihat
tempat yang diperbaiki serta untuk memberikan suction yang lebih efektif.
Pneumonia adalah komplikasi jangka pendek, sedangkan stenosis trakeal
dapat terjadi kemudian.
4. Cedera pada Jantung
a. Kontusio Miokard
Memar pada miokardium kebanyakan disebabkan oleh benturan dada
pada batang stir atau dashboard selama KKB. Perlambatan cepat
mengakibatkan jantung yang berdenyut akan menbentur dinding dada
anterior. Ventrikel kanan, karena letaknya di sebelah anterior, adalah
yang paling sering terkena. Kontusio juga dapat terjadi apabila jantung
terdesak diantara sternum dan tulang belakang. Gejala-gejala kontusio
jarang bervariasi dari tidak ada gejala (umum) sampai pada gagal jantung
kongestif yang berat dan syok kardiogenik. Setelah trauma, keluhan-
keluhan tentang nyeri dada harus di evaluasi dengan cermat. Perubahan-
perubahan ECG nonspesifik sering terlihat dan dapat mencakup setiap
tipe disritmia. Takikardia sinus, kontraksi atrial ventrikular prematur,
takikardia supraventrikular paroksimal, blok berkas his kanan, atau
perubahan-perubahan gelombang ST dan T adalah hal yang paling umum.
Secara histologi, kontusio jantung mirip dengan infark miokardial.
Diagnosa bisa sulit ditegakkan. Untuk menegakkannya dilakukan
serangkaiaan pemeriksaan EKG dan serangkaian pengukuran kreatin
kinase isoenzim miokardial, namun pemeriksaan ini tidak 100% sensitif.
Ada dokter yang menginstruksi pemeriksan ekokardiogram dua dimensi
untuk memeriksa komplikasi-komplikasi dan tingkat cedera manakala
kontusio sudah dipastikan terjadi.
Pemantauan dengan ketat diperlukan sampai kontusio miokardial telah
disingkirkan. Yang lebih umum dari kontusio miokardial yang sudah
dipastikan adalah cedera tipe “konkusio” (gegar) yang dapat pilih. Tanda-
tanda dan gejala-gejala yang bersifat temporer akan terlihat tanpa adanya
perubahan dalam isoenzim. Selama diagnosanya belum jelas, oksigenasi,
hemodinamik, dan toleransi aktivitas harus diamati dengan cermat. Jika
timbul takikardia, maka penyebab-penyebab alternatif seperti nyeri,
penipisan volume herus menjadi pertimbangan. Manakala kontusio sudah
dipastikan, maka tindakan yang dilakukan serupa dengan untuk infark
miokardial akut.
b. Cedera Penetrasi jantung
Cedera penetrasi pada jantung mengakibatkan kematian korban
prarumah sakit sekitar 60% sampai 90% dari kasus. Pada 10% sisanya,
hemoragi dan syok adalah yang umum terlihat. Luka tikam kecil yang
mengenai ventrikel ada kalanya menutup sendiri karena tebalnya
muskulatur ventrikular. Pada kondisi dimana terjadi hemoragi terus
menerus, volume yang hilang harus diganti, dan operasi perbaikan
diperlukan. Pada kasus-kasus parah, torakotomi departemen gawat
darurat mungkin harus dilakukan sebagai tindakan untuk menyelamatkan
jiwa.
Setelah operasi perbaikan, kateter arteri pulmonal dn selang arterial
dipasang untuk memudahkan pemantauan hemodinamik dengan cermat.
Vasopresor atau agen-agen inotropik mungkin diperlukan untuk
mempertahankan tekanan darah dan curah jantung yang adekuat.
Keseimbangan cairan dan elektrolit, sejalan dengan irama jantung, harus
dipantau dengan seksama. Bunyi jantung harus dikaji terhadap murmur,
yang menandakan kelainan katup atau septum, dan sebagai tanda-tanda
gagal jantung kongestif. Drainase selang dada dan mediastinal harus
sering dicatat. Berikan plasma beku segar dan platelet, sesuai instruksi,
untuk memperbaiki koagulopati. Komplikasi termasuk hemoragi
berlanjut dan sindrom poskardiotomi.
5. Trauma Abdomen
Rongga abdomen memuat baik organ yang padat maupun yang
berongga. Trauma tumpul kemungkinan besar menyebabkan kerusakan
yang serius organ-organ padat dan trauma penetrasi sebagian besar
melukai organ-organ berongga. Kompresi dan perlambatan dari trauma
tumpul menyebabkan fraktur pada kapsula dan parenkim organ padat,
sementara organ berongga dapat kolaps dan menyerap energi benturan.
Bagaimana pun usus yang menempati sebagian besar rongga abdomen,
rentan untuk mengalami oleh trauma penetrasi. Secara umum, organ-
organ padat berespons terhadap trauma dengan perdarahan. Organ-organ
berongga pecah dan mengeluarkan isinya dan ke dalam rongga
peritoneal, menyebabkan peradangan dan infeksi.
Diagnosis dini adalah penting pada trauma abdomen. Pasien yang
memperlihatkan adanya cedera abdomen penetrasi fasia dalam peritoneal,
ketidakstabilan hemodinamik, atau tanda-tanda dan gejala-gejala
abdomen akut dilakukan eksplorasi dengan pembedahan. Pada
kebanyakan kasus trauma abdomen lainnya, dilakukan lavase peritoneal
diagnostic (LPD). LPD yang positif juga mengharuskan dilakukan
eksplorasi pembedahan.
Baik LPD ataupun CT scan adalah 100% diagnostic, sehingga
pasien-pasien trauma dengan hasil negative harus diobservasi. Dilakukan
serangkaian pengukuran tingkat hematokrit dan amylase. Pengobatan
nyeri mungkin ditunda sehingga tidak mengaburkan tanda-tanda dan
gejala-gejala yang potensial. Masukan per oral juga ditunda untuk
berjaga-jaga jika dilakukan pembedahan. Pasien dikaji untuk
mendapatkan tanda-tanda abdomen akut, seperti distensi, rigiditas,
guarding, dan nyeri lepas. Eksplorasi pembedahan menjadi perlu dengan
adanya awitan setiap tanda-tanda dan gejala-gejala yang mengindikasikan
cedera. Penggunaan CT abdomen telah memperoleh popularitas dan
sering digunakan atau sebagai tambahan pada LPD. Cedera
retroperitoneal, seringkali terlewatkan dengan LPD dan bahkan dengan
pembedahan eksplorasi, sering dapat diidentifikasi dengan CT scan.
Namun CT scan tidak dapat terlalu diandalkan dalam mendeteksi cedera
pada organ-organ berongga.
a. Cedera pada lambung dan usus halus
Cedera lambung yang signifikan jarang ditemui, namun usus
halus lebih umum mengalami cedera. Meskipun sering mengalami
kerusakan oleh trauma penetrasi, trauma tumpul juga dapat
menyebabkan usus halus memar. Konvolusi multiple adakalanya
membentuk loop tertutup yang dapat menjadi sasaran pecah karena
meningkatnya tekanan dari benturan dengan kemudi atau sabuk
pengaman. Mobilitas usus di sekitar titik tetap (seperti ligamentum
treitz) mencetuskan terjadinya cedera dengan adanya perlambatan.
Cedera tumpul usus halus atau lambung dapat terlihat dengan
adanya darah pada aspirasi nasogastrik atau hematemesis. Namun
sering tidak terdapat tanda-tanda fisik dan diagnosis tidak dapat
ditegakkan sampai timbul peritonitis. Cedera penetrasi biasanya
menyebabkan LPD positif. Meskipun kontusio usus ringan dapat
diatasi secara konservatif (dekompresi lambung dan menunda
masukan per oral), pembedahan biasanya diperlukan untuk
memperbaiki luka-luka penetrasi.
Dekompresi pasca operasi, baik dengan selang nasogastrik atau
selang lambung, dipertahankan sampai fungsi usus pulih. Pada
kebanyakan kasus selang makan, jejunustomi dipasang sebelah distal
dari tempat yang diperbaiki. Selang pemberi makan dapat
dipasangkan segera pasca operasi. Dengan ditingkatkannya
konsentrasi dan frekuensi pemberian makan secara bertahap, maka
pengkajian secara berkala terhadap tanda-tanda intolerans (distensi,
muntah) adalah penting. Karena lambung dan usus halus
mengandung jumlah bakteri yang signifikan, maka resiko terhadap
sepsis adalah kecil, namun pemberian antibiotic profilaktik dapat
dilakukan kapan saja terjadi perforasi usus. Pada sisi lain, getah asam
lambung mengiritasi peritoneum dan dapat menyebabkan peritonitis.
Potensial komplikasi lainnya termasuk perdarahan pasca operasi,
hipovolemia karena “spasium ketiga”, serta timbulnya fistula atau
obstruksi. Beberapa dari keadaan ini mengharuskan adanya tindakan
pembedahan tambahan. Sindrom malabsorpsi jarang terjadi kecuali
jika lebih dari 200 cm usus telah diangkat.
b. Cedera pada duodenum dan pancreas
Pancreas dan duodenum akan dibahas bersama-sama karena
keduanya adalah organ-organ retroperitoneal dan secara anatomi dan
fisiologi mempunyai hubungan yang dekat. Diperlukan kekuatan
yang besar untuk mencerai organ-organ ini, karena organ-organ ini
terlindung dengan baik, jauh di dalam abdomen. Cedera pada organ
yang berdekatan hampir selalu ada. Letak retroperitoneal membuat
cedera ini sulit untuk didiagnosa karena LPD sering negative, oleh
karena itu CT scan abdomen sangat penting untuk keadaan ini.
Tanda-tanda dan gejala-gejala dapat mencakup abdomen akut,
peningkatan kadar amylase serum, nyeri epigastrik yang menjalar ke
punggung, mual, dan muntah.
Laserasi minor atau kontusio hanya akan memerlukan
pemasangan drain, sedangkan luka-luka besar memerlukan
perbaikan pembedahan. Kebanyakan cedera pankreatik akan
membutuhkan drain pasca operasi untuk menghindari pembentukan
fistula. Pankreatektomi distal atau anstomosis Roux-en-Y adalah dua
prosedur yang umum dilakukan pada cedera tubuh dan bagian ekor
pancreas. Adakalanya limpa juga harus diangkat karena banyaknya
perlekatan vascular. Kerusakan pada kaput pancreas berkaitan
dengan cedera duodenal dan hemoragi hebat karena kedekatan dari
struktur vascular. Prosedur pembedahan yang dilakukan pada kasus-
kasus ini termasuk pankreotikoduodenektomi, anastomosis ROUX-
en-Y, dan pada keadaan yang langka dilakukan pankreatektomi total.
Pengkajian dan asuhan keperawatan pasca operasi adalah sama
untuk berbagai prosedur. Patensi drain harus dipertahankan dan
pasien dipantau terhadap timbulnya fistula. Perlindungan terhadap
kulit adalah penting jika fistula sudah terbentuk, karena tingginya
kandungan enzim dari getah pankreatin. Pengkajian keseimbangan
cairan dan elektrolit adalah penting karena fistula pankreatik
mengakibatkan kehilangan cairan juga kalium dan bikarbonat.
Stimulasi pancreas dapat dikurangi dengan pemberian
hiteralimentasi parental atau pemberian makanan jejuna daripada diet
oral. Awitan diabetes mellitus jarang terjadi kecuali jika dilakukan
pankreatektomi total. Komplikasi lainnya termasuk perdarahan dari
fistula yang mengikis ke dalam pembuluh, peritonitis, sepsis intra
abdominal atau sistemik, pancreatitis, dan obstruksi usus mekanis.
Cedera pada duodenum sendiri dapat disembuhkan dengan
anastomosis primer atau Billroth II. Selang duodenostomi mungkin
dipasang untuk dekompresi dan selang jejunustomi untuk pemberian
makanan. Trauma tumpul pada duodenum juga dapat menyebabkan
hematoma intramural, yang dapat mengarah pada obstruksi
duodenal. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan diatrizoate
(Gastrografin) gastrointestinal atas. Obstruksi menyeluruh umumnya
memerlukan drainase pembedahan dari hematoma.
c. Cedera pada kolon
Cedera pada kolon biasanya berkaitan dengan trauma penetrasi.
Sifat dari cedera paling sering menuntut segera dilakukannya operasi
eksplorasi. Perbaikan primer adalah tindakan pilihan untuk laserasi
kolon. Pada beberapa keadaan, perlu dilakukan perbaikan eksterior
atau kolostomi. Selang sekostomi bisa dipasang untuk dekompresi.
Jaringan subkutan dan kulit pada tempat insisi mungkin dibiarkan
terbuka untuk mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi luka.
Kolon mempunyai jumlah bakteri yang tinggi, tumpahnya isi kolon
dapat mencetuskan terjadinya sepsis intra abdominal dan
pembentukan abses.
Asuhan keperawatan pasca operasi difokuskan pada pencegahan
infeksi. Penggantian balutan penting untuk insisi terbuka dan
biasanya diberikan antibiotic profilaktik. Pada kasus perbaikan kolon
eksterior dan dilakukan anastomosis ujung ke ujung eksterior untuk
memudahkan identifikasi kebocoran. Kolon eksterior harus dijaga
agar tetap lembab dan ditutup dengan balutan yang tidak melekat atau
kantung untuk melindungi integritas jahitan. Karena sepsis adalah
komplikasi utama pada cedera kolon, mungkin diperlukan
serangkaian prosedur radiografi dan pembedahan untuk menemukan
dan mengalirkan abses.
d. Cedera pada hepar
Setelah limpa, hepar adalah organ abdomen yang paling umum
mengalami cedera. Baik trauma tumpul maupun trauma penetrasi
dapat menyebabkan cedera. Pasien dalam persentase yang kecil dapat
ditangani non operasi dengan serangkaian CT scan. Pada banyak
kasus, baik sifat dari cedera atau LPD positif atau CT scan digabung
dengan kondisi klinis pasien akan menuntut dilakukannya
pembedahan. Trauma hepatic dapat menyebabkan kehilangan
banyak darah ke dalam peritoneum, namun perdarahan dapat
berhenti secara spontan. Laserasi kecil dperbaiki, sedangkan cedera
lebih besar dapat memerlukan reseksi segmental atau debridement.
Pada kasus hemoragi tak terkontrol, hepar dibungkus. Setelah
dibungkus, abdomen ditutup atau hanya ditutup dengan penutup
(mesh). Prosedur pembedahan tambahan diperlukan dalam beberapa
hari kemudian untuk mengangkat pembungkus dan memperbaiki
laserasi. Cedera besar pada hepar juga memerlukan drainase empedu
dan darah pasca operasi melalui drain (Penrose, Davol, atau Jackso-
Pratt).
Setelah pembedahan, mungkin timbul syok hipovolemik dan
koagulapati. Hemostatis inkomplit juga mungkin terjadi dan harus
dibedakan dari perdarahan akibat koagulopati. Perdarahan hebat
karena hemostatis inkomplit mengharuskan kembali ke ruang operasi
untuk pengangkatan bekuan, pembungkusan, dan perbaikan
tambahan. Dengan koagulopati, perdarahan timbul dari berbagai
tempat, sedangkan dengan hemostatis inkomplit perdarahan terutama
berasal dari tempat pembedahan. Asuhan keperawatan termasuk
penggantian produk darah sambil memantau hematokrit dan
pemeriksaan koagulasi. Pengkajian tipe dan jumlah selang drainase
disertai keseimbangan cairan, juga adalah penting. Potensial
komplikasi dari cedera hepar termasuk abses hepatic atau
perihepatik, obstruksi atau kebocoran saluran empedu, sepsis,
ARDS, dan KID.
e. Cedera pada limpa
Limpa adalah organ abdomen yang paling umum mengalami
cedera, lebih sering sebagai akibat trauma tumpul. Adanya fraktur
iga kiri bawah dapat meningkatkan kecurigaan terhadap cedera
limpa. Tanda-tanda dan gejala-gejala yang ditunjukkan termasuk
dukungan nutrisi parenteral. Diberikan transfuse darah berulang,
namun hematokrit dan tekanan darah sistolik tetap rendah (Ht = 20-
25%, TDS = 90 mmHg). Perdarahan internal berkelanjutan
mengharuskan pasien kembali ke ruang operasi untuk tindakan
debridement dan pembungkusan ulang hepar. Sampai hari
berikutnya, perdarahan berhasil diatasi. Pembungkus lalu dilepaskan,
laserasi liver dapat diperbaiki dan dipasang selang drain.
Pada hari berikutnya, timbul tanda-tanda dan gejala-gejala
sepsis pada pasien, termasuk kenaikan suhu dan jumlah sel darah
putih, takikardia, takipnea, peningkatan curah jantung, penurunan
tahanan vascular sistemik, dan penurunan tingkat kesadaran. Biakan
diperoleh dan pemberian antibiotic dimulai. Kemudian berkembang
ARDS dan GGA, meningkatkan kebutuhan dukungan ventilator dan
hemodialisis.
Asuhan keperawatan intensif perlu untuk mengatasi gangguan yang
ada dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Dukungan psikososial
bagi pasien dan keluarganya juga diberikan. Setelah prosedur
pembedahan ketiga untuk debridement jaringan nekrotik dan
mengalirkan abses perihepatik, akhirnya pasien mulai membaik.
Beberapa minggu kemudian, dukungan dialysis dan ventilator
dihentikan. Dua bulan setelah masuk rumah sakit, pasien keluar dari
unit rawat intensif, dan tiga minggu kemudian diperbolehkan pulang.

6. Trauma Pelvik
a. Cedera pada Kandung Kemih
Kandung kemih dapat mengalami laserasi atau pecah, paling
sering sebagai konsekuensi trauma tumpul. Cedera pada kangdung
kemih sering kali berhubungan dengan fraktur pelvik.adanya
hematuria ( nyata atau mikroskopik ), nyeri abdomen bawah, atau
tidak mampuan berkemih memerlukan pemeriksaan terhadap cidera
uretra dengan uretrogram retrograd sebelum pemasangan kateter
urine. Cidera pada kandung kemih dapat mennyebabkan ekstravasasi
urine intraperitonial atau ekstraperitoneal. Ekstravasi
ekstraperitoneal sering dapat ditangani dengan drainase kateter urine
. ektravasi intraperitoneal, bagaimanapun memerlukan pembedahan.
Mungkin dipasang selang sistostomi suprapubik . komplikasi jarang
tejadi infeksi karena kateter urine atau sepsis akibat ekstra vasasi
urine.
b. Fraktur Pelvik
Fraktur pelvik yang kompleks berkaitan dengan mortalitas yang
tinggi. Hemoragi sekunder adalah penyebab yang paing sering dari
kematian dini, sedangkan sepsis menyebabkan penundaan mortalitas.
Radiografi dan scan CT dapat memastikan adanya dan menentukan
tingkat fraktur pelvik. Fraktur pelvik sering sering menyebabkan
laserasi pembuluh – pembuluh kecil yang mengeluarkan darah ke
dalam jaringan lunak pada rongga retroperineal. Areal ini meluas dari
difragma sampai ke pertengahan paha dan akan menampung
beberapa liter darah sebelum terjadi tamponade. Angiogram sering
kali diperlukan untuk menemukan letak dan menyumbat sumber
darah.
Kontrol terhadap hemoragi merupakan pokok permasalahan
primer. PASG mungkin dipasang pada fase prarumah sakit atau di
unit gawat intensif. PASG dapat membantu membelat pelvis dan
tamponade hemoragi, karena PASG menurunkan volume tidal, maka
ada kemungkinan dibutuhkan bantuan ventilator mekanik. Fiksasi
internal atau eksternal adalah lebih efektif dalam menstabilkan
fraktur juga dalam mengontrol perdarahan. selain itu, fiksasi dini
mengurangi nyeri dan membantu ambulasi lebih dini. Pembedahan
untuk mengontrol hemoragi mungkin juga diperlukan .
Perhatian utama dari perawat unit perawatan kritis adalah untuk
mencegah syok hemoragi. Tranfusi multiple dan pemantauan
hemodinamik diperlukan dalam kasus hemoragi yang signifikan.
Hematoma pelvik dapat menjadi sumberdari sepsis dan dapat
memerlukan drainase perkuata atau pembedahan. Komplikasi utama
lain dari fraktur pelvik termasuk keterlibatan saraf pelvik dan emboli
pulmonal. Penting untuk dilakukan terapi fisik yang berkepanjangan
dan rehabilitasi yang sering.
7. Trauma pada Ekstremitas
a. Fraktur
Fraktur sering terjadi pada trauma tumpul, kurang jarang pada
trauma penetrasi. Manakalah radiografi sudah memastikan adanya
fraktur, maka harus dilakukan stabilitas atau perbaikan fraktur.
Karena prosedur ortopedik akan memakan banyak waktu,sehingga
cidera lain yang mengancam jiwa harus terlebih dahulu di atasi, dan
operasi perbaikan dapat di tunda sampai masalah itu teratasi. Fiksasi
internal fraktur sering memungkinkan ambulasi dini pada pasien
dengan cidera multiple yang mungkin akan mengalami komplikasi
akibat tirah baring berkepanjangan ( ulkus dekubitus, emboli
pulmonal, penyusutan otot). Penatalaksanaan fraktur juga dapat
dikerjakan dengan fiksasi eksternal atau traksi skeletal . fraktur
terbuka akan memerlukan debridemen dengan pembedahan.
Tanggung jawab keperawatan termasuk pengkajian neurovaskular,
sejalan dengan perawatan lika dan pin. Fraktur terbuka mempunyai
resiko tinggi terhadap infeksi. Potensial komplikasi lainnya adalah
emboli lemak dari fraktur tulang panjang dan sindom kompartemen.
Asuhan keperawatan harus di arahkan terhadap pencegahan dan
deteksi dini tentang masalah – masalah ini. Perawat juga harus
bekerja sama dengan terapis fisik untuk meningkatkan kekuatan dan
mobilisasi dini.
b. Dislokasi
Dislokasi menimbulkan rasa nyeri yang sangat hebat. Dislokasi
mudah dikenali karena adanya perubahan dari anatomi yang normal.
Dislokasi sendi umumnya tidak mengancam jiwa, tapi memerlukan
tindakan darurat karena apabila tidak dilakukan tindakan secepatnya,
akan menyebabkan gangguan pada daerah distal yang mengalami
dislokasi. Sangat sulit diketahui apakah fraktur disertai dengan
dilokasi atau tidak, maka sangat penting untuk mengetahui denyut
nadi, gerakan dan gangguan persyarafan distal dari dislokasi.
Kebanyakan tindakan yang baik untuk klien adalah menyangga dan
meluruskan ekstremitas ke posisi yang lebih menyenangkan untuk
klien dan membawanya ke pelayanan kesehatan yang terdapat
fasilitas ortopedi yang baik.
8. Cedera vaskular
Cedera vaskular seringkali mengakibatkan perdarahan atau
trombosis pembuluh. Cedera vaskular biasanya disebabkan oleh trauma
penetrasi, dan kurang sering karena fraktur. Ultrasonografi doppler
seing digunakan untuk mendiagnosa cedera vaskular perifer.
Angiogram juga dapat digunakan untuk menetukan tempat cedera dan
mengidentifikasi fistula arteriovenosa, psudoaneurisme, dan penutupan
intima. Dilakukan perbaikan pembedahan primer atau tandur vaskular.
Segera setelah periode pascaoperasi, terdapat resiko perdarahan
berlanjut atau oklusi trombotik dari pembuluh keduannya
mengharuskan kembali kekamar operasi. Perawat harus mengkaji nadi
distal, warna kulit, sensasi gerakan , dan suhu ekstrimitas yang cedera.
Indeks ankel – brakial (ABI) serinkali berguna dalam mendeteksi
perkembangan oklusi setelah trauma ekstrimitas bawah. Untuk
meghitung nilai ABI, tekanan darah sistolik pada pergelangan kaki di
bagi dengan tekanan darah sistolik lengan . penurunan ABI menunjukkan
peningkatan gradien tekanan yang menembus pembuluh. Metoda ini
memberikan data yang lebih objektif ketimbang hanya meraba nadi. Perawat
juga harus memperhatikan perkembangan sindrom kompartemen.
2.3 Etiologi

Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru. Luka
tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokan dalam kategori luka
tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena,organ apa yang cedera ,dan
bagaimana derajat kerusakannya, perlu diketahui biomekanik terutama cedera pada
trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan, perlambatan
(deselerasi), dan kompresi, baik oleh benda tajam , benda tumpul, peluru, ledakan,
panas, maupun zat kimia . Akibat cedera ini dapat menyebabkan cedera
muskuloskeletal dan kerusakan organ.
2.4 Manifestasi Klinis
1. Laserasi, memar,ekimosis
2. Hipotensi
3. Tidak adanya bising usus
4. Hemoperitoneum
5. Mual dan muntah
6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah,
biasanya pada arteri karotis)
7. Nyeri
8. Pendarahan
9. Penurunan kesadaran
10. Sesak
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan
limfa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada
perdarahan retroperitoneal
14. Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada
fraktur pelvis
15. Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri
atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe
1.3 Diagnosis

 Anamnesa

a. Trauma Tumpul
1) Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang
bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98
% sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan
oleh team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan
hemodinamik yang abnormal,terutama bila dijumpai :
a) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol,
kecanduan obat-obatan.
b) Perubahan sensasi trauma spinal.
c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis.
d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas.
e) Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam
waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera extraabdominal,
pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya Angiografi.
f) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan
trauma usus.
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik
normal nilai dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak memiliiki
fasilitas USG ataupun CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk DPL
adalah adanya indikasi yang jelas untuk laparatomi. Kontraindikasi
relative antara lain adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid
obesity, shirrosis yang lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya.
Bisa dipakai tekhnik terbuka atau tertutup (Seldinger) di
infraumbilikal oleh dokter yang terlatih. Pada pasien dengan fraktur
pelvis atau ibu hamil, lebih baik dilakukan supraumbilikal untuk
mencegah kita mengenai hematoma pelvisnya ataupun
membahayakan uterus yang membesar. Adanya aspirasi darah segar,
isi gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu yang keluar, melalui
tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang abnormal
menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah
segar (>10 cc) ataupun cairan feses ,dilakukan lavase dengan 1000cc
Ringer Laktat (pada anak-anak 10cc/kg). Sesudah cairan tercampur
dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll, cairan ditampung
kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat isi
gastrointestinal ,serat maupun empedu (American College of Surgeon
Committee of Trauma, 2004 : 149-150).
Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah
makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm3,
leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk bakteri, bakteri
atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml atau
lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,sel darah merah
5000/mm3 atau lebih (Scheets, 2002 : 279-280).
2) FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG
untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan
khusus di tangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memliki
sensifitas, specifitas dan ketajaman untuk meneteksi adanya cairan
intraabdominal yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen
Ultrasound memberikan cara yang tepat, noninvansive, akurat dan
murah untuk mendeteksi hemoperitorium, dan dapat diulang
kapanpun. Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside
dikamar resusitasi, yang secara bersamaan dengan pelaksanaan
beberapa prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi
pemakaiannya sama dengan indikasi DPL (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 150).
3) Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang
mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk
mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit di
diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL (American
College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151).
b. Trauma Tajam
1) Cedera thorax bagian bawah
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada
diafragma dan struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan
fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi, laparoskopi maupun
pemeriksaan CT scan.
2) Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan
DPL pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif
asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi pemeriksaan
diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik serial
dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi diagnostik.
3) Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau
triple contrast pada cedera flank maupun punggung. Untuk pasien
yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain pemeriksaan fisik
serial, CT dengan double atau triple contrast, maupun DPL. Dengan
pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien yang mula-mula
asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita peroleh ketajaman
terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun intraperineal
untuk luka dibelakang linea axillaries anterior (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151).
1.4 Tatalaksana

Keterlambatan pengelolaan dini pasien trauma kepala sangat buruk

akibatnya pada kesembuhan. Hipoksia dan hipotensi menyebabkan angka


kematian dua kali lebih banyak. Keadaan-keadaan berikut ini sangat

membahayakan jiwa tetapi sulit diatasi di rumah sakit daerah. Kita harus

menangani kasus dengan hati-hati dan disesuaikan dengan kemampuan,

fasilitas dan jumlah korban. Patologi berikut ini harus cepat di kenali dan

dikelola dengan baik: • Perdarahan ekstradural (epidural) akut - dengan

tanda klasik sebagai berikut: • hilangnya kesadaran (menurun dengan cepat)

setelah suatu masa bebas (lucid interval) • perdarahan arteria meningea

media dengan peningkatan cepat dari tekanan intrakranial • timbulnya

kelumpuhan (hemiparesis) pada sisi yang berlawanan dengan sisi trauma •

timbulnya pupil yang fixed (tidak ada reaksi cahaya) pada sisi yang sama

dengan tempat trauma. • Perdarahan subdural akut - terjadi akibat robeknya

vena yang melintang antara korteks dan dura. Bekuan darah dalam rongga

subdural disertai dengan Kontusio jaringan otak di bawahnya. Kedua

keadaan tersebut diatas memerlukan pembedahan dan harus diupayakan

dekompresi dengan burr-hole. Keadaan di bawah ini memerlukan

pengelolaan medik konservatif, karena pembedahan tidak akan membawa

hasil lebih baik. • Fraktura basis cranii - ditandai adanya memar biru hitam

pada kelopak mata (Racoon eyes) atau memar diatas prosesus mastoid

(Battle’s sign) dan atau kebocoran cairan serebrospinalis yang menetes dari

telinga atau hidung. • Comotio cerebri - ditandai dengan gangguan

kesadaran temporer • Fraktura depresi tulang tengkorak - dimana mungkin

ada pecahan tulang yang menembus dura dan jaringan otak • Hematoma

intracerebral - dapat disebabkan oleh kerusakan akut atau progresif akibat


contusio. Kesalahan yang sering terjadi pada waktu evaluasi trauma kepala

dan resusitasi adalah: • kegagalan melakukan ABC dan menetapkan

prioritas pengelolaan • kegagalan menemukan patologi lain disamping

trauma kepala • kegagalan menilai keadaan neurologis awal • kegagalan

evaluasi ulang kondisi pasien yang memburuk. Pengelolaan trauma kepala

Stabilisasi jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi harus segera dilakukan

(usahakan imobilisasi tulang leher). Tanda-tanda fungsi vital dan derajad

kesadaran (Glasgow Coma Score/GCS) harus dicatat berulang-ulang. Lihat

Appendix 4. Ingat: • trauma kepala berat jika GCS ≤ 8 • trauma kepala

sedang jika GCS antara 9 dan 12 • trauma kepala ringan jika GCS ≥ 13

Keadaan dapat memburuk akibat perdarahan • pupil dilatasi atau anisokor

menandakan peningkatan tekanan intrakranial • trauma kepala tidak pernah

menyebabkan hipotensi pada pasien dewasa • obat sedatif harus dihindari

karena selain memperburuk derajat kesadaran juga menyebabkan

hiperkarbia (nafas lambat dengan retensi CO2) • peningkatan tekanan

intrakranial yang fatal ditandai respons Cushing yang spesifik yaitu :

bradikardia, hipertensi dan nafas lambat Keadaan ini sudah sangat lambat

dan prognosisnya jelek Pengelolaan medik dasar untuk trauma kepala berat

meliputi:

• intubasi dan hiperventilasi agar tercapai hipokapnia sedang (pCO2 33 -35

mmHg) hingga volume darah di otak menurun dan tekanan intrakranial juga

menurun untuk sementara


• obat sedatif dan mungkin disertai obat pelumpuh otot • cairan infus

dibatasi, jangan sampai overload, kalau perlu diberikan diuretika. • posisi

head up 20°

• cegah hipertermia Trauma pada ekstremitas Pemeriksaan harus meliputi :

• warna dan suhu kulit

• perabaan nadi distal

• tempat-tempat yang berdarah

• deformitas ekstremitas

• gerakan ekstremitas secara aktif dan pasif

• gerakan ekstremitas yang tak wajar dan adanya krepitasi

• derajat nyeri bagian yang cedera

Pengelolaan cedera ekstremitas harus ditujukan pada :

• memelihara aliran darah ke jaringan perifer

• mencegah infeksi dan nekrosis kulit

• mencegah kerusakan pada syaraf perifer

2.6 Prognosis

1. Penyebab kematian dini ( dalam 72 jam )


a. Hemoragi dan cedera kepala
Hemoragi dan cedera kepala adalah penyebab utama kematian dini
setelah trauma multiple. Untuk mencegah kehabisan darah, maka perdarahan
harus dikendalikan. Ini dapat diselesaikan dengan operasi ligasi ( pengikatan
) dan pembungkusan, dan embolisasi dengan angiografi. Hemoragi
berkelanjutan memerlukan tranfusi multiple, sehingga meningkatkan
kecenderungan terjadinya ARDS dan DIC. Hemoragi berkepanjangan
mengarah pada syok hipovolemik dan akhirnya terjadi penurunan perfusi
organ.

2. Penyebab Lambat Kematian ( Setelah 3 Hari ) :


a. Sepsis
Sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi pada trauma
multiple. Pelepasan toksin menyebabkan dilatasi pembuluh, yang
mengarah pada penggumpalan venosa yang mengakibatkan penurunan
arus balik vena. Pada mulannya, curah jantung mengikat untuk
mengimbangi penurunan tekanan vaskular sistemik. Akhirnya,
mekanisme kompensasi terlampaui dan curah jantung menurun sejalan
dengan tekanan darah dan perfusi.
BAB III

KESIMPULAN

Multi trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera definisi ini
memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap cedera, trauma juga
mempunyai dampak psikologis dan social. Trauma dapat disebabkan oleh benda
tajam, benda tumpul, atau peluru. Akibat cedera ini dapat menyebabkan cedera
muskuloskeletal dan kerusakan organ. Trauma terjadi dalam 3 fase : Fase pertama
berlangsung beberapa jam setelah terjadinya trauma. Dalam fase ini akan terjadi
kembalinya volume sirkulasi, perfusi jaringan, dan hiperglikemia. Pada fase kedua
terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang nitrogen yang negative,
hiperglikemia, dan produksi panas. Pada fase ketiga terjadi anabolisme yaitu
penumpukan kembali protein dan lemak badan yang terjadi setelah kekurangan
cairan dan infeksi teratasi. Rasa nyeri hilang dan oksigenasi jaringan secar
keseluruhan sudah teratasi.
DAFTAR PUSTAKA

Eliastam, Michael. 1998. Penuntun Kedaruratan Medis. Jakarta. EGC


Kartikawati, Dewi. 2012. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat.
Jakarta : Salemba Medika
Hudak,Carolyn.1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik Edisi 6,Vol 2. Jakarta
: EGC
http://www.primarytraumacare.org/wp-content/uploads/2011/09/PTC_INDO.pdf
(diakses pada 6 April 2018)

Anda mungkin juga menyukai