MULTIPLE TRAUMA
Oleh:
UMAR ASADULLAH/201410330311045
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma adalah penyebab kematian utama pada manusia antara usia 1-44
tahun. Pada kelompok usia yang lebih tua, penyebab kematian ini hanya
dilampauii oleh kanker dan penyakit kardiovaskuler. Bagaimanapun kerugian
akibat trauma dalam hal kehilangan kesempatan hidup produktif, melebihi
kerugian yang ditimbulkan oleh kanker dan penyakit kardiovaskuler. Sebagai
penyebab utama kematian dan kecacatan, trauma telah menjadi masalah
kesehatan dan social yang signifikan. Multi trauma adalah Keadaan yang di
sebabkan oleh luka atau cedera defenisi ini memberikaan gambaran superficial
dari respon fisik terhadap cedera, trauma juga mempunyai dampak psikologis
dan social. Pada kenyataannya trauma adalah kejadian yang bersifat holistic dan
dapat menyebabkan hilangnya produktif seseorang. Berdasarkan
mekanismenya, terdapat trauma tumpul yang biasanya disebabkan karena
kecelakaan kendaraan bermotor dan trauma tajam biasanya disebabkan karena
tusukan, tikaman atau tembakan senapan.
Orang yang mengalami cedera berat harus dikaji dengan cepat dan
efisien. Kriteria dan protocol untuk memudahkan pengkajian awal, intervensi,
dan triage untuk korban trauma telah dikembangkan oleh American College of
Surgeons, Committee on Trauma. Kemajuan dalam bidang perawatan pasien
trauma telah dicapai dalam beberapa decade terakhir. Perkembangan pusat-
pusat pelayanan trauma telah menurunkan mortalitas dan morbiditas diantara
korban kecelakaan. Perawatan dan sarana angkutan prarumah sakit yang
semakin baik telah menyebabkan kenaikan jumlah korban kecelakaan dengan
keadaan kritis sampai ke rumah sakit dalam keadaan hidup. Akibatnya, pasien
trauma yang tiba di unit perawatan kritis sekarang ini cenderung mengalami
cedera serius yang melibatkan banyak organ dan mereka sering kali
membutuhkan asuhan keperawatan yang ekstensif dan kompleks. Penanganan
secara.
Penanganan secara sistematis sangat penting dalam penatalaksanaan
pasien dengan trauma. Perawatan penting yang menjadi prioritas adalah
mempertahankan jalan napas, memastikan pertukaran udara secara efektif, dan
mengontrol pendarahan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui mengenai definisi,
1.3 Manfaat
penanganannya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
6. Trauma Pelvik
a. Cedera pada Kandung Kemih
Kandung kemih dapat mengalami laserasi atau pecah, paling
sering sebagai konsekuensi trauma tumpul. Cedera pada kangdung
kemih sering kali berhubungan dengan fraktur pelvik.adanya
hematuria ( nyata atau mikroskopik ), nyeri abdomen bawah, atau
tidak mampuan berkemih memerlukan pemeriksaan terhadap cidera
uretra dengan uretrogram retrograd sebelum pemasangan kateter
urine. Cidera pada kandung kemih dapat mennyebabkan ekstravasasi
urine intraperitonial atau ekstraperitoneal. Ekstravasi
ekstraperitoneal sering dapat ditangani dengan drainase kateter urine
. ektravasi intraperitoneal, bagaimanapun memerlukan pembedahan.
Mungkin dipasang selang sistostomi suprapubik . komplikasi jarang
tejadi infeksi karena kateter urine atau sepsis akibat ekstra vasasi
urine.
b. Fraktur Pelvik
Fraktur pelvik yang kompleks berkaitan dengan mortalitas yang
tinggi. Hemoragi sekunder adalah penyebab yang paing sering dari
kematian dini, sedangkan sepsis menyebabkan penundaan mortalitas.
Radiografi dan scan CT dapat memastikan adanya dan menentukan
tingkat fraktur pelvik. Fraktur pelvik sering sering menyebabkan
laserasi pembuluh – pembuluh kecil yang mengeluarkan darah ke
dalam jaringan lunak pada rongga retroperineal. Areal ini meluas dari
difragma sampai ke pertengahan paha dan akan menampung
beberapa liter darah sebelum terjadi tamponade. Angiogram sering
kali diperlukan untuk menemukan letak dan menyumbat sumber
darah.
Kontrol terhadap hemoragi merupakan pokok permasalahan
primer. PASG mungkin dipasang pada fase prarumah sakit atau di
unit gawat intensif. PASG dapat membantu membelat pelvis dan
tamponade hemoragi, karena PASG menurunkan volume tidal, maka
ada kemungkinan dibutuhkan bantuan ventilator mekanik. Fiksasi
internal atau eksternal adalah lebih efektif dalam menstabilkan
fraktur juga dalam mengontrol perdarahan. selain itu, fiksasi dini
mengurangi nyeri dan membantu ambulasi lebih dini. Pembedahan
untuk mengontrol hemoragi mungkin juga diperlukan .
Perhatian utama dari perawat unit perawatan kritis adalah untuk
mencegah syok hemoragi. Tranfusi multiple dan pemantauan
hemodinamik diperlukan dalam kasus hemoragi yang signifikan.
Hematoma pelvik dapat menjadi sumberdari sepsis dan dapat
memerlukan drainase perkuata atau pembedahan. Komplikasi utama
lain dari fraktur pelvik termasuk keterlibatan saraf pelvik dan emboli
pulmonal. Penting untuk dilakukan terapi fisik yang berkepanjangan
dan rehabilitasi yang sering.
7. Trauma pada Ekstremitas
a. Fraktur
Fraktur sering terjadi pada trauma tumpul, kurang jarang pada
trauma penetrasi. Manakalah radiografi sudah memastikan adanya
fraktur, maka harus dilakukan stabilitas atau perbaikan fraktur.
Karena prosedur ortopedik akan memakan banyak waktu,sehingga
cidera lain yang mengancam jiwa harus terlebih dahulu di atasi, dan
operasi perbaikan dapat di tunda sampai masalah itu teratasi. Fiksasi
internal fraktur sering memungkinkan ambulasi dini pada pasien
dengan cidera multiple yang mungkin akan mengalami komplikasi
akibat tirah baring berkepanjangan ( ulkus dekubitus, emboli
pulmonal, penyusutan otot). Penatalaksanaan fraktur juga dapat
dikerjakan dengan fiksasi eksternal atau traksi skeletal . fraktur
terbuka akan memerlukan debridemen dengan pembedahan.
Tanggung jawab keperawatan termasuk pengkajian neurovaskular,
sejalan dengan perawatan lika dan pin. Fraktur terbuka mempunyai
resiko tinggi terhadap infeksi. Potensial komplikasi lainnya adalah
emboli lemak dari fraktur tulang panjang dan sindom kompartemen.
Asuhan keperawatan harus di arahkan terhadap pencegahan dan
deteksi dini tentang masalah – masalah ini. Perawat juga harus
bekerja sama dengan terapis fisik untuk meningkatkan kekuatan dan
mobilisasi dini.
b. Dislokasi
Dislokasi menimbulkan rasa nyeri yang sangat hebat. Dislokasi
mudah dikenali karena adanya perubahan dari anatomi yang normal.
Dislokasi sendi umumnya tidak mengancam jiwa, tapi memerlukan
tindakan darurat karena apabila tidak dilakukan tindakan secepatnya,
akan menyebabkan gangguan pada daerah distal yang mengalami
dislokasi. Sangat sulit diketahui apakah fraktur disertai dengan
dilokasi atau tidak, maka sangat penting untuk mengetahui denyut
nadi, gerakan dan gangguan persyarafan distal dari dislokasi.
Kebanyakan tindakan yang baik untuk klien adalah menyangga dan
meluruskan ekstremitas ke posisi yang lebih menyenangkan untuk
klien dan membawanya ke pelayanan kesehatan yang terdapat
fasilitas ortopedi yang baik.
8. Cedera vaskular
Cedera vaskular seringkali mengakibatkan perdarahan atau
trombosis pembuluh. Cedera vaskular biasanya disebabkan oleh trauma
penetrasi, dan kurang sering karena fraktur. Ultrasonografi doppler
seing digunakan untuk mendiagnosa cedera vaskular perifer.
Angiogram juga dapat digunakan untuk menetukan tempat cedera dan
mengidentifikasi fistula arteriovenosa, psudoaneurisme, dan penutupan
intima. Dilakukan perbaikan pembedahan primer atau tandur vaskular.
Segera setelah periode pascaoperasi, terdapat resiko perdarahan
berlanjut atau oklusi trombotik dari pembuluh keduannya
mengharuskan kembali kekamar operasi. Perawat harus mengkaji nadi
distal, warna kulit, sensasi gerakan , dan suhu ekstrimitas yang cedera.
Indeks ankel – brakial (ABI) serinkali berguna dalam mendeteksi
perkembangan oklusi setelah trauma ekstrimitas bawah. Untuk
meghitung nilai ABI, tekanan darah sistolik pada pergelangan kaki di
bagi dengan tekanan darah sistolik lengan . penurunan ABI menunjukkan
peningkatan gradien tekanan yang menembus pembuluh. Metoda ini
memberikan data yang lebih objektif ketimbang hanya meraba nadi. Perawat
juga harus memperhatikan perkembangan sindrom kompartemen.
2.3 Etiologi
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru. Luka
tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokan dalam kategori luka
tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena,organ apa yang cedera ,dan
bagaimana derajat kerusakannya, perlu diketahui biomekanik terutama cedera pada
trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan, perlambatan
(deselerasi), dan kompresi, baik oleh benda tajam , benda tumpul, peluru, ledakan,
panas, maupun zat kimia . Akibat cedera ini dapat menyebabkan cedera
muskuloskeletal dan kerusakan organ.
2.4 Manifestasi Klinis
1. Laserasi, memar,ekimosis
2. Hipotensi
3. Tidak adanya bising usus
4. Hemoperitoneum
5. Mual dan muntah
6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah,
biasanya pada arteri karotis)
7. Nyeri
8. Pendarahan
9. Penurunan kesadaran
10. Sesak
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan
limfa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada
perdarahan retroperitoneal
14. Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada
fraktur pelvis
15. Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri
atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe
1.3 Diagnosis
Anamnesa
a. Trauma Tumpul
1) Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang
bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98
% sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan
oleh team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan
hemodinamik yang abnormal,terutama bila dijumpai :
a) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol,
kecanduan obat-obatan.
b) Perubahan sensasi trauma spinal.
c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis.
d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas.
e) Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam
waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera extraabdominal,
pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya Angiografi.
f) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan
trauma usus.
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik
normal nilai dijumpai hal seperti di atas dan disini tidak memiliiki
fasilitas USG ataupun CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk DPL
adalah adanya indikasi yang jelas untuk laparatomi. Kontraindikasi
relative antara lain adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid
obesity, shirrosis yang lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya.
Bisa dipakai tekhnik terbuka atau tertutup (Seldinger) di
infraumbilikal oleh dokter yang terlatih. Pada pasien dengan fraktur
pelvis atau ibu hamil, lebih baik dilakukan supraumbilikal untuk
mencegah kita mengenai hematoma pelvisnya ataupun
membahayakan uterus yang membesar. Adanya aspirasi darah segar,
isi gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu yang keluar, melalui
tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang abnormal
menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah
segar (>10 cc) ataupun cairan feses ,dilakukan lavase dengan 1000cc
Ringer Laktat (pada anak-anak 10cc/kg). Sesudah cairan tercampur
dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll, cairan ditampung
kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat isi
gastrointestinal ,serat maupun empedu (American College of Surgeon
Committee of Trauma, 2004 : 149-150).
Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah
makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm3,
leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk bakteri, bakteri
atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml atau
lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,sel darah merah
5000/mm3 atau lebih (Scheets, 2002 : 279-280).
2) FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG
untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan
khusus di tangan mereka yang berpengalaman, ultrasound memliki
sensifitas, specifitas dan ketajaman untuk meneteksi adanya cairan
intraabdominal yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen
Ultrasound memberikan cara yang tepat, noninvansive, akurat dan
murah untuk mendeteksi hemoperitorium, dan dapat diulang
kapanpun. Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside
dikamar resusitasi, yang secara bersamaan dengan pelaksanaan
beberapa prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi
pemakaiannya sama dengan indikasi DPL (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 150).
3) Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang
mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk
mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit di
diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL (American
College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151).
b. Trauma Tajam
1) Cedera thorax bagian bawah
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada
diafragma dan struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan
fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi, laparoskopi maupun
pemeriksaan CT scan.
2) Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan
DPL pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif
asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi pemeriksaan
diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik serial
dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi diagnostik.
3) Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau
triple contrast pada cedera flank maupun punggung. Untuk pasien
yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain pemeriksaan fisik
serial, CT dengan double atau triple contrast, maupun DPL. Dengan
pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien yang mula-mula
asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita peroleh ketajaman
terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun intraperineal
untuk luka dibelakang linea axillaries anterior (American College of
Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151).
1.4 Tatalaksana
membahayakan jiwa tetapi sulit diatasi di rumah sakit daerah. Kita harus
fasilitas dan jumlah korban. Patologi berikut ini harus cepat di kenali dan
timbulnya pupil yang fixed (tidak ada reaksi cahaya) pada sisi yang sama
vena yang melintang antara korteks dan dura. Bekuan darah dalam rongga
hasil lebih baik. • Fraktura basis cranii - ditandai adanya memar biru hitam
pada kelopak mata (Racoon eyes) atau memar diatas prosesus mastoid
(Battle’s sign) dan atau kebocoran cairan serebrospinalis yang menetes dari
ada pecahan tulang yang menembus dura dan jaringan otak • Hematoma
sedang jika GCS antara 9 dan 12 • trauma kepala ringan jika GCS ≥ 13
bradikardia, hipertensi dan nafas lambat Keadaan ini sudah sangat lambat
dan prognosisnya jelek Pengelolaan medik dasar untuk trauma kepala berat
meliputi:
mmHg) hingga volume darah di otak menurun dan tekanan intrakranial juga
head up 20°
• deformitas ekstremitas
2.6 Prognosis
KESIMPULAN
Multi trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera definisi ini
memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap cedera, trauma juga
mempunyai dampak psikologis dan social. Trauma dapat disebabkan oleh benda
tajam, benda tumpul, atau peluru. Akibat cedera ini dapat menyebabkan cedera
muskuloskeletal dan kerusakan organ. Trauma terjadi dalam 3 fase : Fase pertama
berlangsung beberapa jam setelah terjadinya trauma. Dalam fase ini akan terjadi
kembalinya volume sirkulasi, perfusi jaringan, dan hiperglikemia. Pada fase kedua
terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang nitrogen yang negative,
hiperglikemia, dan produksi panas. Pada fase ketiga terjadi anabolisme yaitu
penumpukan kembali protein dan lemak badan yang terjadi setelah kekurangan
cairan dan infeksi teratasi. Rasa nyeri hilang dan oksigenasi jaringan secar
keseluruhan sudah teratasi.
DAFTAR PUSTAKA