Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN UJIAN KASUS

“TINEA CORPORIS”

Pembimbing:

dr. Amelia Budi Rahardjo, Sp. KK

Disusun Oleh:

Aletha Ayu

1710221018

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

UJIAN KASUS

“TINEA CORPORIS”

Disusun oleh:
Aletha Ayu 1710221018

Ujian kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu ujian di
bagian Ilmu Kesehatan Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Margono
Soekarjo Purwokerto.

Purwokerto, Desember 2018

Dokter Penguji,

dr. Amelia Budi Rahardjo, Sp. KK


NIP 195405091982112002

2
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan kasihNya sehingga penyusunan laporan kasus dengan judul “Tinea
Corporis” ini dapat diselesaikan. Penulisan Laporan Kasus merupakan syarat
mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penyusun menyadari bahwa
dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penyusun mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penulisan di masa yang
akan datang. Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. Amelia Budi Rahardjo, Sp. KK selaku penguji.
2. Dokter-dokter spesialis kulit dan kelamin di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin di RSUD Prof Dr Margono Soekarjo.
3. Rekan-rekan Co-Assisten Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin atas
semangat dan dorongan serta bantuannya.
Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di
dalam maupun di luar lingkungan RS. Margono Soekarjo.

Purwokerto, Desember 2018

Penyusun

3
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ............................................................................ 5
II. LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien ............................................................................. 6
B. Anamnesis. .................................................................................... 6
C. Pemeriksaan Fisik ......................................................................... 7
D. Pemeriksaan Penunjang. ............................................................... 10
E. Resume .......................................................................................... 11
F. Diagnosis Banding ........................................................................ 11
G. Diagnosis Kerja ............................................................................. 12
H. Pemeriksaan Anjuran .................................................................... 12
I. Penatalaksanaan ............................................................................ 12
J. Prognosis ....................................................................................... 13
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi .......................................................................................... 14
B. Etiologi. ......................................................................................... 14
C. Epidemiologi ................................................................................. 15
D. Etiopatogenesis ............................................................................. 15
E. Faktor risiko .................................................................................. 18
F. Gejala Klinis ................................................................................. 19
G. Pemeriksaan Penunjang ................................................................ 19
H. Diagnosis....................................................................................... 20
I. Diagnosis Banding ........................................................................ 21
J. Penatalaksanaan. ........................................................................... 21
K. Prognosis ....................................................................................... 23
L. Komplikasi .................................................................................... 23
IV. PEMBAHASAN ........................................................................... 24
V. KESIMPULAN ............................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 28

4
BAB I
PENDAHULUAN

Mikosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur. Mikosis dibagi


menjadi mikosis superfisial, intermediet, dan profunda. Mikosis superfisial dibagi
menjadi dermatofitosis dan nondermatofitosis. Dermatofitosis merupakan infeksi
jamur dermatofita (spesies Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton)
yang menyerang epidermis bagian superfisial (stratum korneum), kuku dan
rambut. Dermatofitosis terdiri dari tinea capitis, tinea barbae, tinea cruris, tinea
pedis et manum, tinea unguium dan tinea corporis. Sedangkan nondermatofitosis
terdiri dari pitiriasis versikolor, piedra hitam, piedra putih, tinea nigra palmaris,
otomikosis dan kerato mikosis (Budimulja, 2015).
Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh
jamur dermatofita. Berdasarkan habitat alamiahnya, dermatofita dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu spesies geofilik (pada tanah), zoofilik (pada hewan), dan
antropofilik (pada manusia). Dermatofitosis kronis umumnya disebabkan oleh
dermatofita spesies antropofilik (El-Goharyet al., 2014).
Empat spesies antropofilik telah beradaptasi dengan tubuh manusia
sebagai pejamunya. Infeksi oleh spesies tersebut umumnya menghasilkan respons
non inflamasi atau inflamasi ringan. Dermatofita spesies antropofilik, antara lain
adalah Trichophyton rubrum (T.rubrum), Trichophyton tonsurans (T.tonsurans),
Epidermophyton floccosum (E.floccosum). Infeksi jamur dibedakan menjadi
menjadi mikosis superfisial, intermediate dan profunda (Menaldi, 2015).
Kebanyakan tinea kruris disebabkan oleh Species Tricophyton rubrum dan
Epidermophyton floccosum, dimana E. floccosum merupakan spesies yang paling
sering menyebabkan terjadinya epidemi. Tinea kruris sering ditemukan pada kulit
lipat paha, genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal (Yossela, 2015). Tinea
corporis adalah infeksi jamur pada daerah wajah, leher, badan, lengan, tungkai,
dan glutea. Penyebab tersering penyakit ini adalah Tricophyton rubrum dengan
prevalensi 47% dari semua kasus tinea corporis (Goldsmith, 2012).

5
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Ny. D
Usia : 56 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Pernikahan : Sudah Menikah
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Jl. Mangga RT 02/011 Penggalang Adipala
Kab. Cilacap, Jawa Tengah
Tanggal Pemeriksaan : Kamis, 13 Desember 2018

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan gatal pada lipatan payudara, perut, punggung dan
bokong terutama saat berkeringat
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSMS dengan keluhan gatal
sejak 1 bulan yang lalu dan memberat 1 minggu terakhir. Gatal dirasakan
pada lipatan payudara,perut, punggung dan bokong. Keluhan gatal dirasakan
hilang timbul, semakin lama dirasakan semakin memberat dan mengganggu
aktivitas. Gatal semakin bertambah ketika pasien banyak berkeringat dan
berkurang saat minum obat (CTM) yang diberikan Puskesmas. Awalnya
pasien mengeluhkan gatal pada punggung, lalu muncul bercak berwarna
kemerahan, bercak dirasakan semakin meluas dan bersisik.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa sebelumnya (-), konsumsi obat-obatan dalam
jangka waktu lama (-), alergi (-), asma (-), DM (-), hipertensi (-).

6
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa (-), konsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama
(-), alergi (-), asma (-), hipertensi (-), DM (-).
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Pasien biasanya mandi 2x
sehari. Pasien berganti pakaian 1x sehari. Pasien memiliki handuk sendiri
dan mencuci handuk 4 minggu sekali. Pasien tinggal di perumahan kawasan
padat penduduk. Cahaya matahari dapat langsung masuk ke dalam rumah
pasien. Rumah pasien memiliki ventilasi yang cukup. Sumber air untuk
memasak dan mencuci berasal dari sumur. Pasien makan 3x sehari berupa
nasi, sayur, lauk seadanya dan gorengan. Pasien mengaku jarang
berolahraga. Pasien tidak memelihara binatang di rumah.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
BB : 83 kg
TB : 160 cm
IMT : 32,4 (Obesitas II)
Vital Sign
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 82x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36.5⁰C
Status Generalis
Kepala : Mesochepal, rambut terdistribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-) deformitas (-/-)
Telinga : Deformitas (-/-) sekret (-/-)
Mulut : Pucat (-)
Tenggorokan : T1 – T1 tenang , tidak hiperemis

7
Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, eutiroid
(+)
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I – II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru : SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, datar, BU (+) normal, nyeri tekan (-)

Ekstremitas :Akral hangat, edema , sianosis


Status Lokalis (Dermatologis)
1. Lokasi : Regio thoracalis anterior et posterior, region abdomen, regio
gluteus maximus
2. Efloresensi : Makula eritematosa dengan skuama diatasnya, polimorfik
berbatas tegas, terdapat papula eritem di tepi lesi, tepi aktif penyembuhan
ditengah lesi (central healing).

Gambar 1.1 Efloresensi pada regio thoracalis anterior

8
Gambar 1.2 Efloresensi pada region thoracalis posterior

Gambar 1.3 Efloresensi pada regio abdomen

9
Gambar 1.4 Efloresensi pada gluteus maximus

D. Pemeriksaan Penunjang
Kerokan kulit dengan KOH 10% ditemukan hifa panjang bersepta,
bercabang dan spora.

Gambar 1.6 Pemeriksaan KOH didapatkan hifa panjang bersepta


disertai dengan spora

10
E. Resume
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSMS dengan keluhan
gatal sejak 1 bulan yang lalu dan memberat 1 minggu terakhir. Gatal dirasakan
pada lipatan payudara, perut, punggung dan bokong. Keluhan gatal dirasakan
hilang timbul, semakin lama dirasakan semakin memberat dan mengganggu
aktivitas. Gatal semakin bertambah ketika pasien berkeringat dan berkurang
saat minum obat (CTM) yang diberikan Puskesmas. Awalnya pasien
mengeluhkan gatal pada punggung, lalu muncul bercak berwarna kemerahan,
bercak dirasakan semakin meluas dan bersisik.
Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal. Pasien tidak memiliki
riwayat DM, hipertensi dan alergi makanan. Keluarga tidak ada yang
mengalami keluhan serupa. Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga.
Pasien biasanya mandi 2x sehari. Pasien berganti pakaian 1x sehari dan
mencuci handuk 4 minggu sekali. Pasien makan 3x sehari berupa nasi, sayur,
lauk seadanya dan gorengan. Pasien mengaku jarang berolahraga.
Lesi kulit berupa makula eritematosa dengan skuama diatasnya,
polimorfik berbatas tegas, terdapat papula eritem di tepi lesi, tepi aktif
penyembuhan ditengah lesi (central healing) pada regio thoracalis anterior,
thoracalis posterior, abdomen dan region gluteus maximus

F. Diagnosis Banding
1. Kandidiasis
Lesi makula dan plak eritem disertai lesi satelit membentuk gambaran
korimbiformis, disertai dengan pseudomembran. Predileksi khas pada
lipatan payudara, intergluteal, inguinal, lipat ketiak, umbilical. Pada
pemeriksaan KOH 10-20% didapatkan pseudohifa dan blastospora.
2. Psoriasis
Lesi berupa plakat eritema berbatas tegas disertai skuama lebih tebal dan
berlapis-lapis seperti mika. Keluhan biasanya menahun dan terdapat tanda
khas psoriasis seperti autpitz sign, fenomena koebner, candle sign.
Predileksi pada daerah wajah, ekstremitas ekstensor, daerah lumbosacral.

11
3. Pityriasis rosea
Lesi berupa makula eritroskuamosa anular dan solitar, bentuk lonjong
dengan tepi hampir tidak nyata meninggi dan bagian sentral bersisik. Lesi
sesuai dengan garis lipatan kulit menyerupai pohon cemara terbalik (herald
patch). Keluhan timbul bercak seluruh tubuh terutama daerah yang tertutup
pakaian berbentuk bulat mengikuti lipatan kulit. Diawali bercak besar
disekitarnya terdapat bercak kecil. Predileksi dapat tersebar diseluruh tubuh,
terutama pada tempat yang tertutup pakaian.

G. Diagnosis Kerja
Tinea corporis

H. Pemeriksaan Anjuran
1. Pemeriksaan lampu Wood didapatkan lesi berpendaar kuning kehijauan.
2. Pemeriksaan KOH 10-20% didapatkan hifa panjang bersepta disertai dengan
spora.
3. Kultur media Saboround Dextrose Agar (SDA) didapatkan koloni jamur.
I. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Sistemik
Antimikotik sitemik : Ketokonazol 2x200 mg/hari selama 2-4 minggu
atau Itrakonazol 1 x 100 mg /hari (selama 2 minggu)
Antihistamin : Cetirizine 1x10 mg
b. Antimikotik topikal : Mikonazole krim 2% dioles 2x sehari (pagi dan
malam) selama 1 bulan
2. Edukasi
a. Menjaga kebersihan badan.
b. Tidak memakai pakaian ketat dan duduk terlalu lama.
c. Menggunakan pakaian yang menyerap keringat.
d. Tidak bertukar handuk dan pakaian dengan orang lain.
e. Edukasi pasien supaya tidak menggaruk lesi karena dapat menyebabkan
infeksi sekunder.
f. Mengurangi makanan berminyak dan berlemak.

12
g. Memperbanyak makan sayur dan buah.
h. Mandi 2x sehari.
i. Ganti baju 2x sehari.
j. Sering mencuci handuk, sprei, dan pakaian.
k. Olahraga secara teratur.
l. Kurangi stress psikis dan istirahat yang cukup.
m. Edukasi agar pasien meminum obat secara teratur dan sesuai anjuran
dokter.

J. Prognosis
1. Quo ad vitam : ad bonam
2. Quo ad sanationam : dubia ad bonam
3. Quo ad functionam : ad bonam
4. Quo ad cosmeticam : ad bonam

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan tubuh yang mengandung
keratin atau zat tanduk, misal stratum korneum pada epidermis, rambut, serta
kuku, yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita yaitu Epidermophyton,
Mycrosporum dan Trycophyton dan diantaranya adalah tinea corporis dan tinea
cruris (James, 2011). Tinea kruris sebagai salah satu dermatofitosis sering
ditemukan pada kulit lipat paha, genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal.
Penyakit ini merupakan penyakit terbanyak yang ditemukan di daerah inguinal,
yaitu sekitar 65-80% dari semua penyakit kulit di inguinal (Yossela, 2015).
Tinea corporis adalah infeksi jamur golongan dermatofita pada daerah wajah,
leher, badan, lengan, tungkai, dan glutea (Budimulja, 2015).

B. Etiologi
Kebanyakan tinea kruris disebabkan oleh Species Tricophyton rubrum
dan Epidermophyton floccosum, dimana E. floccosum merupakan spesies yang
paling sering menyebabkan terjadinya epidemi. T. Mentagrophytes dan T.
verrucosum jarang menyebabkan tinea kruris. Tinea cruris seperti halnya tinea
korporis, menyebar melalui kontak langsung ataupun kontak dengan peralatan
yang terkontaminasi, dan dapat mengalami eksaserbasi karena adanya oklusi
dan lingkungan yang hangat, serta iklim yang lembab (Yossela, 2015).
Semua dermatofita dapat menyebabkan tinea korporis, tetapi yang
merupakan penyebab tersering adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes, Microsporum canis dan Trichophyton tonsurans. Penyebab
tersering penyakit tinea corporis adalah Tricophyton rubrum dengan prevalensi
47% dari semua kasus tinea corporis. (Lesher, 2012).

14
C. Epidemiologi
Menurut World Health Organization (WHO), prevalensi mikosis
superfisial di dunia mencapai 20-25% (Lakshmanan et al., 2015). Di Indonesia,
dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis. Tinea kruris dan
tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak. Berdasarkan urutan
kejadian dermatofitosis, tinea korporis (57%), tinea unguinum (20%), tinea
kruris (10%), tinea pedis dan tinea barbae (6%), dan sebanyak 1% tipe lainnya
(Yossela, 2015).
Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang
penting, di mana prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih
banyak dari wanita. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh kebersihan
perorangan, lingkungan yang kumuh dan padat serta status sosial ekonomi
dalam penyebaran infeksinya. Perpindahan manusia dapat dengan cepat
memengaruhi penyebaran endemik dari jamur. Pemakaian bahan-bahan
material yang sifatnya oklusif, adanya trauma, dan pemanasan dapat
meningkatkan temperatur dan kelembaban kulit meningkatkan kejadian infeksi
tinea. Orang dewasa lebih sering menderita infeksi dermatofita bila
dibandingkan dengan anak-anak (Yossela, 2015).

D. Etiopatogenesis
Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu (Kurniati
& Rosita, 2008) :
1. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara
sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent
“carrier”).
2. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak
langsung maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan
melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur
hewan, tempat makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama
adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.

15
3. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi
manusia dan menimbulkan reaksi radang. Untuk dapat menimbulkan suatu
penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh non spesifik dan
spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan
mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan pejamu, dan
mampu bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan suhu
dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan
menimbulkan reaksi jaringan atau radang.
Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu:
perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta
pembentukan respon pejamu.
1. Perlekatan dermatofit pada keratinosit
Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal
setelah 6 jam, dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang
memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan
memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit juga
melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine
proteinase (urokinase dan aktivator plasminogen jaringan) yang
menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi pejamu.
Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh
sebum antara artrospora dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses
trauma atau adanya lesi pada kulit (Kurniati & Rosita, 2008).
2. Penetrasi dermatofit melewati dan di antara sel
Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan
kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan
sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi
jamur. Diperlukan waktu 4–6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum
korneum setelah spora melekat pada keratin. Dalam upaya bertahan dalam
menghadapi pertahanan imun yang terbentuk tersebut, jamur patogen
menggunakan beberapa cara (Kurniati & Rosita, 2008) :
a. Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang
tebal, memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat

16
pada dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan
membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga jamur dapat
bertahan terhadap fagositosis.
b. Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan
imun pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah
kepada tipe pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada
dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3,
MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan
terhambat.
c. Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung
merusak atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi
toksin atau protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid
dismutase, mensekresi protease yang dapat menurunkan barrier jaringan
sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur, dan memproduksi
siderospore (suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang
digunakan untuk menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik.
Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum
bervariasi dan dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat membatasi
kemampuan dermatofit dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum
(Kurniati & Rosita, 2008). .
3. Respons imun pejamu
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan
respons cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respons lambat. Pada
kondisi individu dengan sistem imun yang lemah (immunocompromized),
cenderung mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian
kemoterapi, obat-obatan transplantasi dan steroid membawa dapat
meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non patogenik
(Kurniati & Rosita, 2008).
a. Mekanisme pertahanan non spesifik
Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan alami
terdiri dari (Kurniati & Rosita, 2008) :

17
1) Struktur, keratinisasi, dan proliferasi epidermis, bertindak sebagai
barrier terhadap masuknya dermatofit. Stratum korneum secara
kontinyu diperbarui dengan keratinisasi sel epidermis sehingga dapat
menyingkirkan dermatofit yang menginfeksinya. Proliferasi epidermis
menjadi benteng pertahanan terhadap dermatofitosis, termasuk proses
peradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi imun yang
dimediasi sel T.
2) Adanya akumulasi netrofil di epidermis, secara makroskopi berupa
pustul, secara mikroskopis berupa mikroabses epidermis yang terdiri
dari kumpulan netrofil di epidermis, dapat menghambat pertumbuhan
dermatofit melalui mekanisme oksidatif.
3) Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated transferrin dan
2-makroglobulin keratinase inhibitor dapat melawan invasi dermatofit.
b. Mekanisme pertahanan spesifik
Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat membangkitkan
baik imunitas humoral maupun cell-mediated immunity (CMI).
Pembentukan CMI yang berkorelasi dengan Delayed Type Hypersensitivity
(DTH) biasanya berhubungan dengan penyembuhan klinis dan
pembentukan stratum korneum pada bagian yang terinfeksi. Kekurangan
CMI dapat mencegah suatu respon efektif sehingga berpeluang menjadi
infeksi dermatofit kronis atau berulang. Respons imun spesifik ini
melibatkan antigen dermatofit dan CMI (Kurniati & Rosita, 2008).

E. Faktor Resiko
Faktor resiko yang dapat menimbulkan penyakit dermatofitosis, dapat
dibagi menjadi 2 yaitu faktor risiko internal dan faktor risiko eksternal
(Behzadi, 2014):
1. Faktor risiko internal
Faktor risiko internal lebih banyak pada usia remaja dan dewasa, jenis
kelamin laki-laki tapi tidak menutup kemungkinan pada wanita, memiliki
pengetahuan dan perilaku higienitas yang kurang, mengalami keringat yang
berlebihan, obesitas (BMI ≥ 25), memiliki penyakit metabolik seperti

18
diabetes melitus, mengalami defisiensi imunitas, riwayat penggunaan obat-
obatan seperti antibiotik, kortikosteroid, dan imunosupresan lainnya.
2. Faktor risiko eksternal
Faktor risiko eksternal yang dapat menyebabkan infeksi diantaranya,
iklim yang panas, lingkungan yang kotor dan lembab, pemakaian bahan
pakaian yang tidak menyerap keringat, lingkungan sosial budaya dan
ekonomi, suka bertukar handuk, pakaian dan celana dalam dengan teman
atau anggota keluarga yang menderita tinea.

F. Manifestasi Klinis
Secara klinis tinea kruris biasanya tampak sebagai papulovesikel
eritematosa yang multipel dengan batas tegas dan tepi meninggi. Terdapat
central healing yang ditutupi skuama halus pada bagian tengah lesi, dengan
tepi yang meninggi dan memerah sering ditemukan. Pruritus sering ditemukan,
seperti halnya nyeri yang disebabkan oleh maserasi ataupun infeksi sekunder.
Tinea kruris yang disebabkan oleh E. floccosum paling sering menunjukkan
gambaran central healing, dan paling sering terbatas pada lipatan genitokrural
dan bagian pertengahan paha atas. Sebaliknya, infeksi oleh T. rubrum sering
memberikan gambaran lesi yang bergabung dan meluas sampai ke pubis,
perianal, pantat, dan bagian abdomen bawah. Tidak terdapat keterlibatan pada
daerah genitalia (Yossela, 2015).
Lokalisasi lesi tinea korporis adalah wajah, anggota gerak atas dan
bawah, dada, punggung. Gejala subjektif yaitu keluhan gatal, terutama jika
berkeringat. Karena gatal dan digaruk, lesi akan makin meluas, terutama pada
daerah kulit yang lembap. Efloresensi/sifat-sifatnya lesi adalah berbentuk
makula / plak yang merah / hiperpigmentasi dengan tepi aktif dan
penyembuhan sentral. Pada tepi lesi dijumpai papula-papula eritematosa
atau vesikel. Pada perjalanan penyakit yang kronik dapat dijumpai likenifikasi.
Gambaran lesi dapat polisiklis, anular atau geografis (Siregar, 2005).

19
G. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan
klinis yang berupa kerokan kulit. Bahan untuk pemeriksaan mikologik diambil
dan dikumpulkan kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH lalu diperiksa
langsung dengan mikroskop. Pemeriksaan kerokan kulit dengan ditambahkan
KOH akan dijumpai adanya hifa panjang bersepta disertai dengan spora
(Weller et al., 2008).
Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik namun
membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang rendah,
harga yang lebih mahal dan biasanya digunakan hanya pada kasus yang berat
dan tidak berespon pada pengobatan sistemik. Kultur perlu dilakukan untuk
menentukan spesiesnya karena semua spesies dermatofita tampak identik pada
sediaan langsung. Pembiakan dilakukan pada medium agar Sabouraud karena dianggap
merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan jamur. Media kultur
diinkubasi pada suhu kamar 26°C (78,8°F) maksimal selama 4 minggu, dan
dibuang bila tidak ada pertumbuhan (Yossela, 2015).
Punch biopsi Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
namun sensitifitasnya dan spesifisitasnya rendah. Pada pengecatan dengan
Peridoc Acid– Schiff, jamur akan tampak merah muda atau dengan
menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau
hitam. Penggunaan lampu wood menghasilkan sinar ultraviolet 360 nm, (atau
sinar “hitam”) yang dapat digunakan untuk membantu evaluasi penyakit kulit
dan rambut. Pemeriksaan lampu Wood didapatkan lesi berpendaar kuning
kehijauan (Yossela, 2015).

H. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dengam
melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi dan pemeriksaan penunjang.
Gejala klinisnya berupa rasa gatal yang meningkat pada saat berkeringat.
Pemeriksaan fisik didapatkan adanya lesi eritematosa dan atau papulovesikel
yang multipel dengan batas tegas dan tepi yang meninggi, berbentuk polisiklik
atau bulat berbatas tegas, polimorfik dan tepi lebih aktif. Pada pemeriksaan

20
penunjang yaitu dilakukan pemeriksaan mikroskopis langsung dengan kerokan
dan tetes KOH serta kultur (Yossela, 2015).

I. Diagnosis Banding
1. Kandidiasis
Lesi makula dan plak eritem disertai lesi satelit membentuk gambaran
korimbiformis, disertai dengan pseudomembran. Predileksi khas pada
lipatan payudara, intergluteal, inguinal, lipat ketiak, umbilical. Pada
pemeriksaan KOH 10-20% didapatkan pseudohifa dan blastospora.
2. Psoriasis
Lesi berupa plakat eritema berbatas tegas disertai skuama lebih tebal
dan berlapis-lapis seperti mika. Keluhan biasanya menahun dan terdapat
tanda khas psoriasis seperti autpitz sign, fenomena koebner, candle sign.
Predileksi pada daerah wajah, ekstremitas ekstensor, daerah lumbosakral.
3. Pityriasis rosea
Lesi berupa makula eritroskuamosa anular dan solitar, bentuk
lonjong dengan tepi hampir tidak nyata meninggi dan bagian sentral
bersisik. Lesi sesuai dengan garis lipatan kulit menyerupai pohon cemara
terbalik (herald patch). Keluhan timbul bercak seluruh tubuh terutama
daerah yang tertutup pakaian berbentuk bulat mengikuti lipatan kulit.
Diawali bercak besar disekitarnya terdapat bercak kecil. Predileksi dapat
tersebar diseluruh tubuh, terutama pada tempat yang tertutup pakaian.

J. Terapi
Formulasi topikal dapat membasmi area yang lebih kecil dari infeksi,
tetapi terapi oral diperlukan di mana wilayah infeksi yang lebih luas yang
terlibat atau di mana infeksi kronis atau berulang. Infeksi dermatofita dengan
krim topikal antifungal hingga kulit bersih (biasanya membutuhkan 3 sampai 4
minggu pengobatan dengan azoles dan 1 sampai 2 minggu dengan krim
terbinafine) dan tambahan 1 minggu hingga secara klinis kulit bersih. Terapi

21
topikal untuk pengobatan tinea kruris termasuk: terbinafine, butenafine,
ekonazol, miconazole, ketoconazole, klotrimazole, ciclopirox (Yossela, 2015).
Infeksi dermatofitosis dapat pula diobati dengan terapi sistemik.
Beberapa indikasi terapi sistemik dari infeksi dermatofita antara lain (Yossela,
2015) :

a. Infeksi kulit yang luas.


b. Infeksi kulit yang gagal dengan terapi topikal.
c. Infeksi kulit kepala.
d. Granuloma majocchi.
e. Onychomicosis dengan melibatkan lebih dari 3 buah kuku.

Medikamentosa pada dermatofitosis, termasuk (Yossela, 2015).


a. Griseovulfin: pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat
diatasi dengan pemberian griseovulvin. Obat ini bersifat fungistatik. Secara
umum griseovulfin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis
0,5 – 1 untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak- anak sehari atau 10
– 25 mg per kg berat badan. Lama pengobatan bergantung pada lokasi
penyakit, penyebab penyakit dan keadaan imunitas penderita. Setelah
sembuh klinis di lanjutkan 2 minggu agar tidak residif.
b. Butenafine adalah salah satu antijamur topikal terbaru diperkenalkan dalam
pengobatan tinea kruris dalam dua minggu pengobatan dimana angka
kesembuhan sekitar 70%.
c. Flukonazol (150 mg sekali seminggu) selama 4-6 minggu terbukti efektif
dalam pengelolaan tinea kruris dan tinea corporis karena 74% dari pasien
mendapatkan kesembuhan.
d. Itrakonazol dapat diberikan sebagai dosis 400 mg / hari diberikan sebagai
dua dosis harian 200 mg untuk satu minggu.
e. Terbinafine 250 mg / hari telah digunakan dalam konteks ini klinis dengan
rejimen umumnya 2-4 minggu.
f. Itrakonazol diberikan 200 mg / hari selama 1 minggu dianjurkan, meskipun
rejimen 100 mg / hari selama 2 minggu juga telah dilaporkan efektif.

22
g. Ketokonazol bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap griseovulfin
dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg perhari selama 10 hari – 2
minggu pada pagi hari setelah makan. Selama terapi 10 hari, gambaran
klinis memperlihatkan makula hipopigmentasi dan hiperpigmentasi.
Pemeriksaan ulang KOH 10% dapat tidak ditemukan kembali.
Penatalaksanaan dermatofitosis tidak hanya diselesaikan secara
medikamentosa, namun dapat juga dilakukan secara nonmedikamentosa dan
pencegahan dari kekambuhan penyakit sangat penting dilakukan, seperti
mengurangi faktor predisposisi, yaitu menggunakan pakaian yang menyerap
keringat, mengeringkan tubuh setelah mandi atau berkeringat, dan
membersihkan pakaian yang terkontaminasi (Yossela, 2015).

K. Prognosis
Terapi yang benar dan menjaga kebersihan kulit, pakaian dan
lingkungan. Prognosis tinea korporis dan kruris adalah baik. Penting juga untuk
menghilangkan sumber penularan untuk mencegah reinfeksi dan penyebaran
lebih lanjut (El-Gohary, 2014).

L. Komplikasi
Penderita tinea kruris dan tinea corporis dapat terjadi komplikasi infeksi
sekunder oleh mikroorganisme candida atau bakteri. Pemberian obat steroid
topikal dapat mengakibatkan eksaserbasi jamur sehingga menyebabkan
penyakit menyebar dan bertambah parah (Budimulja, 2015).

23
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Penegakan Diagnosis
Kelainan kulit yang terjadi pada kasus adalah tinea corporis. Tinea
corporis adalah infeksi jamur golongan dermatofita pada daerah wajah, leher,
badan, lengan, tungkai, dan glutea (Budimulja, 2015). Alasan penegakan
diagnosis yaitu:
1. Anamnesis
a. Keluhan gatal bersifat hilang timbul sejak 1 bulan yang lalu dan
memberat sejak 1 minggu terakhir pada perut, lipatan payudara,
punggung, dan bokong.
b. Gatal semakin bertambah ketika pasien berkeringat
c. Awalnya pasien mengeluhkan gatal pada punggung lalu muncul bercak
berwarna kemerahan, bercak dirasakan semakin meluas dan bersisik.
d. Pasien mengganti pakaian 1x sehari dan mencuci handuk 4 minggu
sekali.
e. Pasien makan 3x sehari berupa nasi, sayur, lauk seadanya dan gorengan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Lesi kulit berupa makula eritematosa dengan skuama diatasnya,
polimorfik berbatas tegas, terdapat papula eritem di tepi lesi, tepi aktif
penyembuhan ditengah lesi (central healing) pada regio thoracalis
anterior et posterior, regio abdomen dan regio gluteus maximus
b. Pasien memiliki faktor predisposisi obesitas dengan IMT 32 kg/m2
(Obesitas grade II).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10% didapatkan hifa panjang
bersepta dengan spora.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang dapat
disimpulkan bahwa pasien mengalami Tinea Corporis dan didapatkan faktor
predisposisi Tinea Corporis pada pasien ini karena obesitas.

24
B. Diagnosis Banding
1. Kandidiasis
Lesi makula dan plak eritem disertai lesi satelit membentuk gambaran
korimbiformis, disertai dengan pseudomembran. Predileksi khas pada
lipatan payudara, intergluteal, inguinal, lipat ketiak, umbilikal. Pada
pemeriksaan KOH 10-20% didapatkan pseudohifa dan blastospora.
2. Psoriasis
Lesi berupa plakat eritema berbatas tegas disertai skuama lebih tebal
dan berlapis-lapis seperti mika. Keluhan biasanya menahun dan terdapat
tanda khas psoriasis seperti autpitz sign, fenomena koebner, candle sign.
Predileksi pada daerah wajah, ekstremitas ekstensor, daerah lumbosacral.
3. Pityriasis rosea
Lesi berupa makula eritroskuamosa anular dan solitar, bentuk lonjong
dengan tepi hampir tidak nyata meninggi dan bagian sentral bersisik. Lesi
sesuai dengan garis lipatan kulit menyerupai pohon cemara terbalik (herald
patch). Keluhan timbul bercak seluruh tubuh terutama daerah yang tertutup
pakaian berbentuk bulat mengikuti lipatan kulit. Diawali bercak besar
disekitarnya terdapat bercak kecil. Predileksi dapat tersebar diseluruh tubuh,
terutama pada tempat yang tertutup pakaian.

C. Penatalaksanaan
1. Edukasi
a. Menjaga kebersihan badan.
b. Tidak memakai pakaian ketat dan duduk terlalu lama.
c. Menggunakan pakaian yang menyerap keringat.
d. Tidak bertukar handuk dan pakaian dengan orang lain.
e. Edukasi pasien supaya tidak menggaruk lesi karena dapat menyebabkan
infeksi sekunder.
f. Mengurangi makanan berminyak dan berlemak.
g. Memperbanyak makan sayur dan buah.
h. Mandi 2x sehari.
i. Ganti baju 2x sehari.

25
j. Sering mencuci handuk, sprei, dan pakaian.
k. Olahraga secara teratur.
l. Kurangi stress psikis dan istirahat yang cukup.
m. Edukasi penyebab penyakit, pemakaian obat baik topikal maupun oral
sesuai anjuran dokter.

2. Farmakologis
a. Cetirizine tablet; 1 x 10 mg/ hari
Cetirizine adalah antihistamin kerja panjang yang mempunyai
selektivitas tinggi terhadap reseptor histamin-H1 perifer dan afinitas yang
rendah terhadap reseptor-H1 di susunan saraf pusat, sehingga tidak
menimbulkan efek sedasi atau antikolinergik gatal dan terbakar pada
mata. Selain itu loratadine juga mengobati gejala-gejala seperti urtikaria
kronik dan gangguan alergi pada kulit lainnya.Pada kasus ini digunakan
untuk mengatasi keluhan gatal yang dirasakan oleh pasien (Katzung,
2004).
b. Ketokonazol tablet; 2 x 200 mg/ hari.
Ketokonazol merupakan fungistatik yang bekerja melalui inhibisi
sintesis ergosterol dependen-sitokrom p450 yang berperang dalam
pembentukan membran sel. Ketokonazol memiliki hepatotksik sehigga
tidak dianjurkan sebagai terapi lini pertama (El-Gohary, 2014).
c. Krim Mikonazol 2%
Obat topikal dala sediaan krim diberikan pada pasien untuk
dioleskan tipis pada area yang gatal secara teratur sebanyak 2 kali sehari.
Mikonazol merupakan obat antifungal bekerja secara fungistatik dengan
mengubah permebilitas membran sel fungi sehingga merusak sistem
barier selektif yang berdampak pada ketidaksimbangan komponen sel
(Budimulja, 2015).

26
BAB V
KESIMPULAN

1. Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan tubuh yang mengandung keratin


atau zat tanduk, misal stratum korneum pada epidermis, rambut, serta kuku,
yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita yaitu Epidermophyton,
Mycrosporum dan Trycophyton dan diantaranya adalah tinea corporis dan tinea
cruris.
2. Keluhan gatal bersifat kronik pada lipatan payudara, punggung, dan bokong
semakin bertambah ketika berkeringat.
3. Predisposisi berupa obesitas berganti pakaian 1x sehari, dan mencuci handuk 4
minggu sekali.
4. Lesi kulit berupa makula eritematosa polimorfik berbatas tegas, terdapat papula
eritem, diatas lesi terdapat skuama dan tepi aktif penyembuhan ditengah lesi
(central healing) pada regio axillaris sinistra, thoracalis anterior, inguinalis
dextra et sinistra, dan cruris sinistra.
5. Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10% didapatkan hifa panjang bersepta
dengan spora.
6. Pengobatannya dapat secara sistemik dan topikal dilakukan sesuai dengan luas
lesi. Pengobatan harus dilakukan selama 2-4 minggu tanpa putus obat, serta
selalu menjaga kebersihan badan dan lingkungan.

27
DAFTAR PUSTAKA

Behzadi, P. 2014. Dermatophyte fungi: Infections, Diagnosis and Treatment.


Sikkim Manipal University Medical Journal; 1(2): 53-54

Budimulja U. Mikosis. Dalam Sri Luniwih, Menaldi,Hamzah M, dan Aisah,


Kusmarinah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.

El-Gohary, M., J. Zuuren, Z. Fedorowics, H. Burgess, dan L. Doney. 2014.


Topical Antifungal Treatment for Tinea Cruris and Tinea Corporis.
Cochrane Databse System Review.

James, W., Berger, dan D. Elston. 2011. Andrews’ Disease of the Skin, Clinical
Dermatology 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.

Lakshmanan A, Ganeshkumar P, Mohan S R, Hemamalini M, Madhavan R.


Epidemiological and clinical pattern of dermatomycoses in rural India.
Indian J Med Microbiol 2015;33, Suppl S1:134-6

Lesher, J. L. 2012. Tinea corporis. US: Medical College of Georginia.

Manjula, P., Parameswari, K. 2016. A Study of Nondermatophytic


Dermatomycosis in Patients Attending a Tertiary Care Hospital in
Vijayawada, Andhra Pradesh, India. Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci (2016)
5(4): 452-458

Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005.

Weller R, Hunter JA, Savin JA, Dahl MV. Clinical Dermatology. Edisi ke-
4.Massachusetts: Blackwell Publishing; 2008.h.251.

Yossela, T. 2015. Diagnosis and Treatment of Tinea Cruris. J MAJORITY


Volume 4 Nomor 2

28

Anda mungkin juga menyukai