Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN HEMODIALISA

DISUSUN OLEH :
NAMA: Andi Arnis
Zainal NIM:
105111104422

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU

KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2023/2024
KONSEP HEMODIALISIS

A. Definisi Hemodialisis
Hemodialis merupakan terapi yang dilakukan untuk menggantikan fungsi kerja
ginjal dengan menggunakan suatu alat yang di buat khusus bertujuan untuk
mengobati gejala serta tanda akibat LFG dengan kadar rendah, target
dilakukannya terapi ini adalah untuk menambah jangka waktu hidup penderita
CKD serta dapat meningkatkan kualitas hidup penderita. Secara sederhana
hemodialisis dapat diartikan sebagai metode pencucian darah, dengan cara
membuang sisa ataupun senyawa berbahaya yang berlebihan, lewat membran
semi permeabel yang dilakukan untuk menggantikan fungsi ginjal yang sudah
tidak berfungsi dengan baik. Hemodialisis adalah suatu proses pemisahan atau
penyaringan darah melalui membran semipermeabel yang dilakukan pada pasien
dengan penurunan fungsi ginjal baik yang kronik maupun akut (Lumbantobing,
2022).
B. Tujuan Hemodialisis
Tujuan dilakukannya terapi hemodialysis adalah sebagai berikut :
1. Menggantikan peranan ginjal dalam membuang sisa-sia metabolisme dalam
tubuh, diantaranya ureum, dan kreatinin.
2. Menggantikan peranan ginjal dalam proses pengeluaran cairan tubuh yang
semestinya dikeluarkan dalam bentuk urin dan menjaga keseimbangan
elektolit dan asam basa.
3. Menggantikan fungsi ginjal ketika menunggu pengobatan yang lain.
4. Meningkatkan kualitas hdup pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal.
C. Indikasi Hemodialisis
Indikasi hemodialisis dibagi menjadi dua jenis, yaitu (Nuari 2017):
a) Hemodialisis emergency
Tindakan hemodialisis harus dilakukan segera, indikasi hemodialisis emergency
antara lain disebabkan karena:
1. Kegawatan ginjal seperti uremia berat atau overhidrasi, oliguria (produksi
urine < 200ml/12 jam), anuria Produksi urine 6,5 dan disertai perubahan
pada EKG), asidosis berat (pH 150mg/dL), ensefalopati uremia,
neuropati/miopati uremia, pericarditis uremikum, dan hipernatremia berat
(Na>160 atau <115 mmol/L).
2. Keracunan akut yang bisa melewati membrane dialisis seperti keracunan
alkohol dan obat-obatan.
b) Hemodialisis kronik
Menurut K/DOQI dialisis dilakukan jika GFR pasien ,15 ml/menit, disertai
gejala uremia yaitu letarghy, anoreksia,nausea,mual dan muntah, adanya
gejala malnutrisi yang ditandai dengan hilangnya masa otot atau adanya
hipertensi, kelebihan cairan dan komplikasi reftrakter.
D. Kontraindikasi
Kontraindikasi tindakan hemodialisis diantaranya adalah (Nuari 2017) :
1. Hipotensi
2. Sindroma otak organik
3. Akses vaskuler yang sulit
4. Hemodinamik dan koagulasi yang tidak stabil
5. Alzheimer
6. Demensia multi infark
7. Sindroma hepatorenal
8. Sirosis hepatis
E. Komplikasi Hemodialisis
Hemodialisis merupakan intervensi untuk mengganti sebagian dari fungsi ginjal.
Intervensi ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal tahap akhir stadium
akhir. Walaupun intervensi hemodialisis saat ini mengalami perkembangan yang
cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat
menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang
menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya
menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat
hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani
hemodialisis regular, namun sekitar 5-15% dari responden hemodialisis tekanan
darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau
intradialytic hypertension (Agarwal dkk dalam Mahmudah, 2017). Komplikasi
hemodialysis dibagi menjadi dua yakni : a) Komplikasi Akut
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, hipertensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada,
sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil.
Tabel 1. Komplikasi Hemodialisa

Komplikasi Penyebab
Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan,
terapi antihipertensi, infark jantung,
temponade, reaksi anafilaksis

Hipertensi Kelebihan natrium dan air,


ultrafiltrasi yang tidak adekuat
Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung,
heparin, besi, lates

Aritmia Gangguan elektronik, perpindahan


cairan yang terlalu cepat, obat
antiaritmia yang terdialisis

Kram Otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan


elektrolit

Emboli Udara Udara memasuki sirkuit darah


Dialysis Disequilibirium - Perpindahan osmosis antara intrasel
dan ekstrasel menyebabkan sel
menjadi bengkak, edema serebral

- Penurunan konsentrasi urea plasma


yang terlalu cepat

Masalah pada dialisat chlorine Hemolisis oleh karena menurunnya


kolom charcoal
Kontaminasi Fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal,
snikop, tetanus, gejala neurologi,
aritmia

Kontaminasi bakteri/ Endotoksin Demam, menggigil, hipotensi oleh


karena kontaminasi dari dialisat
maupun sirkuit air

(Sumber: Sudoyo, 2019)


b) Komplikasi kronik
Komplikasi kronik yang terjadi pada responden hemodialisis yaitu penyakit
jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, Renal osteodystrophy,
Neurophaty, disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan
perdarahan, infeksi, amiloidosis, dan Acquired cystic kidney disease (Bieber
dkk dalam Mahmudah, 2013).
F. Alat-Alat Hemodialisis
a) Arterial – Blood Line (AVBL) AVBL terdiri dari :
1. Arterial Blood Line (ABL)
Adalah tubing / line plastik yang menghubungkan darah dari tubing akses
vaskular tubuh pasien menuju dialiser, disebut inlet ditandai dengan warna
merah.
2. Venouse Blood Line
Adalah tubing / line plastik yang menghubungkan dari dari dialiser dengan
tubing akses vascular menuju tubuh pasien disebut outlet ditandai dengan
warna biru. Priming volume AVBL antara 100-500 ml. Priming volume
adalah volume cairan yang diisikan pertama kali pada AVBL dan
kompartemen dialiser.
b) Fistula Needles
Fistula Needles atau jarum fistula sering disebut sebagai Arteri Vena Fistula
(AV Fistula) merupakan jarum yang ditusukkan ke tubuh pasien PGK yang
akan menjalani hemodialisa. Jarum fistula mempunyai dua warna yaitu warna
merah untuk bagian arteri dan biru untuk bagian vena.
c) Dialyzer atau ginjal buatan (artificial kidney)
Adalah suatu alat dimana prosesdialisis terjadi terdiri dari 2 ruang atau
kompartemen, yaitu: kompartemen darah yaitu ruangan yang berisi darah dan
kompartemen dialisat yaitu ruangan yang berisi dialisat. Kedua kompartemen
dipisahkan oleh membran semipermiabel. Dialiser mempunyai 4 lubang yaitu
dua ujung untuk keluar masuk darah dan dua samping untuk keluar masuk
dialisat. Beberapa syarat dialyzer yang baik adalah volume priming atau
volume dialyzer rendah, clereance dialyzer tinggi sehingga bisa menghasilkan
clearence urea dan creatin yang tinggi tanpa membuang protein dalam darah,
koefesien ultrafiltrasi tinggi dan tidak terjadi tekanan membran yang negatif
yang memungkinkan terjadi back ultrafiltration, tidak mengakibatkan reaksi
inflamasi atau alergi saat proses hemodialisa (hemocompatible), murah dan
terjangkau, bisa dipakai ulang dan tidak mengandung racun.
d) Air Water Treatment
Air dalam tindakan hemodialis dipakai sebagai pencampur dialisat peka
(diasol). Air ini dapat berasal dari berbagai sumber, seperti air PAM dan air
sumur, yang harus dimurnikan dulu dengan cara “water treatment” sehingga
memenuhi standar AAMI (Association for the Advancement of Medical
Instrument). Jumlah air yang dibutuhkan untuk satu deddion hemodialisis
seorang pasien adalah sekitar 120 Liter.
e) Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung elektrolit dalam komposisi tertentu.
Dipasaran beredar dua macam dialisat yaitu dialisat asetat dan dialisat
bicarbonate. Dialisat asetat menurut komposisinya ada beberapa macam yaitu
: jenis standart, free potassium, low calsium dan lain-lain. Bentuk bicarbonate
ada yang powder, sehingga sebelum dipakai perlu dilarutkan dalam air murni
atau air water treatment sebanyak 9,5 liter dan ada yang bentuk cair (siap
pakai).
f) Mesin Hemodialisis
Ada bermacam-macam mesin hemodialisis sesuai dengan mereknya. Tetapi
prinsipnya sama yaitu blood pump, sistem pengaturan larutan dialisat, system
pemantauan mesin terdiri dari blood circuit dan dillisat circuit dan sebagai
monitor sebagai deteksi adanya kesalahan. Dan komponen tambahan seperti
heparin pump, tombol bicarbonate, control ultrafiltrasi, program ultrafiltrasi,
kateter vena, blood volume monitor.
G. Proses Hemodialisis
Proses hemodialisis dengan menggunakan selaput membran semi permiabel yang
berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme
dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal
ginjal. Proses dialisa menyebabkan pengeluaran cairan dan sisa metabolisme
dalam tubuh serta menjaga keseimbangan elektrolit dan produk kimiawi dalam
tubuh ( Ignatavicius dan Workman., 2010).
Pada hemodialisis, darah dipompa melewati satu sisi membran semipermeabel
sementara cairan dialisat dipompa melewati dari sisi lain dengan arah gerakan
yang berlawanan. Membran biasanya diletakkan di dalam wadah sebagai
lembaran yang memiliki lubang di tengahnya. Jumlah cairan yang dikeluarkan
melalui ultrafiltrasi dikontrol dengan mengubah tekanan hidrostatik darah
dibandingkan dengan cairan dialisat. Darah mengalir dari tubuh melalui akses
arterial menuju ke dialiser sehingga terjadi pertukaran darah dan sisa zat. Darah
harus dapat keluar masuk tubuh klien dengan kecepatan 200-400 ml/menit.
Cairan dialisat terbuat dari konstituen esensial plasma – natrium, kalium, klorida
kalsium, magnesium, glukosa dan suatu bufer seperti bikarbonat, asetat atau
laktat. Darah dan dialisat mencapai kesetimbangan di kedua sisi membran.
Dengan demikian, komposisi plasma dapat dikontrol dengan mengubah
komposisi dialisat. Konsentrasi kalium dalam dialisat biasanya lebih rendah
daripada dalam plasma sehingga memacu pergerakan kalium keluar darah.
Heparin digunakan dalam sirkuit dialisis untuk mencegah penggumpalan darah.
Pada pasien yang memiliki risiko perdarahan, prostasiklin dapat digunakan untuk
hal tersebut walaupun dapat menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi.
Selama proses hemodialisis, darah yang kontak dengan dialiser dan selang dapat
menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Hal ini dapat mengganggu kinerja
dialiser dan proses hemodialisis (Sudoyo, dkk., 2009). Untuk mencegah
terjadinya pembekuan darah selama proses hemodialisis, maka perlu diberikan
suatu antikoagulan agar aliran darah dalam dialiser dan selang tetap lancar.
Antikoagulan yang digunakan adalah heparin (Supeno., 2010).
Gambar 1. Proses Hemodialis
(Sumber: US Department of Health and Human Service., 2006)

Dialysis diakhiri dengan menghentikan darah dari klien, membuka selang normal
salin dan membilas selang untuk mengembalikan darah pasien. Pada akhir
dialysis, sisa akhir metabolism dikeluarkan, keseimbangan elektrolit tercapai dan
buffer system telah diperbaharui (Brunner & Suddart, 2010).
H. Lama Waktu Hemodialisis
Lama waktu hemodialisis terbagi menjadi dua kategori yaitu (Insani et al., 2019):
a) Kategori baru apabila terapi hemodialisis kurang dari 24 bulan
b) Kategori lama apabila terapi hemodialisis telah lebih dari 24 bulan Lama
menjalani hemodialisis akan berpengaruh terhadap penurunan kadar asam amino.
Pasien yang menjalani terapi hemodialisis biasanya akan mengalami penurunan
nafsu makan, sehingga asupan makanan pasien akan berkurang dan tubuh akan
kehilangan massa otot dan lemak yang berada di subkutan. Pasien PGK dengan
hemodialisis akan mulai mengalami penurunan berat badan pada tiga bulan
pertama menjalani hemodialisis, kemudian akan menurun secara signifikan
setelah satu tahun menjalani hemodialisis (Syara et al., 2020).
KONSEP CRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

A. Definisi Cronic Kidney Disease (CKD) atau Gagal Ginjal Kronik (GGK)
Ginjal merupakan salah satu organ penting dalam mempertahankan
keseimbangan volume dan komposisi cairan tubuh dalam asupan batas normal,
dengan fungsi utama untuk menyaring (filtrasi) dan mengeluarkan zat-zat sisa
metabolisme (racun) dari dalam tubuh melalui urine, mengatur volume dan
komposisi kimia dalam darah, keseimbangan osmotik, mengatur keasaman dan
basa darah, sistem pengaturan hormon. Jika ginjal telah mengalami kerusakan
maka akan sulit untuk mempertahankan kondisi ginjal yang baik. Salah satu
penyakit akibat kegagalan ginjal dalam melakukan fungsinya adalah Chronic
Kidney Desease (CKD).
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah ketidakmampuan ginjal untuk
mempertahankan keseimbangan dan integritas tubuh yang muncul secara
bertahap lebih dari 3 bulan ditandai dengan kelainan struktur atau fungsi ginjal
dengan atau tanpa adanya penurunan LFG. Menurut Patricia (2010), Chronic
Kidney Desease (CKD) adalah penyakit penurunan fungsi ginjal yang progresif
dan tidak dapat lagi pulih atau kembali sembuh secara total seperti sediakala
(irreversible) dengan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) < 60 mL/menit dalam
waktu 3 bulan atau lebih, sehingga tubuh gagal mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan elektrolit, yang menyebabkan uremia.
B. Epidemiologi Cronic Kidney Disease (CKD)
Penderita Gagal Ginjal terbanyak berada pada kelopok usia 45 - 54 tahun yaitu
sebanyak 31 % dan usia 55 - 64 tahun sebanyak 31% dengan jenis kelamin
terbanyak yaitu laki - laki. Sedangkan peluang hidup pasien satu bulan orang
hemodialisa adalah 87,3% lebih tinggi dibandingkan dengan peluang hidup 1
tahun yaitu sebesar 46,7% (Juwita & Kartika, 2019). Menurut data World Health
Organization (WHO), penyakit gagal ginjal kronis telah menyebabkan kematian
pada 850.000 orang setiap tahunnya. Angka tersebut menunjukkan bahwa
penyakit gagal ginjal kronis menduduki peringkat ke-12 tertinggi sebagai
penyebab angka kematian dunia. Hasil Riskesdas 2018 menunjukan peningkatan
pada pasien gagal ginjal sebanyak 0,38% per 100 penduduk. karena Riskesdas
2013 hanya
menangkap data orang yang terdiagnosis PGK sedangkan sebagian besar PGK di
Indonesia baru terdiagnosis pada tahap lanjut dan akhir (RI, 2017).
C. Etiologi Cronic Kidney Disease (CKD)
Pada dasarnya, penyebab gagal ginjal kronik adalah penurunan laju filtrasi
glomerulus atau yang disebut juga penurunan glomerulus filtration rate (GFR).
Penyebab gagal ginjal kronik menurut (Andra and Yessie, 2013):
a) Gangguan pembuluh darah : berbagai jenis lesi vaskuler dapat menyebabkan
iskemik ginjal dan kematian jaringan ginajl. Lesi yang paling sering adalah
Aterosklerosis pada arteri renalis yang besar, dengan konstriksi skleratik
progresif pada pembuluh darah. Hyperplasia fibromaskular pada satu atau
lebih artieri besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh darah.
Nefrosklerosis yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang
tidak di obati, dikarakteristikkan oleh penebalan, hilangnya elastistisitas
system, perubahan darah ginjal mengakibatkan penurunan aliran darah dan
akhirnya gagal ginjal.
b) Gangguan imunologis : seperti glomerulonephritis.
c) Infeksi : dapat dijelaskan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli yang
berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini
mencapai ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara ascenden
dari traktus urinarius bagiab bawah lewat ureter ke ginjal sehingga dapat
menimbulkan kerusakan irreversible ginjal yang disebut pielonefritis.
d) Gangguan metabolik : seperti DM yang menyebabkan mobilisasi lemak
meningkat sehingga terjadi penebalan membrane kapiler dan di ginjal dan
berlanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefropati amiloidosis yang
disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal pada dinding
pembuluh darah secara serius merusak membrane glomerulus.
e) Gangguan tubulus primer : terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau logam
berat.
f) Obstruksi traktus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan kontstriksi
uretra.
g) Kelainan kongenital dan herediter : penyakit polikistik sama dengan kondisi
keturunan yang dikarakteristik oleh terjadinya kista atau kantong berisi cairan
didalam ginjal dan organ lain, serta tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat
konginetal (hypoplasia renalis) serta adanya asidosis.
D. Patofisologi Cronic Kidney Disease (CKD)
Penyakit gagal ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangannya selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Mula-mula karena adanya zat toksik. Infeksi dan obstruksi
saluran kemih yang menyebabkan retensu urine. Dari penyebab tersebut
glomerular filtration rate (GFR) di seluruh masa nefron turun dibawah normal.
Hal yang dapat terjadi dari menurunnya GFR meliputi: sekresi ptotein terganggu,
retensi Na dan sekresi eritropoitin turun. Hal ini mengakibatkan terjadinya
sindrom uremia yang diikuti oleh peningkatatn asam lambung yang meningkat
akan merangsang mual, dapat juga terjadi iritasi pada lambung dan pendarahan
jika iritasi pada lambung dan pendarahan tersebut tidak ditangani yang dapat
menyebabkan melena.
Proses retensi Na menyebabkan total cairan ekstra seluler meningkat, kemudian
terjadilah edema. Edema tersebut menyebabkan beban jantung naik sehingga
adanya hipertrofi ventriker kiri dan curah jantung menurun. Proses hipertrofi
tersebut diikuti juga dengan menurunnya cardiac output yang menyebabkan
mernurunnya aliran darah ke ginjal, kemudian terjadilah retensi Na dan H2O
meningkat. Hal ini menyebabkan kelebihan volume cairan pada pasien GGK.
Menurunnya cardiac output juga dapat menyebabkan suplai oksigen ke jaringan
mengalami penurunan menjadikan metabolism anaerob menyebabkan timbunan
asam meningkat sehingga nyeri sendi terjadi, selain itu cardiac output juga dapat
mengakibatkan penurunan suplai O2 ke otak yang dapat mengakibatkan
kehilangan kesadaran.
Hipertrofi ventrikel akan mengakibatkan ventrikel jantung kiri naik,
mengakibatkan tekanan vena pulmonalis sehingga kapiler paru naik terjadi
edema paru yang mengakibatkan difusi O2 dan CO2 terhambat sehingga pasien
merasakan sesak. Adapun Hb yang menurun akan mengakibatkan suplai O2 Hb
turun dan pasien GGK akan mengalami kelemahan atau gangguan perfusi
jaringan (Corwin 2009).
E. Klasifikasi Cronic Kidney Disease (CKD)
Penyakit CKD selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR yang tersisa
(Muttaqin & Sari, 2011). (Price dan Wilson, 2012) menjelaskan perjalanan klinis
umum CKD progresif dibagi menjadi tiga stadium yaitu: a) Stadium 1
(penurunan cadangan ginjal)
Pada stadium pertama kreatinin serum dan kadar BUN normal dan
asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat terdeteksi dengan memberi
beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti tes pemekatan urine.
(Muttaqin & Sari, 2011). menjelaskan penurunan cadangan ginjal yang terjadi
apabila GFR turun 50% dari normal.
b) Stadium 2 (insufisiensi ginjal)
Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (GFR besarnya 25% dari
normal). Pada tahap ini BUN mulai meningkat diatas normal, kadar kreatinin
serum mulai meningkat melebihi kadar normal, azotemia ringan, timbul
nokturia dan poliuri.
c) Stadium 3 (gagal ginjal stadium akhir / uremia)
Stadium ketiga disebut penyakit ginjal stadium akhir (ERSD) yang dapat
terjadi apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai GFR 10% dari keadaan
normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml permenit atau kurang.
Pada tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN meningkat sangat menyolok
sebagai respons terhadap GFR yang mengalami sedikit penurunan. KDOQI
merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan
GFR yaitu:

(Sumber : KDIGO 2013)


F. Gejala klinis Cronic Kidney Disease (CKD)
Kardiyudiani & Susanti (2019) mengemukakan tanda dan gejala klinis pada gagal
ginjal kronik dikarenakan gangguan yang bersifat sistemik. Ginjal sebagai organ
koordinasi dalam peran sirkulasi memiliki fungsi yang banyak (organ
multifunction), sehingga kerusakan kronis secara fisiologi ginjal akan
mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi dan vasomotor. Tanda dan
gejala pada gagal ginjal kronik juga berlangsung lambat. Berikut tanda dan gejala
dari gagal ginjal kronik meliputi : a) Mual.
b) Muntah.
c) Kehilangan selera makan.
d) Kelelahan dan kelemahan.
e) Perubahan volume dan frekuensi buang air kecil.
f) Pembengkakan kaki dan pergelangan kaki.
Pembengkakan kaki dan pergelangan kaki atau disebut dengan edema. Edema
bisa diukur dengan mengukur derajat pitting edema, berikut penilaian derajat
pitting edema :

Gambar 2. Derajat Pitting Edema (Sumber


: Denada 2015)
g) Gatal terus-menerus.
h) Nyeri dada, jika cairan menumpuk disekitar selaput jantung.
i) Sesak napas, jika cairan menumpuk di paru-paru.
j) Tekanan darah tinggi yang sulit dikendalikan.
G. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang Cronic Kidney Disease (CKD)
Pemeriksaan penunjang pada klien dengam Chronic Kidney Disease (CKD)
menurut Sudoyo, 2015. :
a) Urinalisasi : PH asam, SDP, SDM, berat jenis urin (24 jam) : volume normal,
volume kosong atau rendah, proteiurea, penurunan klirens kreatinin kurang
dari 10 ml permenit menunjukan kerusakan ginjal yang berat.
b) Hitungan darah lengakap : penurunan hematokrit/HB, trombosit, leukosit,
peningkaan SDP.
c) Pemerikasaan urin : Warna PH, kekeruhan, glukosa, protein, sedimen, SDM,
keton, SDP, CCT.
d) Kimia darah : kadar BUN, kreatinin, kalium, kalsium, fosfor, natrium, klorida
abnormal.
e) Uji pencitraan : pemindaian ginjal, CT scan.
f) Pielografi intra vena jarang dikerjakan, karena kontras tidak dapat melewati
filter glomerolus, disamping kekawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
g) Piolografi antegrad atau retrograt sesuai dengan indikasi.
h) Pemeriksaan lab CCT (Clirens Creatinin Test) untuk mengetahui laju filtrasi
glomerulus.
Terdapat juga pemeriksaan diagnostic lainnya yakni :
a) Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besa ginjal (adanya batu atau
adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal, oleh
sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
b) Intravena Pielografi (IVP) untuk menilai sisem pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penuruna faal ginjal pada keadaan tertentu
misalnya, usia lanjut, diabetes mellitus, dan nefropati, asam urat.
c) USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung
kemih, dan prostat.
d) Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vascular, parenkim, ekskresi), serta sisa fungsi ginjal.
e) EKG untuk melihat kemungkinan, hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
pericarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia) (Muttaqin 2011).
H. Therapy atau Tindakan Penanganan Cronic Kidney Disease (CKD)
Perawatan biasanya terdiri dari tindakan untuk membantu mengontrol tanda
dan gejala, mengurangi komplikasi, dan memperlambat perkembangan
penyakit, hingga perawatan untuk penyakit ginjal stadium akhir.
a) Mengobati penyebab gagal ginjal kronik terdapat pilihan yang bervariasi
tergantung penyebabnya, namun kerusakan ginjal dapat terus memburuk
bahkan ketika kondisi yang mendasarinya seperti tekanan darah tinggi telah
dikendalikan.
b) Mengobati komplikasi penyakit gagal ginjal kronik dapat dikendalikan untuk
membuat pasien merasa lebih nyaman. Pengobatan untuk mengobati
komplikasi meliputi :
1. Pemberian obat tekanan darah tinggi
Orang dengan penyakit ginjal mungkin mengalaimi tekanan darah tinggi
yang semakin memburuk, dokter dapat merekomendasikan obat-obatan
untuk menurunkan tekanan darah dan untuk mempertahankan fungsi
ginjal, biasanya berupa penghambat angiotensin-converting enzyme
(ACE) atau angiotensin receptor blocker (ARB) II. Obat tekanan darah
tinggi pada awalnya dapat menunkan fungsi ginjal dan mengubah tingkat
elektrolit, untuk itu pasien sedapat mungkin melakukan tes darah untuk
memantau kondisinya. Dokter juga akan merekomendasikan pil diuretic
dan diet rendah garam.
2. Pemberian obat untuk mengurangi kadar kolesterol
Dokter dapat merekomendasikan statin untuk menurunkan kolesterol,
orang dengan penyakit ginjal kronis sering mengalami tingkat kolesterol
jahat yang tinggi, yang dapat meningkatkan penyakit jantung.
3. Pemberian obat untuk mengobati anemia
Dalam situasi tertentu, dokter bisa merekomendasikan suplemen hormon
eritropoietin, kadang-kadang dengan zat besi tambahan. Suplemen
eritropoietin membantu memproduksi lebih banyak sel darah merah yang
dapat menghilangkan kelelahan dan kelemahan yang terkait dengan
anemia.
4. Pemberian obat untuk menghilangkan bengkak
Orang dengan penyakti ginjal kronik dapat mempertahankan cairan. Ini
dapat menyebabkan pembengkakan di kaki, serta tekanan darah tinggi.
Diuretik dapat menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh.
5. Pemberian obat untuk mencegah kerusakan tulang
Dokter bisa meresepkan suplemen kalsium dan vitamin D untuk
mencegah tulang yang lemah dan menurunkan resiko patah tulang.
Pengikat fosfat untuk menurukan jumlah fosfat dalam darah dan
melindungi pembuluh darah dari kerusakan oleh endapan kalsium
(kalsifikasi) juga dapat direkomendasikan.
6. Diet protein rendah untuk meminimalkan peroduk limbah dalam darah
Ketika tubuh memproses protein dari makanan, tubuh menciptakan
produk limbah yang harus disaring ginjal dari darah. Untuk mengurangi
jumlah pekerjaan yang harus dilakukan ginjla, pasien perlu makan lebih
sedikit protein.
c) Perawatan untuk penyakit ginjal stadium akhir memerlukan dialysis atau
transplantasi ginjal.
1. Dialisis secara artifisial menghilangkan produk limbah dan cairan ekstra
dari darah ketika ginjal berhenti berfungsi. Dalam hemodialysis, mesin
menyaring limbah dan kelebihan dari darah, dalam dialysis peritoneal
tabung tipis (kateter) dimasukkan kedalam perut dan mengisi rongga
perut dengan larutan dialysis yang menyerap limbah dan cairan berlebih.
Setelah beberapa waktu, larutan dialysis dialirkan dari tubuh dan
membawa limbah dari dalam tubuh.
2. Transplantasi ginjal melibatkan pembedahan untuk menempatkan ginjal
yang sehat dari donor kedalam tubuh pasien. Transplantasi ginjal dapat
berasal dari donor yang sudah meninggal atau masih hidup (Kardiyudiani
& Susanti 2019).
I. Komplikasi Cronic Kidney Disease (CKD)
Komplikasi yang umumnya dialami oleh penderita CKD adalah anemia. Anemia
terjadi pada 80-90% pasien CKD. Anemia ini disebabkan karena defisiensi dari
eritropoietin. Defisiensi besi, kehilangan darah atau masa hidup darah yang
pendek sehingga mengakibatkan hemolisisi, defisiensi asam folat, penekanan
sumsum tulang oleh substansi uremik dan proses inflamasi yang aku mapun
kronik merupakan pencetus terjadinya anemia. Evaluasi terhadap anemia
dilakukan saat kadar hemoglobin ≤ 10g% atau hematocrit ≤ 30%, dengan
mengevaluasi serum iron, total iron binding capacity, mencari apabila ada
usmber perdarahan, melihat
morfologi eritrosit dan mencari kemungkinan penyebab hemolysis lainnya.
Penatalaksanaan untuk anemia selain dari mencari factor penyebabnya adlaah
dengan pemberian eritropoeitin (EPO). Transfusi darah dapat dilakukan dengan
indikasi yang tepat dan pada pasien CKD harus dilakukan secara hati-hati dengan
pemantauan yang cermat. Karena transfuse darah yang dilakukan dengan tidak
cermat dapat menyebabkan kelehbihan cairan tubuh, hyperkalemia, sehingga
memperburuk fungsi ginjal. Berikut adalah daftar- daftar komplikasi yang
banyak dialami oleh pasien CKD menurut derajatnya :
Derajat Penjelasan GFR Komplikasi
(ml/menit)
1 Kerusakan ≥90
ginjal dengan
GFR normal
2 Kerusakan 60-89 Tekanan darah mulai
ginjal dengan
penurunan GFR
ringan

3 Penurunan GFR 30-59 - Hiperfosfatemia


sedang - Hipokalcemia
- Anemia
- Hiperparatiroid
- Hipertensi
- Hiperhomosistinemia
4 Penurunan GFR 15-29 - Malnutrisi
berat - Asidosis metabolic
- Hiperkalemia
- Dislipidemia
5 Gagal Ginjal <15 - Gagal jantung
- Uremia
(Sumber : Suwitra K, 2009) KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat mengidentifikasi,
mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien, baik
fisik, mental, sosial dan lingkungan menurut (Dermawan, 2012). a) Demografi
Klien CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang
mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal
seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD
dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai
peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja
dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak
menyediakan cukup air minum / mengandung banyak senyawa/ zat logam dan
pola makan yang tidak sehat.
b) Riwayat Penyakit Riwayat
Penyakit yang diderita klien sebelum CKD seperti DM, glomerulo nefritis,
hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus
urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
c) Pengkajian Biologis-Psikologis-Sosial
1. Aktivitas Istirahat
Gejala : kelelahan ekstrem kelemahan dan malaise, gangguan tidur
(insomnia/ gelisah atau somnolen).
Tanda : kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
2. Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi : nyeri
dada (angina)
Tanda : Hipertensi : nadi kuat, edema jaringan umum dan piting pada
kaki, telapak tangan, nadi lemah dan halus, hipotensi ortostatik
menunjukkan hipovolemia yang jarang terjadi pada penyakit tahap akhir,
friction rub pericardial (respon terhadap akumulasi rasa) pucat, kulit
coklat kehijauan, kuning, kecenderungan pendarahan.
3. Integritas Ego
Gejala : Faktor stres, contoh finansial, hubungan, dan sebagainya. Peran
tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Tanda : Menolak, ansietas, takut, marah, mudah
terangsang, perubahankepribadian.
4. Eliminasi
Gejala : Peningkatan berat badan cepat (edem), penurunan berat badan
(malnutrisi). Anoreksia, malnutrisi, kembung, diare, konstipasi.
Tanda : Perubahan warna urin, contoh kuning pekat, merah, coklat,
berwarna. Oliguria, dapat menjadi anuria.
5. Makan/Cairan
Gejala : Peningkatan berat badan cepat (edem), penurunan berat badan
(malnutrisi). Anoreksia, nyeri ulu hati, mual / muntah, rasa metalik tidak
sedap pada mulut (pernafasan amonia), pengguanaan diuretik. Tanda :
Distensi abdomen / asietas, pembesaran hati (tahap akhir). Perubahan
turgor kulit. Edem (umum, tergantung). Ulserasi gusi, pendarahan gusi /
lidah. Penurunan otot, penurunan lemak subkutan, tampak tak bertenaga.
6. Neorosensasi
Gejala : Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot / kejang : sindrom
Kaki, gelisah, kebas terasa terbakar pada telapak kaki. Kebas kesemutan
dan kelemahan, khususnya ekstremitas bawah (neuropati perifer).
Tanda : Gangguan sistem mental, contoh penurunan lapang perhatian,
ketikmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan
tingkat kesadaran, koma. Kejang, fasikulasi otot, aktifitas kejang, Rambut
tipis, kuku rapuh dan tips.
7. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot / nyeri kaki. Memburuk
pada malam hari.
Tanda : perilaku berhati-hati dan gelisah.
8. Pernapasan
Gejala : nafas pendek : dipsnea, nokturnal parosimal, batuk dengan/tanpa
sputum kental atau banyak.
Tanda : takiepna, dispnea, peningkatan frekuensi / kedalaman (Pernafasan
kusmaul). Batuk produktif dengan sputum merah muda encer (edema
paru).
9. Keamanan
Gejala : Kulit gatal ada / berulangnya infeksi
Tanda : Pruritus Demam (sepsis, dehidrasi ; normotemia dapat secara
actual terjadi peningkatan pada klien yang mengalami suhu tubuh lebih
rendah dari pada normal (efek CKD / depresi respon imum). Ptekie,
araekimosis pada kulit. Fraktur tulang ; defosit fosfat, kalsium,
(klasifikasi metastatik) pada kulit, jaringan lunak sendi, keterbatasan
gerak sendi.
10. Seksualitas
Gejala : penurunan libido ; amenorea ; infertilitas.
11. Interaksi Sosial
Gejala : Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga.
d) Pemeriksaan Fisik
1. Penampilan/keadaan umum
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran
klien dari compos mentis sampai coma.
2. Tanda-tanda vital
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi
meningkat dan reguler.
3. Antropometri
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi,
atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebihan cairan.
4. Kepala
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran
telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir
kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
5. Leher dan tenggorokan
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
6. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat
otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara
tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung,
terdapat suara tambahan pada jantung.
7. Abdomen
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
8. Genital
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,
terdapat ulkus.
9. Ekstremitas
Kelemahan fisik, aktifitas klien dibantu, terjadi edema, pengeroposan
tulang, dan Capillary Refill lebih dari 1 detik.
10. Kulit
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan
mengkilat/uremia, dan terjadi perikarditis.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan sebagai dasar pengembangan rencana intervensi
keperawatan dalam rangka mencapai peningkatan pencegahan dan penyembuhan
penyakit serta pemulihan kesehatan klien. Proses diagnosis terdiri dari analisa
data, interpretasi data, identifikasi masalah klien, dan perumusan diagnosa
keperawatan. Komponen diagnosis keperawatan terdiri dari masalah (problem),
penyebab (etiologi), gejala (symptom) atau terdiri dari masalah dengan penyebab
(PE) (Muhith 2015). Nurarif dan kusuma (2015) mengemukakan bahwa diagnosa
keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah
sebagai berikut :
a) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
b) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
c) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi cairan dan natrium
d) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan produksi HB
turun
e) Ketidakseimbangan Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual
f) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas
g) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan volume cairan
C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosis keperawatan Rencana Keperawatan


Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Rasional
1. Pola nafas tidak efektif 1. Respiratory Status: Gas Monitor Pernafasan Monitor Pernafasan
exchange 1. Monitor kecepatan, 1. Untuk mengetahui
2. Respiratory Status: irama, kedalaman dan status pernafasan
ventilation Vital sign kesulitan bernafas klien
3. status 2. Monitor suara nafas 2. Suara nafas
tambahan tambahan
Kriteria Hasil : 3. Monitor keluhan menunjukan adanya
1. Mendemonstrasikan sesak nafas pasien, kelebihan volume
peningkatan ventilasi dan termasuk cairan, tertahannya
oksigenasi yang adekuat kegiatan yang sekresi atau infeksi
2. Memelihara kebersihan meningkatkan atau 3. Untuk menghindari
paru-paru dan bebas dari kegiatan yang dapat
memperburuk sesak nafas
tanda-tanda distress memperburuk
tersebut
pernafasan keadaan klien
4. Monitor hasil foto thoraks
3. Mendemostrasikan batuk 4. Pemeriksaan
efektif dan suara nafas penunjang
Terapi Oksigen untuk
1. Berikan oksigen tambahan
yang bersih, tidak ada seperti yang diperintahkan mengetahui ada atau
sianosis dan dyspnea tidaknya
(mampu mengeluarkan masalah pada paru
sputum, mampu bernafas
dengan mudah, tidak ada Terapi Oksigen
pursed lips) 1. Memaksimalkan
4. Tanda-tanda vital dalam oksigen untuk
rentan normal
penyerapan
vascular,
pencegahan atai
pengurangan
hipoksia

2. Nyeri akut 1. Pain level Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri


2. Pain control 1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Membantu dalam
3. Comfort level komprehensif yang mengidentifikasi
meliputi lokasi, sumber nyeri dan
Kriteria Hasil : karakteristik, onset/durasi, intervensi tepat
1. Mampu mengontrol nyeri frekuensi, kualitas, 2. Pemahaman
tentang penyebab
(tahu penyebab nyeri, intensitas atau beratnya
mampu menggunakan nyeri dan faktor pencetus timbulnya nyeri
teknik nonfarmakologi 2. Berikan informasi dapat mengurangi
untuk mengurangi mengenai nyeri, seperti kecemasan klien
nyeri,mencari bantuan) penyebab nyeri, berapa 3. Upaya untuk
2. Melaporkan bahwa nyeri lama nyeri akan dirasakan, pengurangan nyeri
berkurang dengan dan antisipasi dari 4. Pemberian
menggunakan manajemen ketidaknyamanan akibat analgesic dapat
mengurangi nyeri
nyeri prosedur
3. Mampu mengenali nyeri 3. Ajarkan penggunaan
(skala, intensitas, frekuensi teknik nonfarmakologi
dan tanda nyeri) 4. Berikan individu penurun
4. Menyatakan rasa nyaman nyeri yang optimal dengan
setelah nyeri berkurang peresepan analgesik

3. Kelebihan volume cairan 1. Electrolit and acid Manajemen Cairan Manajemen Cairan
base balanced 1. Kaji tanda-tanda vital 1. Peninggian tekanan
2. Fluid balanced 2. Batasi asupan air darah menunjukan
3. Hydration 3. Kaji lokasi dan hipervolemia
luasnya edema, jika 2. Ketika fungsi ginjal
yang menurun,
Kriteria Hasil : ada
4. Berikan diuretic
yang
1. Terbebas dari edema, efusi, diresepkan kemampuan untuk
anaskara. mengeliminasi
2. Bunyi nafas bersih, tidak Monitor Cairan kelebiham cairan
ada dyspnea/ortopneu. 1. Monitor berat badan rusak
3. Terbebas dari distensi vena 2. Monitor asupan 3. Adanya edema
jugularis, reflek dan pengeluaran menunjukan adanya
hepatojugular (+) 3. Berikan dialysis dan catat akumulasi cairan di
4. Memelihara tekanan vena reaksi pasie jaringan interstisial
sentral, tekanan kapiler tubuh yang salah
paru, output jantung dan satu kemungkinan
vital sign dalam batas penyebabnya
normal. perpindahan cairan
5. Terbebas dari kelelahan, ke jaringan
kecemasan atau 4. Diuretic bertujuan
kebingungan. untuk menurunkan
volume plasma dan
6. Menjelaskan indikator cairan di jaringan
kelebian cairan sehingga
menurunkan resiko

terjadinya
edema paru
4. Ketidakefektifan perfusi 1. Circulation status Manajemen Hipovolemi Manajemen
jaringan perifer 2. Tissue perfusion : 1. Monitor status Hipovolemi
cerebral hemodinamik meliputi 1. Memberikan
nadi dan tekanan darah. informasi tentang
Kriteria Hasil : 2. Monitor adanya tanda- derajat atau
1. Mendemonstrasikan status tanda dehidrasi. keadekuatan perfusi
sirkulasi 3. Instruksikan pada pasien jaringan dan
2. Tekanan systole dan untuk menghindari posisi menentukan
diastole dalam rentang yang berubah cepat, kebutuhan
yang diharapkan khususnya dari posisi intervensi
3. Tidak ada ortostatik terlentang pada posisi 2. Dehidrasi
hipertensi duduk atau berdiri. menunjukan adanya

4. Tidak ada tanda-tanda 4. Instruksikan pada pasien kekurangan volume


dan/atau keluarga cairan
peningkatan tekanan
tindakan-tindakan yang
intracranial (tidak lebih dilakukan untuk 3. Posisi yang
mengatasi hipovolemia. berubah cepat pada
dari 15mMHg) kondisi Hb turun
5. Mendemonstrasikan
kemampuan kognitif yang akan
ditandai dengan mengakibatkan
6. Berkomunikasi dengan pusing
jelas dan sesuai dengan 4. Upaya untuk
kemampuan penyetujuan
tindakan
7. Menunjukan perhatian, keperawatan dan
konsentrasi dan orientasi kedokteran
8. Memproses informasi
9. Membuat keputusan dengan
benar
10. Menunjukan fungsi sensori
motori cranial yang utuh :
tingkat kesadaran
membaik, tidak ada
gerakan-gerakan involunter

5. Ketidakseimbangan dari 1. Nutritional status Manajemen Nutrisi Manajemen Nutrisi


nutrisi kurang 2. Nutritional status : food 1. Tentukan status gizi pasien 1. Memberikan pasien
kebutuhan dan kemampuan pasien tindakan control
and fluid
untuk memenuhi dalam pembatasan
3. Intake
4. Nutritional status : kebutuhan gizi. diet untuk
nutrient intake 2. Beri obat-obatan sebelum meningkatkan
5. Weight control makan (misalnya, nafsu makan
penghilang rasa sakit, 2. Antiemeik dapat
Kriteria Hasil : antiemetik) jika mengatasi mual dan
1. Adanya peningkatan berat diperlukan. muntah
badan sesuai dengan tujuan
2. Berat badan ideal sesuai Monitor Nutrisi Monitor Nutrisi
dengan tinggi badan 1. Timbang berat badan. 1. Mengawasi
3. Mampu mengidentifikasi 2. Lakukan pemeriksaan penurunan berat
laboratorium.
kebutuhan nutrisi badan dan
4. Tidak ada tanda- efektivitas
tanda malnutrisi intervensi nutrisi
5. Menunjukan peningkatan 2. Untuk pemeriksaan
fungsi pengecapan dari data penunjang
menelan lebih lanjut
6. Tidak terjadi penurunan
berat badan yang berarti

6. Intoleransi aktivitas 1. Energy conservation Peningkatan Mekanika Peningkatan


2. Activity tolerance Tubuh Mekanika Tubuh
3. Self care : ADLs 1. Kaji komitmen pasien 1. Kesejajaran tubuh
untuk belajar dan yang benar
Kriteria Hasil : menggunakan postur mengurangi
1. Berpartisipasi dalam (tubuh) yang benar ketegangan
aktivitas fisik tanpa 2. Bantu untuk menghindari pada
disertai peningkaan duduk dalam posisi yang struktur
tekanan darah, nadi dan sama dalam jangka waktu musculoskeletal
RR yang lama. 2. Menurunkan
2. Mampu melakukan tekanan lama pada
aktivitas sehari-hari Terapi aktivitas jaringan yang dapat
(ADLs) secara mandiri 1. Bantu klien membatasi perfusi
mengidentifikasi aktivitas seluler yang
3. Tanda-tanda vital normal
yang diinginkan
4. Energy psikomotor menyebabkan
5. Level kelemahan iskemia/nekrosis

6. Mampu berpindah
dengan atau tanpa Terapi aktivitas
bantuan alat. 1. Menghindari
ketidaknyamanan
7. Status kardiopulmonari
klien
adekuat
8. Sirkulasi status baik

9. Status respirasi: pertukaran


gas dan ventilasi adekuat
7. Kerusakan integritas kulit 1. Tissue Integrity : Manajemen Tekanan Manajemen Tekanan
Skin dan Mucous 1. Berikan pakaian 1. Menurunkan
2. Membranes tidak ketat pada pasien. tekanan lama pada
3. Hemodyalisis akses 2. Monitor area kulit dari jaringan yang dapat
adanya kemerahan dan membatasi perfusi
Kriteria Hasil : adanya pecah-pecah. seluler yang
1. Integritas kulit yang baik 3. Monitor mobilitas dan menyebabkan
bisa dipertahankan aktivitas pasien. iskemia/nekrosis
(sensasi, elastisitas, 4. Beri kasur dengan lipatan 2. Menandakan area
temperature, hidrasi, pada kaki. sirkulasi
pigmentasi) buruk/kerusakan
2. Tidak ada luka/lesi yang dapat
pada kulit menimbulkan
3. Perfusi jaringan baik pembentukan
4. Menunjukan pemahaman decubitus/infeksi
dalam proses perbaikan 3. Menurunkan
kulit dan mencegah
tekanan pada
terjadinya cedera berulang. edema, jaringan
5. Mampu melindungi kulit dengan perfusi
dan mempertahankan buruk untuk
kelembaban kulit dan menurunkan
perawatan alami iskemia
4. Peninggian
meningkatkan
aliran balik stasis
vena
terbatas
/pembentukan
edema
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek,dkk. 2016. Nursing Intervention classification (NIC) Edisi keenam.


Singapore: Elsevier Icn.
Herdman, dkk. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi
10. Jakarta: EGC.
Insani, A. A., Ayu, putu R., & Anggraini, D. I. (2019). Hubungan Lama Menjalani
Hemodialisis Dengan Status Nutrisi Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
Di Instalasi Hemodialisa RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.
Jurnal Majority, 8(1), 55–59.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/2234
Juwita, L., & Kartika, I. R. (2019). Pengalaman Menjalani Hemodialisa Pada Pasien
Gagal Ginjal Kronis. E ISSN - 2477-6521, Vol 4(1).
Lumbantobing, M. P. (2022). Gambaran Kadar Hemoglobin dan Kadar Kreatinin
pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD
Tarutung. Jurnal Kedokteran Meditek, 28(3), 264–268.
https://doi.org/10.36452/jkdoktmeditek.v28i3.2297
Moorhead, dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) Pengukuran Outcomes
Kesehatan Edisi kelima. Singapore: Elsevier Icn.

Anda mungkin juga menyukai