Anda di halaman 1dari 8

F.

TATALAKSANA
2. Dialisis
a. Hemodialisa
Hemodialisa (HD) merupakan tindakan yang dilakukan dengan cara
mengalirkan darah dari dalam tubuh untuk dialirkan kedaam mesin HD dan
dilakukan proses penyaringan sisa metabolisme di dalam dializer dengan
menggunakan cara kerja ultrafiltrasi. Pasien rata-rata menjalani hemodialisa
sebanyak tiga kali dalam semingggu, lama waktu pelaksana paling sedikit tiga
sampai empat jam setiap terapi. Hemodialisa merupakan terapi yang dapat
digunakan pasien dalam jangka pendek atau jangka panjang. Terapi hemodialisa
jangka pendek sering dilakukan untuk mengatasi kondisi pasien akut seperti
keracunan, penyakit jantung overload cairan tanpa diikuti dengan penurunan
fungsi ginjal. Terapi jangka pendek ini dilakukan dalam jangka waktu beberapa
haro hingga beberapa minggu. Terapi hemodialisa jangka Panjang dilakukan
pada pasien yang mengalami penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal
disease (ESRD) (Siregar, 2020).
Cara kerja hemodialisa yaitu mengalirkan darah dari dalam tubuh ke dalam
dializer yang terdiri dari 2 kompartemen yang terpisah yaitu kompartemen darah
dan kompartemen dialisa yang dipisahkan membran semi permeable untuk
membuang sisa-sisa metabolisme. Sisa metabolisme yang berada pada
peredaran darah manusia dapat berupa air, natrium, kalium, hydrogen, urea,
kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain (Siregar, 2020).
1) Tujuan terapi hemodialisa
Bertujuan untuk menggantikan fungsi eksresi ginjal yaitu membuang
bahan-bahan sisa metabolisme tubuh, mengeluarkan cairan yang berlebihan
dan menstabilkan keseimbangan hemostatik tubuh sehingga pasien
hemodialisa meningkat kualitas hidupnya. Hemodialisa bertujuan untuk
menyeimbangkan komposisi cairan di dalam sel dengan diluar sel (Siregar,
2020)
2) Komplikasi
Hemodialisa dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti hiptensi,
emboli udara, nyeeri dada, gangguan keseimbangan dialysis, dan pruritus.
Komplikasi hipotensi, emboli udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan
dialysis, dan pruritus dapat disebabkan oleh factor interal dan eksternal
pasien. Hipotensi dapat terjadi selama proses hemodialisa, dimana saat
cairan saat cairan dikeluarkan dari dalam tubuh. Terjadinya hipotensi juga
dapat disebabkan oleh pemakaian dialisa asetat, rendahnya dialysis natrium,
penyakit jantung, aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan cairan
yang terlalu banyak. Komplikasi emboli udara saat HD terjadi saat udara
memasuki system vaskuler pasien. Nyeri dada dapat timbul pada saat
tekanan PCO2 menurun diikuti dengan pengeluaran darah dalam sirkulasi
tubuh, sedangkan keseimbangan diaisis terganggu terjadi akbat perpindahan
cairan serebral dapat menyebabkan serangan kejang. Komplikasi-
komplikasi semakin berat terjadi bila diikuti dengan kondisi gejala uremia
yang berat. Gangguan kulit seperti pruritus terjadi ketika produk akhir
metabolisme meninggalkan kulit selama proses HD. Komplikasi sindrom
disekuilibirum, reaksi dializer, aritmia, tamponade jantung, perdarahan
intracranial, kejang, hemolisis, neutropenia, serta aktivasi komplemen
akibat dialysis dan hipoksemia juga dapat terjadi selama terapi hemodialisa
(Siregar, 2020).
Komplikasi yang dapat terjadi saat berlangsungnya proses hemodialisa
adalah (Cahyaningsih, 2011):
a) Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya
hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa.Kram
otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat
dengan volume yang tinggi.
b) Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat,
rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati
otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.
c) Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa,
penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang
cepat berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
d) Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat
diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang
kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu
gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien
osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang
menyebabkan oedem serebri.Sindrom ini tidak lazim dan biasanya
terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan
azotemia berat.
e) Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu
dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi
kardiopulmonar.
f) Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit.Fungsi trombosit dapat
dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin
selama hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya
perdarahan.
g) Gangguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah
yang disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering
disertai dengan sakit kepala.
h) Pembekuan darah
Pembekuan darah disebabkan karena dosis pemberian heparin yang
tidak adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
b. Dialisa Peritoneal
Dialisa peritoneal merupakan terapi dialysis yang dilakukan dengan cara
penukaran cairan yang dimasukkan kedalam rongga peritoneum sebanyak 3-4
kali setiap hari. Proses pertukran cairan terakhir dilakukan pada jam tidur,
sehingga cairan peritoneal dibiarkan semalaman. Peritoneal Dialisis dengan
indikasi medik dapat dilakukan pada pasien anak-anak dan orang tua (umur
lebih dari 65 tahun), pasien dengan penyakit system kardiovaskular, pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisa, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien stroke, pasien dengan residual urin masih
cukup, dan pasien nefropati diabetic disertai angka kematian dan kesakitan yang
tinggi. Indikasi non-medik pemasangan dialisa peritoneal yaitu keinginan pasien
sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri, dan di daerah yang
jauh dari pusat ginjal (Siregar, 2020).
3. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal metode pengobatan yang lebih disukai pasien penyakit ginjal
stadium akhir. Transplantasi ginjal sendiri adalah proses pencangkokan ginjal ke
dalam tubuh seseorang melalui tindakan pembedahan. Ini merupakan tindakan terapi
dengan cara memanfaatkan sebuah ginjal sehat yang diperoleh dari pendonor. Ginjal
sehat dapat berasal dari individu yang masih hidup (penyumbang hidup) atau yang
baru saja meninggal (penyumbang cadaver) (Brunner & Suddarth, 2013).
a. Resipien
Resipien adalah orang yang mendapat donor ginjal. Indikasi dan kontraindikasi
resipien transplantasi ginjal dikutip dari PERNEFRI (2013) adalah:
1) Indikasi: Semua pasien penyakit ginjal kronik stadium 5, kecuali ada
kontraindikasi
2) Kontraindikasi
 Penyakit kardiovaskular yang berat (EF<35%, penyakit jantung katup,
aritmua ventricular)
 Keganasan
 Diabets melitus dengan kegagalan organ multiple
 Psikosis
 Ketidakpatuhan berobat
 Ketergantungan obat
 Hepatitis kronik aktif dan sirosis hati
 Menderita penyakit dengan harapan hidup kurang dari 5 tahun
 Penyakit ginjal tertentu, missal glomerulosklerosis fokal segmenta,
oksalosis prmer, nefrolitiasis sistemik
b. Pendonor
Sejumlah pemeriksaan harus dilakukan dengan cermat untuk mendapatkan hasil
transplantasi yang baik. Seleksi donor dan resipien yang terpenting dikutip dari
Astiwara (2018) adalah:
1) Asal orang hidup
 Donor memiliki dua ginjal yang berfungsi baik
 Tidak menularkan penyakit
 Tidak ada kelainan pembuluh darah
2) Asal orang mati
 Fungsi ginjal baik
 Tidak ada infeksi (sepsis klinis, HIV)
 Tidak ada keganasan atau penyakit sistemik (diabetes, hipertensi)
3) Seleksi resipien
 ABO kompatibel (tidak identik)
 Reaksi silang serum dengan sel T donor negatif
 HLA mirip sebanyak mungkin
Sedangkan menurut PERNEFRI (2013) indikasi dan kontraindikasi bagi
pendonor ginjal yakni:
1) Indikasi
Semua individu yang berumur diatas 18 tahun atau yang sudah menikah
dapat menjadi donor ginjal kecuali terdapat kontraindikasi
2) Kontraindikasi
 Laju filtrasi glomerulus (LFG) < 75 ml/ menit/ 1,73 m2
 Proteinuria lebih dari 300 mg/24 jam
 Hematuria mikroskopik patologis
 Batu ginjal multipel atau berulang
 Kista ginjal multiple
 Riwayat penyakit ginjal polikistik dalam keluarga
 Hipertensi tidak terkontrol atau dengan kerusakan target organ
 Diabetes melitus
 Penyakit kardiovaskular
 Insufisiensi paru
 Penyalahgunaan alkohol serta narkotika, psikotropika dan zat adiktif
(NAPZA)
 HIV positif
 HbsAg positif kepada resipien yang negatif atautidak terproteksi (anti
HBs negatif)
 Hepatitis C positif kepada resipien negative
 Keganasan
 Psikosis
 Retardasi mental
 Hamil
 Kelainan neurologis berat
 Penyakit lainyang jarang
c. Komplikasi
Dikutip dari Yunanto dan Rodjani (2016) komplikasi pada penerima
cangkok ginjal pasca operasi antara lain:
1) Pada awal minggu pertama, jika terjadi anuria atau oliguria pada ginjal
transplan yang sebelumnya sudah berfungsi, evaluasi kemungkinan
penyebab.
2) Poliuria sering terjadi pada resipien transplantasi ginjal. Hal tersebut
merupakan keadaan fisiologis ginjal namun dapat patologis apabila
berlangsung lama dan menimbulkan gangguan hemodinamik yang dapat
berakibat fatal. Penyebab pasti poliuria pascatransplantasi ginjal belum
diketahui, namun ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi poliuria
pascatransplantasi yaitu peptida natriuretik (ANP, BNP, CNP, dan
urodilatin) yang merupakan biomarker paling berperan dalam proses
natriuresis dan diuresis pascatransplantasi ginjal

G. PERAN PERAWAT
1. Peran Perawat dalam Pemasangan Kateter Urine
Peran perawat dalam pelaksanaan perineal hygiene pada pasien yang terpasang
kateter, terlebih peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan, edukator
dan advokat. Perawat yang bertugas di ruang rawat inap khususnya pada pasien
terpasang kateter hendaknya meningkatkan pelayanan keperawatan dengan lebih
baik, harus memperhatikan kondisi pasien dan risiko yang dapat ditimbulkan kepada
pasien apabila perawat tidak melakukan perawatan kateter dengan baik.
Kualitas perawatan kateter didasarkan pada pemberian perawatan kateter yang
dilakukan oleh perawat yang meliputi standar operasional perawatan kateter dan
prosedur pencegahan infeksi saluran kemih. (Ritonga, 2018)
2. Peran Perawat dalam Perawatan Pasien Gagal Ginjal Kronik
Peran perawat dalam konteks sehat-sakit yaitu untuk meningkatkan kesehatan dan
mencegah penyakit, sementara peran perawat sebagai care giver merupakan peran
yang sangat penting dari peran-peran yang lain (bukan berarti peran yang lain tidak
penting) karena baik tidaknya layanan profesi keperawatan dirasakan langsung oleh
pasien.
Peran perawat sebagai care giver dengan kualitas hidup pasien penyakit ginjal
kronik yang menjalani hemodialisis Menurut Smeltzer dan Bare (2004, dalam
Togatorop 2011) pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
memerlukan hubungan yang erat yang bisa dijadikan tempat mencurahkan
perasaannya disaat-saat stres dan kehilangan semangat. Menurut Stuart (2016)
perawat yang peduli dengan kebutuhan biologis, psikologis, dan sosiobudaya klien,
melihat pengalaman manusia dalam cakupan yang luas. Mereka harus belajar
mengatasi ansietas, kemarahan, kesedihan dan keceriaan, dalam membantu klien
sepanjang rentang sehat-sakit. Perawat juga harus mampu untuk membangun
perspektif positif pada pasien PGK agar dapat meningkatkan kualitas hidup mereka
sebagaimana yang di ungkapkan oleh Efklides (2013) “The perspective adopted was
that of positive psychology, with emphasis on positive aspects of human
development such as capabilities and assets that lead to good adaptation and
ultimately enhance the quality of life of individuals in every stage of their
lives”.Oleh karena itu, dukungan profesional tenaga kesehatan khususnya perawat
sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis dengan menerap. (Hanafi, 2016)
DAFTAR PUSTAKA

Astiwara, E. M. 2018. Fikih Kedokteran Kontemporer. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar


Brunner, Suddarth. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta:
EGC
Cahyaningsih. 2011. Hemodialisis (Cuci Darah). Yogyakarta: Mitra Cendikia Press,
Hanafi, R., Bidjuni, H., Babakal, A. 2016. Hubungan Peran Perawat Sebagai Care Giver
dengan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis
Di RSUP Prof. DR. RD Kandou Manado. Jurnal Keperawatan, Vol. 4, No. 1.
Ritonga, E. P. 2018. Upaya Pencegahan Infeksi Saluran Kemih Oleh Perawat Pada Pasien
Terpasangnya Kateter Di Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja Indonesia Medan.
Jurnal Ilmiah Keperawatan Imelda, Vol. 4, No. 1.
Yunanto, A., Rodjani, A. 2016. Biomarker Prediktor Kejadian Poliuria pada Resipien
Pascatransplantasi Ginjal. eJournal Kedokteran Indonesia. Vol. 3, No. 3
Perhimpunan Nefrologi Indonesia. 2013. Konsensus Transplantasi Ginjal Perhimpunan
Nefrologi Indonesia. Jakarta: PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia)

Anda mungkin juga menyukai