Anda di halaman 1dari 12

Laporan Pendahuluan Hipervolemia

Dibimbing Oleh:

TORI RIHIANTORO, S.Kp.,M.Kep


NIP. 197111291994021001

Disusun oleh :

PUTRI FADILAH (1814401052)

TINGKAT 2 REGULER 2

POLTEKKES TANJUNG KARANG

PRODI DIII KEPERAWATAN TANJUNG KARANG

TAHUN AJARAN 2019/2020


LAPORAN PRAKTEK KLINIK KMB 1
PRODI DIII KEPERAWATAN TANJUNGKARANG

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN CAIRAN


AKIBAT PATOLOGI SISTEM PERKEMIHAN DAN METABOLIK

A. DASAR TEORI
A.1. DEFINISI DIAGNOSA KEPERAWATAN
Hipervolemi adalah peningkatan volume cairan intravaskular, interstisial, dan/atau
intraseluler.

A.2. PENYEBAB
1. Gangguan mekanisme regulasi
2. Kelebihan asupan cairan
3. Kelebihan asupan natrium
4. Gangguan aliran balik vena
5. Efek agen farmakologis (mis.kortikosteroid, chlopropamide, tolbutamide, vincristine,
tryptilinescarbamazepine)

A.3. GEJALA DAN TANDA MAYOR


Subjektif Objektif
1. Ortpnea 1. Edema anasarka dan/atau edema perifer
2. Dispnea 2. Berat abadan meningkat dalam waktu singkat
3. Paroxysmal nucturnal 3. Jugular Venous Pressure (JVP) dan/atau Central venous
dyspne (PND) Pressure (CVP) meningkat
4. Refleks hepatojugular positif
A.3. GEJALA DAN TANDA MINOR
Subjektif Objektif
(tidak tersedia) 1. Distensi vena jugularis
2. Terdengar suara napas tambahan
3. Hepatomegali
4. Kadar Hb/Ht turun
5. Oliguria
6. Intake lebih banyak dari output (balans cairan positif)
7. Kongesti paru

A.4. KONDISI KLINIS TERKAIT (Uraikan patofisiologi kondisi klinis yang terkait, boleh
ditambahkan barisnya)
1. Penyakit ginjal : gagal ginjal akut/kronis, sindrom nefrotik
2. Hipoalbuminemia
3. Gagal jantung kongestif
4. Kelainan hormon
5. Penyakit hatis (mis. sirosis, asites, kanker hati)
6. Penyakit vena perifer (mis. varises vena, trombus vena, plebitis)
7. Imobilitas
8. Glomerulonefritis

 Patofisologi Gagal ginjal:


Pada kelebihan volume cairan atau hypervolemia, rongga intravascular dan
interstisial mengalami peningkatan kandungan air dan natrium. Kelebihan cairan
interstisial dikenal sebagai edema. (Kozier & Erb, 2010). Pada gagal ginjal kronik sekitar
90% dari massa nefron telah hancur mengakibatkan laju filtrasi glomelurus (GFR)
menurun. Menurunnya GFR menyebabkan retensi natrium. Adanya perbedaan tekanan
osmotic karena natrium tertahan menyebabkan terjadi proses osmosis yaitu air
berdifusi menembus membrane sel hingga tercapai keseimbangan osmotic. Hal ini
menyebabkan cairan ekstraselular (ECF) meningkat hingga terjadi edema (Price &
Wilson, 2008).
Pada gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh perkembangan penyakit sindrom
nefrotik, tubuh mengalami hypoalbuminemia menyebabkan tekanan osmotic plasma
rendah, kemudian akan diikuti peningkatan transudasi cairan kapiler atau vaskular ke
ruang interstitial, mekanisme ini hampir secara langsung menyebabkan edema (Price &
Wilson, 2008).
Edema dapat terlokalisir atau generalisata (seluruh tubuh). Edema terlokalisir
terjadi seperti pada inflamasi setempat dan obstruktif. Edema generalisata atau
anasarka menimbulkan pembengkaan yang berat jaringan bawah kulit. Anasarca
disebabkan oleh penurunan sistemik tekanan osmotik kapiler. Edema anasarka terjadi
pada pengidap hypoalbuminemia akibat sindrom nefrotik. Proses terbentuknya edema
ansarka terjadi akibat tekanan osmotic di plasma menurun, menyebabkan cairan
berpindah dari vaskuler ke ruang interstitial. Berpindahnya cairan menyebabkan
penurunan sirkulasi volume darah yang mengaktifkan sistem imun angiotensin,
menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut keseluruh tubuh (Price & Wilson,
2008).

 Patofisologi Glomerulonefritis:
Gangguan glomerulus pada ginjal dipertimbanhgkan sebagai respon imunologi
akibat perlawanan tubuh terhadap mikroorganisme seperti streptokokus. Reaksi antigen
dan antibodi tersebut membentuk imun yang menimbulkan respon peradangan dan
meny ebabkan kerusakan dinding kapiler. Akibat hal tersebut terjadi retensi Na dan H 20
meningkat yang menyebabkan kelebihan volume cairan (Hipervolemia).

 Patofisiologis gagak jantung kongestif


Patofisiologi gagal jantung amat kompleks dan melibatkan jejas kardiak dan
ekstrakardiak yang memicu respons neurohormonal seluler dan molekuler serta
remodelisasi jantung. Aktivasi neurohormonal yang pada mulanya bersifat adaptif
kemudian berlanjut secara kronik disertai remodelisasi yang buruk semakin
memperberat jejas jantung dan di luar jantung (misalnya vaskuler, pulmoner, dan renal).

A.4. PENATALAKSANAAN MEDIS ( penatalaksanaan kondisi klinis terkait)


 Penatalaksanaan medis gagal ginjal :
1. Terapi spesifik terhadap penyakitnya
Waktu yang paling tepat adalah sebelum terjadi penurunan LFG sehingga pemburukan
fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsy dan
pemeriksaan hispatologi dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.

2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid


Perlu pencatatan kecepatan penurunan LFG untuk mengetahui kondisi komorbid. Faktor
komorbid antara lain yaitu gangguan keseimbangan cairan, hipertensi tidak terkontrol,
infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan
kontras atau peningkatan penyakit dasarnya.

3. Menghambat perburukan fungsi ginjal


Faktor utama yaitu hiperfiltrasi glomerulus, ada dua cara untuk menguranginya.
a. Terapi farmakologis
Pemakaian Obat Anti Hipertensi (OAH) terutama Angiotensin-converting enzyme
inhibitor
(ACEI) sebagai obat antihipertensi dan antiproteinuria.
b. Terapi non farmakologis
Pembatasan protein yang mulai dilakukan saat LFG ≤ 60 ml/menit. Protein diberikan
hanya
0,6-0,8/kgBB/hari dengan jumlah pengaturan asupan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari.
Pembatasan Lemak, karbohidrat, garam NaCl, kalsium, besi, magnesium asam 32 folat
Pasien dan pembatasan cairan sesuai dengan balance cairan klien.

4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler


Meliputi pengendalian DM, hipertensi, dyslipidemia, anemia, hiperfosfatemia dan terapi
kelebihan cairan dan gangguan keseimbang elektrolit.

5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi


a. Anemia
Defisiensi eritropoetin, defisiensi besi, kehilangan darah (perdarahan saluran cerna,
hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek akibat hemolysis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh uremik, proses inflamasi akut atau kronik. Evaluasi
anemia
dimulai saat Hb ≤ 10% atau Ht ≤ 30%. Meliputi evaluasi status besi (kadar besi
serum/serum
iron), kapasitas ikat besi total, ferritin serum dengan sasaran Hb 11/12 gr/dL.
b. Osteodistrofi renal
Mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol.
c. Hiperfosfatemia
Pembatasan fosfat (diet rendah fosfat, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam).
Asupan fosfat 600-800 mg/hari.
d. Pemberian kalsitriol
Kadar fosfat normal, kadar hormon paratiroid (PTH) >2,5x normal.
e. Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan cairan dan elektrolit disesuaikan dengan hasil dari Balance Cairan klien
yang dihitung dengan cara
Balance Cairan = Intake-Output + IWL (Insensible Water Loss)
 f. Terapi pengganti ginjal
 Hemodialysis, peritoneal dialysis / transplantasi ginjal pada gagal ginjal stadium 3
 dengan LFG < 15 ml/menit.
 Penatalaksanaan medis gagal jantung kongestif
1. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunnya
konsumsi O2 melalui istirahat/ pembatasan aktifitas.
2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
 Mengatasi keadaan yang reversible, termasuk tirotoksikosis miksedem, dan
artimia.
 Digitalisasi
 Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5 mg dalam 4-6 dosis selama 24
jam dan di lanjutkan 2x0,5 mg selama 2-4 hari.
 Digoksin IV 0,75 – 1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam.
 Cedilanid IV 1,2 – 1,6 mg dalam 24 jam.
 Dosis penujang untuk gagal jantung digoksin 0,25 mg sehari. Untuk pasien
usia lanjut gagal jantung di sesuaikan.
 Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg.
Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang
berat;
1. Digoksin : 1-1,5 mg IV perlahan-lahan
2. Cedilamid : 0,4 – 0,8 IV perlahan-lahan

B. RENCANA KEPERAWATAN (lihat SLKI dan SIKI)

Diagnosa Keperawatan : Hipervolemia


Tujuan:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan hipervolemia dapat teratasi.
Kriteria Hasil :
1. Terbebas dari edema, efusi.
2. Bunyi nafas bersih, tidak ada dypsneu/ ortopneu.
3. Terbebas dari distensi vena jugularis.
4. Tanda-tanda vital dalam batas normal .

1. Intervensi :
Periksa tanda dan gejala hipervolemia (mis. Ortopnea dispnea, edema, JVP/CVP
meningkat, refleks hepatojugular positif, suara napas tambahan)
Rasional :
Peningkatan menunjukkan adanya hipervolemia. Kaji bunyi jantung dan napas,
perhatikan S3 dan/atau gemericik, ronchi. Kelebihan volume cairan berpotensi gagal
jantung kongestif/ edema paru
2. Intervensi :
Identifikasi penyebab hipervolemia
Rasional :
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipervolemia yaitu gagal jantung
kongestif, infark miokard, penyakit katup jantung, sirosis hati, dan gagal ginjal.
3. Intervensi :
Observasi tanda-tanda vital
Rasional :
Takikardia dan hipertensi terjadi karena (1) kegagalan ginjal untuk mengeluarkan
urine, (2) pembatasan cairan berlebihan selama mengobati hipervolemia atau
perubahan fase oliguria gagal ginjal, (3) perubahan pada system renin-angiotensin.
Catatan : pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume intravascular,
khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
4. Intervensi :
Monitor intake dan output cairan
Rasional :
Pada kebanyakn kasus, jumlah aliran harus sama atau lebih dari jumlah yang
dimasukkan. Keseimbangan positif menunjukkan kebutuhan evaluasi lebih lanjut.
5. Intervensi :
Monitor tanda hemokonsentrasi (mis. Kadar natrium, BUN, hematokrit, berat jenis
urine)
Rasional :
Kadar natrium tinggi dihubungkan dengan kelebihan cairan, edema, hipertensi, dan
komplikasi jantung. Ketidakseimbangan dapat mengganggu konduksi elektrikal dan
fungsi jantung.
6. Intervensi :
Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma (mis. Kadar protein, dan
albumin meningkat)
Rasional :
Terjadinya peningkatan tekanan onkotik plasma mengakibatkan terjadinya edema.

7. Intervensi :
Monitor kecepatan infus secara ketat
Rasional :
Mencegah terjadinya intake cairan berlebihan sehingga memperparah keadaan
kelebihan volume cairan.
8. Intervensi :
Monitor efek samping diureti (mis. Hipotensi ortortostatik, hipovolemia,
hipokalemia, hiponatremia)
Rasional :
Diuretik berfungsi membuang kelebihan garam dan air dari dalam tubuh melalui
urine. Jumlah garam, terutama natrium yang diserap kembali oleh ginjal akan
dikurangi. Natrium tersebut akan ikut membawa cairan yang ada didalam darah,
sehingga produksi urin bertambah. Akibatnya, cairan tubuh akan berkurang dan
tekanan darah akan turun.

Terapeutik
9. Intervensi :
Timbang berat badan setiap hari di waktu yang sama
Rasional :
Membantu mengevaluasi status cairan khususnya bila dibandingkan dengan berat
badan. Peningkatan berat badan antara pengobatan harus tidak lebih dari 0,5
kg/hari.
10. Intervensi :
Batasi asupan cairan dan garam
Rasional :
Menjaga agar kelebihan cairan tidak bertambah parah. Garam dapat mengikat air
sehingga akan memperparah kelebihan cairan.
11. Intervensi :
Tinggikan kepala tempat tidur 30-40o
Rasional :
Klien dengan kelebihan volume cairan juga mengalami gangguan pernafasan seperti
Takipnea, Dispnea, peningkatakan frekuensi/kedalaman (pernapasan Kussmaul).

Edukasi
12. Intervensi :
Anjurkan melapor jika BB bertambah >1 kg dalam sehari
Rasional :
Peningkatan BB > 1 kg dalam sehari mengindikasikan kelebihan volume cairan dalam
tubuh.
13. Intervensi :
Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan haluaran cairan
Rasional :
Pentingnya pengukuran intake dan output cairan agar terdokumentasi sepenuhnya.
14. Intervensi :
Ajarkan cara membatasi cairan
Rasional :
Pembatasan cairan membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak termasuk pasien
dan keluarga.

Kolaborasi
15. Intervensi :
Kolaborasi pemberian diueretik
Rasional :
Diuretik dapat meningkatkan laju aliran urine sehingga produksi urine meninggkat
guna mengurangi kelebihan volume cairan dalam tubuh.
16. Intervensi :
Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat diuretik
Rasional :
Hanya 10% kalium yang mencapai tubulus konvolutus distal. Peningkatan aliran urin
dan natrium ditubulus distal, meningkatkan sekresi kalium di tubulus distal sehingga
dapat menyebabkan hipokalemia.
17. Intervensi :
Kolaborasi pemberian continuous renal replacemet therapy (CRRT), jika perlu.
Rasional :
Merupakan terapi yang menggantikan fungsi penyaringan darah normal dari ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hidayat, Alimul Aziz dan Uliyah, Musrifatul. 2014. Pengantar Kebutuhan Dasar
Manusia. Jakarta:Salemba Medika
2. Kardiyudiani, Ni Ketut Dan Susanti, Brigitta Ayu Dewi.2019.Keperawatan Medikal
Bedah 1.Yogyakarta: PT.Pustaka baru

3. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
4. Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
5. Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

Anda mungkin juga menyukai