Anda di halaman 1dari 10

Laporan Pendahuluan Konstipasi

Dibimbing Oleh:

TORI RIHIANTORO, S.Kp.,M.Kep


NIP. 197111291994021001

Disusun oleh :

PUTRI FADILAH (1814401052)

TINGKAT 2 REGULER 2

POLTEKKES TANJUNG KARANG

PRODI DIII KEPERAWATAN TANJUNG KARANG

TAHUN AJARAN 2019/2020


LAPORAN PRAKTEK KLINIK KMB 1
PRODI DIII KEPERAWATAN TANJUNGKARANG

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN ELIMINASI


AKIBAT PATOLOGI BERBAGAI SISTEM PENCERNAAN DAN PERSYARAFAN

A. DASAR TEORI
A.1. DEFINISI DIAGNOSA KEPERAWATAN
Konstipasi adalah penurunan defekasi normal yang disertai pengeluaran feses sulit dan
tidak tuntas serta feses kering dan banyak.

A.2. PENYEBAB
Fisiologis
1. Penurunan motilitas gastrointestinal
2. Ketidakadekutan pertumbuhan gigi
3. Ketidakcukupan diet
4. Ketidakcukupan asupan serat
5. Ketidakcukupan asupan cairan
6. Aganglionik (mis. penyakit Hircsprung)
7. Kelemahan otot abdomen

Psikologis
1. Konfusi
2. Depresi
3. Gangguan emosional
Situasional
1. Perubahan kebiasaan makan (mis. jenis makanan, jadwal makanan)
2. Ketidakadekutan toileting
3. Aktivitas fisik harian kurang dari yang dianjurkan
4. Penyalahgunaan laksatif
5. Efek agen farmakologis
6. Ketidakteraturan kebiasaan defekasi
7. Kebiasaan menahan dorongan defekasi
8. Perubahan lingkungan

A.3. GEJALA DAN TANDA MAYOR


Subjektif Objektif
1. Defekasi kurang dari 1. Feses keras
2 kali seminggu 2. Peristaltik usus menurun
2. Pengeluaran feses lama
dan sulit

A.3. GEJALA DAN TANDA MINOR


Subjektif Objektif
1. Mengejan saat defekasi 1. Distensi abdomen
2. Kelemahan umum
3. Teraba massa pada rektal

A.4. KONDISI KLINIS TERKAIT (Uraikan patofisiologi kondisi klinis yang terkait, boleh
ditambahkan barisnya)
1. Lesi/cedera pada medula spinalis
2. Spina bifida
3. Stroke
4. Sklerosis multipel
5. Penyakit parkinson
6. Demensia
7. Hiperparatiroidisme
8. Hipoparatiroidisme
9. Ketidakseimbangan elektrolit
10. Hemoroid
11. Obesitas
12. Pasca operasi obstruksi bowel
13. Kehamilan
14. Pembesaran prostat
15. Abses rektal
16. Fisura anorektal
17. Striktura anorektal
18. Prolaps rektal
19. Ulkus rektal
20. Rektokel
21. Tumor
22. Penyakit hircsprung
23. Impaksi feses

 Patofisiologi Lesi/cedera pada medula spinalis


Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma kecelakaan mobil, jatuh dari
ketinggian, cedera olahraga dan lain-lain atau penyakit transverse myelitis, polio spina
bifida dan lain-lain dapat menyebabkan kerusakan pada medula spinalis tetapi Lesi
traumatis pada medula spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek
trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medula
spinalis disebut "whiplash" atau trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi
dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak. Trauma
whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah.
Sebagai contoh pada waktu duduk di kendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian
berhenti secara mendadak, atau pada waktu jatuh dari ketinggian dan pada saat
menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia.

Trauma tidak langsung dari tulang belakang dapat berupa hiperekstensi,


hiperfleksi, tekanan partikel terutama pada T.12 sampai L.2. Kerusakan yang dialami
medula spinalis dapat bersifat sementara atau menetap titik akibat trauma terhadap
tulang belakang, medula spinalis tidak berfungsi untuk sementara komosio medula
spinalis, tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan
berupa edema perdarahan perivaskuler dan infark di sekitar pembuluh darah.

 Patofisologi Spina bifida


Penyebab terjadinya spina bifida dipengaruhi dari faktor congenital dan konsumsi
asam folat ibunya. Kekurangan konsumsi asam folat oleh ibu saat hamil membuat
proses maturasi organ-organ tubuh bayi terganggu sehingga berakibat lahir spina bifida.

 Patofisologi Stroke
Patofisiologi penyakit stroke yang terjadi sekitar 80% adalah iskemik, dan 20%
adalah hemoragik. Stroke iskemik dapat diklasifikasikan sebagai akibat dari thrombotik
maupun emboli. Terjadinya thrombotik yang pada umumnya akibatnya 75% menjadi
stroke iskhemik adalah hasil dari proses patofisiologi yang terjadi secara bertahap
dengan penyakit arterosklerosis

 Patofisiologi Sklerosis multiple


Patofisiologi sklerosis multiple didahului dengan pembentukan lesi awal berupa
infiltrate mononuclear dengan cuffing di sekitar pembuluh darah vena dan infiltrasi
disekitar substansi alba. Proses peradangan tersebut menyebakan disfungsi sawar darah
otak.

 Patofisiologi Penyakit Parkinson


Penyakit Parkinson terjadi ketika sel saraf atau neuron di dalam otak yang
disebut substantia nigra mati atau menjadi lemah. Secara normal sel ini menghasilkan
bahan kimia yang penting dalam otak yang disebut dopamine. Dopamine adalah suatau
bahan kimia yang dapat menghantarkan sinyal-sinyal listrik di antara sustantia nigra dan
di sepanjang jalur sel saraf yang akan membantu menghasilkan gerakan tubuh yang
halus. Ketika kira-kira 80% sel yang memproduksi dopamine rusak, gejala penyakit
Parkinson akan nampak.

 Patofisiologi Hiperparatiroidisme
Hiperparatiroidisme dapat bersifat primer (yaitu yang disebabkan oleh
hiperplasia atau neoplasma paratiroid) atau sekunder, dimana kasus biasanya
berhubungan dengan gagal ginjal kronis.Pada 80% kasus, Hiperparatiroidisme primer
disebabkan oleh adenoma paratiroid jinak; 18% kasus disebabkan hiperplasia kelenjar
paratiroid; dan 2% kasus disebabkan oleh karsinoma paratiroid.

 Patofisiologi Hipoparatiroidisme
Gejala hipoparatiroidisme disebabkan oleh defisiensi parathormon yang
mengakibatkan kenaikan kadar fosfat darah (hiperfosfatemia) dan penurunan
konsentrasi kalsium darah (hipokalsemia). Tanpa adaya parathormon akan terjadi
penurunan absorpsi intestinal kalsium dari makanan dan penurunan resorpsi kalsium
dari tulang dan di sepanjang tubulus renalis. Penurunan eksresi fosfat melalui ginjal
menyebabkan hipofosfaturia dan kadar kalsium serum yang rendah mengakibatkan
hipokalsiuria.

A.4. PENATALAKSANAAN MEDIS ( penatalaksanaan kondisi klinis terkait)


 Penatalaksanaan medis cidera medula spinalis
1) Tindakan darurat di titik fokus utama penatalaksanaan adalah meminimalkan efek
trauma kepala atau leher. Oleh karena itu, perawatan untuk cedera sumsum tulang
belakang sering dimulai di tempat kejadian kecelakaan titik personil darurat
biasanya mematikan tulang belakang tidak berubah Posisi cepat mungkin
menggunakan rigid neck collar.
2) Tahapan pengobatan awal (akut). Di ruang gawat darurat, dokter fokus pada:
a) Mempertahankan kemampuan pasien untuk bernapas.
b) Mencegah syok.
c) Imobilisasi leher pasien untuk mencegah kerusakan saraf tulang belakanglebih
lanjut.

d) Menghindari kemungkinan komplikasi, seperti feses atau retensi urin,


kesulitan pernapasan atau kardiovaskuler, dan pembentukan pembekuan darah
vena dalam pada ekstremitas.

3) Apabila pasien mengalami cedera tulang belakang, pasti akan dirawat di unit
perawatan intensif atau bahkan dapat dipindahkan ke rumah sakit yang memiliki
tim ahli bedah saraf ahli bedah ortopedi spesialis pengobatan sumsum tulang
belakang, psikolog sama perawat dan pekerja sosial dengan kalian dalam cedera
tulang belakang.

4) Pemberian obat-obatan. Methylprednisolon intravena (IV) telah digunakan


sebagai pilihan pengobatan untuk cedera medula spinalis aku titik penelitian
terbaru menunjukkan bahwa adanya potensi efek samping, seperti gumpalan darah
dan radang paru-paru, menandakan bahwa dampak penggunaan obat ini lebih
besar daripada manfaatnya. Oleh karena itu, methylprednisolone tidak lagi
direkomendasikan untuk pengguna rutin setelah cedera tulang belakang.

5) Imobilisasi. Pasien mungkin memerlukan traksi untuk menstabilkan tulang


belakang yang cedera, untuk memastikan tulang belakang pada posisi yang tepat
titik dalam, rigid neck collar dapat digunakann. Selain itu, tempat tidur khusus juga
dapat membantu imobilisasi pasien.
6) Operasi. Operasi diperlukan untuk menghilangkan fragmen tulang, benda asing,
cakram hernia atau patahan tulang belakang yang menekan tulang belakang.
Pembedahan mungkin juga diperlukan menstabilkan tulang belakang untuk
mencegah rasa sakit atau cacat di masa depan.

B. RENCANA KEPERAWATAN (lihat SLKI dan SIKI)


Diagnosa Keperawatan : Konstipasi
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan pasien dapat defekasi dengan
teratur (setiap hari).
Kriteria Hasil :
1)      Defekasi dapat dilakukan satu kali sehari.
2)      Konsistensi feses lembut
3)      Eliminasi feses tanpa perlu mengejan berlebihan

1. Intervensi :
Tentukan pola defekasi bagi klien dan latih klien untuk Menjalankannya
Rasional :
Untuk mengembalikan keteraturan pola defekasi klien
2. Intervensi :
Atur waktu yang tepat untuk defekasi klien seperti sesudah makan
Rasional:
Untuk memfasilitasi refleks defekasi
3. Intervensi:
Berikan cakupan nutrisi berserat sesuai dengan indikasi
Rasional :
Nutrisi serat tinggi untuk melancarkan eliminasi fekal
4. Intervensi :
Berikan cairan jika tidak kontraindikasi 2-3 liter per hari
Rasional :
Untuk melunakkan eliminasi feses
5. Intervensi :
Pemberian laksatif atau enema sesuai indikasi
Rasional :
Untuk melunakkan feses
DAFTAR PUSTAKA

1. Hidayat, Alimul Aziz dan Uliyah, Musrifatul. 2014. Pengantar Kebutuhan Dasar
Manusia. Jakarta:Salemba Medika
2. Kardiyudiani, Ni Ketut Dan Susanti, Brigitta Ayu Dewi.2019.Keperawatan Medikal
Bedah 1.Yogyakarta: PT.Pustaka baru

3. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
4. Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
5. Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
6. https://evaloy.blogspot.com/2013/05/askep-pada-pasien-dengan-
konstipasi_5582.html
7. https://www.scribd.com/doc/190843810/ASKEP-Konstipasi

Anda mungkin juga menyukai