Anda di halaman 1dari 32

TINJAUAN PUSTAKA

POLA ANESTESI PADA KELAINAN PARU

Oleh :
RIZA SETYA AGRENSA G99131070

KEPANITERAAN KLINIK SMF / BAGIAN


ANESTHESIOLOGI & REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2014

EDEMA PARU
Edema paru adalah kelebihan cairan pada ruang ekstra vaskular paru,
merupakan kegawatan pernafasan yang sering ditemukan pada pasien yang sakit
kritis. Edema paru mempunyai efek terhadap distribusi aliran darah paru, ventilasi
dan ventilasi-perfusi serta efisiensi pertukaran gas (Bongard, F.S, Sue, D.Y; Benumof,
J.L).
Paru berespon terhadap trauma akut dengan berbagai sebab, lewat beberapa
langkah. Perubahan patologi yang disebabkan oleh beberapa agen toksik dan
infeksius berupa kerusakan dari endotel dan epitel hingga konsolidasi alveoli dan
akhirnya proliferasi fibroblast disertai dengan deposisi kolagen. Trauma paru
menyebabkan kerusakan alveolar yang diffusa (Bigatello, L.M, Zapol,W.M).
Edema paru tidak akan terjadi karena ada beberapa mekanisme fisiologis
normal yang ada di paru akan mencegahnya; jika satu atau beberapa mekanisme ini
gagal, cairan mulai terakumulasi, pada awalnya di jaringan perivaskular dan
peribronchial. Hal ini bisa dilihat pada foto thorak dengan peningkatan corakan
bronchovaskular, bronchial cuffing dan curlys line. Jika jaringan tersebut sudah
terisi, maka alveoli akan mulai terisi, mula-mula dengan corakan yang tidak teratur,
pada akhirnya seluruh alveoli akan terisi cairan. Endotel kapiler paru lebih permeable
terhadap cairan dari pada endotel alveolar. Hal ini merupakan mekanisme proteksi
alveolar terhadap edema di ruangan alveoli. Jika cairan mengisi ruangan alveoli maka
akan terjadi gangguan pertukaran gas yang serius.
PENANGANAN ANESTESI EDEMA PARU
Prinsip managemen anestesi pre intra dan post operative adalah sebagai berikut :
1.

Oksigenasi harus adekuat.

2.

Obat yang digunakan dengan dosis sekecil mungkin.

3.

Hindari hipoksia.

4.

Hindari hipotensi.

5.

Hindari kelebihan cairan.

6.

Gunakan ventilasi dengan tekanan positif secara intermitten.

7.

Curah jantung dipertahankan pada level yang dapat memberikan perfusi


jaringan secara adekwat. (Lucille, B)

Regional Anesthesia
Anesthesia regional walaupun ada beberapa laporan dapat digunakan pada
pasien dengan hipertensi pulmonal, tapi menimbulkan blokade simpatis. Hal ini akan
mengurangi preload yang menyebabkan penurunan aliran darah ke paru. Onset
hipotensi dan hipoksemia dapat berakibat fatal karena intervensi farmakologi tidak
dapat dipercaya untuk mengatasi. Pada pasien dengan edema paru ventilasi spontan
membutuhkan posisi setengah duduk yang akan menimbulkan kesulitan dengan
teknik pembedahan. Simpatektomi akan menimbulkan perpindahan cairan, loading
cairan dan resiko gejolak hemodinamik perioperative. Sebaliknya ventilasi,
oksigenasi serta hemodinamik baik, sistemik maupun paru dapat dikendalikan dengan
baik oleh anestesia umum (Cuenco, J, Tzeng, G, et all).
Anestesia Umum
Banyak agen induksi anestesi yang mendepressi kardiovaskuler, pada pasien
dengan curah jantung terbatas maka obat-obat induksi bisa menimbulkan gejolak
hemodinamik yang berakibat fatal. Tentunya harus dipilih dari sekian banyak obat
induksi yang paling menimbulkan gejolak hemodinamik, menjaga curah jantung agar
tetap optimal sehingga perfusi dapat dipertahankan.
BARBITURAT
Efek hemodinamik dari methohexital, thiamylal dan thiopental yang digunakan
induksi secara intra vena dengan dosis ekwivalen hampir sama. Pada subyek yang
normovolemia, pentotal 5 mg/kg intra vena menyebabkan penurunan 10-20 mmHg
tekanan darah. Hal ini bias dikompensasi dengan peningkatan nadi 15-20 kali/menit.
Dengan dosis ini thiopental hanya menyebabkan depressi miokard yang minimal. Jika
pentotal dengan dosis ini menimbulkan depressi kontraktilitas miokard tapi jauh lebih
3

kurang dibandingkan dengan gas anestesi. Disritmia jantung sesudah induksi dengan
barbiturat jarang terjadi dengan ventilasi dan oksigenasi yang adekwat (Stoelting,
RK; Collins,V.J).
Tekanan darah sistemik akan menurun ringan dan sementara sesudah induksi
anesthesia dengan barbiturat. Secara prinsip hal ini akibat vasodilatasi perifer,
depressi pusat vasomotor di medulla dan penurunan tonus simpatis dari CNS. Sebagai
akibat dilatasi pembuluh darah menimbulkan polling darah diperifer, penurunan
venous return dan berpotensi terjadi penurunan curah jantung serta tekanan darah.
Pelepasan histamin dapat terjadi akibat pemakaian barbiturat intra vena secara cepat.
Pada model percobaan invitro hal terjadi pada thiopental dan thiamylal, tapi hal ini
tidak terjadi pada methohexital dimana obat ini tidak menyebabkan pelepasan
histamin. Secara konsep pemakaian thiopental intravena secara perlahan lebih
memungkinkan reflek kompensasi untuk beradaptasi, sehingga tekanan darah
sistemik akan menurun lebih ringan dibandingkan dengan penyuntikan intra vena
secara cepat (Stoelting, R.K;Collins,V.J)
MIDAZOLAM
Midazolam 0,2 mg/kg intra vena untuk induksi anesthesia menimbulkan
penurunan tekanan darah sistemik dan peningkatan denyut jantung yang lebih besar
dibanding diazepam 0,5 mg/kg intra vena. Sebaliknya perubahan hemodinamik
dengan midazolam ini sebanding dengan thiopental 3-4 mg/kg intra vena. Curah
jantung tidak terganggu, perubahan tekanan darah akibat penurunan resistensi
vaskular sistemik. Berdasarkan hal ini benzodiazepine dapat digunakan untuk
memperbaiki curah jantung pada gagal jantung kongestif (Stoelting, R.K; Collins,V.J)
PROPOFOL
Propofol menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik lebih besar dari pada
thiopental. Penurunan tekanan darah ini sering disertai dengan perubahan curah
jantung serta resistensi vaskular sistemik. Selain penurunan tekanan darah, frekwensi

jantung tidak berubah, hal ini berlawanan dengan pentotal yang menyebabkan
peningkatan nadi sedang (Collins,V.J; Stoelting, R.K)
Bradikardia dan asistole dapat terjadi sesudah induksi anestesi dengan propofol.
Hal ini menyebabkan timbulnya rekomendasi untuk menggunakan anti kolinergik
sebagai pencegahan. Propofol dapat menurunkan aktifitas system saraf simpatis
sehingga aktifitas parasimpatis menjadi predominan (Stoelting, R.K; Collins,V.J)
ETOMIDATE
Stabilitas kardiovaskuler merupakan karakteristik induksi dengan etomidate
dosis 0,3 mg/kg. Sesudah dosis ini perubahan hemodinarnik minimal, baik frekuensi
jantung, curah jantung atau stroke volume, dimana MAP tekanan baji paru dan
tekanan vena sentral dapat menurun sampai 10% karena penurunan resistensi
pembuluh darah perifer. Induksi etomidate dengan dosis 0,45 mg/kg intra vena,
penurunan tekanan darah dan curah jantung terjadi secara signifikan (Stoelting, R.K;
Collins, V.J; Schechter,W.S, Kim, C, et all).
Efek

etomidate

pada

kontraktilitas

miokardium

menjadi

salah

satu

pertimbangan penting, obat ini tidak menyebabkan perubahan pada kontraktilitas,


preload atau afterload. Indek curah jantung,cardiac index dan indek resistensi
pembuluh darah perifer mengalami perubahan yang hampir sama, ratio suplai dan
demand oksigen miokard dipertahankan dengan kadang-kadang terjadi penurunan
pada aliran darah arteri koroner, konsumsi oksigen serta peningkatan saturasi oksigen
di sinus koroner. Obat ini telah dianjurkan untuk induksi anestesia pada pasien
dengan cadangan kerja jantung yang minimal. Etomidate tidak mendepresi
kontraktilitas miokard pada konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan
anesthesia. Etomidate menyebabkan depressi pernafasan minimal, pulih sadar cepat.
Kerugian penggunaan etomidate antara lain nyeri pada saat injeksi, thrombophlebitis,
myoclonus, insiden PONV tinggi dan menghambat sintesis steroid (Stoelting, R.K;
Collins, V.J; Schechter, W.S, Kim,C, et all)

OPIOID
Penggunaan morphin walaupun dengan dosis besar(lmg/kg IV) tidak
menimbulkan depresi miokard secara langsung atau hipotensi. Morphine menurunkan
tonus simpatis vena perifer, sehingga terjadi pooling vena kemudian terjadi
penurunan venous return, curah jantung dan tekanan darah. Morphin bisa
menurunkan tekanan darah sistemik akibat bradikardia atau pelepasan histamin.
Bradikardia yang disebabkan morphin akibat peningkatan aktivitas nervus vagus. Hal
ini akibat stimulasi necleus vagus dimedulla (Stoelting, R.K; Collins,V.J).
Premedikasi dengan antagonis reseptor H1 dan H2 tidak menghambat pelepasan
histamin oleh morphin tapi mencegah perubahan pada tekanan darah dan resistensi
vaskuler sistemik. Morphine tidak mensensitisasi jantung terhadap katekolamin atau
mempermudah disritmia jantung, selama hiperkarbia dan hipoksemia tidak terjadi
sebagai akibat dari efek depresi pernafasan opioid (Stoeltinb, R.K; Collins, V.J)
Kombinasi opioid dengan N20 akan menimbulkan depressi kardiovaskular
(penurunan curah jantung dan tekanan darah sistemik dengan peningkatan tekanan
pengisian jantung), dimana hal tersebut tidak terjadi jika obat digunakan sendirisendiri. Hal yang sama juga terjadi pada penggunaan opioid dengan enzodiazepine.
Kombinasi opioid walaupun dengan dosis kecil dengan benzodiazepine akan
menimbulkan simpatolitik yang berat, penurunan resistensi vascular sistemik dan
peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan pengisian ventrikel menurun, curah
jantung menurun dan terjadi hipotensi (Stoelting, R.K; Collins,V.J; Schechter, W.S,
Kim, C, et all)
Sebagai perbandingan dengan morphin, fentanyl walaupun dengan dosis
besar(50 gr/kg/iv) tidak menimbulkan pelepasan histamin. Akibatnya dilatasi vena
yang menyebabkan hipotensi jarang ditemukan, Bradikardia lebih menonjol pada
fentanyl dari, pada morphine serta dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan
curah jantung. Reaksi allergi jarang ditemukan pada pemakaian fentanyl. Fentanyl
dosis besar (50-150 gr/kg/iv)dapat digunakan sebagai anesthesia tunggal. Fentanyl
dosis besar ini mempunyai keuntungan berupa stabilitas hemodinamik, yang secara
garis besar disebabkan oleh :
6

1. Tidak adanya efek depressi miokardium secara langsung


2. Tidak menyebabkan pelepasan histamin
3. Penekanan stress respon terhadap pembedahan
Kerugian fentanyl sebagai anestesi tungal :
1. Blok respon system saraf simpatis terhadap stimulus nyeri pembedahan yang
tidak sempurna walaupun dengan dosis tinggi
2. Kemungkinan timbul awareness intra operative
3. Depressi pernafasan post operative
(Stoelting, R.K; Collins,V.J)
PELUMPUH OTOT
Pancuronium menyebabkan peningkatan denyut 10-15%, MAP dan curah
jantung. Efek kardiovaskuler disebabkan oleh blok vasoal dan aktifasi sistim saraf
simpatis. Efek stimulasi jantung oleh pancuronium dapat meningkatkan insiden
iskemia miokard pada pasien dengan penyakit arteri koroner (Collins, V.J; Stoelting,
R.K)
Tekanan darah dan frekuensi denyut jantung tidak berubah dengan pemakaian
intra vena atrakurium secara cepat, dengan dosis 2x ED 95, tapi dengan dosis 3x ED95
atrakurium meningkatkan frekuensi denyut jantung 8,3% dan penurunan MAP 21,5%.
Perubahan sirkulasi ini hanya sementara selama 60-90 detik sesudah penggunaan
atrakurium dan menghilang dalam 5 menit. Konsentrasi histamin meningkat
sementara dan pararel dengan perubahan denyut jantung dan tekanan darah sistemik.
Jika digunakan dengan dosis 0,6mg/kg. Diperkirakan kosentrasi histamin di plasma
harus meningkat dua kali lipat sebelum perubahan kardiovaskuler terdeteksi secara
klinis (Collins,V.J; Stoelting, R.K).
Vecuronium mempunyai ciri khas tidak terjadi gejolak hemodinamik walaupun
digunakan intravena cepat dengan dosis lebih dari 3x ED95. Hal ini akibat absennya
efek vagolitik atau pelepasan histamin pada pemakaian vecuronium (Coltins, V.J;
Stoelting, R.K)

Penggunaan rocuronium dalam dosis besar tidak menyebabkan gejolak


kardiovaskuler atau pelepasan histamin. Rocuronium dapat menyebabkan efek
vagolitik ringan (Stoelting, R.K;Collins, V.J).
GAS ANESTESI
Halotan isofluran desfluran dan sevofluran menurunkan MAP hampir sama dan
tergantung pada dosis. Sebaliknya N20 tidak menimbulkan perubahan atau perubahan
ringan pada tekanan darah sistemik. Penurunan tekanan darah oleh halotan sebagian
atau secara keseluruhan merupakan konsekuensi dari penurunan kontraktilitas
miokardial dan curah jantung, dimana isofluran desfluran dan sevoflurane, penurunan
tekanan darah sistemik secara primer akibat dari penurunan resistensi pembuluh
darah sistemik (Stoelting, R.K; Collins,V.J).
Isofluran, desfluran dan sevofluran tetapi tidak dengan halotan akan
meningkatkan denyut jantung. Sevofluran akan meningkatkan denyut jantung dengan
konsentrasi > 1,5 MAC, dimana isofluran dan destluran akan meningkatkan denyut
jantung dengan konsentrasi yang lebih kecil (Stoelting, R.K; Collins, V.J).
Halotan tapi tidak isofluran destluran dan sevofluran menimbulkan penurunan
curah jantung tergantung dosis. Sevofluran menurunkan cairan jantung pada
konsentrasi I dan 1,5 MAC tapi pada 2 MAC curah jantung telah kembali mendekati
nilai dasar sebelum anastesi. Sevofluran menyebabkan penurunan curah jantung lebih
kecil dibanding halotan jika digunakan pada anak. Curah jantung di tingkatkan oleh
NO, mungkin karena efek simpatomimetik dari gas ini. Sebagai tambahan untuk
mempertahankan frekuensi denyut jantung, isofluran mempunyai efek depresi paling
minimal pada curah jantung. Depresi kontraktilitas miokard oleh N20 kurang lebih
setengah dari anastesi inhalasi yang lain. Efek depresi miokardium dapat
dikompensasi oleh efek simpatomimetik dart N20 (Collins,V.J; Stoelting, R.K)
Isofluran, desflurane dan savoflurane tapi tidak halotan, menyebabkan
penurunan resistensi pembuluh darah sistemik. Tidak adanya perubahan pada
resistensi pembuluh darah sistemik pada penggunaan halotan, menekankan bahwa
penurunan tekanan darah sistemik akibat penggunaan gas ini pararel dengan
8

penurunan kontraktilitas miokardium. N20 tidak merubah resistensi vaskuler sistemik


(Collins,V.J; Stoelting, R.K).
Anastesi inhalasi punya pengaruh yang sedikit atau tidak bisa diprediksi pada
otot polos pembuluh darah pulmonal. Sebaliknya N20 menyebabkan peningkatan
resistensi pembuluh darah paru. Pada pasien dengan penyakit jantung kongenital
peningkatan resistensi pembuluh darah paru dapat meningkatkan Shunting intra
cardiac right to left shunt sehingga oksigenasi arteri menjadi lebih jelek (Collins,V.J;
Stoelting, R.K)
Isoflurane menyebabkan dilatasi resistensi pembuluh koroner lebih dibanding balotan
dan enfluran. Telah di kemukakan bahwa isofluran sebagaimana vasodilator koroner
lain, menyebabkan dilatasi arteri koroner kecil dari pembuluh koroner sehingga
terjadi maldistribusi darah dari daerah iskemia ke non iskemia, sehingga terjadi
phenomena yang dikenal (Coronary Steal Syndrome). Tidak ada bukti bahwa N 20
menimbulkan vasodilatasi arteri koroner yang bisa menimbulkan iskemia miokard
pada pasien dengan penyakit arteri koroner jika digunakan sebagai adjuwant terhadap
fentanyl (Stoelting, R.K; Collins, V.J)

ASMA
William R.Fuman,M.D
Asma didefinisikan sebagai obstruksi saluran nafas bawah yang rekuren,
episodik dan reversible. Diantara episode-episode itu, fungsi paru pasien normal (atau
agak normal).

Menurut GINA (Global Initiative for Asma) asma didefinisikan

sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas respiratorik dengan banyak sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan
inflamasi ini menyebabkan episode wheezing berulang, sesak napas, rasa dada
tertekan, dan batuk, khususnya malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun bervariasi,
yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan

pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperaktivitas saluran respiratorik


terhadap berbagai rangsangan. Diketahui pencetus dari reaksi saluran nafas pada
pasien adalah allergen, proses infeksi atau stimulus fisik. Gejala pada pasien sangat
bervariasi tetapi umumnya terjadi batuk, wheezing,

nafas yang pendek dan

exercional dyspnea.
PENANGANAN ANESTESI PREOPERATIF
Evaluasi Preoperatif
Evalusi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan sangat penting untuk
mencegah ataupun mengendalikan kejadian asma attack, baik intraoperatif maupun
postoperatif. Maka diperlukan evaluasi yang meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru-paru, dan analisa gas darah, foto rontgen
thorax.
1. Riwayat Penyakit
Meliputi lama penyakitnya, frekwensi serangan, lama serangan atau berat
serangan, faktor-faktor yang memperngaruhi serangan, riwayat penggunaan
obatobatan dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat alergi (makanan,
obat, minuman), Riwayat serangan terakhir, beratnya, dan pengobatannya. Bila barubaru ini mendapat infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan maka operasi
elektif sebaiknya ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas jalan napas.
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas yang
terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis, ekspirasi
memanjang, Palpasi takicardi. Perkusi hipersonor, auscultasi whezing, ronchi.4
Tanda-tanda serangan asma berat meliputi penggunaan otot-otot pernapasan
tambahan, tidak mampu berhenti napas pada saat bicara, sianosis, sedikit atau tidak
ada whezing (jalan napas tertutup, sedikit gerakan udara, dan whezing menurun).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil ini
selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid dan dapat juga untuk
10

membedakan asma dengan bronchitis khronis. Pada pemeriksaan sputum selain


didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan adanya kristal charcat leyden, spiral
churschman dan mungkin juga miselium aspergilus fumigates.
4. Pemeriksaan Rontgen Thorax
Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut umumnya
dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu atau adanya komplikasi
asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atelektasis, pneumonia.
5. Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)
Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran
aliran udara ekspirasi yaitu volum ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan arus
puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil
pengukuran sebelumnya.
Pengelolaan preoperatif
Langkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan yang
menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan. Proses obstruksi
yang reversible adalah bronkospasme, sekresi terkumpul dan proses inflamasi jalan
napas. Obstruksi yang tidak reversible dengan bronkodilator misalnya adalah
empisema, tumor.
Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan preparat
bronkodilator

yang

berisi

-adenergik

agonis,

dosis

terapi

teopilin

dan

kortikosteroid.2 Pada pasien dengan serangan asma balans cairan dan elektrolit perlu
dipelihara, pada kondisi ini pasien sering mengalami dehidrasi.
PENANGANAN ANESTESI INTRAOPERATIF
Sesuai dengan bidang kecabangan anestesi, suatu pemahaman masalah
pathofisiologi yang mendasar adalah lebih penting pada pilihan tehnik anestesi
khusus atau obat. Pilihan tekhnik bisa regional anestesi saja, dengan pasien tetap
sadar, mampu mengontrol sistem napasnya sendiri, dan pada situasi lain diperlukan

11

kombinasi general anestesi dengan regional anestesi, karena pertimbangan atau untuk
mengendalian nyeri postoperatif.
A. Regional Anestesi
Spinal anestesi atau epidural adalah pilihan pada pembedah ektrimitas bawah.
Pada pasien asma pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot tambahan
(intercostal untuk inspirasi, otot perut untuk ekspirasi paksa). Spinal anestesi dapat
memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunkan FRC, mengurangi
kemampuan untuk batuk dan membersihkan lendir atau memicu gangguan respirasi
atau bahkan terjadi gagal napas. Spinal tinggi atau epidural anestesi dapat
memperburuk bronkokontriksi karena terhambatnya tonus simpatis pada jalan napas
bawah(T1-T4) dan menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak terhambat. Kombinasi
tehnik epidural dan anestesi umum dapat menjamin kontrol jalan napas, ventilasi
adekuat, dapat mencegah hypoxemia dan atelectasi. Pada prosedur pembedahan
perifer yang panjang sebaiknya dilakukan dengan general anestesi. Faktor-faktor
penting yang menghalangi keberhasilan penggunaan regional anestesi seperti pasien
tidak tahan berbaring lama dimeja operasi dalam waktu lama, batuk spontan dan tidak
terkendali dapat membahayakan yaitu pada tahap kritis pembedahan.
B. Anestesi Umum
Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama
instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama anestesi
dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering dihubungkan
dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium, mivacurium, morfin,
meperidin) harus dicegah atau diberikan dengan sangat lambat jika digunakan. Tujuan
dari anestesi umum adalah smooth induction dan kedalaman anestesi disesuaikan
dengan stimulasi. Pemilihan agen anestesi tidak sepenting dalam pencapaian anestesi
yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi pembedahan.
Penggunaan laryngeal mask airway LMA) menurunkan bronkospasme, tapi
tidak

menghilangkan

resiko

bronkospasme

sebagai

akibat

dari

tindakan

laringkoskopi. Resiko tambahan pada penggunaan LMA ketidak mampuan untuk


12

ventilasi selama bronkospasme karena tekanan inspirasi dapat menambah penutupan


LMA pada laring. Yang paling bagus LMA proseal yang dapat mengatasi keterbatasan
itu.
PENANGANAN POST OPERATIF
Kontrol nyeri post operasi yang bagus adalah epidural analgesia. NSAID
harus dihindari karena dapat mencetus terjadinya bronkospasme. Oksigenasi harus
tetap diberikan. Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian bronkodilator
dilanjutkan lagi sesegera mungkin pada pasca pembedahan. Pemberian bronkodilator
melalui nebulator atau sungkup muka. Sampai pasien mampu menggunakan MDI
(Meteroid Dose Inheler) sendiri secara benar.
1. Buka penutup dan pegang inheler tegak.
2. Kocok inhaler.
3. Angkat sedikit kepala kebelakang dan ekshalasi sampai frc.
4. Tempatkan inheler memakai spacer (pemisah) antar aktuator dan mulut.
5. Tekan inheler sementara sambil menarik napas pelan dan dalam 3-5 detik.
6. Tahan inspirasi paling sedikit 5-10 detik bila mungkin agar obat mencapai paru.
7. Ulangi inhalasi sebagai berikut tunggu 1 menit setelah inhalasi, bronkodilator bisa
membuat inhalasi berikutnya masuk lebih dalam ke paru-paru dan ini perlu untuk
memberikan dosis yang benar.
8. Bilas mulut dan keluarkan setelah memakai inhaler.
Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI specer bila memenuhi kriteria
sebagai berikut :
1. Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit.
2. Mampu menahan napas selama 5 detik atau lebih.
3. Kapasitas vital > 15 ml/kgbb.
4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi.
5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai.
6. PEFR 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit untuk pria.
13

Evaluasi klinis dimulai dengan menilai fungsi jalan nafas diantara episodeepisode

asma. Menentukan ada tidaknya gejala-gejala dan menentukan

regimen pengobatan dibutuhkan untuk mencapai hasil ini. Jika pasien tidak
bebas dari gejala-gejala, pikirkan kemungkinan bahwa pengobatan pada
pasien asma tidak adekuat atau adanya keterlibatan proses lain (misalnya
emfisema atau bronchitis kronik). Spirometer pre

dan post penggunaan

bronkodilator dapat dilakukan jika tersedia.

Putuskan, berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik apakah pasien berada


dalam keadaan dibawah standar. Jika pasien berada dalam keadaan standar,
putuskan apakah keadaannya baik atau dapat berubah dengan farmakoterapi
yang agresif.

Putuskan apakah pembedahan merupakan pilihan utama atau dapat ditunda


dan dilakukan evaluasi serta terapi.

Pertama digunakan beta-adrenergic agonis dan kortikosteroid sistemik. Jika


pasien

tidak dapat menerimanya maka digunakan Albuterol inhaler dan

Prednison oral selama 3-5 hari dengan dosis berangsur-angsur dikurangi.


Penggunaan Theophyllin masih kontroversi dan sekarang tidak lagi digunakan
untuk asma akut. Ipratropium bromida merupakan bahan inhalasi pilihan
kedua yang kadang-kadang ditambahkan pada pengobatan dengan Albuterol.
Reseptor antagonis leukotrien (misalnya Zafirlukast) adalah obat baru yang
digunakan untuk terapi preventif pada penanganan asma. Jika terdapat infeksi
paru atau bronkus maka digunakan antibiotika.

Jika prosedur mendesak dan gawat, albuterol secara nebulation dengan atau
tanpa ipratropium merupakan pilihan terbaik untuk memperbaiki mekanisme
pernapasan dan pertukaran udara. Pengobatan dimulai dengan penggunaan
steroid intra vena sedini mungkin.

Bahan induksi yang paling disenangi untuk anstesi umum adalah propofol,
ketamin intramuskular atau intravenosa, atau inhalasi halotan atau sevofluran.
14

Bahan analgetik yang menyebabkan pelepasan histamin, induksi dan


pelumpuh otot hasilnya tidak jelek dan lebih aman. Bahan anestetik volatile
mengurangi bronkospasme dan biasanya merupakan bahan utama untuk
maintenance

pada

anestesi

umum

serta

pengobatan

bronkospasme

intraoperatif. Nitrogen oksida dihindari pemakaiannya (atau digunakan


dengan konsentrasi lebih kurang 50%) jika diperkirakan terdapat obstruksi di
daerah paru-paru. Jika diperlukan relaksan otot, pertimbangkan penggunaan
anticholinesterase.

Obat

antagonis

muskarinik

dapat

menyebabkan

bronkospasme.

Intubasi endotrakheal merupakan masalah pada asma. Kedalaman anestesi


yang inadekuat dapat memperburuk bronkospasme, terutama jika terdapat
rangsangan pada trakhea, carina atau bronkus oleh tube endotrakheal atau
karena dingin, inhalasi gas kering. Efeknya dihambat oleh lidokain IV (1,5
mg/kg) pada saat anestesi yang dalam. Bahan lain adalah penggunaan lidokain
spray topikal sebelum intubasi dan penggunaan atropin untuk memblok
nervus vagus. Jangan lakukan hiperventilasi pada pasien; hal tersebut tidak
diperlukan karena dapat menyebabkan barotrauma. Hipokarbia dapat
menyebabkan bronkokonstriksi. Ekstubasi merupakan pilihan tetapi hal ini
biasanya tidak dibutuhkan.

Untuk menghindari penggunaan alat pada trachea, penggunaan anestesi umum


dengan mask atau dengan laryngeal mask airway (LMA), anestesi lokal dan
anesetsi regional perlu dipertimbangkan. Pemberian sedativ aman pada pasien
asma, cocok digunakan secara IV dan neuraxial narcotik untuk mengobati
nyeri.

15

PERIOPERATIV PADA WHEEZING


Deborah K. Rasch, M.d.
Ellen B. Duncan, M.D.
Wheezing (diambil dari kata Old Norse yang berarti bunyi mendesis)
merupakan tanda yang kompleks yang dihadapi pada saat perawatan pasien
perioperatif. Saat terjadi bronkospasme, wheezing akan menyertai terjadinya
konstriksi bronkus (dan meningkat pada pasien yang di intubasi). Meskipun
predominan terjadi pada saat ekspirasi, mungkin juga terdapat bunyi nafas yang
pendek selama inspirasi. Bising pernafasan mirip dengan wheezing dan dapat
dihubungkan dengan gangguan lain.

Wheezing pada saat preoperative, mengindikasikan satu atau lebih hal-hal


dibawah ini : penyakit-penyakit brokospastik (asma, COPD, cystic fibrosis),
penyakit jantung (Congestif Heart Failure [CHF], congenital heart disease
dengan pembesaran arteri pulmonal dimana menyebabkan kompresi bronkus
utama, vascular ring disekitar trachea); aspirasi; penyakit inflamasi atau
infeksi (bronchitis kronis, pneumonia, infeksi virus pada anak). Wheezing
bisa terjadi pada pasien dengan edema laring atau bagian lain pada bronkus
dan jarang pada emboli paru. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis
(gejala penekanan saluran nafas, toleransi terhadap exercise, respon terhadap
bronkodilator, irama cardiac gallop, penggunaan diuretic guna penggolongan
penyakit.

Studi

diagnostik

masih

diperlukan.

Optimalkan

fungsi

kardiopulmonal, bronkodilator dan perbaikannpulmonary toilet pada penyakit


bronkospastik ; penatalaksanaan medikasi dan diuretic pada CHF; dan
penundaan tindakan elektiv sampai proses infeksi dihilangkan) sebelum
pembedahan elektif.

Pengelolaan anestesi pada pasien asma termasuk intubasi (dan ekstubasi)


sampai terjadi anestesi yang dalam (untuk menurunkan stimulasi vagal dan
bronkokonstriksi). Ada pasien asma, oksibarbiturat kurang disukai karena
menyebabkan

pelepasan

histamin

dibandingkan

barbiturat.Meskipun
16

halothane lebih disenangi oleh beberapa ahli anestesi, semua bahan inhalasi
secara kasar sama dengan bronkodilator. Bronkodilator ketamin sangat
membantu.

Pengelolaan individual pada pasien jantung sesuai dengan lesi. Wheezing,


walaupun pengelolaan hemodinamik tepat, dapat terjadi bronkospasme.

Pada pasien dimana tidak mendapatkan preoperative wheezing dan kemudian


terjadi fase perpanjanga ekspirasi dan wheezing sesudah intubasi merupakan
masalah diagnostik yang akut. Sekresi yang banyak pada saluran pernapasan
atau tube endotrakheal dapat menyebabkan bising pada pernapasan dan dapat
dihilangkan dengan suction.

Bronkospasme intraoperativ dapat disebabkan oleh pelepasan histamin karena


obat (thiopental, curare, succinylcholine, morphine), anesthesia ringan,
stimulasi parasimpatomimetik (adanya tube endotrakheal, rangsangan
operasi),

aspirasi,

anafilaksis

aktivitas

obat

beta-bloker. Anafilaksis

menyebabkan hipotensi, vasodilatasi dan edema periorbital dan dapat


disebabkan oleh beberapa obat tertentu. Pengobatan anafilaksis dengan
dipenhydramin, 2 mg/kg; epinefrin, 3-5 g/kg IV; dan methylprednisolon 1-2
mg/kg IV.

Tebutaline 0,01 mg/kg subkutan; albuterol 0,1 mg/kg inhalasi; terbutaline 0,1
mg/kg inhalasi atau metaproterenol 5 mcg/kg inhalasi telah digunakan dan
memberikan hasil yang memuaskan. Jika terjadi bronkospasme, dapat
diberikan aminofilin 5-6 mg/kg IV, 20-30 menit, dan dimulai dengan infus
aminofilin 0,4-0,9 mg/kg/jam (lihat table 1). Perhatikan disritmia ventricular.
Jika pasien tidak respon terhadap pengobatan awal, dapat diberikan epinefrin
IV.

17

Tabel 1. Penggunaan obat pada bronkospasme intraoperativ

CHRONIC OBSTRUCTION PULMONARY DISEASE


(COPD)
Michael A. Lyew, M.D.
Diane M. Peters-Koren, M.D.
COPD adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh
hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun/berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat
penyakit. COPD ditandai dengan kurangnya aliran udara ekspirasi yang persisten
dengan meningkatnya residual volume dan function residual capacity. Resiko anestesi
adalah : hipoksemia, hiperkarbia, bronkospasme dan peningkatan insiden
Postoperative Pulmonary Complication (PPC), termasuk atelektasis, pneumonia dan
gagal nafas.

18

Merokok adalah faktor predisposisi yang besar yang menyebabkan COPD,


dimana sebagian besar diklasifikasikan dalam bronchitis kronis dan emfisema.
Gabungan dari keduanya dapat terjadi. Penyebab minor dari emfisema adalah
defisiensi homozygot a-1 antitripsin, dimana hal tersebut juga berperan
sebagai penyebab sirhosis. Merokok lebih dari 20 pak/tahun, usia lanjut,
obesitas, status ASA yang tinggi, serta operasi thorax dan upper abdominal
merupakan co-faktor COPD untuk PPC. COPD dini dengan atau tanpa gejala,
tes fungsi paru rutin (PFTs) tidak diperlukan, kecuali sebelum reseksi paru.
Dispnu (terutama pada saat istirahat), batuk dan produksi sputum menandakan
perlunya persiapan yang intensif, termasuk PFTs dasar dan pengukuran gas
darah arteri.

Perbandingan FEV1/FVC menunjukkan beratnya COPD. Resiko PPC


meningkat setelah pembedahan upper abdominal, jika pada preoperative nilai
dari FEV1/FVC < 70%, FEV25-75%/FVC < 50%, FVC < 75%, dan MVV <
50%. Gagal nafas sering terjadi jika FEV1/FVC < 50% dan PaCO2 > 50
mmHg. Retensi CO2 sering terjadi jika FEV1/FVC < 35%. Perbaikan nilai
aliran ekspirasi dan PaCO2 setelah pemberian bronkodilator menurunkan
resiko PPC. Malnutrisi dan gangguan elektrolit perlu diperhatikan karena
keduanya menyebabkan penurunan fungsi otot pernapasan. Selanjutnya dapat
terjadi hipoksemia dan hiperkarbia menunjukan adanya polisitemia, hipertensi
pulmonal dan cor-pulmonal. Pada COPD dini, foto thorax normal, tetapi dapat
terlihat pembesaran paru pada emfisema dan blood diversion pada lobus atas
serta kardiomegali pada bronchitis kronik.

Sebelum operasi elektif, fungsi paru harus optimal. Merokok harus dihentikan
pada yang berat; untuk menurunkan level carboxyhemoglobin dibutuhkan 1218 jam. Pengobatan penuh pada infeksi saluran nafas akut dan dilanjutkan
dengan inhalasibronkodilator serta obat anticholinergik. Jaga atau tingkatkan
terapi steroid. Koreksi hipokalemi, tunjang gizi dan manuver ventilasi untuk
meningkatkan cadangan nafas. Sediakan cadangan oksigen (O2) untuk
memperbaiki hipertensi pulmonal. Pengobatan right ventricular failure dengan
19

digoksin,

diuretik

dan

vasodilator.

Waktu

yang

inadekuat

untuk

mengoptimalkan keadaan sebelum operasi meningkatkan resiko PPC dan


merupakan operasi yang emergensi.

Jenis pembedahan dan status fisik menentukan teknik anestesi dan tingkat
monitoring. Blok spinal dan epidural lebih tinggi dari T6 menurunkan volume
cadangan ekspirasi dan refleks batuk serta menghilangkan sekresi.
Penggunaan sedative dibatasi karena efeknya terhadap depresi pernafasan.
Bronkospasme saat dilakukan anestesi umum pada pasien dapat disebabkan
oleh intubasi endotrakheal, rangsang nyeri dan pelepasan histamin karena
obat. Nitrogen oksida dihindari jika terdapat bulla atau hipertensi pulmonal.
Jaga pH normal arteri, tetapi tidak PaCO2 , pada pasien dengan retensi CO2
preoperative untuk menjaga kompensasi metabolik. Gradien antara CO2 tidal
dan CO2 arteri bisa meningkat. CVP menggambarkan fungsi ventrikel kanan
lebih baik daripada volume intravaskuler jika terdapat hipertensi pulmonal.

Hindari atau minimalkan bronkospasme selama keadaan gawat extubasi


dalam keadaan tidak sadar atau sadar setelah profilaksis dengan lidokain IV
atau inhalasi bronkodilator. Pasien-pasien seperti ini memiliki level PaCO2
yang rendah dan desaturasi oksigen pada analgesia epidural kemudian kontrol
nyeri dengan opioid parenteral. Pengaturan FiO2 tergantung ventilasi pada
hipoksia. Mobilisasi dini dan manuver ventilator merupakan anjuran. Hindari
hidrasi yang berlebihan. CO2 yang berlebihan pada sepsis atau intake kalori
yang berlebihan membutuhkan bantuan ventilasi. Kontrol ventilasi juga
diperlukan pada tindakn di daerah thorax dan upper abdominal sampai fungsi
paru diperbaiki.

20

CIGARETTE SMOKING
James Gilbert, M.D.
Kathryn R. Hamilton, M.D.
Diketahui, riwayat merokok meningkatkan insiden komplikasi pernapasan
postoperative. Efek merokok adalah rusaknya mukosiliar, hipersekresi mucous, dan
obstruksi jalan nafas. Hal ini meningkatkan sensitivitas bronchiolar sehingga terjadi
bronkokonstriksi dan peningkatan resistensi jalan nafas dan pengurangan dinamik.
Efek akut dari mengisap asam rokok adalah peningkatan level karbonmonoksida dan
disosiasi kurva oxyhemoglobin pada leftward shift. Carboxyhemoglobin (CoHb)
dapat meningkat sampai 8-10% pada perokok berat, yang berarti mengurangi
kapasitas oksigen pembawa. Nikotin adalah agonis adrenergik yang meningkatkan
heart rate, BP dan resistensi vaskuler perifer.

Adanya batuk produktif, sputum purulen atau penurunan FEV1 menandakan


peningkatan resiko terhadap komplikasi pulmonal. Adanya beberapa faktor
resiko atau kemungkinan adanya batuk pada intraoperatif atau postoperative
dapat

mengganggu

jalannya

operasi

(misalnya

operasi

mata

dan

herniorrhaphy) memerlukan evaluasi yang lebih sebelum pembedahan.

Studi fungsi paru yang sederhana menyatakan adanya penurunan FEV1 dan
peningkatan closing volume. Studi fungsi paru dilakukan dengan atau tanpa
bronkodilator untuk mengevaluasi efek obat selama persiapan preoperative
pada pasien. Diperlukan adanya ABGs, foto thorax dan EKG. Apabila
beberapa tes hasilnya abnormal, jika lama operasi diperkirakan lebih dari 3
jam atau jika lokasi operasi pada daerah upper abdominal atau thorax,
pertimbangkan penundaan tindakan elektif untuk persiapan akan adanya efek
pada paru yang luas.

Merokok harus dihentikan minimal 6-8 minggu sebelum operasi untuk


mengurangi angka kesakitan pada postoperative pulmonal dan memperbaiki
fungsi imun serta penyakit saluran nafas yang reversible. Merokok 48 jam
sebelum operasi berdampak pulmonary toilet yang agresif, meskipun
21

demikian, berhenti merokok lebih cepat sebelum operasi masih kontroversi.


Namun, walaupun hanya beberapa hari tidak merokok, terjadi aktivitas
perbaikan cilia dan 1-2 minggu tidak merokok secara signifikan menurunkan
volume sputum dan reaktivitas saluran nafas. Waktu paruh yang singkat dari
CoHb menurun setelah 12 jam tidak merokok.

Infiltasi lokal sebagai syarat untuk sedativ IV atau anestesi regional


diperlukan, tetapi untuk anestesi umum tidak digunakan, hal ini penting untuk
mempertahankan kelembaban yang adekuat, mempertahankan FRC dan cukup
bermanfaat pada anestesi yang dalam untuk mengurangi reaktivitas jalan
nafas. Preoperativ dengan menggunakan antikolinergik tidak bermanfaat.
Pulmonary toilet yang aktif, termasuk perkusi dan vibrasi, diperlukan setelah
extubasi, diikuti dengan tindakan suction pada jalan nafas selama tindakan
operasi. Pengurangan FRC terjadi pada semua pasien yang dianestesi tetapi
lebih banyak pada perokok. Walaupun penurunan SaO2 pada perokok
memperlihatkan gejala yang asimptomatik, selama periode postoperative
suplemen O2 harus ditransportasikan dan dipertahankan.

Siapkan analgetik postoperative dengan cara blok saraf atau analgetik epidural
jika memungkinkan. Jika hal ini tidak mungkin atau kecil kemungkinannya
untuk dilakukan, dosis analgetik IV secara titrasi yang berulangkali akan
memberikan efek yang diinginkan; Hindari kombinasi beberapa obat sedatif
kerja lama atau fenotiazin. Juga baik memilih analgetik yang kurang
mengandung antitusive (misalnya obat nonsteroid antiinflamasi). Terapi
preoperative pulmonal dilanjutkan sampai periode postoperative. Pertahankan
hidrasi dan terapi O2 yang adekuat. Spirometer atau terapi fisik pada thorax
(jika terjadi atelektasis atau infiltrat pada daerah tertentu), terapi bronkodilator
dan mobilisasi dini untuk mengurangi komplikasi postoperative pulmonal.

22

INFEKSI SALURAN NAFAS ATAS


Alan R. Tait, Ph.D.
Paul R. Knight, M.D., Ph.D.
Resiko tindak anestesi pada pasien infeksi saluran nafas atas yang akut (ISPA)
masih kontroversial. Studi menunjukkan bahwa hal tersebut kurang jelas. Walaupun
beberapa studi mengatakan bahwa tindakan anestesi pada pasien dengan ISPA
memiliki resiko terjadinya laringospasme, bronkospasme dan desaturasi pada
postoperative, pendapat lain mengatakan bahwa pasien ISPA akut dan carries ISPA
tanpa komplikasi, tidak menurunkan angka kesakitan.

Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk menentukan apakah


pasien sedang mengidap suatu proses infeksi atau tidak. Evaluasi pasien akan
adanya demam, batuk, produksi sputum, dispnu dan letargi. Tentukan apakah
gejala tersebut terjadi secara akut atau musiman. Shreiner dan kawan-kawan
mengatakan bahwa sangat penting untuk memprediksikan kemungkinan yang
akan terjadi. Thorax foto harus dipertimbangkan jika dipikirkan bahwa
saluran nafas bawah ikut terlibat.

Perkiraan pembedahan yang urgency. Pembedahan yang nonurgency dengan


adanya

asma

telah dinyatakan

sebagai faktor yang

paling

sering

mempengaruhi keputusan para ahli anestesi untuk menunda operasi elektif


pada pasien dengan ISPA. Jika pembedahan urgent, pertimbangan tekhnik
regional untuk menghindari manipulasi jalan nafas. Jika hal ini gagal atau
tidak

dapat

dilakukan,

alihkan

pada

anestesi

umum

dengan

mempertimbangkan lamanya pasien puasa. Kelembaban dan hidrasi dapat


menolong mobilisasi sekresi.

Jika pembedahan elektif, perkirakan kemungkinan infeksi. Dengan waktu


yang singkat, hal ini tidaklah mudah; walaupun demikian, informasi bisa
didapatkan dari data tentang riwayat dan pemeriksaan fisik pasien. Walaupun
95% pasien dengan gejala ISPA mendapatkan infeksi virus, beberapa pasien
memperlihatkan sekresi atau sputum yang mukopurulen, demam, atau sepsis.
23

Jika diduga infeksi bakteri, pasien harus diberikan antibiotik dan pembedahan
harus ditunda paling kurang 4 minggu. Pasien dengan nasofaringitis berat,
wheezing, demam lebih dari 38oC, batuk yang produktif atau flu atau gejala
batuk yang disertai sesak nafas harus dijadwal ulang. Pasien tanpa infeksi,
alergi, rhinitis vasomotor kronis atau penyakit-enyakit tingkatan sedang, tidak
berkomplikasi, gejala cold akut dimana tidak terdapat sekresi dapat
dilakukan

pembedahan.

Jika

pasien

pasien

ini

akan

dioperasi,

pertimbangkan resiko dan keuntungan tindak operasi (misalnya operasi yang


telah berulangkali ditunda, dan tidak diperlukannya pembedahan yang
menambah resiko komplikasi pada pasien dengan ISPA). Jika perbandingan
resiko dan keuntungan baik, operasi dapat dilakukan; jika tidak baik atau
ragu-ragu, operasi ditunda paling kurang 4 minggu.

Jika tekhnik regional cocok, operasi dapat dilakukan. Jika dilakukan anestesi
umum, gunakan mask jika memungkinkan. Jika biasa menggunakan
Laryngeal Mask Airway (LMA), pertimbangkan penggunaannya untuk
tindakan yang normalnya memerlukan intubasi tracheal. Antisialogoque dapat
digunakan pada anak-anak untuk mengurangi stimulasi vagal pada
manupulasi jalan nafas. Gunakan pulse oxymetri pada semua pasien.

Jika pasien telah diintubasi, suction trachea sebelum dilakukan extubasi.


Lanjutkan pulse oxymetri selama pemindahan pasien dan dalam ruang
pemulihan. Pasien dengan ISPA memperlihatkan tingkat saturasi terbesar
selama

masa

pemulihan.

Diperlukan

penggunaan

oksigen

dengan

menggunakan facemask.

TUBERCULOSIS ATAU SUSPEK TUBERCULOSIS


Susan M. Ryan, Ph.D., M.D.
Peningkatan Tuberkulosa (TB) dan peningkatan resistensi terhadap antibiotik
mendapat perhatian besar dalam kesehatan masyarakat. TB menyebar melalui
24

inhalasi droplet nuclei; aerosol partikel kering, sisa-sisa yang ada diudara.
Konsultasikan dengan spesialis penyakit infeksi untuk membantu diagnosa,
pengobatan dan waktu operasi. Pegawai Rumah Sakit Departemen Kesehatan,
National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH), dan Center for
Disease Control and Prevention (CDC) bermanfaat sebagai sumber informasi.

TB adalah penyakit paru primer. Diperlukan data tentang diagnosa, riwayat


pengobatan dan gejala pada paru-paru, serta keterlibatan ekstrapulmonal
(limfatik, CNS, ginjal dan sumsum tulang). TB yang dini biasanya
asimptomatik atau timbul dengan gejala yang tidak spesifik (anoreksia,
fatique, kehilangan beratbadan, berkeringat pada malam hari). Selanjutnya
dapat terjadi batuk yang produktif, hemoptisis dan nyeri pada dada. Takipnu,
ronkhi, dan melemahnya bunyi pernafasan bisa terjadi. Jika ekstrapulmonal
terlibat maka gejala yang paling sering terlihat adalah limfadenopati.
Penemuan pada foto thorax tergantung pada tingkat dan kronisitas penyakit
Jika foto thorax abnormal maka dilihat foto sebelumnya. Pada TB primer
terlihat infiltrat di lobus atas atau seperti infiltrat halus yang multiple.
Limfadenopatui hilar atau efusi pleura bisa terjadi. Pada TB kronik, bisa
terdapat bintik atau nodul pada apikal dan subapikal. Dahulu, pengobatan TB
dimana terdapat granuloma adalah dengan apical scarring. Perhatikan adanya
peningkatan leukosit dan anemia normositik normokrom. Pada TB pulmonal
dapat terjadi hiponatremia dan meningitis TB disebabkan oleh syndrome of
inappropriate secretion on antidiuretic hormone (SIADH).

Hilangkan infeksi TB yang aktif sebelum pembedahan yang tidak mendesak.


Observasi penyebab TB jika ada dugaan adanya TB aktif. Jika foto thorax
normal atau ada sedikit perubahan pada pasien yang asimptomatik, tidak ada
tes yang direkomendasikan. Jika pada foto thorax diduga adanya TB aktif atau
secara klinik diduga kuat pengobatan tidak adekuat, ambil tiga contoh sputum
untuk smear basil tahan asam (BTA) dan kultur TB. Satu smear positif
membantu diagnosa. Apabila BTA negatif, tindakan pencegahan dan
pembedahan tergantung pada tingkatan penyakit dan kecurigaan TB yang
25

tidak diobati. Jika BTA negatif, TB aktif tidak dapat disingkirkan (pasien
dengan resiko tinggi atau pasien yang memberikan gejala) dan dilakukan
pengobatan serta penundaan tindakan pembedahan. PPD yang positif (tes
penyaringan yang baik tetapi tidak pasti) dapat dicurigai adanya TB, tetapi
PPD negatif (walaupun dengan kontrol) tidak dapat menyingkirkan adanya
TB; Foto thorax dan analisa sputum lebih dipercaya. Pada pasien dengan HIV
positif cenderung mendapatkan penyakit paru aktif dan melibatkan
ekstrapulmonal. Pada pasien-pasien tersebut, tes PPD positif dengan ukuran 5
mm. Pada pasien dengan HIV positif yang berat, foto thorax bisa negatif
untuk beberapa hari saat pasien terinfeksi dengan TB. Sebagai tambahan, BTA
positif dihasilkan oleh beberapa mycobacteria; namun tetap diobati sebagai
TB sampai hasil kultur didapatkan.

Pasien dengan HIV positif dan diduga TB adalah penduduk atau imigran dari
daerah dengan prevalensi tinggi, penyalahguna obat, kontak TB, tunawisma,
malnutrisi. Pikirkan diagnosa TB jika terjadi pneumonia pada pasien dengan
resiko tinggi atau pasien yang tidak respon terhadap antibiotik atau adanya
kontak pada kasus yang aktif.

Observasi pernafasan sebagai pencegahan termasuk pasien yang diintubasi.


Ruang khusus dengan tekanan ventilasi negatif dan 6-10 kali/jam perubahan
udara, pencegahan gejala pada saluran nafas yang membahayakan dan masker
atau alat bantu nafas untuk setiap orang yang masuk dalam ruangan. Tipe
masker berguna untuk kesehatan kerja (HCW) dan alat bantu pernafasan yang
diakui oleh NIOSH : fitted air-filtering mask, powered air purifying
respirators (PAPR), atau respirator tekanan positif dengan tambahan udara.
Selama pemindahan pasien ketempat lain, gunakan masker pada pasien. Jika
pasien diintubasi dan dilakukan ventilasi, gunakan masker selama pemindahan
pasien.

Jika pasien dengan BTA positif, dilakukan penundaan untuk pembedahan


elektif dan tindak pengobatan selama 2 minggu dan tiga kali sputum negatif.
Jika pasien BTA negatif tetapi kultur positif atau pasien dengan resiko tinggi,
26

pasien dengan gejala TB, tindak pengobatan dilanjutkan minimal satu minggu
sampai terjadi perubahan pada kondisi pasien. Kasus yang gawat memerlukan
keputusan klinik, pengobatan yang memungkinkan selama sebelum
pembedahan, dan tindak pencegahan di ruangan operasi.

TB diobati dengan kombinasi obat selama 6 bulan sampai 1 tahun atau lebih.
Masalah yang besar adalah terjadinya resistensi, dan terapi obat harus
dilakukan secara hati-hati dan disesuaikan dengan sensitivitas. Respon
terhadap terapi ditandai dengan berkurangnya bakteri, sputum dengan BTA
negatif dan perubahan secara klinik. Pasien diperkirakan masih infeksius
selama 2-3 minggu setelah pengobatan.

Ventilasi yang adekuat diruang operasi sangat penting. Dapat digunakan


ventilator dengan tekanan negatif. Peralatan anestesi : gunakan alat-alat sekali
pakai. Letakkan penyaring bakteri pada lubang pernafasan atau dengan
menggunakan tube endotrakheal (ET) untuk mencegah kontaminasi. Atur tube
ET dan kateter suction dengan cermat. Bersihkan mesin dan peralatan anestesi
menggunakan larutan tuberkulosidal dan sterilkan jika memungkinkan. Ahli
anestesi dan yang lainnya : menggunakan masker seperti biasanya, lindungi
daerah steril. Sebagai tambahan perhatikan dan gunakan alat pelindung
pernafasan untuk mencegah infeksi dari droplet. Satu masker dapat disiapkan .
Respirator dengan katup ekshalasi, PAPR, respirator tekanan positif tidak
melindungi daerah yang steril. Pembedahan dan prosedurnya : terdapat resiko
tinggi terhadap kontaminasi selama dilakukan tindakan dimana cairan tubuh
yang terinfeksi keluar (trakheostomi, thorakotomi, bipso paru terbuka,
bronkoskopi, kauterisasi jaringan yang terinfeksi) dan selama perawatan tube
ET. Hindari atau minimalkan tindakan suction pada ET. Pemulihan : PACU
harus tersendiri dan terdapat standar pencegahan TB. Jika tidak, pemulihan
pasien dilakukan diruang operasi atau ICU. Tenaga kesehatan harus
menggunakan pelindung pernafasan.

27

RESTRICTIVE LUNG DISEASE


A. Sue Carlisle, M.D., Ph.D.
Restrictive Lung Disease (RLD) adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kumpulan gejala fisiologis yang ditandai dengan menurunnya
kapasitats total dari paru-paru. RLD dapat disebabkan oleh bermacam-macam sebab
intrinsik dimana daya pengembangan parenkhim paru menurun atau oleh faktor
ekstrinsik yang berdampak pada dinding dada, pleura dan abdomen. Keadaan ini
dapat disebabkan secara sendiri-sendiri atau bersamaan menghasilkan restrictive
fisiologis. Perubahan instrinsik bisa permanen, seperti terjadinya fibrosis paru atau
reversible seperti terjadinya edema paru atau pneumonia. Perubahan ekstrinsik dapat
terjadi secara sekunder pada bermacam-macam keadaan termasuk kelemahan otot
pernafasan, penebalan pleura, kiposkoliosis, chest wall scarring dan kegemukan.
Sebagai tambahan beberapa tindakan seperti laparoskopik dimana dibutuhkan
penurunan tekanan dalam cavum peritoneum, secara temporal dapat menyebabkan
restrictive fisiologis. RLD juga sering terjadi obstructive lung disease (OLD) dan
kombinasi keduanya dapat mempersulit diagnosa dan pengobatan.

Riwayat pasien yang diduga mengalami RLD harus ditanyakan dimana akan
menyebabkan adanya penyakit paru instrinsik, penyakit neuromuskular dan
penyakit tulang termasuk kiphoskoliosis, infeksi paru dan congestive heart
failure. Gejalanya adalah penurunan toleransi kerja, dispnu saat bekerja, batuk
atau kesukaran bernafas dalam. Evaluasi dini pada pasien RLD adalah
observasi pola pernafasan. Pasien-pasien ini cenderung memiliki penurunan
tidak volum dan peningkatan respiratory rate karena pola bernafas yang
kurang baik serta perluasan system noncompliant. Pasien dengan deformitas
skeletal, weaknesss, rales dan ronkhi harus ditindaki secara hati-hati. Obesitas
adalah hal yang paling penting yang dapat menyebabkan RLD yang berat.
Besarnya gejala dan tingkat toleransi terhatap latihan dapat menjadi acuan
untuk evaluasi preoperative yang lebih lanjut.

28

Radiografi pada thorax berguna untuk evaluasi pada beberapa kasus RLD
yang dalam pengobatan seperti edema paru, pneumonia dan pneumonia
interstisial. Fungsi paru dapat dievaluasi dengan spirometer untuk mendeteksi
penurunan volume paru dan adanya obstruksi serta restriktif fisiologis. Pada
beberapa kasus, dalam beberapa studi tentang fungsi paru, kurva volume
aliran udara diperlukan untuk menilai berat tidaknya RLD (lihat bagan). Total
lung capacity dan diffusing capacity juga diperlukan. Pada beberapa kasus,
nilai ABG preoperative berguna untuk prognosis postoperative apakah
dibutuhkan tambahan ventilator setelah operasi. Pada kasus yang berat echo
jantung atau kateterisasi jantung kanan preoperative berguna untuk
mengevaluasi hipertensi pulmonal atau kegagalan ventrikel. Komponen
reversible harus diobati sebelum tindakan pembedahan elektif.

Jika memungkinkan, pilihlah tekhnik anestesi yang tidak memerlukan sedasi


yang luas atau ventilasi mekanik. Tekhnik regional dapat digunakan jika otot
pernafasan tidak dapat dijamin. Pada beberapa kasus, diperlukan anestesi
umum dan ventilasi mekanis. Monitoring intraoperative dilakukan dengan
pulse oximeter dan arterial line untuk monitoring tekanan darah dan contoh
gas darah. Pada kasus-kasus yang berat, adanya hipertensi pulmonal dan
ventricular failure dilakukan pemasangan kateter pada arteri pulmonal (PA)
atau transesopharingeal echo (TEE) untuk melihat perubahan pada tekanan
arteri pulmonal dan fungsi ventrikel. Ventilasi pada beberapa ruang operasi
tidak cukup untuk mempertahankan tekanan dan aliran ventilasi yang adekuat
bagi pasien dengan compliance yang kurang. Jenis ventilator ICU dibutuhkan.
Atur ventilator untuk menurunkan tidal volume dan meningkatkan frekwensi
compliance pada pasien dengan daya compliance yang rendah. Tindakan ini
atau tindakan dengan menggunakan ventilasi dengan tekanan yang dikontrol
dapat menghindarkan masalah tekanan yang tinggi seperti barotrauma dan
hemodinamik yang membahayakan. Hemodinamik yang membahayakan bisa
terjadi karena cardiac output dan tekanan darah menurun atau menurunnya
ventilasi.
29

Setelah operasi, pada pasien dapat diberikan pH normal dan oksigenasi yang
adekuat untuk mempertahankan kemampuan tubuh. Jika dilakukan intubasi
trachea, perhatikan meticulous uantuk mengontrol nyeri. Efeknya minimal
terhadap alat pernafasan (mekanisme kompensasi pada pasien) dan lebih
menguntungkan. Jika pasien tidak dapat mentoleransi ekstubasi, ventilasi,
volume yang optimal, serta pulmonary toilet dan nutrisi yang baik, lakukan
ventilasi non-infasif seperti tekanan udara positif bilevel.

30

DAFTAR PUSTAKA
Bigatello, L.M, Zapol, W.M, 1996, New Approach to Acute Lung lnjury, Br.J.
Anaesth 77-99 109.
Bongard, F.S, Sue, D.Y, 2002, Pulmonary Edema, Acute Respiratory distress
syndrome, in Current Critical Care Diagnosis & Treatment, Second Edition, Lange
Medical Book, page 168-172.
Bouquet J, Jeffery PK. Busse WW, Jhonson M, Vignola AM, Asthma. From
bronchocontriction to airwy remondelling. Am J Respir Crit Care Med, 2000 ;
161:1720-45.
Co11ins,V.J, 1996, Barbiturates, Benzodiazepines, Opiate and Narcotic Drug, in
Physiologic and Pharmacologic Bases Of Anesthesia, Williams & Wilkins A Waverly
Company, page 513-526,527-543,544-581.
Cuenco, J, Tzeng, G, Wittels, B, 1999, Anesthetic Management of The Parturient with
Systemic Lupus Erythematosus, Pulmonary Hypertension and Pulmonary Edema,
Anesthesiology 91:568-70.
Decision Making in Anesthesiologi, An Algorithmic Approach. Third edition; By
Louis L. Bready Rhonda M. Mullins, Swan Helene Npprity, R. Brain Smith; Mosby
Inc. 2000, page 86 105.
Indro Mulyono, 2000 : Pengelolaan Perioperatif pada penderita gangguan Pernapasan
dalam PIB X IDSAI diBandung, hal : 111-133
Lenfant C, Khaltaev N. GINA. NHLBI/WHO Workshop Report 2002.

31

Lucille, B, 1996, Anaesthesia in The Presence of Heart Disease, in A Training Manual


-Where Facilities are Limited, Safe Anesthesia, page 348.
Morgan, Edward G. Clinical Anesthesiology, 4th Edition. 2006. E-book
Oberoi G, Phillip G, 2000 : Management of some Medical Emergency Situation, Mc.
Graw Hill, page : 315-318
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Pantangan Merokok pada
Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
Stoelting, RK, 1996, Opioids Agonist and Antagonist, Barbiturates, Benzodiazepines
and non Barbiturates Induction Drugs, in Pharmacology and Physiologic in
Anesthetic Practice, Third Edition, Lippincott-Raven Publisher, page 77-112,113139,140-157.
William R. Solomon, 2002 : Pathologi, Konsep Klinis Proses-prose Penyakit hal:
171-186.

32

Anda mungkin juga menyukai