Oleh :
RIZA SETYA AGRENSA G99131070
EDEMA PARU
Edema paru adalah kelebihan cairan pada ruang ekstra vaskular paru,
merupakan kegawatan pernafasan yang sering ditemukan pada pasien yang sakit
kritis. Edema paru mempunyai efek terhadap distribusi aliran darah paru, ventilasi
dan ventilasi-perfusi serta efisiensi pertukaran gas (Bongard, F.S, Sue, D.Y; Benumof,
J.L).
Paru berespon terhadap trauma akut dengan berbagai sebab, lewat beberapa
langkah. Perubahan patologi yang disebabkan oleh beberapa agen toksik dan
infeksius berupa kerusakan dari endotel dan epitel hingga konsolidasi alveoli dan
akhirnya proliferasi fibroblast disertai dengan deposisi kolagen. Trauma paru
menyebabkan kerusakan alveolar yang diffusa (Bigatello, L.M, Zapol,W.M).
Edema paru tidak akan terjadi karena ada beberapa mekanisme fisiologis
normal yang ada di paru akan mencegahnya; jika satu atau beberapa mekanisme ini
gagal, cairan mulai terakumulasi, pada awalnya di jaringan perivaskular dan
peribronchial. Hal ini bisa dilihat pada foto thorak dengan peningkatan corakan
bronchovaskular, bronchial cuffing dan curlys line. Jika jaringan tersebut sudah
terisi, maka alveoli akan mulai terisi, mula-mula dengan corakan yang tidak teratur,
pada akhirnya seluruh alveoli akan terisi cairan. Endotel kapiler paru lebih permeable
terhadap cairan dari pada endotel alveolar. Hal ini merupakan mekanisme proteksi
alveolar terhadap edema di ruangan alveoli. Jika cairan mengisi ruangan alveoli maka
akan terjadi gangguan pertukaran gas yang serius.
PENANGANAN ANESTESI EDEMA PARU
Prinsip managemen anestesi pre intra dan post operative adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
Hindari hipoksia.
4.
Hindari hipotensi.
5.
6.
7.
Regional Anesthesia
Anesthesia regional walaupun ada beberapa laporan dapat digunakan pada
pasien dengan hipertensi pulmonal, tapi menimbulkan blokade simpatis. Hal ini akan
mengurangi preload yang menyebabkan penurunan aliran darah ke paru. Onset
hipotensi dan hipoksemia dapat berakibat fatal karena intervensi farmakologi tidak
dapat dipercaya untuk mengatasi. Pada pasien dengan edema paru ventilasi spontan
membutuhkan posisi setengah duduk yang akan menimbulkan kesulitan dengan
teknik pembedahan. Simpatektomi akan menimbulkan perpindahan cairan, loading
cairan dan resiko gejolak hemodinamik perioperative. Sebaliknya ventilasi,
oksigenasi serta hemodinamik baik, sistemik maupun paru dapat dikendalikan dengan
baik oleh anestesia umum (Cuenco, J, Tzeng, G, et all).
Anestesia Umum
Banyak agen induksi anestesi yang mendepressi kardiovaskuler, pada pasien
dengan curah jantung terbatas maka obat-obat induksi bisa menimbulkan gejolak
hemodinamik yang berakibat fatal. Tentunya harus dipilih dari sekian banyak obat
induksi yang paling menimbulkan gejolak hemodinamik, menjaga curah jantung agar
tetap optimal sehingga perfusi dapat dipertahankan.
BARBITURAT
Efek hemodinamik dari methohexital, thiamylal dan thiopental yang digunakan
induksi secara intra vena dengan dosis ekwivalen hampir sama. Pada subyek yang
normovolemia, pentotal 5 mg/kg intra vena menyebabkan penurunan 10-20 mmHg
tekanan darah. Hal ini bias dikompensasi dengan peningkatan nadi 15-20 kali/menit.
Dengan dosis ini thiopental hanya menyebabkan depressi miokard yang minimal. Jika
pentotal dengan dosis ini menimbulkan depressi kontraktilitas miokard tapi jauh lebih
3
kurang dibandingkan dengan gas anestesi. Disritmia jantung sesudah induksi dengan
barbiturat jarang terjadi dengan ventilasi dan oksigenasi yang adekwat (Stoelting,
RK; Collins,V.J).
Tekanan darah sistemik akan menurun ringan dan sementara sesudah induksi
anesthesia dengan barbiturat. Secara prinsip hal ini akibat vasodilatasi perifer,
depressi pusat vasomotor di medulla dan penurunan tonus simpatis dari CNS. Sebagai
akibat dilatasi pembuluh darah menimbulkan polling darah diperifer, penurunan
venous return dan berpotensi terjadi penurunan curah jantung serta tekanan darah.
Pelepasan histamin dapat terjadi akibat pemakaian barbiturat intra vena secara cepat.
Pada model percobaan invitro hal terjadi pada thiopental dan thiamylal, tapi hal ini
tidak terjadi pada methohexital dimana obat ini tidak menyebabkan pelepasan
histamin. Secara konsep pemakaian thiopental intravena secara perlahan lebih
memungkinkan reflek kompensasi untuk beradaptasi, sehingga tekanan darah
sistemik akan menurun lebih ringan dibandingkan dengan penyuntikan intra vena
secara cepat (Stoelting, R.K;Collins,V.J)
MIDAZOLAM
Midazolam 0,2 mg/kg intra vena untuk induksi anesthesia menimbulkan
penurunan tekanan darah sistemik dan peningkatan denyut jantung yang lebih besar
dibanding diazepam 0,5 mg/kg intra vena. Sebaliknya perubahan hemodinamik
dengan midazolam ini sebanding dengan thiopental 3-4 mg/kg intra vena. Curah
jantung tidak terganggu, perubahan tekanan darah akibat penurunan resistensi
vaskular sistemik. Berdasarkan hal ini benzodiazepine dapat digunakan untuk
memperbaiki curah jantung pada gagal jantung kongestif (Stoelting, R.K; Collins,V.J)
PROPOFOL
Propofol menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik lebih besar dari pada
thiopental. Penurunan tekanan darah ini sering disertai dengan perubahan curah
jantung serta resistensi vaskular sistemik. Selain penurunan tekanan darah, frekwensi
jantung tidak berubah, hal ini berlawanan dengan pentotal yang menyebabkan
peningkatan nadi sedang (Collins,V.J; Stoelting, R.K)
Bradikardia dan asistole dapat terjadi sesudah induksi anestesi dengan propofol.
Hal ini menyebabkan timbulnya rekomendasi untuk menggunakan anti kolinergik
sebagai pencegahan. Propofol dapat menurunkan aktifitas system saraf simpatis
sehingga aktifitas parasimpatis menjadi predominan (Stoelting, R.K; Collins,V.J)
ETOMIDATE
Stabilitas kardiovaskuler merupakan karakteristik induksi dengan etomidate
dosis 0,3 mg/kg. Sesudah dosis ini perubahan hemodinarnik minimal, baik frekuensi
jantung, curah jantung atau stroke volume, dimana MAP tekanan baji paru dan
tekanan vena sentral dapat menurun sampai 10% karena penurunan resistensi
pembuluh darah perifer. Induksi etomidate dengan dosis 0,45 mg/kg intra vena,
penurunan tekanan darah dan curah jantung terjadi secara signifikan (Stoelting, R.K;
Collins, V.J; Schechter,W.S, Kim, C, et all).
Efek
etomidate
pada
kontraktilitas
miokardium
menjadi
salah
satu
OPIOID
Penggunaan morphin walaupun dengan dosis besar(lmg/kg IV) tidak
menimbulkan depresi miokard secara langsung atau hipotensi. Morphine menurunkan
tonus simpatis vena perifer, sehingga terjadi pooling vena kemudian terjadi
penurunan venous return, curah jantung dan tekanan darah. Morphin bisa
menurunkan tekanan darah sistemik akibat bradikardia atau pelepasan histamin.
Bradikardia yang disebabkan morphin akibat peningkatan aktivitas nervus vagus. Hal
ini akibat stimulasi necleus vagus dimedulla (Stoelting, R.K; Collins,V.J).
Premedikasi dengan antagonis reseptor H1 dan H2 tidak menghambat pelepasan
histamin oleh morphin tapi mencegah perubahan pada tekanan darah dan resistensi
vaskuler sistemik. Morphine tidak mensensitisasi jantung terhadap katekolamin atau
mempermudah disritmia jantung, selama hiperkarbia dan hipoksemia tidak terjadi
sebagai akibat dari efek depresi pernafasan opioid (Stoeltinb, R.K; Collins, V.J)
Kombinasi opioid dengan N20 akan menimbulkan depressi kardiovaskular
(penurunan curah jantung dan tekanan darah sistemik dengan peningkatan tekanan
pengisian jantung), dimana hal tersebut tidak terjadi jika obat digunakan sendirisendiri. Hal yang sama juga terjadi pada penggunaan opioid dengan enzodiazepine.
Kombinasi opioid walaupun dengan dosis kecil dengan benzodiazepine akan
menimbulkan simpatolitik yang berat, penurunan resistensi vascular sistemik dan
peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan pengisian ventrikel menurun, curah
jantung menurun dan terjadi hipotensi (Stoelting, R.K; Collins,V.J; Schechter, W.S,
Kim, C, et all)
Sebagai perbandingan dengan morphin, fentanyl walaupun dengan dosis
besar(50 gr/kg/iv) tidak menimbulkan pelepasan histamin. Akibatnya dilatasi vena
yang menyebabkan hipotensi jarang ditemukan, Bradikardia lebih menonjol pada
fentanyl dari, pada morphine serta dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan
curah jantung. Reaksi allergi jarang ditemukan pada pemakaian fentanyl. Fentanyl
dosis besar (50-150 gr/kg/iv)dapat digunakan sebagai anesthesia tunggal. Fentanyl
dosis besar ini mempunyai keuntungan berupa stabilitas hemodinamik, yang secara
garis besar disebabkan oleh :
6
ASMA
William R.Fuman,M.D
Asma didefinisikan sebagai obstruksi saluran nafas bawah yang rekuren,
episodik dan reversible. Diantara episode-episode itu, fungsi paru pasien normal (atau
agak normal).
sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas respiratorik dengan banyak sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan
inflamasi ini menyebabkan episode wheezing berulang, sesak napas, rasa dada
tertekan, dan batuk, khususnya malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun bervariasi,
yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
exercional dyspnea.
PENANGANAN ANESTESI PREOPERATIF
Evaluasi Preoperatif
Evalusi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan sangat penting untuk
mencegah ataupun mengendalikan kejadian asma attack, baik intraoperatif maupun
postoperatif. Maka diperlukan evaluasi yang meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru-paru, dan analisa gas darah, foto rontgen
thorax.
1. Riwayat Penyakit
Meliputi lama penyakitnya, frekwensi serangan, lama serangan atau berat
serangan, faktor-faktor yang memperngaruhi serangan, riwayat penggunaan
obatobatan dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat alergi (makanan,
obat, minuman), Riwayat serangan terakhir, beratnya, dan pengobatannya. Bila barubaru ini mendapat infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan maka operasi
elektif sebaiknya ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas jalan napas.
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas yang
terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis, ekspirasi
memanjang, Palpasi takicardi. Perkusi hipersonor, auscultasi whezing, ronchi.4
Tanda-tanda serangan asma berat meliputi penggunaan otot-otot pernapasan
tambahan, tidak mampu berhenti napas pada saat bicara, sianosis, sedikit atau tidak
ada whezing (jalan napas tertutup, sedikit gerakan udara, dan whezing menurun).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil ini
selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid dan dapat juga untuk
10
yang
berisi
-adenergik
agonis,
dosis
terapi
teopilin
dan
kortikosteroid.2 Pada pasien dengan serangan asma balans cairan dan elektrolit perlu
dipelihara, pada kondisi ini pasien sering mengalami dehidrasi.
PENANGANAN ANESTESI INTRAOPERATIF
Sesuai dengan bidang kecabangan anestesi, suatu pemahaman masalah
pathofisiologi yang mendasar adalah lebih penting pada pilihan tehnik anestesi
khusus atau obat. Pilihan tekhnik bisa regional anestesi saja, dengan pasien tetap
sadar, mampu mengontrol sistem napasnya sendiri, dan pada situasi lain diperlukan
11
kombinasi general anestesi dengan regional anestesi, karena pertimbangan atau untuk
mengendalian nyeri postoperatif.
A. Regional Anestesi
Spinal anestesi atau epidural adalah pilihan pada pembedah ektrimitas bawah.
Pada pasien asma pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot tambahan
(intercostal untuk inspirasi, otot perut untuk ekspirasi paksa). Spinal anestesi dapat
memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunkan FRC, mengurangi
kemampuan untuk batuk dan membersihkan lendir atau memicu gangguan respirasi
atau bahkan terjadi gagal napas. Spinal tinggi atau epidural anestesi dapat
memperburuk bronkokontriksi karena terhambatnya tonus simpatis pada jalan napas
bawah(T1-T4) dan menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak terhambat. Kombinasi
tehnik epidural dan anestesi umum dapat menjamin kontrol jalan napas, ventilasi
adekuat, dapat mencegah hypoxemia dan atelectasi. Pada prosedur pembedahan
perifer yang panjang sebaiknya dilakukan dengan general anestesi. Faktor-faktor
penting yang menghalangi keberhasilan penggunaan regional anestesi seperti pasien
tidak tahan berbaring lama dimeja operasi dalam waktu lama, batuk spontan dan tidak
terkendali dapat membahayakan yaitu pada tahap kritis pembedahan.
B. Anestesi Umum
Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama
instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama anestesi
dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering dihubungkan
dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium, mivacurium, morfin,
meperidin) harus dicegah atau diberikan dengan sangat lambat jika digunakan. Tujuan
dari anestesi umum adalah smooth induction dan kedalaman anestesi disesuaikan
dengan stimulasi. Pemilihan agen anestesi tidak sepenting dalam pencapaian anestesi
yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi pembedahan.
Penggunaan laryngeal mask airway LMA) menurunkan bronkospasme, tapi
tidak
menghilangkan
resiko
bronkospasme
sebagai
akibat
dari
tindakan
Evaluasi klinis dimulai dengan menilai fungsi jalan nafas diantara episodeepisode
regimen pengobatan dibutuhkan untuk mencapai hasil ini. Jika pasien tidak
bebas dari gejala-gejala, pikirkan kemungkinan bahwa pengobatan pada
pasien asma tidak adekuat atau adanya keterlibatan proses lain (misalnya
emfisema atau bronchitis kronik). Spirometer pre
Jika prosedur mendesak dan gawat, albuterol secara nebulation dengan atau
tanpa ipratropium merupakan pilihan terbaik untuk memperbaiki mekanisme
pernapasan dan pertukaran udara. Pengobatan dimulai dengan penggunaan
steroid intra vena sedini mungkin.
Bahan induksi yang paling disenangi untuk anstesi umum adalah propofol,
ketamin intramuskular atau intravenosa, atau inhalasi halotan atau sevofluran.
14
pada
anestesi
umum
serta
pengobatan
bronkospasme
Obat
antagonis
muskarinik
dapat
menyebabkan
bronkospasme.
15
Studi
diagnostik
masih
diperlukan.
Optimalkan
fungsi
pelepasan
histamin
dibandingkan
barbiturat.Meskipun
16
halothane lebih disenangi oleh beberapa ahli anestesi, semua bahan inhalasi
secara kasar sama dengan bronkodilator. Bronkodilator ketamin sangat
membantu.
aspirasi,
anafilaksis
aktivitas
obat
beta-bloker. Anafilaksis
Tebutaline 0,01 mg/kg subkutan; albuterol 0,1 mg/kg inhalasi; terbutaline 0,1
mg/kg inhalasi atau metaproterenol 5 mcg/kg inhalasi telah digunakan dan
memberikan hasil yang memuaskan. Jika terjadi bronkospasme, dapat
diberikan aminofilin 5-6 mg/kg IV, 20-30 menit, dan dimulai dengan infus
aminofilin 0,4-0,9 mg/kg/jam (lihat table 1). Perhatikan disritmia ventricular.
Jika pasien tidak respon terhadap pengobatan awal, dapat diberikan epinefrin
IV.
17
18
Sebelum operasi elektif, fungsi paru harus optimal. Merokok harus dihentikan
pada yang berat; untuk menurunkan level carboxyhemoglobin dibutuhkan 1218 jam. Pengobatan penuh pada infeksi saluran nafas akut dan dilanjutkan
dengan inhalasibronkodilator serta obat anticholinergik. Jaga atau tingkatkan
terapi steroid. Koreksi hipokalemi, tunjang gizi dan manuver ventilasi untuk
meningkatkan cadangan nafas. Sediakan cadangan oksigen (O2) untuk
memperbaiki hipertensi pulmonal. Pengobatan right ventricular failure dengan
19
digoksin,
diuretik
dan
vasodilator.
Waktu
yang
inadekuat
untuk
Jenis pembedahan dan status fisik menentukan teknik anestesi dan tingkat
monitoring. Blok spinal dan epidural lebih tinggi dari T6 menurunkan volume
cadangan ekspirasi dan refleks batuk serta menghilangkan sekresi.
Penggunaan sedative dibatasi karena efeknya terhadap depresi pernafasan.
Bronkospasme saat dilakukan anestesi umum pada pasien dapat disebabkan
oleh intubasi endotrakheal, rangsang nyeri dan pelepasan histamin karena
obat. Nitrogen oksida dihindari jika terdapat bulla atau hipertensi pulmonal.
Jaga pH normal arteri, tetapi tidak PaCO2 , pada pasien dengan retensi CO2
preoperative untuk menjaga kompensasi metabolik. Gradien antara CO2 tidal
dan CO2 arteri bisa meningkat. CVP menggambarkan fungsi ventrikel kanan
lebih baik daripada volume intravaskuler jika terdapat hipertensi pulmonal.
20
CIGARETTE SMOKING
James Gilbert, M.D.
Kathryn R. Hamilton, M.D.
Diketahui, riwayat merokok meningkatkan insiden komplikasi pernapasan
postoperative. Efek merokok adalah rusaknya mukosiliar, hipersekresi mucous, dan
obstruksi jalan nafas. Hal ini meningkatkan sensitivitas bronchiolar sehingga terjadi
bronkokonstriksi dan peningkatan resistensi jalan nafas dan pengurangan dinamik.
Efek akut dari mengisap asam rokok adalah peningkatan level karbonmonoksida dan
disosiasi kurva oxyhemoglobin pada leftward shift. Carboxyhemoglobin (CoHb)
dapat meningkat sampai 8-10% pada perokok berat, yang berarti mengurangi
kapasitas oksigen pembawa. Nikotin adalah agonis adrenergik yang meningkatkan
heart rate, BP dan resistensi vaskuler perifer.
mengganggu
jalannya
operasi
(misalnya
operasi
mata
dan
Studi fungsi paru yang sederhana menyatakan adanya penurunan FEV1 dan
peningkatan closing volume. Studi fungsi paru dilakukan dengan atau tanpa
bronkodilator untuk mengevaluasi efek obat selama persiapan preoperative
pada pasien. Diperlukan adanya ABGs, foto thorax dan EKG. Apabila
beberapa tes hasilnya abnormal, jika lama operasi diperkirakan lebih dari 3
jam atau jika lokasi operasi pada daerah upper abdominal atau thorax,
pertimbangkan penundaan tindakan elektif untuk persiapan akan adanya efek
pada paru yang luas.
Siapkan analgetik postoperative dengan cara blok saraf atau analgetik epidural
jika memungkinkan. Jika hal ini tidak mungkin atau kecil kemungkinannya
untuk dilakukan, dosis analgetik IV secara titrasi yang berulangkali akan
memberikan efek yang diinginkan; Hindari kombinasi beberapa obat sedatif
kerja lama atau fenotiazin. Juga baik memilih analgetik yang kurang
mengandung antitusive (misalnya obat nonsteroid antiinflamasi). Terapi
preoperative pulmonal dilanjutkan sampai periode postoperative. Pertahankan
hidrasi dan terapi O2 yang adekuat. Spirometer atau terapi fisik pada thorax
(jika terjadi atelektasis atau infiltrat pada daerah tertentu), terapi bronkodilator
dan mobilisasi dini untuk mengurangi komplikasi postoperative pulmonal.
22
asma
telah dinyatakan
paling
sering
dapat
dilakukan,
alihkan
pada
anestesi
umum
dengan
Jika diduga infeksi bakteri, pasien harus diberikan antibiotik dan pembedahan
harus ditunda paling kurang 4 minggu. Pasien dengan nasofaringitis berat,
wheezing, demam lebih dari 38oC, batuk yang produktif atau flu atau gejala
batuk yang disertai sesak nafas harus dijadwal ulang. Pasien tanpa infeksi,
alergi, rhinitis vasomotor kronis atau penyakit-enyakit tingkatan sedang, tidak
berkomplikasi, gejala cold akut dimana tidak terdapat sekresi dapat
dilakukan
pembedahan.
Jika
pasien
pasien
ini
akan
dioperasi,
Jika tekhnik regional cocok, operasi dapat dilakukan. Jika dilakukan anestesi
umum, gunakan mask jika memungkinkan. Jika biasa menggunakan
Laryngeal Mask Airway (LMA), pertimbangkan penggunaannya untuk
tindakan yang normalnya memerlukan intubasi tracheal. Antisialogoque dapat
digunakan pada anak-anak untuk mengurangi stimulasi vagal pada
manupulasi jalan nafas. Gunakan pulse oxymetri pada semua pasien.
masa
pemulihan.
Diperlukan
penggunaan
oksigen
dengan
menggunakan facemask.
inhalasi droplet nuclei; aerosol partikel kering, sisa-sisa yang ada diudara.
Konsultasikan dengan spesialis penyakit infeksi untuk membantu diagnosa,
pengobatan dan waktu operasi. Pegawai Rumah Sakit Departemen Kesehatan,
National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH), dan Center for
Disease Control and Prevention (CDC) bermanfaat sebagai sumber informasi.
tidak diobati. Jika BTA negatif, TB aktif tidak dapat disingkirkan (pasien
dengan resiko tinggi atau pasien yang memberikan gejala) dan dilakukan
pengobatan serta penundaan tindakan pembedahan. PPD yang positif (tes
penyaringan yang baik tetapi tidak pasti) dapat dicurigai adanya TB, tetapi
PPD negatif (walaupun dengan kontrol) tidak dapat menyingkirkan adanya
TB; Foto thorax dan analisa sputum lebih dipercaya. Pada pasien dengan HIV
positif cenderung mendapatkan penyakit paru aktif dan melibatkan
ekstrapulmonal. Pada pasien-pasien tersebut, tes PPD positif dengan ukuran 5
mm. Pada pasien dengan HIV positif yang berat, foto thorax bisa negatif
untuk beberapa hari saat pasien terinfeksi dengan TB. Sebagai tambahan, BTA
positif dihasilkan oleh beberapa mycobacteria; namun tetap diobati sebagai
TB sampai hasil kultur didapatkan.
Pasien dengan HIV positif dan diduga TB adalah penduduk atau imigran dari
daerah dengan prevalensi tinggi, penyalahguna obat, kontak TB, tunawisma,
malnutrisi. Pikirkan diagnosa TB jika terjadi pneumonia pada pasien dengan
resiko tinggi atau pasien yang tidak respon terhadap antibiotik atau adanya
kontak pada kasus yang aktif.
pasien dengan gejala TB, tindak pengobatan dilanjutkan minimal satu minggu
sampai terjadi perubahan pada kondisi pasien. Kasus yang gawat memerlukan
keputusan klinik, pengobatan yang memungkinkan selama sebelum
pembedahan, dan tindak pencegahan di ruangan operasi.
TB diobati dengan kombinasi obat selama 6 bulan sampai 1 tahun atau lebih.
Masalah yang besar adalah terjadinya resistensi, dan terapi obat harus
dilakukan secara hati-hati dan disesuaikan dengan sensitivitas. Respon
terhadap terapi ditandai dengan berkurangnya bakteri, sputum dengan BTA
negatif dan perubahan secara klinik. Pasien diperkirakan masih infeksius
selama 2-3 minggu setelah pengobatan.
27
Riwayat pasien yang diduga mengalami RLD harus ditanyakan dimana akan
menyebabkan adanya penyakit paru instrinsik, penyakit neuromuskular dan
penyakit tulang termasuk kiphoskoliosis, infeksi paru dan congestive heart
failure. Gejalanya adalah penurunan toleransi kerja, dispnu saat bekerja, batuk
atau kesukaran bernafas dalam. Evaluasi dini pada pasien RLD adalah
observasi pola pernafasan. Pasien-pasien ini cenderung memiliki penurunan
tidak volum dan peningkatan respiratory rate karena pola bernafas yang
kurang baik serta perluasan system noncompliant. Pasien dengan deformitas
skeletal, weaknesss, rales dan ronkhi harus ditindaki secara hati-hati. Obesitas
adalah hal yang paling penting yang dapat menyebabkan RLD yang berat.
Besarnya gejala dan tingkat toleransi terhatap latihan dapat menjadi acuan
untuk evaluasi preoperative yang lebih lanjut.
28
Radiografi pada thorax berguna untuk evaluasi pada beberapa kasus RLD
yang dalam pengobatan seperti edema paru, pneumonia dan pneumonia
interstisial. Fungsi paru dapat dievaluasi dengan spirometer untuk mendeteksi
penurunan volume paru dan adanya obstruksi serta restriktif fisiologis. Pada
beberapa kasus, dalam beberapa studi tentang fungsi paru, kurva volume
aliran udara diperlukan untuk menilai berat tidaknya RLD (lihat bagan). Total
lung capacity dan diffusing capacity juga diperlukan. Pada beberapa kasus,
nilai ABG preoperative berguna untuk prognosis postoperative apakah
dibutuhkan tambahan ventilator setelah operasi. Pada kasus yang berat echo
jantung atau kateterisasi jantung kanan preoperative berguna untuk
mengevaluasi hipertensi pulmonal atau kegagalan ventrikel. Komponen
reversible harus diobati sebelum tindakan pembedahan elektif.
Setelah operasi, pada pasien dapat diberikan pH normal dan oksigenasi yang
adekuat untuk mempertahankan kemampuan tubuh. Jika dilakukan intubasi
trachea, perhatikan meticulous uantuk mengontrol nyeri. Efeknya minimal
terhadap alat pernafasan (mekanisme kompensasi pada pasien) dan lebih
menguntungkan. Jika pasien tidak dapat mentoleransi ekstubasi, ventilasi,
volume yang optimal, serta pulmonary toilet dan nutrisi yang baik, lakukan
ventilasi non-infasif seperti tekanan udara positif bilevel.
30
DAFTAR PUSTAKA
Bigatello, L.M, Zapol, W.M, 1996, New Approach to Acute Lung lnjury, Br.J.
Anaesth 77-99 109.
Bongard, F.S, Sue, D.Y, 2002, Pulmonary Edema, Acute Respiratory distress
syndrome, in Current Critical Care Diagnosis & Treatment, Second Edition, Lange
Medical Book, page 168-172.
Bouquet J, Jeffery PK. Busse WW, Jhonson M, Vignola AM, Asthma. From
bronchocontriction to airwy remondelling. Am J Respir Crit Care Med, 2000 ;
161:1720-45.
Co11ins,V.J, 1996, Barbiturates, Benzodiazepines, Opiate and Narcotic Drug, in
Physiologic and Pharmacologic Bases Of Anesthesia, Williams & Wilkins A Waverly
Company, page 513-526,527-543,544-581.
Cuenco, J, Tzeng, G, Wittels, B, 1999, Anesthetic Management of The Parturient with
Systemic Lupus Erythematosus, Pulmonary Hypertension and Pulmonary Edema,
Anesthesiology 91:568-70.
Decision Making in Anesthesiologi, An Algorithmic Approach. Third edition; By
Louis L. Bready Rhonda M. Mullins, Swan Helene Npprity, R. Brain Smith; Mosby
Inc. 2000, page 86 105.
Indro Mulyono, 2000 : Pengelolaan Perioperatif pada penderita gangguan Pernapasan
dalam PIB X IDSAI diBandung, hal : 111-133
Lenfant C, Khaltaev N. GINA. NHLBI/WHO Workshop Report 2002.
31
32