Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

OBAT OBAT ANASTESI

OLEH
Angga Ario Mutari
H1A009003
STASE ANESTESI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2014

Obat Anastesi Inhalasi


1. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, lebih berat dari udara,
serta tidak mudah terbakar dan meledak (kecuali jika dikombinasikan dengan zat anestetik
yang mudah terbakar seperti eter). Gas ini dapat disimpan dalam bentuk cair dalam tekanan
tertentu, serta relatif lebih murah dibanding agen anestetik inhalasi lain.
Efek terhadap Sistem Organ
Efek

terhadap

kardiovaskular

dapat

dijelaskan

melalui

tendensinya

dalam

menstimulasi sistem simpatis. Meski secara in vitro gas ini mendepresikan kontraktilitas otot
jantung, namun secara in vivo tekanan darah arteri, curah jantung, serta frekuensi nadi tidak
mengalami perubahan atau hanya terjadi sedikit peningkatan karena adanya stimulasi
katekolamin, sehingga peredaran darah tidak terganggu (kecuali pada pasien dengan
penyakit jantung koroner atau hipovolemik berat).
Efek terhadap respirasi dari gas ini adalah peningkatan laju napas (takipnea) dan
penurunan volume tidal akibat stimulasi Sistem Saraf Pusat (SSP). N 2O dapat menyebabkan
berkurangnya respons pernapasan terhadap CO2 meski hanya diberikan dalam jumlah kecil,
sehingga dapat berdampak serius di ruang pemulihan (pasien jadi lebih lama dalam keadaan
tidak sadar).
Efek terhadap SSP adalah peningkatan aliran darah serebral yang berakibat pada
sedikit peningkatan tekanan intrakranial (TIK). N2O juga meningkatkan konsumsi oksigen
serebral. Efek terhadap neuromuskular tidak seperti agen anestetik inhalasi lain, di mana
N2O tidak menghasilkan efek relaksasi otot, malah dalam konsentrasi tinggi pada ruangan
hiperbarik, N2O menyebabkan rigiditas otot skeletal.
Efek terhadap ginjal adalah penurunan aliran darah renal (dengan meningkatkan
resistensi vaskular renal) yang berujung pada penurunan laju filtrasi glomerulus dan jumlah
urin. Efek terhadap hepar adalah penurunan aliran darah hepatik (namun dalam jumlah yang
lebih ringan dibandingkan dengan agen inhalasi lain). Efek terhadap gastrointestinal adalah
adalanya mual muntah pascaoperasi, yang diduga akibat aktivasi dari chemoreceptor trigger
zone dan pusat muntah di medula. Efek ini dapat muncul pada anestesi yang lama.
Biotransformasi dan Toksisitas

N2O sukar larut dalam darah, dan merupakan anestetik yang kurang kuat sehingga kini
hanya dipakai sebagai adjuvan atau pembawa anestetik inhalasi lain karena kesukar
larutannya ini berguna dalam meningkatkan tekanan parsial sehingga induksi dapat lebih
cepat (setelah induksi dicapai, tekanan parsial diturunkan untuk mempertahankan anestesia).
Dengan perbandingan N2O:O2 = 85:15, induksi cepat dicapai tapi tidak boleh terlalu lama
karena bisa mengakibatkan hipoksia (bisa dicegah dengan pemberian O2 100% setelah N2O
dihentikan). Efek relaksasi otot yang dihasilkan kurang baik sehingga dibutuhkan obat
pelumpuh otot. N2O dieksresikan dalam bentuk utuh melalui paru-paru dan sebagian kecil
melalui kulit.
Dengan secara ireversibel mengoksidasi atom kobalt pada vitamin B12, N2O
menginhibisi enzim yang tergantung pada vitamin B 12, seperti metionin sintetase yang
penting untuk pembentukan myelin, serta thimidilar sintetase yang penting untuk sintesis
DNA. Pemberian yang lama dari gas ini akan menghasilkan depresi sumsum tulang (anemia
megaloblastik) bahkan defisiensi neurologis (neuropati perifer). Oleh karena efek
teratogeniknya, N2O tidak diberikan untuk pasien yang sedang hamil (terbukti pada hewan
coba, belum diketahui efeknya pada manusia).
Interaksi Obat
Kombinasinya dengan agen anestetik inhalasi lain dapat menurunkan MAC agen
inhalasi tersebut sampai 50%, contohnya halotan dari 0,75% menjadi 0,29% atau enfluran
dari 1,68% menjadi 0,6%.
2. Halotan
Merupakan alkana terhalogenisasi dengan ikatan karbon-florida sehingga bersifat tidak
mudah terbakar atau meledak (meski dicampur oksigen). Halotan berbentuk cairan tidak
berwarna dan berbau enak. Botol berwarna amber dan pengawet timol berguna untuk
menghambat dekomposisi oksidatif spontan. Halotan merupakan anestetik kuat dengan efek
analgesia lemah, di mana induksi dan tahapan anestesia dilalui dengan mulus, bahkan pasien
akan segera bangun setelah anestetik dihentikan. Gas ini merupakan agen anestestik inhalasi
paling murah, dan karena keamanannya hingga kini tetap digunakan di dunia.
Efek terhadap Sistem Organ
2 MAC dari halotan menghasilkan 50% penurunan tekanan darah dan curah jantung.
Halotan dapat secara langsung menghambat otot jantung dan otot polos pembuluh darah

serta menurunkan aktivitas saraf simpatis. Penurunan tekanan darah terjadi akibat depresi
langsung pada miokard dan penghambatan refleks baroreseptor terhadap hipotensi, meski
respons simpatoadrenal tidak dihambat oleh halotan (sehingga peningkatan PCO 2 atau
rangsangan pembedahan tetap memicu respons simpatis). Makin dalam anestesia, makin
jelas turunnya kontraksi miokard, curah jantung, tekanan darah, dan resistensi perifer. Efek
bradikardi disebabkan aktivitas vagal yang meningkat. Automatisitas miokard akibat halotan
diperkuat oleh pemberian agonis adrenergik (epinefrin) yang menyebabkan aritmia jantung.
Efek vasodilatasi yang dihasilkan pada pembuluh darah otot rangka dan otak dapat
meningkatkan aliran darah.
Efek terhadap respirasi adalah pernapasan cepat dan dangkal. Peningkatan laju napas
ini tidak cukup untuk mengimbangi penurunan volume tidal, sehingga ventilasi alveolar
turun dan PaCO2. Depresi napas ini diduga akibat depresi medula (sentral) dan disfungsi otot
interkostal (perifer). Halotan diduga juga sebagai bronkodilator poten, di mana dapat
mencegah bronkospasme pada asma, menghambat salivasi dan fungsi mukosiliar, dengan
relaksasi otot maseter yang cukup baik (sehingga intubasi mudah dilakukan), namun dapat
mengakibatkan hipoksia pascaoperasi dan atelektasis. Efek bronkodilatasi ini bahkan tidak
dihambat oleh propanolol.
Dengan mendilatasi pembuluh darah serebral, halotan menurunkan resistensi vaskular
serebral dan meningkatkan aliran darah otak, sehingga ICP meningkat, namun aktivitas
serebrum berkurang (gambaran EEG melambat dan kebutuhan O 2 yang berkurang). Efek
terhadap neuromuskular adalah relaksasi otot skeletal dan meningkatkan kemampuan agen
pelumpuh otot nondepolarisasi, serta memicu hipertermia malignan.
Efek terhadap ginjal adalah menurunkan aliran darah renal, laju filtrasi glomerulus,
dan jumlah urin, semua ini diakibatkan oleh penurunan tekanan darah arteri dan curah
jantung. Efek terhadap hati adalah penurunan aliran darah hepatik, bahkan dapat
menyebabkan vasospasme arteri hepatik. Selain itu, metabolisme dan klirens dari beberapa
obat (fentanil, fenitoin, verapamil) jadi terganggu.
Biotransformasi dan Toksisitas
Eksresi halotan utamanya melalui paru, hanya 20% yang dimetabolisme dalam tubuh
untuk dibuang melalui urin dalam bentuk asam trifluoroasetat, trifluoroetanol, dan bromida.
Halotan dioksidasi di hati oleh isozim sitokrom P-450 menjadi metabolit utamanya, asam

trifluoroasetat. Metabolisme ini dapat dihambat dengan pemberian disulfiram. Bromida,


metabolit oksidatif lain, diduga menjadi penyebab perubahan status mental pascaanestesi.
Disfungsi hepatik pascaoperasi dapat disebabkan oleh: hepatitis viral, perfusi hepatik yang
terganggu, penyakit hati yang mendasari, hipoksia hepatosit, dan sebagainya. Penggunaan
berulang dari halotan dapat menyebabkan nekrosis hati sentrolobular dengan gejala
anoreksia, mual muntah, kadang kemerahan pada kulit disertai eosinofilia.
Kontraindikasi dan Interaksi Obat
Halotan dikontraindikasikan pada pasien dengan disfungsi hati, atau pernah mendapat
halotan sebelumnya. Halotan sebaiknya digunakan secara hati-hati pada pasien dengan
massa intrakranial (kemungkinan adanya peningkatan TIK). Efek depresi miokard oleh
halotan dapat dieksaserbasi oleh agen penghambat adrenergik (seperti propanolol) dan agen
penghambat kanal ion kalsium (seperti verapamil). Penggunaannya bersama dengan
antidepresan dan inhibitor monoamin oksidase (MAO-I) dihubungkan dengan fluktuasi
tekanan darah dan aritmia. Kombinasi halotan dan aminofilin berakibat aritmia ventrikel.
3. Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Memiliki struktur kimia yang
mirip dengan enfluran, isofluran berbeda secara farmakologis dengan enfluran. Isofluran
berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi menyebabkan pasien menahan
napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana
umumnya digunakan barbiturat intravena untuk mempercepat induksi. Tanda untuk
mengamati kedalaman anestesia adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi
napas, serta peningkatan frekuensi denyut jantung.
Efek terhadap Sistem Organ
Secara in vivo, isofluran menyebabkan depresi kardiak minimal, curah jantung dijaga
dengan peningkatan frekuensi nadi. Stimulasi adrenergik meningkatkan aliran darah otot,
menurunkan resistensi vaskular sistemik,dan menurunkan tekanan darah arteri (karena
vasodilatasi). Dilatasi juga terjadi pada pembuluh darah koroner sehingga dipandang lebih
aman untuk pasien dengan penyakit jantung (dibanding halotan atau enfluran), namun
ternyata dapat menyebabkan iskemia miokard akibat coronary steal (pemindahan aliran
darah dari area dengan perfusi buruk ke area yang perfusinya baik).

Efek terhadap respirasi serupa dengan semua agen anestetik inhalasi lain, yakni
depresi napas dan menekan respons ventilasi terhadap hipoksia, selain itu juga berperan
sebagai bronkodilator. Isofluran juga memicu refleks saluran napas yang menyebabkan
hipersekresi, batuk, dan spasme laring yang lebih kuat dibanding enfluran. Isofluran juga
mengganggu fungsi mukosilia sehingga dengan anestesi lama dapat menyebabkan
penumpukan mukus di saluran napas.
Efek terhadap SSP adalah saat konsentrasi lebih besar dari 1 MAC, isofluran dapat
meningkatkan TIK, namun menurunkan kebutuhan oksigen. Efek terhadap neuromuskular
adalah merelaksasi otot skeletal serta meningkatkan efek pelumpuh otot depolarisasi
maupun nondepolarisasi lebih baik dibandingkan enfluran. Efek terhadap ginjal adalah
menurunkan aliran darah renal, laju filtrasi glomerulus, dan jumlah urin. Efek terhadap hati
adalah menurunkan aliran darah hepatik total (arteri hepatik dan vena porta), fungsi hati
tidak terganggu.
Biotransformasi dan Toksisitas
Isofluran dimetabolisme menjadi asam trifluoroasetat, dan meski kadar fluorida serum
meningkat, kadarnya masih di bawah batas yang merusak sel. Belum pernah dilaporkan
adanya gangguan fungsi ginjal dan hati sesudah penggunaan isofluran. Penggunaannya tidak
dianjurkan untuk wanita hamil karena dapat merelaksasi otot polos uterus (perdarahan
persalinan). Penurunan kewaspadaan mental terjadi 2-3 jam sesudah anestesia, tapi tidak
terjadi mual muntah pascaoperasi.
4. Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat absorben
dan tidak korosif untuk logam. Karena sukar menguap, dibutuhkan vaporiser khusus untuk
desfluran. Dengan struktur yang mirip isofluran, hanya saja atom klorin pada isofluran
diganti oleh fluorin pada desfluran, sehingga kelarutan desfluran lebih rendah (mendekati
N2O) dengan potensi yang juga lebih rendah sehingga memberikan induksi dan pemulihan
yang lebih cepat dibandingkan isofluran (5-10 menit setelah obat dihentikan, pasien sudah
respons terhadap rangsang verbal). Desfluran lebih digunakan untuk prosedur bedah singkat
atau bedah rawat jalan. Desfluran bersifat iritatif sehingga menimbulkan batuk, spasme
laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk induksi. Desfluran bersifat kali lebih
poten dibanding agen anestetik inhalasi lain, tapi 17 kali lebih poten dibanding N2O.

Efek terhadap Sistem Organ


Efek terhadap kardiovaskular desfluran mirip dengan isofluran, hanya saja tidak
seperti isofluran, desfluran tidak meningkatkan aliran darah arteri koroner. Efek terhadap
respirasi adalah penurunan volume tidak dan peningkatan laju napas. Secara keseluruhan
terdapat penurunan ventilasi alveolar sehingga terjadi peningkatan PaCO 2. Efek terhadap
SSP adalah vasodilatasi pembuluh darah serebral, sehingga terjadi peningkatan TIK, serta
penurunan konsumsi oksigen oleh otak. Tidak ada laporan nefrotoksik akibat desfluran,
begitu juga dengan fungsi hati.
Kontraindikasi dan Interaksi Obat
Desfluran memiliki kontraindikasi berupa hipovolemik berat, hipertermia malignan,
dan hipertensi intrakranial. Desfluran juga dapat meningkatkan kerja obat pelumpuh otot
nondepolarisasi sama halnya seperti isofluran.
5. Sevofluran
Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin. Peningkatan
kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk induksi inhalasi
yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa. Induksi inhalasi 4-8% sevofluran
dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat dicapai dalam 1-3 menit.
Efek terhadap Sistem Organ
Sevofluran dapat menurunkan kontraktilitas miokard, namun bersifat ringan.
Resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arterial secara ringan juga mengalami
penurunan, namun lebih sedikit dibandingkan isofluran atau desfluran. Belum ada laporan
mengenai coronary steal oleh karena sevofluran. Agen inhalasi ini dapat mengakibatkan
depresi napas, serta bersifat bronkodilator. Efek terhadap SSP adalah peningkatan TIK,
meski beberapa riset menunjukkan adanya penurunan aliran darah serebral. Kebutuhan otak
akan oksigen juga mengalami penurunan. Efeknya terhadap neuromuskular adalah relaksasi
otot yang adekuat sehingga membantu dilakukannya intubasi pada anak setelah induksi
inhalasi. Terhadap ginjal, sevofluran menurunkan aliran darah renal dalam jumlah sedikit,
sedangkan terhadap hati, sevofluran menurunkan aliran vena porta tapi meningkatkan aliran
arteri hepatik, sehingga menjaga aliran darah dan oksigen untuk hati.
Biotransformasi dan Toksisitas

Enzim P-450 memetabolisme sevofluran. Soda lime dapat mendegradasi sevofluran


menjadi produk akhir yang nefrotoksik. Meski kebanyakan riset tidak menghubungkan
sevofluran dengan gangguan fungsi ginjal pascaoperasi, beberapa ahli tidak menyarankan
pemberian sevofluran pada pasien dengan disfungsi ginjal. Sevofluran juga dapat
didegradasi menjadi hidrogen fluorida oleh logam pada peralatan pabrik, proses
pemaketannya dalam botol kaca, dan faktor lingkungan, di mana hidrogen fluorida ini dapat
menyebabkan luka bakar akibat asam jika terkontak dengan mukosa respiratori. Untuk
meminimalisasi hal ini, ditambahkan air dalam proses pengolahan sevofluran dan
pemaketannya menggunakan kontainer plastik khusus.
Kontraindikasi dan Interaksi Obat
Sevofluran dikontraindikasikan pada hipovolemik berat, hipertermia maligna, dan
hipertensi intrakranial. Sevofluran juga sama seperti agen anestetik inhalasi lainnya, dapat
meningkatkan kerja pelumpuh otot.
PERBEDAAN ANESTETIK INHALASI
Perbandingan anestetik inhalasi baik secara fisik-kimia maupun secara farmakologi klinik
dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2.
Tabel 1. Fisik dan kimia anestetik inhalasi

Anestetik inhalasi
Berat molekul

N2O
44

Halotane
197

Enflurane
184

Isoflurane
184

Desflurane
168

Sevoflurane
200

-68

5050.2

56.6

48.5

22.8 23.5

58.5

Tekanan uap(mmHg 200C)

5200

243-244

172-174.5

238-240

669-673

160-170

Bau

Manis

Organik

Eter

Eter

Eter

Eter

Turunan eter

Bukan

Bukan

Ya

Ya

Ya

Ya

Perlu

0.47

2.4

1.9

1.4

0.42

0.65

Stabil

Tidak

Stabil

Stabil

Stabil

Tidak

104-105

0.75

1.63-1.70

1.15-1.20

6.0-6.6

1.80-2.0

Titik didih

Pengawet
Koef partisi darah/gas
Dengan kapur soda 400C
MAC (KAM) 370C Usia
30-55 tahun tekanan 760
mmHg

Hipnotik dan Sedatif


A. Pengertian
Hipnotik dan sedatif merupakan golongan obat pendepresi susunan saraf pusat (SSP).
Efeknya bergantung dosis, mulai dari ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk,
menidurkan, hingga berat yaitu kehilangan kesadaran, keadaan anestesi, koma dan mati. Obatobatan hipnotik sedative adalah istilah untuk obat-obatan yamg mampu mendepresi sistem saraf
pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas moderate yang memberikan efek
menenangkan, sementara hipnotik adalah substansi yang dapat memberikan efek mengantuk dan
yang dapat memberikan onset serta mempertahankan tidur.

Penggolongan suatu obat ke dalam jenis sedative-hipnotik menunjukkan bahwa


kegunaan terapeutik utamanya adalah menyebabkan sedasi (dengan disertai hilangnya rasa
cemas) atau menyebabkan kantuk. Sedative-hipnotik seringkali diresepkan untuk gangguan tidur
karena termasuk ke dalam obat-obatan penekan Sistem Saraf Pusat yang dapat menimbulkan
depresi (penurunan aktivitas fungsional) dalam berbagai tingkat dalam Sistem Saraf Pusat.
Sedatif adalah obat tidur yang dalam dosis lebih rendah dari terapi yang diberikan pada
siang hari untuk tujuan menenangkan. Sedatif termasuk ke dalam kelompok psikoleptika yang
mencakup obat0obat yang menekan atau menghambat sisem saraf pusat. Sedatif berfungsi
menurunkan aktivitas, mengurangi ketegangan, dan menenangkan penggunanya. Keadaan sedasi
juga merupakan efek samping dari banyak obat yang khasiat utamanya tidak menekan Sistem
Saraf Pusat, misalnya antikolinergika.
Sedatif-hipnotik berkhasiat menekan Sistem Saraf Pusat bila digunakan dalam dosis
yang meningkat, suatu sedatif, misalnya fenobarbital akan menimbulkan efek berturut-turut
peredaan, tidur, dan pembiusan total (anestesi), sedangkan pada dosis yang lebih besar lagi dapat
menyebabkan koma depresi pernafasan dan kematian. Bila diberikan berulang kali untuk jangka
waktu lama, senyawa ini lazimnya menimbulkan ketergantungan dan ketagihan.
Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapeutik diperuntukkan
untuk mempermudah atau menyebabkan tidur. Hipnotika menimbulkan rasa kantuk,
mempercepat tidur, dan sepanjang malam mempertahankan keadaan tidur yang menyerupai tidur
alamiah. Secara ideal obat tidur tidak memiliki aktivitas sisa pada keesokan harinya.
Efek hipnotik meliputi depresi sistem saraf pusat yang lebih kuat daripada sedasi, hal ini
dapat dicapai dengan semua obat sedative dengan peningkatan dosis. Depresi sistemsaraf pusat
yang bergantung pada tingkat dosis merupakan karakteristik dari sedative-hipnotik. Dengan
peningkatan dosis yang diperlukan untuk hipnotik dapat mengarah kepada keadaan anestesi
umum. Masih pada dosis yang tinggi, obat sedative-hipnotik dapat mendepresi pusat-pusat
pernafasan dan vasomotor di medulla, yang dapat mengakibatkan koma dan kematian.
Bentuk yang paling ringan dari penekanan sistem saraf pusat adalah sedasi, dimana
penekanan sistem saraf pusat tertentu dalam dosis yang lebih rendah dapat menghilangkan
respon fisik dan mental tetapi tidak mempengaruhi kesadaran. Sedatif terutama digunakan pada
siang hari, dengan meningkatkan dosis dapat menimbulkan efek hipnotik. Jika diberikan dalam
dosis yang sangat tinggi, obat-obat sedatif-hipnotik mungkin dapat mencapai anestesi, sebagai

contoh adalah barbiturat dengan masa kerja yang sangat singkat yang digunakan untuk
menimbulkan anestesi adalah natrium thiopental (Pentothal).
B. Penggolongan Obat
Secara klinis obat-obatan sedatif-hipnotik digunakan sebagai obat-obatan yang
berhubungan dengan sistem saraf pusat seperti tatalaksana nyeri akut dan kronik, tindakan
anesthesia, penatalaksanaan kejang serta insomnia. Obat-obatan sedatiif hipnotik diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok, yakni:
1.

Benzodiazepin: alprazopam, klordiazepoksid, klorazepat, diazepam, flurazepam,

2.
3.

lorazepam, midazolam
Barbiturat: amobarbital, pentobarbital, fenobarbital, sekobarbital, thiopental
Golongan obat nonbarbiturat-nonbenzodiazepin: meprobamat, ketamin, propofol,

1.

dekstrometorphan, buspiron, kloralhidrat.


Benzodiazepin
Benzodiazepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakologi sekaligus, yakni

anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui medulla spinalis, dan amnesia retrograde.
Benzodiazepin banyak digunakan dalam praktik klinik. Keunggulan benzodiazepin dari
barbiturat yaitu rendahnya tingkat toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin
dosis aman yang lebar, rendahnya toleransi obat dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati.
Benzodiazepine telah banyak digunakan sebagai pengganti barbiturate sebagai pramedikasi dan
menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitoring anestesi. Dalam masa perioperative,
midazolam telah menggantikan penggunaan diazepam. Selain itu, benzodiazepine memiliki
antagonis khusus, yaitu flumazenil.
Mekanisme Kerja
Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric acid
(GABA) sebagai neurotransmitter penghambat sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi
hiperpolarisasi post sinaptik membran sel dan mendorong post sinaptik membrane sel tidak dapat
dieksitasi. Hal ini menghasilkan efek anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde, potensiasi alcohol,
antikonvulsi dan relaksasi otot skeletal.
Efek sedative timbul dari aktivasi reseptor GABAA sub unit alpha-1 yang merupakan
60% dari reseptor GABA di otak (korteks serebral, korteks sereblum, thalamus). Sementara efek
ansiolitik timbul dari aktifasi GABA sub unit alpha 2 (Hipokampus dan amigdala).

Perbedaan onset dan durasi kerja diantara benzodiazepine menunjukkan perbedaan


potensi (afinitas terhadap reseptor), kelarutan lemak (kemampuan menembus sawar darah otak
dan redistribusi jaringan perifer) dan farmakokinetik (penyerapan, distribusi, metabolism dan
ekskresi). Hampir semua benzodiazepine larut dalam lemak dan terikat kuat dengan protein
plasma. Sehingga keadaan hipoalbumin pada cirrhosis hepatis dan chronic renal disease akan
meningkatkan efek obat ini.
Benzodiazepine menurunkan degradasi adenosine dengan menghambat transportasi
nukleosida. Adenosine penting dalam regulasi fungsi jantung (penurunan kebutuhan oksigen
jantung melalui penurunan detak jantung dan meningkatkan oksigenase melalui vasodilatasi
arteri koroner) dan semua fungsi fisiologi proteksi jantung.
Efek Samping
Kelelahan dan mengantuk adalah efek samping yang biasa pada pengunaan lama
benzodiazepine. Sedasi akan mengganguaktivitas setidaknya selama 2 minggu. Penggunaan yang
lama benzodiazepine tidak akan mengganggu tekanan darah, denyut jantung, ritme jantung dan
ventilasi. Namun penggunaannya sebaiknya hati-hati pada pasien dengan penyakit paru kronis.
Penggunaan benzodiazepine akan mengurangi kebutuhan akan obat anestesi inhalasi
ataupun injeksi. Walaupun penggunaan midazolam akan meningkatkan efek depresi napas opioid
dan mengurangi efek analgesiknya. Selain itu, efek antagonis benzodiazepine, flumazenil, juga
meningkatkan efek analgesic opioid.
Contoh obat
a.

Midazolam
Midazolam merupakan benzodiazepine yang larut air dengan struktur cincin yang stabil

dalam larutan dan metabolism yang cepat. Obat ini telah menggatikan diazepam selama operasi
dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat. Selain itu afinitas terhadap reseptor GABA 2 kali lebih
kuat disbanding diazepam. Efek amnesia pada obat ini lebih kuat dibandingkan efek sedasi
sehingga pasien dapat terbangun namun tidak akan ingat kejadian dan pembicaraan yang terjadi
selama beberapa jam.
Larutan midazolam dibuat asam dengan pH < 4 agar cincin tidak terbuka dan tetap larut
dalam air. Ketika masuk ke dalam tubuh, akan terjadi perubahan pH sehingga cincin akan
menutup dan obat akan menjadi larut dalam lemak. Larutan midazolam dapat dicampur dengan
ringer laktat atau garam asam dari obat lain.

Farmakokinetik
Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah otak.
Namun waktu equilibriumnya lebih lambat disbanding propofol dan thiopental. Hanya 50% dari
obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik karena metabolism porta hepatik yang
tinggi. Sebagian besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan protein. Waktu
durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepat distribusi dari otak ke
jaringan yang tidak aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat.
Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam lebih pendek daripada waktu paruh
diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati. Pada
pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat banyak berikatan
dengan sel lemak. Akibat eliminasi yang cepat dari midazolam, maka efek pada CNS akan lebih
pendek dibanding diazepam.
b. Diazepam
Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut dalam lemak dan memiliki durasi
kerja yang lebih panjang dibandingkan midazolam. Diazepam dilarutkan dengan pelarut organic
(propilen glikol, sodium benzoat) karena tidak larut dalam air. Larutannya pekat dengan pH 6,66,9. Injeksi secra IV atau IM akan menyebabkan nyeri.
Farmakokinetik
Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam 1 jam
(15-30 menit pada anak-anak). Kelarutan lemaknya yang tinggi menyebabkan Vd diazepam lebih
besar dan cepat mencapai otak dan jaringan terutama lemak. Diazepam juga dapat melewati
plasenta dan terdapat dalam sirkulasi fetus.
Ikatan protein benzodiazepine berhubungan dengan tingginya kelarutan lemak.
Diazepam dengan kelarutan lemak yang tinggi memiliki ikatan dengan protein plasma yang kuat.
Sehingga pada pasien dengan konsentrasi protein plasma yang rendah, seperti pada cirrhosis
hepatis, akan meningkatkan efek samping dari diazepam.
c. Lorazepam
Lorazepam memiliki struktur yang sama dengan oxazepam, hanya berbeda pada adanya
klorida ekstra pada posisi orto 5-pheynil moiety. Lorazepam lebih kuat dalam sedasi dan amnesia
disbanding midazolam dan diazepam sedangkan efek sampingnya sama.
Farmakokinetik

Lorazepam dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hati menjadi bentuk inaktif yang
dieksresikan di ginjal. Waktu paruhnya lebih lama yaitu 10-20 jam dengan ekskresi urin > 80%
dari dosis yang diberikan. Karena metabolismenya tidak dipengaruhi oleh enzim mikrosom di
hati, maka metabolismenya tidak dipengaruhi oleh umur, fungsi hepar dan obat penghambat
enzim P-450 seperti simetidin. Namun onset kerja lorazepam lebih lambat disbanding midazolam
dan diazepam karena kelarutan lemaknya lebih rendah.
2. Barbiturat
Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan
sedative. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturate telah
banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital yang
memiliki anti konvulsi yang masih sama banyak digunakan.
Secara kimia, barbiturate merupakan derivate asam barbiturate. Asam barbiturate (2,4,4trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara ureum dengan asam
malonat.
Efek utama barbiturate ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai
dari sedasi, hypnosis, koma sampai dengan kematian. Efek antisietas barbiturate berhubungan
dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik barbiturate dapat dicapai dalam waktu 2060 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang
mengganggu. Efek anastesi umumnya diperlihatkan oleh golongan tiobarbital dan beberapa
oksibarbital untuk anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi umumnya diberikan oleh barbiturate
yang mengandung substitusi 5- fenil misalnya fenobarbital.
Farmakokinetik
Barbiturat secarra oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus ke
dalam darah. Secra IV barbiturate digunakan untuk mengatasi status epilepsy dan menginduksi
serta mempertahankan anestesi umum. Barbiturate didistribusi secra luas dan dapat melewati
plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kalarutan dalam lemak.
Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya thiopental dan metoheksital, setelah
pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan menyebabkan
kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturate yang kurang lipofilik misalnya
aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna di dalam hati sebelum diekskresi
di ginjal. Pada kebanyakan kasus, perubahan pada fungsi ginjal tidak mempengaruhi eliminasi

obat. Fenobarbital diekskresikan ke dalam urin dalam bentuk tidak berubah sampai jumlah
tertentu (20-30%) pada manusia.
Faktor yang mempengatuhi biodisposisi hipnotik dan sedatif dapat dipengaruhi oleh
berbagai hal terutama perubahan pada fungsi hati sebagai akibat dari penyakit, usia tua yang
mengakibatkan penurunan kecepatan pembersihan obat yang dimetabolisme yang terjadi hampir
pada semua obat golongan barbiturat.
Kontraindikasi
Barbiturate tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturate, penyakit hati atau
ginjal, hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturate juga tidak boleh diberikan pada penderita
psikoneurotik tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari yang terjadi pada
penderita usia lanjut.
3. Nonbarbiturat- nonbenzodiazepin
a. Propofol
Propofol adalah substitusi isopropylphenol yang digunakan secara intravena sebagai 1%
larutan pada zat aktif yang terlarut, serta mengandung 10% minyak kedele, 2,25% gliserol dan
1,2% purified egg phosphatide. Obat ini secara struktur kimia berbeda dari sedative-hipnotik
yang digunakan secara intravena lainnya. Penggunaan propofol 1,5-2,5 mg/kg BB (atau setara
dengan thiopental 4-5 mg/kg BB atau methohexital 1,5 mg/kgBB) dengan penyuntikan cepat
(<15 detik) menimbulkan turunnya kesadaran dalam waktu 30 detik. Propofol lebih cepat dan
sempurna mengembalikan kesadaran dibandingkan obat anesthesia lain yang disuntikkan secra
cepat. Selain cepat mengembalikan kesadaran, propofol memberikan gejala sisa yang minimal
pada SSP. Nyeri pada tempat suntikan lebih sering apabila obat disuntikkan pada pembuluh
darah vena yang kecil. Rasa nyeri ini dapat dikurangi dengan pemilihan tempat masuk obat di
daerah vena yang lebih besar dan penggunaan lidokain 1%.
Mekanisme Kerja
Propol relative selektif dalam mengatur reseptor GABA dan tampaknya tidak mengatur
ligand-gate ion channel lainnya. Propofol dianggap memiliki efek sedative hipnotik melalui
interaksinya denghan reseptor GABA. GABA adalah salah satu neurotransmitter penghambat di
SSP. Ketika reseptor GABA diaktivasi, penghantar klorida transmembran meningkat dan
menimbulkan hiperpolarisasi di membran sel post sinaps dan menghambat fungsi neuron post
sinaps. Interaksi propofol (termasuk barbiturate dan etomidate) dengan reseptor komponen

spesifik reseptor GABA menurunkan neurotransmitter penghambat. Ikatan GABA meningkatkan


durasi pembukaan GABA yang teraktifasi melalui chloride channel sehingga terjadi
hiperpolarisasi dari membrane sel.
Farmakokinetik
Propofol didegradasi di hati melalui metabolism oksidatif hepatic oleh cytochrome P450. Namun, metabolismenya tidak hanya dipengaruhi hepatic tetapi juga ekstrahepatik.
Metabolism hepatic lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut air
sementara metabolism asam glukoronat diekskresikan melalui ginjal. Propofol membentuk 4hydroxypropofol oleh sitokrom P450. Propofol yang berkonjugasi dengan sulfat dan glukoronide
menjadi tidak aktif dan bentuk 4 hydroxypropofol yang memiliki 1/3 efek hipnotik. Kurang dari
0,3% dosis obat diekskresikan melalui urin. Waktu paruh propofol adalah 0,5-1,5 jam.
b. Ketamin
Ketamin adalah derivate phencyclidine yang meyebabkan disosiative anesthesia yang
ditandai dengan disosiasi EEG pada talamokortikal dan sistem limbik. Ketamin memiliki
keuntungan dimana tidak seperti propofol dan etomidate, ketamine larut dalam air dan dapat
menyebabkan analgesic pada dosis subanestetik. Namun ketamin sering hanya menyebabkan
delirium.
Mekanisme Kerja
Ketamin bersifat non-kompetitif phenycyclidine di reseptor N-Methyl D Aspartat
(NMDA). Ketamin juga memiliki efek pada reseptor lain termasuk reseptor opioid, reseptor
muskarinik, reseptor monoaminergik, kanal kalsium tipe L dan natrium sensitive voltase. Tidak
seperti propofol dan etomide, katamin memiliki efek lemah pada reseptor GABA. Mediasi
inflamasi juga dihasilkan local melalui penekanan pada ujung saraf yang dapat mengaktifasi
netrofil dan mempengaruhi aliran darah. Ketamin mensupresi produksi netrofil sebagai mediator
radang dan peningkatan aliran darah. Hambatan langsung sekresi sitokin inilah yang
menimbulkan efek analgesia.
Farmakokinetik
Farmakokinetik ketamin mirip seperti thiopental yang memiliki aksi kerja singkat,
memiliki aksi kerja yang relatif singkat, kelarutan lemak yang tinggi, pK ketamin adalah 7,5
pada pH fisiologik. Konsentrasi puncak ketamin terjadi pada 1 menit post injeksi ketamin secara
intravena dan 5 menit setelah injeksi intramuscular. Ketamin tidak terlalu berikatan kuat dengan

protein plasma namun secara cepat dilepaskan ke jaringan misalnya ke otak dimana
konsentrasinya 4-5 kali dari pada konsentrasi di plasma.
c. Dekstromethorpan
Dekstromethorphan adalah NMDA antagonis dengan afinitas ringan yang paling sering
digunakan sebagai penghambat respon batuk di sentral. Obat ini memiliki efek yang seimbang
dengan kodein sebagai antitusif tetapi tidak memiliki efek analgesic. Tidak seperti kodein, obat
ini tidak menimbulkan efek sedasi atau gangguan sistem gastrointestinal. DMP memiliki efek
euphoria sehingga sering disalahkan. Tanda dan gejala penggunaan berlebihan DMP adalah
hipertensi sistemik, takikardia, somnolen, agitasi, ataxia, diaphoresis, kaku otot, kejang, koma,
penurunan suhu tubuh. Hepatotoksisitas meningkat pada pasien yang mendapat DMP dan
asetaminofen.
d. Kloralhidrat
Kloralhidrat adalah aldehida yang terikat dengan air, menjadi alkohol. Efek bagi pasienpasien yang gelisah, juga sebagai obat pereda pada penyakit saraf hysteria. Berhubung cepat
terjadinya toleransi dan resiko akan ketergantungan fisik dan psikis, obat ini hanya digunakan
untuk waktu singkat (1-2 minggu).
C. Interaksi Obat
Reaksi obat, kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lainmisal etanol akan
meningkatkan efek depresinya. Antihistamin, isoniazid, metilfenidat, dan penghambat MAO juga
dapat menaikkan efefk depresi barbiturate.
Interaksi obat yang paling sering melibatkan hipnotik-sedatif adalah interaksi dengan
obat depresan susunan saraf pusat lain, yang menyebabkan efek aditif. Efek aditif yang jelas
dapat diramalkan dengan penggunaan minuman beralkohol, analgesic narkotik, antikonvulsi,
fenotiazin dan obat-obat anti depresan golongan trisiklik.
Contoh Obat Dipasaran
Nama Obat
Amobarbital
Aprobarbital
Butabarbital
Pentobarbital
Sekobarbital
Fenobarbital

Bentuk Sediaan
Kapsul,tablet,injeksi,bubuk
Eliksir
Kapsul,tablet,eliksir
Kapsul,eliksir,injeksi,supositoria
Kapsul,tablet,injeksi
Kapsul,tablet, eliksir,injeksi

Dosis Dewasa (mg)


30-50; 3x
40; 3x
15-30 ; 3-4x
20 ; 3-4x
30-50 ; 3-4x
15-40 ; 3x

Tabel. Interaksi Obat


NO Obat A
1

Barbiturat

Obat B
alkohol

Mekanisme obat A Mekanisme obatInteraksi Obat


Bekerja

B
padaMengganggu

seluruh

systemkeseimbangan

saraf

pusat

hanya

tapiantara

Nama Dagang

Sifat

Alkohol

Amobarbital

Antagonis

memperberat

(AMYTAL),

eksitasidepresi

SSP,Aprobarbital

berikatandan inhibisi dimemperberat

dengan komponen-otak
komponen

karenahipotensi (padaButabarbital

penghambatan

molekuler reseptoratau
GABAA

(ALURATE),

pemakaian

(BUTISOL),

penekananparenteral),

Mefobarbital

saraf

memperberat

perangsangan

kelemahan otot

(MEBARAL)

(pemakaian
2

Benzodia-

Disul-

Berinteraksi

parenteral)
Disulfiram

Diazepam

zepin

firam

dengan

menghambat

(CETALGIN),

penghambat

metabolism

Lorazepam

neurotransmitter

golongan

(ATIVAN),

yang

benzodiazepin Midazolam

reseptor

diaktifkan

oleh GABA.

Antagonis

dihati sehingga(DORMICUM),
meningkatkan
kadar
benzodiazepin
dalam darah.

Benzodia-

Sime-

Berinteraksi

zepin

tidin

dengan

Menghambat

reseptorreseptor H2secaramenghambat

penghambat

selektif

neurotransmitter

reversible

yang

Simetidin

diaktifkansehingga

oleh GABA.

menghambat

Diazepam
(CETALGIN),

danmetabolism

Lorazepam

golongan

(ATIVAN),

benzodiazepin Midazolam
dihati sehingga(DORMICUM),

Sinergis

sekresi

asammeningkatkan

lambung.

kadar
benzodiazepin

Benzodia-

Val-proat Berinteraksi

zepin

dengan

Meningkatkan

reseptorkadar

penghambat

dalam darah.
Valproat

Diazepam

GABAmenurunkan

dalam otak

Aditif

(CETALGIN),

glukuronidasi

Lorazepam

neurotransmitter

benzodiazepine (ATIVAN),

yang

yang

diaktifkan

oleh GABA.

secaraMidazolam

utama

(DORMICUM),

dimetabolisme
konjugasi
glukuronida
sehingga
meningkatkan
efek
5

Fenobar-bital Asam

Bekerja

padaMeningkatkan

Val-proat seluruh
saraf

systemkadar
pusat

hanya

diazepam

benzodiazepin.
Asam ValproatAsam

GABAmeningkatkan

tapidalam otak

berikatan

(Depakene,

kadar

Ikalep),

fenobarbital

Fenobarbital

dengan komponen-

40%

komponen

terjadinya

molekuler reseptor

penghambatan PIPTAL

GABAA

hidroksilasi

Jus

Berinteraksi

fenobarbital.
SIBITAL
Jus anggur akanDiazepam

anggur

dengan

jus
ung

neurotransmitter

yang

yang

karena(BELLAPHEEN,
PHENTAL,
PDIATRIC,

reseptoranggurmengand menginhibisi

penghambat

(CETALGIN),

senyawaefek dari lintasLorazepam


disebutmetabolisme

diaktifkandengan

oleh GABA.

ValproatAditif

furanokumarin

pertama

(ATIVAN),
dariMidazolam

benzidiazepin

(DORMICUM),

Antagonis

yang

dapatpada CYP3A4

mengganggu hati
dan

menyerap

enzim

sitokrom

P450

isoform

CYP3A4
dinding
7

midazolam

Jus

Berinteraksi

anggur

dengan

usus

kecil.
jus

Jus anggur akanDiazepam

reseptoranggurmengand menginhibisi

penghambat

ung

neurotransmitter

yang

yang

di

(CETALGIN),

senyawaefek dari lintasLorazepam


disebutmetabolisme

diaktifkandengan

oleh GABA.

Antagonis

pertama

furanokumarin
yang

(ATIVAN),
dariMidazolam

benzidiazepin

(DORMICUM),

dapatpada CYP3A4

mengganggu hati
dan

menyerap

enzim

sitokrom

P450

isoform

CYP3A4
dinding
8

quazepam

Jus

Berinteraksi

anggur

dengan

usus

kecil.
jus

Jus anggur akanDiazepam

reseptoranggurmengand menginhibisi

penghambat

ung

neurotransmitter

yang

yang

di

senyawaefek dari lintasLorazepam


disebutmetabolisme

diaktifkandengan

oleh GABA.

pertama

furanokumarin
yang

enzim

(ATIVAN),
dariMidazolam

benzidiazepin

dapatpada CYP3A4

mengganggu hati
dan

(CETALGIN),

menyerap
sitokrom

(DORMICUM),

Antagonis

P450

isoform

CYP3A4
dinding
9

Triazolam

Jus

Berinteraksi

anggur

dengan

usus

kecil.
jus

Jus anggur akanDiazepam

reseptoranggurmengand menginhibisi

penghambat

ung

neurotransmitter

yang

yang

di

(CETALGIN),

senyawaefek dari lintasLorazepam


disebutmetabolisme

diaktifkandengan

oleh GABA.

Antagonis

pertama

furanokumarin
yang

(ATIVAN),
dariMidazolam

benzidiazepin

(DORMICUM),

dapatpada CYP3A4

mengganggu hati
dan

menyerap

enzim

sitokrom

P450

isoform

CYP3A4
dinding
10 Citalopram

di
usus

Jus

kecil.
jus

anggur

anggurmengand menginhibisi

Jus anggur akanDiazepam

ung

senyawaefek dari lintasLorazepam

yang

disebutmetabolisme

(ATIVAN),

dengan

pertama

furanokumarin

benzidiazepin

yang

menyerap

enzim

sitokrom

P450

isoform

CYP3A4
dinding
kecil.

dariMidazolam

dapatpada CYP3A4

mengganggu hati
dan

(CETALGIN),

di
usus

(DORMICUM),

Antagonis

Muscle Relaxant (Obat Pelumpuh Otot)


A. Pengertian
Obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat digunakan selama intubasi dan pembedahan
untuk memudahkan pelaksanaan anestesi dan memfasilitas intubasi.
Obat relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot rangka atau untuk
melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum operasi untuk mempermudah suatu operasi
atau memasukan suatu alat ke dalam tubuh.
B. Farmakologi Obat Pelumpuh Otot
Relaksasi otot jurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesi umum inhalasi, blokade
saraf regional, dan memberikan pelumpuh otot. Dengan relakasasi otot ini akan memfasilitasi
intubasi trakea, mengontrol ventilasi mekanik dan mengoptimalkan kondisi pembedahan. Pada
prinsipnya, obat ini menginterupsi transmisi impuls saraf padaneuromuscular junction.
1. Fisiologi Transmisi Saraf Otot
Daerah diantara motor neuron dan sel saraf disebut neuromuscular junction. membran
selneuron dan serat otot dipisahkan oleh sebuah celah (20 nm) yang disebut sebagai celah sinaps.
Ketika potensial aksi mendepolarisasi terminal saraf, ion kalsium akan masuk melalui voltagegated calcium channels menuju sitoplasma saraf, yang akhirnya vesikel penyimpanan menyatu
dengan membran terminal dan mengeluarkan asetilkolin. Selanjutnya asetilkolin akan berdifusi
melewati celah sinaps dan berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada daerah khusus di
membran otot yaitu motor end plate. Motor end plate merupakan daerah khusus yang kaya akan
reseptor asetilkolin dengan permukaan yang berlipat-lipat.

Gambar 2.1

Neuromuscular Junction

Struktur reseptor asetilkolin bervariasi pada jaringan yang berbeda. Padaneuromuscular


junction, reseptor ini terdiridari 5 sub unit protein, yaitu 2 sub unit , dan 1 sub unit , ,dan .
Hanya kedua sub unit identik yang mampu untuk mengikat asetilkolin. Apabila kedua tempat
pengikatan berikatan dengan asetilkolin, maka kanal ion di intireseptor akan terbuka. Kanal tidak
akan terbuka apabila asetilkolin hanya menduduki satu tempat. Ketika kanal terbuka, natrium
dan kalsium akan masuk, sedangkan kalium akan keluar. Ketika cukup reseptor yang diduduki
asetilkolin, potensial motor end plate akan cukup kuat untuk mendepolarisasi membran
perijunctional yang kaya akan kanal natrium.

Gambar 2.2

Struktur reseptor asetilkolin

Ketika potensial aksi berjalan sepanjang membran otot, kanal natrium akan terbuka dan
kalsium akan dikeluarkan dari reticulum sarkoplasma. Kalsium intraseluler ini akan
memfasilitasi aktin dan myosin untuk berinteraksi yang membentuk kontraksi otot. Kanal
natrium memiliki dua pintu fungsional, yaitu pintu atas dan bawah. Natrium hanya akan bisa
lewat apabila kedua pintu ini terbuka. Terbukanya pintu bawah tergantung waktu, sedangkan
pintu atas tergantung tegangan. Asetilkolim cepat dihidrolisis oleh asetilkolinesterase menjadi
asetil dan kolin sehingga lorong tertutup kembali dan terjadilah repolarisasi.
2. Farmakokinetik Pelumpuh Otot
Semua pelumpuh otot larut di air, relatif tidak larut di lemak, diabsorbsi dengan kurang
baik di usus dan onset akan melambat bila di administrasikan intramuskular. Volume distribusi
dan klirens dapat dipengaruhi oleh penyakit hati, ginjal dan gangguan kardiovaskular. Pada
penurunan cardiac output, distribusi obat akan melemah dan menurun, dengan perpanjangan
paruh waktu, onset yang melambat dan efek yang menguat. Pada hipovolemia, volume distribusi
menurun dan konsentrasi puncak meninggi dengan efek klinis yang lebih kuat. Pada pasien
dengan edema, volume distribusi meningkat, konsentrasi di plasma menurun dengan efek klinis
yang juga melemah. Banyak obat pelumpuh otot sangat tergantung dengan ekskresi ginjal untuk
eliminasinya. Hanya suxamethonium, atracurium dan cisatracurium yang tidak tergantung
dengan fungsi ginjal. Umur juga mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot. Neonatus
dan infant memiliki plasma klirens yang menurun sehingga eliminasi dan paralisis akan
memanjang. Sedangkan pada orang tua, dimana cairan tubuh sudah berkurang, terjadi perubahan
volume distribusi dan plasma klirens. Biasanya ditemui sensitivitas yang meningkat dan efek

yang memanjang. Fungsi ginjal yang menurun dan aliran darah renal yang menurun
menyebabkan klirens yang menurun dengan efek pelumpuh otot yang memanjang.
3. Farmakodinamik Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot tidak memiliki sifat anestesi maupun analgesik. Dosis terapeutik
menghasilkan beberapa efek yaitu ptosis, ketidakseimbangan otot ekstraokular dengan diplopia,
relaksasi otot wajah, rahang, leher dan anggota gerak dan terakhir relaksasi dinding abdomen dan
diafragma.
a. Respirasi
Paralisis dari otot pernapasan menyebabkan apnea. Diafragma adalah bagian tubuh yang kurang
sensitif dibanding otot lain sehingga biasanya paling terakhir lumpuh.
b. Efek kardiovaskular
Hipotensi biasa ditemukan pada penggunaan D-tubocurarine, sedangkan hipertensi ditemukan
pada penggunaan pancuronium, takikardi pada penggunaan gallamine, rocuronium, dan
pancuronium.
c. Pengeluaran histamin
D-tubocurarine adalah obat yang tersering menyebabkan pengeluaran histamin sedangkan
vecuronium adalah yang paling jarang. Reaksi alergi biasanya ditemui pada wanita dengan
riwayat atopi.
C. Obat Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot depolarisasi
(nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi (kompetitif, takikurare). Obat pelumpuh otot
depolarisasi sangat menyerupai asetilkolin, sehingga ia bisa berikatan dengan reseptor asetilkolin
dan membangkitkan potensial aksi otot. Akan tetapi obat ini tidak dimetabolisme oleh
asetilkolinesterase, sehingga konsentrasinya tidak menurun dengan cepat yang mengakibatkan
perpanjangan depolarisasi di motor-end plate. Perpanjangan depolarisasi ini menyebabkan
relaksasi otot karena pembukaan kanal natrium bawah tergantung waktu, Setelah eksitasi awal
dan pembukaan, pintu bawah kanal natrium ini akan tertutup dan tidak bisa membuka sampai
repolarisasi motor-end plate. Motor end-plate tidak dapat repolarisasi selama obat pelumpuh otot
depolarisasi berikatan dengan reseptor asetilkolin; Hal ini disebut dengan phase I block. Setelah
beberapa lama depolarisasi end plate yang memanjang akan menyebabkan perubahan ionik dan

konformasi pada reseptor asetilkolin yang mengakibatkan phase II block, yang secara klinis
menyerupai obat pelumpuh otot nondepolarisasi.
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor asetilkolin akan tetapi tidak
mampu untuk menginduksi pembukaan kanal ion. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan
dengan reseptornya, maka potensial end-plate tidak terbentuk. Karena obat pelumpuh otot
depolarisasi tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, maka ia akan berdifusi menjauh dari
neuromuscular junction dan dihidrolisis di plasma dan hati oleh enzim pseudokolinesterase.
Sedangkan obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak dimetabolisme baik oleh asetilkolinesterase
maupun pseudokolinesterase. Pembalikan dari blockade obat pelumpuh otot nondepolarisasi
tergantung pada redistribusinya, metabolisme,ekskresi oleh tubuh dan administrasi agen
pembalik lainnya (kolinesteraseinhibitor).
1. Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps tidak dirusak
dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi
yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah
suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme
oleh

kolinesterase

plasma,pseudokolinesterase

menjadi

suksinil-monokolin.

Obat

anti

kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase.


a. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini memiliki onset yang
cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika
suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase
menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang
dinjeksikan yang mencapaineuromuscular junction. Duration of action akan memanjang pada
dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level
pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan,
penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan gen
pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang memanjang.
1) Interaksi obat
a. Kolinesterase inhibitor

Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase I block pelumpuh otot depolarisasi dengan 2


mekanisme yaitu dengan menghambat kolinesterase, maka jumlah asetilkolin akan semakin
banyak, maka depolarisasi akan meningkatkan depolarisasi. Selain itu, ia juga akan menghambat
pseudokolinesterase.
b. Pelumpuh otot nondepolarisasi
Secara umum, dosis kecil dari pelumpuh otot nondepolarisasi merupakan antagonis dari fase I
bock pelumpuh otot depolarisasi, karena ia menduduki reseptor asetilkolin sehingga depolarisasi
oleh suksinilkolin sebagian dicegah.
2) Dosis
Karena onsetnya yang cepat dan duration of action yang pendek, banyak dokter yang percaya
bahwa suksinilkolin masih merupakan pilihan yang baik untu intubasi rutin pada dewasa. Dosis
yang dapat diberikan adalah 1 mg/kg IV.
3) Efek samping dan pertimbangan klinis
Karena risiko hiperkalemia, rabdomiolisis dan cardiac arrest pada anak dengan miopati tak
terdiagnosis, suksinilkolin masih dikontraindikasikan pada penanganan rutin anak dan remaja.
Efek samping dari suksinilkolin adalah :

Nyeri otot pasca pemberian

Peningkatan tekanan intraokular

Peningkatan tekakana intrakranial

Peningkatan tekakanan intragastrik

Peningkatan kadar kalium plasma

Aritmia jantung

Salivasi

Alergi dan anafilaksis


2. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi
a. Pavulon

Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai kerja pada menit kedua-ketiga
untuk selama 30-40 menit. Memiliki efek akumulasi pada pemberian berulang sehingga dosis
rumatan harus dikurangi dan selamg waktu diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi otot 0,08

mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15
mg/kgBB intravena. Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.
b. Atracurium
1) Struktur fisik
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice
Leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme terjadi di dalam darah, tidak bergantung
pada fungsi hati dan ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
2) Dosis
0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative 0,25 mg/kg initial, laly 0,1
mg/kg setiap 10-20 menit. Infuse 5-10 mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus.
Lebih cepat durasinya pada anak dibandingkan dewasa.
Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam suhu 2-8 OC, potensinya hilang 5-10 %
tiap bulan bila disimpan pada suhu ruangan. Digunakan dalam 14 hari bila terpapar suhu
ruangan.
3) Efek samping dan pertimbangan klinis
Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg
c. Vekuronium
1) Struktur fisik
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan lebih besar dan lama
kerjanya singkat Zat anestetik ini tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang dan
tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
2) Metabolisme dan eksresi
Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka panjang dapat memperpanjang
blokade neuromuskuler. Karena akumulasi metabolit 3-hidroksi, perubahan klirens obat atau
terjadi polineuropati.
Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid yang lama dan sepsis. Efek pelemas otot
memanjang pada pasien AIDS. Toleransi dengan pelemas otot memperpanjang penggunaan.
3) Dosis
Dosis intubasi 0,08 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg setiap 15 20 menit.
Drip 1 2 mcg/kg/menit.

Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada pasien post partum. Karena
gangguan pada hepatic blood flow.
Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.
d. Rekuronium
1) Struktur Fisik
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih cepat. Keuntungannya adalah
tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan
efek kerja yang lebih lama.
2) Metabolisme dan eksresi
Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi tidak terpengaruh oleh kelainan
ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan hepar berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka
panjang (di ICU). Pasien orang tua menunjukan prolong durasi.
3) Dosis
Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya. 0,45 0,9 mg / kg iv untuk intubasi
dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit setelah
intubasi. Im ( 1 mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita suara dan paralisis
diafragma untuk intubasi. Tapi tidak sampai 3 6 menit dapat kembali sampai 1 jam. Untuk drip
5 12 mcg/kg/menit. Dapat memanjang pada pasien orang tua.
4) Efek samping dan manifestasi klinis
Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya mahal.
Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental.
Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk prekurasisasi sebelum suksinilkolin.
Ada tendensi vagalitik.
D. Pemilihan Pelumpuh Otot
Karakteristik pelumpuh otot ideal :
1. Nondepolarisasi
2. Onset cepat
3. Duration of action dapat diprediksi, tidak mengakumulasi dan dapat diantagoniskan
dengan obat tertentu
4. Tidak menginduksi pengeluaran histamine
5. Potensi

6. Sifat tidak berubah oleh gangguan ginjal maupun hati dan metabolit tidak memiliki aksi
farmakologi.
Durasi pembedahan mempengaruhi pemilihan pelumpuh otot :
1. Ultra-short acting, contoh : suxamethonium
2. Short duration. Contoh: mivacurium
3. Intermediate duration. Contoh: atracurium, vecuronium, rocuronium, cisatracurium
4. Long duration. Contoh: pancuronium, D-tubocurarine, doxacurium, pipecuronium.
Pelumpuh otot yang disarankan :
1. Untuk induksi yang cepat-suxamethonium, atau apabila dikontraindikasikan dapat
dipakai rocuronium
2. Untuk stabilitas hemodinamika (contoh pada hipovolemia atau penyakit jantung parah)vecuronium
3. Pada gagal ginjal dan hati-atracurium, vekuronium, cisatracurium ataumivacurium
4. Miastenia gravis: jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
5. Kasus obstetric: semua dapat diberkan kecuali gallamin
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot :
1. Cegukan (hiccup)
2. Dinding perut kaku
3. Ada tahanan pada inflasi paru.
E.

Penawar Pelumpuh Otot


Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga asetilkolin dapat
bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah neostigmin (dosis 0,04-0,08
mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan
fisostigmin yang hanya untuk penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot
bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang
bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai
vagolitik seperti atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg
sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa)

Obat-obatan Analgesia
1. Analgesik non-opiat
Mekanisme kerja obat non opiat dalam mengatasi nyeri adalah dengan
penghambatan aktifitas enzim siklooksigenase yang mana enzim ini berperan dalam
sintesis prostalglandin yang berperan pada nyeri yang dikaitkan dengan kerusakan
jaringan atau inflamasi, penelitian telah membuktikan bahwa prostalglandin
menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi.
Obat-obatan yang termasuk dalam analgesik non-opiat seperti
a. Salisilat
Asam asetil salisilat atau yang lebih dikenal dengan asetosal atau aspirin
adalah analgesik antipiretik dan antiinflamasi yang luas digunakan dan
digolongkan dalam obat bebas.
Farmakokinetik
Pada pemberian oral sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk
utuh dilambung, tetapi sebagian besar besar diusus halus bagian atas. Kadar
tertinggi kira-kira 2 jam setelah pemberian, kecepatan absorpsi nya tergantung
dari kecepatan disintegrasi dan disolusi tablet, pH permukaan mukosa dan
waktu pangosongan lambung. Asam salisilat diabsorpsi cepat dari kulit sehat,
terutama dipakai sebagai obat gosok atau salep. Setelah diabsorpsi salisilat
segera menyabar ke seluruh jaringan tubuh dan cairan transseluler sehingga
ditemukan ndalam cairan sinovial, cairan spinal, cairan peritoneal, liur, dan air
susu, obat ini mudah mnembus sawar darah otak dan sawar uri. Kira-kira
80% sampai 90% salisilat plasma terikat albumin. Aspirin diserap dalam
bentuk utuh, dihidrolisis menjadi asam salisilat terutama dalam hati, sehingga
hanya kira-kira 30 menit terdapat dalam plasma.
Indikasi
Dosis salisilat untuk
Dewasa ialah 325 mg 650 mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam.
Anak anak 15-20 mg/kgBB, diberikan tiap 4-6 jam
b. Para amino fenol
Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asitaminofen.

Farmakodinamik
Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang, parasetamol merupakan penghambat
biosintesis prostalglandin yang lemah, efek iritasi, erosi, dan perdarahan
lambung tidak terlihat
Farmakokinetik
Parasetamol diaabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu jam dan masa
paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh.
Dalam plasma 25 % parasetamol terikat dalam plasma, obat ini dimetabolime
di kirosom hati, sebagian asetaminofen dikonjugasi dengan asam glukoronat
dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat, obat ini dieksresi melalui
ginjal, sebagian kecil sebagai paracetamol dan sebagian besar dalam bentuk
terkonjugasi
Indikasi
Penggunaan parasetamol di indonesia sebagai antipiretik dan analgesik, telah
menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik lainnya, penggunaan
parasetamolsebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan
menimbulkan nefropati analgesik.
Efek samping
Reaksi alergi terhadap derivat pra amino fenol jarang terjadi. Manifestasinya
berupa eritema atau urtikaria dan gejala yang berat berupa demam dan lesi
pada mukosa.
Sediaan dan posologi
Parasetamol tersedia dalam obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau sirup
yang mengandung 120 mg/5 mL.
Dosis parasetamol untuk dewasa 300 mg 1 gram per kali maksimal 4 gram
per hari
Anak usia 6-12 tahun 150 300 mg/kali maksimal 1,2 g/hari
Anak usia 1-6 tahun 60 120 mg/kali
Bayi dibawah 1 tahun 60 mg/kali
c. Ketorolak

Merupakan analgesik poten dengan efek anti inflamasi sedang. Ketorolak


merupakan satu dari sedikit AINS yang tersedia untuk pemberian parenteral.
Farmakoninetik
Absorepsi oral dan intramuskular berlangsung cepat mencapai puncak dalam
30 50 menit. Bioavaibilitas oral 80 % dan hampir seluruhnya terikat protein
plasma.
Awitan aksi
IV : Kurang dari 1 menit
IM : Kurang dari 10 menit
PO : Kurang dari 1 jam
Lama aksi
IV/IM/PO : 3 7 jam
Reaksi samping utama
Kardiovaskular : Vasodilatasi, pucat, angina
Pulmoner
: Asma
SSP
: Rasa mngantuk, pusing, sakit kepala,
GI

berkeringat,

depresi, euforia
: Ulserasi, perdarahan, dispepsia, mual, muntah

diare,

nyeri gastroenteritis.

2. Analgesik opioid
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium.
Opium yang berasal darai getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis
alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverin.

Analgesik poioid

terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Yang termasuk
golongan opioid adalah alkaloid opium, derivat semisintetik alkaloid opium
Peptida opioid endogen
Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui kerjanya di daerah otak yang
mengandung peptida yang memiliki sifat farmakodinamik menyerupai opioid. Istilah
umum yang dewasa ini digunakan untuk senyawa endogen tersebut adalah peptida
opioid endogen, menggantikan istilah endorfin yang digunakan sebelumnya. Telah
diidentifikasi 3 janis peptida opioid yaitu enkefalin, endorfin, dan dinorfin. Peptida

opioid yang didistribusi paling luas dan memiliki aktivitas analgesik adalah
pentapeptida metionin-enkefalin dan leusin-enkefalin
Reseptor opioid
Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu, delta, dan kappa. Ketiga jenis reseptor
termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan protein G, dan memiliki
subtipe masing-masing.
Reseptor mu memperantarai efek analgetik mirip morfin, euforia, depresi napas,
miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor kappa disuga memperantarai
analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi
napasyang tidak sekuat agonis mu.
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan opioid seperti
a. Fentanil
Farmakologi
Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu
analgesik, fentanil 75 125 kali lebih poten dibanding morfin. Awitan yang
cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih
besar dari fentanil dibandingkan morfin. Depresi dari ventilasi tergantung
pada dosis dan dapat berlangsung lebih lama dibanding analgesia.
Awitan aksi
IV
: Dalam 30 detik
IM
: Kurang dari 8 menit
Epidural
: 4 10 menit
Transdermal
: 12 18 jam
Oral Transmukosa : 5 15 menit
Efek puncak
IV
IM
Epidural
Oral transmukosa

: 5 15 menit
: Kurang dari 15 menit
: Kurang dari 30 menit
: 20 30 menit

Lama aksi
IV
IM
Epidural
Transdermal
Oral transmukosa

: 30 60 menit
: 1 2 jam
: 1 2 jam
: 3 Hari
: 1 2 jam

Dosis

Analgesia
IV/IM
: 25 100 g (0,7 - 2g/kg)
Induksi
Bolus IV : 5 40 g/kg
Infus
: 0,25 0,2 g/kg/menit selama 20 menit. Dosis dititrasi sesuai
dengan respons pasien. Untuk menghindari kekakuan dinding dada berikan
relaksan otot secara serentak dengan dosis induksi.
b. Meperidin HCL
Farmakologi
Opioid sintetik ini mempunyai kekuatan kira kira sepersepuluh morfin
dengan awitan yang sedikit lebih cepat dan lama aksi yang lebih pendek.
Dibandingakan dengan morfin, meperidin lebih efektif pada nyeri neuropatik.
Meperidin memiliki efek vagolitik dan antispasmodik ringan.

Dapat

menimbulkan efek hipotensi orthostatik pada kasus terapeutik.


Awitan aksi
PO
IV
IM
Epidural/spinal
Efek puncak
PO
IV
IM
Epidural/spinal
Lama aksi
PO/IV/IM
Epidural/spinal
Dosis
Analgesia
PO/IM/IV
IV lambat
Epidural
Bolus

: 10 45 menit
: Kurang dari 1 menit
: 1 5 menit
: 2 12 menit
: Kurang dari 1 jam
: 5 20 menit
: 30 50 menit
: 30 menit
: 2 4 jam
: 0,5 3 jam

: 50 150 mg (1 3 mg/kg)
: 25 100 mg (0,5 2 mg/kg)
: 50 100 mg (1 2 mg/kg) Encerkan dalam

atau anestetik lokal


Infus
: 10 20 mg/jam (0,2 0,4 mg/kg/jam)
Spinal

10 mL NS

Bolus

: 10 50 mg (0,2 1 mg/kg) Gunakan larutan 5 % bebas

pengawet (50 mg/mL)


Infus
: 5 10 mg/jam (0,1 0,2mg/kg/jam)

DAFTAR PUSTAKA
Craig, R.Craig and Robert E.Stitzel. (2007). Modern Pharmacology With Clinical Application-6th
Ed. Lippncott Williams & Wilkin. Virginia.
Ganiswarna. (1995). Farmakologi dan Terapi, Jakarta, FKUI

Goodman and Gilman. (2006). The Pharmacologic Basis of Therapeutics 11th Ed.,McGraw-Hill
Companies. Inc, New York.
Katzung, G.Bertram. (2007). Basic & Clinical Pharmacology 10th Ed. The McGraw-Hill Companies.
Inc, New York.
Lllmann, Heinz, [et al.]. (2000). Color Atlas of Pharmacology 2nd Ed. Thieme. New York.
Neal,J.Michael. (2002). Medical Pharmacology at a glance-4th Ed. Blackwell science Ltd. London
Tjay, T. H. dan Rahardja. K. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima Cetakan Kedua. Jakarta : PT.
Elex Media Komputindo.
Latief, Said A, dkk, (2002), Buku Praktis Anestiologi, Bagian Anestiologi dan Terapi Intensif, FKUI,
Jakarta
Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An, (2010), Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi, PT.
Indeks, Jakarta
M u h a r d i d a n S u s i l o . Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah . Bagian Anestiologidan Terapi
Intensif FK-UI, Jakarta 1989. Hal : 199.4 .
O m o r g u i S . B u k u S a k u O b a t - O b a t a n A n a s t e s i . E d . I I , E G C , J a k a r t a , 1 9 9 7 . Hal :
203-207.5 .
S a m e k t o W i b o w o d a n A b d u l G o p u r , Farmakologi Terapi dalam Neuorologi
.Salemba Medika, Jakarta, 2005. Hal : 138-143.6 .
S u n a t r i o . S . ketamin vs Petidin as Analgetic for Tiva with Propofol , MajalahKedokteran
Indonesia, vol : 44, Nomor : 5, 2004. hal : 278-279
Katzung,B.G. Farmakologi Dasar dan Klinik , ed IV.Jakarta :Penerbit BukuKedokteran EGC.
1997.
Mutschler Ernest. Dinamika Obat, Buku Ajar Farmakologi & Toksikologi edisiV. Bandung : Penerbit
ITB.1991.

Anda mungkin juga menyukai