Anda di halaman 1dari 134

ANESTESI INHALASI

ANESTESI INHALASI

Obat anesteai inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi
obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung
ke udara inspirasi. Mekanisme kerja obat anestesi inhalasi sangat rumit masih merupakan misteri dalam farmakologi
modern. Pemberian anestetik inhalasi melalui pernafasan menuju organ sasaran yang jauh merupakan suatu hal yang
unik daklam dunia anestesiologi.

Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditetukan oleh sifat fisiknya:

• Ambilan oleh paru


• Difusi gas dari paru ke darah
• Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya
Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan hipoventilasi akan menurunkan ambilan alveolus. Dalam praktek
kelarutan zat inhalasi dalam darah adalah faktor utama yang penting dalam menentukan kecepatan induksi dan
pemulihannya. Induksi dan pemulihan berlangsung cepat pada zat yang tidak larut dan lambat pada yang larut.

Kadar alveolus minimal ( KAM ) atau MAC ( minimum alveolar concentration ) ialah kadar minimal zat tersebut dalam
alveolus pada tekanan satu atmosfir yang diperlukan untuk mencegah gerakan pada 50 % pasien yang dilakukan insisi
standar. Pada umumnya immobilisasi tercapai pada 95 % pasien, jika kadarnya dinaikkan diatas 30 % nilai KAM. Dalam
keadaan seimbang, tekanan parsial zat anestetik dalam alveoli sama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat
kerja obat.

Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh:

• Konsentrasi inspirasi.
Teoritis kalau saturasi uap anestetik di dalam jaringan sudah penuh, maka ambilan paru berhenti dan konsentrasi uap
inpirasi sama dengan alveoli. Hal ini dalam praktek tak pernah terjadi. Induksi makin cepat kalau konsentrasi makin tinggi,
asalkan tak terjadi depresi napas atau kejang laring. Induksi makin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas kedua).

• Ventilasi alveolar
Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin tinggi dan sebaliknya.

• Koefisien darah/gas
Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah, makin rendah konsentrasi dalam alveoli dan sebaliknya.

• Curah jantung atau aliran darah paru


Makin tinggi curah jantung makin cepat uap diambil

• Hubungan ventilasi perfusi


Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas anestetik. Jumlah uap dalam mesin anestesi bukan merupakan
gambaran yang sebenarnya, karena sebagian uap tersebut hilang dalam tabung sirkuit anestesi atau ke atmosfir sekitar
sebelum mencapai pernafasan.

ELIMINASI

Sebagian besar gas anestesi dikeluarkan lagi oleh badan lewat paru. Sebagian lagi dimetabolisir oleh hepar dengan
sistem oksidasi sitokrom P450. Sisa metabolisme yang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal.

N2O

N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monooksida) diperoleh dengan memanaskan amonium nitrat
sampai 240ºC.

NH4NO3 –240 ºC —- 2H2O + N2O

N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara.
Zat ini dikemas dalam bentuk cair dalam silinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter dengan tekanan 750 psi atau 50
atm.

Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesianya
kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan
sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestesi lain seperti halotan dan sebagainya. Pada akhir anestesi
setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah
hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit.

HALOTAN

Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya yang enak dan tidak merangsang jalan napas,
maka sering digunakan sebagai induksi anestesi kombinasi dengan N2O. Halotan harus disimpan dalam botol gelap
(coklat tua) supaya tidak dirusak oleh cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%. Selain untuk induksi dapat juga untuk
laringoskopi intubasi, asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan dierikan analgesi semprot lidokain
4% atau 10% sekitar faring laring. Setelah beberapa menit lidokain kerja, umumnya laringoskop intubasi dapat dikerjakan
dengan mudah, karena relaksasi otot cukup baik.

Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada napas kendali sektar 0,5-1 vol% yang tentunya
disesuaikan dengan respon klinis pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak
yang sulit dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah otak. Kelebihan dosis
menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Kebalikan
dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada indikasi
kontra. Kombinasi dengan adrenalin sering menyebabkan disritmia, sehingga penggunaan adrenalin harus dibatasi.
Adrenalin dianjurkan dengan pengenceran 1:200.000 (5 μg/kg).

Pada bedah sesar, halotan dibatasi maksimal 1 vol%, karena relaksasi uterus akan menimbulkan perdarahan. Halotan
menghambat pelepasan insulin, meninggikan kadar gula darah. Kira-kira 20% halotan dimetabolisir terutama di hepar
secara oksidatif menjadi komponen bromin, klorin, dan asam trikloro asetat. Secara reduktif menjadi komponen fluorida
dan produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin. Metabolisme reduktif ini menyebabkan hepar kerja keras, sehingga
merupakan indikasi kontra pada penderita gangguan hepar, pernah dapat halotan dalam waktu kurang tiga bulan atau
pasien kegemukan. Pasca pemberian halotan sering menyebabkan pasien menggigil.

ENFLURAN

Enfluran (etran, aliran) merupakan halogenisasi eter dan cepat populer setelah ada kecuriagan gangguan fungsi hepar
oleh halotan pada pengguanan berulang. Pada EEG menunjukkan tanda-tanda epileptik, apalagi disertai hipokapnia,
karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan riwayat epilepsi, walaupun ada yang beranggapan bukan indikasi
kontra untuk dpakai pada kasus dengan riwayat epilepsi. Kombinasi dengan adrenalin lebih aman 3 kali dibanding
halotan.

Enfluran yang dimetabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin. Ssisanya
dikeluarkan lewat paru dalam bentuk asli. Induksi dan pulih dari anestesia lebih cepat dibanding halotan. Vasodlatasi
serebral antara halotan dan isofluran.

Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi
lebih kuat dibanding halotan, depresi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik
dibanding halotan.

ISOFLURAN

Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau subanestetik menurunkan laju
metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran
darah otak dan tekanan intrakranial ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak
digunakan untuk bedah otak.

Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. Isofluran dengan konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil
menyebabkan relaksasi dan kurang responsif jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat menyebabkan
perdarahan pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.

DESFLURAN

Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat
mudah menguap dibandingkan dengan anestetik volatil lainnya, sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus (TEC-6).
Titik didihnya mendekati suhu ruangan (23.5ºC). potensinya rendah (MAC 6.0%). Ia bersifat simpatomimetik
menyebabkan takikardia dan hipertensi. Efek depres napasnya seperti isofluran dan etran. Desfluran merangsang jalan
napas atas, sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesia.

SEVOFLURAN

Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan.
Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang mnyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran
dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.
Walaupun dirusak oleh kapur soda (soda lime, baralime), tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap tubuh
manusia.

PERBEDAAN ANESTETIK INHALASI

Tabel 1. fisik dan kimia anestetik inhalasi

Anestetik inhalasi N2O Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran

Berat molekul 44 197 184 184 168 200

Titik didih(ºC) -68 50-50.2 56.6 48.5 22.8-23.5 58.5

Tekanan Uap(mmHg) 5200 243-244 172-174.5 238-240 669-673 160-170

Bau Manis Organik Eter Eter Eter Eter

Turunan eter Bukan Bukan Ya Ya Ya Ya

Pengawet - Perlu - - - -

Koef partisi darah/gas 0.47 2.4 1.9 1.4 0.42 0.65

Dengan kapur soda 40 ºC Stabil Tidak Stabil Stabil stabil Tidak

MAC (KAM) 37 ºC Usia 104-105 0.75 1.63-1.70 1.15-1.20 6.0-6.6 1.80-2.0


30-55 tahun tekana 760
mmHg

Tabel 2. Farmakologi klinik anestetik inhalasi

N2O Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran

Kardiovaskuler TB↑↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓

tekanan darah TB ↓ ↑ ↑ TB atau ↑ TB


Laju nadi
Tahanan vaskuler TB TB ↓ TB ↓↓ ↓
Curah jantung
TB ↓ ↓↓ TB atau ↓ ↓

TB

Respirasi ↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓

Volume tidal ↑ ↑↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑
Laju napas
PaCO2 Istirahat TB ↑ ↑↑ ↑ ↑↑ ↑
’Challenge’
↑ ↑ ↑↑ ↑ ↑↑ ↑

Serebral ↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑ ↑

Aliran darah ↑ ↑↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑
Tekanan intrakranial
Laju metabolisme ↑ ↓ ↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓
’Seizure’
↓↓ ↓ ↑ ↓ ↓ ↓

BlokadePelumpuh otot ↑ ↑↑ ↑↑↑ ↑↑↑ ↑↑↑ ↑↑


non-depol
Ginjal ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓

Aliran darah ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ? ?
Laju filtrasi Glomerulus
Output urin ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ? ?

HeparAliran darah ↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓ ↓

Metabolisme 0.004% 15-20% 2-5% 0.2% <0.1% 2-3%

MESIN DAN PERALATAN ANESTESI

Fungsi mesin anestesi adalah menyalurkan gas atau campuran gas anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik
yang kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat
banyak ragamnya, mulai dari yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh komputer. Mesin yang aman dan ideal
ialah mesin yang memenuhi persyaratan berikut:

• Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat


• Ruang rugi minimal
• Mengeluarkan CO2 dengan efisien
• Bertekanan rendah
• Kelembaban terjaga dengan baik
• Penggunaannya sangat mudah dan aman.
Mesin anestetik adalah teman akrab anestetis atau anestesiologist yang harus selalu siap pakai, kalau akan
dipergunakan. Mesin aestetik modern dilengkapi langsung dengan ventilator mekanik alat pantau.

Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari:

• Sumber O2, N2O dan udara tekan.


• Alat pantau tekanan gas.
• Katup penurun tekanan gas.
• Meter aliran gas.
• Satu aau lebih penguap cairan anestetik.
• Lubang keluar campuran gas.
• Kendali O2 darurat.
• Sumber O2 dan N2O dapat tersedia secara individual menjadi stu-kesatuan mesin anestetik atau dari sentral melalui
pipa-pipa. Rumah sakit besar biasanya menyediakan O2, N2O dan udara tekan secara sentral untukl
disalurkan ke kamar bedah sentral, kamar Bedah rawat jalan, ruang obstetri dan lain-lainya.
• Alat pantau tekanan gas untuk mengetahuhi tekanan gas pasok. Kalau ekanan gas O2 berkurang maka akan ada
bunyi tanda bahaya.
• Katup penurun tekanan gas untuk menurunkan tekanan gas pasok yang masih tinggi, sesuai karakteristik mesin
anestesi.
• Meter aliran gas dari tabung kaca untuk mengatur aliran gas setiap menitnya.
• Penguap cairan anestetik dapat tersedia satu, dua, tiga sampai empat.
• Lubang keluar campuran gasbiasanya berdiameter standar.
• Kendali O2 darurat untuk kadaan darurau yang dapat mengalirkan O2 murni sampai 35-37 liter/menit tanpa melalui
meter aliran gas.
Tabung gas dan tambahannya dan penguap diberi warna khusus untuk mnghindari kecelakaan yang mungkin timbul.
Kode warna yang telah disepakati ialah seperti tabel 3.

Tabel 3. kode warna internasional

Oksigen N2O Udara CO2 Halotan Enflu Isofluran Desfluran Sevofluran


ran

Putih* biru Putih- Abu- merah jingg ungu biru kuning


hitam** abu a

* USA : hijau, **kuning

Mesin anestesi sebelum digunakan harus diperiksa apakah berfungsi baik atau tidak. Beberapa petunjuk dibawah ini
perlu diperhatikan:

• Periksa mesin dan peralatan kaitannya secara visual apakah ada kerusakan atau tidak, apakah rangkaian
sambungannya sudah benar.
• Periksa alat penguap apakah sudah terisi obat dan penutupnya tidak longgar atau bocor.
• periksa apakah sambungan silinder gas atau pipa gas ke mesin sudah benar
• periksa meter aliran gas apakah berfungsi baik.
• pariksa aliran gas O2 dan N2O.

SISTEM ATAU SIRKUIT ANESTESI

Sistem penghantar gas atau sistem anestesia atau sirkuit anestesia ialah alat yang bukan saja menghantarkkan gas atau
uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan napas atau pasien, tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan
mendorongnya dengan aliran gas segar atau dengan mengisapnya dengan kapur soda.

Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:

• Sungkup muka, sungkup laring atau pipa trakea.


• Katup ekspirasi dengan per atau pegas.
• Pipa ombak, pipa cadang. Bahan karet hitam atau plastik transparan anti statik, anti tertekuk.
• Kantong cadang.
• Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2. untuk mencegah terjadinya barotrauma akibat naiknya tekanan gas
yang mendadak tinggi, katup membatasi takanan sampai 50 cmH2O.
Sirkuit anestesi yang populer sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle system), sirkuit magill, sirkuit Bain dan sistem pipa
T atau pipa Y dari Ayre.

SISTEM INSUFLASI

Sistem ini diartikan sebagai penghembusan gas anestetik dengan sungkup muka melalui salah satu sistem ke wajah
pasien tanpa menyetuhnya. Biasanya dikerjakan pada bayi atau anak kecil yang takut disuntik atau pada mereka yang
sedang tidur supaya tidak terbangun (induksi mencuri, steal induction). Untuk mnghindari penumpukan gas CO2, aliran
gas harus cukup tinggi sekitar 8-10 liter/menit. Sistem ini mencemari udara sekitarnya.

Ada yang mengartikan, bahwa sistem ini adalah penghembusan campuran gas anestetik melalui lubang hidung dengan
menggunakan pipa nasofaring. Seperti mealui sungkup, aliran campuran gas juga harus tinggi sekitar 8-10 liter/menit.

TATALAKSANA ANESTESI UMUM INHALASI SUNGKUP MUKA

Indikasi:

• Pada operasi kecil dan sedang di daerah permukaan tubuh dan berlangsung singkat dengan posisi terlentang, tanpa
membuka rongga perut.
• Keadaan umum pasien cukup baik (status fisik I atau II).
• lambung dalam keadaan kosong
Indikasi kontra:

• operasi di daerah kepala dan jalan napas.


• operasi dengan posisi miring atau tertelungkup.
Tatalaksana:

• pasien telah disiapkan sesuai dengan pedoman


• pasang alat pantau yang diperlukan
• siapkan alat-alat dan obat resusitasi
• siapkan mesin anestesi dengan sistem sirkuitnya dan gas anestesi yang digunakannya
• induksi dengan pentothal atau dengan obat hipnotik yang lain
• berikan salah satu kombinasi obat inhalasi *
• awasi pola napas pasien, bila tampak tanda-tanda hipoventilasi berikan napas bantuan intermiten secara sinkron
sesuai dengan irama napas pasien
• pantau denyut nadi dan tekanan darah
• apabila operasi sudah selesai, hentikan aliran gas/obat anestesi inhalasi dan berikan oksigen 100% (4-8 liter/menit)
selama 2-5 menit.
Penyulit: sehubungan dengan efek samping obat dan risiko sumbatan jalan napas atas.

*kombinasi obat anestesi inhalasi:

• N2O + halotan atau


• N2O + enfluran atau
• N2O + isofluran atau
• N2O + sevofluran

ETOMIDATE
Etomidat (Amidat) merupakan obat induksi intravena yang bekerja cepat dengan efek gangguan hemodinamik yang
minimal beserta efek depresi pernafasan yang sedikit. Selain efek hemodinamik yang stabil dan kurang mendepresi
pernafasan obat ini juga bahkan memproteksi fungsi serebral serta lebih aman dibandingkan dengan tiopenton. Etomidat
bersifat tidak stabil dan tidak larut dalam air maka dengan itu etomidat biasanya tersedia 2 mg/ml dalam propylene glycol
(35% dalam vol) dengan pH 6,9 dan osmomalitas s4,640 mOsm/l.

Farmakokinetik

Metabolisme di dalam hepar :

—>
ester hydrolysis carboxylic acid of etomidate
(MAJOR)
etomidate
—>
N-dealkylation ethyl-imidazole-5-carbolylate
(minor)
The major metabolite, the carboxylic acid of etomidate, is inactive.

Ekskresi

Metabolit etomidat diekskresi ke urin sebanyak 85% manakala sisa 15% diekskresikan lewat empedu.

• t1/2(distribusi) = 3 menit
• t1/2(redistribusi) = 30 menit
• t1/2(eliminasi) = 4 jam
• clearance (oleh hepar), Cl = 20 ml/kg/menit
Farmakodinamik

Sistem saraf pusat

Bersifat hipnotik dengan dosis 0,2-0,3 mg/kgIV dengan onse 5-15 menit. Efek hipnotik kemungkinan berasal dari efek
sistem GABA-Adrenergik. Etomidat tidak mempunyai efek analgesik sama sekali. Etomidat menurunkan tekanan
intracranial dan aliran darah serebral. Selain itu dapat menurunkan kadar metabolit oksigen pada otak (CMRO2).
Tekanan mean arteri (MAP) tidak banyak berubah jadi perfusi serebral akan meningkat dan ratio oksigen suplai pada
serebral : demand turut meningkat. Etomidat memberikan gambaran EEG yang mirip dengan barbiturate. Obat ini juga
bisa menyebabkan gerakan mioklonik.

Mata

Menurunkan tekanan intraocular dalam waktu 5 menit

Sistem Kardiovaskuler

Etomidat mempunyai efek yang minimal pada sistem kardiovaskular. Hanya 10% efek dari etomidat yang meningkatkan
nadi. Induksi etomidat dengan dosis 0.3 mg/kg hanya menyebabkan perubahan yang minimal (<10%) pada MAP (Mean
arterial pressure), Stroke volume (SV) dan CVP (central venous pressure). Suplai O2 miokard : demand tetap stabil.

Sistem pernafasan

Depresi pada respon CO2 lebih sedikit berbanding barbiturat. Bolus induksi dapat menyebabkan hiperventilasi pada
permulaan pemberian, bisa juga terjadi apnoe pada awal pemberian, sedikit peningkatan pada PaCO2, bisa timbul
hiccup dan kadang-kadang menyebabkan batuk. Tidak ada penglepasan histamin.

Sistem endokrin

Ciri khas dari etomidat adalah dapat menginhibisi sintesis steroid adrenal. Etomidat memblokir secara reversibel pada 11-
beta-hydroxylase (sedikit pada 17-alpha-hydroxylase) yang menyebabkan penurunan produksi dari kortisol, kortikosteron
dan aldosteron. Mekanisme tersebut berasal dari ikatan imidazole bebas pada sitokrom-P450 yang menghambat sintesis
asam askorbat. Asam askorbat diperlukan dalam memproduksi steroid dalam tubuh. Biasanya Vitamin C diberikan
setelah pasien selesai operasi jika pasien telah diinduksi dengan etomidat.

Dosis

• Induksi 0.2 – 0.4 mg/kg IV


• Rektal induksi (peds) 6.5 mg/kg -> hipnotik dalam 4 menit (hemodinamik stabil, recovery cepat)
• Maintenance:
Diperlukan 300 – 500 ng/ml plasma level

―TECHNIC OF TENS‖:

10×10 = 100 ug/kg/mnt untuk 10 menit berikutnya


10 ug/kg/mnt dan D/C 10 menit sebelum dibangunkan

Efek samping

Menyebabkan nyeri pada injeksi tetapi dapat dikurangi dengan

· Menggunakan sediaan dalam propylene glycol

· Volume yang lebih besar

· Premedikasi

· Pemberian Lidokain 1-2 menit sebelumnya

Dapat menyebabkan gerakan mioklonik dan dapat dikurangi dengan premedikasi benzodiazepine atau obat narkotika
lainnya. Bisa menyebabkan mual dan muntah tapi jarang. Setelah pemberian etomidat dapat terjadi hiccup. Bisa juga
menyebabkan trombophlebitis kebanyakannya pada pemberian sediaan dalam propylene glycol.

Kontraindikasi

Jangan diberikan dalam jangka panjang selama beberapa jam atau hari karena dapat menginhibisi sintesis adrenal
steroid sehingga terjadi penurunan kortisol dan aldosteron.

BENZODIAZEPIN
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan
Midazolam (Versed), diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol.
Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak menyebakan nyeri atau
tromboplebitis tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya yang rendah, midazolam merupakan benzodiazepin yang larut
air yang tersedia dalam larutan dengan PH 3,5.

Mekanisme kerja

Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, anxiolitik, amnestik, antikonvulsan, pelumpuh otot yang
bekerja di sentral. Benzodiazepine bekerja di reseptor ikatan GABAA. Afinitas pada reseptor GABAA berurutan seperti
berikut lorazepam > midazolam > diazepam. Reseptor spesifik benzodiazepine akan berikatan pada komponen gamma
yang terdapat pada reseptor GABA.

Farmakokinetik

Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan muncul setelah 4 – 8 menit setelah diazepam
disuntikkan secara I.V dan waktu paruh dari benzodiazepine ini adalah 20 jam. Dosis ulangan akan menyebabkan
terjadinya akumulasi dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan diazepam didistribusikan secara cepat setelah
injeksi bolus, metabolisme mungkin akan tampak lambat pada pasien tua.

Clearance in ml/kg/min
Short midazolam 6-11
Intermediate lorazepam 0.8-1.8
Long diazepam 0.2-0.5
Farmakodinamik

Sistem saraf pusat

Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi otot dan mepunyai efek sedasi, efek analgesik tidak ada,
menurunkan aliran darah otak dan laju metabolisme.

Sistem Kardiovaskuler

Menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan menurunkan cardiac out put. Ttidak mempengaruhi frekuensi denyut
jantung, perubahan hemodinamik mungkin terjadi pada dosis yang besar atau apabila dikombinasi dengan opioid.

Sistem Pernafasan

Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal , depresi pusat nafas mungkin dapat terjadi pada pasien
dengan penyakit paru atau pasien dengan retardasi mental.
Sistem saraf otot

Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supraspinal dan spinal , sehingga sering digunakan
pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka.

Dosis

Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.

· Untuk preoperatif digunakan 0,5 – 2,5mg/kgbb

· Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 – 5 mg

· Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena.

· Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.

Efek samping

Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika digunakan sebagai sedasi. Lorazepam dan diazepam dapat
menyebabkan iritasi pada vena dan trombophlebitis. Benzodiazepine turut memperpanjang waktu sedasi dan amnesia
pada pasien. Efek Benzodiazepines dapat di reverse dengan flumazenil (Anexate, Romazicon) 0.1-0.2 mg IV prn to 1 mg,
dan 0.5 – 1 mcg/kg/menit berikutnya.

OPIOID
Opioid telah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan tahun. Obat opium didapat dari ekstrak biji buah
poppy papaverum somniferum, dan kata ―opium ― berasal dari bahasa yunani yang berarti getah.

Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids. Morphine, meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, and remifentanil
merupakan golongan opioid yang sering digunakan dalam general anestesi. efek utamanya adalah analgetik. Dalam
dosis yang besar opioid kadang digunakan dalam operasi kardiak. Opioid berbeda dalam potensi, farmakokinetik dan
efek samping.

Mekanisme kerja

Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf pusat dan jaringan lain. Empat tipe mayor
reseptor opioid yaitu , μ,Ќ,δ,σ. Walaupun opioid menimbulkan sedikit efek sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia.
Farmakodinamik dari spesifik opioid tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas ikatan dan apakah reseptornya aktif.
Aktivasi reseptor opiat menghambat presinaptik dan respon postsinaptik terhadap neurotransmitter ekstatori (seperti
asetilkolin) dari neuron nosiseptif.

Farmakokinetik

Absorbsi

Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin intramuskuler, dengan puncak level plasma setelah 20-60
menit. Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan metode efektif menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset
cepat (10 menit) analgesia dan sedasi pada anak-anak (15-20 μg/Kg) dan dewasa (200-800 μg).

Distribusi

Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak yang rendah dan morfin memperlambat laju melewati
sawar darah otak, sehingga onset kerja lambat dan durasi kerja juga Iebih panjang. Sebaliknya fentanil dan sufentanil
onsetnya cepat dan durasi singkat setelah injeksi bolus.

Metabolisme

Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di hepar, aliran darah hepar. Produk akhir berupa bentuk yang
tidak aktif.

Ekskresi

Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10% melewati bilier dan tergantung pada aliran darah hepar. 5 –
10% opioid diekskresikan lewat urine dalam bentuk metabolit aktif, remifentanil dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan
otot polos esterase.
Farmakodinamik

Sistem kardiovaskuler

System kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung maupun tonus otot pembuluh
darah.Tahanan pembuluh darah biasanya akan menurun karena terjadi penurunan aliran simpatis medulla, tahanan
sistemik juga menurun hebat pada pemberian meperidin atau morfin karena adanya pelepasan histamin.

Sistem pernafasan

Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan frekuensi nafas, dengan jumlah volume tidal
yang menurun .PaCO2 meningkat dan respon terhadap CO2 tumpul sehingga kurve respon CO2 menurun dan bergeser
ke kanan, selain itu juga mampu menimbulkan depresi pusat nafas akibat depresi pusat nafas atau kelenturan otot nafas,
opioid juga bisa merangsang refleks batuk pada dosis tertentu.

Sistem gastrointestinal

Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan lambung juga terhambat

Endokrin

Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat stress anesthesia dan pembedahan, sehingga
kadar hormon katabolik dalam darah relatif stabil.

Dosis dan pemberian

Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb atau intravena 0,5 mg/Kgbb, sedangakan morfin sepersepuluh
dari petidin dan fentanil seperseratus dari petidin.

KETALAR ( KETAMIN )
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki struktur mirip dengan phencyclidine.
Ketamin pertama kali disintesis tahun 1962, dimana awalnya obat ini disintesis untuk menggantikan obat anestetik yang
lama (phencyclidine) yang lebih sering menyebabkan halusinasi dan kejang. Obat ini pertama kali diberikan pada tentara
amerika selama perang Vietnam.

Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan ―rapid acting non barbiturate general anesthesia‖.
Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965 yang digunakan
sebagai anestesi umum.

Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri
kepala, pasca anasthesi dapat menimbulkan muntah – muntah , pandangan kabur dan mimpi buruk.

Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti
anesthesia, dan sering disebut dengan emergence phenomena.

Mekanisme kerja

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang
memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan
juga efek analgesik.

Farmakokinetik

Absorbsi

Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau intramuskular

Distribusi

Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan ke seluruh organ.10 Efek muncul dalam 30
– 60 detik setelah pemberian secara I.V dengan dosis induksi, dan akan kembali sadar setelah 15 – 20 menit. Jika
diberikan secara I.M maka efek baru akan muncul setelah 15 menit.

Metabolisme
Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi beberapa metabolit yang masih aktif.

Ekskresi

Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan melalui ginjal.

Farmakodinamik

Susunan saraf pusat

Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang
disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai
gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Itu
merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin. Apabila diberikan secara
intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode
pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan darah
intrakranial.

Konsentrasi plasma (Cp) yang diperlukan untuk hipnotik dan amnesia ketika operasi kurang lebih antara 0,7 sampai 2,2
µg/ml (sampai 4,0 µg/ml buat anak-anak). Pasien dapat terbangun jika Cp dibawah 0,5µg/ml.

Ketamin merupakan suatu reseptor antagonis N-Metil-D-aspartat (NMDA) yang non kompetitif yang menyebabkan :

· Penghambatan aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat

· Mengurangi pembebasan presinaps glutamat

· Efek potensial Gamma-aminobutyric acid (GABA)

Pemberian Ketamin dapat menyebabkan efek psikologis yang berupa:

· Perasaan ekstrakorporeal (merasa seperti melayang keluar dari badan)

· Salah persepsi, salah interpretasi dan ilusi

· Euphoria, eksitasi, kebingungan dan ketakutan

· 20%-30% terjadi pada orang dewasa

· Dewasa > anak-anak

· Perempuan > laki-laki

Mata

Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka spontan, terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat
peningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis.

Sistem kardiovaskuler

Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga bisa meningkatkan tekanan darah dan jantung.
Peningkatan tekanan darah akibat efek inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.

Sistem pernafasan

Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi. dapat menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat
simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan pada pasien asma.

Dosis dan pemberian

Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular apabila akses pembuluh darah sulit didapat
contohnya pada anak – anak. Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara I.V atau I.M. Dosis induksi
adalah 1 – 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 – 10 mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan
harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan.

Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu. Pemberian secara intermitten diulang setiap 10 –
15 menit dengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai.3 Dosis obat untuk menimbulkan efek sedasi
atau analgesic adalah 0,2 – 0,8 mg/kg IV atau 2 – 4 mg/kg IM atau 5 – 10 µg/kg/min IV drip infus.

Bioavailabilitas

Route % bioavailabilitas
Nasal 50
Oral 20
IM 90
Rektal 25
Epidural 77

Efek samping

Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi
dan perasaan lelah , halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan efek mioklonus
pada otot rangka selain itu ketamin juga dapat meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata dapat menyebabkan
terjadinya nistagmus dan diplopia.

Kontra indikasi

Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks seperti yang telah disebutkan diatas, maka penggunaannya
terbatas pada pasien normal saja. Pada pasien yang menderita penyakit sistemik penggunaanya harus dipertimbangkan
seperti tekanan intrakranial yang meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi intrakranial, tekanan
intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada operasi intraokuler. Pasien yang menderita penyakit
sistemik yang sensitif terhadap obat – obat simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dll.

BARBITURAT ( TIOPENTAL )
Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang lebih dikenal dengan nama sodium Penthotal, Thiopenal,
Thiopenton Sodium atau Trapanal yang merupakan obat anestesi umum barbiturat short acting, tiopentol dapat mencapai
otak dengan cepat dan memiliki onset yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah mencapai puncak
konsentrasi dan setelah 5 – 10 menit konsentrasi mulai menurun di otak dan kesadaran kembali seperti semula.9 Dosis
yang banyak atau dengan menggunakan infus akan menghasilkan efek sedasi dan hilangnya kesadaran.

Beberapa jenis barbiturat seperti thiopental [5-ethyl-5-(1-methylbutyl)-2-thiobarbituric acid], methohexital [1-methyl-5-allyl-


5-(1-methyl-2-pentynyl)barbituric acid], dan thiamylal [5-allyl-5-(1-methylbutyl)-2-thiobarbituric acid]. Ada juga turunan
barbiturat yang dipakai sebagai induksi seperti secobarbital dan pentobarbital tetepi penggunaannya sangat jarang.
Thiopental (Pentothal) dan thiamylal (Surital) merupakan thiobarbiturates, sedangan methohexital (Brevital) adalah
oxybarbiturate.

Walaupun terdapat beberapa barbiturat dengan masa kerja ultra singkat , tiopental merupakan obat terlazim yang
dipergunakan untuk induksi anasthesi dan banyak dipergunakan untuk induksi anestesi.8

Mekanisme kerja

Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana barbiturat akan menyebabkan hambatan pada reseptor GABA
pada sistem saraf pusat, barbiturat menekan sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan polisinap komplek dari saraf dan
pusat regulasi, yang beberapa terletak dibatang otak yang mampu mengontrol beberapa fungsi vital termasuk kesadaran.
Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus lebih berpengaruh pada sinaps saraf dari pada akson. Barbiturat
menekan transmisi neurotransmitter inhibitor seperti asam gamma aminobutirik (GABA). Mekanisme spesifik diantaranya
dengan pelepasan transmitter (presinap) dan interaksi selektif dengan reseptor (postsinap).

Farmakokinetik

Absorbsi

Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan secara intravena untuk induksi anestesi umum pada orang
dewasa dan anak – anak. Perkecualian pada tiopental rektal atau sekobarbital atau metoheksital untuk induksi pada anak
– anak. Sedangkan phenobarbital atau sekobarbital intramuskular untuk premedikasi pada semua kelompok umur.

Distribusi

Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh selanjutnya akan diikat oleh jaringan saraf
dan jaringan lain yang kaya akan vaskularisasi, secara perlahan akan mengalami difusi kedalam jaringan lain seperti hati,
otot, dan jaringan lemak. Setelah terjadi penurunan konsentrasi obat dalam plasma ini terutama oleh karena redistribusi
obat dari otak ke dalam jaringan lemak.

Metabolisme

Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif.

Ekskresi

Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine, dimana eliminasi terjadi 3 ml/kg/menit dan pada anak – anak terjadi 6
ml/kg/menit.

Farmakodinamik

Pada Sistem saraf pusat

Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan hiperalgesia pada dosis subhipnotik, menghasilkan
penurunan metabolisme serebral dan aliran darah sedangkan pada dosis yang tinggi akan menghasilkan isoelektrik
elektroensepalogram.Thiopental turut menurunkan tekanan intrakranial. Manakala methohexital dapat menyebabkan
kejang setelah pemberian dosis tinggi.

Mata

Tekanan intraokluar menurun 40% setelah pemberian induksi thiopental atau methohexital. Biasanya diberikan
suksinilkolin setelah pemberian induksi thiopental supaya tekanan intraokular kembali ke nilai sebelum induksi.

Sistem kardiovaskuler

Menurunkan tekanan darah dan cardiac output ,dan dapat meningkatkan frekwensi jantung, penurunan tekanan darah
sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan karena efek depresinya pada otot jantung,
sehingga curah jantung turun, dan dilatasi pembuluh darah. Iritabilitas otot jantung tidak terpengaruh, tetapi bisa
menimbulkan disritmia bila terjadi resistensi CO2 atau hipoksia. Penurunan tekanan darah yang bersifat ringan akan pulih
normal dalam beberapa menit tetapi bila obat disuntik secara cepat atau dosisnya tinggi dapat terjadi hipotensi yang
berat. Hal ini terutama akibat dilatasi pembuluh darah karena depresi pusat vasomotor. Dilain pihak turunnya tekanan
darah juga dapat terjadi oleh karena efek depresi langsung obat pada miokard.

Sistem pernafasan

Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas terhadap CO2 menurun terjadi penurunan frekwensi nafas dan
volume tidal bahkan dapat sampai menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik. Dapat juga menyebabkan refleks
laringeal yang lebih aktif berbanding propofol sehingga menyebabkan laringospasme. Jarang menyebabkan
bronkospasme.

Dosis

Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg. Untuk menghindarkan efek negatif dari tiopental tadi sering
diberikan dosis kecil dulu 50-75 mg sambil menunggu reaksi pasien.

Efek samping

Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan memberikan obat ini kepada pasien yang memiliki
riwayat alergi terhadap barbiturat, sebab hal ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis yang jarang terjadi,
barbiturat juga kontraindikasi pada pasien dengan porfiria akut, karena barbiturat akan menginduksi enzim d-
aminoleuvulinic acid sintetase, dan dapat memicu terjadinya serangan akut. Iritasi vena dan kerusakan jaringan akan
menyebakan nyeri pada saat pemberian melalui I.V, hal ini dapat diatasi dengan pemberian heparin dan dilakukan blok
regional simpatis

PROPOFOL
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang
Diprivan. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi.

Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak –
anak usia lebih dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol dan minyak soybean, sedangkan pertumbuhan kuman
dihambat oleh adanya asam etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut sangat tergantung pada pabrik pembuat
obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml
= 10 mg) dan pH 7-8 Obat ini juga kompatibel dengan D5W.

Mekanisme kerja
Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui ,tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor
GABA – A (Gamma Amino Butired Acid).

Farmakokinetik

Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat protein plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar
menjadi suatu metabolit tidak aktif, waktu paruh propofol diperkirakan berkisar antara 2 – 24 jam. Namun dalam
kenyataanya di klinis jauh lebih pendek karena propofol didistribusikan secara cepat ke jaringan tepi. Dosis induksi cepat
menyebabkan sedasi ( rata – rata 30 – 45 detik ) dan kecepatan untuk pulih juga relatif singkat. Satu ampul 20ml
mengandung propofol 10mg/ml. Popofol bersifat hipnotik murni tanpa disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot.

Farmakodinamik

Pada sistem saraf pusat

Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa
disetai efek analgetik, pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat
menyebabkan perubahan mood tapi tidak sehebat thiopental. Dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan
intraokular sebanyak 35%.

Cp50 – respon terhadap perintah hilang (verbal ) = 2.3 – 3.5 mcg/ml

Pemeliharaan : 1.5-6 mcg/ml

Pasien bangun: < 1.6 mcg/ml

Pasien terorientasi: < 1.2 mcg/ml

Pada sistem kardiovaskuler

Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun
sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi. Ini diakibatkan Propofol mempunyai efek mengurangi pembebasan
katekolamin dan menurunkan resistensi vaskularisasi sistemik sebanyak 30%. Pengaruh pada jantung tergantung dari :

· Pernafasan spontan – mengurangi depresi jantung berbanding nafas kendali

· Pemberian drip lewat infus – mengurangi depresi jantung berbanding pemberian secara bolus

· Umur – makin tua usia pasien makin meningkat efek depresi jantung

Pada sistem pernafasan

Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus dapat menyebabkan henti nafas
kebanyakan muncul pada pemberian diprivan. Secara lebih detail konsentrasi yang menimbulkan efek terhadap sistem
pernafasan adalah seperti berikut:

· Pada 25%-40% kasus Propofol dapat menimbulkan apnoe setelah diberikan dosis induksi yang bisa berlangsung
lebih dari 30 saat.

• Pemberian 2,4 mg/kg:


ü Memperlambat frekuensi pernafasan selama 2 menit

ü Volume tidal (VT) menurun selama 4 menit

• Pemberian 100 µg/kg/min:


ü Respons CO2 sedikit menurun

ü VT berkurang 40% ,frekuensi pernafasan meningkat 20%

• Pemberian 200 µg/kg/min:


ü Hanya sedikit mendepresi VT

ü paCO2 menurun

Dosis dan penggunaan


a) Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.

b) Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan I.V infus

c) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 – 150 µg/kg/min IV (titrate to effect).

d) Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila digabung penggunaanya dengan obat
anastesi yang lain.

e) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi yang minimal 0,2%

f) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol
dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.

Efek Samping

Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah
vena, nyeri pada pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidokain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin
dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara
I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi
menggunakan propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati – hati pada pasien dengan
gangguan metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat menyebabkan
kejang mioklonik (thiopental < propofol < etomidate atau methohexital). Phlebitis juga pernah dilaporkan terjadi setelah
pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat jarang. Terdapat juga kasus terjadinya nekrosis jaringan pada
ekstravasasi subkutan pada anak-anak akibat pemberian propofol.

OPIOID
Opioid telah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan tahun. Obat opium didapat dari ekstrak biji buah
poppy papaverum somniferum, dan kata ―opium ― berasal dari bahasa yunani yang berarti getah.

Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids. Morphine, meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, and remifentanil
merupakan golongan opioid yang sering digunakan dalam general anestesi. efek utamanya adalah analgetik. Dalam
dosis yang besar opioid kadang digunakan dalam operasi kardiak. Opioid berbeda dalam potensi, farmakokinetik dan
efek samping.

Mekanisme kerja

Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf pusat dan jaringan lain. Empat tipe mayor
reseptor opioid yaitu , μ,Ќ,δ,σ. Walaupun opioid menimbulkan sedikit efek sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia.
Farmakodinamik dari spesifik opioid tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas ikatan dan apakah reseptornya aktif.
Aktivasi reseptor opiat menghambat presinaptik dan respon postsinaptik terhadap neurotransmitter ekstatori (seperti
asetilkolin) dari neuron nosiseptif.

Farmakokinetik

Absorbsi

Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin intramuskuler, dengan puncak level plasma setelah 20-60
menit. Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan metode efektif menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset
cepat (10 menit) analgesia dan sedasi pada anak-anak (15-20 μg/Kg) dan dewasa (200-800 μg).

Distribusi

Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak yang rendah dan morfin memperlambat laju melewati
sawar darah otak, sehingga onset kerja lambat dan durasi kerja juga Iebih panjang. Sebaliknya fentanil dan sufentanil
onsetnya cepat dan durasi singkat setelah injeksi bolus.

Metabolisme

Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di hepar, aliran darah hepar. Produk akhir berupa bentuk yang
tidak aktif.

Ekskresi

Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10% melewati bilier dan tergantung pada aliran darah hepar. 5 –
10% opioid diekskresikan lewat urine dalam bentuk metabolit aktif, remifentanil dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan
otot polos esterase.
Farmakodinamik

Sistem kardiovaskuler

System kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung maupun tonus otot pembuluh
darah.Tahanan pembuluh darah biasanya akan menurun karena terjadi penurunan aliran simpatis medulla, tahanan
sistemik juga menurun hebat pada pemberian meperidin atau morfin karena adanya pelepasan histamin.

Sistem pernafasan

Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan frekuensi nafas, dengan jumlah volume tidal
yang menurun .PaCO2 meningkat dan respon terhadap CO2 tumpul sehingga kurve respon CO2 menurun dan bergeser
ke kanan, selain itu juga mampu menimbulkan depresi pusat nafas akibat depresi pusat nafas atau kelenturan otot nafas,
opioid juga bisa merangsang refleks batuk pada dosis tertentu.

Sistem gastrointestinal

Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan lambung juga terhambat

Endokrin

Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat stress anesthesia dan pembedahan, sehingga
kadar hormon katabolik dalam darah relatif stabil.

Dosis dan pemberian

Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb atau intravena 0,5 mg/Kgbb, sedangakan morfin sepersepuluh
dari petidin dan fentanil seperseratus dari petidin

OPIOID DAN KETERGANTUNGAN


Walaupun telah ditemukan berbagai jenis obat analgetik lain, opiat tetap merupakan pilihan utama sebagai terapi nyeri.
Namun diperkirakan lebih kurang 2 juta penduduk Indonesia dari semua tingkat golongan terutama usia produktif telah
terjerumus mengkonsumsi dan menjadi korban ketergantungan narkoba.

Salah satu jenis ketergantungan obat yaitu ketergantungan zat opiat (morfin, heroin, methadon) yang mengakibatkan
gangguan fisik dan psikis.

Menurut Weisman ketergantungan obat, primer adalah problema neurologi, yang mengakibatkan problema psikologi
sekunder.

Ada korelasi antara reseptor opioid, kecanduan dan mekanisme dan segala penyakitnya. Manipulasi reseptor
opioid berperan dalam kasus ketergantungan opiat yang merupakan metode penyembuh ketergantungan obat dekade
terakhir ini.

OPIUM, OPIAT DAN OPIOID :

Opium adalah getah papaver somniferum yang telah dikeringkan yang banyak ditemukan di Turki dan India.

Tepung opium terdiri dari berbagai unsur tetapi unsur farmakologi aktif adalah alkaloid (25 jenis ) yang pertama kali
diisolasi oleh Sturner (1803).

Alkaloid yang diperoleh dari opium dapat digolongkan kedalam dua grup yaitu grup fenantren dan benzili isoquinolin.
Morfin adalah alkaloid utama grup fenantren sedangkan papaverin mewakili isoquoinolin.

Pengaruh narkotiktergantung cincin nitrogen tertiair dan potensinya (analgesi,hipnosis, depressi nafas), tergantung pada
gugus hidroksil fenolik struktur inti fenantren, dimana terbukanya cincin fenantren akan menghilangkan efek narkotik.

Sedangkan gugus hidroksi alkoholik berhubungan dengan stimulasi susunan saraf pusat(SSP) yang mengkounter efek
depressi dari gugus fenolik.

Bila atom H pada gugusan fenolik diganti maka efek analgetik narkotik dan depressi nafas akan menurun sebaliknya bila
atom H pada gugusan hidroksil alkoholik diganti umpama dengan acetil maka efek narkotik dan depressi nafas akan
meningkat.
Opiat adalah obat yang diperoleh dari alkaloid opium umpama morfin. Opioid adalah zat zat yang sifatnya mirip morfin
berikatan dengan reseptor spesifik. Opioid yang diisolasi dari berbagai struktur otak dimana reseptor opiat ada disebut
opioid endogen (endorfin berasal dari endogen dan morfin).

Opioid eksogen adalah opioid yang disintese/ semi sintesis seperti heroin ,metadon,petidin. Opioid endogen adalah
antara lain met dan leuenkefalin, dinorfin dan alfa,beta,gamma dan delta endorfin, semua endorfin sama aktif dengan
morfin kecuali beta endorfin (5-10) kali lebih poten dari morfin.

Endorfin terutama ditemukan di hipotalamus yang berfungsi analgesia, euforia dan perubahan tingkah laku.

Sementara yang ditemukan dihipopisa berfungsi mengatur vasopresin,prolaktin dan hormon pertumbuhan. Beta endorfin
dilepas kedalam ventrikel III dari axon yang berasal dari hipotalamus melalui Liquor Cerebro Spinalis (LCS) menuju
medulla spinalis dan dapat mensupresi hantaran nyeri di substansia glatinosa. Metionin dan leusin enkefalin, 2 macam
zat yang diisolasi oleh Hughes (1975) dalam flipotrofin hipopise, mirip dengan pentapeptida yang memiliki khasiat seperti
morfin. Enkefalin tersebar luas pada batang otak,substansia abu-abu dan substansia glatinosa medulla spinalis dan
saluran pencernaan, bekerja sebagai neuromodulator ketika dilepas disubstansia glatinosa menghambat substansi P dan
pelepasan astilkolin pada otak.

Diketahui bahwa substansi P merupakan neurotransmitter yang menstimulasi reseptor neurokinin(NK-I) pada ujung
aferen serabut C dikornu dorsalis medulla spinalis membuka pintu gerbang masuknya ion calsium menggeser ion
magnesium dari reseptor NMDA sehingga meningkatkan eksitabilitas sel.

Opioid diklasifikasi sebagai agonis,agonis antagonis dan antagonis, ada juga memasukkan agonis parsial. Disebut agonis
bila hubungan dengan reseptor dapat menghasilkan efek maksimal yang bergantung dosis yang diberikan

(morfin,meferidin,fentanil dan lain lain). Agonis antagonis, opioid yang bekerja sebagai agonis pada satu jenis reseptor
dan bersifat antagonis terhadap reseptor lain(pentazocin).

Antagonis adalah opioid yang tidak punya efek pada dosis klinis tetapi dapat berkompetisi menggeser agonis dari
reseptornya (Nalokson). Agonis parsial tidak dapat nenghasilkan efek penuh pada reseptor dan tidak dipengaruhi
dosis yang diberikan (bufrenorfin).

KLASSIFIKASI OPIOID :

=============================================================

AGONIS ANTAGONIS AGONIS ANTAGONIS

=============================================================

Morfin Nalokson Pentazosin

Meperidin Naltrexon Butarfanol

Fentanil

Nalbufin Sufentanil Bufrenorfin
 Penoferidin Na


lorfin
 Kodein Bremazosin

Metadon Dezosin
 Heroin

Hidromorfin

RESEPTOR OPIOID :

Kita ketahui reseptor obat ialah makromolekul yang umumnya molekul enzim atau komponen fungsional dari sel bisa
terletak pada membran sel.didalam atau diluar sel. Penggabungan obat dengan reseptor merupakan reaksi permulaan
dalam satu rangkaian reaksi yang pada akhirnya menimbulkan efek obat.

Dengan menggambarkan bahwa semua obat harus bergabung dengan suatu reseptor dulu berbagai fenomena efek
obat,seperti hubungan antara dosis dan efek dan antara waktu dan efek lebih mudah dimengerti. Bagaimana mekanisme
kerja opiat(opioid) sampai menimbulkan efeknya harus ada penggabungan dengan reseptornya.
Pada tahun 1954 Becket dan Casey memulai konsep farmakologi tentang adanya tempat ikatan spesifik opioid yang
kemudian disebut reseptor opioid.

Martin Cs menemukan tiga macam reseptor opioid pada anjing yaitu reseptor U(Mu),K(Kappa) dan S(Sigma), dimana
reseptor U(Mu)(m dari morfin) bertanggung jawab terhadap analgesia supraspinal, euforia, ketergantungan dan depresi
nafas terutama terletak pada brain stem/thalamus.

Reseptor K(Kappa) (K dari ketocyclazocine) satu analgetik tipe agonis antagonis yang bertanggung jawab terhadap efek
spinal analgesi,sedai,miosis, dan depresi nafas terutama terletak pada kortek serebri.

Reseptor S(Sigma) (S dari SKF 10047) suatu benzomorfan dengan aktifitas yang aneh yaitu eksitasi dan
haluksinasi,Kemudian ditemukan reseptor delta (d dari vasdeferen tikus) yang diaktifkan secara selektif olehopioid
endogen (leu dan met enkefalin) yang bekerja memodulasi reseptormu. Reseptor epsilon(e dari endorfin) terutama
diaktifkan oleh peptida endogen beta endorfin.

Kemudian ditemukan subtipa mu (mu1 dan mu2) dimana reseptor mu1 bertanggung jawab atas analgesia opiat
sedangkan mu2 bertanggung jawab terhadap depresi nafas, bradikardi dan ketergantungan opiat.

Tetapi kloning reseptor mu tidak berhasil menunjukkan adanya reseptor subtipe mu1 dan mu2. Reseptor mu, kappa dan
delta merupakan reseptor yang terlibat dalam mekanisme antinosiseptif dengan opioid yang diberikan secara sistemik
atau secara lokal pada permukaan medulla spinalis. Terletak di medulla spinalis terutama di substansia glatinosa (lamina
I &V) dan akar dorsalis.

Sedangkan distribusi yang lebih luas dan diffus berada dalam substansia abu abu diseluruh medulla spinalis sesuai
tempat berakhirnya serabut C di medulla spinalis.
 Perbandingan distribusi reseptor kappa,mu,dan delta dalam medulla
spinalis adalah 50%,40% & 10%.

Reseptor opioid tersebar di SSP dari konsentrasi paling tinggi sampai paling rendah adalah globus palidus, substansia
abu-abu periakuaduktal, medial thalamus, amigdala,area pontine,medulla oblongata,caudatus, putamen,lateral thalamus,
hipothalamus ,cerebellum dan girus hipokampus.

Menurut Jacquet ada dua reseptor utama di SSP :

1.Reseptor endorfin yang punya affinitas streospesifik untuk
 opiat yang memediasi efek analgesi dan katatoni
dan
 sensitif terhadap naloxon dikenal sebagai reseptor mu.

2.Reseptor yang punya afinitas non streospesifik opiat
 berhubungan dengan explosive motor behaviour tetapi
 insensitif
terhadap naloxon oleh Lord dan Kosterlitz
 dikenal sebagai reseptor delta.

Reseptor endorfin punya affinitas terhadap morfin dan endorfin bila ditempati opiat akan menginhibisi aktifitas reseptor
kedua. Bila tidak diduduki opiat atau diduduki antagonis maka akan muncul explosive behaviour seperti sindroma
abstinensia. Reseptor delta punya afinitas terhadap hormon adrenokortikotropin peptida, pemakaian adreno kortikotropin
kedalam substansia abu-abu perakuadektal akan menimbulkan sindrome abstinensia. Untuk menyeragamkan klassifikasi
reseptor opiat sejak tahun 1997,International Union of Pharmacology (Unphar) telah mengklassifikasikan reseptor opiat
sebagai OP1(untuk delta),OP2(untuk K) dan OP3(untuk Mu).

AFINITAS DAN KEMANJURANNYA:

Bergantung pada afinitas reseptor opioid yang berlainan dapat menimbulkan efek samping yang berbeda atau berbeda
pula dalam mudahnya naloxon mengantagonis kerja opioid tersebut. Dari penelitian ternyata kebanyakan opioid tidak
begitu berbeda afinitasnya terhadap jenis reseptor.
 Kecuali bufrenorfin semuanya menunjukkan afinitas yang tinggi
terhadap reseptor Mu(OP3) sedangkan terhadap kappa(OP2) hanya moderat dan kemanjurannya tinggi. Afinitas
kemanjuran petidin dan fentanil sama dengan morfin biarpun obat ini sedikit lebih aktif terhadap reseptor K(OP2).

Pentazosin afinitasnya moderat tidak manjur terhadap reseptor Mu (OP3) (antagonis) tetapi afinitas rendah dan sangat
manjur terhadap reseptor K(OP2) jadi merupakan analgesik reseptor K(OP2).

Bufrenorfin mempunyai afinitas lebih tinggi terhadap reseptor K(OP2) daripada reptor Mu (OP3). Kemanjurannya rendah
dan merupakan agonis parsial.

Meth kefamid satu analog enkefalin lebih kuat dari morfin pada pemberian secara prenteral,bereaksi terhadap reseptor
delta(OP1) dan Mu(OP3) dan menunjukkan toleransi menyilang terhadap morfin.

Naloxon adalah antagonis murni dari reseptor Mu(OP3)
 kappa(OP22) dan delta(OP1).
 Diperlukan dosis dua kali lebih
besar untuk memblok reseptor kappa(OP2) daripada reseptor Mu(OP3) dan dosis 20x untuk memblok reseptor
delta(OP1).
RESEPTOR,TOLERANSI DAN KETERGANTUNGAN:

Toleransi adalah fenomena pemakaian obat secara kronis sehingga dibutuhkan dosis obat yang lebih besar. Toleransi
dapat timbul pada semua pasien yang menggunakan narko analgesik lebih dari 1-2 minggu.

Tanda pertama timbulnya toleransi adalah menurunnya efek analgetik yang efektif. Toleransi bisa terjadi oleh sebab
bawaan dan didapat,toleransi bawaan adalah berkurangnya sensitivitas tubuh terhadap obat yang diturunkan secara
genetik, sedangkan toleransi yang didapat bisa disebabkan proses farmakokinetik dan farmakodinamik.

Pemberian obat berulang akan menimbulkan perubahan distribusi dan metabolisme obat sehingga terjadi penurunan
konsentrasi obat dalam darah dan selanjutnya penurunan konsentrasi obat direseptor obat, atau perubahan densitas
reseptornya.

Karakteristik toleransi terhadap opiat adalah penurunan intensitas dan durasi analgesi ,euforia,sedasi dan efek lain yang
diakibatkan depressi SSP dan peningkatan dosis letal rata-rata. Toleransi terhadap mual muntah sedasi,euforia dan
depresi nafas terjadi secara cepat sedangkan toleransi terhadap konstipasi dan miosis adalah minimal.

Ketergantungan fisik adalah kecenderungan terjadinya sindroma abstinensia(withdrawal)(putus obat) bila dosis obat
dikurangi secara tiba tiba atau bila diberikan antagonis opiat.
 Mekanisme terjadinya toleransi dan ketergantungan fisik
terhadap agonis opiat belum diketahui pasti.

Pemakaian kronis obat narkotik dapat menyebabkan kelainan SSP berupa bertambahnya jumlah reseptor opiat yang
menjadi aktif diotak sesuai dengan jumlah opiat yang ada dalam darah. Dengan PET Scan (Positron Emission Tonografi)
dapat diketahui topografi struktur otak yang mengandung reseptor opiat dan kaitannya dengan efek obat pada tubuh.

Dengan PET Scan dapat pula diketahui bahwa penggunaan opiat secara kronis dapat merangsang penambahan jumlah
reseptor opiat diotak.

Jumlah reeptor yang banyak ini mengakibatkan timbulnya craving (Sugesti,rasa rindu pada narkotik).
 Pemakaian opiat
yang terus menerus akan menimbulkan kerusakan sistem keseimbangan alami opiat endogen yang dihasilkan otak yang
pada gilirannya menyebabkan kelainan SSP berupa distres fisis dan aspek sekunder psikologis.

Telah diketahui bahwa sel noradrenergik lokus Sereleus (LS) (Nucleus pigmentosus) yang berada didasar ventrikel IV
adalah satu sistem noradrenergik utma otak yang berperan dalam respons stress perilaku seseorang.

Tampaknya hiperaktifitas sel LS merupkan faktor penting yang berperan dalam proses ketergantungan, toleransi dan
gejala putus obat pada manusia dan binatang (Resmich &Romussen)

Pada struktur dan fungsi membran sel LS banyak dijumpai reseptor spesifik dan klonidin. Bila opiat dan klonidin berikatan
dengan reseptornya dimembran sel khuusnya komplex protein GI(inhibisi) maka akan menghambat enzim siklase
adenilat sehingga produksi cAMP dan protein kinase berkurang,hal ini mengakibatkan saluran ion kalium terbuka
sekaligus menutup saluran ion natrium sehingga aktivitas seluler terhambat.

Bila opioid dipakai secara kronis maka sel sel LS beradaptasi terhadap opiat dengan menaikkan jumlah CAMP dan
protein kinase intra sel sehingga sel menjadi aktif kembali dan menunjukkan toleransi terhadap pemberian berikutnya.

Jadi opiat dikeluarkan dari reseptor dengan cara menmberi antagonis (naloxon,naltreon) maka sel-sel LS menjadi
hiperaktif dan banyak melepaskan hormon stress nor adrenalin otak yang akan memicu gejala putus obat (withdrawal)
dikenal dengan istilah Cold Turkey oleh karena spasmo dari otot otot polos rambut (merinding).Bagaimana proses
adaptasi selseol LS bisa terjadi pada penggunaan opiat kronis belum sepenuhnya diketahui, diduga adanya neuropeptida
kolesistokinin dan N metil D Aspartat(NMDA) sebagai reseptor glutamat yang berperan sebagai sistem neurotransmitter
anti opiat yang menimbulkan toleransi opiat.

Pengaruh positif penggabungan reseptor glutamat metbotropik group I dan fosfodilinisitol hidroksil(mungkin juga reseptor
sigma) cenderung menaikkan aktifitas protein kinase C (PKC) bersama-sama fosforilisasi reseptor opiat Mu (OP3)
(proses desensitisasi ) dan peningkatan arus masuknya ion Ca melalui hubungan saluran ion dan resptor NMDA.

Kemungkinan lain adalah pengaruh negatip penggabungan reseptor glutamat metabotropik grup II dan III dan produksi
cAMP memberi kontribusi peningkatan cAMP.

Berdasarkan analisis ligan radio isotop seperti Naloxon H3,fentanil isotiosinat,diinditifikasi adanya reseptor pada
permukaan limposit. Dan makrofag/monosit manusia. Diketahui fungsi makrofag antara lain mensekrei sitokin interleukin
I(II-I) sebagai substansi aktif pengatur fungsi tubuh penting melalui hormon pelepas kortikotropin maupun sel LS dalam
sirkuit saraf komplex yang nengatur suhu badan,makanan,pola tidur dan perilaku seseorang.

Morfin sendiri dapat menghambat proliferasi makrofag sehingga dapat dipahami kekurangan sitokin interleukin( II-I) akan
menimbulkan gangguan terhadap respons stress melalui mekanisme seperti diatas. Jadi ketergantungan obat merupkan
gangguan fisiologi yang meliputi desensitisasi dan penambahan reseptor Mu desensitisasi rseptor asam amino glutamat
bahkan termasuk supressi sistem imun sitokin II-I.

Dalam hal ketergantungan dan toleransi tampaknya ada perbedaan antara masing-masing reseptor opioid. Pada reseptor
Mu agonis selalu memudahkan toleransi dan ketergantungan, pada reseptor K toleransi ada tetapi ketergantungan
kurang menonjol,sementara reseptor delta agonis juga kurang ketergantungan.

BARBITURAT ( TIOPENTAL )
Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang lebih dikenal dengan nama sodium Penthotal, Thiopenal,
Thiopenton Sodium atau Trapanal yang merupakan obat anestesi umum barbiturat short acting, tiopentol dapat mencapai
otak dengan cepat dan memiliki onset yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah mencapai puncak
konsentrasi dan setelah 5 – 10 menit konsentrasi mulai menurun di otak dan kesadaran kembali seperti semula.9 Dosis
yang banyak atau dengan menggunakan infus akan menghasilkan efek sedasi dan hilangnya kesadaran.

Beberapa jenis barbiturat seperti thiopental [5-ethyl-5-(1-methylbutyl)-2-thiobarbituric acid], methohexital [1-methyl-5-allyl-


5-(1-methyl-2-pentynyl)barbituric acid], dan thiamylal [5-allyl-5-(1-methylbutyl)-2-thiobarbituric acid]. Ada juga turunan
barbiturat yang dipakai sebagai induksi seperti secobarbital dan pentobarbital tetepi penggunaannya sangat jarang.
Thiopental (Pentothal) dan thiamylal (Surital) merupakan thiobarbiturates, sedangan methohexital (Brevital) adalah
oxybarbiturate.

Walaupun terdapat beberapa barbiturat dengan masa kerja ultra singkat , tiopental merupakan obat terlazim yang
dipergunakan untuk induksi anasthesi dan banyak dipergunakan untuk induksi anestesi.8

Mekanisme kerja

Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana barbiturat akan menyebabkan hambatan pada reseptor GABA
pada sistem saraf pusat, barbiturat menekan sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan polisinap komplek dari saraf dan
pusat regulasi, yang beberapa terletak dibatang otak yang mampu mengontrol beberapa fungsi vital termasuk kesadaran.
Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus lebih berpengaruh pada sinaps saraf dari pada akson. Barbiturat
menekan transmisi neurotransmitter inhibitor seperti asam gamma aminobutirik (GABA). Mekanisme spesifik diantaranya
dengan pelepasan transmitter (presinap) dan interaksi selektif dengan reseptor (postsinap).

Farmakokinetik

Absorbsi

Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan secara intravena untuk induksi anestesi umum pada orang
dewasa dan anak – anak. Perkecualian pada tiopental rektal atau sekobarbital atau metoheksital untuk induksi pada anak
– anak. Sedangkan phenobarbital atau sekobarbital intramuskular untuk premedikasi pada semua kelompok umur.

Distribusi

Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh selanjutnya akan diikat oleh jaringan saraf
dan jaringan lain yang kaya akan vaskularisasi, secara perlahan akan mengalami difusi kedalam jaringan lain seperti hati,
otot, dan jaringan lemak. Setelah terjadi penurunan konsentrasi obat dalam plasma ini terutama oleh karena redistribusi
obat dari otak ke dalam jaringan lemak.

Metabolisme

Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif.

Ekskresi

Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine, dimana eliminasi terjadi 3 ml/kg/menit dan pada anak – anak terjadi 6
ml/kg/menit.

Farmakodinamik

Pada Sistem saraf pusat

Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan hiperalgesia pada dosis subhipnotik, menghasilkan
penurunan metabolisme serebral dan aliran darah sedangkan pada dosis yang tinggi akan menghasilkan isoelektrik
elektroensepalogram.Thiopental turut menurunkan tekanan intrakranial. Manakala methohexital dapat menyebabkan
kejang setelah pemberian dosis tinggi.

Mata

Tekanan intraokluar menurun 40% setelah pemberian induksi thiopental atau methohexital. Biasanya diberikan
suksinilkolin setelah pemberian induksi thiopental supaya tekanan intraokular kembali ke nilai sebelum induksi.

Sistem kardiovaskuler

Menurunkan tekanan darah dan cardiac output ,dan dapat meningkatkan frekwensi jantung, penurunan tekanan darah
sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan karena efek depresinya pada otot jantung,
sehingga curah jantung turun, dan dilatasi pembuluh darah. Iritabilitas otot jantung tidak terpengaruh, tetapi bisa
menimbulkan disritmia bila terjadi resistensi CO2 atau hipoksia. Penurunan tekanan darah yang bersifat ringan akan pulih
normal dalam beberapa menit tetapi bila obat disuntik secara cepat atau dosisnya tinggi dapat terjadi hipotensi yang
berat. Hal ini terutama akibat dilatasi pembuluh darah karena depresi pusat vasomotor. Dilain pihak turunnya tekanan
darah juga dapat terjadi oleh karena efek depresi langsung obat pada miokard.

Sistem pernafasan

Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas terhadap CO2 menurun terjadi penurunan frekwensi nafas dan
volume tidal bahkan dapat sampai menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik. Dapat juga menyebabkan refleks
laringeal yang lebih aktif berbanding propofol sehingga menyebabkan laringospasme. Jarang menyebabkan
bronkospasme.

Dosis

Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg. Untuk menghindarkan efek negatif dari tiopental tadi sering
diberikan dosis kecil dulu 50-75 mg sambil menunggu reaksi pasien.

Efek samping

Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan memberikan obat ini kepada pasien yang memiliki
riwayat alergi terhadap barbiturat, sebab hal ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis yang jarang terjadi,
barbiturat juga kontraindikasi pada pasien dengan porfiria akut, karena barbiturat akan menginduksi enzim d-
aminoleuvulinic acid sintetase, dan dapat memicu terjadinya serangan akut. Iritasi vena dan kerusakan jaringan akan
menyebakan nyeri pada saat pemberian melalui I.V, hal ini dapat diatasi dengan pemberian heparin dan dilakukan blok
regional simpatis.

ANESTESI INTRAVENA
Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik
atau analgetik maupun pelumpuh otot. Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obat – obat ini akan diedarkan ke
seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target organ masing –masing dan akhirnya
diekskresikan sesuai dengan farmakodinamiknya masing-masing.

Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah
pemberian dihentikan. Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat
minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi
dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal.

Pemilihan teknik anestesi merupakan hal yang sangat penting, membutuhkan pertimbangan yang sangat matang dari
pasien dan faktor pembedahan yang akan dilaksanakan, pada populasi umum walaupun regional anestesi dikatakan lebih
aman daripada general anestesi, tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa teknik yang satu lebih baik dari yang lain,
sehingga penentuan teknik anestesi menjadi sangat penting.

Pemahaman tentang sirkulasi darah sangatlah penting sebelum obat dapat diberikan secara langsung ke dalam aliran
darah, kedua hal tersebut yang menjadi dasar pemikiran sebelum akhirnya anestesi intravena berhasil ditemukan.

SEJARAH

William Morton , tahun 1846 di Boston , pertama kali menggunakan obat anestesi dietil eter untuk menghilangkan nyeri
selama operasi. Di jerman tahun 1909, Ludwig Burkhardt, melakukan pembiusan dengan menggunakan kloroform dan
ether melalui intravena, tujuh tahun kemudian, Elisabeth Brendenfeld dari Swiss melaporkan penggunaan morfin dan
skopolamin secara intravena. Sejak diperkenalkan di klinis pada tahun 1934, Thiopental menjadi ―Gold Standard‖ dari
obat – obat anestesi lainnya, berbagai jenis obat-obat hipnotik tersedia dalam bentuk intavena, namun obat anestesi
intravena yang ideal belum bisa ditemukan.
TOTAL INTRAVENA ANESTESI (TIVA)

TIVA adalah teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat anestesi yang dimasukkan lewat jalur
intravena tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O. TIVA digunakan buat mencapai 4 komponen penting dalam
anestesi yang menurut Woodbridge (1957) yaitu blok mental, refleks, sensoris dan motorik. Atau trias A (3 A) dalam
anestesi yaitu

1. Amnesia

2. Arefleksia otonomik

3. Analgesik

4. +/- relaksasi otot

Jika keempat komponen tadi perlu dipenuhi, maka kita membutuhkan kombinasi dari obat-obatan intravena yang dapat
melengkapi keempat komponen tersebut. Kebanyakan obat anestesi intravena hanya memenuhi 1 atau 2 komponen di
atas kecuali Ketamin yang mempunyai efek 3 A menjadikan Ketamin sebagai agen anestesi intravena yang paling
lengkap.

Kelebihan TIVA:

1. Kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat di titrasi dalam dosis yang lebih akurat sesuai yang
dibutuhkan.

• Tidak menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada operasi sekitar jalan nafas atau paru-paru.
• Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin yang khusus.

DEFINISI ANESTESI INTRAVENA

Teknik anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan dengan memasukkan obat langsung ke dalam pembuluh
darah secara parenteral, obat-obat tersebut digunakan untuk premedikasi seperti diazepam dan analgetik narkotik.
Induksi anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga digunakan sebagai pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada
tindakan analgesia regional.10

Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat – obat anestesi dan yang digunakan di indonesia hanya
beberapa jenis obat saja seperti, Tiopenton, Diazepam , Dehidrobenzoperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.

INDIKASI ANESTESI INTRAVENA

1. Obat induksi anesthesia umum

2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat

3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat

4. Obat tambahan anestesi regional

5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi)

CARA PEMBERIAN

1. Sebagai obat tunggal :

Induksi anestesi

Operasi singkat: cabut gigi

2. Suntikan berulang :

Sesuai kebutuhan : curetase

3. Diteteskan lewat infus :

Menambah kekuatan anestesi


VENTILASI MEKANIK
Tahun 1934 tuan Guedel buat pertama kalinya memperkenalkan nafas terkendali (control respirasi) dalam dunia anestesi.
Problema pneumothorak pada kasus-kasus thoracotomi yang berpuluh tahun menjadi momok bagi ahli bedah dan
anestesi kini dapat diatasi dengan pernafasan terkendali.

Lebih luas lagi penggunaan pernafasan terkendali dalam menciptakan kondisi operasi yang optimal, bersamaan dengan
penggunaan obat-obat pelemas otot sangat banyak membantu ahli bedah dan anestesi memperpendek masa operasi
,penghematan penggunaan darah dan obat-obat anestesi serta cepatnya masa pemulihan, Kemudian lebih
dikembangkan lagi dalam mencegah atau mengatasi kegagalan pernafasan dengan penggunaan alat mekanis
(ventilator) di unit perawatan intensif. Demikian banyaknya manfaat yang diberikannya namun tak sedikit juga masalah
yang ditimbulkannya.

II. Definisi Ventilasi Mekanik:
 Ventilasi mekanik adalah ventilasi yang sebagian atau seluruhnya dilaksanakan
dengan bantuan mekanis.

Sasaran:

1. Menjamin ventilasi dan oksigenasi yang adekuat.

2. Beberapa obat pelemas otot menciptakan kondisi operasi yang optimal:
 a. Sedikit penggunaan obat-obat anestesi
sehingga pasien cepat sadar.

b. Mengurangi perdarahan di lapangan operasi sehingga lapangan operasi cukup jelas dan pemakaian darah lebih
hemat.

c. Relaksasi otot cukup baik sangat banyak mengurangi beban operator sehingga masa operasi lebih singkat.

III. Ventilator

Alat untuk memberikan ventilasi buatan secara mekanis.
 Ada 2 macam :

a.ventilator tekanan negatif.
 b.ventilator tekanan positif.

Ad.a. Ventilator ini membuat tekanan negatif (tekanan < 1 atmosfer) di sekeliling tubuh sehingga dada akan
mengembang akibatnya tekanan intrathorakal dan alveolar turun dan udara luar masuk keparu.

Contoh :

Cabinet ventilator, kepala pasien saja diluar ventilator.

Cuirass ventilator, hanya dada dan abdomen saja didalam ventilator.

Ad.b. Ventilator ini disebut juga intermitten pressure ventilator, memberikan tekanan positif diatas 1 atmosfer (dalam hal
ini satu atsmosfer dianggap sama dengan nol ), pada jalan nafas (airway) untuk memventilasi paru.

Di klassifikasikan ke dalam 3 type:

1.Pressure cycle ventilator.

2.Volume cycle ventilator

3.Time cycle ventilator.

Ad.1.Pressure cycle ventilator:

ventilator bird

Prinsipnya : Inspirasi akan berakhir bila tekanan yang ditetapkan (preset pressure) telah dicapai tidak perduli tidal volume
cukup atau tidak. Lama inspirasi tergantung pada kecepatan aliran gas inspirasi (inspiratory flow rate),makin tinggi flow
rate makin cepat cycling. Pressure dicapai makin pendek pendek masa inspirasi. Setiap ada obstruksi,penurunan
compliance paru,atau peninggian tonus otot polos saluran pernafasan akan mempercepat tercapainya cycling pressure.

Dalam hal ini tidal volume berubah-ubah tergantung kondisi paru,oleh karena itu selama penggunaan pressure cycle
ventilator expired tidal volume harus diukur sesering mungkin untuk mencegah atau mendeteksi terjadinya hypo atau
hyperventilasi. Untungnya terbatas tekanan maksimum pada airway sehingga bahaya barotrauma minimal dan mampu
mengkompensir kebocoran circuit. Sikap kita penggunaan pressure cycle ventilator hanya untuk paru yang sehat dan
jangka pendek

Contoh: Bird,Bennet PR-2.

Ad 2.Volume cycled ventilator :

engstrom

System ini inspirasi akan berakhir bila volume yang ditetapkan(preset volume) telah dicapai tanpa memandang tekanan
yang ditimbulkannya,mampu mengkompensir perubahan pulmonal tapi tak bisa mengkompensir kebocoran circuit. Dalam
hal ini tidal volume konstant sementara tekanan airway berubah-ubah sesuai kondisi paru sehingga bisa saja mencapai
tekanan yang cukup tinggi untuk menimbulkan barotrauma.

Untuk ini perlu valve yang membatasi kenaikan tekanan yang berlebihan (tekanan inflasi) yang dianggap optimal 20-
30cmH2O. Disamping keuntungannya dengan tidal volume yang konstant, jeleknya mesin tetap memompa walaupun
telah terputus hubungan dengan pasien untuk itu perlu system alarm untuk mencegahnya. Walaupun tidal volume
konstant namun pengukuran tidal volume secara periodik diperlukan kemungkinan adanya kebocoran circuit.
 Contoh:
Engstoom,RCF4,Servo,Bear,Bourns.

Ad.3 Time cycled ventilator :
 Dalam system ini masa inspirasi akan berakhir bila waktu yang telah ditetapkan (preset
time) telah dicapai.

Dengan model ini tidal volume konstant tidak tergantung kondisi paru. Walaupun dapat memberikan tidal volume yang
konstant untuk menyesuaikan tidal volume kita perlukan intergrasi ketiga komponen yaitu inspiratory flow rate,inspirasi
time dan inspirasi expirasi ratio.
 Contoh : Engstroom,Radeliff.

Kebutuhan pokok suatu ventilator adalah mampu memberikan tidal volume yang stabil,dalam menghadapi hambatan
terhadap pengembangan paru,harus mampu memberikan tidal volume yang adekuat, mempertahanlkan minute
ventilation dengan perbandingan masa inspirasi dan expirasi minimal 1:1 dalam adanya resistensi yang tinggi terhadap
inflasi paru.

IV. Beberapa pengertian

Untuk mempermudah pengertian dalam membicarakan ventilasi mekanik beberapa istilah mutlak harus diketahui.

1.Respiratory cycle :
 Cyclus saat mulai inspirasi sampai kembali mulai inspirasi, terdiri dari 2 fase:

1.Fase inspirasi (inflasi).
 2.Fase expirasi (exhalasi) terdiri dari:

a.fase deflasi

b.fase expiratory pauze

2. I : E ratio :

Perbandingan lamanya fase inspirasi dan expirasi. Paling baik masa fase expirasi lebih dari setengah respiratory cycle.
Untuk mengurangi hambatan terhadap circulasi minimal I:E ratio 1:1 lebih baik 1:2 atau 1:3.

Kalau frekuensi nafas 15x/menit,dan I: E ratio 1:3 maka masa inspirasi 1/4 respiratory cycle, atau =1/4 x 60/15 detik = 1
detik. Sedangkan masa expirasi 3 detik. Bila masa inspirasi > 1,5 detik,akan terjadi gangguan circulasi bila kurang
dari 0,5 detik akan timbul gangguan distribusi udara (ventilasi) dimana VD/VT ratio > 50%.

3. Peak pressure

Tekanan maksimum yang dicapai pada jalan nafas pasien selama berlangsungnya ventilasi mekanik. Durasi peak
pressure menentukan bentuk gelombang tekanan positif. Bisa saja respiratory cycle dan besarnya peak pressure sama
tapi durasi peak pressure beda. Beberapa ventilator bentuk gelombang tekanan positif bisa diatur. Ada bentuk segitiga
,dome dan trapezium. Ini penting untuk pengembangan atelectase baik dipilih bentuk trapezium,sementara bentuk segi
tiga dipakai untuk kondisi hipovolemik.

4.Peak inspiratory flow rate :

Kecepatan aliran gas maksimum yang diberikan selama inspirasi agar tidal volume yang cukup tercapai. Besarnya yang
diberikan tergantung pada masa inspirasi dan besarnya tidal volume yang diinginkan. Pada tidal volume yang konstant
besarnya inspiratory flow rate yang menentukan panjang pendeknya masa inspirasi. Jadi inspirasi expirasi ratio
ditentukan oleh inspiratory flow rate,frekuensi nafas&tidal volume.
Kita inginkan I:E ratio 1:2 sedangkan frekuensi nafas 15x/menit, sedang tidal volume diinginkan 800 cc,maka inspiratory
flow rate bisa ditentukan :

Respiratory cycle = 60/15 detik = 4 detik

Inspiratory time = 1/3 x 4 detik= 4/3 detik

Ins flow rate = 800 : 4/3 cc/detik

= 800 x 4/3 x 60 cc/menit= 36 L/menit

Pada orang normal,sadar,peak insp,flow rate kira-kira 30-40 L/menit (4-6x minute ventilation).

5.Controled ventilation:
 Pernafasan pasien diambil alih seluruhnya oleh ventilator dimana pasien apnoe.

6.Assisted ventilation/ compensated ventilation:

Pasien bernafas spontan tapi tidal volume tak adekuat, dibantu dengan ventilasi agar tidal volume adekuat. Dalam hal ini
sebagian nafas pasien dikendalikan ventilator ,usaha inspirasi pasien membuat tekanan subatsmosferik pada jalan nafas
mentriger respirator/ventilator agar memberikan ventilasi kepada pasien.

Bila frekuensi nafas pasien > 30x/menit,maka inspirasi pasien tak cukup membuat tekanan negatif untuk mentriger
ventilator. Maka dengan kondisi seperti ini cara assisted tak ideal.

7.Intermittent mandatory ventilation:(IMV)

Konsep IMV ditemukan setelah kegagalan system assisted ventilation. Praktis dengan IMV menghilangkan penggunaan
assisted ventilatior. Dalam hal ini dibiarkan bernafas spontan dengan kecepatan sendiri,pada interval tertentu diberi
ventilasi oleh ventilator tanpa memandang bentuk/frekuensi pernafasan pasien. Jeleknya kadang2 pasien menarik nafas
serentak dengan ventilasi dari ventilator sehingga terjadi overdistensi alvepoli. Penggunaan system IMV sangat populer
dalam proses weaning (penyapihan dari ventilator)

8.Intermittent positive pressure pressure breathing (IPPB):

Pemberian tekanan positif pada waktu inspirasi sedangkan expirasi berjalan pasif, tetapi pasien bernafas spontan tetapi
bila pasien apnoe maka istilah breathing ditukar jadi ventilation atau intermittent positive pressure ventilation(IPPV). IPPV
dengan pemberian tekanan positif pada akhir expirasi (positive end expiratory pressure)(PEEP) disebut juga Continous
Positive Pressure Ventilation (CPPV). Kalau pemberian tekanan positif selama inspirasi sedangkan pada fase
expirasi hanya pada fase deflasi saja diberi tekanan negatif tetapi tidak pada fase expiratory pause maka
disebut Intermittent Positive Negative Pressure Ventilation (IPNPV).

Bila tekanan negatif tersebut diberikan selama periode expirasi disebut Negative End Expiratory Pressure (NEEP).

Bila pada akhir inspirasi,peak pressure dipertahankan beberapa detik disebut End Inspiratory Pauze (EIP). Penggunaan
PEEP pada dasarnya adalah bila dengan IPPV keadaan hipoksemi tak terkoreksi dimana dengan IPPV 50% O2 tak
mampu mempertahankan PaO2 sekitar70mmHg.
 Harapan yang ingin dicapai dengan system PEEP adalah :
 -
meningkatkan functional rasidual capacity (FRC) diatas closing volume.
 - membuka atelectase.

- mencegah penutupan small airway.

- mendorong cairan intra alveolar atau interstitial kembali kedalam kapiler sehingga mengurangi odema
pulmonum.
 Disebut PEEP optimal yaitu pada tekanan berapa tercapai PaO2 maksimal tetapi dengan gangguan circulasi
yang minimal,diperkirakan PEEP sebesar 5 cm H2O mampu menaikkan PaO2 sebesar 60 mmHg.

Harus diingat penggunaan PEEP justru akan lebih mengganggu circulasi ketimbang IPPV karena selama respiratory
cycle tekanan tetap positif dalam thorak,tetapi untungnya tidak seluruh tekanan positif pada PEEP tersebut ditransmisi
kestruktur intrathorak apalagi kondisi paru dengan compliance yang rendah. Bila ada perdarahan,shock ataupun obstruksi
jalan nafas, boleh dikatakan pemakaian PEEP tak ada respons dalam memperbaiki hipoksemia/intra pulmonary shunting.

Penggunaan PEEP pada pernafasan spontan disebut Continous Positive Pressure Breathing(CPPB) atau Continous
Positive Airway Pressure (CPAP). Dimana selama pernafasan spontan diberi tekanan positif baik selama inspirasi
maupun akhir expirasi.

Sebaiknya penggunaan PEEP atau CPAP hati-hati pada keadaan hipovolemi,maupun cardiac output menurun atau
meningginya tekanan intrakranial (ICP).

Pemberian tekanan negatif pada waktu expirasi seperti IPNPV atau NEEP diharapkan mampu mengurangi efek tekanan
positif pada venous return terutama pada pasien shock hipovolemik tetapi sebaiknya diperbaiki dengan blood volume
expander dulu baru NEEP atau IPNPV diberikan. Jangan lupa IPNPV maupun NEEP bisa menimbulkan atelectase/airway
collaps untuk itu hanya digunakan kalau darurat saja. Penggunaan EIP pada dasarnya agar terjamin distribusi ventilasi
yang merata tetapi efek gangguan circulasi menonjol.

9.SIGH :

Adalah periodik hiperinflasi (extra large tidal volume). Secara periodik diberi tidal volume yang besarnya 2-3x normal tidal
volume,untuk meningkatkan compliance paru mencegah mikro atelektasis yang mungkin timbul pada pasein yang diberi
normal tidal volume terus menerus.

Tetapi bila diberi tidal volume 12-15 cc/Kg BB ideal,dengan frekuensi pernafasan 10-12 x permenit,sigh system tak
diperlukan hanya sering bahaya alkalosis. Beberapa ventilator seperti Bear dilengkapi sarana sigh,biasanya daitur
sigh voluime 2-3x tidal volume biasa,sementara frekuensinya 3-5 x per jam.

V. Perbedaan antara pernafasan terkendali(controlled respiration) dengan pernafasan spontan :

Kita ketahui bahwa otot-otot pernafasan terutama diaphragma membantu memperbesar rongga thorak, volume spesifik
gas didalamnya meningkat, sementara tekanannya menurun.

Perbedaan antara tekanan dalam pleura dan alveoli mengatasi elastisitas paru sedangkan perbedaan tekanan antara
alveoli dan udara luar mengatasai tahanan jalan nafas (airway resistance).Besarnya perbedaan kedua tekanan ini
berbeda satu dengan lainnya. Bila pernafasan tenang tanpa obstruksi walaupun dengan kecepatan aliran gas yang tinggi,
perbedaan tekanan melalui airway (antara udara luar dan alveoli) lebih kurang 2 cm H2O sementara antara alveoli dan
intrapleural bervariasi dari -10 cm H2O pada akhir inspirasi sampai -5 cm H2O pada akhir expirasi.

a.Tekanan intra pulmonal

Selama pernafasan spontan udara luar masuk kedalam paru oleh karena perbedaan tekanan yang ditimbulkan antara
mulut dan alveoli. Perbedaan tekanan ini tak seberapa oleh karena hanya untuk mengatasi airway resistance sedangkan
usaha otot-otot pernafasan dipakai untuk mengatasi elastisitas paru. Oleh karena tekanan pada mulut adalah tekanan
atmosfer maka tekanan didalam alveoli selama inspirasi harus subatsmosfer. Menjelang akhir inspirasi tekanan dalam
alveoli menjadi atmosfer lagi. Bila expirasi dimulai tekanan dalam alveoli naik beberapa cm H2O diatas atmosfer dan
perlahan-lahan turun jadi atsmosfer lagi ketika paru kosong (kempis).

Sebaliknya selama respirasi terkontrol dengan tekanan positif tekanan di alveoli meningkat dari satu atsmosfer sampai
lebih kurang 16 cm H2O ( untuk tidal volume 800 cc dengan compliance paru kira-kira 0.05 L / cm H2O ) dan selama
expirasi tekanan turun jadi atsmosfer lagi ketika paru kosong.

b.Tekanan intra pleural :

Selama pernafasan spontan tekanan intrapleural normal lebih kurang – 5 cm H2O, pada akhir expirasi. Selama inspirasi
penurunan lebih besar lagi lebih kurang – 10 cm H2O, dan kembali jadi -5 cmH2O selama expirasi.

Pada respirasi terkontrol bila tidal volume 800 cc, sedangkan compliance paru (CL) 0,05 L /cmH2O tekanan intrapleural
meningkat selama inspirasi dari -5cmH2O jadi + 3cmH2O dan turun jadi -5cmH2O lagi selama expirasi. Kenaikan
sebesar 8cm H2O ini diperoleh dari tidal volume dibagi compliance total (compliance paru dan dinding dada, yaitu 800 :
2×50 =8).

VI.Hubungan antara peak pressure, compliance dan peak inspiratory flow rate :

Agar udara bisa mengalir dari luar ke alveoli, tekanan pada mulut selama inspirasi harus lebih besar dari tekanan dalam
alveoli sebaliknya selama expirasi tekanan pada alveoli lebih besar dari tekanan pada mulut.

Pada akhir inspirasi tekanan pada mulut sama dengan tekanan dalam alveoli. Pada expirasi tekanan pada mulut turun
cepat jadi nol sedangkan dalam alveoli turun lambat sampai nol Perbedaan terbesar tekanan antara mulut dan alveoli
pada saat aliran gas masuk paru paling tinggi. Ketika menjelang akhir inspirasi perbedaan tekanan berangsur-angsur
menurun dan pada akhir inspirasi tak ada aliran lagi dan tekanan sama diseluruh tractus respiratorius.

Makin besar airway resistance, makin besar aliran gas(flow rate) makin besar pula perbedaan tekanan antara mulut dan
alveoli berarti makin tinggi pula peak pressure pada mulut dibanding di alveoli. Pada akhir inspirasi tekanan pada mulut
dicatat dengan manometer sama dengan dialveoli sementara volume udara yang masuk alveoli dapat diketahui bila
compliance paru diketahui. Kita ketahui compliance paru adalah hubungan antara kenaikan volume alveoli dan tekanan
alveoli. Dalam keadaan normal compliance paru 0,05 L/ cm H2O maksudnya setiap kenaikan 1 cmH2O tekanan dalam
alveoli akan menaikkan volume alveoli sebesar 0,05 L= 50 cc.

Biasanya makin besar tekanan pada mulut akan menberikan tidal volume yang lebih besar tetapi dalam keadaan tertentu
dimana airway resistance cukup tinggi atau compliance paru rendah diperlukan tekanan mulut yang lebih tinggi untuk
memberikan tidal volume yang normal.

Tahanan jalan nafas (airway resistance) adalah hubungan antara perbedaan tekanan melalui airway(antara mulut dan
alveoli) dengan kecepatan aliran gas inspirasi (Inspiratory flow rate) dengan kata lain perbedaan tekanan per unit flow
biasanya diukur dalam cmH2O/ L/ detik.

Contoh :

Jika airway resistance 2cmH2O/L/detik

Gas flow melalui airway 30 l/menit (0,5 L/detik)

Maka perbedaan tekanan antara

Mulut dan alveoli 2x 0,5 = 1 cm H2O

Sebaliknya bila diketahui flowgas 30 L/menit

Perbedaan tekanan mulut alvewoli 1 cmH2O

Maka airway resistance 1 : 0,5 = 2 cmH2O/L/detik

Contoh lengkap :

Bila satu ventilator memberikan gas flow dengan kecepatan = 0,5 L/detik(1) kepada pasien dengan compliance = 0,05
L/ cmH2O (2) dan airway resistance = 6 cmH2O/L/detik (3) selama periode = 1 detik (4)

Maka :

Dari (1) & (3) perbedaan tekanan antara mulut &alveoli konstant = 0,5 x 6 = 3 cmH2O (5)

Dan dari ( 1 ) & (4) pertambahan volume alveoli adalah = 0,5 x 1 = 0,5 l (6)

Dengan demikian dari (2) & (6) tekanan dalam alveoli pada akhir periode adalah = 0,5/0,05 = 10 cmH2O (7)

Dan dari (1) & (3) tekanan pada mulut pada permulaan inflasi oleh karena airway resistance adalah = 3 cmN2O

(8) dan dari (7) & (8),tekanan pada mulut tepat sebelum akhir inflasi oleh sebab airway resistance dan tekanan alveoli
adalah
 = ( 10 + 3 ) cmH2O

= 13 cmH2O.

VII. Efek negatif dari pernafasan terkendali :

A. Pengaruh pada cardiovascular
 a.Hilangnya mekanisme thoracic pump :

Turunnya tekanan dalam thorak selama pernafasan spontan tak hanya menyedot udara kedalam paru tapi juga darah
dari luar thorak kedalam vena-vena besar dan jantung. Dengan respirasi terkontrol mekanisme ini terganggu lebih-lebih
bila digunakan PEEP.

Perbedaan tekanan dalam keadaan normal antara vena-vena dalam thorak dan diluar thorak terganggu oleh pengaruh
tekanan positif dalam paru ditransmisi ke dalam struktur intrathorak terutama pasien dengan emphysema pulmonum.
Selama pernafasan spontan tekanan intrathorakal(intra pleural) pada kedalaman inspirasi sebesar – 10 cmH2O
sedangkan selama respirasi terkontrol menjadi + 3 cmH2O hanya pada saat expirasi yang tenang tekanan negatif
intrapleural baik respirasi spontan maupun terkontrol sama besarnya.

Pada akhir inspirasi pada respirasi terkontrol tekanan vena centralis meninggi dan venous gradient menurun akibatnya
venous return menurun, cardiac output menurun dan tekanan darah juga menurun. Dalam keadaan normal keadaan ini
cepat dikompensir oleh kenaikan tekanan vena peripher yang memperbaiki tekanan venous gradient dan mengembalikan
venous return seperti semula.

Pemulihan venous gradient penting untuk mempertahankan cardiac output yang cukup selama respirasi tercontrol, ini
sangat tergantung pada volume darah yang cukup dalam circulasi dan efektivitas tonus vascular. Mekanisme kompensasi
ini bisa menghilang pada keadaan tertentu seperti hipovolemik dan pengaruh obat-obatan. Bila salah satu faktor
tadi terganggu atau fase inspirasi terlalu panjang maka pengaruh tekanan positif terhadap circulasi semakin besar.
Umpama perdarahan yang hebat sangat mengurangi volume darah akan terjadi vasokonstriksi extensif
untuk mengkompensir hipovolemi dan hal ini tak mungkin berlanjut terus apalagi dengan respirasi terkontrol akan
memperburuk circulasi.

b.Tamponade jantung :

Selama fase inspirasi pada respirasi terkontrol jantung tertekan diantara paru yang mengembang dengan tekanan positif
sehingga cardiac output terganggu. Sedangkan pada pernafasan spontan pengaruh ini sangat sedikit oleh sebab tekanan
intrapleural sangat rendah. Makin tinggi tekanan positif makin panjang fase inspirasi (makin besar I:E ratio) makin besar
cardiac tamponade. Tetesan infus sering terlihat melambat ketika tekanan intra thorak meninggi selama inspirasi/inflasi.
Bila kita gunakan CVP tak hanya tekanan vena meningkat tetapi juga fluktuasi akibat variasi tekanan intra thorak akan
terlihat.

c. Gangguan terhadap pulmonary blood flow

Tekanan kapiler pulmonal normal kira-kira 11 cm H2O. Oleh tekanan positif pada alveolar kapiler paru dengan sendirinya
akan tertekan sebagian atau seluruhnya. Walaupun tekanan serendah 6,5 cm H2O dalam paru bisa menurunkan circulasi
kapiler paru dan menambah beban jantung kanan. Ini akan mudah ditolerir oleh kebanyakan pasien tetapi tak mungkin
oleh pasien gagal jantung. Tekanan sedemikian rendah dalam paru cukup untuk mencetuskan gagal jantung kanan.

B. Kerusakan pada paru sendiri
 a.Ruptur alveoli :

Sangat jarang sekali bila berkerja singkat kecuali pasien yang sudah ada bullous emphysematous. Dia katakan dengan
tekanan sebesar 40-80 cmH2O bisa bikin ruptur alveoli pada mamalia yang parunya tak dilindungi rangka thorak. Tetapi
pada paru yang dilindungi rangka thorak dan otot-otot pada binatang hidup diperlukan tekanan 80-140 cm H2O untuk
timbulnya ruptur alveoli. Tekanan intra pulmonary maksimum yang dianggap aman pada mamalia yang sehat kurang
lebih 70 cm H2O. Tekanan yang dibuat dengan reservoir bag jarang melebihi 60 cm H2O. Namun kini banyak alat-alat
yang mampu memberikan tekanan inflasi yang lebih tinggi kemungkinan rusaknya paru harus diwaspadai. Jika diberikan
tekanan yang sama dari luar terhadap thorak/abdomen perlindungan terhadap overdistensi paru dapat diperoleh dan
dalam keadaan tertentu tekanan sampai 230 cm H2O masih bisa ditolerir tanpa kerusakan paru.

b. Distribusi ventilasi yang tak merata ( uneven ventilation) :

Distribusi gas dalam paru dengan ventilasi mekanik umumnya tak merata. Bila ini terjadi maka ventilasi perfusi ratio akan
terganggu. Resiko ini besar kemungkinan terjadi perfusi dengan darah tanpa oksigenasi yang akan menimbulkan
hipoksemia atau intrapulmonary shunting. Pada paru yang sehat biasanya underventilated lung diikuti akhirnya dengan
turunnya aliran darah sehingga dengan demikian shunt bisa dikurangi, sebaliknya bila ventilasi sangat baik sedangkan
perfusi sangat jelek akan menyebabkan wasted ventilation dan meningkatnya physiological dead space sehingga ventilasi
total yang normal akan meningkatkan PaCO2. Uneven ventilasi bisa disebabkan perubahan elastisitas paru yang
terlokalisir atau perubahan dari patency airway seperti pada asthma bronchiale, chronic bronchitis, emphysema dan lain-
lain.

Terpisah dari penyebab pathologis posisi lateral bisa bikin uneven ventilasi oleh sebab menurunnya ventilasi pada
dependent lung, juga retraksi pembedahan dengan membatasi expansi sebagian kecil / besar paru, begitu juga
penumpukan sekresi lokal bisa menyebabkan hal yang sama.

Kita selalu berusaha mengurangi pengaruh tekanan positif terhadap circulasi dengan meninggikan inspiratory flow rate
dimana masa inspirasi diperpendek untuk menurunkan tekanan rata-rata intra pleural hal ini menyebabkan perbedaan
besar tekanan alveoli yang berdekatan. Baik menaikkan inspiratory flow rate maupun tekanan positif pada mulut
kecenderungan terjadinya uneven ventilasi akan lebih besar.

c. Gangguan Asam Basa :

Keseimbangan asam basa akan terganggu setiap deviasi ventilasi alveolar dari normal. Overventilasi akan menurunkan
PaCO2 dan kenaikan pH, sebaliknya underventilasi akan menaikkan PaCO2 dan menurunkan pH walaupun overventilasi
lebih baik dari underventilasi oleh karena pengaruhnya tak seberapa dalam waktu singkat namun keduanya tak diingini.

d. Cerebral Vasokonstriksi :

Overventilasi bisa menyebabkan cerebral vasokonstriksi dan bagaimana mekanismenya belum begitu di mengerti, tetapi
masalahnya karena penurunan PaCO2 dibuktikan oleh Ketty & Smith 1946.

e.Yang lain-lain :

Bila dilakukan respirasi terkontrol tanpa pipa tracheal bisa menyebabkan:

Masuknya sebagian gas keperut tetapi dengan tekanan sampai 15 cmH2O jarang menyebabkan distensi perut. Ruptur
membran timpani pernah dilaporkan selama respirasi terkontrol.

VIII. Kesimpulan :

Penggunaan pernafasan terkontrol jelas bermanfaat dalam mengatasi problem selama perioperatif maupun pengelolaan
kasus dengan gagal nafas. Penemuan ventilator berbagai type sangat banyak membantu pengelolaan kasus gawat nafas
jangka panjang. Kecelakaan yang ditimbulkannya cukup banyak apalagi pengelola yang tak memiliki ketrampilan dan
pengetahuan mengenai physiology pernafasan dan cara kerja ventilator. Telah dikemukakan pula beberapa pengertian
dasar untuk mempelajari ventilasi mekanik serta masalah yang ditimbulkannya.

TERAPI CAIRAN DAN NUTRISI


Terapi cairan bukan sekadar memberi cairan tetapi punya sasaran, ukuran dan cara tertentu bergantung pada situasi dan
kondisi penderita. Terapi cairan identik dengan pemberian obat punya efek samping dan komplikasi untuk memperkecil
dampak negatif ini diperlukan landasan kerja yang legeartis. Yaitu pengertian dasar mengenai keseimbangan cairan dan
elektrolit serta asam basa. Hal inilah yang perlu dimiliki oleh personil yang terlibat dalam penanggulangannya.

Sasaran :
 Mengembalikan keseimbangan cairan dan eletrolit serta asam basa yang terganggu.

Pola gangguan :
 Meliputi gangguan keseimbangan:

- volume

- tonisitas

- komposisi

- asam basa

Strategi:
 Mengenal pola gangguan dan mengatasinya dengan cara :

a. Bila ada shock segera atasi shocknya dengan mengembalikan volume plasma secepat mungkin.

b. Volume interstitial diatasi secara bertahap untuk mencegah overload.

c. Pemilihan jenis cairan yang tepat sehingga volume intra vascular segera terkoreksi dan dampak negatif bisa dicegah.

d. Monitoring yang ketat apalagi penderita dengan kelemahan fungsi jantung dan ginjal.

Kenapa volume intravascular(plasma) harus segera dikoreksi?

Untuk mempertahankan perfusi jaringan vital yang cukup dengan harapan dapat dicegah hipoksia dan acidosisi terutama
otak yang sangat rentan terjadi hipoksia oleh karena konsumsi oksigen otak sangat tinggi, (3,3-3,5)cc/ 100 gram
otak/menit. Bila circulasi berhenti 3 menit saja akan terjadi ischemia otak yang irrepairable dan semua langkah yang
diambil akan sia-sia.

Bagaimana caranya?

Langkah pertama apapun penyebab shocknya buat posisi shock dimana kaki ditinggikan minimal 30 derajat tetapi kepala
tetap datar. Bukan posisi Tredelenburg dimana posisi kepala lebih rendah justru akan menyebabkan odema otak dimana
terjadi bendungan vena diotak apalagi penderita dengan trauma cerebral,disamping diaphragma terdorong kearah thorax
sehingga pengembangan paru terhalang. Dengan posisi shock diharapkan terjadi autotransfusi sebanyak satu liter darah
memperbesar aliran balik jantung dus meningkatkan curah jantung dan volume semenit.Tindakan ini perlu dibudayakan
disamping memang sangat menolong, juga untuk penghematan pemakaian darah terutama pada tindakan operasi besar.

Jangan lupa beri oksigen konsentrasi tinggi diharapkan pengangkutan O2 tak hanya via eritrosit tetapi juga lewat yang
terlarut dalam plasma justru dalam suasana acidosis, Hb lebih mudah melepaskan O2 kejaringan. Sebagai kompensasi
terhadap hipoksia. Pasang infus dengan jarum ukuran besar mulai bagian distal extrimitas superor sinistra untuk yang
right handed, sebaiknya jangan diextrimitas inferior kalau tak terpaksa karena mudah terjadi phlebitis/ thrombosis. Bila
gagal coba v, subclavia /v, jugularis externa/interna. Beri cairan yang tepat dan cepat.

Cairan yang mana yang kita pilih?

Cairan berdasarkan osmolaritas/tonisitas ada 3 macam :
 a. Isotonis : 280 - 300 mosm/L—-> untuk dehidrasi
isotonis
b. Hipertonis : > 300 mosm/L—–>untuk dehidrasi hipotonis

c. Hipotonis : < 280 mosm/L—- > untuk dehidrasi hipertonis

Note : Penentuan type dehidrasi berdasarkan tonisitas sangat penting untuk menyesuaikan type cairan yang diberikan,
pemeriksaan Na plasma atau osmolaritas penting untuk diagnose type dehidrasi. Umumnya kasus pembedahan disertai
dehidrasi isotonis.

Dalam aplikasi klinis ada 3 jenis cairan :

a. Cairan Kristaloid : air dengan kandungan elektrolit atau glukose.

b. Cairan Koloid : Larutan yang mengandung zat terlarut dengan BM antara 20.000 – 110.000 Dalton yang dapat
menghasilkan tekanan osmotik koloid.

c. Cairan khusus : Untuk koreksi indikasi khusus.(NaCl 3%.Bicnat, Mannitol)

Bila ingin memperbaiki volume plasma pilih cairan koloid (plasma, albumin 5%, Dextran) tetapi bila ingin memperbesar
volume plasma (expander) dengan menarik cairan interstitial kedalam intra vascular maka beri (koloid
hiperonkotik)(albumin 25%, dextran 70, Haes steri 10%).

Tapi jangan lupa mengisi ruangan interstitial dengan cairan kristaloid). Bila ingin mengisi ruangan interstitial maka
pilihannya adalah kristaloid(Ringers laktat. NaCl09,9%, Ringers solution) Bila ingin mengisi cairan ECF + ICF maka
pilihannya cairan hipotonis seperti D5% Bergantung problema cairan yang dihadapi maka cairan yang diberikan juga
berbeda.

Untuk replacement terapi syok hipovolemik karena diare, luka bakar digunakan cairan yang paling fisiologis yaitu Ringer
Laktat dimana laktat yang ada dalam RL akan dimetabolisir dihepar melalui jalur glukoneogenik membentuk glukose dan
bikarbonat atau melalui jalur tricarboksilik(laktat—> piruvat —> asetil koenzym A dimana bikarbonat sebagai dapar untuk
acidosis metabolik.

Bila disertai kadar Na rendah, alkalois, retensi kalium, apalagi ada trauma kepala maka NaC/0,9% adalah pilihannya.
Tetapi bila jumlah besar >10% kenaikan volume akan terjadi hiper chloremia, acidosis dilutional dan hipernatrimia.

Bila shock hipovolemi karena perdarahan maka berikan darah kalau tak tersedia beri cairan koloid iso onkotik jumlahnya
sama dengan darah yang hilang (plasma, hemacel, gelafundin, Haes steril 6%) bila ingin memperbesar volume dengan
menarik cairan interstitial kedalam intravascular (plasma expander) beri cairan koloid hiperonkotik seperti Haes streril
10%, Dextran 70 atau albumin 25%.

Bila belum ada indikasi transfusi bisa diberikan kristaloid (3cc untuk 1 cc darah). Untuk replacement dehidrasi air murni
seperti evaporasi, hiperventilasi atau pengganti cairan karena puasa berikan DW 2,5 atau 5%. Untuk mencegah
hipoglikemia, mempertahankan protein atau mencegah ketosis bisa diberi larutan D10%. Sementara untuk maintainance
bisa diberi larutan (D5%+NS ) atau (D5% + 1/4 NS) ditambahkan KCl 20 meq/L.

Luka bakar yang luas dimana banyak plasma yang hilang tentu pilihannya plasma.

Tabel komposisi cairan infus yang tersedia

Cairan Glukosa Na Cl K Laktat osmolaritas

g/L meq/L meq/L meq/L meq/L mosm/kg

=============================================

D5W 50 0 0 0 0 252

RL 0 130 109 4 28 273

D5RL 50 130 109 4 28 525

NS 0 154 154 0 0 308

HES 0 154 154 0 0 310

Albumin5% 0 154 154 0 0 310


Albumin 25% 0 154 154 0 0 310

Nutrisi Parenteral:

Maksudnya memberikan makanan melalui intra vena baik parsial mapun total.

Pemberian makanan pada pasien bisa dengan cara :

a. Peroral

b. Personde

c. Parenteral

Pemberian nutrisi parenteral biasanya karena :
 Tak bisa makan dengan sonde karena tractus gastro intestinal tak
berfungsi atau tak bisa digunakan untuk memberikan istirahat usus post reseksi.

Prinsip :
 Bila usus masih berfungsi dengan baik mutlak pemberian nutrisi haruslah peroral kalau tak bisa makan karena
koma, mual muntah maka alternatif adalah perentetal (pipa lambung).

Pengosongan lambung terganggu pada kebanyakan pasien kritis namun fungsi usus halus umumnya baik. Bising usus
dihasilkan oleh pergerakan udara melalui usus duodenum namun deteksi bising usus tergantung pada pengosongan
udara dari lambung ke duodenum yang mencerminkan pengosongan lambung yang terganggu, maka nutrisi diberikan
lewat usus halus.(If the gut works,use it) . Jangan diberikan parenteral nutrisi kalau hemodinamik tak stabil harus
dikoreksi dulu, atau gagal nafas karena akan memberatkan oleh produksi CO2 yang meningkat dari metabolisme
karbohidrat (KH) kecuali pakai ventilator atau pasca bedah sebelum 24 jam (phase Ebb dimana terjadi peningkatan
stress hormon, resistensi terhadap insulin dan hiperglikemia. Sebaiknya sesingkat mungkin karena banyak dampak
negatifnya, perlu pengawasan yang ketat dan biayanya mahal.

Dampak negatif berupa komplikasi antara lain:
 a. Sehubungan kateter – pneumothorax, emboli udara, thrombosis,
phlebitis sepsis

b. Sehubungan metabolisme : hiperglikemia, hipoglikemia, gangguan asam basa.

c. Gangguan fungsi hati

d. Over Feeding : Pemberian > 35 kcal/kg/24 jam bisa menimbulkan hiperglikemia. Meningkatnya produksi CO2,
hipertriglisedemia.

Tujuan/sasaran :

Memberikan kalori yang cukup untuk mencegah pembakaran makanan cadangan seperti lemak, glikogen dan protein,
agar tak terjadi asidosis akibat hasil antara pembakaran lemak & protein. Mobilisasi lemak untuk keperluan energi disebut
lipolisis sedangkan mobilisasi protein disebut proteolisis dan keadaan ini disebut proses katabolisme.

Ini terlihat berupa meningkatnya hilang nitrogen dan menurunnya berat badan. Juga mempertahankan sistem immun
untuk mengatasi infeksi atau mencukupkan kebutuhan nutrient karena via enteral tak adekuat

Apa saja yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan pemberian parenteral nutrisi (NPE) ?
 Beberapa faktor
antara lain underlying illness, umur, access yang ada, psikiologi pasien dan berapa lama direncanakan pemberiannya.

Berapa banyak kalori yang diberikan ?
 Berdasarkan formula estimasi kebutuhan energi (calculating basal energy
expenditure)(BEE) menurut persamaan Harris Benedict. Rata-rata 25 kcal/kgBB/hari.

BEE (Men) = 66 + ( 13,7 x W) + ( 5x H) – (6.8 x A)

BEE (Woman) = 65,5 + ( 9,6 x W ) + ( 1,7 x H ) – ( 4,7 x A )

W = Weight in kg ; H = Height in cm ; A = Age in Years

BEE dalam kilokalori (kcal) yang dibakar selama 24 jam termasuk energi yang digunakan proses vital dalam kondisi
istirahat (metabolisme, circulasi, respirasi dan termoregulasi).
 Kebutuhan energi ini dipengaruhi beberapa faktor (usia,
derajat stress, status nutrisi dan lain-lain).

Koreksi kebutuhan energi dihitung berdasarkan derajat hipermetabolisme dimana BEE x stress factor.(tergantung kondisi
pasien antara lain):
- Pasca bedah tanpa komplikasi : 1.00 - 1.10

- Peritonitis /sepsis : 1.20 - 1,40

- Multiple organ failure syndrome : 1.20 - 1.40

- Luka bakar luas : 1.20 - 2.00

Actual Energi Expenditure (AEE) = BEE x Strees factor

Alternatif lain dari formula ini dapat menggunakan rule of thumb bahwa kebutuhan energi basal atau saat istirahat lebih
kurang 25cal/kgBB/hari, Setiap kenaikan suhu 1 derajat diatas 37C ditambah 12,5%, Pembedahan 25%, Sepsis 75% dan
luka bakar sampai 100% dari BEE. Cara lain untuk luka bakar : 25 kcal/kgBB + 40 kcal / % BSA burned(luas luka bakar).

Untuk pasien obese gunakan ajusted body weight untuk menghitung BEE.
 Adjusted Body Weight =( ABW – IBW) x
0,25 + IBW

ABW = Actual Body Weight ;IBW = Ideal Body Weight.

Quebbeman dengan bedside indirect calorimetry menemukan kebutuhan kalori pasien pasca trauma berat dan pasien
sepsis berkisar antara 1000 kcal/m2 luas tubuh (Resting Energy Expenditure) setara dengan 25 kcal /kgBB, Berdasarkan
penemuan ini rumus Harris Benedict dengan koreksi metabolik tak perlu diikuti lagi.

Pasien malnutrisi pemberian nutrisi yang hipokalorik lebih ditolerir kira-kira 20-25 kcal/kgBB untuk mencegah terjadinya
refeeding syndrome dimana terjadi pergeseran elektrolit dan cairan.

Karena dimulainya dukungan nutrisi(refeeding), untuk ini perlu diperiksa dan dikoreksi elektrolit setiap hari.setelah
elektrolit normal baru pikirkan bahan nutrisi yang lain.

Pemberian glukose melebihi kebutuhan tak ada gunanya malah merugikan karena produksi CO2 meningkat karena
dalam fase stress umumnya 24 jam pasca bedah /trauma terjadi penurunan metabolisme glukose hingga tinggal 4 mg/kg
BB/menit atau 25-30 kca/kg/hari.

Setelah fase stress dapat diberikan glukosa lebih banyak 25-30 kcal/kgBB/hari atau 5-6 g per kg BB/hari. Coba kita lihat
tabel pertukaran gas selama metabolism dibawah ini.
 ————————————————————————
 Konsumsi
O2 Produksi CO2 Resp.Quotient

per gram per kcal per gram per kcal (RQ)
 KH 0,81 0,20 0,81 0,20 1,0

Fat 1.96 0,22 1,39 0,15 0,7

Protein 0,94 0,24 0,75 0,19 0,8
 ————————————————————————

Nutrisi Parenteral (NPE) dapat menyebabkan hyperglikemia dan ketidak seimbangan elektrolit maka sebaiknya kadar
gula darah diperiksa sebelum mulai NPE dan tiap hari sesudahnya sampai tercapai kadar yang stabil < 220 mg%, kadar
gula darah > 220 mg % dapat menaikan 20% timbulnya infeksi post operatif.Bila tetap hiperglikemia berat lakukan
regulasi cepat yaitu 4 unit regulr insulin(RI) intravena per jam sampai kadar gula darah < 250 mg% ( 4 unit RI tiap jam
dapat menurun kan kadar gula darah 50-75 mg%).

Cairan KH paling aman untuk penderita DM adalah Maltose 10% dosis maksimal satu liter/hari untuk BB<60 kg dan 1,5
liter per hari untuk BB>60 kg. Bila terjadi hipoglikemia <30 mg% beri 3 flacon D40%, antara 30-60 mg% beri 2 flacon dan
bila antara 60-100 mg% beri 1 flacon iv, setiap flacon 25cc D40% dapat menaikkan KGD atau kadar gula darah kira-kira
25-50 mg%, KGD yang diinginkan adalah > = 120 mg%.

Cara lain beri infus 25- 100 cc glukose 50% lanjutkan infus glukose 10% sampai KGD normal.Agar toleransi terhadap
glukose meningkat perlu kesempatan adaptasi 1-2 hari sebelum dosis glukosa ditingkatkan dengan demikian mayoritas
pasien dapat menerima beban glukosa sampai 20 gram perjam tanpa perlu tambahan insulin eksogen.(START SLOW,
GO SLOW) Sebaliknya hipoglikemia juga bisa terjadi jika pemberhentian pemberian glukosa dosis tinggi terhenti
mendadak(rebound hipoglikemia) sebaiknya mengakhiri NPE tak boleh mendadak infus diganti dulu dengan 500 cc D5%
selama 6 jam baru dihentikan (END SLOW).

Dianjurkan cairan glukosa diberikan tak lebih dari 0,4-0,9 g/jam atau tak > 5mg/kg/menit untuk mencegah hiperglikemia
dan lipogenesis. Karena melampaui kecepatan tubuh memetabolisir glukosa bahkan pasien lebih tua, DM, sepsis, mayor
trauma, meningkat kebutuhan insulin untuk mengatur KGD. Perlu diingat bahwa hyperglikemia terutama yang mendapat
insulin eksogen cenderung mendorong gula dan nutrient lain dan elektrolit(Mg, K& Posfat) kedalam cell sehingga terjadi
hipokalimia bila dibawah 2,5 meq/L dan hipoposfatemia < 1,0 meq/L haruslah NPE di stop dulu sampai dinormalisir.
Dilaporkan bila glukosa sebagai sumber energi tunggal (D50-70%) sering timbul hyperglikemia,
hipoglikemia,hiperosmolar dehidrasi, essensial fatty acid deficiency, fatty infiltration of the liver, meningkatnya produksi
CO2 dan meningkatnya ekskresi cathecolamine. Sehingga glukose sebagai sumber energi tunggal kontra indikasi pada
keadaan deffisiensi fatty acid, overhidrasi, diabetes sulit dikontrol, dan hiperkapnia. Bila nutrient diberikan terpisah maka
larutan D20-30% diberikan lewat vena central atau D10% lewat vena perifer.

Dosis asam amino dianjurkan 1,5-2 g/kgBB/hari diberikan setelah kebutuhan kalori dicukupi dengan karbohidrat (KH).
Untuk orang Indonesia dibatasi 1g/kgBB/hari,untuk NPE protein tak boleh lebih dari 1 gram /kgBB/hari. Dengan catatan
setiap pemberian 1 gram nitrogen harus diberikan minimal 200 kcal (perbandingan nitrogen : KH = 1: 200 ) Untuk
mencegah pemakaian protein sebagai sumber energi, ( glukoneogenesis ), perbandingan ini disebut C/N Ratio dalam
keadaan normal C/N Ratio adalah 150 – 250, dalam kondisi stress diperlukan nitrogen lebih banyak C/N Ratio 80-125
dengan catatan 1 gram nitrogen setara dengan 6,25 g asam amino atau protein.

Protein 50 gram per hari memerlukan 1200 kcal atau 300 gram glukose. Ingat walaupun 1 gram asam amino dapat
memberi 4 kalori tetapi kalori dari asam amino tak boleh diperhitungkan untuk memenuhi kebutuhan kalori dimana asam
amino diharapkan untuk regenerasi cell, sintese protein dan enzim vital.Sekali lagi jangan memberi asam amino bila
kebutuhan kalori belum dicukupi.

Dalam memilih komposisi asam amino untuk formula perenteral harus diperhatikan:

Penderita tanpa kelainan ginjal dan hepar berikan yang berisi asam amino essensial dan non essensial yang seimbang.
Penderita dengan kelainan fungsi hepar berikan banyak asam amino rantai bercabang (isoleucine, leucine, valine)
dimana terjadi penurunan asam amino rantai bercabang (BCAA) yang berperan dalam keseimbangan nitrogen,
konsentrasi protein serum tetapi dosis rendah rendah methionine, phenilalanine, tryptophane, sebab bisa berfungsi
sebagai neurotransmitter palsu dan menyebabkan encephalopathi. BCAA merupakan sumber glutamin sangat dianjurkan
pada kasus ensefalopati hepatik dan merupakan asam amino yang sangat penting untuk mendukung metabolik pada
pasien sepsis dan kritis lainnya. Karena protein dalam bentuk ini akan meningkatkan input protein total. Glutamin banyak
terdapat dalam plasma dan intracellular merupakan pembawa nitrogen antar organ penting khususnya antar organ
pembentuk(otot,hepar) dengan tempat penggunaannya (usus,limposit,paru) bila terjadi deplesi glutamin(sepsis) akan
terjadi atropi usus, otot maupun sel endothel paru, gangguan barrier mukosa usus, translokasi bakteri akhirnya
MOSF(Multiple organ system dysfunction).

Dalam keadaan normal merupakan asam amino non essensial tetapi dalam kondisi kritis (stress metabolic) menjadi
essensial disebut conditionally amino acid.Glutamin dapat meningkatkan respon immun melalui sintese purin, pirimidin
dan glutation.Termasuk dalam daftar immunonutrient dalam konsep immunonutrisi dengan memodulasi sistem immun
baik stimulasi maupun supressi. Biasanya diberikan 0,5g/kgBB/hari. Penderita dengan kelainan ginjal berikan asam
amino essensial tanpa mengandung elekrolit terutama ion kalium.

Anjuran pemberian nitrogen pada gagal ginjal akut :

Bila pemberian asam amino> 0,4-0,5g/hari beri asam amino essensial dan non essensial. Pasien non dialisis bila
pemberian asam amino 0,4-0,5g/kgBB//hari beri campuran asam amino atau dalam bentuk protein 0,6-1,0g/kgBB/hari.
Pada dialisis intermittent berikan protein 1,1-1,2 g/kgBB/hari. Pada continous renal replacement therapy (CRRT) beri
1,5g/kgBB/hari.

Kebutuhan energi tetap terpenuhi (30-45)kcal/kgBB/hari dengan ratio KH:Fat =70:30. Larutan asam amino standard untuk
parenteral nutrisi tersedia dalam konsentrasi 5-15%. Biasanya terdiri dari 40-50% asam amino essensial dan 50-60%
non essensial memberikan 4kcal/gram. Lemak sangat baik sebagai sumber kalori karena produksi CO2 sedikit tetapi
tubuh tak bisa hidup dengan membakar lemak saja haruslah dikombinasi dengan glukose atau KH lain,dimana lemak tak
punya sparing effect dengan protein seperti KH. Kalori dari lemak dianjurkan tak lebih dari 50% kalori total, 50% sisanya
harus berasal dari glukosa umpama kebutuhan kalori total 1200 kcal maka 150 gram glukose = 600 kcal maka sisanya
700 gram lemak ( 1 g lemak = 9 kalori).

Untuk NPE pasien kritis sebaiknya kecepatan infus tak> 0.11 g/kgBB/jam <20% total kalori. Sumber kalori dari KH (
glukose,dextrose,sorbitol atau xylitol) dari lemak(intralipid 10&20%). Disamping pemberian nutrisi jangan lupa pemberian
vitamin dan mengoreksi asam basa dan elekrolit. Semua yang diberikan harus diperhitungkan juga dari segi ekonomi dan
side effect. Kebutuhan biologik normal yang didapat dari pengambilan makanan peroral untuk pembentukan kalori kira-
kira 25 -30 kcal/kgBB /hari terdiri dari : 60% KH, 15% protein & 25% fat,dalam kondisi normal dan 45% KH, 25% protein &
30% fat dalam kondisi hiperkatabolik.

Untuk pemberian nutrisi perinfus haruslah didasarkan pada perhitungan :
 1 gram KH memberikan 4 kalori

1 gram protein 4 kalori

1 gram lemak 9 kalori

1 gram alkohol 7 kalori.


Contoh :

Dextrose 5% artinya dalam 100 cc larutan ada 5 gram dextrose, dalam satu flabot 500cc =5×5 g = 25g, jumlah kalori yang
diberikan 1 flabot D5% adalah 25×4 kalori = 100 kalori .Untuk memenuhi kebutuhan 1000 kalori berarti harus diberikan 10
flabot = 5000 cc akibatnya penderita bisa kebanjiran.

Jangan salah tingkah infus emulsi lemak ditakuti terjadi emboli lemak, thrombo phlebitis, infus D10% bikin phlebitis dan
nyeri sehingga diberikan D5% kombinasi satu botol asam amino; atau memberi larutan asam amino untuk mengganti
protein yang hilang karena perdarahan,sekali lagi jangan diikuti aliran sesat ini.

Sebaiknya pemberian nutrisi dimulai dengan pemberian KH dulu bila ternyata penderita terpaksa menggunakan
parenteral nutrisi lebih satu minggu baru diatur pemberian asam amino karena harganya cukup mahal. Bisa diberikan
dextrose 20% sebanyak 1-2 liter, ditambah 1 unit regular insuline untuk tiap 5 g glukose untuk mencegah hiperglikemia.
Bila ada uang bisa diberi cairan yang mengandung xylitol, glukose dan fruktose yang tak butuh insulin. Pemberian nutrisi
pasca bedah pada hari ke 7 kalau gizi sebelumnya normal.

Tetapi bila gizi buruk, gagal ginjal atau liver diberikan setelah 24 jam, jangan diberikan < 24 jam karena masih dalam
phase ebb. Kemungkinan infeksi lebih tinggi 20% bila post operasi hari pertama kadar gula darah diatas 220 mg%, oleh
karena itu kadar gula darah harus dimonitor dan dikoreksi.

Distribusi KH haruslah merata pada setiap tetes infus.

Pengelolaan pemberian nutrisi post operatif :
 NPE awal dimulai hari I dengan dosis medium, kalori dan protein dinaikkan
secara bertahap dan mencapai dosis penuh pada hari ke 3, Bila pada hari 4-5 intake oral belum diberikan maka dosis
sama dengan hari ke 3.
 H0 hanya diberikan glukose dan elektrolit isotonis

H1 15-20 kcal/kgBB/hari, dan protein 625-875 mgkgBB/hari.

H2 20-25 kcal/kgBB/hari, dan protein 800-1000 mg/kgBB/hari.

H3 25-35 kcal/kgBB/hari, dan protein 940-1250 mg/kgBB/hari.

Beri larutan dextrose selama hari pertama sampai hari kelima:

Hari 1 : RD5% 1000 cc + D5% 1500 cc (500 kcal)

Hari 2-3 : RD5% 1000 cc + D10% 1500 cc ( 800 kcal)
 Hari 4 : RD5% 1000 cc + D20% 1000 cc (1000kcal)

Atau larutan dextrose dan asam amino melalui vena perifer

Hari 1 : RD5% 1000 cc + D5% 1500 cc ( 500 kcal).

Hari 2-3 : D10% 1500 cc + KH 1000 cc + AA 2,5% ( 900 kcal + 25 g AA )

Hari 4 : D20% 1000 cc + KH 1000 cc + AA 2,5% ( 1100 kcal+ 25 g AA ).
 Atau dextrose dan asam amino lewat
vena central:
 Hari 1 : RD5% 1000 cc + D5% 1500 cc (500 kcal)

Hari 2-3 : D10% 1500 cc + KH 10% 1000 cc + AA2,5% (1000 kcal + 50 gAA)
 Hari 4 : D20% 1000 cc + KH 10% 1000
cc + AA2,5% (1200 kcal + 50 gAA)

Note :
 Vena perifer hanya mentolerir osmolaritas cairan hingga 900 mosm, larutan dengan osmolaritas yang lebih tinggi
dapat diberi vena perifer dengan cara diencerkan dengan infus type Y( infus berisi larutan hipotonis dan cabang yang lain
berisi lautan hipertonis dengan kecepatan yang sama atau gabung keduanya dalam botol infus jumbo

Monitoring yang disarankan untuk TPN (total parenteral nutrition):
 Parameter Frekuensi

========= ==========

KGD tiap 6 jam

Vital sign tiap 8 jam

elektrolit darah tiap hari

BUN,creatinine tiap hari


Calcium &posfor darah tiap hari

Mg,enzim hepatik,bilirubin tiap 2 hari

Triglicerid,cholesterol,albumin tiap minggu

Urinary urea nitrogen 24 jam tiap minggu

Nutrient intake tiap hari
 Jumlah cairan yang masuk/hilang tiap hari

Berat Badan tiap hari

=================================

Kesimpulan:

Telah diuraikan sasaran, strategi dan dasar-dasar pemilihan cairan dalam mengatasi pola gangguan cairan. Telah
dikemukakan pula prinsip,tujuan,cara pemberian parenteral nutrisi, hal-hal yang perlu dipertimbangkan sampai
pengawasannya.

TEKANAN INTRAKRANIAL
Otak yang beratnya 2% dari berat badan menerima 1/6 dari darah yang dipompa oleh jantung dan menggunakan 20%
oksigen yang diperlukan tubuh merupakan pusat vital yang sangat peka terhadap keadaan hipoksia, Kalau jaringan lain
mampu mentolerir hipoksia selama satu jam tetapi jaringan otak hanya dalam tiga menit. Salah satu penyebab hipoksia
otak adalah kenaikan tekanan intrakranial yang berlebihan.

Hal ini bisa dimaklumi karena dalam situasi hipertensi intrakranial tekanan perfusi otak sangat menurun. Padahal faktor ini
sangat penting untuk mendorong darah yang mengangkut oksigen melalui cabang-cabang pembuluh darah otak. Dalam
situasi begini substansi otak akan membengkak dan duramater jadi tegang sehingga sulit ahli bedah untuk mengoperasi
struktur pada dasar otak seperti tumor pituitary atau aneurysma circulus arteriosus willesi.

Sekiranya kenaikan sangat progresif bisa mendorong cerebellum dan brainstem yang merupakan pusat vital kedalam
foramen magnum. Hal inilah yang perlu diantisipasi ahli anestesi sebelum dilakukan pembedahan kasus-kasus dengan
defect intrakranial.

DEFINISI :

Tekanan intrakranial (intracranial pressure)(ICP) adalah tekanan dalam ruang ventrikulosubarakhnoid dibandingkan
dengan udara luar (atmosfer). Dalam keadaan normal istirahat tekanan liquor cerebrospinalis (cerebrospinalis fluid
pressure) (CSFP) dalam posisi lateral diukur dengan punctie lumbal besarnya 100-160 mm H2O(8-12 mmHg). Disebut
hipertensi intrakranial bila lebih dari 15 mmHg. Bila lebih dari 35 mmHg harus segera diturunkan, karena berbahaya dan
bila lebih dari 50 mmHg berarti prognosenya cukup jelek. Evaluasi terhadap adanya peninggian ICP periode preoperatif
pada kasus-kasus dengan kecurigaan adanya kelainan diotak adalah satu keharusan, untuk itu perlu pengenalan gejala-
gejala hipertensi intrakranial sedini mungkin.

Tak ada gejala patognomonik untuk peninggian maupun penurunan tekanan intrakranial.

Sering dijumpai sakit kepala, papil edema, dilatasi pupil unilateral. Paralisis nervus abducents atau occulomotorius,
pernafasan tak teratur dan lain lain, Kecurigaan dengan gejala ini sebaiknya dikonfirmasi dengan pengukuran langsung
ICP. Gejala yang paling dipercaya papil edema tetapi tak semua pasien hipertensi intrakranial ditemui papil edema
kenapa demikian masih belum jelas.

Pulsasi vena retina bila dijumpai artinya ICP masih normal atau naik tak bermakna tapi juga bukan tanda yang bisa
dipercaya,Yang paling sering adalah gejala sakit kepala yang paling hebat pada waktu pagi hari dan menurun disiang
hari. Tetapi sakit kepala ini bukanlah karena naiknya ICP tetapi karena traksi dari struktur sensitif sakit.

Beberapa pengarang berpendapat bahwa :

a. Peninggian ICP semata mata tak akan mengganggu fungsi cerebral.

b.Tak ada gejala neurologi spesifik sehubungan meningginya ICP.

c. Afferent yang sensitif terhadap tekanan tak ada dalam CNS manusia.

d. Pergeseran, penarikan, pendesakan struktur craniospinal yang sensitif sakit akibat ICP meninggi yang menimbulkan
masing-masing gejala tersebut diatas.

DASAR-DASAR KENAIKAN TEKANAN INTRAKRANIAL :

Otak orang dewasa yang beratnya 1500 gram menempati ruangan yang volumenya 1200-1400 cc terdiri dari 85%
jaringan dan air,8-12% CSF dan 3-7% darah.

Oleh karena otak terkurung dalam calvaria yang rigid maka setiap peningkatan volume intrakranial bisa menaikkan ICP.
Lesi yang semula meluas tak begitu merubah ICP oleh sebab translokasi atau absorbsi CSF meningkat; tetapi bila
compliance craniospinal system sudah menurun dimana lesi terus berlanjut ekspansinya,sementara kapasitas telah
dilampaui mengakibatkan meningkatnya volume intrakranial yang lebih besar hal ini akan menaikkan ICP secara
progresif.Yang dimaksud degan compliance craniospinal, rigiditas craniospinal kompartmen yang ditentukan sebagian
besar elastisitas craniospinal venous bed dan sebagian kecil oleh elastisitas otak medullaspinalis dan meningen sendiri.
Craniospinal compartment jadi non compliance bila kenaikan cerebral blood volume (CBV) v tak disertrai disertai
penurunan cerebral blood flow(CBF) yang seimbang,sebaliknya craniospinal compartment jadi compliant bila CBF
menurun(hipotensi berat) atau meningkatnya elastisitas meningen waktu craniotomi.

Cairan cerebrospinal(CSF) yang jumlahnya 125-150 cc dibentuk dengan kecepatan 0,35cc permenit oleh plexus
choroidales dalam ventrikel otak beredar melewati ventrikulus 3,aquaductus cerebral,ventrikulus 4,keluar melalui foramen
Luschka menyelusuri ruangan subarachnoidal cerebral & spinal akhirnya diabsorbsi oleh villus arachnoidales sinus
durales.

Dalam keadaan normal kecepatan pembentukan CSF seimbang dengan kecepatan absorbsi.Peningkatan volume CSF
terjadi bila kecepatan produksi lebih besar dari kecepatan absorbsi.atau terjadi obstruksi sirkulasi CSF sehingga akan
meningkatkan ICP. Kalau kita meminjam hipotese Starling dalam hal pembentukan dan reabsorbsi CSF maka dapat
diterangkan sebagai berikut.

Pada ujung arteriole dan kapiler tekanan hidrostatik 30mmHg sedangkan tekenan onkotik kira2 25mmHg sehingga ada
tekanan filtrasi sebesar 5mmHg dan cairan cenderung meninggalkan kapiler. Pada ujung venule tekanan hidrostatik
12mmHg sedangkan tekanan onkotik 25mmHg sehingga adsa gradient yang memungkinkan absorbsi cairan sebesar
13mmHg. Bila terjadi dilatasi arteriole akan meningkatkan tekanan filtrasi dan pembentukan cairan jaringan sebaliknya
peninggian tekanan venule akan menurunkan reabsorbsi cairan jaringan dengan demikian akan meningkatkan volume
cairan jaringan.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TEKANAN INTRAKRANIAL :

Besarnya ICP ini ditentukan oleh 3 compartment

1.Jaringan otak sendiri :

2.Volume darah otak(CBV)


3. Volume atau tekanan CSF

Tetapi yang paling utama adalah CBF dan mekanisme CSF. Semua keadaan yang meningkatkan CBF,produksi CSF dan
tahanan reabsorbsi CSF bisa meningkatkan ICP ditunjang oleh penurunan compliance craniospinal. Salah satu faktor
yang paling penting mengontrol CBF adalah PaCO2,dimana kalau PaCO2 meningkat terjadi vasodilatasi cerebral dan
CBF meninggi sedangkan bila PaCO2 menurun (hipokarbia) menyebabkan vasokonstriksi cerebral dan CBF menurun.

Dikatakan setiap kenaikan 1mmHg PaCO2 diantara 20-80mmHg akan menaikkan CBF sebesar 1-2cc per 100g otak
permenit. CO2 akan merubah tonus vascular cerebral dengan merubah pH extracellular fluid(ECF) cerebral.

Dengan terjaminnya jalan nafas yang bebas dan dengan tehnik hiperventilasi diharapkan penurunan PaCO2 dengan
demikian baik CBF maupun ICP akan turun. Sebaiknya PaCO2 dipertahankan dalam batas antara 20-30mmHg. Bila
hiperventilasi berlebihan ditakuti terjadi iskemia cerebral oleh karena vasokonstriksi cerebral yang hebat. Tetapi ini baru
terjadi bila PaCO2 dibawah 20mmHg.Hal ini jarang terjadi pada dewasa yang sehat tetapi mungkin sering pada anak2
atau penderita dengan hipotermia. Oleh karena itu bila PaCO2 tak bisa dimonitor maka ventilasi harus dikalkulasi secara
teliti sebaiknya menghitung minute volume waktu pernafasan spontan.

Dalam keadaan tidur biasa saja, PaCO2 sedikit meningkat disertai kenaikan CBF dan ICP. Kenaikan CBF dan ICP ini tak
begitu penting pada orang yang sehat tetapi sangat besar akibatnya pada penderita kelainan cerebral. Tetapi PaO2
punya sedikit pengaruh pada CBF kecuali dalam keadaan abnormal.Kalau PaO2 turun dibawah 50mmHg tampaknya tak
berubah CBF asal saja PaCO2 normal sebaliknya bila PaO2 meningkat akan terjadi vasokonstriksi cerebral dengan CBF
menurun ,ini disebabkan pada saat yang sama PaCO2 turun.Vasokonstriksi cerebral ringan terjadi selama inspirasi 100%
O2 pada tekanan barometer normal.

Tekanan darah arterial diantara 60-100 mmHg efeknya minimal terhadap CBF. Dalam berbagai keadaan CBF
dipertahankan konstan 45cc per 100g otak/menit. Kemampuan mempertahankan CBF normal dalam berbagai variasi
MAP (Mean Arterial Pressure) disebut Autoregulasi.
 Bila tekanan darah sistemik naik maka arteriole cerebral konstriksi
sebaliknya bila turun akan dilatasi. Bagaimana mekanismenya masih belum jelas tetapi diduga karena respons intrinsik
terhadap regangan yang mana terjadi konstriksi arteriole cerebral bila tekanan intraluminal(intramural) meninggi.
Mekanisme autoregulasi ini hanya bisa mempertahankan CBF selama tekanan perfusi cerebral(CPP) bervariasi diantara
50-150mmHg.

Harper dan Glass 1965 membuktikan bahwa respons terhadap CO2 menurun dalam keadaan hipotensi dimana tekanan
darah sistemik dibawah 50mmHg. Mekanisme autoregulasi ini biasanya menurun/hilang dlam keadaan anestesi yang
dalam, hiperkarbia, pembedahan(trauma) yang luas, hipoksemia, sirkulasi arrest dll.

Kita ketahui CPP sebanding dengan Mean Arterial Pressure(MAP) dikurangi ICP. Pada orang sehat nilai yang mungkin
MAP(90mmHg)-ICP(-5mmHg) = CPP(95mmHg). Bila mengejan, batuk maka MAP akan menurun oleh sebab tekanan
intrathorakal akan meningkat dimana venous return akan menurun sehingga cardiac output akan menurun tetapi
sebaliknya ICP malah meninggi oleh sebab tekanan isinus duralis meningkat akibatnya CPP akan menurun. Nilai kritis
CPP mungkin kira2 30mmHg bila lebih rendah diragukan akan terjadi iskemia cerebral. Bila ICP melempaui MAP maka
perfusi darah keotak akan berhenti. Dikatakan bila ICP sampai 500mmH2O tak akan merubah CBFoleh karena sering
bersamaan dengan kenaikan tekanan arterial,diatas level ini terjadi penurunan yang hebat.

Dilaporkan penderita yang dianestesi dalam keadaan relakspun masih bisa menaikkan ICP sampai 200-400mmH2O, dan
bila diintubasi disertai mengejan atau batuk-batuk bisa menaikkan ICP sampai 800mmH2O. Ini bisa dimengerti
peninggian tekanan intrathorakal/abdominal selama mengejan dan batuk-batuk akan diteruskan ke vena-vena epidural
dalam canalis spinalis dari sini kesaccus dural spinalis dimana isinya CSFakan sedikit bergerak tetapi kenaikan yang
nyata dari ICP. Maka salah satu persyaratan anestesi bedah saraf yang baik adalah induksi yang mulus.

Posisi pasien juga sangat mempengaruhi ICP,bila posisi rata telentang(supine position) ICP akan sama dengan tekanan
CSF(CSFP) dalam lumbal kira2 10mmHg(130mmH2O). Sekiranya kepala ditinggikan ICP akan turun sebanding dengan
setiap 20 cm peninggian kepala maka ICP akan turun sebesar 15 mmHg(200 mmH2O).

Pada posisi tegak(Upright), ICP diukur dalam ventrikel lateralis kira-kira antara -5 dan -10mmHg, sebaliknya pada head
down position(Tredelenburg) ICP akan meninggi sampai 50-60mmHg, tergantung derajat kerendahan kepala terjadi
perubahan drainage venous. Posisi head down dan foot up(kaki keatas ditemukan kadang kala pada waktu dilakukan CT
Scan(Computer Tomografi) ini sangat berbahaya.(I).

Pada posisi tengkurap(supine) yang sering ditemukan pada operasi fossa cranii posterior dan laminactomie akan terjadi
kongesti vena yang hebat. Terjadi abdominal kompressi menyebabkan obstruksi VCI (Vena Cafa Inferior) tak hanya
menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik tetapi dapat juga menyebabkan kenaikan tekanan vena vertebralis dan
akan menaikkan ICP. Setiap kenaikan tekanan intra abdominal/thorakal tak hanya menghalangi darah masuk kevena
cava tetapi juga malahan bisa menyebabkan aliran retrogade dari vena cava sendiri.(4.6).

Penekanan abdomen yang cukup akan menyebabkan obstruksi vena cafa inferior bisa menaikkan tekanan pada ujung
distal vena cafa inferior lebih dari 300 mmH2O sedangkan sedikit kompressi saja bisa menaikkan lebih kurang 30-40
mmH2O (Pearce 1957).(2). Untuk memberikan hasil yang optimal Pearce menganjurkan pasien disokong sempurna
sehingga abdomen bebas dari kompressi dan otot-otot perut relax sempurna dengan ventilasi terkontrol.

Harus hati-hati merubah posisi pasien dari telentang keposisi tengkurap bisa turun tensi mendadak. Pada posisi lateral
terutama pada operasi craniotomi temporoparital,tekanan dan resistensi arterial sistemik bisa turun.Bila miring kekanan
vena cava inferior akan tertekan oleh berat badan pasien sehingga venous return akan turun, cardiac output turun
akibatnya tensi juga menurun.

Expansi bagian terbawah thorak akan terhalang bila mungkin axilla disokong agar rusuk bebas dari beban berat
badan.Pada posisi duduk merupakan metode yang sangat efektif untuk memberikan lapangan operasi yang tidak
kongestif pada laminectomi cervical atau craniotomi fossa posterior.sayangnya timbul bahaya utama emboli udara dan
hipotensi berat. Hunter (1960) menyatakan bahwa emboli udara sangat sering terjadi bila IPPV (Intermittent Positive
Pressure Ventilation) pada posisi duduk waktu operasi fossa cranii posterior karena akan mengurangi tekanan vena2
diatas level jantung akan mempermudah terjadinya emboli udara.

Bernafas spontan mengikuti batuk akan menambah bahaya oleh karena akan meningkatkan tekanan subastmosferik
yang telah ada pada vena ini. Memang sering ada kontroversi antara keinginan operator disatu pihak dengan kondisi
keamanan pasien dilain pihak disinilah letak kebijakan ahli anestesi.

Obat-obatan yang digunakan dalam tindakan anestesi banyak pengaruhnya terhadap ICP.Semua obat inhalasi termasuk
N2O adalah vasodilator cerebral cenderung menaikkan CBF dan ICP.

Jennet dan Mac Dowell melaporkan dua kasus dimana terjadi kenaikan ICP secara dramatis dari I50 mmH2O sampai 800
mmH2O sesudah dua menit diberi inhalasi halothan 1%. Tetapi pengaruh ini bisa dicegah bila dilakukan hiperventilasi
menurunkan PaCO2 sebelum halothan diberikan, Isoflurane 1% dapat menaikkan ICP mudah diturunkan dengan
hipokapnia dan penthotal.

Sevoflurane effek vasodilatasi cerebral kurang dibandingkan isoflurane tetapi juga menaikkan ICP. Untuk pasien dengan
ICP yang sangat tinggi dan kesadaran yang rendah sebaiknya tak menggunakan inhalasi.Obat anesthesi per injeksi
semuanya menurunkan ICP kecuali ketamin bisa menaikkan CBF 62% dalam keadaan normokapnia.oleh sebab itu
ketamin tak ada tempat dalam anestesi bedah syaraf walaupun Albanese dkk meneliti ketamin dapat mengendalikan ICP.

Obat-obat respiratory depressant seperti opiat akan menaikkan PaCO2 karena hipoventilasi akan menaikkan ICP secara
fatal pada penderita kelainan cerebral tetapi bila digunakan dengan kontrol hiperventilasi merupakan obat yang berguna.
Dilaporkan morfin dan pethidin dosis tinggi bisa menurunkan CBF,ICP dan CMRO2 (Cerebral Metabolic Rate) kalau
hiperventilasi kontrol tetapi efek vasokonstriksi cerebralnya akan hilang bila ada hiperkapnia. Fentanyl tak banyak
mempengaruhi CBF, namun Tobias dan Albanese menemukan fentanyl bisa menaikkan ICP, namun infus remifentanil
mampu mengendalikan ICP. Pada keadaan normokapnia thiopentone akan menurunkan CBF,ICP dan CMRO2 sampai
50% dalam dosis ringan saja thiopentone dapat menurunkan CMRO2 30%. Semua obat pelemas otot dapat menurunkan
CBF dan ICP secara tak langsung karena effeknya pada PaCO2,tekanan darah dan tekanan intrathorakal kecuali
succinylcholine menaikkan CBF dan ICP karena effek vasodilator cerebral dan sekunder meningkatnya aktivitas muscle
spindle yang menigkatkan input afferent cerebral.

TERAPI HYPERTENSI INTRACRANIAL :

Cara yang paling sederhana adalah bebaskan jalan nafas pasang intubasi,kepala ditinggikan (head up) lakukan
hiperventilasi segera,biasanya akan kembali keadaan semula dalam beberapa menit saja. Bila cara ini tak berhasil baru
pakai cara lain, dengan hiperventilasi maksudnya menurunkan PaCO2 dengan demikian membuat vasokonstriksi
cerebral menaikkan resistensi pembuluh darah cerebral membuat turunnya CBF dan CBV(Cerebral Blood Volume)
secara nyata.

Hiperventilasi cenderung meningkatkan PaO2 sehingga sangat potensial memperbaiki oksigenasi akan tetapi ruginya
sering tak efektif menurunkan ICP kalaupun efektif hanya bersifat transient saja. Beberapa alasan disebutkan mengapa
tehnik ini kurang efektif dalam menurunkan ICP, kerusakan akut daerah otak menyebabkan respons streotipik dengan
karakteristik :

a. Asidosis lokal

b. Hilangnya kontrol autoregulasi

c. Hilangnya kontrol metabolisme perfusi jaringan otak menyebabkan vasodilatasi pasif daerah sekitar infarct.

d. Hilangnya respons terhadap perubahan PaCO2 (CO2 reactivity).

Akibatnya arteriole cerebral yang normal akan vaskonstriksi sebagai akibat hipokarbia darah dishunting ke daerah infarct
dimana vasokonstriksi tak terjadi. Sebaliknya kondisi hiperkarbia menyebabkan vasodilatasi aretriole cerebral normal
menyebabkan darah di shunting dari daerah infarct ke daerah normal disebut intracerebral steal.

James Cs telah menemukan 4 pasien dari 7 pasien penyakit cerebrovascular(aneurysma dan arteriovenous
malfrormation(AVM) dan 4 pasien dari 13 pasien trauma capitis tak respons dengan tehnik hiperventilasi untuk
menurunkan ICP.

Kebanyakan penderita trauma otak yang berat sudah dalam keadaan hiperventilasi dan optimal hipokarbia dan tambahan
passive hiperventilasi tak akan menurunkan ICP lebih lanjut malah menurunkan cerebral oksigenasi. Begitupun banyak
pengarang menganjurkan kombinasi moderate hiperventilasi dengan PaCO2 (25-30)mmHg dan dexamethasone banyak
membantu mengembalikan autoregulasi otak dan menurunkan ICP tetapi bukan untuk trauma cerebral karena steroid
menaikkan gula darah ujung-ujungnya lactic acidosis.

Pemakaian diuretik (osmotik) :

Obat osmotik diuretik yang sifatnya hipertonik akan menarik cairan dari jaringan termasuk otak seperti manitol 20% dan
urea 30%. Larutan urea menimbulkan iritasi dan relatif mudah memasuki jaringan otak dan tinggal disitu walaupun
diuresis telah selesai. Akibatnya jaringan otak akan relatif hipertonik dibanding plasma sehingga terjadi rebound
phenomen. Sedangkan manitol molekulnya lebih besar sulit masuk jaringan otak sehingga jarang terjadi rebound
swelling.

Systemik diuretik(furesemide) 1mg/kgBB iv dapat menimbulkan diuresis hebat kira2 1-2 liter pada dewasa. Akan terjadi
penurunan volume darah,turunnya CVP dan tekanan darah sistemik dan menaikkan sedikit tekanan onkotik plasma akan
menarik air dari semua jaringan tetapi khususnya jaringan yang supply darahnya paling banyak seperti otak dan lain-lain.
Cortrell Cs mengemukakan bahwa furesemide dan ethacrynic acid sangat effektif menurunkanICP yang akut dikamar
bedah sebelum selama dan sesudah operasi.

Untungnya tak banyak menaikkan osmolarity darah dan minimal problem elektrolit, dapat menurunkan produksi CSF 45-
60%. Bila waktu craniotomi ternyata duramater sangat tegang diberi dulu 1mg/kgBB furesemide iv bila diuresis mulai baru
diberikan manitol 15% sebanyak 250cc selama 5-10 menit, biasanya setelah 20 menit diuresis setelah stadium hiperemi
dan hipervolemia baru ICP menurun. Marshall 1978 memberikan 0,25g/kgBB dengan kecepatan 5g/menit untuk
menurunkan ICP dimana terjadi dehidrasi minimal.Dosis sebesar ini dapat diulangi minimal setiap hari tanpa akibat yang
jelek asalkan balance cairan pasien wajar.Infus set yang digunakan haruslah pakai filter karena kristal manitol tak larut
dalam darah. James Cs telah memberikan 0,18-2,5g/kgBB secara bolus iv total dose selesai dalam 30-60 menit.
 Pasien
hipotensi dianjurkan menaikkan tekanan darahnya dulu,lalu beri furesemide bila diuresis cukup baru manitol diberikan…

Pemakaian steroid :
 Pasien yang sudah lama mendapat terapi stroid bila diberikan dosis kurang malah akan timbul
edema cerebri. Steroid yang sering menimbulkan ini adalah triamcinolone dan prednison. Sedangkan dexamethasone
effek retensi air dan sodiumnya minimal. Telah dibuktikan secara experimentil bahwa dexamethasone sangat effektif
menurunkan ICP karena odema cerebri terutama pasien dengan odema pertumor otak,perbaikan dapat terjadi dalam
beberapa jam bahkan dalam beberapa menit. Sedangkan pemakaian steroid pada trauma cerebri masih diragukan
nilainya.

Begitupun banyak juga klinisi yang memakainya karena mereka berpendapat tak ada bahaya dalam pemberian jangka
pendek. Dikatakan steroid sangat efektif bila diberikan seawal mungkin dengan dosis tinggi (48mg) iv waktu masuk
kemudian diikuti 8 mg tiap 2 jam selama 48 jam dan 4 mg tiap 6 jam selama 72 jam.

Cooper Cs tak menemukan perbaikan hasil akhir pasien pediatri dengan trauma cerebri berat yang diberikan steroid
malahan menimbulkan supressi produksi cortisol, perdarahan lambung serta mudah terinfeksi bakterial.

Barbiturat :
Menurunkan ICP sebagai akibat turunnya CBF dan CBV dan CMRO2.(50%). Dengan single dose 1,5 mg /kgBB
thiopentone effektif bila ICP yang tinggi tak bisa dikontrol dengan osmotik dan loop diuretik,steroid atau hiperventilasi.
Barbiturat memperkuat effek vasokonstriksi nor epinefrine pada cerebrovascular.bila digunakan untuk mengontrol ICP
haruslah dimonitor tekanan darah secara kontinu agar terjamin CPP yang adekuat. Ventricular atau lumbar
drainage,tanggung jawab ahli bedah. Mengurangi ICP dengan canulasi ventrikel bisa disedot atau dibiarkan keluar bebas
sering menimbulkan infeksi tetapi dengan system drainage tertutup dan steril maka drainage selama 5-7 hari bisa
ditolerir.Periode post operatif adanya ventricular drain sangat berguna untuk mengaspirasi CSF atau mengukur ICP.

KESIMPULAN :

Masalah tekanan intrakranial merupakan problem yang seringterjadi pada kasus2 dengan kelainan intrakranial apalagi
dianestesi. Pengenalan secara dini sebelum pasien naik meja operasi adanya gejala2 kenaikan ICP adalah mandatory.
Tehnik anestesi yang paling ideal adalah induksi yang lancar, bebasnya jalan nafas adekuat ventilasi dan oksigenasi dan
cepat sadar. Telah dibicarakan pengaruh obat anestesi,posisi pasien serta perobahan kimiawi darah terhadap ICP serta
cara-cara mengendalikannya. Dengan memiliki pengetahuan neurofisiologi, neuropathologi dan neurofarmakologi akan
memudahkan menciptakan kondisi neuroanesthesi yang optimal walaupun dengan fasilitas yang minimal.

SHOCK SEPTIK
Kita ketahui syok adalah kegagalan sirkulasi organ untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Ada 4 mayor kategori syok yaitu
syok kardiogenik,hipovolemik,distributif dan obstruktif.

Syok kardiogenik karena kegagalan memompakan darah dengan gambaran hemodinamik turunnya kardiak
output,tekanan pengisian ventrikel kiri yang tinggi dan tahanan pembuluh sistemik tinggi.

Syok hipovolemik karena volume intravaskular yang tidak cukup dengan gambaran hemodinamik menurunnya kardiak
output dan tekanan pengisian ventrikel kiri dan meningginya tahanan pembuluh darah sistemik(Sistemic vascular
resistance)(SVR).

Syok obstruktif disebabkan adanya hambatan mekanik (cardiac tamponade, pneumothotak, massive pulmonary emboli)
yang menghalangi pengisian jantung dengan gambaran hemodinamik menurunnya kardiak output, meningkatnya SVR
dan tekanan pengisian ventrikel kiri tergantung etiologi.

Syok distributif disebabkan maldistribusi aliran darah (syok septik,anapilaktik,neurogenik) dengan gambaran klinik
normal atau meningginya kardiak output,menurunnya atau normalnya tekanan pengisian ventrikel kiri dan menurunnya
SVR. Penyebab syok distribuif yang paling sering adalah syok septik,bentuk infeksi yang paling berat dan menyebabkan
kematian yang sering pada penderita penyakit kritis baik dewasa ataupun anak.

APA ITU SEPSIS?

Menurut definisi standard dari SCCM/ACCP(Society Critical Care Medicine/ American College of Chest Phycians)
menetapkan beberapa definisi:

Sepsis adalah SIRS (Systemic Inflamatory Response Syndrome) yaitu respons inflamasi sistemik akibat adanya infeksi
dengan gambaran klinis minimal dua dari semua kondisi dibawah ini:

Suhu tubuh >38 derajat C atau < 36 C

Heart rate > 90x/menit

Respiratory rate >20x /menit,atau PaCO2 < 32 torr dan atau

Leukosit >12000 cells/mm3,<4000 cells/mm3 atau >10% bentuk immatur.

SIRS bisa oleh karena infeksi atau non infeksi seperti multiple trauma,luka bakar dan lain-lain. SEPSIS berarti SIRS yang
disebabkan infeksi Severe sepsis adalah sepsis yang disertai disfungsi organ,hipoperfusi atau hipotensi. Gejala awal
disfungsi organ kardiovaskular(perubahan hemodinamik) dan disfungsi pulmonal(acute lung injury atau ALI atau
ARDS(Acute Respiratory Distress Syndrome) kemudian disusul oleh disfungsi hepar,gastrointestinal,renal dan otak.
Sepsis dengan hipotensi menetap walau telah cukup diresusitasi cairan disebut Syok septik akibat
vasodiltasi,hipovolemia dan disfungsi myokardial.

Disebut syok distributif karena penurunan tahanan perifer yang menyebabkan distribusi darah di perifer/sistem vena yang
diduga oleh pengaruh endotoksin atau mediator lain.

Etiologi :
Penyebab yang paling sering adalah kuman gram negatif (Escheria Coli,Enterobcter,Kelbsiela, Pseudomonas) tetapi
kuman gram positip terutama streptococcus,staphylococcus,dan jamur terutama candida serta virus juga bisa
menyebabkan syok septik.

Diagnosa sepsis :

A.Faktor predispoisi :

Adanya faktor predisposisi cenderung lebih tinggi resiko berkembangnya sepsis:

1. Pasien immuno kompromised dimana daya immunitasnya menurun :

Diabetes mellitus,cirrhosis hepatis,malnutrisi,kemoterapi,radioterapi,terlalu tua, multiple trauma,transplant


resipient,AIDS,alkoholism dan pemakai steroid dan malignancy.

2.Prosedur invasif:

Pembedahan,kateter vaskular atau urine

B.Manifestasi klinis:

Pengamatan signs dan simptoms baik sistemik maupun lokal berkaitan dengan infeksi haruslah lebih dini untuk
mempersiapkan pengelolaan yang cepat dan tepat sebelum berkembangnya sepsis.

1. Sign dan simptom sistemik :

- Demam : paling sering tetapi bisa normo atau hipotermi terutama pada orang tua, penderita uremia dan cirrhosis
hepatis.

- Menggigil,batuk,takipnoe ,dispnoe,mual dan muntah.

Takikardi hampir selalu ada tetapi bisa absen pada gangguan konduki jantung

disfungsi autonomik,pemakai beta adrenergik atau calcium channel blocker.

Hipotensi dan hipoperfusi (oliguri,anuri).

Perubahan status mental,bervariasi dari lethargi,irritable,delirium sampai koma. Ptechien dan echymosis terutama didistal
extrimitas.

2. Signs dan simptoms spesifik:

Infeksi CNS
(kejang,meningismus),respirasi(batuk,dispnoe,hemaptoe),abdomen(ileus,distensi,mual,muntah),urinary(disurie,hematuri)
dan infeksi kulit(eritema,edema,abcess,gangren).

C.Laboratorium:

Laboratorium rutin tidak ada yang spesifik:

Lekosit biasanya meningkat dimana lebih bergeser ke bentuk immatur tetapi orang tua biasanya normal, malah pada
AIDS lekosit rendah. Netropenia biasanya pada demam tifoid, brucellosis. Koagulasi abnormal paling sering pada sepsis
adalah trombositopenia. Disseminated intra vascular Coagulation(DIC) jarang biasanya ditandai dengan protrombin
time,partial tromboplatin time dan fibrin split yang meningkat. Hiperglikemia karena relative insuline resistant pengaruh
sepsis kecuali infant dengan hipoglikemia karena low hepatic glycogen stores.

Hipoksemia mungkin karena ARDS atau fokal pneumonia. Metabolik asidosis meningkatnya anion gap karena
meningkatnya kadar laktat. Analisa gas darah dengan pH rendah karena metabolik asidosis dan PaCO2 rendah karena
respiratory alkalosis. Naiknya blood urea nitrogen dan creatinine karena adanya disfungsi renal. Disfungsi hepar yang
berat jarang,adanya peningkatan bilirubin dan transaminase.

D.Pemeriksaan mikrobiologi:

Kultur positip menunjang bukti adanya sepsis tetapi hampir 50% pasien yang terinfeksi menunjukan kultur negatif. Paling
tidak dua sampel kultur diambil dari dua tempat berbeda yang dicurigai. Untuk pasien immuno kompromised diperiksakan
kultur khusus jamur. Bila sumber infeksi tidak jelas maka periksa mikrobiologi darah,urine dan sputum
Jika mungkin jangan diberi antibiotika sebelum hasil kultur diketahui. Untuk sputum,atau abses dan cairan tubuh
diperiksakan gram stain. Jika sarana tersedia lakukan pemeriksaan bacterial antigen test umpama(counter
immunoelectrophoresis atau latexagglutination) dari urine dan liquor, bisa membantu dalam situasi antibiotika sudah
diberikan sebelum hasil kultur diketahui.

E. Pemeriksaan tambahan:

Semua pasien sepsis sebaiknya diperiksa thorak radiograph. Pasien dengan meningismus atau perubahan status mental
tak jelas kausanya sebaiknya dipunksi lumbal untuk pemeriksaan liquor tetapi untuk neonatus wajib. Bila ada keluhan
abdomen lakukan abdominal radiograph, baik telentang dan tegak untuk menentukan adanya udara bebas(free air), kalau
sulit posisi tegak maka lateral dekubitus sebagai alternatif.

Patofisiologi syok septik :

Bagaimana mekanisme terjadinya syok yang menyertai sepsis masih tanda tanya. Beberapa para ahli berpendapat
masuknya kuman menyerbu darah atau kuman tetap ditempat tetapi melepaskan endotoksin, tubuh merespons dengan
membentuk pro inflamatory cytokines berupa tumor nekrosis faktor@ dan zat vasodilator seperti Nitric
Oxid(NO),prostacycline dan pada saat yang sama tubuh juga membentuk anti inflamatory cytokines(Interleukin 10.11,13
etc).

Bila pro inflamatory dominan maka akan terjadi SIRS(Sepsis).Tetapi bila anti inflamatory yang lebih dominan maka akan
terjadi penekanan terhadap immunitas sehingga peka terhadap infeksi. Respons inflamasi sistemik berupa pelepasan
mediator akan menimbulkan disfungsi organ kardiovascular(mendepressi otot jantung,vasodilatasi arteri dan
vena,peningkatan permeabilitas kapiler,meningkatnya agregasi sel darah (mikro emboli) dan disfungsi paru berupa ARDS
atau akut lung injury dan akhirnya terjadi MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome)(50%). Bersama penurunan
resistensi vaskular yang luar biasa (40%) dan depressi myokard yang berat (10%) terjadi hipotensi yang tidak responsif
dengan terapi akhirnya berujung dengan kematian.

Gambaran klinis :

1. Hiperdinamik/warm septic shock

Merupakan stadium permulaan,ektrimitas hangat,merah kering. Hiperventilasi,hipotensi,takikardi,cardiak output


meningkat,SVR rendah,CVP normal. A-VDO2 menyempit karena bertambahnya AV shunt,defect cellular yang tak mampu
mengambil O2.

2. Hipodinamik/Cold septic Shock

Stadium lanjut karena tidak respons terhadap terapi atau stadium awal pada pasien sepsis dengan kelainan jantung atau
hipovolemik sebelumnya.Ektrimitas dingin,pucat,basah dan cyanosis,oliguri hipotensi, takikardi,vasokonstriksi,SVR
meningkat,CVP rendah. Kebocoran kapiler menyebabkan hipovolemia.

PEMANTAUAN :

Hemodinamik dan Oksigenasi jaringan:

Tekanan darah tidak bisa digunakan untuk menilai derajat syok terutama syok septik apalagi tekanan darah tidak
memberi gambaran perfusi jaringan dimana pelepasan katekol amin pada syok sehingga tekanan darah dipertahan kan
normal walaupun hipovolemia, namun turunnya tekannan darah adalah tanda yang jelek apalagi disertai dengan takikardi
>120x/menit biasanya karena hipovolemik.

Pemantauan tekanan darah pada syok septik sebaiknya pengukuran langsung lewat kateter intra arterial dimana lebih
akurat dibandingkan dengan cara tak langung dimana terjadi vasokonstriksi selama syok mempengaruhi hasil teraan dan
sekalian untuk sample darah arteri guna pemeriksaan analisa gas darah.Namun nilai tekanan darah arteri yang cukup
tidak menggambarkan curah jantung yang cukup karena bisa saja karena vasokonstriksi yang hebat.

Pemantauan hemodinamik sentral langkah yang paling tepat apakah CVP atau PAWP. CVP berguna tapi terbatas, hanya
menggambarkan tekanan rata-rata atrium kanan, yang merefleksikan tekanan akhir diastolik ventrikel kanan atau preload
venrikel kanan, bila tidak ada hipertensi pulmonal maka preload ventrikel kiri dan kanan sama walaupun nilai absolut
berbeda. Namun adanya hipertensi pulmonal,tension pneumothorak kardiak tamponade,kelainan klep
jantung,intracardiac shunt, maka CVP tidak digunakan untuk menilai volume intravaskular(preload ventrikel kiri).

Dengan demikian kalau CVP rendah berarti volume intravaskular rendah namun kalau CVP normal atau tinggi interpretasi
volume intravaskular sulit. Infus yang cepat lewat kateter CVP dapat mendistorsi tekanan diujung kateter sehingga nilai
CVP jadi tinggi.

Untuk syok sepsis lebih akurat menggunakan kateter arteri pulmonalsi, sekaligus dapat menilai tekanan atrium dan
ventrikel kanan ketika melewati kamar ini dan menilai tekanan arteri pulonal(PAP) serta tekanan arteri pulmonal waktu
ditutup (PAOP)(Pulmonal artery occlusion pressure) yang menggambarkan tekanan atrium kiri dan sekalian tekanan
pengisian ventrikel kiri akhir diastolik) yang merupakan preload ventrikel kiri.Kateter PA bisa digunakan untuk menilai
kardiak output dengan tehnik thermodilusi dan penilaian mixed venous oxyhaemoglobine saturation (SVO2).

Penurunan delivery oksigen (DO2) apakah oleh karena menurunnya kardiak output atau saturasi O2 menyebabkan
penurunan SVO2.DO2 ditentukan oleh oksigen content dalam darah arteri (CaO2) dan CO. CaO2 ditentukan oleh
saturasi oksigen dalam darah arteri(SaO2) dan Hb.

CaO2 =( Hb x 1,34 x SaO2) +(PaO2 x 0,0031)
 DO2 = CaO2 x CO x 10(dikali 10 karena CO dalam L sedangkan CaO2
per 100 cc).

Biarpun Hb turun 1/3 kalau volume plasma normal dan kontraksi jantung baik maka dikompensasi dengan naiknya CO 3x
lipat sehingga DO2 tetap.

VO2 adalah oksigen konsumsi dipakai sebagai petunjuk cukupnya oksigenasi jaringan.
 VO2 = CO x (CaO2-
CvO2)x10 normal = 180-280 ml/menit.
 CvO2= (Hb x 1,34x SvO2)+ (0,0031xPvO2)—-> SvO2 normal=65-75%
 O2
extracton ratio(O2ER)= VO2/DO2x100 —-> O2ER normal = 25-30%

Kriteria hipoksia jaringan pasien kritis :
 1. Konsentrasi laktat darah meningkat,dengan asidosis
 metabolik
 2. SvO2
rendah < 60-65%
 3. O2ER tinggi > 35-40%
 4. DO2 rendah < 8-10 ml/menit terjadi hipoksia jaringan
 Peningkatan
extraksi oksigen karena aliran darah lambat sebaliknya menurun bila aliran darah terlalu cepat sehingga tak sempat
diextraksi.

Nilai normal yang diperoleh dari kateter PA :
 Nilai Normal range
 ——————————
——————————————————
 RAP(CVP) 2-
8 mmHg
 RVP Sistolik 20-30mmHg,
diastolik<RAP
 PAP Sistolik 20-30mmHg diastolik 5-
15
 PAOP 2-12 mmHg harus < diastolik
PAP
 CO 4-6 l/menit,
dewasa 
 SvO2 65-75 %
 ————————————————————————
———

Sistemik vascular resistance bisa dihitung berdasarkan rumus :
 MAP – CVP
 SVR = ————-x 80 =
800-1200 dyne/cm/sec5.
 CO

MAP langsung dari arteri lines atau tekanan diastolik + 1/3 (Sistolik-Diastolik). Kontaktilitas myokardial dinilai paling baik
dengan melihat gerakan dinding myokard dan memperkirakan fraksi ejeksi dengan ekokardiografi dua dimensi(baik
transtorakik maupun transoesofageal)

TERAPI:
 Langkah pertama adalah supportif diperioritaskan life saving dan selanjutnya terapi kausal. Bila kondisi
memburuk respirasi maupun sirkulasi langsung resusitasi jantung paru. Bila masalah sirkulasi, langsung bikin posisi syok
kaki ditinggikan 30 derajat,tindakan ini sama dengan auto transfusi satu liter darah.

Restorasi volume intra vaskular dengan ekpansi volume, infus cepat mulai dengan kristaloid isotonik.Penilaian preload
ventrikel kiri dengan kateter PA lebih akurat. Aturan 7 dan 3 seperti yang dianjurkan Dr.Max Harry Weil dari University of
Southern California. Bila pemberian cairan tantangan (chalange test) mengubah PAWP <3mmHg bisa diberikan lagi
cairan tantangan tetapi bila peningkatan PAWP > 7mmHg maka jangan diberikan lagi cairan tantangan, bila peningkatan
antara 2-7 mmHg maka tunggu 10 menit, untuk melihat apakah tekanan pengisisan menurun.

Bila penambahan cairan menaikkan PAWP tetapi tanpa peningkatan curah jantung, sebaiknya jangan teruskan memberi
cairan lagi. Dianjurkan untuk mempertahankan PAWP <= 15 mmHg, MAP > 60 mmHg dan produksi urine 0,5
cc/kgBB/jam. Bila resusitasi cairan sudah cukup namun tetap hipotensi mungkin diperlukan vasopressor maupun
inotropik. Kalau MAP diatas 60 mmHg maka inotropik adalah pilihan. Bisa diberikan dobutamin (5-20 mikrogram/kg/menit
atau Dopamin (5-10 mikrog/kg permenit) untuk menaikkan kardiak output dan tekanan darah dan dititrasi untuk perfusi
organ yang adekuat.

Bila MAP dibawah 60 mmHg diperlukan vasopressor terapi, indikasinya kalau CO dan tekanan darah sangat turun serta
SVR rendah. Bisa diberikan nor epinefrin 0,01-0,10 mikrog/kg/menit mulai 0,05 mikrog/menit. Nor epinefrin menaikkan
tekanan darah dengan menstimulasi reseptor alfa 1 menaikkan SVR dan reseptor beta 1 meningkatkan CO dan efek
pada pembuluh renal tergantung pada tekanan darah sistemik. Pada pasien sepsis bisa menaikkan GFR dan diuresis.

Untuk kombinasi inotropik dan vasopressor, dopamin biasanya dimulai 5 mikro/kg/mnt dan jika perlu ditingkatkan sampai
15-20 mikro/kg/mnt namun jika pasien tetap hipotensi nor epinefrin bisa ditambahkan dan dopamin diturunkan sampai
dosis rendah(2-3 mikro/kg/menit) untuk mempertahankan perfusi renal dan splancnik.Bila tekanan darah cukup tetapi
tanda kurang perfusi masih ada(oliguri, perubahan status mental atau laktat asidosis) tambahan resusitasi cairan
biasanya diperlukan.
Apabila preload tidak cukup dan dukungan inotropik (dobutamin) diberikan hanya kalau preload cukup.Pada keadaan
hipodinamik (cold shock) terjadi vasokonstriksi yang hebat, bila tak respons dengan pemberian volume dianjurkan
pemakaian vasodilator (nitrogliserin) atau nitropruside maupun hidralazine.

Pertanyaannya apakah koloid atau kristaloid yang dipilih dalam kondisi sepsis ?

Dalam kondisi kebocoran kapiler dimana cairan intravaskular bergeser ke ruang interstitial maka yang pro koloid
mengatakan koloid dapat mempertahankan tekanan osmotik koloid plasma sehingga penumpukan cairan dalam ruangan
interstitial bisa dikurangi. Sedangkan cairan kristaloid malah sebaliknya sehingga resiko edema paru besar. Yang pro
kristaloid beralasan bahwa dalam kondisi kapiler yang sudah bocor biarpun albumin atau koloid tetap keluar terperangkap
dalam ruangan interstitial sehingga resiko edema paru tak bisa dicegah disamping harganya mahal dan reaksi
anapilaktoid. Hauser cs menemukan kelompok pasien kritis yang mendapat koloid tidak terjadi odem paru atau
terperangkapnya albumin dan perbaikan hemodinamik yang lebih baik dibandingkan yang mendapat cairan kristaloid
ditemukan fungsi paru yang memburuk dan perbaikan hemodinamik yang cukupan. Apel dan Shoemaker juga
menemukan adanya perbaikan yang lebih baik hemodinamik dan DO2(delivery oksigen) pada kelompok koloid
dibandingkan kelompok kristaloid.

Apakah albumin atau koloid sintetik yang lebih baik pada pasien kritis?

Yang pro albumin memilih albumin karena kemampuannya mengekspansi volume intra vaskular dan mempertahankan
tekanan onkotik karena albumin dalam keadaan normal adalah protein utama penentu tekanan onkotik plasma.Kelompok
lain meneliti tidak berbeda dengan koloid sintetik dalam mempertahankan hemodinamik, mengekspansi intravaskular dan
meningkatkan tekanan onkotik plasma. Tetapi pada hipoalbuminemia, biarpun lebih mahal tetap lebih terpilih apalagi
obat-obat yang terikat albumin akan meningkat kadarnya dalam bentuk bebas sehingga resiko toksis yang lebih besar.

Bila koloid yang dipilih koloid yang mana?
 Sediaan kanji hidroksietil molekul sedang dan besar memberikan efek plasma
volume dan DO2 lebih besar dan bertahan lama daripada koloid lain,disamping mempunyai efek menyumpal (sealing
effect) pada kebocoran kapiler sehingga bermanfaat pada pasien sepsis dengan gagal organ atau masih mengancam
untuk mencegah kebocoran kapiler dan odema jaringan. Hidroksietil starch (HES 200/0,5) 6% (molekul sedang) menetap
dalam sirkulasi 4-8 jam dan (HES 450/0,7)6% (molekul besar) bertahan dalam sirkulasi (8-12) jam, dapat memperbaiki
DO2, VO2(konsumsi O2) dan CI(Cardiac Index) pada pasien kritis sepsis, trauma maupun ARDS.

Kecukupan oksigenasi jaringan sulit dinilai tanpa menghubungkan DO2 dan VO2 terutama pada syok septik dapat terjadi
hipoksia jaringan walaupun aliran darah, tekanan dan oksigenasi sistemik normal. Dilaporkan bahwa peluang untuk hidup
pasien syok septik lebih besar kalau curah jantung dan VO2 diatas normal. Dalam kondisi hipoksemia penghantaran
oksigen hendaknya dimaksimalkan dengan mempertahankan kadar Hb normal(12-14)g% dengan transfusi dan tekanan
pengisian ventrikel kiri yang cukup agar kardiak output normal atau tinggi.Perlu diingat rembesan cairan kedalam
interstium paru dan alveolus yang mengganggu difusi dengan akibat hipoksemia haruslah dikurangi cairannya dengan
memindahkan cairan interstitial kedalam intravaskular dengan hukum Starling yaitu menurunkan tekanan hirostatika atau
menaikkan tekanan osmotik koloid plasma. Prinsipnya ruangan intravaskular terisi adekuat dan pasien tidak dehidrasi.
Dengan pemberian diuretika sambil mengevaluasi gas darah arteri sebelum dan sesudah pemberian, bila ada perbaikan
oksigenasi arteri maka pemberian diuretika bisa diulangi sampai tidak ada respons.

Menurut Schumer steroid dosis tinggi (metilprednisolon 30mg/kg atau dexametason (6 mg/kg) dapat meningkat survival
rate pasien syok septik. Sprung Cs meneliti, steroid dosis tinggi dapat memperbaiki syok septik dini. Diduga stroid
mempunyai efek inotropik terhadap jantung dan mild alpha adrenergic blocker dengan demikian memperbaiki perfusi
jaringan, stabilisasi membran mitokonria dan mengurangi pelepasan enzim lisozom. Peneliti lain menganjurkan
pemberian steroid kalau ada insufisiensi adrenal itupun dengan dosis rendah. Ini semua masih kontroversil termasuk
pemberian prostaglandin, indometasin, nalokson dan fibronectin.

Yang tidak kurang pentingnya adalah penanganan penyulit seperti koagulopati, perdarahan gastrointestinal dan gagal
organ serta pembedahan membuang sumber infeksi dan lakukan continous renal replacement therapy(CRRT) sedini
mungkin. Yang terakhir namun paling penting adalah pemilihan antibiotika yang tepat dan diberikan sedini mungkin.
Pemilihan antibiotika yang tepat tergantung tempat infeksi yang diduga dan adanya penyakit yang bersamaan seperti
diabetes, gagal ginjal, kehamilan dan alergi obat-obatan. Tempat infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis
urutannya adalah traktus urinaria,digestivus dan respiratorius diikuti kulit dan jaringan lunak.

Bila sumber infeksi pada pemeriksaan permulaan tidak jelas, maka kemungkinan paru atau abdomen sedangkan kuman
yang paling sering menyebabkan sepsis urutannya esscheria coli, klebsiela, enterobacter dan pseudomonas aeruginosa.
Hasil kultur dan sensitivity test dianjurkan untuk pemilhan antibiotika namun kultur tidak tersedia maka bisa berdasarkan
suspek tempat infeksi dimana bisa diduga kuman yang paling sering sebagai kausanya umpama infeksi traktus urinaria
adalah escheria coli yang paling sering dan 20-30% escheria coli resisten terhadap ampicillin maka option antibiotika
adalah cephalosporin generasi ke-3,quinolone,trimethoprim(sulfamethoxazole) atau aztreonam.

Infeksi intra abdominal biasanya polymicrobial melibatkan aerob maupun anaerob kombinasi antibiotika lebih dianjurkan
seperti clyndamicin atau metronidazol + aztreonam atau amphicillin+ metronidazole + aztreonam atau cephalosporin
generasi kedua(cefoxitin,cefotetan) + aminoglikoside tetapi tak direkomendasikan pada koagulopati yang berat. Infeksi
traktus respiratorius yang paling sering pneumonia oleh streptococcus pneumonia dan haemophilus influenzae,
eritromicin adalah antibiotic of choice.

Bila curiga gabungan keduanya berikan eritromisin dan cephalosporin generasi 2 at 3. Infeksi kulit (cellulitis ) paling sering
oleh sebab staphylococcus aereus atau streptococcus beta hemolitikus. Pada luka terinfeksi biasanya clostridium
perfringens, pada cellulitis facial atau orbital adalah hemofilus influenza, maka antibiotika terpilih adalah cefazolin, nafcilin,
vancomisin atau penicillin G (untuk clostridium perfringens atau beta hemolitycus streptococcus).

Infeksi CNS seperti meningitis biasanya disebabkan streptococcus pneumonia atau Nisseria meningitidis tampaknya
cefotaxime atau ceftriaxone bisa digunakan. Encefalitis biasanya kebanyakan disebabkan virus berikan acyclovir atau
valcyclovir. Abscess otak bisa disebabkan oleh polimikrobial areobic dan anaerobic streptococcus, stapilokokus dan
bakteri gram negatif, terpilih penicillin, metronidazole dan cephalosporin generasi ke-3.

Infeksi jamur selalu dicurigai adanya faktor predisosisi luka bakar berat, malignancy, terapi antibiotika, transplantasi,
neutropenia, endopthalmitis, CVP, biasanya disebabkan candida albicans obat terpilih adalah metronidazole atau
vancomycin.

Bila syok telah terkendali ,hemodinamik baik dan stabil pertimbangkan pemberian nutrisi dimana kebutuhan kalori 30-35
kcal/hari setiap kenaikan suhu 1 derajat ditambah 12% untuk mengimbangi proses katabolisme tinggi pada sepsis.
Kebutuhan nitrogen minimal 0,095 g/kg/hari, untuk mencapai balans nigrogen positif maka kalori harus tinggi dan rasio
nitrogen kalori minimal 1:200.
 Sumber karbohidrat (KH) karena penderita sepsis resisten insulin untuk mencegah
hiperglikemia sebaiknya pemberian glukose maksimal 200 g/hari. Mungkin fruktose lebih baik karena insulin independen,
lebih cepat dimetabolisir dihati mempunyai nitrogen sparing effek lebih baik dari pada glukosa. Namun tidak sepenuhnya
insulin independen karena untuk merubah fruktosa jadi glukosa masih butuh insulin, kalau diberikan secara cepat dan
konsentrasi >5% bisa menimbulkan asidosis laktat.

Pilihan lain adalah gula alkohol (sorbitol, xylitol) dengan pemberian yang tidak terlalu cepat dan tak>5% bisa dicegah
terjadinya asidosis laktat juga insulin independen. Perlu pemberian insulin untuk mengontrol kadar gula dengan ketat (80-
110)mg%. Lemak sebagai sumber kalori terbesar untuk keutuhan dinding sel, tanpa sparing efek dengan protein
memerlukan kombinasi dengan KH yang optimal, 30-40% dari total kalori. Diberikan 1,5-2g/kg/hari diberikan cukup 2x
seminggu, kalau terlalu banyak menimbulkan emulsi dalam plasma.

Sumber nitrogen, yang baik asam amino bentuk L, asam amino bercabang diberikan dalam komposisi yang lebih banyak,
diberikan bersamaan KH minimal ratio 1:200. Pada sepsis perlu balans nitrogen positip untuk sintese protein jaringan dan
enzim. Tetapi kondisi katabolisme yang tinggi protein dibatasi 40 gram/hari. Pada pasien gagal ginjal diberikan protein
rendah dan kalori tinggi. Pemberian vitamin perlu untuk katalisator dalam metabolisme. Pada sepsis yang berat berikan
recombinant activated protein C. Turunkan demam dengan selimut hipotermi sebesar 5-10 derajat C dikombinasi dengan
chloorpromazin atau salisilat dengan central anti piretik, juga menghambat pelepasan plasma kinin dan menimbulkan
keringat.

RINGKASAN:

Syok septik, prognosenya jelek pencegahannya lebih diutamakan. Sumber infeksi yang paling sering menimbulkan sepsis
adalah traktus urinaria, digestivus, respiratorius, diikuti kulit dan soft tissue. Kuman yang paling sering menimbulkan
sepsis adalah escheria coli, klebsiella, dan pseudomonas aeruginosa.

Demam paling sering merupakan gejala sistemik yang ditimbulkan oleh infeksi, walaupun kadang kala normal bahkan
hipotermi terutama pada orang tua, uremia, alkoholisme dan gagal hepar. Gangguan kogulasi yang paling sering pada
sepsis adalah thrombositopenia.

Oksigenasi jaringan yang adekuat adalah tujuan utama terapi syok dengan meningkatkan DO2 dan VO2 dengan
meningkatkan CO dan CaO2. Peningkatan CO dengan meningkatkan kontraktilitas jantung dengan obat inotropik bila
MAP diatas 60 mmHg dan preload ventrikel kiri dengan volume cairan yang cukup. Peningkatan CaO2 dengan
meningkatkan Hb dan SaO2 serta PaO2. Penilaian preload ventrikel kiri dipantau dengan kateter PA dimana bisa dinilai
juga CO dan SvO2 (mixed venous oxygen saturation) untuk menilai oksigenasi jaringan.

Cairan HES tampaknya cukup baik pada kebocoran kapiler karena punya seal effect. Antibiotika sebaiknya diberikan
setelah diketahui hasil kultur dan sensitivity test. Dalam kondisi tidak ada fasilitas bisa diberikan antibiotika berdasarkan
lokalisasi infeksi dengan kuman paling sering penyebabnya.

Terapi membuang sumber infeksi seperti pembedahan, drainage, mengganti kateter vena, arteri, sonde lambung dan
lain-lain sangat menunjang keberhasilan terapi. Yang paling utama adalah life saving dengan mengendalikan
hemodinamik dan respirasi.

SHOCK ANAFILAKTIK
salah satu bentuk kegawatan medik yang sering ditemukan adalah syok dengan pelbagai penyebab, dan yang menjadi
momok bagi dokter diruang praktek adalah syok anapilaktis.Pengetahuan dan pengalaman bagaimana mengenal syok,
dan menanganinya secara efektif dan efisien adalah suatu keharusan yang harus dikuasai oleh setiap pelaksana
pelayanan medis.

Dalam tulisan ini kami mengemukakan perihal syok anapilaktis yang bukan hanya dapat merenggut jantung penderita
tetapi juga merobek jantung petugas medik yang tangannya sangat gatal untuk menyuntik.

Apa itu Syok?

Syok adalah sindroma klinis akibat kegagalan sirkulasi yang menyebabkan kegagalan perfusi jaringan. Kegagalan perfusi
berarti ketidak mampuan sistem sirkulasi untuk membawa oksigen dan bahan nutrisi kejaringan dan membawa bahan
bahan metabolik toksik dari jaringan tubuh.(Dietzman dan Lillihei).

Apa saja yang bisa menyebabkan syok?

a. Turunnya volume darah bisa oleh karena perdarahan, dehidrasi atau squesterisasi disebut syok hipovolemik.
 b.
Gangguan kontraktilitas myocrdium oleh sebab infark myocard atau aritmia maligna disebut syok kardiogenik.

c. Hambatan aliran darah kembali kejantung (venous return) oleh sebab tamponade jantung, pneumotorak disebut syok
obstruktif.
 d. Gangguan vasomotor menyebabkan gangguan distribusi darah disebut syok distributif bisa disebabkan :

- Kesakitan, Ketakutan, trauma spinal disebut syok neurogenik

- Infeksi (sindroma respons inflamatori sistemik) disebut syok septik

- Insuffisiensi adrenal akut bisa karena kegagalan adrenal (penyakit autoimmune, HIV) atau kegagalan
hipotalamus dampak terapi glukokortikoid.

- Reaksi antigen antibodi disebut syok anapilaktis.

Anapilaktis itu apa?

Salah satu bentuk allergi atau hipersensitivitas yang bereaksi cepat. Hipersensitivitas adalah keadaan yang disebabkan
reaksi immunologik spesifik yang ditimbulkan oleh allergen atau antigen sehingga terjadi reaksi patologik. Jadi reaksi
anapilaktis itu adalah interaksi antigen dengan sel jaringan yang telah disensitasi oleh reagenik antibodi yang
menyebabkan pembentukan zat-zat aktif amine yang dapat merusak jaringan lebih lanjut. Reaksi anapilaktis itu bisa
berupa gejala lokal (urtikaria, rhinitis, angioneurotik odem) atau sistemik (syok anapilaktis).

Apa saja penyebab reaksi anapilaktis?

a. Medikasi : antibiotika, medium kontrast, obat anestesi lokal(prokain), substansi


koloid(dextran,hidroksiethylstarch),transfusi darah,protamin,immunoglobulin A. Antibiotika sering
penicillin,sulfonamid,bete laktam,sefalosforin,vancomisin dan lain-lain.
 b. Protein eksogen, polisacharida (serum, vaksin,
gigitan serangga dan lain lain).

Bagaimana terjadinya syok anapilaktis ?

Reaksi antigen dan antibodi spesifik yang diperankan oleh immunoglobulin E(IgE) membentuk sensitized complex akan
melekat pada basopil atau mast cell. Yang menyebabkan degranulasi sel akan melepaskan zat perantara(mediator) yang
punya unsur farmakologik aktif seperti serotonin, asetilkolin, kateolamin, bradikinin, prostaglandin Slow Reactin
Substance A (SRS-A), histamin dan lain lain. Mediator inilah bila dilepaskan ke sirkulasi akan bertemu dengan reseptor
dijaringan dan menimbulkan reaksi terutama pada arteriole, venule dan otot-otot polos lainnya.

Perubahan yang khas terjadi antara lain:

Vasodilatasi arteriole dan venule menyebabkan pengumpulan darah didaerah splanchnicus oleh pengaruh histamin.
Sedangkan serotonin menyebabkan vasokonstriksi spinkter arteriole. Bradikinin menyebabkan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga cairan plasma keluar menyebabkan hipovolemi. Baik oleh karena pengumpulan darah di
splancnikus maupun rembesan keluar kapiler bersama-sama menimbulkan semua gejala syok.

Bagaimana tahunya ada syok ?

Keadaan ini haruslah dideteksi secara dini agar tidak masuk kestadium irreversible, dimana semua tindakan akan sia sia.
Kita ketahui stadium syok mulai stadium kompensasi masuk stadium dekompensasi akhirnya terjerumus masuk stadium
irreversible. Dalam stadium kompensasi dimana tubuh masih mampu mengatasi sendiri tanpa bantuan dari luar dengan
meningkatkan refleks simpatis berupa :

Resistensi sistemik meningkat untuk redistribusi darah dari organ kelas dua ke organ kelas satu(otak, jantung, paru) dan
resitensi arteriole meningkat sehingga tekanan diastolik meningkat sehingga perfusi koroner adekuat, Denyut jantung
meningkat sehingga volume semenit meningkat. Sekresi vasopressin, renin angiotensin aldosteron meningkat sehingga
ginjal menahan air natrium untuk mempertahankan volume sirkulasi.

Ini semua menyebabkan gejala klinis takikardi, kulit pucat, akral dingin, pengisian kapiler (Capillary Refill Test) < 2 detik
dengan cara menekan kuku sampai pucat kemudian dilepas sampai timbul merah lagi.

Dalam stadium dekompensasi :

Perfusi jaringan sudah memburuk dimana terjadi hipoksia sehingga timbul metabolisme an aerob dimana laktat
meningkat terjadi laktat asidosis ini menyebabkan kontraktilitas myokard terhambat terjadi bradikardi. Gangguan
metabolisme energi ditingkat selular fungsi lisozom dan mitokonria jelek menyebabkan kerusakan sel. Pelepasan
mediator membentuk oksigen radikal dan platelet agregating factor menyebabkan thrombus disertai tendensi perdarahan.

Terjadi vasodilatasi arteriol dan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga venous return, menurun dan volume semenit
menurun. Gejala klinis terlihat tekanan darah sangat turun, oliguri, kesadaran menurun. Bila masuk ke stadium
irreversible dimana cadangan fosfat berenergi tinggi(ATP) terkuras habis terutama dijantung dan hepar tubuh kehabisan
energi akhirnya terjadi MOF (Multiple Organ Failure). Perlu diketahui hipotensi tidak identik dengan syok, pasien yang
semula hipertensi mungkin saja dengan tensi normal tetapi sudah dalam keadaan syok sementara pasien menderita
hipotensi yang sudah lama dengan tensi rendah malah tidak syok. Sehingga dalam pengelolaan pasien syok bukan
masaalah tensinya tetapi ada gangguan perfusi atau belum. Dengan demikian kita bukan memperbaiki tensimeter
walaupun penderita syok tensinya cenderung menurun. Kalau saja kita tahu tensi sebelumnya bisa saja kita menduga
terjadi pre syok bila tensi systolik turun >20%. Tetapi yang paling penting adalah gejala gangguan perfusi. Yang dapat
dikenal secara kasar dengan gejala perifer seperti akral dingin, kulit pucat, berkeringat dingin, nadi cepat lemah
,mengantuk dan gelisah.

Kesan suatu manifestasi klinik syok anapilaktis adalah :
 a. Timbul(onset) : dalam beberapa detik atau menit.

b. Penyebab suntikan : antibiotika(penicillin), serum, obat lokal anestesi(prokain) oral : Asam salisilat, Yodium, Gigitan
serangga.

c. Manifestasi :

Kulit : urtikaria, eritema, angioneurotik, odem.

Pencernaan: mual, muntah, kolik.

Pernafasan : Rhinitis, Batuk, Odema Laring, Bronkospasmo(asma).

Sirkulasi : Hipotensi, Takikardi henti jantung

CNS : pusing, gelisah, tremor, kesadaran menurun.

Bagaimana pengelolaannya?
 Dasar pengelolaan syok napilaktis adalah :

1. Memperbaiki keadaan umum penderita

2. Menghambat produki, pelepasan dan pertemuan mediator dengan reseptor.

3. Menetralisir reaksi yang timbul

ad.1. Memperbaiki keadaan umum penderita :
 Lakukan posisi syok, kaki ditinggikan 30 derajat sementara kepala tetap
datar bukan posisi Tredelenburg dimana kaki tinggi kepala rendah, ini akan menyebabkan odem otak dan mengganggu
pernafasan karena diaphragma didorong isi perut kedaerah thorak. Dengan posisi syok bisa menambah venous return
sebanyak satu liter (auto transfusi). Bila terjadi henti nafas bebaskan jalan nafas dan beri nafas buatan. Bila terjadi henti
jantung lakukan kompressi jantung luar dan semua tindakan resusitasi jantung paru.

ad.2. Beri suntikan adrenalin (larutan 1:1000) 0.3-05 mg subcutan (dewasa) 0,01mg/kg untuk anak, penyuntikan 1 mg
sekaligus tidak boleh dilakukan karena adrenalin yang berlebihan ditakuti akan menimbulkan takikardi dan vasodilatasi
diotot rangka sehingga memburuknya tekanan darah. Pasang infus untuk mengkoreksi hipovolemi relatif. Berikan
hidrokortison 100 mg atau dexametason 4mg iv . Adrenalin bisa diulangi 0,3-0,4 mg sc tiap 5-10 menit sampai tekanan
sistolik mencapai 90-100mmHg dan frekuensi jantung tidak melebihi 120x /menit.

ad.3 Bila ada bronkospasmo berikan aminophylin 5-6 mg/kg iv , Pasang tornikuet diproksimal bekas suntikan atau gigitan
penyebab reaksi hipersensitivitas diharapkan mencegah penyebaran antigen. Pasien yang sembuh jangan terburu
dipulangkan tapi perlu diobservasi dulu dengan seksama. Dxametason per oral diberikan pada saat pasien dipulangkan
untuk mengatasi efek jangka panjang.
Kenapa adrenalin sebagai drug of choice bukan nor adrenalin?

- Efeknya lebih kuat dan cepat

- Bisa menghambat produksi, pelepasan dan reaksi mediator dengan reseptor.

- Mempunyai efek vasokonstriktor perifer melawan efek dilatasi arteriole dan venule tetapi meningkatkan tekanan diastolik
yang lebih tinggi sehingga perfusi koroner lebih baik.

Meningkatkan kontraksi jantung dengan efek beta adrenergiknya. Sedangkan nor adrenalin hanya punya efek alpha
adrenergic.

Kenapa tidak anti histamin ?

Anti histamin hanya mampu menhambat aktivitas farmakalogik histamin saja sedangkan untuk mediator amine lainnya tak
berefek. Antihistamin hanya dapat melawan efek vasodilatasi histamin sedangkan adrenalin bisa merubah vasodilatasi
menjadi vasokonstriksi. Antihistamin hanya melawan efek bronkokonstriksi karena histamin tetapi tidak bersifat
bronkodilatasi seperti adrenalin.

Antihistamin dan kortikosteroid hanya bersifat supportif saja tidak bisa diberikan tunggal saja

Ringkasan :

Mencegah atau mengantisipasi terjadi reaksi anapilaktis sebab dengan pemberian obat-obat tertentu penting untuk
persiapan yang lebih baik; Mengenal gejala syok lebih awal sangat penting agar tidak terjerumus ke stadium lanjut.
Pengelolaan diprioritaskan pada perbaikan keadaan umum pasien. Sementara ini adrenalin sebagai obat terpilih pada
kasus syok anpilaktis dan nor adrenalin tak bisa menggantikannya. Antihistamin dan kortikosteroid hanya sebagai obat
supportif saja.

SIRKULASI DARAH OTAK


Kontinuitas supplai darah keotak sangat penting agar dapat menjamin stabilitas fungsi otak. Terhentinya sirkulasi darah
dalam 5-10 detik saja akan menghilangkan kesadaran sedangkan bila lebih dari 3 menit akan terjadi iskemia serebral
yang irrepairable di substansia grisea kortek,nucleus sel basalis sel Purkinye.Perlu diketahui otak adalah organ yang
sangat sensitif terhadap hipoksia,karena konsumsi oksigen otak sangat tinggi dibandingkan organ lain yaitu (3,3-
3,5)cc/100 gram otak/menit.

Dalam waktu satu jam saja sirkulasi otak terhenti seluruh neuron otak akan nekrosis dan setelah 2 jam akan disusul
nekrosis jaringan jantung,ginjal,hati, paru dan terakhir kulit akan nekrosis setelah beberapa jam atau hari.Glukosa sendiri
sebagai sumber energi utama cadangannya sedikit diotak sedangkan konsumsi glukose otak 5,5 mg/100 gram
otak/menit, sehingga bila terjadi henti sirkulasi akan terjadi hipoglikemia sampai ketingkat yang irreversible.

Untungnya Sirkulus Arteriosus Willesi bisa mengkompensir situasi sewaktu waktu terjadi perobahan sirkulasi ke otak
disamping adanya mekanisme autoregulasi dari otak sendiri. Sehingga aliran darah otak (cerebral blood flow)(CBF) bisa
dipertahankan konstant.

Dilaporkan pengikatan satu arteri karotis interna pada orang muda yang sehat tak akan merubah CBF.

Supply darah arteri keotak dilayani oleh 4 arteri yang terdiri dari :
 A. Dua arteri karotis interna (ACI)

a. ACI sinistra yang berasal langsung dari aorta.

b. ACI dekstra yang berasal dari arteri anonima.

ACI bercabang jadi arteri cerebral anterior(ACA) dan arteri cerebral media (ACM).

B. Dua arteri vertebralis yang berasal dari arteri subklavia kemudian bersatu membentuk arteri basilaris kemudian
bercabang lagi menjadi arteri cerebral posterior(ACP).

C. ACA dekstra dan sinistra dihubungkan oleh arteri komunikantes anterior (AKA). ACP dekstra dihubungkan dengan
ACM dekstra oleh arteri komunikantes posterior(AKP) dekstra demikian juga ACP dan ACM sinistra oleh AKP sinistra.
ABC membentuk Circulus Arteriosus Willesi (CAW). Satu titik pada AKA dan dua titik pada AKP kanan kiri merupakan
Death Point dimana merupakan tapal batas pertemuan aliran darah yang berasal dari arteri karotis interna dan arteri
vertebralis bila terjadi gangguan akan membahayakan sirkulasi darah otak.

Bagaimanapun posisi tubuh terhadap kepala tidak akan merubah supplai darah ke otak. Perlu dicatat walaupun ada
anastomosis namun darah yang berasal dari arteri karotis interna dekstra dan sinistra tetap mensuplai sisi masing masing
diduga mungkin tekanan belahan otak sebelah kanan sama dengan sebelah kiri atau karena alirannya lambat, demikian
juga yang berasal dari arteri vertebralis. Drainase vena via vena profunda dan sinus duralis mengosongkan isinya
sebagian besar kedalam vena jugularis interna dan tetapi ada juga sebagian kecil ke vena optalmikus dan pleksus
pterigoideus.

Cerebral Blood Flow ( CBF):

Otak menerima suplai darah kira kira 15% dari kardiac output (CO) (volume semenit). Dalam keadaan istirahat dan
kondisi sehat CBF orang dewasa kira kira 45-55 cc/100g otak permenit sedangkan pada anak anak sebesar 105 cc/100
gram otak/menit.

Total blood flow ke otak yang beratnya lebih kurang 1500 g kira kira 750 cc/menit. Semakin tua semakin rendah CBF
umpama pada usia 70 tahun, 58 cc/100g otak permenit sedangkan pada usia 2i tahun CBF 62 cc/100 gram otk/menit.
Bila CBF menurun < 20 cc/100g otak permenit akan terjadi ischemic EEG, bila diantara 18-23 maka otak tidak berfungsi
namun sewaktu-waktu perfusi meningkat akan aktif lagi disebut Penlucida tetapi bila CBF< 18 akan terjadi infarct apabila
perfusi tidak bisa ditingkatkan sampai batas waktunya maka disebut Penumbra,semakin rendah CBF semakin singkat
toleransi waktunya.

Bila CBF <15 akan terlihat EEG isoelektrik,absent evoke potensial,posfokreatinin menurun, laktat meningkat tetapi ATP
masih normal.
 Bila CBF antara 8-10 terjadi kegagalan metabolisme, Kalium ECF meningkat dan ATP menurun. Bila
diantara 6-9 maka Ca masuk intracelluler.

Faktor-faktor yang mempengaruhi CBF :
 A. Perbedaan tekanan pembuluh darah otak.

B. Tahanan dalam pembuluih darah otak (cerebro vascular resistance (CVR).

A. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan tekanan pembuluh darah otak :
 a. Tekanan darah (BP) arteriel:

Dalam keadaan tanpa hipotensi tekanan darah arteriel pengaruhnya sedikit saja pada CBF,malahan penurunan tekanan
sampai 60-70 mmHg tak mempengaruhi CBF. Hal ini disebabkan adanya autoregulasi cerebral yang
mekanismenya hingga saat ini masih belum jelas. Begitupun Bayliss(1902) mengemukakan bahwa adanya pengaruh
langsung tekanan pada otot-otot polos cerebrovaskular sedangkan Lassen (1959) berpendapat bahwa PCO2 dalam brain
tissue sebagai faktor pengaturnya. Yang dimaksud dengan autoregulasi cerebral ialah kemampuan
otak mempertahankan CBF dalam batas-batas normal dalam menghadapi tekanan perfusi cerebral(CPP) yang berubah.

Tekanan perfusi cerebral adalah selisih tekanan arteri rata rata(saat masuk) dan tekanan vena rata-rata (saat keluar)
pada sinus sagitalis lymph/cerebral venous junction. Secara praktis CPP adalah selisih tekanan arteri rata rata (mean
arterial pressure) (MAP) dan tekanan intracranial rata rata (Intracranial Pressure).

(ICP) yang diukur setinggi foramen monroe.

CBF = CPP / CVR

CPP = MAP – ICP

MAP – ICP

CBF = —————

CVR

Karena CPP = MAP – ICP maka CPP akan menurun bila MAP turun atau ICP naik. CPP normal antara 80-90 mmHg. Bila
CPP turun50 mmHg terlihat EEG melambat, bila CPP < 40 mmHg maka EEG mendatar terjadi iskemia yang reversibel
atau irreversibel tetapi bila CPP< 20 mmHg akan timbul iskemia cerebral yang irreversibel.

Biasanya autoregulasi akan dapat mempertahankan CBF selama MAP antara 50-150 mmHg. Artinya bila MAP turun oleh
kontraksi otot-otot polos dinding serebrovaskular sebagai respons adanya perubahan tekanan intra mural akan terjadi
vaso serebral dilatasi sebaliknya bila MAP naik akan terjadi vasocerebral konstriksi selama MAP antara 50-150 mmHg.

Bila MAP turun dibawah 50 mmHg walau dilatasi maksimal CBF akan mengikuti CPP secara pasif sehingga terjadi
iskemia otak. Dan sebaliknya bila MAP diatas 150 mmHg maka biarpun kontriksi maksimal akan dirusak sehingga CBF
akan naik dengan tiba tiba dapat merusak blood brain barrier(BBB) dan terjadi odema otak bahkan perdarahan otak.

Beberapa keadaan merubah atau menghilangkan autoregulasi ini misal hipertensi kronis dapat merubah batas atas
autoregulasi bergeser kekanan sehingga sudah terjadi iskemia pada tekanan darah yang dianggap normal pada orang
normal. Iskemia serebral,infarct,trauma kepala,hipoksia,hiperkarbia berat,obat anestesia inhalasibisa menghilangkan
autoregulasi otak. Bila autoregulasi otak hilang maka CBF tergantung pada tekanan darah sehingga penurunan CPP
akan menurunkan CBF.

b.Tekanan vena :
 Pengaruh tekanan dalam vena-vena besar biasanya tidak berarti, bahkan pada gagal jantung
kongestif. Mayer(1954) membuktikan bahwa tidak ada perubahan CBF bila tekanan jugularis interna dinaikkan sampai 23
cmH2O pada manusia .

B.Faktor-faktor yang bisa mempengaruhi CVR: 
 a. Kontrol Kimiawi:

PaCO2 satu satunya faktor yang sangat penting mengontrol CBF. Ini disebut CO2 reactivity artinya perubahan PaCO2
akan merubah CBF dimana bila PaCO2 naik, CBF naik & sebaliknya. Inhalasi 7% CO2 dapat menaikkan CBF sampai
100%. Sedangkan hyperventilasi sampai PaCO2 26 mmHg dapat menurunkan CBF sampai 35% (Ketty&Smith 1948).

Dalam keadaan dianestesi,anjing yang normotensi, perubahan CBF maksimum dicapai oleh variasi PaCO2 antara 20-90
mmHg, diluar batas ini perubahan PaCO2 tak akan menimbulkan perubahan CBF lebih lanjut. Harper dan Glass(1965)
juga menunjukkan bahwa respons terhadap CO2 berkurang dalam keadaan hipotensi dan menghilang bila tekanan
darah sistemik turun sampai 50 mmHg. Demikian juga Lennox dan Gibb (1932) membuktikan bahwa respons terhadap
CO2 menurun dalam keadaan hipoksemia. Dalam range PaCO2 diantara 20 -80 mmHg kenaikan PaCO2 1 mmHg
akan menaikkan CBF 2 cc/100gram jaringan otak.

Dan laporan lain setiap kenaikan PaCO2 1 mmg diantara PaCO2 25-80 mmHg menaikkan CBF kira kira 4% (0,95-
1,75)cc/100 gram otak menit.
 Jika dibandingkan dengan keadaan normokapnia maka CBF 2xlipat pada PaCO2 80
mmHg dan setengahnya pada PaCO2 20 mmHg. Perubahan CBF hanya sedikit dibawah PaCO2 25 mmHg maka hindari
excessive hiperventilasi karena akan menyebabkan iskemia cerebri.

Beberapa peneliti mengemukakan bahwa kadar CO2 dalam darah merubah pH ECF yang merubah tonus otot-otot polos
arteriole cerebral. Konsentrasi CO2 dan ion bikarbonat dalam cerebro spinal fluid(CSF)(LCS) menentukan pH ECF.
Konsentrasi CO2 di arteri terutama tergantung pada PACO2(respirasi) sedangkan konsentrasi ion bikarbonat
sehubungan proses metabolisme otak. Bila PaCO2 normal maka perubahan pH sedikit sekali pengaruhnya pada CBF.

Walaupun perubahan CBF bisa ditimbulkan oleh perubahan pH arteriel dimana alkalosis membuat vasocerebral konstriksi
dan asidosis membuat vasodilatasi namun Haper&Bell 1963 membuktikan tidak ada perobahan CBF regional pada
anjing-anjing bila PaCO2 dijaga konstant, selama infus dengan bikarbonat dan asam laktat.

Dalam area otak yang terganggu oleh trauma,iskemia, bisa terjadi gangguan autoregulasi dan CO2 reactivity sekaligus
hingga CBF benar benar tergantung CPP disebut cerebral vasoparalise. Bila tekanan perfusi cukup maka aliran darah
akan meningkat kedaerah yang hilang autoregulasi dan CO2 reactivity disebut Luxury perfussion.

Tetapi sebaliknya bila terjadi hipotensi akan terjadi iskemia berat dalam waktu yang singkat. Bila terjadi vasodilatasi
umum diotak maka terjadi pencurian CBF dari daerah vasoparalise masuk kedaerah otak yang normal disebut
intracerebral steal. Umpama dalam kondisi hiperkarbi. Sebaliknya dalam kondisi hipokarbia (hiperventilasi) atau obat
yang membuat vasocerebral konstriksi seperti penthortal maka CBF akan memasuki daerah vasoparalise disebut Inverse
Intracerebral steal (fenomena Robinhood mencuri harta orang kaya diberikan ke si miskin).

Oksigen sendiri mempunyai effek vasokonstrisi cerebrovascular. Bila PaO2 menurun sedangkan PaCO2 tetap, CBF tidak
terpengaruh sampai PaO2 turun dibawah 50 mmHg atau ada yang melaporkan dibawah 40 mmHg. Hipoksia
menyebabkan penumpukan asam metabolit dalam ECF yang mengelilingi arteriole cerebral dan bisa menyebabkan
vasodilatasi namun alkalosis pada ECF oleh karena hiperoksia tidak akan menyebabkan vasokonstriksi cerebral. PaO2
diatas normal akan menurunkan CBF karena pada saat yang sama terjadi penurunan PaCO2. Tetapi PaO2 disarankan
tidak melebihi 200 mmhg pada operasi otak.

b.Kontrol neurologik:

Sokoloff & Ketty 1960 meneliti tak ada pengaruh lansung autonomic nervus system(ANS) pada pembuluh darah otak
begitupun peneliti lain mengatakan ada pengaruhnya tetapi tak lebih dari 5-10%. Dimana perangsangan simpatis
menyebabkan vasokonstriksi sementara perangsangan parasimpatis menyebabkan vasodilatasi.

c. Tekanan intra kranial (ICP)
 Pada kenaikan ICP mencapai 500 mmH2O tidak akan merubah CBF oleh kenaikan yang
sama tekanan arteriel tetapi diatas level ini terjadi penurunan CBF yang drastis.

d. Viskositas darah:
 Polisitemia akan menurunkan CBF sampai 50% sebaliknya anemia gravis malah CBF sangat
meninggi.Dehidrasi dengan Ht meningkat CBF akan menurun sementara hemodilusi hipervolemi CBF meningkat.

e. Temperatur

Menurut penelitian(Rosomoff dan Holaday 1954) dan (Kleinerman & Hopkins 1955) anjing-anjing yang suhu tubuhnya
turun maka CBF maupun Cerebra Metabolic Rate (CMR) akan menurun. Menurut Rosomoff 1956 setiap penurunan suhu
tubuh satu derajat akan menurunkan 6-7% CBF. Pada suhu 28 derajat celcius penurunan CBF sebesar 50%. Kleinerman
dan Hopkins melaporkan bahwa pada suhu antara 22-27 derajat Celcius penurunan CBF melampaui penurunan CMRO2.

Akan tetapi Rosomoff dan Holaday anjing-anjing yang diturunkan suhunya sampai 26 C terjadi penurunan paralel CBF
dan CMRO2. Dalam praktek klinis ini sangat luas dan berhasil dipakai untuk mencegah kerusakan otak selama prosedur
operasi tertentu. Karena hipotermi yang berat sampai 29 derajat C saja banyak menimbulkan efek samping maka saat ini
disarankan menurunkan sekitar 2-3 derajat saja sudah cukup memberi proteksi otak. Bagaimana hipotermi bisa
mengurangi akibat iskemia cerebri masih belum jelas diduga disamping menurunkan CMR adanya perubahan sintese
protein, permeabelitas BBB dan ion reaksi radikal bebas dan membran lipid dan lain-lain. Sebaliknya
kenaikan suhu tubuh tidak menaikkan CBF.

Pengaruh obat-obatan :
 Semua obat anestesi inhalasi menaikkan CBF termasuk N2O dan semua obat anestesi intra
vena menurunkan CBF kecuali ketamin. Halothan meningkatkan CBF 3x Isoflurane, bersama N2O bisa
meningkatkan CBF 300%. Kontra indikasi pada cedera kepala berat tak disarankan pada bedah saraf. Enflurane
meningkatkan CBF kurang karena adanya penurunan tekanan darah pada konsentrasi klinis akan menigkatkan CBV. Dan
bisa membuat kejang pada dosis sedang sehingga CBF meningkat tinggi diatas normal.

Isoflurane konsentrasi 0,5% CBF menurun tetapi pada konsentrasi 0,95% CBF meningkat. Sevoflurane kurang
menaikkan CBF dibandingkan isoflurane baik untuk neuroanesthesia. N20 konsentrasi 60% yang menyebabkan amnesia
bisa menaikkan CBF 100% yang aneh perubahan CBF bagian anterior meningkat tetapi posterior menurun.

Obat-obat intra vena seperti barbiturat,ethomidate,propofol,midazolam semuanya menurunkan CBF,sedangkan


morfin,fentanil,alfentanil,sufentanil tidak merubah CBF tetapi ketamin sangat menaikkan CBF, sampai 60-80%.

Ini dapat dicounter oleh skopolamin tetapi diperkuat oleh physostigmin tidak direkomendasikan pada neuroanestesia,
dengan ICP yang tinggi kalau pemberian dosis tinggi dan tunggal. Tetapi bila dosis <2 mg/kg bersama barbiturat atau
diazepam propofol dengan hiperventilasi bisa menurunkan ICP (Kohrs,Durieux) dan Albenese et all dengan pre treat
propofol dan hyperventilasi,ketamin dosis 1,5-3,5 mg/kg bisa menurunkan ICP.

Peningkatan ICP bisa dikurangi dengan hipokapnia dan penthotal,terpilih untuk bedah saraf. Dexmedetomidine
tergantung dosis bisa menurunkan CBF 45% dan bahkan menghambat efek dilatasi vasocerebral oleh karena
hiperkapnia,hipoksia,iso dan sevoflurane.

Merupakan selektif alpha-adrenoreceptor agonist mempunyai efek sedasi,anxiolitik tak mendepressi pernafasan dan
hemodinamik serta analgesik baik untuk durante atau post anestesi. Lidokain dosis sedang bisa menurunkan CBF dan
CMRO2. Vecuronium paling sedikit meningkatkan CBF dan ICP dibandingkan pelemas otot yang lain direkomendaskan
untuk neuro anestesia.

Succinilkolin merupakan vasoldilator cerebral yang kuat sehingga meningkatkan CBF dan ICP tak disarankan untuk
fasilitas intubasi walaupun diberi nondepolirizing sebelumnya karena peningkatan ICP bukan karena fassikulasi dan tak
bisa dikurangi dengan penthotal dan hiperventilasi sebagai alternatif bisa digunakan rokuronium. Mirip vecuronium cuma
onset cepat.
 Ringkasan :

Telah dibicarakan anatomi Circulus Arteriosus Willesi yang dapat mempertahankan sirkulasi otak dalam perubahan posisi
kepala dan dalam keadaan tertentu. Adanya mekanisme autoregulasi cerebral yang dapat mempertahankan CBF dalam
batas normal dalam menghadapi perubahan tekanan perfusi cerebral. Telah dibicarakan pula faktor-faktor yang
mempengaruhi CBF yang semuanya penting dalam menentukan

PULMONARY GAS EXCHANGE


Kita sudah cukup mengetahui bahwa fungsi utama respiratory system adalah mempertahan tekanan partiel O2 dan CO2
sedekat mungkin kearah normal, dalam berbagai keadaan tertentu. Disamping itu paru-paru juga punya fungsi yang lain
seperti blood reservoir, filter, fluid and solute exchange.

Paru-paru merupakan satu mata rantai dalam system mata rantai yang komplex dalam mentransfer O2 dan CO2 antara
darah dan udara. Adekuat tidaknya fungsi sistem respirasi diukur dari normal tidaknya tekanan partiel O2 dan CO2 darah
arteri, observasi fungsi pernafasan dengan cara lain hanya dapat menentukan tidak adekuatnya tetapi tak menjamin
adekuatnya fungsi respirasi.

Tiga faktor utama yang telibat dalam fungsi pernafasan yaitu ventilasi, pulmonary blood flow dan diffusi gas antara alveoli
dan darah dalam kapiler pulmonalis. Ventilasi bukan sekedar mampu mendorong volume darah yang cukup tetapi juga
harus mampu mendistribusikan keseluruh paru sesuai dengan distribusi dan jumlah pulmonary blood flow dan pada
akhirnya setiap gas harus bisa dengan mudah berdifussi melalui membran alveolaris.

Dengan perkataan lain adanya keseimbangan antara ventilasi, perfusi dan diffusi.

2. VENTILASI
 Pertukaran udara antara alveoli dan udara luar disebut ventilasi.
A.TIDAL VOLUME :
 Udara yang keluar masuk alveoli dalam satu kali pernafasan disebut udara tidal(tidal volume). Tidak
semua udara tidal sampai ke alveoli dan ikut terlibat berdiffusi. Volume tidal yang ikut dalam pertukaran gas disebut
effective tidal volume.

Dalam satu penelitian sekumpulan pasien yang dianestesi dengan paru-paru yang sehat dilakukan ventilasi terkontrol
selama 24 jam dengan tidal volume yang konstan kira-kira 7cc/kgBB hanya dilakukan passive hyperinflasi dalam interval
tertentu ternyata tidak dijumpai perubahan gradient antara tekanan partiel O2 dalam alveoli dan arteriel [;P (A-a)] O2.
Dengan volume tidal yang lebih besar terjadi penurunan P(A-a)O2.
 Pada pasien-pasien yang sadar dengan volume tidal
7cc/kgBB walaupun dilakukan secara manual pernafasan yang dalam selama 24 jam ternyata kurang bisa ditolerir
karena menimbulkan kesan tak enak berupa dyspnoe walaupun tekanan partiel O2 dan CO2 arteri normal.

Dengan volume tidal sebesar 10-15cc/kgBB beratus ribu pasien yang diventilasi tak pernah dijumpai kerusakan paru-paru

B. MINUTE VOLUME :
 Volume udara yang keluar masuk paru dalam satu menit disebut minute volume. Ini diperoleh
dengan mengalikan tidal volume dan frekuensi pernafasan.
 Kalau dijabarkan melalui satu rumus maka :

VE = VT x f

VE = minute volume

VT = tidal volume

f = frekuensi pernafasan

Minute volume bisa diukur dengan spirometer dalam satu menit dan tidal volume diperoleh dengan membaginya dengan
frekuensi respirasi.
 Minute volume bisa menurun dalam berbagai keadaan seperti high spinal anesthesia, halothan,
cyclopropan, thiopentone dan ether yang dalam. Penurunan minute volume ini mungkin tak mengganggu oksigenasi
pasien tetapi tak mampu mengeluarkan CO2 secara adekuat.

C. DEAD SPACE VOLUME :
 Bagian dari tidal volume yang tak ikut dalam pertukaran gas disebut dead space
volume.
 Bermacam-macam dead space :
 1.ANATOMICAL SPACE
 Saluran nafas yang tak ikut serta dalam pertukaran
gas mulai dari hidung mulut, laryng, trachea sampai bronchioles terminalis.
 Bervariasi menurut berat badan, umur,
volume paru dan tidal volume. Faktor yang memegang peranan penting mempengaruhi dead space volume(VD)
adalah tidal volume(VT).
 Menurut REDFORD besarnya VD pada dewasa dan neonatus = 1/3 VT atau 20-40% dari VT
atau diperkirakan kira-kira 2,2 cc/kgBB.
 Depressi rahang bawah, flexi kepala akan mengurangi anatomy dead space
lebih kurang 30cc sebaliknya extensi kepala akan meningkatkan kira-kira 40 cc.

Pneumectomy, tracheostomy, intubasi akan jelas menurunkan dead space volume atropin,insersi oral airway akan
meningkatkan dead space volume.

2. ALVEOLAR DEAD SPACE

Alveoli yang baik ventilasinya tapi non perfdused disebut wasted ventilation. Pada keadaan paru overventilasi walaupun
perfusi normal hal ini bisa menambah dead space volume. Pada orang normal alveolar dead space ini minimal sehingga
bisa diabaikan.

3.PHYSIOLOGICAL DEAD SPACE :

Ini merupakan penjumlahan anatomical dan alveolar dead space. Tapi dalam keadaan normal physiological dead space
dianggap sama dengan anatomical dead space. Namanya seharusnya bukan physiological dead space tetapi
pathological dead space. Oleh karena alveolar dead space hanya bermakna dalam keadaan pathologis.

Physiological dead space akan meninggi pada tidal volume yang besa, respiratoy rate yang cepat, induksi anestesi,
atropin dan penyakit paru bila saja hubungan ventilasi berubah, umpama penyakit bronchitis atau asthma bronchiale,VD
nya bisa mencapai 50-80% dari tidal volume. Oleh Frumin dan Nunn (1963) diketahui akibat perdarahan VD nya akan
meninggi dan selama kontrol hipotensi terutama bila pasien dalam posisi head up juga akan meninggi (Ashroff et all
1964). Selama intermitten positive pressure ventilation (IPPV) kenaikan VD ini hampir dapat dikompensasi oleh intubasi
yang dapat mengurangi dead space sd 50% (7). Oleh karena hubungan antara dead space dan tidal volume agak
konstan bila VT berubah,VD phys sering dinyatakan sebagai fraksi dari tidal volume (VD/VT) ratio, normalnya 0,25/0,4.

Pengaruh anestesi pada VD phys kelihatan sangat variabel tetapi biasanya baik VD phys maupun VD/VT ratio akan
meninggi (normal =0,3).
 Pasien yang dianestesi dengan kontrol ventilasi ratio VD/VT akan menjadi 0,3/0,45 tetapi bila
efek intubasi dikoreksi maka VD/VT ratio menjdi 0,4/0,6.

Penelitian Keinn et all (1969), efek intubasi pada total fungsional dead space selama anestesi dengan halotan dan
pernafasan spontan dengan memakai mask dan Frumin valve total dead space meningkat sangat hebat (mean
VD/VT=0,68,SD 0,062).
Ini bisa diturunkan dengan intubasi menjadi (mean VD/VT=0,51). Sehingga perbedaan yang nyata total dead space
antara mask dan intubasi kira-kira 82 cc.Coopen 1967 telah menetapkan bahwa VD phys selama anestesi dengan
passive ventilasi secara kasar dihitung dari formula :

umur
 VD/VT = 33 + ————– %

Kenaikan VD/VT > 0,65 kemungkinan gagal nafas akut. Penyebab yang tersering kenaikan VD/VT ratio ini adalah
hipotensi oleh sebab rendahnya tekanan arteri pulmonal.

Pengukuran VD phys biasanya dengan memakai Enghoffs modification dari Bohrs equation:

( PaCO2 – PECO2 )
 VD phys = —————————- - VD apparatus

PaCO2
 PaCO2 = tekanan partial CO2 dalam darah arteri

PECO2 = tekanan partiel CO2 dalam udara expirasi

VD apparatus = Dead space volume karena apparatus anestesi.
 Kenapa CO2 yang digunakan dalam rumus ini ?

Karena eliminasi CO2 dipengaruhi ventilasi. Caranya dengan mengumpulkan sample udara expirasi campuran dalam
kantong Douglas beberapa kali pernafasan dan mengukur CO2 content serta total volume dan selama pengumpulan
tersebut PaCO2 diukur. Nilai yang diperoleh untuk PECO2 dan VT lalu disubsitusikan dalam persamaan dan VD phys
dihitung sebagai fraksi dari VT maupun nilai absolut VD phys.

4.APPARATUS DEAD SPACE :
 Merupakan volume udara yang terkandung dalam apparatus anestesi diantara pasien
dan mesin anestesi (expiatory valve pada Magil System).

Ini memerlukan perhatian yang serius terutama bila yang dianestesi anak atau bayi. Pada Magil system dead space bisa
bertambah lebih kurang 125 cc.

D. ALVEOLAR VENTILATION (VA) :

Bagian dari minute volume yang ikut serta dalam pertukaran gas. Nilai normal VA adalah 2,0 -2,4 L/menit /m2 BSA (body
surface area) atau kira-kira 3,5-4,5 L/menit pada orang dewasa, ini merupakan faktor yang terpenting dalam mengontrol
excresi CO2 dari paru.

VA = (VT – VD phys) x f

Dari rumus ini terlihat bahwa kenaikan VD phys atau penurunan frekuensi pernafasan akan mereduksi VA(alveolar
ventilation), asal saja faktor-faktor lain tetap. Penurunan tidal volume pada orang normal akan diikuti penurunan VD phys
sehingga efek pada VA tak seberapa.
 Sekiranya kita hitung VA dalam berbagai keadaan :

1.Normal : (450- 150) x 13 = 3,9 L/ menit ( PCO2 normal )
 2.Tidal volume menurun : (300 – 150) x 13 = 2,6 L/ menit
(PCO2 meninggi)

3.VD phys meningkat oleh alat anestesi (450 – 225) x 13 = 2,7 L/ menit (PCO2 meninggi)

4.Respiratory rate menurun : (450- 150) x 8 = 2,4 L/ menit (PCO2 meninggi)

Pengaruh ventilation pattern pada alveolar ventilation dapat terlihat sebagai berikut:
 Pada pernafasan cepat dan
dangkal : (200- 150) x 30 = 1500 cc / menit
 Pada pernafasan dalam dan lambat : (600- 150) x 10 = 4500 cc /
menit
 Dari gambaran diatas dapat ditarik kesimpulan suatu pernafasan yang cepat dan dangkal akan menyebabkan
ventilasi yang tidak efisien.

Ini disebabkan udara yang bergerak sebagian besar hanya mondar mandir dalam conducting airway.Terlihat dari minute
volume yang sama menghasilkan alveolar ventilation yang sangat berbeda dibawah pengaruh ventilation pattern. PaCO2
terutama dipengaruhi oleh alveolar ventilation tidak sama sekali oleh pulmonary blood flow sedangkan PaO2 terutama
ditentukan oleh cardiac output, pulmonary blood flow dan sekunder oleh alveolar ventilation.

Peninggian alveolar ventilation secara mendadak selama 3 menit bisa menurunkan separuh dari total PaCO2 sedangkan
penurunan secara mendadak selam 16 menit bisa menaikkan separoh dari total PaCO2(4). Pada praktisnya ada
mekanisme fisiologis yang cenderung mengembalikan PaCO2 kearah normal dalam setiap menghadapi perubahan yang
terjadi sehingga perubahan alveolar ventilation tak begitu bermakna. Tetapi dibawah pengaruh sedative/anestesi respons
fisiologis mungkin ditekan sehingga setiap perubahan alveolar ventilation oleh bertambahnya apparatus dead space
mungkin tak bisa dikompensir secara penuh. Suatu keadaan hipoventilasi dimana VA dibawah normal input O2 maupun
output CO2 berkurang dengan demikian suatu keadaan hipoksemia dann hiperkarbia bisa timbul bersama2 dalam situasi
hipoventilasi.

Akan tetapi PaO2 bukanlah petunjuk yang tepat adanya non adekwat ventilasi karena banyak penyebab lain yang
menyebabkan hipoksemia sebaliknya PaCO2 petunjuk yang tepat adanya hypoventilation karena outputnya semata-mata
tergantung alveolar ventilation. Pengeluaran CO2 yang adekuat memerlukan alveolar ventilation yang adekuat dengan
perkataan lain PaCO2 yang rendah menunjukkan alveolar ventilation yang

excessive sedangkan PaCO2 yang tinggi menunjukan alveolar ventilation non adequate. Deep anesthesia, respiratory
depressant drug dan muscle relaxant semua cenderung mendepresi alveolar ventilation. Ini akan meningkatkan PACO2
dan menurunkan PAO2 kecuali supply O2 ditambah dalam udara inspirasi. Ini dapat diterangkan bilamana tak ada
perubahan pada setiap gas campuran yang lain dalam paru dimana PAO2 dapat dihitung dari persamaan berikut(Alveolar
air equation).(Coenroe et all 1962)

Alveolar CO2 tension

Alveolar oxygen tension (PAO2) = Inspired O2 tension-Respiratory Quotient

PAO2 = PIO2 – PACO2/R

Kalau kita subsitusi angka2 normal pada persamaan ini :

150 - 40/0,8 = 100 mmHg
 Bila PACO2 meningkat sampai 60 mmHg maka persamaan akan menjadi :
 150 - 60/
0,8 = 75 mmHg

Terlihat bahwa adanya kenaikan PACO2 mengakibatkan penurunan PAO2 maupun PaO2 dengan demikian bisa
menimbulkan hipoksemia oleh sebab itu pada anestesi dengan spontan respirasi ditambah perubahan lain akan
cenderung menimbulkan hipoksemia maka dianjurkan memakai minimal 33% O2 dalam semua campuran gas anestesi
untuk mengkompensir setiap kenaikan PaCO2 dan perubahan paru yang terjadi.
 Umpamanya 30% O2 diberikan maka
persamaan tadi menjadi : 230 - 60/ 0,8 = 155 mmHg

Pengamatan reservoir bag, gerakan dada dan abdomen, frekuensi respirasi, pengukuran minute volume dengan
spirometer, pengamatan warna darah capillarry bed merupakan tindakan yang praktis selama operasi. Yang paling dapat
dipercaya adalah spirometer tetapi yang lebih baik adalah analisa gas darah hanya tidak praktis dan fasilitasnya masih
minim. Warna capillary bed hanya untuk oksigenasi tetapi tidak menunjukkan adanya retensi CO2. Dengan
meningkatkan konsentrasi O2 saja dalam udara inspirasi tanpa mengawasi ventilasi sangat riskan.

Bila terjadi peningkatan ventilasi selama anestesi dengan respirasi spontan kemungkinan kausanya :

1. hipoksia

2. hiperkarbia

3. anestesi dangkal
 4. reflex surgical stimulation

ad.1. hipoksia bekerja pada chemoreceptor merangsang respirasi.

ad.2. hiperkarbia menyebabkan perubahan acid base balance membasahi respiraytory center meningkatkan ventilasi.

ad.3. iritasi jalan nafas oleh zat volatile anestesi atau prosedur perangsangan yang lain.

ad.4.stimulasi dari lokasi operasi atau stimulasi mukosa bronchial, umpama penarikan mesenterium, dilatasi sphincter
dengan anestesi ringan

dimana reflex suppression tak adekuat, menaikkan ventilasi, bila stimulasi lebih berat sedangkan anestesi tak adekuat
bisa timbul laryngospasm.

Maka sikap kita bila menemukan respiratory rate meningkat durante operasi tensi naik nadi cepat singkirkan dulu
hipoksia dan hiperkarbia baru boleh didalamkan anestesi.

Selama dianestesi haruslah diperiksa :
 Tangki O2 berisi atau kosong (sumber O2 lancar)

FiO2 cukup/tidak

Ventilasi cukup ?
CO2 absorber bekerja atau tidak ?

One way valve bekerja atau tidak ?
 Mendalamkan anestesi dalam kondisi hipoksia atau hiperkarbia mengundang
bencana depressi yang lebih besar baik terhadap otak maupun cardio vascular.

E. LUNG VOLUME / CAPACITY :
 Istilah yang digunakan untuk menjelaskan lung volume dan capacity digunakan
oleh sekelompok American Physiologist untuk memudahkan pengertian telah dapat diterima oleh umum. Nomenklatur
untuk lung volume dan capacity dengan nilai normal pada orang dewasa diperoleh dari Needhan et all (1954).

Terminologi Keterangan
Normal Value
 M F

============================================================================================
====

Tidal volume(VT) Volume udara inspirasi & expiirasi setiap kali


respirasi 660 550

(230) (160)

Inspiratory reserve volume(I R V) Maksimum udara yang dapat diinspirasi sesudah inspirasi
normal 2240 1480

Expiratory reserve volume(ERV) Maksimum udara yang dapat diexpirasi sesudah


expirasi normal 1240 730

(410) (300)
 Residual volume(RV) Volume udara yang tinggal diparu sesudah expirasi
maksimal 2100 1570

(520) (380)

Vital capacity (VC) Volume udara maksimum yang dapat diexpirasi sesudah
inspirasi maksimal 4130 2760

.
(750) (540)

Total lung capacity (TLC) Total udara dalam paru sesudah


inspirasi maksimal 6230 4330

(830) (620)
 Inspiratory capacity (IC) Volume udara maksimal yang dapat diinspirasi sesudah
expirasi normal 2900 2030

Functional Residual Capacity (FRC) Volume udara yang tinggal diparu sesudah expirasi
normal 3330 2300

(680) (490)

——————————————————————————————————————————————————————
———-

Yang dimaksud dengan capacity adalah jumlah dua atau lebih volume paru.

Tetapi yang paling penting dalam menilai faal paru adalah vital capacity,residual volume dan functional residual capacity.

VITAL CAPACITY :

Merupakan jumlah dari tidal volume 500 cc

Inspiratory reserve volume 2500 cc

Expiratory reserve volume 1000 cc

———–+
 4000 cc

Penetapan VC secara sederhana dapat diukur dengan spirometer. Dapat dengan menghitung tinggi(cm) x 25 atau berat
badan (kg)x 70.

Nilai normal VC : Atlit Pria Wanita

Rata-Rata VC dalam cc/m2 BSA 2800 2600 2100

Rata-Rata VC dalam cc/m tinggi 2900 2500 2000

Penetapan VC tak bisa dianggap abnormal bila variasi tak lebih 20% dari angka diatas, oleh karena VC tidak selalu
konstant walau pada orang yang sehat dan selalu dipengaruhi oleh faktor umur, latihan fisik, perubahan berat dan tinggi
badan, sex dan lain-lain. Pada orang yang sama dari waktu kewaktu bisa berbeda oleh sebab itu penetapannya tak cukup
sekali saja tapi sebaiknya berulang, VC bisa menurun dalam berbagai

keadaan :

1.Perubahan kekuatan otot :
 Jelasnya setiap obat yang mendepresi aktivitas mekanisma pernafasan apakah
diotak,saraf,maupun serabut otot bisa menurunkan VC. Sama halnya lesi pada otak seperti tumor otak, tekanan
intracranial(ICP) meninggi, lesi pada saraf seperti poliomyelitis atau polineuritis, lesi pada neuro muscular junction
seperti myasthenia gravis dapat menurunkan VC.

2.Penyakit paru:
 Yang paling sering chronic bronchitis, pulmonary fibrosis, asthma bronchiale lobair pneumonia.

3.Space occupying lesion pada thorax :
 Extra pleural tumor, pleural/pericardial effusion, kyposcoliosis, pneumothorax
dan neurofibromatosis dan lain-lain.

4.Tumor abdomen :
 Yang menghalangi turunnya diaphragma kecuali uterus yang membesar pada orang hamil
walaupun mendorong diaphragma keatas namun VC tak turun malah naik 10% diatas normal karena rangka thorax
membesar transversal dan antroposterior serta sudut subcostal sangat miring waktu hamil.

5.Abdominal pain :
 Nyeri post operatif mengenai otot abdomen akan menurunkan VC (70-75)% bila operasi abdomen
bagian atas dan 50% bila andomen bagian bawah menurut Churchill 1925, angka ini disetujui oleh Simpson s Cs yang
mengusulkan teknik continous thoracic epidural untuk mengurangi nyeri post operatif sekaligus mampu memperbaiki VC.
Tetapi yang menarik sangat sedikit penderita yang kembali VC nya seperti preoperatif. Ini mungkin epidural sendiri dapat
membatasi aktivitas respirasi namun Moir 1965 pada penelitian yang sama menyimpulkan bahwa tidak dijumpai derajat
paresis yang bermakna disebabkan epidural block

6 Abdominal splinting :
 Pengikatan abdomen yang ketat akan membatasi respirasi, tetapi elastic strapping dalam vertical
plane membantu kebebasan yang luas bagi respirasi post operatif.

7.Perubahan posture :
 Pada pasien sadar akan terjadi perubahan VC yang besar disebabkan perubahan volume darah
diparu. Dengan demikian VC akan lebih besar waktu berdiri dibandingkan posisi duduk atau telentang. Selisih VC duduk
dan berbaring kira-kiar 300 cc, dengan pooling darah dikaki akan mampu menambah VC 1/4-1/2 liter.

Berbagai posisi pasien yang dianestesi diata meja operasi akan mempengaruhi VC :

Posisi Hilangnya VC

Tredelenburg (20 derajat) 14,5 %

Lithotomi 18,0 %
 Left lateral 10,0


%

Right lateral 12,0 %

Bridge in dorsal position 12,5 %

Prone position unsupported 10,0 %

RESIDUAL VOLUME AND FUNCTIONAL RESIDUAL CAPACITY:

=================================================

Residual volume jumlah udara yang masih ada diparu sesudah expirasi maksimal. FRC jumlah udara yang ada diparu
sesudah expirasi normal, pada saat yang sama elastic coil paru seimbang dengan elastic recoil dinding dada. Sayangnya
tak ada satupun cara mengukur RV dan FRC secara langsung, cara tak langsung bisa dengan spirometer dengan
mengusir kadar N2 yang keluar dari paru pasien. Sesudah expirasi maksimal (kalau yang diukur RV) dan sesudah
expirasi maksimal kalau yang diukur FRC, pasien disuruh menghirup O2 dari sumbernya kemudian mengexpirasikan
kedalam spirometer yang telah bebas N2.

Setelah beberapa menit hampir seluruh N2 dalam paru diusir keluar dari paru. Pada orang dewasa yang sehat ini hanya
dicapai dalam 2 menit, tetapi pada pasien empysema yang berat paling cepat dibutuhkan waktu 7-20 menit. Pada
permulaan test semua N2 ada dalam paru tapi pada akhir test semuanya masuk respirator dan konsentrasi N2 dalam
spirometer dapat diukur. Volume total gas dalam spirometer diketahui maka total volume N2 dalam gas campuran
juga dapat diketahui, maka total volume N2 sama dengan RV atau FRC.

Residual volume yang meningkat menunjukan volume paru lebih besar dari biasa dan tak dapat mengosongkan isinya
secukupnya, biasanya bersamaan dengan emphysema paru tetapi bisa juga terjadi temporer tanpa perubahan struktur
paru. Residual bisa juga meningkat bila ada obstruksi jalan nafas seperti pada asthma bronchiale atau overinflasi
sesudah thoracotomy. Pada emphysema yang berat sebagian udara akan terkurung sempurna dalam alveoli dan tak bisa
berkontak dengan udara respirasi.

Menurut Folger 1971, FRC lebih kurang 30cc/kg BB,menurun 1/3 bagian pada posisi telentang dibandingkan posisi tegak
ini disebabkan lebih tingginya diphragma dan beratnya viscera. Selama anestesi terutama waktu induksi apalagi pada
orang tua terjadi penurunan FRC 16% sebabnya tak jelas.

Perbandingan dewasa dan neonatus dalam beberapa lung :

Adult Neonatus

FRC cc/kg BB 34 30

RV cc/kg BB 17 20

FRC/TLC 0,40 0,48

RV/TLC 0,20 0,33

Setiap kenaikan FRC biasanya diduga adanya perubahan emphysematous dalam paru. Pada neonatus FRC lebih
mendekati RV dibandingkan dengan dewasa mungkin ada kecenderungan kollapsnya alveoli setiap exhalasi pada
neonatus. FRC menurun jelas pada post laparatomi oleh sebab abdominal distension atau spasmo otot abdomen yang
dapat menghalangi expansi paru.

Faktor yang paling dominan menurunkan FRC adalah perubahan mekanik dinding thorax umpama dinding dada yang
kaku. Bila FRC/TLC dan RV/TLC meninggi mungkin ada gas trapping. Kalau FRC menurun uptake gas anestesi juga
menurun, hilangnya juga lambat terutama zat yang high soluble.

THORACIC GAS VOLUME
 Menentukan total volume udara dalam thorax berdasarkan perubahan tekanan udara
didalam dan diluar thorax bila airway pasien ditutup tiba-tiba,biasanya pada akhir expirasi. Metode ini dikombinasi dengan
metode dilusi N2 mudah menentukan jumlah daerah nonventilated dari paru pasien tertentu. Pada emphysema bisa
dijumpai 1-3 liter udara terkurung dalam alveoli.

CLOSING VOLUME

Volume udara dalam paru selama expirasi ketika small airway menutup. Kita ketahui dalam keadaan normal/sadar
selama inspirasi tidak dijumpai penutupan airway ,semua daerah paru terbuka, penutupan airway terjadi terutama
kebanyakan pada dependent region dari paru dimana selama expirasi tekanan pleural lebih besar dari tekanan airway.

Dengan bertambahnya umur dimana terjadi penurunan elastic recoil secara progressif akan lebih besar tendency
penutupan airway berarti meningkatnya closing volume (CV). Normal closing volume umur 20 tahun kira-kia 1,5 liter
dibawah FRC dan umur 65 thn sama dengan FRC saat posisi berdiri. Bila FRC lebih kecil dari CV menunjukkan adanya
regional hipoventilasi pada dependent area dari paru, shunt atau peninggian P(A-a) O2.

CV meninggi pada perokok berat walaupun test paru lain abnormal. Penutupan airway sangat mungkin oleh sebab
hilangnya elastisitas jaringan paru mengakibatkan air trapping dan perubahan ventilasi/perfusi. Ini mungkin penyebab
hubungan terbalik yang normal diantara umur dan PaO2. CV meningkat dengan bertambahnya umur, obesitas, posisi
berbaring, anestesi apakah dengan spontan atau kontrol ventilasi. Penggunaan PEEP tampaknya sangat menolong pada
situasi meningkatnya CV agar FRC bisa ditingkatkan diatas CV.

Closing capacity = Closing + Residual volume

Bila closing capacity(CC) lebih besar dari FRC maka penutupan airway akan terjadi selama pernafasan tidak
meningkatkan AaDO2. Pada bayi atau anak dibawah 6 tahun, CC> FRC pada dependent area dari paru oleh karena
gravity dan diluar thorax bila airway pasien ditutup tiba-tiba biasanya pada akhir expirasi. Methode pemakaian morphin
dan derivatnya sebagai penghilang nyeri post operataif cenderung mendepresi respirasi sehingga VC menurun. Spesific
nerve block mungkin efektif.

F. COMPLIANCE (distensibility) (CL):

Paru-paru mempunyai sifat visco elastis:
 1. Compliance (sifat mengembang dari paru paru).

2. Elastance (elastic resistance), rentan terhadap pengembangan paru pengukurannya pada saat aliran
udaraberhenti(expirasi).

3. Vicance (rintangan sepanjang jalan nafas).

Dahulu digunakan istilah elastisitas paru menurun, saat ini tak dipakai lagi, seharusnya compliance menurun dan
elastance meninggi.

Yang dimaksud dengan compliance sebenarnya hubungan antara tekanan dan perubahan volume paru. Setiap kenaikan
tekanan 1 cm H2O berapa liter pertambahan volume paru disebut compliance paru. Yang dinyatakan dalam L/cm H2O,
bervariasi untuk tiap orang dan tiap keadaan pada orang yang sama,pada orang muda nilai normalnya =0,2 L/cm H2O
artinya tiap kenaikan tekanan 1 cm H2O akan bertambah volume paru sebesar 200 cc. Compliance dinding thorax (Ccw)
(Chest wall compliance) besarnya juga 0,2 L/ cm H2O.

Total compliance bisa dihitung dengan rumus :

1 / CT = 1 / CL + 1 / Ccw

1 / CT = 1 / 0,2 + 1 / 0,2

CT = 0,1

Jadi diperlukan tekanan 1 cm H2O untuk mendorong 100 cc udara kedalam paru. Static compliance sehubungan dengan
elastic resistance diukur waktu menahan nafas tanpa memandang faktor flow sedangkan dinamic compliance (non elastic
resistance) diukur selama bernafas spontan.

Non elastic resistance terdiri dari 2 komponen utama:

1.Viscous resistance terdiri dari paru dan dinding dada.(20 %)

2.Airflow resistance tergantung terutama pada airway, pattern dan flowrate.(70-80%)

Oleh sebab compliance punya hubungan erat dengan FRC dinyatakan sebagai spesific compliance.

Spesific compliance = Compliance ( L/cm H2O) : Volume paru pada FRC.
 Normal = 0,5 L/cm H2O. Ratio ini sama
untuk dewasa, anak dan neonatus.
 Compliance paru sangat tergantung pada elastisitas paru dan volume paru sebelum
diregang. Selama anestesi compliance paru menurun

mekanisme yang pasti belum jelas tetapi ada beberapa faktor yang mungkin menyokong keadaan ini, antara lain :

1.Posture
 Kebanyakan pasien yang di anestesi posisinya telentang yang dapat menurunkan volume paru dan akibatnya
compliance paru menurun. Pada akhir expirasi diaphragma agak flaccid dan posisinya ditentukan oleh perbedaan
tekanan antara rongga abdomen dan pleura. Pada posisi head down, tengkurap, atau posisi gall blader/kidney akan
memperhebat penurunan lebih lanjut compliance thorax.

2. Ventilatory pattern :
 Respirasi yang dangkal biarpun teratur akan menurunkan compliance paru secara progresif baik
pada manusia maupun pada binatang. Ini bisa dikembalikan ke normal dengan over inflasi.

3. Perubahan pulmonary blood flow:
 Shunting dapat menurunkan compliance paru.

4. Distribusi gas inspirasi :
 Perubahan pattern dari distribusi gas inspirasi atau artficial ventilasi dapat berpengaruh. The
Work of breathing adalah kerja untuk mengatasi elastic recoil paru dan frictional resistance dari gas flow melalui airway,
atau tekanan total yang diperlukan untuk memaksa sejumlah udara masuk kedalam paru, nilai normal = 0,5 kgm/menit.

Ini bisa meningkat 5-10 kali bila ada penyakit paru dan jantung. Diperkirakan konsumsi O2 untuk work of breathing 2%
dari total konsumsi O2 seluruh tubuh. Pada respiratory distress syndrome konsumsi O2 bisa meningkat lebih dari 30%
dari total konsumsi O2 tubuh. Pada waktu istirahat metabolic cost of breathing normal 0,5-1 ml O2/liter ventilasi. Dengan
hyperventilasi bisa meningkatkan sampai 3-4 cc O2 / liter ventilasi.
G. Dynamic test of ventilation
 Idealnya semua anesthesiologist pada preoperatif melakukan test faal paru untuk semua
pasien yang diduga akan berkembang komplikasi pulmonal. Tetapi tak ada satu test pun yang ideal begitupun untuk lebih
cermat lebih baik dilakukan penggabungan berbagai test.

1. MBC (Maximum breathing capacity atau MBV(Maximum breathing ventilation):
 Volume udara maksimal yang
dinafaskan pasien dalam satu menit. Test ini diperkenalkan oleh Hermansen 1933 direncanakan untuk mengukur
kecepatan dan effisiensi pengisian dan pengosongan paru selama pernafasan maksimum dalam 1 menit. Biasanya diukur
dalam 15 detik daan hasilnya dinyatakan flow permenit. Dengan demikian dynamic test bertentangan dengan static test
pada penetapan vital capacity.

Dengan bertambahnya umur akan diikuti penurunan MBC dan pasien empysema pulmonum penurunannya sangat
menyolok. Demikian juga pada bronchospasm atau obstruksi bronchus. Test ini juga digunakan untuk mentest efektifitas
bronchodilator pada terapi bronchokonstriksi. Dan menurut Courmand dan Richards 1941 sesudah dilakukan reseksi iga
ditemui turunnya MBC sebesar 15%. Test ini sangat melelahkan kurang cocok pada pasien kondisinya jelek. Nilai normal
berkisar antara 100-200 L/menit tergantung cara pengukurannya.

MBC sebanding dengan 35x forced expiratory volume pada detik pertama (FEV 1).
 Breathing reserve = MBC - Minute
volume
 Syarat timbulnya dyspnoe bila ratio breathing reserve (Breathing reserve/MBC)<65-70%,sebenarnya dyspnoe
tak tergantung oksigen dan pH atau lainnya.

2. Forced expiratory volume (FEV)
 Volume udara yang dikeluarkan sekuat-kuatnya dalam detik pertama sesudah
inspirasi maximum.

Nilai ini dinyatakan sebagai ratio FEV/VC.

Bisa dibedakan apakah kelainan paru berupa obstruktif atau restriktif.(kapasitas ventilasi yang tidak sempurna), pasien
diminta inspirasi semaksimal mungkin kemudian expirasi sekuat dan secepat mungkin yang ia mampu kedalam
spirometer dan jumlah total gas yang diexpirasikan setelah waktu tertentu dicatat. Interval waktu pengukuran jumlah
udara yang diexpirasikan 0, 5, 1 ,2 ,3 detik pertama, tetapi biasanya pada detik pertama (FEV 1,0) volume ini disebut
sebagai presentase dari Forced Vital Capacity (FVC).

Pada orang normal 83% VC seharusnya diexpirasikan pada detik pertama, batas minimal normal kira-kira 70%,
sedangkan pada bronchitis chronica 50%. Dengan vitaloparagraph bisa diukur sekaligus VC dan FEV 1,0. Bila tak ada
resistensi terhadap airflow atau gerakan dada yang terbatas FEV 1,0 akan turun seimbang dengan penurunan VC.

Pada penyakit paru restrictif seperti pulmonary fibrosis semua lung volume menurun. Walaupun flow mungkin menurun
tetapi sebanding dengan penurunan lung volume sehingga ratio FEV 1.0/FVC tetap normal.

3. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) :
 Sesudah inspirasi maksimum pasien disuruh expirasi sekuat mungkin dan
mximum flow rate dari udara diukur. Pengukuran bisa dibuat dengan pneumotachograph atau alat khusus seperti Wright
flow meter. Batas normal PEFR 450-700 L/menit pada pria dewasa dan 400-500 L permenit pada wanita dewasa
bervariasi menurut umur dan berat badan.

PEFR biasanya 4-5x MBC. Nilai rendah FEV 1,0 dan PEFR biasanya disebabkan naiknya resistensi air flow dalam
conducting airway umpama bronchospasm, asthma bronchiale atau bronchitis chronica. Beberapa pasien kelihatan VC
menurun walau FEV 1.0 dan PEFR normal. Bila alat tak tersedia untuk mengukur beratnya lesi obstruktif kita dapat
lakukan test sederhana dimana pasien diminta bernafas dalam kemudian mengexpirasi sekuat mungkin melalui mulutnya,
bila selesai paling lama 3 detik bisa dikatakan normal.

4. Bronchospirometry
 Fungsi masing-masing paru dapat diteliti secara terpisah dengan


bronchospirometri,keuntungan,alat ini dibandingkan test lain dapat mengukur ventilasi dan oksigen uptake pada saat
sama.

Pada orang normal diharapkan 55% dari ventilasi dan konsumsi O2 dilakukan oleh paru kanan dan 45% oleh paru kiri.
Test ini sangat berguna bila dipakai untuk menetapkan fungsi salah satu paru kalau pneumectomy atau lobectomy dari
sisi yang bertentangan dipertimbangkan.

5. Jalan udara inspirasi didistrubsikan ke alveoli mungkin dipengaruhi perubahan lokal dalam resistensi airway atau
elastisitas paru.
 Metode paling sederhana mendeteksi distribusi ventilasi abnormal dengan mempelajari eliminasi N2 dari
alveoli bila bernafas dengan 100% O2.

Pasien diminta menghirup O2 100% selama 7 menit, pada akhir waktu ini konsentrasi N2 dalam udara alveolar diukur
dengan nitrogen meter, bila konsentrasi N2 > 2% dianggap ada distribusi abnormal dari paru. Harus diingat rate of N2
yang dikeluarkan dapat juga dipengaruhi oleh tidal dan minute volume dan FRC

6. Match test :
 Berhasil atau tidaknya menghembus kertas tipis yang berjarak 15 cm dari mulut pasien yang membuka
lebar, dengan syarat bibir tak boleh ikut bersama.
 Bila pasien bisa melakukannya dianggap ventilasinya cukup.
Terutama untuk pasien yang dipersiapkan untuk thoracotomy atau laparatomy.
 Bila gagal melakukannya memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut.

7. Auskultasi diatas trachea selama forced expirasi :
 Bila didengar suara pernafasan > 6 detik kemungkinan ada
obstruktif bila kurang dari 5 detik hampir dapat dikatakan tidak ada obstruksi pada jalan nafas.

8. Cara sederhana :
 Pasien bernafas dengan O2 100% selama 3 menit tentukan tensi dan nadi. Kemudian bernafas
dengan O2 21% selama satu menit, kemudian tentukan tensi dan nadi. Bila tensi dan nadi naik >10% berarti ventilasi tak
adekuat karena ada retensi CO2.

III. VENTILASI PERFUSI :
 Normalnya pertukaran gas CO2 dan O2 tergantung pada normalnya hubungan antara
alveolar ventilasi (VA) dan perfusi (Q),dengan perkataan lain adanya keseimbangan ventilasi perfusi. Kita ketahui tekanan
arteri pulmonal cukup rendah dalam keadaan normal sehingga waktu posisi berdiri, gravitasi sendiri dapat melemahkan
perfusi pada unit paru bagian atas sehingga ratio ventilasi perfusi (VA/Q) didaerah apex relatif tinggi, sebaliknya pada
basis paru perfusi lebih tinggi dibandingkan ventilasi sehingga ratio ventilasi perfusi (VA/Q) jadi rendah.

Nilai VA/Q bervariasi antara 0 sampai tak berhingga.
 Pada ratio VA/Q = 0 berarti perfusi baik tetapi tak ada ventilasi
disebut wasted perfusion. Dalam keadaan ini didapati complete shunt dimana PaO2 = PvO2.
 Diagnose shunt diketahui
dengan peninggian gradient tekanan partiel O2 dan alvoli > 10 Besarnya % shunt bisa diketahui dengan memakai rumus :

0,0031 x (A-a) DO2

Bila PaO2 > 150 torr ——– Qs / Qt = —————————————–

{{0,0031x (A-a) DO2}} + (a-v) DDO2}

(CeO2 – CaO2)

Bila PaO2 < 150 torr———-Qs / Qt = ————————-

(CaO2 – CvO2)

normal = 2-5%

CO2 = O2 content

a = arteriel

v = venous

e = end capillary

Shunt > 30% mungkin terlihat pada CHD, trauma paru, fat emboli paru, pneumonia, gross ,obesity dan lain-lain.
 Bila kita
perhatikan besarnya shunt dengan respons terhadap pemberian O2 dalam udara inspirasi (FiO2) dapat kita duga
besarnya shunt yang terjadi.

% shunt % FiO2 untuk mengembalikan PaO2 normal

————————————————————————————————————

10 30

20 57

30 97

40 tidak mungkin kembali normal

50 tidak ada efek sama sekali pada PaO2

————————————————————————————————————

Bila shunt 50% maka tidak ada effek terhadap PaO2 berapa besarpun FiO2 diberikan. Bila ratio VA / Q tidak berhingga
berarti ventilasi baik tetapi tak ada perfusi disebut wasted ventilation menyebabkan meningkatnya alveolar dead space
ventilation. Unit paru yang perfusinya rendah relatif hiperventilasi ini akan mengakibatkan PACO2 yang sangat rendah
dan PAO2 yang tinggi. Yang sangat menarik unit paru ini sangat sedikit pengaruhnya pada PaCO2 dan PaO2 oleh
karena perfusi yang jelek hanya memberikan sedikit darah sehingga sedikit gangguan langsung pada PaO2 total.
Jika unit ini terkena cukup bermakna maka akan meningkatkan wasted ventilation dengan demikian peningkatan minute
volume diperlukan untuk mempertahankan PaO2 yang normal sebab bila PaCO2 meninggi maka PaO2 akan menurun.

Pada posisi berbaring blood flow kedaerah apex paru meningkat sedangkan kedaerah basal tetap. Dengan demikian
distribusi darah jadi merata.
 Dengan adanya distribusi darah/ventilasi yang berbeda dilapangan paru maka lapangan
paru dapat dibagi atas zone I, II, III.

Zone I : daerah apex VA /Q = 0,6 / 0,2

P alv > P art > P ven——————– capiller agak tertekan karena tekanan alveoli tekanan arteri sehingga deadspace
meninggi.

Zone II : mid zone VA / Q = 1,0 / 1,0

P art > P alv > P ven——————— blood flow tergantung perbedaan tekanan arteri dan alveoli.

Zone III: basal zone VA / Q = 2,4 / 3,8

P art > P ven > P alv——————— blood flow tergantung perbedaan tekanan arteri dan vena.

IV. DIFFUSSION:

Diffusi adalah masuknya gas kedalam cairan melalui satu membran.
 Koefisien diffusi adalah banyaknya gas yang masuk
cairan melalui membran dalam waktu tertentu.

Pertukaran gas dalam paru terjadi melalui proses difusi pasif melalui membran alveolar capiler.Membran ini terdiri dari
membran alveolar,cairan interstitial dan endothel capiler. Cepatnya transfer gas tergantung dari luasnya membran,
solubelity gas dalam cairan,perbedaan tekanan partiel melalui membran, tebalnya membran, sifat membran, molekul Hb
dan capiler paru. Karena difusi CO2 sangat mudah terjadinya maka tekanan CO2 capiler = tekanan CO2 alveolar.

Nilai normal 30 – 40 mmHG.
 Pertukaran O2 walaupun cepat terjadinya tetapi tak semudah CO2, jika terjadi
kelainan paru maka bukan difusi CO2 yang akan terganggu tetapi difusi O2 yang lebih dulu mengalami perubahan.

Dalam keadaan normal ada anastomose antara arteri dan vena pulmonalis tetapi aliran darah tetap melalui capiler paru
dulu baru mencapai vena pulmonalis, tetapi dalam keadaan hipoksemia, dalam daerah paru yang hipoventilasi mungkin
terjadi aliran langsung kedalam vena pulmonalios. (A-V pulmonary shunt). Difusi akan menurun oleh faktor sekunder
pada beberapa penyakit antara lain adanya alveolar capillary block, yang ditemukan pada Boecks sarcoid of the lung,
asbestosis, pulmonary odema dan lain-lain.

Pulmonary diffusing capacity untuk CO :

ml CO yang ditransfer dari alveoli kedalam darah/menit

—————————————————————–

tekanan CO alveolar rata2 – tekanan capiler rata2

nilai normal : 17 – 25 cc / menit /mmHg

Untuk test difusing capacity ini memerlukan gas yang sangat solubel dalam darah, tampaknya CO memenuhi kriteria
untuk ini oleh karena kombinasinya dengan Hb, dengan menambahkan CO 0,2% pada udara inspirasi CO uptake diukur,
Faal difusi ini bisa juga dinilai dari (A-a)DO2 bila meninggi dan PaO2 menurun berarti faal difusi tak baik. Jadi diffusi dari
alveolar ke capiler akan tidak sempurna bila ada:

1.AV Pulmonary shunt.
 2.Alveolar capillary block
 a.penebalan membran capilwer, aliran darah capiler lebih cepat
sehingga tak cukup waktu berdifusi sempurna.

PENGGUNAAN ALAT BANTU NAFAS


Peningkatan penggunaan alat bantu nafas (ventilator dan sejenisnya) pada akhir-akhir ini baik diunit perawatan intensif
maupun kamar bedah menuntut banyak kemampuan khusus baik dokter maupun paramedis dalam tehnik pemakaian
ventilator.

Pemakaian satu jenis ventilator yang dikuasai dengan baik lebih bermanfaat dari segala jenis ventilator yang hanya
diketahui serba sedikit. Penggunaan ventilator yang sederhana lebih di prioritaskan daripada ventilator yang dilengkapi
banyak tombol yang rumit serta membingungkan bagi yang kurang pengalaman.Yang paling penting bagi paramedis
minimal mengetahui dasar penggunaan ventilator dan apa yang harus dimonitor agar sasaran yang diinginkan bisa
dicapai.

Sama halnya dengan obat ,ventilator juga punya ukuran dan aturan pemberian dan indikasi serta efek samping yang
perlu dipertimbangkan sebelum menggunakannya.

Definisi :
 Ventilator/respirator adalah alat memberikan nafas buatan secara mekanik. Nafas yang dibuat orang lain
disebut nafas buatan sedangkan nafas dengan kemauan pasien sendiri disebut pernafasan spontan.

Nafas buatan bisa dilakukan dalam beberapa cara :

A. Manual methode :

Holger Nielsen

Penderita tengkurap dilakukan penekanan pada punggungnya dan penarikan lengan sebanyak 12x permenit.
 Schafer :

Menekan punggung dan mengangkat pinggul penderita berganti-ganti 12 x per menit.
 Silvester :
 Penderita telentang
lengan diangkat vertikal diatas kepala kemudian diletakkan diatas dada lalu ditekan 12 x per menit.

B. Meniup udara expirasi:
 - mulut kemulut

- mulut kehidung

Cara B lebih efektif mudah paling sering digunakan dari pada cara A.

C.Memberikan tekanan negatif diluar tubuh penderita sehingga dada,mengembang terjadi inspirasi kemudian tekanan
dijadikan positif terjadi expirasi.

Contoh-Cabinet respirator
 Cuirass respirator.

D. Memberikan tekanan positif kejalan nafas:
 Contoh – Ventilator RCF,drager
 Ini yang paling banyak digunakan
belakangan ini.

Note: Yang dimaksud tekanan positif ialah tekanan diatas satu atsmosfer dalam hal ini tekanan satu atsmosfer dianggap
sama dengan nol,sedangkan tekanan negatif sama dengan tekanan dibawah satu atsmosfer.

Prinsip dalam melakukan nafas buatan:

Time saving is live saving (waktu adalah nyawa). Jangan buang waktu,lakukan apa yang mudah bagi anda jangan tunggu
fasilitas ini dan itu,tenggang waktu hanya tiga menit bagi penderita yang parunya sebelumnya normal. Lewat tiga menit
apnoe cadangan oksigen diparu habis terkuras, dan hipoksia otak diambang pintu. Bila fasilitas air viva memungkinkan
segera gunakan,tak perlu tergesa gesa mengintubasi apalagi belum trampil melakukannya bisa berbahaya. Ingat
rangsangan intubasi dalam kondisi hipoksia dan hiperkarbia akan merangsang vagal reflex menyebabkan spamo
laryng,bradikardi sampai cardiac arrest.

Pemakaian airviva membutuhkan pelatihan khusus agar udara yang diperas benar-benar masuk keparu bukan
keperut,sungkup muka yang sesuai dan posisi kepala yang tepat (Sniffing position) merupakan syarat utama keberhasilan
airviva.

Bila terjadi henti nafas (apnoe) langsung lakukan nafas buatan 3-4x berturut-turut baru periksa deyut jantung (nadi
carotis),bila negatif lakukan pijat jantung luar. Satu hal yang paling penting jalan nafas harus bebas hambatan baik oleh
sebab lidah yang jatuh kebelakang maupun lendir atau benda asing.

Dalam peristiwa kegawatan selalu ingat 6B(breath,bleed,brain,bladder,bone) dimana gawat nafas menempati urutan
pertama oleh sebab itu pemberian nafas buatan didahulukan daripada yang lain.

Bila ada obstruksi jalan nafas bagian atas lakukan crycothyreodectomi,yaitu membuat irisan pada membran crycothyroid
yang anatomis mudah dikenal,superficial & sedikit pembuluh darah. Trachestomi hanya dilakukan setelah masa kritis
berlalu. Bila ada sumbatan pada trachea atau laryng coba lakukan pukulan dipunggung atau back blow.

Mekanisme nafas spontan:

Pada nafas spontan inspirasi dimulai dari turunnya diaphragma kearah abdomen sehingga rongga thorak semakin besar
dan tekanannya semakin negatif (-10cmH2O) maka udara luar akan masuk kedalam alveoli. Pada waktu expirasi
diaphragma kembali keposisi semula tekanan negatif dalam thorak menurun (-5 cm H2O) dan udara keluar ke atsmosfer.
Baik pada waktu inspirasi maupun expirasi tekanan dalam thorak tetap negatif maka dalam keadaan normal pada akhir
expirasi alveoli tetap mengembang dimana tekanan dalam alveoli (0 cmH2O) tetap lebih besar dari tekanan dalam thorak
(-5 cmH2O). Pada akhir inspirasi maupun expirasi tekanan dalam alveoli tetap sama dengan udara luar (0 ccmH2O).

Adanya tekanan negatif ini banyak membantu menyedot darah vena kembali kejantung tetapi sebaliknya tekanan
positif(ventilator) menghambat sehingga venous return dan akhirnya tekanan darah menurun.

Type nafas buatan yang diberikan ventilator :
 a.Nafas terkendali (Controlled respiration)

Pernafasan pasien diambil alih sepenuhnya oleh ventilator dengan perkataan lain pasien tak bernafas sama sekali
(apnoe). Ventilator memberikan udara inspirasi sementara expirasi berjalan pasif.

b.Nafas dibantu sebagian(Assisted ventilation/respiration):

Sebagian inspirasi pasien dibantu ventilator untuk mencukupinya. Dalam hal ini pasien masih bernafas spontan hanya tak
kuat lalu dibantuoleh ventilator dengan syarat usaha inspirasi pasien masih bisa mentriger(stimuler) ventilator
memberikan sejumlah udara pernafasan, hal ini hanya mungkin kalau pernafasan pasien tak terlalu lemah atau cepat.

c. Nafas wajib (Intermittent mandatory ventilation)

Ventilator memberikan ventilasi dengan frekuensi tertentu tetapi tak setiap kali bernafas seperti assisted ventilation.
Dalam hal ini ventilasi yang diberikan ventilator bisa berdasarkan pacuan atau trigger dari usaha inspirasi pasien seperti
assisted ventilation disebut synchronous intermittent mandatory ventilation)(SIMV) tetapi bisa langsung tanpa trigger
(controlled ventilation) disebut intermittent mandatory ventilation ( IMV).

Penggunaan SIMV sangat populer karena tak akan menimbulkan tabrakan antara pernafasan pasien dan ventilator
sehingga terjadinya peregangan alveoli minimal,atau tersedotnya kembali udara expirasi bisa dicegah.

Pola nafas bantu :

a.Memberikan tekanan positif selama inspirasi sedangkan expirasi pasif. Dalam hal ini tekanan pada akhir inspirasi positif
sementara akhir expirasi tetap nol disebut dengan IPPV(Intermittent Positive Pressure Ventilation) atau ZEEV (Zero End
Expiratory Pressure).

b.Bila pada akhir expirasi juga diberi tekanan positif disebut PEEP(Positive End Expiratory Pressure) atau
CPPV(Continous Positive Pressure Ventilation) sebab baik pada inspirasi maupun expirasi tetap diberikan tekanan positif.

c. Bila pada akhir expirasi diberi tekanan negatif disebut NEEP (Negative End Expiratory Pressure).

Cara kerja ventilator :

a.Pressure cycled :

Tekanan inspirasi yang diberikan diatur ventilator, bila tekanan tersebut sudah dicapai maka inspirasi berakhir tak soal
apakah udara yang masuk keparu cukup atau tidak. Bila ada gangguan di jalan nafas apa itu berupa lendir, odem, atau
elastisitas paru berkurang maka tekanan yang diatur cepat dicapai dan inspirasi cepat selesai akibatnya terjadi
hipoventilasi.

b.Volume cycled :

Volume udara yang diberikan diatur pada ventilator sesuai besarnya dengan tidal volume pasien. Tidal volume adalah
jumlah udara yang keluar masuk paru pasien pada pernafasan spontan dalam satu kali bernafas.Bila volume yang diatur
tercapai maka inspirasi berakhir. Walaupun ada tahanan meningkat dijalan nafas atau elastisitas paru menurun jumlah
udara yang masuk ke paru tetap sesuai yang diatur hanya tekanan bisa sampai demikian tingginya mengakibatkan
pneumothorak tetapi ini bisa di cegah bila dilengkapi denganvalv(klep) yang mengeluarkan kelebihan tekanan (pressure
relieve valve).

c. Time cycled :

Lamanya inspirasi dan expirasi diatur pada ventilator bila waktu yang diatur tercapai maka berakhirlah inspirasi atau
expirasi. Bila ada hambatan dijalan nafas tentu diperlukan waktu yang lebih lama agar udara cukup masuk keparu
sehingga bila waktu sudah berakhir tentu udara belum cukup masuk keparu, atau pada saat expirasi berakhir belum
seluruh udara yang diharapkan akan keluar dari paru.

Ventilator yang ideal adalah volume cycled time preset, dimana volume dan waktu diatur pada ventilator sehingga tepat
waktu inspirasi berakhir, volume udara yang masuk ke paru sesuai dengan yang telah diatur, dengan dilengkapi system
volume dan pressure limiter (safety valv) maka setiap kenaikan volume dan tekanan dijalan nafas akan keluar dari klep
pengaman. Apalagi dilengkapi system alarm bisa diketahui gangguan ventilator sedini mungkin, seperti terlepasnya
konektor, kebocoran circuit, kehabisan oksigen dan lain-lain. Apalagi kalau dilengkapi system baterai (AC-DC) sehingga
bila listrik padam bisa diambil alih accu selama satu jam.

Indikasi pemakaian ventilator :

1. Kegagalan nafas :

a. tak bernafas (apnoe)

b. tak kuat bernafas

2. Tak boleh bernafas

Ad.1. Bisa disebabkan faktor dalam paru : penyakit paru

sumbatan jalan nafas penekanan jalan nafas.

diluar paru : fraktur iga otot dada dan abdomen lemah

centrum pernafasan rusak

Ad 2. Untuk memberi istirahat paru pasien atau menjamin olsigenasi dan ventilasi yang cukup seperti post thorakotomi
atau craniotomi.

Pernafasan disebut gagal bila tak bisa menyedot oksigen atau mengeluarkan CO2 secara sempurna. Parameternya
turunnya tekanan partiel O2 dalam darah arteri (PaO2) atau meningkatnya tekanan partiel CO2 dalam darah arteri
(PaCO2) atau dengan kata lain adanya hipoksia atau hiperkapnia. Dalam keadaan normal PaO2 80-90 mmHg dan
PaCO2 35-45. Menurut Saphiro 1975 bila PaCO2 > 50 mmHg atau PaO2 < 50 mmHg merupakan parameter adanya
kegagalan pernafasan mendadak (akut), dikenal sebagai Rule of Fifty (aturan 50).

Tetapi pemasangan ventilator lebih dini lebih baik untuk mencegah berkembangnya gagal nafas.

Secara klinis bisa dikenal :

- Frekuensi nafas < 10x atau > 35x per menit.

- Pernafasan cuping hidung ditambah cyanosis.

- Aktifnya otot-otot nafas bantu

- Retraksi supra sternal atau intercostalis.

- Tachycardi atau bradicardi.

Cara penggunaan ventilator :

Meliputi:

a. persiapan

b. pengawasan

c. penyapihan

a. Persiapan :
 Pasien bebaskan jalan nafas dari obstruksi pasang pipa tracheal yang sesuai (intubasi) untuk ini perlu
perlengkapan :

*pipa trachea (endotracheal tube) segala ukuran

*laryngoscope segala ukuran

*pipa oropharyng (Guedel airway) segala ukuran

*Magil forceps membantu memasukkan pipa tracheal ke glottis.


*Syring 10 cc untuk memompa cuff endotracheal tube.

*Jelly (pelumas ) mengurangi trauma pipa trachea.

*Suction aparat untuk menghisap lendir dan benda asing.

*Bila pemakaian ventilator diperkirakan jangka panjang > 7 hari, tracheostomi.

-Ventilator
 *Periksa oksigen apakah cukup.

*Test ventilator apakah bisa bekerja.

*Test sistem monitoring bila ada.

*Bila ada paru buatan ditest apakah volume yang dipompakan cukup.

*Tentukan volume tidal = berat badan x 10 cc.

*Frekuensi pernafasan diantara 12 -20x per menit.

*Konsentrasi oksigen (FiO2) antara 40-100% tergantung kebutuhan.

*Bila ada inspiratory flow atur antara 30-40 L/menit.
 *Bila pasien apnoe atau dibikin apnoe gunakan controlled
ventilation.

*Bila masih bernafas spontan tapi tak adekuat tapi masih mampu mentriger ventilator gunakan assisted ventilation.

*Kalau frekuensi pernafasan terlalu cepat sehingga tak sempat mentriger ventilator gunakan intermittent mandatory
ventilation (IMV), bila ada SIMV lebih baik, tetapi sebagian menganjurkan lumpuhkan total pernafasan pakai control
ventilasi. Biasanya SIMV digunakan untuk menyapih ventilator dari pasien agar tak menimbulkan ketergantungan pasien
pada ventilator. Bila keadaan paru masih baik bisa digunakan pola IPPV tetapi kalau terjadi atelectase atau
meningkatnya tahanan jalan nafas sebaiknya dicoba PEEP agar dengan oksigen konsentrasi rendah cukup memberikan
PaO2 normal yang tak mungkin dicapai dengan IPPV, Sekaligus keracunan oksigen bisa diminimalisir.

Biasanya PEEP diatur mulai dari 5 cmH2O dan tak lebih dari 15 cmH2O agar tak terganggu circulasi. Tetapi pada
penderita trauma kepala akan menambah bendungan di otak memperberat odem otak. Untuk membantu venous
return bisa digunakan NEEP diatur antara -1 sampai -5 cmH2O, tekanan negatif > -5 cmH2O bisa menyebabkan
atelectase atau airtrapping (terperangkapnya udara dibelakang penyempitan saluran nafas).

Pada beberapa ventilator dilengkapi sarana Sigh yaitu ventilasi yang lebih panjang dari normal (80-100)% diatas tidal
volume normal, biasanya diberikan satu kali setiap 100x pernafasan untuk mengembangkan alveoli yang akan collaps
sehingga bisa dicegah microatelectase.

Humidifier : Harus sudah dipersiapkan sebelum ventilator dipasang agar udara yang diberikan benar-benar fisiologis
dimana suhu 37-40 derajat C, Kelembaban nisbi 100%.

Dalam keadaan normal hidung berfungsi sebagai humidifier tetapi setelah intubasi fungsinya hilang oleh sebab itu
humidifier diperlukan untuk mencegah lendir tak mengental yang bisa menyumbat jalan nafas terutama pada bayi.

Pengawasan (monitoring) :

Sasaran penggunaan ventilator adalah tercapainya oksigenasi yang cukup dimana PaO2 antara 100-150 mmHg, kecuali
pada RDS(Respiratory Distress Syndrome) kita cukupkan sekitar 80mmHg, dan ventilasi cukup sekitar 35-40 mmHg.
Untuk itu 30 menit post pasang ventilator diperiksa analisa gas darah(AGD).

Perhatikan kembang kempis dada cukup dan simetris.;Bersihkan jalan nafas secara intensif agar jalan nafas lancar dan
tercegah dari infeksi. Hati-hati penghisapan lendir yang keliru malah terjadi penyedotan oksigen cadangan diparu,
sampai terjadi collaps alveoli.

Prinsip penggunaan pengisap lendir :
 - pengisap harus steril

- harus ditekuk waktu memasukkan kejalan nafas

- sebelum pengisapan diberi oksigen 100%.

- pengisap ditarik secara spiral tak boleh lebih dari 15 detik.


- setelah pengisapan diberi ventilasi oksigen 100% lagi.
 Awasi kesadaran, tekanan darah, nadi (denyut jantung) serta
ada tidaknya pernafasan spontan dan udara expirasi ditera dengan spirometer apakah sesuai dengan yang diinginkan.

Penyapihan (weaning):
 Cara konvensional dengan melepaskan ventilator dari pasien bila diduga telah mampu bernafas
spontan selama 5 menit, perhatikan frekuensi nafas, cyanosis, nadi dan tekanan darah kemudian hubungkan kembali
selama 55 menit.

Bila jam pertama tak ada problem coba lepaskan lagi 10 menit, Ini dilakukan pada periode jam berikutnya dengan periode
lepas 2x sebelumnya dengan syarat tanda vital baik.

Prinsipnya waktu lepas ditambah sedangkan hubungan dengan ventilator dikurangi. Bila selama 4-6 jam telah mampu
bernafas spontan tanpa kelelahan ventilator tak diperlukan lagi.

Bila ada sarana SIMV cara ini lebih baik hanya dengan mengurangi frekuensi 2x per menit secara bertahap tanpa
melepas ventilator dapat dicegah ketergantungan pasien pada ventillator sementara tiap tahap dimonitor tanda-tanda vital
dan AGD. Setelah 1 jam bila normal turunkan lagi.

Kesimpulan :

Telah dikemukakan prinsip umum, tujuan, indilaksi, tehnik pemakaian ventilator secara sederhana sebagai pedoman
penatalaksanaan pasien dengan ventilator. Masalah perawatan dan hal lain dibahas dalam mata kuliah yang lain. Untuk
kelengkapan pengetahuan agar dibaca buku lain yang berkenaan ventilator

PENGELOLAAN GAGAL NAFAS


Walaupun kita ketahui bahwa ahli anestesi yang kompeten menangani kasus-kasus kegagalan pernafasan namun satu
team dokter ahli termasuk seorang internist dan neurologist bersama anesthesiologist akan memberikan pengelolaan
yang lebih baik oleh karena tiap kasus tak hanya respiratory support saja yang dibutuhkan tetapi penyebabnya juga harus
diobati.(8)

Penanganan pasien dengan kegagalan pernafasan yang ringan atau dengan gangguan temporer seperti pada periode
post operatif umumnya tak begitu rumit masalahnya. Masalah khusus akan timbul pada kasus-kasus dengan kegagalan
pernafasan yang memerlukan ventilasi support dalam beberapa hari atau minggu.(8)

Perlu diingat tak semua kasus dengan kegagalan pernafasan memerlukan ventilasi support, kadang-kadang dengan
membersihkan atau membebaskan jalan nafas dan pemberian oksigen secara insuflasi sudah cukup mengatasi kesulitan
yang sebenarnya bisa dilakukan personil non ICU(Intensive Care Unit). Kebiasaan yang buruk dalam hal pengiriman
pasien ke ICU tak dilengkapi oksigen dan airviva malah posisi kepala yang tak menguntungkan bagi bebasnya jalan
nafas. Hal seperti ini besar andilnya dalam meningkatkan kematian di ICU.

POLA DASAR :

Pola dasar kebijakan yang harus menjadi panutan setiap personil medis dalam menghadapi/mengevaluasi penderita
gawat darurat adalah menurut skala perioritas 3B(Breath,Bleed and Brain)(Pernafasan, Hemodinamik dan Kesadaran).

Hal ini bisa dilihat menurut bagan dibawah :

Penderita

/ \

sadar tak sadar

| |

| buka jalan nafas

|——- nafas-<————————————> tak nafas

| |

| !

—————————- beri nafas

| | raba nadi carotid
 !


| | |

normal tak normal ————————
 (+) (-


)
 ! ! !

| ! !
 ! ! !

terapi O2

nafas bantu beri nafas terus CPR
 1. evaluasi hemodinamik

2. evaluasi penyebab
 Mengatasi gawat darurat dengan pola dasar diatas merupakan langkah pertama yang perlu
diamankan.

Satu hal yang perlu diingat motto ; ventilate first intubate latter.(8)

Maksudnya pada pasien dengan gagal nafas segera beri ventilasi dengan cara apa saja yang mudah bagi anda tak perlu
memaksa diri mengintubasi kalau tak cukup terampil melakukannya. Pedoman kita adalah, Time saving is Life saving.

PENGELOLAAN :
 A. Sasaran : Tercapainya ventilasi dan oksigenasi yang adekuat.
 Untuk mencapai sasaran tersebut
terapi harus ditujukan :

1. Menghilangkan penyebabnya

2. Memberikan respiratory support
 Respiratory support kita gunakan tiga metode :
 1. Terapi oksigen

2. Pulmonary toilet(mobilisasi pengeluaran sekret)

3. Memberi ventilasi buatan

Pasien-pasien dengan respiratory insuffisiensi yang berat mungkin sekaligus memakai ke-3 metode tersebut, sedangkan
kasus-kasus yang sedang atau ringan hanya memerlukan satu atau dua metode saja.
 Untuk memudahkan klassifikasi
perioritas pengobatan kita golongkan penyebab kegagalan pernafasan atas tiga bagian besar :
 1.Primary ventilatory
failure :
 Hilangnya ventilasi normal oleh karena faktor extra pulmo
 -CNS depressi/disfungsi

-gangguan neuromuskular

-gangguan metabolisme

-gangguan otot-otot respirasi
 2.Acute pulmonary parenchyma disease :
 Pertukaran gas yang tak adekuat oleh karena
parenchyma paru :

pneummonia

congestive heart failure(odema pulmonum)

pulmonary embolism

atelectasis dll
 3.Penyakit jalan nafas obstruktif/restrictif

stenosis trachea

aspirasi

emphysema/astmabronchiale

fibrosis paru

pleural effusion dll
 SKALA PRIORITAS TERAPI MENURUT PENYEBAB UTAMANYA :

Kausa Primary ventilatory Pulmonary parenchymal

Obstructive failure diseases Restrictive diseases

Terapi
 —————————————————————————————–
oksigen + +++ +

clearing

secretions ++ ++ +++

improving mechanic +++ + ++

Pemberian oksigen :

Merupakan material pokok yang harus diberikan.

Besarnya diberikan tergantung derajat gagal nafas dan kronisitas penyakit. Perlu diketahui bisa sebagai penyelamat dan
bisa sebagai perusak.
 Oleh karena itu harus tahu benar berapa besarnya FiO2 yang diberikan untuk mencapai PaO2
yang diharapkan ,diperlukan monitoring BGA(Blood Gas Analysis) Besarnya FiO2 bisa diketahui dari dengan cara
bagaimana O2 diberikan dan berapa flow O2 rate.

Cara Flow O2 FiO2

L/menit %

——————————————————————————————-

Nasal catheter 1-2 24-48

/canula. 3-4 30-35

5-6 38-44

Simple mask 5-6 40

6-7 50

7-8 60

Mask dengan Re-

servoir bag 6 60

7 70

8 80

9-10 90-99

Ventury mask _ 24-35

Face tent 8-10 40

Sebagai pegangan adalah setiap pemberian O2 pada paru yang sehat, PaO2 yang dicapai sebanding dengan 5x FiO2
yang dibeerikan bila FIo2 20% maka PaO2 harusnya 5×20=100 mmHg.

Tujuan akhir sebenarnya bagaimana mencegah/mengatasi hipoksia. Ini hanya bisa dicapai bila PaO2 normal dan faktor-
faktor yang mempengaruhi seperti konsentrasi Hb, pH plasma, cardiac output dan lain-lain normal.

Besarnya FiO2 yang minimal kita pertahankan bila PaO2 telah stabil mencapai 80-100 mmHg pada orang muda dan
sekitar 70 mmHg pada orang tua diatas 60 tahun(3). Pada kasus COPD cukup dipertahankan antara 50-60 mmHg.
Semua pasien apnoe kita mulai deengan FiO2 100% kemudian diturunkan bertahap sesuai hasil BGA.

Pada pasien COPD yang berat kita mulai saja dari FiO2 24% kemudian kita naikkan bertahap sampai PaO2 55-60 mmHg
stabil(1,3) untuk mencegah hipoventilasi akibat hilangnya hipoksia drive. Side efek terapi O2 dapat dicegah asal kita
bekerja sesuai aturan permainan. Pemberian O2 100% tak lebih dari 24 jam, dan 50% tak lebih 48 jam dapat mencegah
pulmonary toksisiti berupa rusaknya endothel kapiler paru yang bisa mengakibatkan odema pulmonum.(1)

Sebaiknya jangan diberi FiO2 yang melebihi kebutuhan PaO2 diatas 100 mmHg untuk mencegah absorbsi atelectase
akibat terusirnya N2 dari alveoli yang mempertahankan peregangan alveoli ,dimana surfactan rusak sehingga O2 yang
masuk circulasi lebih cepat dari yang masuk alveoli.(1).

Bila dengan FiO2 yang cukup tinggi PaO2 yang diharapkan tak tercapai kemungkinan ada pulmonary shunting sebaiknya
kita gunakan ventilasi mekanik dengan PEEP(Positive End Expiratory Pressure). Dengan PEEP diharapkan FRC
(Functional Residual Capacity) meningkat sehingga dengan FiO2 yang rendah sudah cukup untuk mencapai PaO2 yang
adekuat dus dengan demikian keracunan O2 bisa dicegah(1,3). Yang paling penting adalah monitoring yang ketat jangan
phobi keracunan O2 akibatnya hipoksemia tak terkoreksi

Prinsip kita ―It is preferable to run of the risk of stiff lungs rather than chancing a soft brain(bair paru jadi kaku daripada
otak jadi bubur) bila FiO2 yang tinggi sangat diperlukan.(3). Dalam pemberian O2 jangan lupa humidity udara inspirasi
lebih-lebih bila jalan nafas telah di bypass oleh pipa tracheal sehingga fungsi humidifier alami dari hidung dan pharyng tak
bekerja sama sekali.

Dalam keadaan normal udara inspirasi dipanaskan oleh temperatur tubuh dan dengan bantuan system yang sangat
effisien dalam membran mukosa hidung /pharyng menjadi saturasi sempurna dengan molekul uap air ketika mencapai
bronchus proksimal. Presentase uap air dalam udara inspirasi sangat menentukan berlangsungnya fungsi cilia untuk
mendorong benda asing, mukus ,kearah glottis dan mencegah sekret tak mengental /mengeras yang bisa menimbulkan
mukus plug bisa menghalangi jalan nafas. Pada pemberian O2 secara nasal canule dengan kecepatan kurang dari 5 liter
permenit tak memerlukan humidifikasi karena mekanisme humidifikasi nasopharyng masih kuat.

Dengan bantuan humidifier artifisial bisa diberikan humidity tertentu dalam udara pernafasan.

3.Apa yang kita lakukan sebelum ventilator dipasang ?

a.Persiapan pasien :
 - bebaskan jalan nafas
 - pasang endotracheal
 - bila diperkirakan pemakaian ventilator jangka
panjang langsung tracheostomi.
 - bila pasien shock buat posisi kaki setinggi 30-45 derajat.
 - pasang infus untuk
distribusi obat-obatan emergensi.

b. Persiapan ventilator :
 - periksa apakah ventilator bekerja baik.
 - perhatikan supply O2 cukup atau tidak.
 - konektor
sesuaikan dengan pipa endotracheal untuk mencegah kebocoran circuit.
 - pipa endotracheal sesuaikan dengan ukuran
jalan nafas pasien.
 - periksa adakah kebocoran cuff endotracheal tube.

Persiapkan jelly dan xylocaine spray untuk mengurangi rangsangan/trauma intubasi.

Bila menggunakan ventilator volume cycle tentukan(6):

a.tidal volume : 10-12 cc/kgBB ideal.
 b.sigh volume : 1,5xtidal volume.
 c.frekuensi nafas : 12-16x/menit.
 d.Inspirasi
expirasi ratio (I:E ratio):

Perbandingan masa inspirasi dan expirasi minimal 1:1
 Paling baik 1:2(1:3)

Menurut Watson 1962 penelitiannya pada kasus-kasus IPPB atau IPPV bahwa masa inspirasi lebih dari 1,5 detik
akan menghasilkan VD/VT ratio kurang dari 0,25 sedangkan bila masa inspirasi 0,5 detik kenaikan VD/VT ratio sampai
kira-kira 50%,ini disebabkan distribusi yang abnormal pada inspirasi yang cepat yang sebagian alveoli overventilasi tetapi
underperfused sedangkan alveoli yang lain under ventilated tetapi overperfused. Makin panjang inspirasi makin baik
ventilasi tapi makin jelek circulasi,untuk itu perlu diatur sedemikian rupa agar dicapai ventilasi yang baik sementara
circulasi tetap baik.

Diperkirakan masa inspirasi 1,3 detik adalah optimal.

Penelitian yang lain berkesimpulan bahwa gangguan pada circulasi minimal kalau perbandingan masa inspirasi
dan expirasi 1 : 1,5 atau 1 : 2.

d.Peak flow rate :

Kecepatan aliran O2 yang diberikan agar tidal volume yang diinginkan tercapai. Ini dapat dihitung dari tidal volume dan
masa inspirasi.

Sekiranya I : E ratio 1 : 2 sedangkan frekuensi nafas.
 15x permenit maka masa inspirasi 1/3 x 60/15 .(=1,33 detik maka
Peak flow rate = tidal volume x 60/ masa inspirasi=500 x 45 cc/menit=22,5 L/menit)

e. FiO2 :
Konsentrasi O2 dalam udara inspirasi. Kalau tak ada indikasi pemakaian O2 konsentrasi tinggi kita mulai saja dari 0,4
sedangkan pada kasus COPD kita mulai dari 0,24.

f. Humidifier :

Diatur sampai temperatur diantara 32 – 35 derajat C(7)

g. Mode of ventilasi :

- Bila pasien apnoe lakukan controlled ventilation(IPPV).
 - Bila bernafas spontan tapi tak adekwat,frekwensi tak lebih dari
30x per menit gunakan assisted ventilation.
 - Prinsip asisted adalah usaha inspirasi pasien membuat tekanan
subatsmosfer pada airway,mentriger ventilator memberikan ventilasi.
 - Bila frekwensi pernafasan terlalu cepat maka
inspirasi tak sempat mentriger ventilator untuk itu bisa digunakan IMV(Intermittent Mandatory
Ventilation) dimana ventilator memberikan suplementasi terhadap usaha pernafasan spontan agar terjamin alveolar
ventilation yang adekwat.

Pasien bernafas spontan dan sewaktu-waktu diberikan satu mandatory breath tak tergantung pada rate dan pattern
respirasi.

Bila ada intrapulmonary shunting pada pemeriksaan BGA sebaiknya lebih dini gunakan PEEP mode.Dengan PEEP
diharapkan daerah atelektase dapat membuka dan O2 tak perlu konsentrasi tinggi. Dimulai dengan positive 5 cm H2O
kemudian perlahan-lahan naikkan sebesar 2 cm H2O sampai tercapai PaO2 yang diinginkan.

Bila bernafas spontan untuk membuka atelektase atau untuk mencegah collapsnya airway yang lemah digunakan
CPAP(Continous Positive Airway Pres).

Apa yang harus kita lakukan selama pasien diventilasi ?

Tiap 20-30 menit periksa BGA kemudian evaluasi PaO2,PaCO2,pH dan base excess bandingkan dengan hasil
sebelumnya.

Bila PaO2 masih rendah naikkan FiO2 sampai tercapai PaO2 yang normal.

Sebenarnya PaO2 diatas 60 mm Hg sudah cukup untuk saturasi Hb optimal akan tetapi bila terjadi penurunan sedikit
saja akan terjadi perubahan yang serius.,untuk itu untuk orang muda yang sehat sebelumnya pertahankan PaO2 antara
80-100 mmHg.

Bila PaO2 tetap rendah padahal FiO2 cukup tinggi dan lama,usahakan system PEEP. Bila PaCO2 tetap tinggi periksa
jalan nafas bila perlu bersihkan.Kalau jalan nafas bersih tingkatkan ventilasi alveolar bisa dengan memperbesar tidal
volume atau frekwensi nafas.

Bila PaCO2 rendah maka frekwensi diturunkan secara bertahap dua kali permenit dan tidal volume lebih aman tak
diturunkan resiko hipoventilasi alveolar(5).

Bila base excess lebih dari minus 5 meq berarti ada metabolik asidosis,harus dikoreksi kalau pH lebih kecil dari
7,25,tetapi bila diatas 7,25 biarkan tubuh mengkompensirnya.

Jumlah bikarbonat yang diberikan menurut rumus BB x Base Defisitx1/3 meq diberikan setengahnya. Selanjutnya
berdasarkan hasil BGA berikutnya. Jangan terburu memberi bikarbonat(Meylon) bahaya hyperosmolarity dan heart
failure.

Bila hasil evaluasai BGA sudah normal dan stabil,evaluasi BGA cukup dilakukan 2-3 x perhari. Perlu diingat bahwa PaO2
yang normal belum menjamin oksigenasi jaringan yang adekwat.

Untuk itu perlu dikoreksi Hb kalau pasien anemia,pH kalau kesimbangan asam basa terganggu, koreksi cardiac output
dengan mengurangi hambatan pada venous return dan lain-lain. koreksi cardiac output bisa dilakukan dengan
menurunkan tekanan rata rata intrathoracal(3) :

masa inspirasi lebih pendek dari expirasi (I:E) ratio diperbesar flow of gas ditinggikan agar phase inspirasi lebih pendek.

- mengurangi tahanan expirasi (membersihkan jalan nafas) dengan adanya tahanan terhadap gas outflow akan
memperlambat turunnya tekanan selama phase expirasi dan ini meningkatkan tekanan intra pulmonal. mengurangi dead
space dengan tracheeostomi akan memperpendek circuit ventilator.

- memberikan tekanan negative selama phase expirasi,awas bahaya
 - collapsenya airway memperbaiki intravascular
volume.
Monitoring yang ketat vital sign setiap 15-30 menit.
 - kesadaran
 - nadi
 - tekanan darah
 - respirasi

Kesadaran :

Sebaiknya dievaluasi dengan GCS(Glasgow Coma Scale) setiap setengah jam terutama penderita trauma kapitis.

Hypotensi/tachycardi :

kemungkinan pengaruh :

- ventilasi mekanik
 - dehidrasi
 - hipoksia/hiperkarbia

Respirasi :

- Tidal volume sering diukur dengan spirometer apakah yang diberikan ventilator sesuai dengan yang diterima pasien
kemungkinan adanya kebocoran circuit.
 - Sudahkah ada respirasi spontan bila ada adekwat atau tidak ?
 - Bila belum
adekwat sedangkan frekwensi nafas kurang dari 30x permenit beri asisted mode.
 - Bila lebih dari 32x permenit beri IMV
mode
 - Kalau pasien memberikan perlawanan terhadap ventilator(fighting) dimana tak sinkron antara ventilator dengan
pernafasan pasien pikirkan

kemungkinan :

Hipoksia: FiO2 tingkatkan, jalan nafas bebaskan.

Hiperkarbia tambah tidal volume atau frekuensi nafas (hiperventilasi).

Bila hipoksia dan hiperkarbia telah disingkirkan maka baru boleh diberi sedative seperti diazepam 0,3 mg/kgBB,atau
morfin 1-2 mg intravena.

Ulangi setiap 3-5 menit sampai sinkron, biasanya 2-3 pemberian cukup.

Kalau perlu bisa diberi relaxant dosis kecil seperti pancuronium 1 mg tiap 3-5 menit biasanya bila sampai dosis 2-4 mg
sudah cukup asinkron tadi.

Tapi sebaiknya setiap pemberian relaxant disertai sedative karena pasien sadar.Yang paling penting awasi ketat
perubahan hemodinamik.

Monitor ECG diawasi apakah ada perubahan aktivitas jantung(aritmia).

Pada kasus kelainan jantung perlu dipasang CVP mencegah overload cairan disamping ventilator sendiri bisa bikin
retensi cairan.

Suhu tubuh : Selalu diukur setiap 3 jam perectal untuk memonitor kemungkinan adanya :
 - infeksi
 - dehidrasi
 -
menyesuaikan kebutuhan cairan

Awasi kemungkinan timbul komplikasi dan segera atasi :

a.hipotensi bisa timbul akibat :
 - meningkatnya tekanan intrathoracal
 - penurunan PaCO2 yang cepat menghilangkan
tiba-tiba stimulus simpatis.

Atasi dengan :

- Tinggikan kaki pasien 30 derajat.
 - I:E ratio diperbesar.
 - Flow rate of gas ditinggikan.
 - Tekanan negatif akhir
expirasi.
 - Bersihkan jalan nafas.
 - Penambahan cairan intravascular.

b. Perubahan pH kearah alkalosis bila koreksi hyperkarbi terlalu drastis bisa menimbulkan tetani,mental depressi, untuk
ini frekwensi nafas diturunkan secara bertahap 2x/menit.

c. Barotrauma :

- Pneumothorax,subcutan atau mediastinal empisema.
 - Biasanya pasien gelisah, berkeringat banyak, perkusi
hipertimpani hipersonor didaerah lesi,dan bila ditusuk jarum besama spuitnya pada medioclavicularis sela iga 2-3, seher
spuit akan terlepas/terlempar bila ada tension pneumothorak.

Tindakan ini disamping untuk diagnostik juga tindakan darurat pada pneumothorax spontanea.
d. Positive water balance syndrome :

Ini dijumpai pada pemakaian ventilator yang lama.

Ditemukan adanya odema pulmonum,compliance paru yang menurun dan berat badan yang bertambah.

Mekanisme kejadiannya belum jelas diduga mungkin adanya retensi cairan disebabkan adanya :
 - hipoalbuminaemia
 -
reduksi lymp flow
 - subclinical heart failure
 - sekresi ADH yang meningkat

Sangat responsive dengan diuretika dan retriksi cairan. Kita membatasi pemberian cairan pada pasien dengan ventilator
kira-kira 25 cc per kgBB kecuali ada indikasi lain. Bila ada kenaikan suhu satu derajat celcius ditambah 10%. Penting
pengukuran intake/output cairan, serum elektrolit secara rutin.

e.Pulmonary infection :

Sering pada penderita yang diventilasi sebagai penyebab utama kematian. Semua benda asing yang ada ditrachea
menjadi tempat biakan bakteri yang pathogen,untuk ini perlu tehnik yang steril,tracheal toilet yang tepat dan perawatan
yang intensif.

Pemberian antibiotika haruslah berdasarkan indikasi yang tepat untuk mencegah resistensi,suhu yang meninggi ,sekret
yang purulent,lekosit meningkat,tanda fisik diagnostik serta perubahan pada X ray.Pemeriksaan gram stained dan lekosit
secara rutin sangat membantu.

f. Gastro intestinal bleeding :

Sering akibat stress ulcer pada kasus yang diventilator. Untuk itu feeding dan antacid terapi harus dimulai sedini mungkin
via gastric tube. Kebutuhan kalori 30-40 kalori per 24 jam.

g. Perlu adanya supervisi yang ketat :

Khusus : pulmonary toilet balon pipa tracheal dikempiskan setiap jam selama 3-5 menit. Sebelum dikempiskan dilakukan
suction dalam pipa tarachea maupun sekitarnya. Pada hari ketiga bila pemakaian ventilator masih lama maka lakukan
tracheostomi,pipa tracheostomi sebaikanya pakai cuff dan dari plastik agar tak mengiritasi jalan nafas

Umum :

Mata: Tutup kasa steril agar kornea tak kering,jangan gunakan zalf antibiotika.

kulit : Rubah posisi pasien tiap jam mencegah dekubitus.

lambung/usus: Pasang sonde lambung untuk pemberian makanan juga untuk dekompressi mencegah distensi lambung.

Bila pipa sonde berisi makanan sebagai akibat regurgitasi sebaiknya pemberian nutrisi via parenteral.

Sonde lambung sebaiknya diganti setiap tiga hari.

kandung kencing :

Pasang kateter urine untuk mencegah blass penuh dan untuk pengukuran urine sewaktu/24 jam.

Extrimitas :

latihan gerakan extrimitas secara aktif dan pasif mencegah thrombosis dan disuse atropi otot-otot.

lokasi infus sebaiknya hindari extrimitas inferior mencegah phlebitis.

Kalau pasien sadar lakukan pendekatan manusiawi dan yakinkan pasien bahwa dia akan pulih seperti biasa.

6.Kapan pasien dibebaskan dari ventilator atau di weaning ?

Tujuan dari weaning untuk mengurangi bantuan ventilator secara bertahap sampai pasien mampu bernafas spontan
secara adekwat.

Indikasi weaning:(5)

PaO2 (mm Hg) > 80


PaCO2 (mm Hg) < 50

VD/VT < 0,6

Respirasi rate ( x/menit) < 30

Resting tidal volume (cc/kgBB) >5

Vital Capacity (cc/kgBB) > 12

Inspiratory Force (cm H2O) >-30
 ———————————————————————–
 Negative inspiratory


force(NIF) dapat menilai tenaga otot-otot inspirasi dapat diketahui dengan manometer dihubungkan dengan tracheal tube
dan pasien diminta bernafas sedalam mungkin,

Normal lebih dari -80 cm H2O.

Bagaimana cara weaning ?

Ada 2 cara :

1.conservative

2.Intermitent mandatory ventilation.

1.Cara conservative :

Mula-mula pasien dilepas dari ventilator dan pipa tracheal dihubungkan T piece diberi FiO2 yang sama selama 5 menit
amati frekwensi nafas,cyanosis,nadi dan tensi kemudian hubungkan kembali ke ventilator selama 55 menit.

Bila pada jam pertama tak ada problema pada jam kedua lepaskan ventilator 10 menit. Ini dilakukan terus pada jam-jam
berikutnya dengan periode lepas dua kali sebelumnya dengan syarat tidak ditemukan tanda-tanda kesulitan nafas.

Bila telah mencapai periode lepas lebih dari 30 menit untuk mendeteksi ventilasi yang efisien lakukan evaluasi BGA,tidal
volume,vital capacity dan NIF.

Bila pasien tak menunjukkan tanda keletihan dengan pernafasan spontan teruskan keproses weaning seterusnya. Tetapi
bila ada tanda-tanda keletihan dipasang ventilator untuk beberapa waktu. Prinsipnya waktu pelepasan ditambah
sementara ke ventilator dikurangi.

Bila telah mampu mellampaui masa 4-6 jam tanpa menunjukkan tanda-tanda keletihan dianggap telah mampu bernafas
sendiri tanpa ventilator. Namun demikian pasien tetap terintubasi sambil mengamati tanda keletihan.

Bila ventilasi telah adekwat selama 72 jam dinilai dari NIF,VC,VT,dan BGA maka pasien boleh diextubasi.

Cara ini cukup lama, membosankan dan pasien sangat tergantung pada ventilator.

2.Cara IMV :

Prinsipnya mengurangi bantuan ventilator secara bertahap dengan cara mengurangi frekuensi IMV perlahan-
lahan, Ventilator tak perlu dilepas dan pasien tak menyadari bahwa dia telah berjuang sekuat tenaga untuk bernafas
sendiri.

Penurunan frekuensi secara bertahap 2x/menit awasi vital sign,BGA,sesudah 1 jam bila normal turunkan lagi 2x/menit
dan seterusnya sampai frekuensi IMV nol, pindahkan kepada Tpiece dengan FiO2 yang sama awasi lagi, bila
pernafasan adekuat lakukan extubasi dan pasien dioksigenasi dengan humidified 40% oksigen, melalui sungkup(mask)
untuk mengurangi keresahan akibat iritasi jalan nafas bagian atas selama periode intubasi,sesudah 1 jam extubasi
diperiksa BGA lagi. Pemberian O2 diteruskan sampai BGA normal selama bernafas dengan udara kamar. Cara ini
mengatasi ketergantungan pasien pada ventilator.

IV.KESIMPULAN :

Telah dikemukakan dasar-dasar pengelolaan penderita gagal nafas. Telah dibicarakan pula beberapa kebijakan dalam
terapi O2, pulmonary toilet, dan pemakaian ventilator. Perawatan merupakan bagian yang menentukan nasib penderita.
Peningkatan dan penyegaran ketrampilan dari personil yang terlibat adalah keharusan.
MATI BATANG OTAK (MBO):

Yang dimaksud mati dewasa ini adalah mati batang otak walaupun jantung masih berdenyut dan respirasi dengan
ventilator masih dipertahankan.
 Dahulu definisi kematian adalah apnoe(henti nafas) dan circulatory arrest(henti sirkulasi)
dimana aktivitas cerebral terhenti sebentar (reversible) masih mungkin dilakukan cardiopulmonary dan brain resusitasi
kemungkinan fungsi otak kembali normal, kematian seperti ini disebut Clinical death(mati klinis).

Bila mati klinis berlanjut tanpa resusitasi akan terjadi nekrosis seluruh jaringan tubuh dimulai dari otak, disebut biological
death (mati biologis).

Sedangkan sosial death (mati sosial) (persistent vegetative state)(sindroma apalika) menggambarkan kerusakan otak
yang irreversible dimana pasien tetap tak sadar /tidak responsif tetapi mempunyai EEG yang masih aktif dan beberapa
reflek masih utuh.

Cerebral death(mati cerebral) dimana cerebrum mengalami nekrosis terutama neocortical.
 Brain death (total brain
death)(mati otak total) adalah mati cerebral dengan nekrosis sisa otak lainnya (cerebellum,midbrain dan brain stem).(otak
kecil,otak tengah dan batang otak).

Harus dibedakan brain death dengan severe neurological dysfunction dimana masih ada menetap sedikit aktifitas
otak,biasanya kita bagi dua golongan:

1.Locked in Syndrome (paralytic akinesia)(cerebrospinal 
 dysconection)

Dalam keadaan ini : Mental awareness(+).

Cranial nerve dysfunction (+)

Voluntary muscle movement (-)

umpama : lesi medulla-pontine.

2.Apalic syndrome :

Depressi awareness yang dalam depressi EEG sampai
 isoelektrik.
 Fungsi brainstem masih berlangsung atau
bisa
 ditimbulkan.

Untuk itu baik fungsi cortical maupun brainstem harus diteliti dengan kriteria yang ditetapkan dalam menentukan brain
death.

Yaitu yang ditetapkan oleh Presbyterian University Hospital Pittsburg.

Kriteria untuk menentukan diagnosis MBO (mati batang otak).
 Pasien yang diobservasi harus di rumah sakit,dengan dua
kali pemeriksaan.
 Klinik dimana jarak (interval) kedua pemeriksaan tidak kurang dari dua jam dilakukan oleh minimal 2
ahli yang mendapat kompetensi (neurologist,neuro surgeon atau intensivist) bersama atau terpisah.

A. Koma dengan sebab yang ditetapkan,dan tidak adanya
 induced hipotermia dan obat-obat yang
bersifat
 depressant.
 Jika ada indikasi pemeriksaan ethanol darah,dan
 toksikologi harus dilakukan dan temperatur
tubuh juga
 dicatat.

B. Tidak dijumpai gerakan otot spontan,tanda-tanda sikap
 abnormal (decerebrasi&decorticasi) atau menggigil
 dalam
keadaan tanpa muscle relaxant (pelemas otot)
 atau obat sedatif.

C. Cranial reflexes & responses:(minimal lima reflex
 negatif).
 1. Tak ada respons reflex cahaya pupil ini disamarkan
oleh
 obat antikolenergik.

2. Tak ada cornea reflex.

3. Tak ada respons terhadap stimulus sakit yang hebat
 seperti tekanan pada supra orbital.

4. Tak ada respons terhadap stimulus jalan nafas bagian
 atas dan bawah umpama pharyngeal atau
penghisapan
 endotracheal.

5. Tak ada respons okular bila telinga diirigasi dengn 50 cc
 air es (tak ada gerakan mata)(reflexoculovestibular).
 Hal ini
bisa disamarkan oleh obat ototoksik,penekan
 vestibular.

6. Tak ada gerakan bola mata bila kepala diputar(reflex
 oculocephalic).


D. Tak ada gerakan nafas spontan selama tiga menit
 bilaventilator dilepas dan PaCO2 > 50 Torr pada akhir
 test apnoe
dalam hal ini tanpa pelemas otot, tak
 dilakukan bila ICP tinggi.
 Jika pada riwayat penyakit pasien mempunyai
keter
 gantungan pada stimulus hipoksia untuk pernafasan
 umpama pada penderita COPD (Chronic
Obstructive
 Pulmonary Diseases) maka PaO2 pada akhir test harus <
 50 Torr. Jadi dicatat PaO2 dan PaCO2 pada
akhir test
 apnoe.

Test apnoe :

a. Pre oksigenasi selama 10 menit dengan O2 100% untuk
 mencegah hipoksia.

b.Beri CO2 5% dalam 95% selama 5 menit berikutnya untuk
 menjamin PaCO2 awal 40 torr.

c.Ventilator dilepas, insuflasi O2 6L/menit via kateter
 lewat karina selama sepuluh menit,untuk mencegah
 hipoksia, agar
tak terjadi kerusakan organ.

Test ini diulang dengan selang waktu 25- 40 menit, untuk
 mencegah kesalahan pengamatan.

E.Gambaran EEG yang isoelektris:

Dengan minimal tehnik pencatatan yang telah ditetapkan
 bisa terjadi atas pengaruh sedatif encepfalitis,trauma
 otak
atau anoksia atau hipotermia yang dalam.

F. Kegagalan menaikkan heart rate (kecepatan denyut
 jantung) dengan pemberian 1-2 miligram Sulfas atropin
 intra
vena setelah lima menit atau kenaikan tak lebih
 5x/menit.

Penetapan diagmosis MBO perlu untuk menentukan sikap kita dalam mempertahankan atau mengakhiri tindakan
resusitasi gawat darurat.

Bila diagnose MBO sudah pasti maka pasien dinyatakan meninggal dengan sertifikat kematian. Walau jantung masih
berdenyut, tidak diperlukan persetujuan keluarga untuk membuat sertifikasi kematian.
 Tetapi bila pasien telah
menyatakan dirinya sebagai donor organ sebelum kematiannya maka setelah onset braindeath resusitasi terus
dilakukan sampai organ tubuh pasien dikeluarkan untuk mempertahankan keawetan organ, tetapi kontra indikasi bila
dijumpai beberapa keadaan tertentu, dibahas dalam management resusitasi untuk transplantasi organ.

Setelah MBO cardiac death (mati jantung) sekunder biasanya terjadi setelah 72 jam sejak MBO tetapi kadang kadang
walau jarang bisa sampai satu bulan. Ini karena merupakan efektor autonom yang bekerja tanpa pengaruh syaraf pusat
dalam waktu terbatas.

Sikap kita ventilator dihentikan biarkan saja sampai circulasi berhenti sendiri.

Mati jantung adalah henti jantung yang irreversible dimana EKG isoelektris selama minimal 30 menit, (intractable electric
asystole) walaupun terapi CPR telah optimal.
 Tidak ada pulsasi tetapi ada EKG complex (mechanical asystole tanpa
electric asistole) bukanlah tanda irreversibelity cardiac.
 Selama aktifitas EKG berlangsung kita harus bersikap bahwa
masih ada waktu untuk memulihkan circulasi spontan.
 Sebenarnya aktifitas EKG bisa berlangsung setelah beberapa
menit terjadi henti jantung tanpa resusitasi atau berjam-jam selama CPR dilakukan.

Selama CPR dengan dada tertutup tanpa monitoring EKG tak bisa dibuktikan adanya henti jantung yang irreversible oleh
karena ventrikel fibrilasi mungkin ada dan ventrikel fibrilasi selalu mungkin reversible. Ada beberapa kasus ventrikel
fibrilasi setelah CPR berjam-jam disertai defibrilasi pulih kembali kesadarannya.

Bila telah dilakukan CPR ditemukan sirkulasi spontan,reaksi pupil positif respirasi spontan, gerakan spontan ini
menunjukkan adanya oksigenasi serebral.

Bila pupil tetap dilatasi tanpa reaksi,tanpa respirasi spontan selama 1-2 jam,walaupun sirkulasi spontan sudah dicapai, ini
menunjukkan kerusakan otak yang hebat walaupun tidak selalu disertai mati batang otak.

Perlu diketahui pupil dilatasi /fixed bisa dijumpai diluar mati otak yaitu kontussio serebri,perdarahan intra
kranial,pemberian katekolamin waktu resusitasi atau overdosis obat-obat hipnotik.
 Secara kasar pasien yang sadar
dalam waktu sepuluh menit sesudah sirkulasi spontan akan pulih kembali dengan fungsi otak yang normal,tetapi setelah
6-12 jam sejak sirkulasi spontan dilakukan penekanan yang kuat pada sudut mandibula, tanpa respons nyeri, tanpa Doll
eyes,biasanya pasien akan menderita kerusakan otak yang permanent
 (Bates).

Bila fasilitas EEG,monitor gas darah tak ada maka angiografi karotid yang menunjukkan tidak ada flow intrakranial
alternatif yang dapat diterima sebagai bukti adanya MBO.

Pada tahun 1988 IDI mengeluarkan pernyataan berkaitan kapan seorang dinyatakan mati.
a.Bila pernafasan spontan dan jantung telah pasti
 berhenti,setelah dilakukan CPR optimal.

b. Bila telah dipastikan terjadi MBO, tetapi pada CPR
 darurat dimana tidak mungkin menentukan MBO maka
 seorang
dapat dinyatakan mati bila :

1. Ditemukan tanda-tanda mati jantung.

2. Setelah dimulai CPR pasien tetap tidak sadar, tidak
 muncul nafas spontan, reflex muntah negatif serta pupil
 tetap
dilatasi,selama lebih 30 menit kecuali pasien
 hipotermik atau dibawah pengaruh barbiturat atau
 anestesi umum.

Check list untuk diagnose klinis dari brain death menurut Medical Center of Pittsburgh University dalam menerbitkan
sertifikasi kematian :
 I.Tidak adanya cofounding factors:

A.Tekanan darah sistolik > 90 mmHg tanpa vaso pressor dan
 perfusi perifer adekuat.

B. Suhu tubuh > 32 derajat C dibawah 32 C EEG bisa
 isoelektris.

C. Tanpa obat mendepressi CNS
 (anestetik,narkotik,sedatif,alkohol).

Kadar sedatif tidak > subterapetik, kadar alkohol tak >=
 100 mg%. Bila curiga lakukan test toksikologi.
 Tak
menggunakan pelemas otot, bisa membuat apnoe
 atau gerakan(-).

D.Tidak ada uremia,meningo ensefalopati,hepato
 ensefalopati atau metaboilik ensefalopati bila ada harus
 diambil EEG
untuk menentukan brain death.

II. Absen fungsi serebral dan batang otak
 A. Tak ada reflex batang otak termasuk test apnoe.

B. Tak ada responsivity dan reseptivity dari serebral.

1.Tak respons terhadap stimulus nyeri (penekanan supra
 orbital).

2.Tak ada gerakan otot spontan, deserebrate rigidity atau
 decorticasi atau kejang.

3.Tak ada reflex cahaya pupil(fixed)(paling penting)
 (takperlu dilatasi atau equal)
 4.Tak ada reflex kornea (kelemahan
facial sebelumnya
 bisa bikin reflex kornea negatif).

5 Tidak ada reflek batuk dan menelan (tak respons
 terhadap stimulus jalan nafas atas dan bawah) dengan
 menyedot
faring atau trakea, via pipa trakeal.( test
 n.vagus dan glossopharyngeal).

6Tak ada reflex okulosefalik dengan memutar kepala arah
 kesisi kontralateral tidak ada gerakan bola mata, tak
 boleh
dilakukan pada fractur cervical.

7. Tak ada reflex okulo vestibular (meninggikan kepala 30
 derajat, lakukan irigasi 50 cc air es kedalam saluran
 telinga
luar tidak ada gerakan bola mata boneka.(test
 labirinth)

8. Tidak ada peningkatan denyut jantung kalaupun ada tak
 lebih dari lima kali permenit sesudah 5 menit diberikan
 0,04
mg/kg atropin iv.
 Sebagai tes fungsi n vagus dimana atropin sebagai
 vagolitik.

Dicatat denyut jantung sebelum dan sesudah test
 atropin.

9. Apnoe pada saat PaCO2 > 60 mmHg merupakan stimulus
 paling kuat untuk merangsang pusat nafas minimal
30
 detik.
 Dicatat PaCO2 dan PaO2 pada akhir test apnoe.

III .Test untuk mengkonfirmasi diagnose brain death (confirmatory test) evaluasi fungsi neuron atau sirkulasi darah intra
kranial.

A.EEG adanya elektro serebral silence, lebih dari 30 menit.
 Test ini dilakukan bila ada encefalopati, penyebab
koma
 tidak tahu atau global iskemia sudah berlangsung 24 jam
 atau paling sedikit satu pemeriksaan tidak dilakukan
atau
 test apnoe tidak bisa dilakukan takut terjadi henti
 jantung.

B.Cerebral arteriografi (4 pembuluh darah serebral) tidak
 dijumpai sirkulasi darah intrakranial, test ini dilakukan
 kalau
pasien hipotermia berat,mendapat CNS depressant,
 alkohol atau pelemas otot.

IV.Komentar :

Semua hasil pemeriksaan telah memenuhi kriteria MBO
 walaupun jantung masih berdenyut.
Sertifikasi kematian :

Setelah mempertimbangkan hal-hal diatas dengan ini kami menyatakan kematian atas nama,jenis kelamin,umur,dan
alamat,tanggal dan jam meninggal,ditanda tangani oleh dua orang dokter.

Langkah selanjutnya memberi tahu keluarganya akan dihentikan bantuan hidup yang ujungnya sia-sia bukan berarti
membiarkan mati.

Bila keluarga sudah menerima tentang kematian otak maka ventilator,monitor dan infus di stop,dilakukan oleh petugas
yang merawat, biarkan sampai jantung berhenti sendiri.
 Bila akan dilakukan transplantasi organ minta persetujuan
tertulis dari keluarga.
 Bila setuju maka teruskan bantuan utama untuk mencegah injury organ.

Kontroversi MBO:

Ada bukti-bukti menunjukkan residual neuron function yang bisa bertahan walaupun telah dinyatakan semua kriteria telah
dipenuhi untuk diagnose MBO.

Termasuk berlanjutnya produksi hormon hipofise/hipotalamus dan bertahannya suhu tubuh tetap normal walaupun pada
angiografi 4 pembuluh darah serebral tidak ada tanda-tanda sirkulasi intrakranial.

Masih ada spontanous depolarisation bisa ditest dengan menempatkan elektrode lebih dalam meskipun EEG cortex
isoelectric silence.

Adanya enviromental responsiveness dibuktikan dengan naiknya tekanan darah dan kecepatan denyut jantung sebagai
respons pembedahan selama organ procurement diduga respons terhadap stimulus komponen extra kranial dari ANS.

Namun hal ini bisa terjadi sebab definisi MBO adalah hilangnya permanent semua fungsi neuron terpadu bukan kematian
semua cell.

Ringkasan :
 Kriteria MBO yang digunakan sejak 1968 di Universitas Pittsburgh termasuk ketiadaan total, aktivitas
serebrum dan batang otak pada dua pemeriksaan klinis dengan interval minimal dua jam,tanpa depresan CNS,pelumpuh
otot dan hipotermi. Diantara dua pemeriksaan klinis dilakukan perekaman EEG dengan atau tanpa stimulasi
suara,dengan pembesaran dua mikrovolt per mm menunjukkan rekaman isoelektrik selama minimal 30 menit.

Tidak terdapatnya pernafasan spontan selama 3 menit dimana PaCO2 harus >50 torr untuk penderita COPD yang
memerlukan hipoksia untuk pernafasan maka PaO2<50 torr untuk ini perlu analisa gas darah.

Reflex dan respons saraf otak termasuk reflex pupil harus tak ada.
 Laju jantung tak boleh meningkat selama pemberian
atropin iv.

Semua aktivitas batang otak tidak ada kecuali aktivitas sumsum tulang karena neuron sumsum tulang belakang masih
hidup setelah mati otak.

Bila fasilitas EEG atau BGA tidak ada, maka angiografi untuk memastikan tidak ada perfusi intrakranial sebagai
alternatif.
 Namun bila pemeriksaan laboratorium juga tak ada maka pemeriksaan klinis saja mencukupi.

Persetujuan keluarga tidak perlu untuk sertifikasi mati otak dan dua dokter minimal menanda-tangani sertifikat kematian
pasien.

ANESTESI CIDERA KEPALA


Pada penderita cedera kepala akut, penyebab utama rusaknya otak adalah cedera mekanik, odem, perdarahan dan
iskemik otak.

Odem dan iskemik otak merupakan tanggung jawab ahli anestesi.

Kerusakan otak akibat cedera kepala akut dibagi atas cedera primer dan sekunder.

Cedera primer terjadi pada saat peristiwa hingga tidak bisa diminimalisir sementara cedera sekunder bisa, oleh sebab
faktor intrakranial (hematom odem) dan faktor sistemik (hipoksia, hiperkalemia, hipotensi, hipertensi dll) masih mungkin
diminimalisir.

Pasien yang semula sesudah kejadian trauma sadar dan bisa bicara dengan baik kemudian memburuk dan meninggal
sudah dapat diduga akibat cedera sekunder. Intervensi aktif dalam mengelola penderita sangat dibutuhkan dalam
mencari dan mengkoreksi kedua faktor tersebut. Oleh sebab itu kehadiran ahli anestesi bukan hanya dibutuhkan dalam
rangkaian pembedahan tetapi juga pada cedera kepala akut yang tak memerlukan pembedahan mulai ditempat kejadian
transportasi, unit gawat darurat & ICU.

Dalam rangka pembedahan untuk mengevakuasi hematom intrakranial, seorang ahli anestesi selalu berhati-hati
mengendalikan ICP dengan segala cara mencegah dengan mengatasinya agar otak penderita cukup relaks dengan
demikian ahli bedah tak membuat trauma yang banyak dengan retraktornya.

Bayangkan bila otak yang membengkak keluar dari sarangnya teriris oleh pinggiran tulang tengkorak dan tak bisa
direposisi lagi. Tetapi dalam pembedahan non craniotomi (laparatomi, adanya ruptur lien atau hepar) pada penderita
cedera kepala akut dengan odem otak yang difus diperlakukan dengan prosedur anestesi biasa memang otak tidak akan
keluar dari sangkarnya tetapi tidak terbayangkan nyawa penderita akan terancam
 akibat ICP tidak terkontrol.

Demi keselamatan penderita dengan cedera kepala akut seorang ahli anestesi harus mampu memberi proteksi otak
penderita dengan mengendalikan ICP, volume otak, mencegah iskemik dan mengurangi perdarahan baik dalam
pembedahan maupun diluar pembedahan.

EVALUASI DAN PERSIAPAN PRA OPERATIP

Ini adalah bagian yang sangat mendukung keberhasilan proses anestesi selanjutnya. Penderita dengan GCS < 8, ICP >
20, mmHg tekanan darah sistolik < 80 mmHg, internal kejadian dan tindakan > 8 jam adalah gambaran prognosa yang
jelek.

Langkah pertama harus cepat mendeteksi dan mengkoreksi adanya hipoksia dan hipotensi oleh karena kedua faktor ini
paling sering sebagai penyebab berkembangnya cedera sekunder yang pada akhirnya menimbulkan iskemik dan
kerusakan otak.

Hampir 65% penderita CKB dengan bernapas spontan dalam keadaan hipoksemia.

Penyebab sentral yang paling sering adalah kenaikan yang masif dari ICP, atau kerusakan lokal dipusat pernafasan pada
brainstem. Kenaikan ICP bisa oleh karena odem otak yang difus atau desakan hematom yang meluas.

Obstruksi jalan napas oleh sebab jatuhnya lidah kebelakang, bekuan darah maupun muntah-muntah yang teraspirasi
merupakan penyebab tersering.

Menarik mandibula kebelakang memasang pipa oroparing yang sesuai, membersihkan muntahan/debris dapat
memperbaiki kebebasan jalan napas.

Trauma pada dinding dada/abdomen cukup riskan menyebabkan pneumo torak, himatotorak maupun fraktur iga yang
membuat penderita sulit/sakit bernapas dalam hal ini foto torak suatu keharusan. Pengendalian jalan napas dengan
ventilasi dapat dicapai melalui intubasi endotrakeal, kritotirotomi atau trakeostomi.

Intubasi sendiri punya resiko untuk menaikkan ICP dan memperburuk cedera leher (kurang lebih 20% pada CKB).

Namun dalam kondisi hipoksia dan hiperkarbia yang mengancam, intubasi merupakan suatu keharusan cuma harus hati-
hati.
Penderita dengan GCS < 8 pernapasan irregular merupakan indikasi untuk intubasi. Perlu diperhatikan jangan melakukan
intubasi nasotrakeal pada penderita fraktur basis cranii.

Hipotensi pada umumnya oleh karena hipovolemia, jarang oleh karena cedera kepala akut semata kemungkinan ada
multiple trauma pada torak (hemotorak), abdomen (ruptur lien/hepar) atau pelvis.

Dalam hal tak ditemukan trauma diluar kepala kemungkinan ada cedera batang otak, bagi bayi dengan SDH yang luas
atau stadium terminal.

Penurunan tekanan darah dengan kenaikan ICP akan memperburuk perfusi otak oleh karena kita ketahui CPP = MAP –
ICP. Semakin turun MAP semakin tinggi ICP semakin jelek perfusi (CPP).

Dalam hal etiologi hipotensi meragukan anggap saja sebagai hipovolemia dan segera koreksi dengan kristaloid, koloid
dan jangan dengan dextrose.

Oleh karena akan menyebabkan serebral odem, laktat asidosis. Pada trauma kepala akut diusahakan dehidrasi tapi CVP
normal, hematokrit antara (30-35%), produksi urin 1-2 ml/ kg BB/jam.

Hipertensi yang ringan tak perlu dikoreksi karena merupakan kompensasi untuk mempertahankan CBF karena CBF
menurun kurang lebih 50% dalam 24 jam pertama cedera kepala akut.

Hipertensi dengan MAP > 130 – 140 mmHg harus diterapi, karena akan meningkatkan ICP dan odem otak. Lebih terpilih
alpha bloker karena penyebabnya hiper aktivitas syaraf simpatis dan efek serebral minimal.

Pengendalian ICP adalah mutlak karena meningkatnya ICP akan memperburuk perfusi otak.

Trias cushing (hipertensi, bradikardi & melambatnya respirasi) merupakan gejala spesifik kenaikan ICP.

Penderita dengan GCS < 8, atau GCS 8 – 12 yang memerlukan terapi cairan yang banyak perlu monitoring ICP.

Teknik hiperventilasi adalah jalan tercepat dan sangat efektif menurunkan ICP merupakan tindakan life saving pada
hipertensi intrakranial akut. Perlu diketahui pada periode 24 jam pertama cedera kepala akut, selalu disertai kurang lebih
50% penurunan CBF untuk ini diusahakan PaCO2 tak lebih rendah dari 35 mmHg mencegah iskemik cerebri.

Pemberian osmotik diuretik dan loop diuretik diharapkan dapat mengurangi air jaringan otak. Pemberian manitol 20% (
0,25 – 1) g/kg BB selama 15-25 menit bila perlu diulangi setiap 4 jam pada kenaikan ICP yang persistent.

Manitol bisa mengurangi viskositas darah yang menyebabkan vasokonstriksi vasocerebral sehingga bisa
menurunkanICP.

Dengan viskositas darah yang rendah memudahkan transport O2 dan pengeluaran CO2. Usahakan osmolaritas sekitar
(300-215) mosm/1, sebab dibawah 300 mosm/1 tidak efektif sementara lebih besar dari 350 mosm/1 menyebabkan
disfungsi renalis dan neurologis.

Jangan berikan manitol bila ada hipotensi/hipovolemik. Pemberian furesemid intravena 15 menit setelah manitol akan
memperkuat efek manitol dan dapat mencegah rebound pnphenomen (peningkatan ICP dan CBV) serta punya efek
mengurangi kecepatan produksi CSF dengan memblokkir karbonik anhidrase.

Mobilisasi penderita harus hati-hati, setiap perubahan posisi (hiperekstensi, hiperfleksi, rotasi kepala) serta posisi
tredelenburg akan mengganggu drainage serebral dengan meningkatnya ICP.

PENGELOLAAN ANESTESI

Prinsip dasar/pengelolaan anestesi pada cedera kepala akut:

a. Optimalisasi perfusi otak
 b. Mencegah iskemik otak
 c. Menghindari teknik dan obat-obat yang bisa menaikkan ICP.

Ini bisa dicapai dengan jalan Menjaga stabilisasi hemodinamik yang optimal.

Bebasnya jalan napas dan ventilasi kendali untuk menjamin oksigenasi yang adekwat dan hiporkarbia.

Menghindari faktor-faktor yang meningkatkan tekanan vena serebral antara lain :

a. Batuk dan mengejan.

b. Posisi kepala yang ekstrim, yang menimbulkan obstruksi vena besar dileher (hyperfleksi,hyperekstensi,rotasi dan
posisi kepala lebih rendah).

c. Tekanan pada abdomen atau tahanan pengembangan torak.

d. Kanulasi vena jugularis interna untuk pemasangan CVP.

e. Obat-obat yang meningkatkan ICP.

PREMEDIKASI

Cukup memberikan anti kolinergik untuk mencegah sekresi yang berlebihan tidak perlu memberikan sedasi yang mungkin
membuat depresi respirasi yang akan meningkatkan PaCO2 apalagi obat-obat narkotik.

Glicopirolate tampaknya terpilih sebagai anti sekresi oleh karena sedikit pengaruhnya pada jantung.

INDUKSI

Induksi yang ideal adalah menghindari kenaikan tekanan darah maupun kenaikan ICP. Untuk itu hindari hal-hal yang
menimbulkan rasa nyeri (pemasangan infus, pengisapan lendir, manipulasi daerah trauma).

Batuk dan mengejan harus dicegah karena dapat merangsang simpatis menaikkan tekanan darah, ICP, udem, dan
herniasi otak. Posisi harus telentang netral, kepala head up setinggi 20-30% mencegah obstruksi vena besar di leher.

Pre oksigenasi 100% untuk mencapai SaO2 100%
 Narkotik (terpilih fentanil 1-4 ug/kg BB iv sebelum pentotal untuk
menjaga stabilisasi kardiovaskuler).

Narkotik yang lain menimbulkan vasodilatasi serebral.

Pentothal obat induksi pilihan asal tidak ada kontra indikasi karena mampu menurunkan CBF dan ICP.

Lidocain 1,5 mg/kg BB iv 1-3 menit sebelum intubasi dapat mencegah kenaikan tekanan darah dan ICP.

Dalam hal penthotal ada kontra indikasi, pilihan etomidate maupun propofol merupakan alternatif yang baik.

Vecuronium & recuronium merupakan relaxant pilihan oleh karena effek pada kardiovaskular stabil dan efek pada ICP
minimal.

Succinilkholine bisa menaikkan CBF dan ICP, kemungkinan hiperkalemia, jangan diberikan pada cedera kepala akut 6-12
jam setelah kejadian, recuronium merupakan alternatif.
 Pancuronium tidak dianjurkan karena efek hipertensinya dapat
menaikkan CBF dan ICP dimana penderita cedera kepala akut ada gangguan auto regulasi.

Atracurium bila mungkin dihindari karena melepaskan histamin dan metabolit laudanosin yang dimilikinya dapat
menimbulkan kejang-kejang pada binatang percobaan.

PEMELIHARAAN ANESTESI

Penggunaan inhalasi isoflurane and sevoflurane cukup terpilih berdasarkan autoregulasi tetap baik sampai 1,5 MAC dan
respon terhadap CO2 tetap baik sampai 2,8 MAC.
 Menurunkan CMR 02 sampai 50% sehingga punya efek proteksi otak.

Kenaikan ICP oleh isoflurane 1% mudah dilawan dengan hipokapnia dan barbiturat.

Sevoflurane, efek neuro hemodinamiknya seimbang dengan isoflurane hanya induksi dengan pemulihannya lebih cepat.

Halothan kontra indikasi absolut pada CKB karena mensensititasi myokard gampang aritmia padahal penderita CKB akut,
kadar katekolanin meningkat.

Disamping itu kenaikan ICP oleh karena halothan tidak bisa dikounter dengan hiperventilasi walaupun sudah
hipokarbi.
 Tambahan lagi antoregulasi hilang pada => I MAC halothan dan menetap sampai periode pasca bedah.
Odem otak akan diperburuk oleh halothan karena merusak BBB dan Blood-CSF Barriere.

Enflurane tidak dianjurkan dalam bedah syaraf oleh karena autoregulasi hilang pada 1MAC, dapat menimbulkan kejang
EEG pada dosis moderat (1,5-2) MAC dimana CMRO2 akan meningkat berapa ratus persen dan akan meningkatkan
CBF dimana kenaikan ICP akan berakhir 3 jam setelah obat dihentikan.

N20 harus dipertimbangkan untung ruginya oleh karena 60% N2O dapat meningkatkan CBF krg lebih 100% dengan
meningkatkan CMRO2 krg lebih 20% dan hindari pemakaiannya bila ada aerocele atau resiko emboli udara terutama bila
disertai kerusakan sinus nervosa atau bila sinus tulang kontak dengan udara.

Penggunaan relaxant secara kontinu tampaknya lebih baik dari pada intermittent untuk mencegah gerakan tiba-tiba
penderita selama berlangsungnya operasi bisa menaikkan ICP drastis dapat digunakan vecuronium 0,1 mg/ kgBB/jam.

Hipertensi ringan tak perlu diterapi kecuali MAP>130 mmHg dicoba dengan isoflurane dosis rendah bila kurang respons
berikan esmolol, propanolol atau labetalol.

Penggunaan nitroglizerin maupun nitroporuside tak dianjurkan karena merupakan vasodilator serebral dapat menaikkan
ICP.

Kejadian aritmia intraoperatif terutama disebabkan hiper adrenegik sentral, bolus lidocain (1-1.5) mg/kg BB iv dan titrasi
(1-4) mg/menit mungkin bisa menetralisir. Namun demikian setiap mengkoreksi hipertensi atau aritmia sebaiknya faktor
hipoksia/hiperkarbia perlu dipikirkan lebih dahulu.

Hipotensi intra operatif segera terapi dengan cairan bila kurang respon baru diberi vasopressor.

Penggunaan cairan pada dasarnya mencegah hipovolemia, hipervolemia, hipoosmoler, hiperglikemia.

NaCl 0.9 % merupakan cairan terpilih dimana osmolaritasnya 300 mosm/1 sementara ringer laktat hipo osmolar (273
mosm/1) sebaiknya dibatasi untuk mencegah hipo osmoler yang akan meningkatkan udem serebri.

Untuk mempertahankan volume intravaskular koloid adalah alternatif karena dapat menyerap air mengekspansi volume
kardiovaskular.

Tampaknya hetastarch cukup baik, harganya murah, satu liternya dapat meningkatkan 750cc volume intravaskular tetapi
dibatasi maksimal 20ml/kg BB/ hari untuk mencegah gangguan koagulasi mempengaruhi fungsi faktor VIII.

POST OPERATIF

Bila penderita sadar dan bernapas spontan adekwat, bisa dilakukan extubasi. Pengisapan lendir dan extubasi sendiri
akan menyebabkan penderita batuk, mengejan dan merejan cukup potensial menaikkan ICP & memperburuk udem
serebri yang ada.

Hal ini bisa dikurangi dengan pemberian likodain (1-1.5) mg/kg BB intravena tiga menit sebelum extubasi.
 Bila CGS < 8
atau adanya trauma leher dan dada mungkin intubasi tetap dipertahankan untuk diventilasi di ICU untuk menjaga &
proteksi jalan napas.

Perlu diberi sedasi atau narkotik dosis kecil mengurangi iritasi endotrakeal pada jalan napas.

Posisi heard up 20-30% agar drainase vena serebral lancar terutama penderita dengan ventilasi tekanan positif atau
PEEP atau pasien dengan CVP yang tinggi.

Hindari posisi Tredelenburg, kepala hiperfleksi, hiperektensi atau rotasi akan membendung vena besar leher dapat
menaikkan ICP.

Hiperventilasi kadang diperlukan untuk mengendalikan ICP tetapi harus hati-hati bisa menyebabkan vasokonstriksi
serebral dengan akibat menurunnya perfusi otak.

Bila diperlakukan lama maka hipokapnik ventilasi digunakan tidak lebih dari 24 jam selanjutnya digunakan normokapnik
ventilasi untuk mencegah kronik hipokarbi.

Penggunaan hipokapnik lebih dari 24 jam menimbulkan gangguan asam basa, kemampuan menurunkan ICP dalam
keadaan darurat akan hilang.

Hipertensi pasca bedah dapat menimbulkan perdarahan kembali akibat bekuan darah belum kuat.

Bila tekanan darah melampaui batas autoregulasi (MAP > 150mmHg) akan menyebabkan rusaknya BBB, odem
interstitiel dan meningkatnya ICP.

Tetapi harus dilakukan terapi bila MAP > 130-140 mmHg dan semua penyebabnya seperti hipopksia, hiperkarbi,
hiportermi dan ovelood cairan, serta nyeri dikoreksi baru diberikan anti hipertensi.

Naiknya tekanan darah karena PaCo2 meningkat, diperlukan untuk mempertahankan CPP bila diberi anti hipertensi akan
memperburuk perfusi otak.
Prinsip pemberian cairan harus dipertahankan dry untuk mencegah exaserbasi odem serebri, tetapi punya resiko bila
CPP tak adekwat akan memperluas kerusakan otak.

Untuk itu cegah terjadi overhidrasi namun tak perlu takut pemberian cairan.

Kontrol elektrolit(K,Na) akibat diuretik harus segera dikoreksi.

Kadar gula darah dikendalikan tak lebih dari 150mg% bila lebih dari 200mg% harus diterapi dengan insulin.

Hiperglikemia akan menambah asidosis otak karena meningkatnya asam laktat.Glukosa hanya diberikan bila ada
hipoglikemia.

Kadang-kadang sesudah 48 jam ICP tetap meninggi kemungkinan besar disebabkan odema serebri yang luas.

Retriksi cairan, loop dan osmotik diuretik merupakan tindakan awal, bila tak respon baru lakukan ventilasi kendali dan
barbiturat.

Pasien yang dirawat di ICU diperlukan pengaturan suhu tubuh, bronkial toilet,pengendalian kejang dan proteksi otak.

Cegah hipertermia karena setiap kenaikan suhu,akan menaikkan konsumsi oksigen.

Hipotermia dianjurkan untuk untuk mengurangi kebutuhan oksigen dan melindungi otak namun hanya cukup sampai 35
derajat celcius dengan mengatur suhu ruangan oleh karena ditakuti penyulit menggigil, gangguan elektrolit, perubahan
kardiovaskular dan renal.

Menggigil akan menaikkan konsumsi oksigen lebih kurang 400%.

Bronkial toilet seharusnya dilakukan dalam keadaan tersedasi untuk megurangi iritasi jalan nafas yang dapat menaikkan
ICP.

Untuk pengendalian kejang dapat digunakan phenitoin(dilantin),benzodiazepin/barbiturat atau lidokain.

Ini penting diatasi karena kejang dapat menaikkan ICP, hipertensi sampai perdarahan otak, hipoksia dan rusaknya sel
otak.

Dosis permulaan phenitoin 5-20 mg/kg intravena,dengan kecepatan maksimal pemberian 50 mg/menit, untuk mencegah
efek samping kardiovaskular seperti hipotensi,aritmia sampai henti jantung.

Diazepam diberikan dengan dosis 5- 10 mg intravena(0,3 mg/kg) sementara thiopental dengan dosis (1-4)mg/kg
intravena.

Proteksi otak dengan jalan mempertahankan supply oksigen, hemodinamik yang baik dan stabil, ICP yang rendah dan
kimia darah berimbang.

Kebutuhan oksigen dengan menurunkan suhu tubuh, pemberian obat-obatan yang menurunkan CMRO2 seperti
barbiturat atau etomidat.

Kesimpulan :

Intervensi yang cepat dan tepat baik prabedah maupun selama dan sesudah pembedahan dalam mencegah terjadinya
cedera otak sekunder sangat menentukan morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala akut.

Hipoksia dan hipotensi hipovolemia harus segera dideteksi dan dikoreksi karena sebagai penyebab berkembangnya
cedera otak sekunder.

Mobilisasi penderita harus extra hati hati karena CKB disertai cedera leher kurang lebih 20%.

Hindarkan posisi tredelenburg,hiperfleksi,hiperekstensi maupun rotasi kepala cenderung memperburuk cedera leher dan
menaikkan ICP.

Bila ICP > 20 mmHg harus segera diterapi.

Hiperventilasi untuk menurunkan ICP dalam 24 jam pertama jaga jangan sampai PaCO2 <35 mmHg,karena telah terjadi
penurunan CBF sebesar 50% akan memperburuk perfusi otak.

Hipertensi hanya diterapi kalau MAP>130 mmHg karena hipertensi ringan merupakan kompensasi untuk
mempertahankan CBF.

Prinsip pemberian cairan cegah hipovolemia,hipervolemia,hipoosmolar dan hiperglikemia.

Kadar gula darah sebaiknya jangan melebihi 150mg% kalau >200mg% segera dikoreksi dengan insulin.

Larutan glukose hanya diberikan kalau ada hipoglikemia.

Keterangan singkatan yang terlampir :

ICP = Intra Cranial Pressure CBF= Cerebral Blood Flow
 CBV = Cerebral Blood Volume CPP =Cerebral Perfusion
Pressure
 MAP = Mean Arterial Pressure CKB =Cedera Kepala Berat
 GCS = Glasgow Coma Scale SDH =
Subdural Hematom
 CMRO2 = Cerebral Metabolic Rate for 02.

ANATOMI PERNAFASAN
Pengetahuan tentang anatomi dan fisiologi sistem respirasi merupakan salah satu modal dasar bagi ahli anestesi oleh
karena hampir semua obat-obat anestesi yang diberikan diberikan sangat mempengaruhi fungsi respirasi dan
pemberiannya sebagian besar secara inhalasi.
 Oleh karena obat-obatan anestesi dapat mendepresi pusat-pusat vital
dalam otak sedangkan pengetahuan dibidang ini hanya dimiliki para dokter maka yang dibenarkan melakukan tindakan
anestesi hanya dokter.
 Dengan bekal pengetahuan anatomi sistem respirasi diharapkan dapat dengan mudah mengenal
kelainan sistem respirasi, prosedur tehnik anestesi serta penanggulan komplikasi yang terjadi. Ahli anestesi bertanggung
jawab atas cukup tidaknya oksigenasi dan ventilasi baik sebelum, selama dan sesudah anestesi.

ANATOMI SISTEM RESPIRASI

Terbagi dua bagian besar :
 1. Tractus respiratorius bagian atas :

a. Hidung (nasal)

b. Pharyng

c. Laryng

2.Tractus respiratorius bagian bawah :

d. Trachea

e. Bronchus

f. Bronchiolus

- terminalis

- respiratori

g. Alveolar

- ducts

- sacs

h. Alveoli

Mulai dari hidung sampai bronchioles terminalis disebut conducting airway karena tidak terlibat langsung proses
pertukaran gas tetapi fungsinya sangat penting adalah pemanasan, humidifikasi (pelembaban), dan filtrasi (penyaringan)
udara inspirasi sehingga begitu udara mencapai alveoli sudah siap pada suhu tubuh dan saturasi penuh. Setiap cell epitel
kolumnar mempunyai kira-kira 20 ciliari yang bergetar 10 – 15x/detik, yang mendorong dengan kuat dan cepat lapisan
superficial mucus ke arah pharyng yang mengikat partikel-partikel asing seperti debu, serbuk maupun bakteri.
 Selama
proses anestesi proses ini ditekan sehingga kecepatan aliran mukus trachea yang normalnya 20 mm per menit turun jadi
7 mm per menit, disamping itu juga viscositas sekret menyebabkan pembentukan crustae yang dapat mengobstruksi
airway(jalan nafas).

Dengan pemakaian pipa tracheal fungsi cilia/mukus akan hilang yang menyebabkan tracheobronchi hiperemia.

Jarak antara lobang hidung(nares externus) kepintu masuk laryng :


Umur cm
 ——————————————————————–

neonatus 9,5 - 10

6 bulan 11

1 tahun 11,5

4 tahun 13 – 14

8 tahun 15

12tahun 16

dewasa 17 - 18

Hal ini penting sejauh mana pipa nasotracheal masuk terutama dalam blind intubasi, sedangkan diameter pipa sebagai
pedoman besarnya kelingking pasien.
 Perubahan anatomi dalam hidung akan menimbulkan obstruksi airway sebaiknya
dilakukan pemeriksaan rongga hidung sebelum anestesi dimulai agar terjamin patency airway demi keamanan dan
kelancaran anestesi.

Posisi kepala dalam keadaan defleksi maksimal untuk menjamin kebebasan jalan nafas dimana basis lidah tak lagi
menutupi pintu masuk laryng seperti pada posisi flexi.
 Pharyng merupakan pipa yang berhubungan ke laryng dan
oesophagus, kemungkinan terjadinya aspirasi sebab akibat regurgitasi dan muntah selama anestesi bisa saja terjadi.

Untuk itu pasien haruslah dipersiapkan dengan lambung kosong sebelum dilakukan induksi anestesi pada pasien yang
menjalani operasi elektif atau ditunggu sampai 6 jam sejak makan minum terakhir,bagi pasien darurat dan kalau operasi
benar emergensi pasien diberi antacid menetralkan asam lambung peroral, pemasangan pipa gaster dan intubasi
trachea. Dan harus diingat pasien yang sress akan memperlambat pengosongan lambung sehingga patokan puasa 6 jam
tak menjamin aman dari aspirasi untuk itu persiapan pencegahan selalu siaga.
 Adalah lebih aman rasanya bila setiap
pasien operasi emergensi lakukan intubasi.

Dan setelah anestesi selesai buat posisi kepala miring, lebih rendah dan pasang pipa gudel sesuai umur untuk mencegah
lidah pasien jatuh kebelakang kalau pasien belum sadar dan terbaik extubasi sadar penuh. Namun pasien dengan
tekanan intrakranial yang tinggi posisi demikian kontra indikasi. Resiko extubasi pasien setengah sadar bisa terjadi
spasmo laryng dan pipa trachea digigit pasien. Tetapi bisa dikurangi dengan extubasi waktu inspirasi. Seorang anestesi
yang berpengalaman tahu berapa lama lagi operasi selesai dan kapan anestesi dihentikan sehingga begitu operasi
selesai pasien segera sadar.

LARYNG :
 Terletak antara pharyng dan trachea memanjang dari pangkal lidah sampai trachea.
 Lokasinya berhadapan
dengan vertebra cervicalis 3, 4, 5 & 6 lebih tinggi pada wanita dewasa dan anak-anak.

Terbuka kebagian bawah pharyng udara dapat keluar masuk melalui jalan nafas lewat hidung dan pharyng juga rongga
mulut kalau mulut terbuka. Panjang rata-rata pada pria 44 cm dan wanita 36 cm.

Diameter : antro posterior transversal

Pria 36 mm 43 mm

Wanita 26 mm 41 mm

Tersusun dari tulang rawan (thyroid, cricoid, arytenoid, corniculate(Santorini), cuneiform(Wrisberg) & epiglottis.

Pintu atas laryng (apertura laryngeal superior) lebih lebar didepan dari belakang dan miring kebawah belakang dibatasi
oleh sebelah depan : epiglottis lateral ; ery epiglottis fold.
 belakang : arytenoid
 Vocal cord (pita suara) terbentang dari
cartilago thyroid sebelah depan dan cartilago arytenoid sebelah belakang, celah antara vocal cord disebut rima glottis
merupakan bagian tersempit dari laryng dengan diameter 2,5 cm dan pada wanita lebih pendek.
 Pada anak-anak letak
bagian tersempit ini tepat dibawah lipatan pada cricoid ring.Vocal cord bergerak merubah bentuk dan lebarnya glottis, ini
tergantung dari pada situasi

dan kondisi apakah bersuara, bernafas dan tonus otot yang mengontrolnya. Bila terjadi spasmo, glottis akan menutup.

Dengan pelemas otot (muscle relaxant) vocal cord akan paralyse (lumpuh) dan posisinya antara abduksi dan adduksi
disebut posisi Cadaveric, hal seperti ini terlihat pada saat efek muscle relaxant mencapai maksimal. Ini penting untuk
mempermudah prosedur intubasi atau bronchoscopy.

Vocal cord yang berwarna putih sebagai pedoman membedakan glottis dan oesophagusa.
 Terutama waktu intubasi agar
tak salah masuk ke oesophagus.
 Dengan laryngoscope dapat dilihat dengan jelas dan dipermudah dengan posisi
Sniffing dari kepala dimana occiput sedikit ditinggikan dengan penyokong rata ( 5-10 ) cm dan kepala di extensikan pada
persendian atlanto occipital diharapkan pintu masuk laryng dan hypopharyng tak terlipat dan membuat sumbu dari cavum
oris dan pharyng serta trachea dalam satu garis lurus sedangkan normal membentuk sudut.
 Pada waktu inspirasi vocal
cord saling menjauh (abduksi) sehingga rima glottis lebih lebar sehingga intubasi atau extubasi dilakukan saat inspirasi
untuk mengurangi trauma.
 Sedangkan waktu expirasi bersentuhan.
 Diantara pangkal lidah dan epiglottis didapati
valleculae dimana waktu melakukan intubasi nasotracheal secara blind, sering ujung pipa tachea tersangkut disitu. Waktu
intubasi pastikan dilihat lewat vocalcord bukan dengan menekan dada dan merasakan udara keluar lewat pipa karena
misintubasi sering terjadi (malroute).
 Pada sisi kiri kanan laryng didapati lekukan disebut fossa firiformis dibawah
mukosanya didapati anyaman nervus laryngeal internus yang menginervasi mukosa laryngeal sampai setinggi vocalcord
ini bisa diblock bila larutan analgesik lokal di infilter didaerah ini.
 Sewaktu pengikatan pembuluh darah thyroid superior
waktu thyreodectomy sering nervus laryngeal externus yang mensupply cricothyroid muscle mengalami injury
menyebabkan suara serak post operatif yang temporer.
 Bila nervus laryngeal recurrent yang terluka apalagi bilateral
akan terjadi kesulitan bernafas dan bicara dengan obstruksi seperti valve dan terdengar stridor inspiratoir ini dapat
dimengerti karena semua otot-otot laryng kecuali cricothyroid muscle disupply oleh nervus laryngeal recurrent dimana
otot-otot yang membuka menutup glottis serta mengontrol inlet laryng mengalami inaktivasi.

Bila dilihat dengan laryngoscope posisi vocalcord saat begini dalam posisi adduksi (merapat) dimana yang berfungsi
hanya arytenoid muscle yang menegangkan vocalcord sehingga kesulitan bernafas.Tetapi kalau nervus laryngeal
recurrent dan laryngeal superior paralyse

maka semua otot-otot laryng termasuk crycothyroid muscle mengalami inaktivasi sehingga posisi vocalcord antara
abduksi dan adeduksi yang disebut posisi Cadaver.
 Nervus laryngeal sinistra melingkari arcus aorta sering tertekan bila
ada aneurysma aorta, sedangkan nervus laryngeal dextra melingkari arteri subclavia dextra. Nervus laryngeal mungkin
rusak akibat adanya penebalan pleura, tumor mediastinal, perluasan tumor-tumor daerah leher dan dada, luka dan
operasi daerah leher, pembesaran atrium sinistra, dalam keadaan toksis seperti influenza, diptheria dan keracunan Pb ini
semua menyebabkan perubahan-perubahan pada laryng.
 Epiglottis sebelah atas diinervasi oleh nervus glosso
pharyngeus sedang sebelah bawah oleh nervus vagus cabangnya yaitu nervus laryngeal internus, oleh sebab itu
stimulasi pada permukaan superior epiglottis tidak akan menimbulkan laryngospasmo.
 Dalam keadaan peradangan
tertentu jaringan submukosa laryng sebelah atas mengalami infiltrasi cairan yang menimbulkan glottis odem sehingga
menutupi rongga laryng sebelah atas menimbulkan suffocasi (tercekik).
 Perlekatan yang rapat membrana mukosa plica
vocalis dapat mencegah odema yang meluas kelevel sebelah rima glottis. Posisi rima ghlottis bisa ditentukan dari
permukaan dengan menetukan satu titik pada garis tengah leher 8,5 cm dibawah insicura thyroid pada laki dan 6,5 cm
pada wanita.

Otot-otot laryng

Inervasi

I. Intrinsix :

A.Sphincter of inlet

a. Oblique arytenoids nervus laryngeal recurrent

b. Ary epiglottis idem

c. Thyro epiglottis idem

B. Sphincter of vestibule

thyro arytenoids idem

C. Adjuster of laryng

cricothyroid nervus laryngeal externus.
 D. Adjuster of rima glottis
 a. Posterior crico arytenoids nervus laryngeal
recurrent.

b. Lateral crico arytenoids idem

c. Transverse arytenoids idem

d. Vocal muscles idem

II. Extrinsix :

thyrohyoid, sternothyroid, inferior constrictor : idem


TRACHEA :
 Struktur tubular yang berpangkal pada cartilago cricoid setinggi vertebra cervicalis VI memanjang lurus
kebawah sedikit agak kekanan berakhir pada bifurcatio carina setinggi vertebra thoracalis V, atau sesuai dengan
sambungan antara corpus dan manubrium sterni (sudut dari Louis). Pada anak-anak carina setinggi cartilago costa III.

Panjangnya 10 cm dan diameter internal 1,5 – 2 cm, pada bayi diameternya kira-kira 3 mm kemudian bertambah sesuai
pertambahan umur pertahun per mm. Lebih sempit diameter pada wanita daripada pria. Dalam dindingnya tertanam
cartilago berbentuk huruf C yang bersambung ke belakang dengan perantaraan serabut otot sebanyak 16-20
cartilago.
 Penyempitan abnormal trachea sering pada sepertiga tengah menyebabkan kesulitan intubasi dengan tube
yang adekuat, sedangkan pelebaran abnormal sering pada infeksi bronchitis chronica. Tracheostomi sebaiknya dibawah
cincin trachea pertama untuk menghindarkan stenosis, biasanya cincin 3 atau 4. Diameter trachea dapat berubah baik
secara aktif oleh karena kontraksi otot-otot polosnya maupun secara pasif karena kompressi dari luar.
 Posisi ujung distal
tracheal tube sebaiknya tak mencapai carina agar distribusi gas tak menuju kesatu paru saja.

Pasien-pasien yang dianestesi dengan spontan respirasi kadang-kadang kita jumpai gerakan-gerakan yang tajam dari
laryng dan trachea selama inspirasi disebut tracheal tug. Ini mungkin disebabkan antara lain :
 a. Anestesi yang dalam
(stadium 3, plane 3 atau 4 Guedel)

b. Depressi CNS (barbiturat, opiat).

c. Inkomplit decurarisasi

d. Collapse, shock & acidosis.
 Dijelaskan oleh Compbell bahwa terjadinya ini oleh karena hilangnya tonus otot-otot
stabilisator laryng dimana diaphragma menarik laryng dan trachea kebawah.

BRONCHUS :

Bifurcatio trachea pada carina tak simetris, bronchus kanan lebih lebar dan lebih mendekat ke garis tengah.
 Bronchus
kanan : Lebih pendek kira-kira 2.5 cm, diameternya lebih besar dari yang kiri, membentuk sudut 25 derajat dengan
trachea, jadi lebih curam.

Memasuki paru kanan setinggi vertebra thoracalis V.

Pipa tracheal maupun corpus alineum lebih mudah memasuki bronchus kanan.
 Bronchus kiri : Lebih panjang kira-kira
5 cm, diameternya lebih sempit dari yang kanan, membentuk sudut 45 derajat dengan trachea, tetapi anak dibawah 3
tahun sudut bronchus kanan dan kiri sama besarnya.
 Jika pipa tracheal masuk kedalaman selalu kekanan sehingga
distribusi gas anestesi dan oksigen hanya keparu kanan dan paru kiri kempes berbahaya buat pasien, untuk itu setiap
melakukan intubasi pastikan kedudukan ujung distal pipa tracheal dengan auscultasi suara pernafasan simetris paru
kanan & kiri.

Bronchioles :
 Merupakan cabang bronchus karakteristiknya tak dijumpai certilago dan pita-pita muscular pada
dindingnya, sehingga lebih gampang tertekan akan tetapi dapat dicegah karena lokasinya tertanam dalam parenchyme
paru dan sifat elastic recoil dari septa alveolar membuatnya tetap terbuka. Dengan demikian ukuran diameter yang
sebesar 1 mm langsung berhubungan dengan volume paru dan tak banyak dipengaruhi tekanan intrathorak seperti
bronchus. Sampai level ini fungsi utamanya adalah penghantar udara (conducting airway) dan disupply oleh cabang-
cabanng sistemik vascular melalui circulasi bronchial sedangkan lewat level ini disupply oleh circulasi pulmonal.

Respiratory bronchioles :
 Merupakan daerah transisi antara bronchioles dan ductus alveolaris, karakteristiknya mulai ada
alveolar budding didindingnya. Sebelum level ini epitelnya berbentuk cuboid, tetapi pada level ini berangsur-angsur jadi
picak, dan akhirnya sama dengan epitel ductus alveolaris, pertukaran gas sudah dimulai di level ini.

Alveolar ducts dan alveolar sacs :
 Tak ada perbedaan fungsionil antara keduanya, dibatasi oleh epitel alveolar.
Sepanjang alveolar ducts didapati cincin terbuat dari septa alveolar. Septa ini berisi cell-cell otot polos dapat berkontraksi
menyebabkan menyempitnya lumen ductus. Satu-satunya perbedaan antara alveolar ducts dan sacs dimana alveolar
sacs buntu. Separoh dari alveoli keluar dari ductus dan separohnya dari alveolar sacs.

Alveoli :

Lebih besar pada paru bagian atas daripada bagian bawah karena pengaruh gravity, diameter rata-rata 0,2 mm.

Dinding alveolar diantara dua alveoli yang bersentuhan terdiri dari dua lapisan epitel alveolar masing-masing dengan
basement membrane terpisah menutupi jaringan kapiler dimana kapiler ini tertanam diantara serabut elastik, collagen,
otot-otot polos dan nerves.
 Dengan demikian satu molekul gas melewati dari sebelah dalam alveoli ke darah harus
menyeberang menuruti lapisan-lapisan ini:
 1. Lapisan tunggal epitel alveolar dengan basement membrane.

2. Ruangan yang berisi elastic/collagen tissue.

3. Basement membrane dan cell endotel dari kapiler.


Banyaknya elastic tissue pada alveoli membuat sifat elastic recoil dari paru yang berfungsi pada waktu expirasi. Serabut
otot-otot polos yang mengelilingi airway hanya sampai respiratory bronchioles. Ini berperan seperti sphincter kalau
berkontraksi menyebabkan gerakan peristaltik untuk mengeluarkan benda asing yang mengiritasi. Peristaltik ini ditekan
oleh opiat. Sedangkan ciliated epithelium yang membatasi hanya sampai terminal bronchioles.
 Yang mempunyai
gerakan seperti gelombang menyerupai cornfield in breeze (ladang

gandum di hembus angin). Kerjanya diluar kontrol syaraf pusat di depres oleh general anestesi.

Primary lobule / Functional unit :
 Area paru yang disupply respiratory brochioles, tiap unit berdiameter 3,5 mm dan
mengandung 2000 alveoli.
 Setiap primary lobule terdiri dari :
 a. Respiratory bronchioles

b. Alvolar ducts

c. Alveolar sacs

d. Pulmonary Alveoli
 Paru-Paru (Lung) :
 Terdiri dari paru kanan dan kiri.
 Setiap paru terdiri dari : Bronchus dan
cabang-cabangnya.

Arteri Pulmonalis

Vena Pulmonalis

Pembuluh-Pembuluh Bronchial

Lymph Glands.

Paru kanan terdiri dari :
 3 lobus : a. lobus superior – 3 segment

b. lobus media – 2 segment

c. lobus inferior – 5 segment
 Paru kiri terdiri dari :
 2 lobus : a. lobus superior -5 segment

b. lobus inferior 4 segment

Pleura

Masing-masing paru terbungkus dari hillus dalam kantong tertutup disebut pleura yang terdiri dari :
 a.Pleura visceralis

b.Pleura pariethalis
 Pada waktu istirahat sifat elastic recoil paru dan dinding thorak cenderung memisah-misahkan kedua
pleura dan menghasilkan tekanan negatif dalam ruangan antara pleura dibawah satu atsmosfer. Jadi tekanan negatif ini
disebabkan elastic recoil paru dan resistensi yang diberikan dinding thorak terhadapnya dimana waktu expirasi tekanan
negatif -(5-8)mmHg sedangkan waktu inspirasi 10-15 mmHg.
 Tekanan negatif ini juga mempertahankan bentuk dari
diaphragma dan memudahkan masuknya darah kedalam vena-vena besar di thorak sehingga ketika tekanan negatif ini
menjadi positif seperti mengeluarkan nafas sambil menutup glottis ketika defekasi ,akan menghalangi masuknya darah
kevena-vena besar dalam thorak, terjadi bendungan vena-vena diluar thorak akibatnya venous return menurun.
 Tekanan
negatif ini bervariasi menurut daerah dalam pleura dan posisi individu. Pada waktu posisi duduk tekanan pleura dekat
apex paru – 8 cmH2O dan pada basis paru – 2 cmH2O, ini disebabkan lobuis superior paru lebih mengembang dari pada
lobus inferior dimana ukuran alveolar lobus superior paru lebih besar dan kepadatannya agak berkurang. Dalam cavum
pleura ada cairan sedikit kira-kira 2 cc berguna sebagai pelumas dan juga sebagai bantalan terhadap tekanan spontan
diantara dinding thorak dan paru.
 Dengan adanya cairan tersebut gerakan naik turun diaphragma tak hanya
mengembangkan bagian bawah paru saja tetapi juga seluruh paru. Jika thorak dibuka pada kedua sisi paru perlu tekanan
sebesar 7 mmHg melalui trachea mencegah collapsnya paru.
 Pleura pariethalis kaya dengan lymhatics yang
mengalirkan cairan pleura, protein dan partikel-partikel, dalam keadaan normal mungkin tak begitu berfungsi tetapi dalam
mekanisme darurat cukup berperan.

Otot-otot pernafasan :
 Terdiri dari inspiratory muscle dan expiratory muscle.
 A. Inspiratory muscle :

1. Principle muscle :

a. Musculus intercostalis externus.

b. Diaphragma

c. Musculus levator costarius.
 2.Ascessory muscle :

a. Musculus scaleneus.
b. Musculus sternomastoideus

c. Musculus trapezeus

d. Musculus pectoaralis minor.

e. Otot-otot punggung.

B.Expiratory muscle :
 Yang paling penting :

1. Abdominal Muscle :

a. Musculus obliqus externus

b. Musculus obliqus internus

c. Musculus transversus abdominus

d. Musculus rectus abdominus
 2. Musculus Intercostalis Internus.

Kontraksi otot-otot pernafasan menyebabkan gerakan aktif dari iga sedangkan gerakan pasif oleh karena elastisitas paru
dan dinding thorak sendiri. Otot-otot pernafasan inspirasi yang ascessorius hanya ikut aktif bila ventilasi lebih besar dari
50 liter permenit. Yang paling penting dari inspiratory muscle adalah otot-otot diaphragma, dimana pada pernafasan
tenang mungkin hanya diaphragma saja yang aktif.
 Diameter cross section thorak setinggi diaphragma lebih 250 cm3
yaitu setengah jumlah tidal volume. Jika semua otot-otot pernafasan lain mengalami paralise seperti kedalaman anestesi
maka diaphragma sendiri dapat mempertahankan pernafasan adekuat.
 Diperkirakan setiap inspirasi gerakan
diaphragma secara vertikal sejauh 10-12 cm, Diaphragma di inervasi nervus phrenicus dari cervicla IV.

Otot pernafasan expirasi hanya berfungsi selama pernafasan berat atau obstruksi jalan nafas.

Kontraksi otot-otot abdomen menaikkan tekanan intra abdominal mendorong diaphragma ke atas juga menekan pinggir
bawah rusuk.

Ini juga aktif selama batuk, mengejan, muntah dan hiperventilasi. Otot-otot expirasi inaktif pada permulaan anestesi tak
masalah bagi orang sehat tapi akan menyulitkan pasien dengan penyempitan jalan nafas.

Kesimpulan :
 Telah dikemukakan secara sederhana anatomi tractus respiratorius serta organ-organ yang menunjang
sekitarnya dimana perubahan disekitarnya haruslah diantisipasi dapat merubah anatomi dari tractus respiratorius maupun
fungsinya. Dan sebaiknya dievaluasi pre operatif

agar tak keliru apakah akibat tindakan pembedahan atau trauma anestesi atau mencegah penyulit
perioperatif.
 Dikemukakan pula alasan penempatan pipa trachea, ukuran yang ideal, lokasi tracheostomi,

serta posisi penderita tidak sadar, muntah dan lain-lain.

ANALISA GAS DARAH


Mendiagnose atau mengobati kegagalan pernafasan tanpa pemeriksaan analisa gas darah sama halnya seperti
mengobati koma diabetikum tanpa penetapan kadar gula darah.(7).
 Tanpa pemeriksaan analisa gas darah(AGD) tidak
seorangpun anestesiologist secara akurat bisa menetapkan derajat kegagalan pernafasan.

Kebiasaan dalam tindakan anestesi rutin untuk menetapkan adekuatnya fungsi pernafasan selama atau sesudah operasi
hanya didasarkan pada kembang kempisnya reservoir bag atau dada pasien, warna kulit, mukosa dan darah dilapangan
operasi.

Padahal tanda-tanda tersebut bukanlah tanda-tanda dini terjadinya hipoksemia sebab cyanosis baru terlihat bila tekanan
partiel O2 dalam arteri(PaO2) menurun sampai 50 torr. Apalagi kalau Hb <5 g% cyanosis tidak akan terlihat walaupun
hipoksemia cukup berat. Pada konstrikasi pembuluh darah perifer kelihatan seperti cyanosis padahal tanpa hipoksemia.
Dalam keraguan apakah cyanosis karena hipoksemia atau bukan langkah pertama perlakukan sebagai hipoksemia
sampai dapat dibuktinan bukan hipoksemia.

BEBERAPA ISTILAH :
 Istilah-istilah dibawah ini merupakan modal dasar yang minimal harus diketahui untuk
menginterpretasikan suatu data gas darah.

PAO2 = Tekanan partiel O2 dalam alveoli.


PaO2 = Tekanan partiel O2 dalam darah arteri.
 PACO2 = Tekanan partiel CO2 dalam alveoli.

PACO2 = Tekanan partiel CO2 dalam darah arteri.

(A-a)DO2 = Selisih tekanan partiel O2 antara alveolar dan arteri.

Sa O2 = Saturasi O2 darah arteri.

FiO2 = Konsentrasi O2 dalam gas inspirasi.

pH = Pengukuran konsentrasi H ion.

Data-data yang diperoleh dikelola sehingga memberikan kesan sejauh mana fungsi paru dalam pertukaran gas
berlangsung, adekuat atau non adekuat berdasarkan standar yang telah disepakati dan sejauh mana keseimbangan
asam basa berjalan.

Data-data ini tak bisa ansih menegakkan diagnose harus ditunjang pemeriksaan fisik diagnostik, riwayat penyakit &
pengobatan, pemeriksaan laboratorium seperti elektrolit dan hematokrit. Tiga komponen yang berperan utama yaitu
PaO2 untuk menetapkan derajat hipoksemia,PaCO2 untuk menilai kemampuan ventilasi paru, sedangkan pH untuk
menentukan status metabolik atau respiratorik.(7).

Harus diingat bahwa keadaan hipoksemia tak selalu menunjukan kegagalan ventilasi tetapi bisa disebabkan faktor-faktor
lain sedangkan hiper atau hipokapnia selalu menunjukan gangguan ventilasi (2).

Oleh karena itu PaCO2 lebih menetukan adekuat tidaknya ventilasi dibandingkan PaO2. Namun penilaian terhadap PaO2
harus selalu diperioritaskan oleh keadaan hipoksemia lebih memerlukan tindakan yang cepat daripada hiperkapnia.

Bertambahnya hipoksemia akan merangsang peningkatan ventilasi, minute volume tetapi PaCO2 yang sedikit
dipengaruhi oleh VA/Q imbalance cenderung menurun.(3).

Turunnya PaO2 < 50 torr,PuVR(Pulmonal Vascular Resistance) meningkat secara menyolok apalagi ditunjang suasana
acidosis, dengan demikian akan meningkatkan PAP(Pulmonal Arterial Pressure).(5).

Kalau kita perhatikan derajat hipoksemia dan efeknya terhadap faal organ kita akan beroleh

kesan seberapa jauh turunnya PaO2 berdasarkan gejala-gejala klinis yang ada.

Keterangan :

Normal : PaO2 = 95-100 mm Hg

PvO2 = 40 mm Hg

HbO2 arteri 95%

Hipoksemia :

Efek Slight : PaO2 < 80 mm Hg

Cyanosis ringan PvO2 < 35 mm Hg

Tonus simpatis meninggi HbO2 < 95%

Tensi meninggi, tachikardi

Marked : PaO2 < 60 mmHg

Cyanosis jelas PvO2 < 28 mmHg

Tensi turun HbO2 < 90 %

Bradikardi High : PaO2 < 35 mm Hg

Cyanosis berat PvO2 < 19 mm Hg

Kesadaran hilang HbO2 < 70%


Bradikardi extreem

Circulasi arrest mati.

Hiperkapnia akan mendorong timbulnya respiaratorik acidosis.

Membran cell agak mudah dilewati CO2 tetapi agak lambat dilewati bikarbonas, sehingga bila terjadi respiratori acidosis
lebih cepat berkembang kedalam cell tubuh tetapi cepat hilang waktu expirasi.(8).

Dengan perubahan pH yang sama dalam darah effek respiratori acidosis dengan demikian jauh lebih besar daripada
metabolik acidosis, tetapi anehnya jika hiperkapni sendiri terjadi telah di selidiki sampai PaCO2 238 mm Hg belum
dijumpai kerusakan yang irreverible organ-organ apalagi kalau disupply O2 yang cukup.(8).

Kalau kita tinjau hubungan derajat hiperkapni dengan efeknya terhadap faal organ maka kita mendapat gambaran
sebagai berikut :

Keterangan :

Normal : PaCO2 = 40 mm Hg

PvCO2 = 46 mm H

Hiperkapnia :

Efek Slight : PaCO2 > 45 mm Hg

Stimulasi respirasi : PvCO2 > 51 mm Hg

subjective air hunger tonus simpatis meninggi,tensi naik, nadi cepat, gangguan irama,paralyse vasomotor perifer,kulit
panas,merah,keringat,serum K meninggi.

Marked : PaCO2 > 60 mm Hg
 stimulasi parasimpatis, tendensi

PvCO2 > 66 mmHg
 aritmia, depressin myocard.

High : PaCO2 > 75 mm Hg mengantuk,
 PvCO2 > 81 mm Hg CO2 narcose

PaCO2 > 100 mm Hg kesadaran hilang
 PvCO2 > 106 mm Hg general inhibisi
 terhadap ANS.

Tidak ada nilai absolut baik PaCO2 maupun PaO2 yang dapat menentukan policy terapi khusus. Arti terapetik O2 pada
PaO2 50 mmHg pada pasien2 cardiogenic shock berbeda dengan penderita emphysema atau bronchitis chronica dengan
PaO2 yang sama.

Bahkan dalam kategori diagnostik tidak ada nilai yang tepat pada tekanan berapa sebaiknya policy terapi
dimulai.(3)
 Sebab pada penderita COPD(Chronic Obstructive Pulmonary Disease) justru PaO< 60 mmHg dibutuhkan
untuk mengendalikan respirasi.(2)

III. Tehnik AGD :

Darah arteri yang diambil sebagai sampling bukan darah vena, karena darah vena menggambarkan metabolisme yang
dialirinya tidak menggambarkan circulasi umum.
 Semua arteri sistemik mengandung darah dengan komposisi yang
sama. Kalau venous O2 content yang diinginkan lebih tepat sampel vena centralis yang diambil via catheter arteri
pulmonalis.
 Sampel darah arteri menggambarkan fungsi pertukaran gas dari paru-paru dan bisa memberikan keterangan
kualitas darah yang disupply keseluruh tubuh.(2).
 Punctie arteri sebaiknya dengan anestesi lokal untuk menghilangkan
nyeri yang menimbulkan vasospasmo.

Syring yang digunakan sebaiknya terbuat dari gelas bukan dari plastik karena O2 bisa berdiffusi kedalam substansi
plastik.(1).
 Syring harus dibasahi dulu dengan heparin sebelum dipakai.

Sebaiknya sampel darah yang diambil segera diperiksa karena konsumsi O2 dari whole blood pada suhu 38 derajat
Celcius cukup untuk menurunkan PaO2 sebesar 3mm Hg permenit atau bila terpaksa dijaga tetap dingin agar konsumsi
O2 menurun.(1).

Yang perlu diingat sebelum dilakukan pemeriksaan, catat berapa FiO2 yang diberikan untuk menentukan apakah
PaO2 yang diperoleh sesuai denganFiO2 yang diberikan sebab PaO2 seharusnya 5x FiO2(misalnya FiO2 20%
seharusnya PaO2 = 5×20 =I00 mmHg)
IV.INTERPRETASI :
 Yang paling penting adalah interpretasi data-data yang diperoleh untuk diagnostik/terapi dan
evaluasi. Apakah terapi sudah adekuat.
 a.Tekanan partiel O2(PaO2):
 Langkah pertama yang perlu dievaluasi adalah
PaO2 sebab hipoksemia butuh terapi sedini mungkin. Kita ketahui PaO2 apakah normal tergantung pada ketinggian letak
dari permukaan laut, umur dan FiO2 yang diberikan. Walaupun begitu telah disepakati setiap PaO2 < 70 mm Hg sudah
bisa dianggap hipoksemia.(3).

Tetapi tidak setiap penderita hipoksemia membutuhkan terapi O2 tergantung penderitanya seberapa jauh perlu diterapi.
Kalau penderita COPD justru membutuhkan PaO2 50-60 mmHg untuk menstimulir respiratory center.
 PaO2 normal
diberbagai ketinggian dapat diperkirakan menurut rumus :

PB

—– x PaO2 pada 760 permukaan laut

760

Umpama tekanan barometrik(PB) pada ketinggian 3300 feet adalah 670 mm Hg maka PaO2 setinggi 3300 feet = 670
/760 x PaO2 setinggi permukaan laut.
 Penurunan yang tepat PaO2 dengan kenaikan umur masih merupakan
perdebatan.

Kita dapat meminjam tabel dibawah ini yang kira-kira dianggap benar, Tabel ini untuk FiO2 21% dan setinggi permukaan
laut.

Umur (tahun) PaO2(mm Hg)

————————————————————————

! rata-rata ! batas minimal normal!

————————————————————————

20 ! 97 ! 90 I

40 I 90 I 85 I

60 I 85 I 80 I

75 I 75 I 70 I

———————————————————————–
 (Dikutip dari Acta Physiology Scand 67: 10, 1966).
 Pada
permukaan laut PaO2 normal untuk setiap FiO2 secara kasar sebanding dengan 5x FiO2 %(2).
 Biasanya kita menduga
bahwa darah mencapai jantung kiri dan arteri sistemik seimbang udara alveolar bila ini benar maka selisih antara PAO2
dengan PaO2 sama dengan nol.

Sebenarnya P(A-a) O2 normal 5-10 mm Hg bila menghirup udara normal (FiO2 0,21) dan sebesar < 100 mm Hg bila
FiO2 1,0 (2).
 Kenaikan P(A-a)O2 yang menyolok indikasi adanya gangguan diffusi, VA /Q mismatch, dan shunt. VA/Q
mismatch berupa gangguan venrtilasi perfusi dimana ventilasi relatif rendah dibandingkan perfusi menyebabkan tingginya
PACO2 dan rendahnya PAO2 sehingga PaO2 cenderung mendekati PvO2.

Yang dimaksud dengan shunt boleh dianggap bagian dari cardiac output yang beranjak dari circulasi vena ke circulasi
arteri tanpa keuntungan kontak dengan gas alveolar.
 Ada 2 jenis shunt:
 1. Anatomik shunt : Dalam keadaan normal
ada 2 macam anatomik shunt (3-5)% dari cardiac output.
 a. Arteri bronchiales cabang dari aorta memberi nutrisi pada
cabang bronhus kembali dalam keadaan desaturated langsung kevena pulmonal
 b. Sebagian dari darah arteri coronaria
langsung dengan darah desaturated masuk atrium kiri melalui vena thebesian.

2.Intra pulmonary shunt:
 Suatu keadaan dimana perfusi normal sedangkan alveoli kolaps, sehingga tak ada berkontak
dengan alveoli akibatnya darah venous tanpa pertukaran gas langsung masuk kecirculasi arteri disebut wasted perfusion.

Jadi bila ada VA /Q yang besar mungkin oleh sebab VA /Q, mismatch atau intrapulmonary shunt, pemberian FiO2 yang
tinggi membantu mengenal mekanisme mana sebagai penyebab.
 Bila P(A-a)O2 kembali normal (<100 mm Hg) maka
masalahnya adalah VA/Q mismatch tetapi bila P(A-a)O2 > 100 mm Hg dengan pemberian FiO2 100% maka masalahnya
adalah shunt. Dalam penggunaan praktis bila shunt sebagai penyebab pemberian O2 hanya berpengaruh sedikit,
sedangkan bila VA/Q mismatch akan menambah PaO2.(2).
 Untuk menentukan PAO2 kalau PaCO2 diketahui dapat
digunakan rumus:
 PACO2

PAO2 = PiO2 – ——R


PiO2 = FiO2(PB – PiH2O).

R= respiratory exchange ratio yaitu perbandingan antara volume CO2 yang masuk kealveolar dengan volume O2 yang
dikeluarkan dari alveolar ke circulasi.
 Dalam klinik R dianggap 0,8 kalau bernafas dengan udara kamar dan 1,0 kalau
bernafas dengan O2 100%(2).
 Tekanan uap air PH2O ditrachea diperkirakan 47 mm Hg.
 Tekanan
atsmosfer(barometrik)(PB) dipermukaan laut kira-kira 700 mmHg.
 Jumlah tekanan partiel gas dalam alveoli seimbang
dengan tekanan barometrik sehingga tekanan gas dalam alveoli =
 PAN2 + PAO2 + PACO2 + PAH2O = PB.

PB – PAH2O = PAN2 + PAO2 + PACO2.

PiO2 = FiO2 x (PB – PAH2O)
 Bila PAO2 telah dihitung menurut rumus :

PaCO2

PAO2 = PiO2- ——–maka P(A-a) O2 bisa didapat.

Normalnya P(A-a)O2 bila seseorang bernafas dengan udara kamar tak > 10 mmHg, pada orang tua > 60 tahun tak> 25
mm Hg, bila bernafas dengan FiO2 1,0 harus < 100 mm Hg.
 Besarnya FiO2 bila disetarakan dengan flow O2 :

Cara pemberian flow FiO2

—————————————————————-

Nasal canule 2 L / menit 28 %

Nasal canule 6 L/ menit 40 %

Mask tanpa bag 7 L / menit 50 %

Mask dengan 9 L / menit 90 %

rebreathing bag.

——————————————————————-

Diagnose shunt secara cepat dengan memberikan O2 lewat nasal prong 6 L permenit (FiO2 =0,3-0,4), jika PaO2 > 100
torr mungkin shunt bermakna tak ada, kalau < 100 mm Hg

mungkin ada shunt bermakna(3).
 Bila ada shunt ventilasi mekanik mungkin membantu untuk membuka alveoli yang
kolaps apa dengan PEEP (Positive end expiratory pressure).

Setiap keadaan yang meningkatkan konsumsi O2 seperti demam, gelisah atau extraksi O2 yang lebih banyak dijaringan
oleh karena cardiac output yang menurun dimana aliran darah lambat dapat memperburuk akibat shunt, ini dapat dilihat
dari SvO2(saturasi O2 dalam darah vena) yang menurun berarti adanya konsumsi O2 yang menigkat.(normal
SvO2 75%).

Perlu juga kita ketahui hubungan antara PaO2 danSaO2 yang digambarkan melalui curve disosiasi oxyhaemoglobine
agar jelas sejauh mana penurunan maupun peningkatan PaO2 mempengaruhi SaO2 secara bermakna.
 Semakin besar
saturasi semakin baik mutu Hb semakin besar volume O2 yang dapat diangkut oleh darah kejaringan, menurut rumus :

g % Hb O2
 SaO2 = —————- x 100 %

Hb g% HbO2 = SaO2 x total Hb

Volume % O2 yang diangkut sebagai HbO2 = SaO2 xtotal Hb x 1,34.
 Setiap gram Hb dapat bergabung dengan 1,34 ml
O2.

Setiap melihat data O2 dalam darah sebaiknya mempelajari arti point-point tertentu pada curve oxyhaemoglobine yang
harus diingat :

———————————————————————
 PaO2 (mmHg) SaO2 (%) Clinical

———————————————————————
100 90 muda, normal

80 95 orang tua

60 90 shoulder of curve

penurunan O2
 40 75 O2 transport
 melemah critical hypoxaemia

kadar O2 darah vena yang normal

20 35 lowest tolerated level

————————————————————————

Adapted from G.I.Snider, Interpretation of arterial oxygen and carbodioxide pressure chest: 63 :801, 1973.

————————————————————————
 Penurunan PaO2 sebesar 25 mm Hg dari 95 mm hg menjadi 75


mm hg hanya berpengaruh sedikit perubahan pada oxyhaemoglobine sama artinya situasi seseorang mendaki sampai
ketinggian 6000 feet dari permukaan laut atau bertambahnya umur dari 20 tahun menjadi 70 tahun atau penderita
penyakit paru-paru moderate.
 Tetapi penurunan PaO2 sebesar 25 mm Hg dari 60 mm Hg menjadi 35 mmHg lain halnya,
akan terjadi perubahan yang serius.
 Peningkatan PaO2 diatas 90 mm Hg tidak akan memperbaiki kemampuan Hb
mengangkut O2 karena Hb cukup saturated pada PaO2 80 mmhg.

B. Tekanan Partiel CO2(PaCO2):
 Normal : 36 – 44 mmHg
 Metabolisme tubuh waktu istirahat menghasilkan kira-kira
200 cc CO2 per menit dimana dalam keadaan ventilasi normal, paru mampu mengeluarkan CO2 yang diproduksi
seluruhnya.(2).

Total CO2(TCO2) adalah jumlah HCO3,CO2,H2CO3 yang ada dalam darah venous kira-kira 52,0 volume % sedangkan
dalam darah arteriel 48,2 volume %.
 Bila terjadi perubahan ventilasi dimana produksi CO2 tetap tetapi pengeluaran
meningkat atau menurun akan terlihat berupa penurunan atau peningkatan PaCO2.

Pada keadaan hypoventilasi terjadi peninggian PaCO2 sedangkan pada hyperventilasi penurunan PaCO2.

Kebanyakan molekul CO2 bergabung dengan air(H2O) membentuk H2CO3 yang akan

berdisosiasi menjadi ion bikarbonat (HCO3) dan ion hidrogen(H). _ +
 CO2 + H2O < =====> H2CO3 <
======> HCO3 + H
 Bila PaCO2 meningkat reaksi bergeser kekanan membentuk ion HCO3 dan ion H yang lebih
banyak. Kenaikan ion H disini tak bisa dibuffer dengan bicarbonat buffer system tapi akan dibuffer oleh hemoglobin buffer
system.
 Mekanisme buffering :

H (+) + Hb (-) ——–> HHb

H2CO3 + Hb (-) ———>HHb + HCO3(-).
 Setiap satu buffer base Hb digunakan, terbentuk satu buffer base yang lain
(HCO3) sehingga total buffer konstant.

Dengan perkataan lain tak ada dijumpai base excess atau defisit tetapi jumlah bikarbonat meningkat (normal 22-26
meq/L).
 Acidosis yang timbul akibat meningkat PaCO2 diatas 45 mm Hg disebut respiratorik acidosis. Spesifikasi
respiratorik acidosis antara lain:( 9 ).
 PaCO2 > 45 mm Hg.

Base excess normal

HCO3 meninggi.
 Kita ketahui dalam tubuh kita ada 4 system buffer(2).

bikarbonat

posphat

Hb

protein

Jumlah seluruh buffer base dari semua system buffer = total buffer base.
 Dalam keadaan normal (pH = 7,4 dan PaCo2
40 mm Hg) jumlah buffer base antara 45-50 meq/L.
 Kekuatan buffer darah sebagian besar ditentukan oleh bikarbonat
dan Hb.
 Pada hyperventilasi PaCO2 menurun dengan demikian reaksi bergeser kekiri.
 H2O + CO2 < =====>
H2CO3 <=====> HCO3(-)+ H(+).
 Mekanisme buffering
 HHb ——-> H(+) + Hb(-)
HHb + HCO3(-) ——> Hb(-) + H2CO3 ——> H2O + CO2.

Terlihat setiap satu buffer HCO3 terpakai, terbentuk satu buffer Hb sehingga dengan demikian tak ada perubahan total
buffer base dengan demikian tak ada base excess tetapi jelas HCO3 turun.

Alkalosis yang timbulnya akibat menurunnya PaCO2 < 35 mmHg.
 Spesifikasi respiratorik alkalosis antara
lain:(9).
 PaCO2 < 35 mm Hg

Base excess (BE) normal

HCO3 menurun

pH: Simbol pH merupakan hubungan terbalik dan logaritma dengan konsentrasi H(+), bila konsentrasi H(+) meninggi
maka PH menurun, dan bila konsentarsi H(+) menurun, pH akan meninggi.

Normal pH adalah 7,35 – 7,45. disebut asidosis bila pH < 7,35 dan alkalosis bila pH > 7,45.
 Batas pH dimana hidup
masih mungkin adalah diantara 6,7 -7,9. dan pH < 7,25 atau > 7,55 hampir selalu memerlukan terapi.(9).
 Diperkirakan
13000 meq CO2 harus dikeluarkan oleh paru setiap hari, dan 30-50 meq.

H(+) yang harus dikeluarkan oleh ginjal.(2,9).

Kontrol konsentrasi H(+) dilakukan dengan 2 cara:(2).
 - buffer transport
 - eliminasi yang cepat oleh paru dan ginjal
secepat diproduksi.
 Baik acidosis maupun alkalosis bisa disebabkan faktor respiratorik dan metabolik. Bila faktor
respiratorik sebagai penyebab utama dijumpai peningkatan atau penurunan PaCO2 abnormal dan bila faktor metabolik
akan dijumpai peningkatan atau penurunan total buffer base > 3 meq, atau dengan perkataan lain base excess > + 3 meq
atau >-3 meq.

Penetapan gangguan metabolik berdasarkan konsentrasi HCO3 tidak mutlak oleh karena HCO3 dipengaruhi faktor
metabolik maupun respiratorik sedangkan base excess hanya dipengaruhi faktor metabolik.(9).

Penetapan metabolik acidosis atau alkalosis bisa saja berdasarkan konsentrasi HCO3 plasma darah yang telah
diseimbangkan pada PaCO2 45 mmHg dan dengan O2 pada suhu 38 derajat Celcius, dengan penetapan pada PaCO2
40 mmHg faktor respiratorik yang merubah kadar HCO3 dapat disingkirkan, Standard bikarbonat normal 22-26 meq

Dengan demikian gambaran kasus acidosis / alkalosis adalah:

————————————————————————

Type ! PaCO2 ! Base Excess ! Standard Bicarbonat ! HCO3 ! pH

Resp acid ! >45mmHg ! Normal ! 22-26 meq/L ! naik ! < 7,35

Resp alk. ! <35mmhg ! Normal I 22- 26 meq/L I turun I > 7,45

Metabacid I normal I >- 3meq/L I < 22 meq/L I turun I < 7,35

Metabalk I normal I >+ 3meq/L I > 26 meq/L I naik I > 7,45

————————————————————————

Kadang-kadang metabolik/respiratorik asidosis /alkalosis bisa terjadi bersamaan atau respiratorik acidosis bersamaan
dengan metabolik alkalosis yang ini bisa salah satu berupa kompensasi yang lain tinggal kita menetapkan mana yang
primer dan yang mana faktor kompensasinya.

Contoh :
 a. Respiratorik acidosis : PaCO2 60 mm Hg

pH 7,30

base excess + 2 meq/L

b. Respiratorik alkalosis : PaCO2 30 mm Hg

pH 7,50

base excess 0 meq/L


c. Respiratorik acidosis + PaCO2 75 mm Hg

Metabolik acidosis pH 7,20

base excess 10 meq/L
 d. Respiratorik alkalosis + PacO2 32 mm Hg

Metabolic acidosis pH 7,6

base excess + 15 meq/L
 e. Primer resp acidosis + PaCO2 60 mm Hg
 kompensasi metalkalosis pH 7,32

base excess + 6 meq/L

f. Primer metalkalosis + PaCO2 50 mm Hg

respiratorik acidosis pH 7,48

Base excess + 10 meq/L

Untuk menentukan mana yang primer dan mana yang kompensasi perhatikan dulu pH apakah acidosis atau alkalosis
bila pH > 7,4 disebut alkalosis dan < 7,4 disebut acidosis.

Baru faktor metabolik atau respiratorik sesuaikan dengan pH bila yang sesuai metabolik maka yang primer adalah
metabolik sedangkan kompensasinya adalah respiratorik; umpama PaCO2 > 45 mmH, sedangkan pH < 7,4 maka
respiratorik primer, kompensasinya metabolik Biasanya peningkatan/ penurunan PaCO2 sebesar 10 mmHg sesuai
dengan penurunan/peningkatan pH sebesar 0,08 unit.(6).

Bila PaCO2 naik 30 mm Hg berarti pH turun 3x 0,08 unit = 0,24 unit.
 Kenapa bisa demikian ?

Mari kita lihat persamaan Henderson – Hesselbach :

HCO3

PH = 6,1 + log ———-

H2CO3

Pada PaCO2 40 mm Hg, maka kadar HCO3 lebih kurang 25,4 meq/L,& H2CO3 1,27 meq/L.

25,4
 pH = 6,1 log —————-

1,27

= 7,4

Seandainya PaCO2 60 mm Hg maka H2CO3 akan meningkat sebesar 20/40 x 1,27 meq/L = 0,63meq/L.

Kadar H2CO3 pada PaCO2 60 mmHg = 1,27 + 0,63 = 1,9 meq/L.

Kita subsitusikan kembali kerumus tadi:

25,4

pH = 6,1 + log ———

1,9

= 6,1 + 1,126

= 7,226

Penambahan PaCO2 sebesar 20 mmHg dapat menurunkan pH (7,4- 7,226 = 0,17 unit).
 Perhitungan ini tak begitu
tepat benar hanya digunakan untuk kepentingan praktis namun kesalahan tak begitu bermakna.
 Untuk menetapkan
komponen respiratory pada keimbangan asam basa sesudah data gas arteri diperoleh langkah-langkah berikut yang
perlu diperhatikan:(6)
1.Hitung deviasi PaCO2 dari normal (40 mmHg).

Apakah menurun atau meningkat, berapa besar ?

2.Hitung berapa pH yang seharusnya pada PaCO2 yang diukur ?

3.Apakah pH yang dihitung sama dengan pH yang diukur ?

Bila sama berarti semuanya akibat gangguan respiratorik (pure respiratorie).
 Ini disebut Golden rules I

==================================

I PaCO2 naik 10 mm Hg = pH turun 0,08 I

I PaCO2 turun 10 mm Hg = pH naik 0,08 I

==================================

Bila pH yang diukur kurang dari pH yang dihitung berarti perubahan tersebut akibat pengaruh metabolik acidosis dan bila
lebih besar akibat metabolik alkalosis.
 Berapa besar jumlah acidosis atau alkalosis menyertainya dapat ditentukan
dngan Golden rules II.(6)
 Perubahan pH 0,15 setara perubahan base 10 meq/L

Kenaikan pH 0,15 setara kenaikan base 10 meq/L demikian juga penurunan.

Kenapa demikian?

base (25,4 meq/L) normal

pH = 6,1 + log ————————————

acid (1,27 meq/L) PaCO2 40 mm Hg
 Sekiranya base meningkat dari 25,4 menjadi 35,4 maka :

35,4

pH = 6,1 + log ———

1,27

= 6,1 + 1,445 = 7,545.

Jadi perubahan base 10 meq/L sebanding dengan perubahan pH (7,45-7,4)=0,15 unit.
 Contoh(1):
 PaCO2 52 mm Hg,
pH 7,30

Kenaikan PaCO2 = 52 – 10 = 12 mm Hg.
 kenaikan PaCO2 10 mmHg sebanding dengan penurunan pH 0,08 unit.

Kenaikan PaCO2 12 mm Hg = 12/ 10 x 0,08 unit= 0,1 unit.

Jadi pH seharusnya = 7,4 – 0,1 = 7,3, terlihat pH yang dihitung = pH yang diukur.

Dengan demikian tak ada komponen metabolik hanya ada acidosis respiratorik murni.
 Contoh (2):
 PaCO2 50 mm Hg,
pH 7,26

Kenaikan PaCO2 = 50 – 40 = 10 mm Hg.
 Sebanding dengan penurunan pH. 0,08 unit.

Jadi pH yang dihitung = 7,4 – 0,08 = 7,32,kenyataan pH yang diukur 7,26.

Selisih pH yang dihitung dengan yang diukur = 7.32 – 7,26
 = 0,06.

Penurunan pH 0,15 sebanding penurunan base 10 meq/L.

Penurunan pH o,06 = 0,06 / 0,15 x 10 meq/L = penurunan base 4 meq/L.

Jadi base excess = – 4 meq /L.

Kesimpulannya suatu acidosis respiratorik dengan metabolik asidosis yang menyertainya.
 Bila PaCO2 normal maka
komponen respiratorik bisa disingkirkan.
 Harold A Braun cs menetapkan acidosis /alkalosis yang murni berdasarkan
rumus berikut:(20)
 A. Respiratorik acidosis murni :
 Akut : pH turun 0,08 setiap PaCO2 naik 10
mmHg.
 Kronis : pH turun 0,03 setiap PaCO2 naik 10 mmHg.

B. Respiratorik alkalosis murni :
 Akut : pH naik 0,1 setiap PaCO2 turun 10 mmHg.

C. Metabolik acidosis murni:
 PaCO2 = (1,54 x HCO3 ) + 8

Contoh:
 PaCO2 = 38 mm Hg ,pH 7,22, bikarbonat = 15 meq/L.

PaCO2 = ( 1,54 x 15 ) + 8

= 31,10

Kelihatannya PaCO2 yang dihitung lebih rendah dari PaCO2 diukur.
 Jadi bukan metabolik acidosis murni tetapi
metabolik acidosis dengan kompensasi respiratorik alkalosis.

Metode Peter A Stewart :

Banyak masalah asam basa pada pasien kritis yang tidak dapat dijelaskan dengan pendekatan Handerson-Hasselbach.

Pendekatan Stewart berdasarkan kenetralan elektrik dan konservasi massa.

Dalam larutan encer jumlah ion bermuatan positif harus sama dengan jumlah ion yang bermuatan negatif ini yang
dimaksud dengan kenetralan elektrik sementara konservasi massa maksudnya jumlah suatu substansi tetap konstan
kecuali dia ditambah atau dibentuk, diambil atau dihancurkan.

Dalam air murni konsentrasi H ion harus sama dengan konsentrasi OH. Setiap perubahan komposisi elektrolit dalam
suatu larutan akan menimbulkan perubahan H dan OH ion. Untuk mempertahankan prinsip kenetralan elektrik, misalnya
peningkatan ion Cl bermuatan negatif akan meningkatkan H ion yang disebut acidosis. Karena kenaikan H ion akan
menurunkan OH, maka bisa disebut penurunan OH membuat acidosis dan kenaikan OH menimbulkan alkalosis.
Konsentrasi ion hidrogen ditentukan secara independen oleh tiga variabel yaitu strong ion difference (SID), konsentrasi
total asam lemah non volatile ( ATOT), dan PCO2.

Yang dimaksud dengan ion kuat adalah ion yang sempurna /hampir sempurna berdisosiasi.
 Umpama kalau kita
melarutkan NaCl kedalam air maka larutan tersebut akan mengandung ion Na,Cl,H dan OH dan molekul H2O. Baik ion
Na maupun Cl tak akan bersenyawa dengan ion H, maupun OH membentuk NaOH atau HCl karena ion Na dan Cl
merupakan ion-ion yang kuat yang selalu berdisosiasi sempurna. Ion-ion kuat itu umumnya inorganik namun ada juga
yang organik seperti laktat, sebenarnya ion lemah tapi sebab pKa laktat 3,9 pada pH fisiologis laktat akan berdisosiasi
secara sempurna.Umumnya setiap zat yang mempunyai konstanta disosiasi > 10.000 meq/L dianggap sebagai ion-ion
kuat.
 Jadi istilah strong bukan strong concentrated solution tapi strong discociated. Jumlah total dari konsentrasi asam-
asam lemah (Atot) terdiri dari protein dan fosfat inorganik.

Kadar fosfat kecil dianggap tak berperan kecuali dalam jumlah yang sangat besar. Protein plasma terdiri dari albumin dan
globulin namun albumin paling berkontribusi. Setiap penurunan kadar albumin plasma akan menyebabkan alkalosis
sebaliknya peningkatannya menyebabkan asidosis. SID berarti perbedaan antara kation dan anion (ion Na + K + Ca + Mg
) - ( Cl +laktat)
 Nilai normalnya pada orang sehat 40 – 42 meq/L.
 Inti pendekatan Stewart adalah yang merubah
konsentrasi ion H adalah salah satu atau lebih dari tiga varibel independen tadi bukan H ion atau HCO3 ion.
 Fenci cs
membuat klasifikasi gangguan asam basa berdasarkan metode Stewart :



 Acidosis | Alkalosis
 ——————


———————— ———————————————
 I Respiratory PCO2 naik ! PaCO2
turun

II Non Respiratory (metabolik):

1.Abnormal SID:

a.Water excess/deficit SID & Na turun ! SID&Na naik

b.Imbalance of strong anion

aa.CL excess/deficit SID turun, Na naik ! SID naik&Cl turun

ab.Unidentified anion SID turun, Na naik !

2.Non volatile weak acids:


a. Serum albumin naik ! turun.

b. Inorganik fosfat naik ! turun.

———————————————————————————————

Perubahan SID dapat disebabkan oleh :
 1.Kelebihan atau kekurangan cairan dalam plasma dimana anion atau kation
kuat akan terdilusi atau terkonsentrasi (dilutional acidosis) atau concentrational alkalosis).
 2.Perubahan konsentrasi ion
Chlorida.

3.Perubahan konsentrasi anion kuat yang lain.
 ad.1.Acidosis karena dilusi :( dilutional acidosis ):

Air akan mendilusi elektrolit sehingga relatif konsentrasi akan berubah terjadi penurunan SID menyebabkan
acidosis
 Contoh:
 Plasma dianggap sebagai 1 liter air mengandung Na 140 meq dan Cl 110 meq berarti SID =140-
110=30 meq.
 Kalau ditambah 1 liter air maka volume larutan menjadi 2 liter (terdilusi) sehingga

Na =140/2 =70 meq/ L dan Cl =110/2=55 meq/L, sehingga SID menjadi (70-55)= 15 meq.
 Terjadilah dilutional acidosis,
karena penurunan SID.
 Kalau satu liter plasma (Na 140 meq/L,Cl 102 meq/L) ditambah larutan NaCl 0,9% ( Na 154
meq /L,Cl 154 meq/ maka hasilnya adalah Na(140 + 154)/2
 = 147 meq/L dan Cl(102 + 154)/2 = 128 meq/L sehingga
SID menjadi (147-128)=19 meq/L.SID menurun terjadi acidosis.

Maka dilusi asidosis dikoreksi dengan NaCl phys, keliru, umpama pada operasi TUR prostatectomi.

Terapi yang tepat adalah pemberian Na Laktat.
 Plasma (Na 140 meq/L,Cl 102 meq/L (SID =38) ditambah

RL (Na 137 meq/L,Cl i09 meq/L,laktat 28 meq (SID 0)

————————————-
 hasilnya Na 277/2 meq/L, Cl 211/2 meq/L, laktat =0

SID = 138,5 - 105,5 = 33 meq/L lebih alkalosis dibanding pemberian NaCl 0,9%.
 Laktat 0 meq/L karena
termetabolisis.

ad.1b. Concentrational alkalosis:

Penyusutan jumlah cairan meningkatkan konsentrasi Na dan Cl. Satu L larutan dengan komposisi Na 140 meq,Cl 102
diuapkan jadi 0,5 liter maka konsentrasi Na jadi 280 meq danCl 204, maka SID 280-204 =76 meq/L terjadi alkalosis.

Umpama pada dehidrasi, retriksi cairan.

ad.2a.Hiperkloremik asidosis:
 Hiperkloremik akan menyebabkan asidosis peningkatan ion H akibat penurunan SID.

Plasma (Na 140 meq/L ,Cl 102) (SID=38) bila Cl naik jadi 130 meq/L maka SID jadi 10 meq/L, asidosis.

Biasanya akibat penambahan cairan yang komposisi Cl sama dengan Na seperti NaCl o,9%, starch in saline.

Terapi yang tepat adalah meningkatkan SID, bisa diberikan Na bikarbonat atau anion yang gampang dimetabolisisr
seperti Na Laktat, atau Na Asetat.

ad.2b: Hipokloremik alkalosis:

penurunan Cl akan menaikan SID menyebabkan penurunan H terjadi alkalosis, sering akibat pengisapan cairan lambung
mengurangi distensi atau akibat muntah-muntah.
 Plasma (Na 140 meq/L.Cl 102 meeq/L)(SID= 38 meq/L) kehilangan Cl
kadar Cl menjadi 90 meq sehingga SID menjadi 50 meq/L; meningkat menyebabkan penurunan ion H sehingga
alkalosis.
 Terapinya dengan pemberian larutan NaCl 0,9%.

Plasma yang hipokloremik (Na 140 meq/L,Cl 95 meq/L SID 45 tambah larutan NaCl 0,9%(Na 154 meq/L, Cl 154meq/L,
SID 0)

Hasilnya :
 Na 147 meq/L,Cl 125 meq/L

SID =22 meq/L
 Note:Bila SID >38 alkalosis, bila < 38 asidosis.

ad.3. Peningkatan ion-ion yang tak teridentifikasi:
 Setiap peningkatan dari anion-anion tersebut akan menurunkan SID,
sehingga terjadi asidosis seperti laktat asidosis, ketoasidosis, gagal ginjal(sulfat dan fosfat) atau
 keracunan
salisilat.
 Cara mengkoreksi asidosis dengan bikarbonat perhitungannya sebagai berikut.
 A. Menurut Mark B Revin
:(Golden Rules III)
base deficit (meq/L) x BB

Deficit bikarbonat = —————————

B. Menurut Harold A Braun:
 meq bikarbonat = (BB x 0,5) x ( 24 – HCO3 yang diukur)

Biasanya diberikan separoh dosis segera, kemudian pH ditetapkan lagi. Dalam situasi cardiac arrest bila pH menurun
akut, bisa diberikan dalam dosis penuh agar cepat kembali ke pH normal, tetapi pada kasus non cardiac arrest pemberian
dosis penuh tak dianjurkan karena akan terjadi pergeseran ion yang cepat antara dalam dan luar cell yang bisa
menimbulkan cardiac aritmia atau kejang-kejang.
 Pada kronik metabolik asidosis pemberian natrium bikarbonat
sebaiknya dengan satu bolus 50% koreksi dilanjutkan dengan infus drip yang lambat. Harus diikuti pemeriksaan BGA
(AGD) yang berulang-ulang. Terlalu banyak natrium bikarbonat akan menyebabkan metabolik alkalosis, hipokalimia
disritmia sampai koma bila timbul hiperosmolariti.
 Pada pasien COPD dengan retensi CO2 tubuh telah mengakumulasi
natrium bikarbonat untuk mempertahankan pH mendekati normal ini yang disebut compensated respiratory acidosis.

TERAPI OKSIGEN
Peranan oksigen dan nutrient dalam metabolisme memproduksi energi utama untuk berlangsungnya kehidupan sangat
bergantung pada fungsi paru yang menghantarkan oksigen sampai berdifusi lewat alveoli kekapiler dan fungsi sirkulasi
sebagai transporter oksigen kejaringan.Disamping sebagai bahan bakar pembentukan energi oksigen dapat juga
dipakai sebagai terapi berbagai kondisi tertentu.

Peran oksigen sebagai obat makapemberian oksigen juga punya indikasi,dosis,cara pemberian dan efek samping yang
berbahaya.

Untuk aman dan efektifnya terapi oksigen perlu dikuasai fisiologi respirasi dan sirkulasi dan sifat-sifat oksigen itu sendiri.

FUNGSI RESPIRASI:

Tiga faktor utama yang terlibat dalam proses pernafasan yaitu ventilasi, pulmonary blood flow dan diffusi gas antara
alveoli dan darah dalam kapiler pulmonalis dengan perkataan lain adanya keseimbangan antara ventilasi, perfusi dan
diffusi.

Tujuan dari proses ventilasi adalah menyediakan udara segar kedalam paru untuk ditukar pada membran alveolo kapiler.

Prinsip pergerakan gas adalah karena ada perbedaan tekanan dimana gas akan bergerak dari tekanan tinggi ketekanan
rendah.

Dalam keadaan istirahat tekanan dalam paru sama dengan tekanan atmosfer. Ketika inspirasi spontan dimulai akan
terjadi kontraksi diafragma dan otot interkostalis eksterna akibatnya rongga dada berkembang maka tekanan
intrapulmoner jadi negatif sehingga udara masuk kedalam paru. Inspirasi merupakan proses aktif yang membutuhkan
energi dimana diafragma bertanggung jawab 60% udara ventilasi waktu terlentang dan 70% waktu tegak, sedang
ekspirasi merupakan proses passif oleh karena elastisitas jaringan paru.

Transport oksigen:
 Sistem sirkulasi bekerja sama dengan sistem respirasi dalam transport oksigen dari udara luar ke
sel mitokondria. Oksigen dalam darah diangkut dalam bentuk terikat dengan Hb dan terlarut dalam plasma.
 Setiap 100
cc darah yang meninggalkan kapiler paru membawa oksigen kira-kira 2o cc, dimana hanya 3% yang dibawa terlarut
dalam plasma. Oksigen diikat olehHb terutama oleh ion Fe dari unit heme. Masing-masing unit heme mampu mengikat 4
molekul oksigen untuk membentuk oksihemoglobin dimana ikatannya bersifat reversible. Setiap eritrosit mempunyai 280
juta molekul Hb, dimana setiap molekul Hb mempunyai 4 unit heme. Setiap eitrosit dapat membawa miliaran molekul
oksigen.
 Prosentase unit heme yang mengandung okigen terikat, dikenal sebagai saturasi hemoglobin(SaO2). Jika
semua molekul Hb dalam darah penuh berisi oksigen artinya saturasinya 100%.

Kebanyakan oksigen dalam tubuh (97-98)% ditransport dalam bentuk terikat dengan Hb.

Molekul Hb tersusun dalam 2 bagian dasar. Bagian protein atau globin dibuat oleh rantai polipeptide dimana tiap rantai
mengandung kelompok heme yang mengandung Fe membawa satu molekul oksigen karena ada 4 rantai maka setiap
molekul dapat mengikat 4 molekul oksigen. Kapasitas Hb membawa oksigen setiap gram Hb dapat mengikat 1,34 cc
oksigen, maka menurut persamaan :

IkatanO2 = (Hb x SaO2 x1,34).

Bila PaO2 tinggi, seperti dalam kapiler paru oksigen berikatan dengan Hb, bila PaO2 rendah seperti dalam kapiler
jaringan oksigen dilepas dari Hb.
Fungsi utama sistem respirasi adalah mempertahankan tekanan partiel O2 dan CO2 dalam darah arteri sedekat mungkin
kenormal, dalam keadaan tertentu.

Adekuat tidaknya fungsi respirasi diukur dengan nilai PaO2 dan PaCO2 sedangkan cara lain hanya bisa menilai tidak
adekuatnya fungsi repirasi tetapi tidak menjamin adekuatnya fungsi respirasi.
 Untuk dapat mengetahui kapasitas angkut
oksigen dengan jelas harus diketahui affinitas oksigen untuk jaringan maupun pengambilan oksigen oleh paru. Ketika
eritrosit melalui kapiler alveoli; oksigen akan berdifusi ke plasma dan meningkatkan PaO2 dan berikatan dengan Hb.

Kurva dissosiasi oksihemoglobin menggambarkan hubungan antara SaO2 dan PaO2, dimana kita dapat mengetahui
sejauh mana peningkatan dan penurunan PaO2 mempengaruhi SaO2 secara bermakna, semakin besar saturasi semakin
baik mutu Hb, semakin besar volume O2 yang dapat diangkut oleh darah kejaringan.

Menurut rumus :

g HbO2
 SaO2 = ———– x 100 %

hb total
 g HbO2 = Saturasi O2 x total Hb

Volume persen O2 yang diangkut sebagai HbO2 = SaO2 x total Hb x 1,34.

Setiap gram Hb dapat bergabung dengan 1,34 ml O2.

Deliveri O2 = CaO2 x CO x10

CaO2(oxygen content dalam darah arteri)=(SaO2 xHbx1,34)+(PaO2x0,031).

CO(cardiac output)= SV(stroke volume )xHR (heart rate).

Dikalikan 10 karena CO dalam L sedangkan CaO2 per 100 cc darah.

Rumus diatas diperlukan untuk mencari tahu faktor mana yang perlu dikoreksi agar DO2 terpenuhi.

Hubungan antara SaO2( sebagai ordinat) dan PaO2(sebagai absis) dalam satu kurve berbentuk S disebut kurve disosiasi
oxyhaemoglobine.
 Pada PaO2 100 mmHg maka SaO2 97% dan bila PaO2 27 mmHg maka SaO2 50%.

PaO2 27 mmHg disebut P50 artinya pada tekanan partiel tersebut Hb mengikat O2 hanya 50%, bila P50 diatas 27 mmHg
maka artinya diperlukan PaO2 yang lebih tinggi untuk mengikat O2 dimana kurve bergeser kekanan dan sebaliknya kurve
bergeser kekiri mudah mengikat O2 tetapi sulit melepaskannya kejaringan.

Setiap melihat data O2 dalam darah sebaiknya mempelajari arti point-point tertentu pada kurva disosiasi oksihemoglobin.
Point yang harus diingat pada kurva disosiasi O2 adalah :

PaO2(mmHg) SaO2(%) Clinical

100 97 muda normal

80 95 orang tua

60 90 bahu
kurva 
 (penurunan O2 yang bermakna)

40 75 Transport O2 lemah,kadar O2 dalam darah

vena (normal), hipoksemia kritis.

20 35 Level terendah yang ditoleransi.

Penurunan PaO2 kira-kira 25 mmHg dari 95 menjadi 70 mmHg hanya mempengaruhi sedikit perubahan pada
oksihemoglobin sama artinya dengan situasi seorang mendaki ketinggian 6000 feet dari permukaan laut, atau
bertambahnya umur dari 20 tahun menjadi 70 tahun, atau penderita penyakit paru yang moderate. Tetapi penurunan
PaO2 sebesar 25 mmHg dari 6o menjadi 35 mmHg lain halnya, akan terjadi perubahan yang serius.

Pengikatan PaO2 diatas 90 mmHg tidak akan mempengaruhi kemampuan Hb mengangkut O2 karena Hb cukup jenuh
pada PaO2 80 mmHg. Penurunan affinitas oksigen digambarkan dengan kurve bergeser kekanan. Sebaliknya
peningkatan affinitas oksigen dengan gambran kurve bergeser kekiri. Jika pH darah menurun (asidosis) maka kurva
bergeser kekanan artinya oksigen lebih mudah dilepas dijaringan sebaliknya bila alkalosis maka affinitas Hb tehadap
oksigen meningkat dan oksigen sukar dilepas. Disamping pH ada beberapa faktor yang mempengaruhi kurve bergeser
kekanan:

a. Peninggian konsentrasi CO2.

b. Peninggian temperatur darah

c. Peninggian 2,3 difosfogliserat(DPG) dalam darah

Sebaliknya akan menggeser kurve kekiri dan Hb fetus dalam jumlah besar dalam darah akan menggeser kurve kekiri
juga.

TERAPI OKSIGEN

Tujuan : Mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat.sehingga metabolisme intra selular berjalan lancar untuk
memproduksi fosfat bernergi tinggi sebagai motor

kehidupan disamping untuk terapi beberapa keadaan tertentu.

Untuk mencapai tujuan tak cukup hanya pemberian oksigen saja tetapi harus dikoreksi latar belakang penyebab terjadi
gangguan oksigenasi mulai dari sumber oksigen,ventilasi,diffusi perfusi sampai deliveri dan kemampuan sel menerima
oksigen.
 Kita ketahui bahwa rendahnya kadar O2 dalam darah disebut hipoksemia sementara
 rendahnya kadar oksigen
dijaringan disebut hipoksia.
 Secara praktis hipoksia dengan sebab apapun dibagi atas :

1.Hipoksi hipoksemia:

Penyebabnya adalah hipoksemia yaitu kurangnya kadar O2 dalam darah akibat gangguan mulai ventilasi, distribusi dan
diffusi dalam paru.

Ventilasi bisa berupa obstruksi jalan nafas, hipoventilasi (karena faktor sentral atau perifer), diffusi karena odem atau
penebalan dinding alveoli.

2. Hipoksi anemia :

Pengangkut oksigen (Hb) kurang kwantitas/kualitas walaupun oksigenasi baik, Transfusi adalah jalan keluarnya.

3. Hipoksia stagnasi :

Terlambatnya aliran darah karena viskositas meningkat, obstruksi, syok stadium lanjut.

4. Hipoksia histotoksik:

Kerusakan dijaringan/sel tidak mampu lagi menggunakan O2 yang dihantarkan pada keracunan atau sepsis yang berat

Indikasi :
 - Gagal nafas akut dibutuhkan pembebasan jalan nafas dan nafas bantu.

- Syok oleh berbagai kausa dimana terjadi gangguan perfusi jaringan.

- Infarct myocard acute dimana tidak seimbang oksigen demand dengan oksigen supply.

- Dalam kondisi metabolisme rate tinggi( tirotokikosis, sepsis,hipertermia).dimana kebutuhan oksigen meningkat.

- Keracunan gas CO (karbon monoksida) dimana affinitasnya terhadap Hb tinggi.

- Pre oksigenasi menjelang anestesi mencegah hipoksia dan hiperkarbia

- Penderita tak sadar untuk memperbaiki oksigenasi diotak.

- Untuk mengatasi keadaan seperti empisema paska bedah, pneumotorak, emboli udara.

Pemberian oksigen mampu mengusir gas nitrogen yang menumpuk dalam rongga tubuh.

- Asidosis apakah respiratorik maupun metabolik dimana terjadi metabolisme anaerob.

- Anemia berat, jumlah Hb maupun kualitas Hb yang kurang dalam transport oksigen.
Pemberian oksigen untuk pasien dengan gangguan sirkulasi atau nafas akut sesuai dengan ketentuan sebagai berikut.

a. Tanpa gangguan nafas oksigen diberikan 2 liter/menit melalui kanul binasal.

b. Dengan gangguan nafas sedang oksigen diberikan 5-6 liter per menit melalui kanul binasal.

c. Gangguan nafas berat, gagal jantung, henti jantung gunakan sistem yang dapat memberi oksigen 100%.

d. Pada pasien yang rangsangan nafas tergantung hipoksia beri oksigen <50% , awasi ketat.

e. Atur kadar oksigen berdasarkan PaO2 atau SaO2 kalau ada fasilitas BGA

f. Dalam keaaan darurat lakukan bantuan nafas, intubasi beri 100% O2.

Persiapan alat :

1. Sumber oksigen (tabung) atau sumber oksigen sentral.siap pakai.

2. Tabung pelembab (humidifier).

3. Pengukur aliran oksigen (flow meter).

4. Alat pemberi oksigen tergantung metode yang dipakai

Metode pemberian oksigen :

A. Sistem aliran rendah:

1. Aliran rendah konsentrasi rendah (lowflow low concentration)

- Kateter nasal atau binasal

2. Aliran rendah konsentrasi tinggi (lowflow high concentration).

- Sungkup muka sederhana (simple mask);konsentrasi O2 yang masuk tergantung pada pola nafas dan kecepatan aliran
O2.
 - Sungkup muka kantong rebreating;dilengkapi dengan kantong yang menampung aliran gas dari sumber gas atau
udara kamar dan udara nafas tanpa valve sehingga terjadi

rebreathing.
 - Sungkup muka kantong non rebreating.
 Dilengkapi dengan expiratory valve (katup ekspirasi,) sehinggan
tidak rebreathing.

B. Sistem aliran tinggi :

1. Aliran tinggi konsentrasi rendah (high flow low concentration)

- Sungkup venturi

2. Aliran tinggi konsentrasi tinggi (high flow high concentration)

- Head box

- Sungkup CPAP (continous positive airway pressure)

ad.A1 Kanul binasal: Paling sering digunakan untuk pemberian oksigen, memberikan konsentrasi udara inspirasi (FiO2)
24-44% dengan kecepatan aliran 1-6 liter/menit.

Konsentrasi oksigen yang diberikan tergantung tingginya aliran dan volume tidal nafas pasien. Konsentrasi bertambah 4%
untuk setiap tambahan 1 liter/menit O2, misalnya aliran 1 liter/menit = 24% .2 liter/menit 28% dan seterusnya maksimal 6
liter/menit.

Keuntungan :

Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan laju nafas teratur, baik diberikan dalam jangka waktu lama. Pasien
dapat bergerak bebas, Makan minum dan Bicara.
Kerugian :

Dapat menyebabkan iritasi hidung dan bagian belakang telinga tempat tali binasal. FiO2 akan berkurang bila pasien
bernafas dengan mulut.

Ad. A2 Sungkup muka sederhana:

Aliran O2 diberikan 6-10 liter/menit dengan konsentrasi O2 mencapai 60%.

- Merupakan sistem aliran rendah dengan hidung, nasofaring, orofaring sebagai penyimpanan anatomik.

Sungkup muka dengan kantong rebreating:

- Aliran O2 diberikan 6-10 liter/menit dengan konsentrasi O2 dicapai 80%.

- Udara inspirasi sebagian bercampur dengan udara ekspirasi dimana 1/3 bagian volume udara exhalasi masuk
kekantong dan 2/3 nya melalui lubang-lubang bagian samping.

Sungkup muka dengan kantong non rebreating:

- Aliran O2 diberikan 8-12 liter/menit, dengan konsentrasi O2 mencapai 100%.

- Udara inspirasi tak bercampur dengan udara ekspirasi(exhalasi) dan tidak dipengaruhi oleh udara luar.

Kerugian pakai sungkup :
 - Mengikat sungkup dengan ketat teus melekat pada pipi pasien agar tak terjadi
kebocoran.
 Dapat terjadi aspirasi bila pasien muntah terutama kalau tidak sadar.

Sungkup venturi:

Konsentrasi oksigen berkisar antara 25-40% tergantung kebutuhan pasien dipakai pada pasien dengan tipe ventilasi tidak
teratur, hiperkarbi dan hipoksemia sedang samapi berat.

Yang penting kita harus mengetahui berapa persen kadar oksigen yang kita berikan dengan cara apapun dan berapa
besar kebutuhan pasien.

Tabel pemberian oksigen :
 No Cara pemberian Aliran oksigen Konsentrasi O2(FiO2)

Liter/menit %

———————————————————————————————

1. Nasal kateter/kanul 1-2 24- 28

3-4 30- 35

5-6 38 – 44

2. Simple mask 5-6 40

6-7 50

7-8 60

3. Masker dengan kantong

simpan 6 60

7 70

8 80

9-10 90-99

4. Masker venturi Aliran tetap 24-35


5. Head box 8-10 40

6. Ventilator bervariasi 21-100

7. Mesin anestesi bervariasi 21-100

8. Inkubator 3-8 sampai 40

===========================================================

EFEK SAMPING PEMBERIAN OKSIGEN:

1. Oksigen sendiri tidak membakar tetapi adanya O2 berlebihan dalam udara kamar bila ada sumber api akan
meningkatkan resiko kebakaran.

2. Hipoventilasi:

Penderita COPD(PPOM) pengendalian pusat nafas sentral oleh hipoksia (hypoxic drive) maka bila hipoksia dihilangkan
tidak ada rangsangan pada pusat nafas terjadi hipoventilasi sampai apnoe.

3. Hipoksia bisa terjadi kalau oksigen diberikan dengan tekanan tinggi secara mendadak.

4. Atelektase terjadi oleh karena pengusiran nitrogen dari alveoli akibat pemberian oksigen konsentrasi tinggi hampir
100% dalamwaktu yang lama.(>24 jam)

Gas nitrogen biasanya meregang dinding alveoli

5. Keracunan oksigen :

Bisa menyeluruh dan bisa setempat.

Karena pemberian O2 dengan PaO2 >100 torr dalam waktu lama(bervariasi untuk setiap individu), pada keadaan akut
bisa terjadi kejang dan pada keadaan kronis gejala nyeri retro sternal, parestesia, mual dan muntah. Pada bayi prematur
bisa terjadi retrolental fibroplasia karena penyempitan pembuluh darah retina akibat fibrosis.

Keracunan lokal terjadi kerusakan sel epitel kapiler paru sehingga difusi terganggu. Pencegahan jangan memberi oksigen
konsentrasi >50% lebih dari 24 jam dan setiap pemberian oksigen konsentrasi tinggi harus dipantau PaO2.

Ringkasan:
 Terapi oksigen tidak cukup hanya memberi O2 tapi harus dikoreksi latar belakang terjadinya hipoksia dan
didukung pengatahuan yang cukup mengenai faal respirasi, sirkulasi dan sifat dari oksigen itu sendiri. Oksigen sebagai
terapi haruslah dianggap sebagai obat dalam penggunaanya harus tepat dosis, indikasi, cara pemberian dan cara
mencegah/mengatasi efek sampingnya.

Dalam pemberian oksigen dosis tinggi jangan lupa pantau PaO2.

DASAR TERAPI CAIRAN


Pengertian dasar mengenai keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan material utama dalam menyusun konsep
terapi cairan dan elektrolit. Tanpa material ini sulit dikatakan bagaimana bisa seseorang mengatasi problema cairan dan
elektrolit secara tepat dan akurat, apalagi dihadapkan dengan fasilitas yang minimal, Padahal problem ini merupakan
peristiwa rutin dalam dunia pembedahan/anestesi yang sering membawa malapetaka yang cukup serius. Oleh sebab itu
seorang ahli anestesia wajar dituntut untuk tahu secara mendasar tentang keseimbangan cairan dan elektrolit. Dalam
tulisan ini hanya dikemukakan pengertian dasar tentang keseimbangan cairan dan elektrolit sedangkan gangguan
keseimbangan asam basa yang selalu menyertainya akan dibahas di bab yang lain.

Beberapa pengertian :

A.Volume Cairan Tubuh :

Jumlah cairan tubuh seorang laki-laki dewasa dengan berat badan (BB) ideal kira-kira 60% sementara pada orang gemuk
lebih banyak lemak daripada air sebagaimana wanita presentasenya lebih kecil sedangkan pada orang kurus dan bayi
relatif lebih besar.
 Kalau kita lihat tabel dibawah ini maka tampak gambaran sebagai berikut :

TOTAL BODY WATER
 ————————————————————-


! Infant ! Male ! Female !

————————————————————-

Kurus ! 80% ! 65% ! 55% !

————————————————————

Sedang ! 70% ! 60%! ! 50% !
 ————————————————————-

Gemuk ! 65% ! 55% ! 45% !

————————————————————–

Pada bayi malnutrition presentase cairan tubuhnya > 80% hal ini penting karena bayi sangat peka terhadap gangguan
keseimbangan cairan ketimbang orang dewasa. Dengan catatan makin gemuk seseorang makin mudah terjadi dehidrasi
oleh karena jumlah cairan tubuh totalnya relatif lebih sedikit

B.Distribusi cairan tubuh:

Cairan tubuh terdiri dari :

1.Cairan intracellular (Intracellular Fluid)(ICF)

2.Cairan extracellular(Extracellular fluid)(ECF)

Terdiri dari :

a.Cairan intravascular

b.Cairan interstitial

3.Cairan transcellular

Cairan intracellular dan extracellular dibatasi oleh dinding cell yang permeabel terhadap air agak permeabel terhadap
natrium(Na) dan sedikit permeabel terhadap kalium(K) tetapi oleh karena sering bergabung dalam molekul yang besar
maka dinding cell jadi impermeabel.

Cairan intravascular (plasma) dan interstitial dibatasi dinding kapiler yang permeabel terhadap air dan semua elektrolit
sehingga kedua rongga tersebut dianggap continous compartment, hanya dalam vascular ada protein yang menyebabkan
tekanan onkotik dapat menahan air dalam pembuluh darah.

Ad.1.Cairan intracellular merupakan bagian terbesar dari seluruh cairan tubuh diperkirakan dua kali ECF pada orang
dewasa sedangkan pada bayi sebesar 4/3 x ECF

Ad 2.Cairan extracellular terdiri dari cairan interstitial dan intravascular dalam perbandingan 3:1 pada orang dewasa
sedangkan pada bayi 5:1

Dewasa Bayi

———————————————————————————– 
 ICF | ECF | P | |


ICF | ECF | P | 
 ———————————————————————————–

40% ! 15% ! 5% ! ! 40% ! 25% ! 5% !

————————————————————————————-

Total Body Water(TBW) Total Body Water(TBW)

60% xBB 70% xBB

I = Interstitial

P= Plasma

Cairan intravascular berada dalam :


a.Venous system 55%

b.Areteriel system 10%
 c.Jantung, paru dan capillary bed 35%

Ini dapat dimengerti dalam keadaan berdiri lama dan tenang terjadi venous pooling terjadi reduksi volume arterial system
===> circulasi ke organ vital menurun ==> syncope.

Baik cairan intracellular maupun interstitial jumlahnya cukup besar dibandingkan cairan intravascular hal ini penting
sebagai cadangan bila terjadi dehidrasi cairan intertitial/ intracellular ditarik kedalam intravascular.

Jantung sebagai pompa plasma sementara ginjal sebagai sensor atau pengatur volume plasma dimana ginjal laksana
keran kalau cairan tubuh berlebihan keran terbuka sebaliknya bila berkurang keran tertutup.

ICF merupakan rongga tertutup sehingga terbatas kemampuannya untuk berkembang,keluar masuknya ICF satu-satunya
jalan hanya via ECF. Perubahan kimiawi pada plasma menggambarkan perubahan pada ECF oleh karena merupakan
satuan fungsionil. Perubahan pada ICF secara klinis sulit ditentukan satu-satunya organ yang menggambarkan pada ICF
yaitu otak terlihat berupa gejala sakit kepala, bingung baik oleh karena penurunan atau peninggian ICF makanya
perubahan cairan tubuh hanya ditetapkan secara klinis dari perubahan ECF umpama perubahan pada interstitial bisa
terlihat adanya odem bila berlebihan atau lidah kering,mata cekung atau turgor jelek bila menurun.

Peningkatan jumlah plasma terlihat dari tekanan dalam arterial/venous. Bila kita bagi volume plasma dalam dua bagian
atas forward dan backward compartment maka perubahan pada : backward compartment : terlihat dari perubahan
tekanan venous dan volume cairan interstitial. Sedangkan perubahan pada forward compartment,terlihat pada tekanan
aretei, nadi, ujung extrimitas(acral) dingin atau oliguri.

Ad.3 Cairan transcellular (Third space):

Adanya cairan transcellular oleh karena pengangkutan ECF melalui epithel diperkirakan 1-5% BB atau 15 cc/ kg BB dari
jumlah ini berada dalam saluran pencernaan 7cc/kgBB, dalam saluran empedu 2cc/kgBB dan sisanya dalam saluran
getah bening.

Dalam keadaan normal jumlah ini tak berarti tetapi dalam kondisi tertentu seperti trauma jaringan yang luas, peritonitis
atau ileus jumlah ini memerlukan perhatian khusus dalam terapi pengganti cairan dan elektrolit.

Kehilangan cairan memasuki rongga ketiga ini (third space) disebut squesterisasi.

Bila penyebab squesterisasi ini hilang maka cairan akan kembali ke ECF secara berangsur-angsur dalam waktu 48-72
jam.

Dalam keadaan ini volume total cairan tubuh tak berkurang tetapi bergeser (translokasi) kedalam rongga ketiga dan tak
berfungsi, sehingga bisa muncul gejala berkurangnya volume ECF tanpa terlihat keluarnya cairan yang nyata.
 Bila ginjal
gagal melakukan fungsinya cairan rongga ketiga akan masuk kedalam ECF bisa menimbulkan overload.

Hampir seluruh cairan yang difiltrasi dalam ginjal dan disekresi oleh saluran cerna di reabsorbsi.

Phillip & Summershell menganggap saluran cerna sebagai entero systemic cycling of water and electrolyte.
 Makan dan
minum (2-3)L—> ECF (12-20)L–> sekresi usus(6-8)L—–> absorbsi (7-8)L —>ECF.

Kalau terjadi gangguan absorbsi usus seperti peradangan usus akan terjadi kehilangan cairan yang banyak.

Pada obstruksi usus dimana passage isi usus berhenti maka tekanan intraluminar meningkat karena penumpukan cairan
dan gas pada proksimal sumbatan sehingga absorbsi akan menurun sementara sekresi usus naik dua kali lipat kedalam
lumen sehingga terjadi distensi usus
 yang hebat akibatnya muntah muntah terjadi dehidrasi ECF dan hemokonsentrasi
diikuti dengan kegagalan sirkulasi.
 Distensi usus akan menyebabkan udem dinding usus–> kongesti vena usus–
>permeabilitas dinding usus meningkat–>toksin masuk rongga peritonium—>peritonitis/perforasi dinding
usus.
 Dipekirakan defisit cairan yang timbul pada obstruksi usus sebesar 1500 cc kalau baru terlihat dengan foto polos
abdomen, tetapi bila telah jelas tanda klinisnya diduga defisit cairan mencapai 2500 -3000 cc malah kalau
 sudah ada
gejala preshock/shock diperkirakan 4000-6000 cc.

C. Komposisi cairan tubuh :

Bagian yang menyusun cairan tubuh disamping air juga zat-zat yang terlarut didalamnya terdiri dari elekrolit (ion
Na,K,Cl,H,HCO3) dan nonektrolit (glukose,urea,creatinine dan lain-lain).

Disebut elektrolit bila dalam larutan akan berdisosiasi menjadi atom-atom bermuatan listrik(ion). Dalam semua cairan
tubuh apapun komposisi anion dan kation akan selalu dalam jumlah yang sama.
Natrium merupakan kation yang lebih banyak dalam ECF,sedangkan kalium dominan dalam ICF. Pada binatang yang
complex termasuk manusia dinding cell mempunyai sistem pompa yang mendorong ion Na keluar cell yang cenderung
memasuki cell (sodium pump) dan mendorong ion kalium kedalam cell yang cenderung keluar cell. Ini berarti bahwa
selama rongga ECF dipertahankan dalam komposisi tetap cell dapat mempertahankan komposisi konstant dengan
mekanisme dalam dinding cell sendiri yang memakai energi yang dihasilkan oleh metabolisme cell.

Elekrolit haruslah berada dalam kompartmentnya masing-masing dalam jumlah yang tepat agar cell tubuh dapat
berfungsi normal, umpama bila kalium keluar dari cell individu akan lemah dan bila tak diganti mungkin bisa mati
(myocard necrosis atau gagal circulasi ) karena otot dan syaraf tak aktif.

Dalam keadaan normal kalium sedikit keluar cell diganti oleh natrium masuk intra cell. Aktifitas ini menyebabkan impuls
elektrokimia ditransmisi sepanjang serabut syaraf dan otot. Bila kalium tak ada dalam cell transmisi impuls tak terjadi,
secara klinis terlihat depressi neuromuscular yang bisa berkembang jadi koma, pada usus tak ada peristaltik,otot-otot
melemah dan ECG adanya hipokalimia yang nyata sampai henti jantung.

Tiap kompartment punya komposisi elekrolit tertentu :

———————————————————————————–

Intracellular Intravascular Interstitial
 ——————————————————————


—————————

 Kation Anion Kation Anion Kation Anion
 Na 142 Cl 104 Na
145 Cl 116 Na
10 Cl 15
 K 5 HCO3 27 K 4 HCO3 27 K 135 HCO3 10
 Ca 5 HPO4 2
Ca 3 HPO4 3 Ca 0 HPO4 83
 Mg 3 SO4 1 Mg 2 SO4 2 Mg 42 S
O4 14
 Protein
16 Protein 1 Protein 75
 org.acid 5 org.acid
5 org.acid 0

Total

=================================================

155 155 154 154 187 187

Kelihatannya bahwa jumlah kation dan anion tiap kompartment selalu sama untuk keseimbangan elektrolit. Tampak juga
K,Mg,Phosphat lebih banyak dalam ICF sedangkan NaCl dan HCO3 ion dominan di ECF.

D. KONSENTRASI CAIRAN TUBUH :

Ditentukan oleh jumlah elektrolit dalam cairan tubuh, satuan ukuran konsentrasi elektrolit dipakai meq/L memberikan
informasi mengenai jumlah anion dan kation yang dapat bergabung dengan kation atau anion lain.

Umpama kadar Na dalam plasma sebesar 140 meq/L artinya bahwa 140 kation bisa bergabung dengan 140 anion untuk
tiap liter darah / plasma. Rata-rata kadar Cl dalam darah 104 meq/L artinya 104 anion Cl bergabung dengan 104 kation
Na, dan sisa kation Na(140-104)=36 akan bergabung dengan anion lain selain Cl.

Berat equivalent adalah jumlah satu elektrolit yang akan bereaksi dengan jumlah ion H tertentu atau sama dengan berat
atom (BA) dibagi valensi.

Kalau ingin merubah mg% menjadi meq/L bisa dipakai rumus :

mg% x 10 x valensi

————————

berat atom (BA)

Contoh :

larutan NaCl 0,9% = 155 meq /L

0,9%= 0,9 gram/100 cc=900 mg /100 cc


dalam satu liter berarti=900 x 10 mg = 9000 mg/L

Valensi NaCl = 1

BA NaCl = 23 (Na) + 35 ( Cl) = 58

mg% x 10 x valensi

Rumus : ————————-

BA

900 x 10 x 1

——————– = 115 meq /L.

58

Berarti satu liter NaCl 0,9% berisi 155 meq Na dan 155 meq Cl.

Larutan KCl 7,5% = 1013,5 meq/L

7,5% = 7,5 gram dalam 100 cc = 7500 mg%

valensi KCl = 1

BA = 39 (K) + 35 (Cl) = 74

7500 x 10 x 1

Rumus : ——————– = 1013,5 meq/L

74

Kira-kira 1cc KCl 7,5% = 1meq ( 1013,3 : 1000 = 1 meq).

E. KESEIMBANGAN OSMOLARITAS

Cairan disemua kompartment haruslah sama osmolaritasnya. Rata-rata 285 – 305 mosm /L. Osmolarity menunjukkan
jumlah molekul yang terlarut (osmol) per liter cairan tubuh, sedangkan osmolalitas(ty) jumlah osmol perliter zat pelarut
dalam klinis praktis keduanya dianggap sama. Dalam praktek osmolalitas ECF dipengaruhi oleh Na (90-95%) glukose,
ureum dapat dihitung dengan rumus

glukosa BUN

Osmolality plasma = 2 x (Na+) + :——— + ——–

18 2,8

Tonisitas adalah osmolalitas satu cairan dibandingkan cairan lain.

Berdasarkan tonisitas cairan dibagi atas :

Isotonis : 270 - 290 mosm/L

hipotonis : < 270 mosm/L

hipertonis : > 290 mosm/L

Tekanan osmotik ditentukan oleh jumlah molekul dalam satu larutan bukan oleh besar atau berat molekulnya.

Larutan mannitol berat molekulnya rendah tetapi menaikkan tekanan osmotik, sedangkan dextran /albumin berat
molekulnya 80.000 tak banyak menaikkan tekanan osmotif hanya menaikkan tekanan onkotik (koloid osmotik) oleh
dinding vascular relatif impermeabel sehingga air dicegah keluar dari pembuluh darah secara berlebihan.
Seperti kita ketahui bahwa tekanan hidrostatik cenderung mendorong air keluar dari vascular sementara tekanan onkotik
cenderung menahan cairan dalam vascular(StarlingHypotese) :

Pada ujung arteriole dari kapiler :

Tekanan hidrostatik darah 37 mmHg

Tekanan hidrostatik interstitial -1 mmHg

———————————————————

Gradient tekanan hidrostatik 36 mmHg

Tekanan onkotik darah 26 mmHg

Tekanan onkotik interstitial -1 mmHg

———————————————————

Gradient tekanan onkotik 25 mmHg

Dengan demikian :
 Daya filtrasi = gradient tekanan hidrostatik = 36 mmHg

Daya osmotik/onkotik =gradient tek.onkotik =-25 mmHg

Daya filtrasi bersih = 11 mmHg

Ujung venous capiller:
 Tekanan hidrostatik darah = 17 mmHg

Tekanan hidrostatik interstitial = -1 mmHg

——————————————————————-

Gradient tekanan hidrostatik = 16 mmHg

Tekanan onkotik darah = 26 mmHg

Tekanan onkotik/osmotik interstitial = -1 mmHg

————————————————————–

Gradient tekanan onkotik /osmotik = 25 mmHg

Dengan demikian :
 Daya osmotik = 25 mmHg

Daya filtrasi = 16 mmHg

========================================

Daya osmotik bersih = 9 mmHg

Kira-kira 90% cairan yang difiltrasi diujung arteriole kapiler direabsorbsi pada ujung vena. Sedangkan 10% lainnya
kembali ke system ke sistem vascular melalui saluran lympyh. Pembuluh-pembuluh limpatik bisa membawa protein dan
material besar lainnya yang tak dapat diabsorbsi langsung kedalam kapiler venous keluar dari ruang jaringan
Permeabilitas dinding kapiler berbeda pada berbagai bagian tubuh, umpama kapiler liver bisa protein melewati
membrannya sedang kapiler glomerulus tak bisa melewatkan protein.
Tekanan hidrostatik pada end arteriole 2x end venous oleh karena disamping tekanan hidrostatik biasa oleh berat cairan
itu sendiri juga dari tekanan darah yang dikendalikan jantung. Proses keluarnya cairan akibat perbedaan tekanan
hidrostatik disebut filtrasi yang keluar air, solute termasuk makanan

F.REGULASI CAIRAN TUBUH :

Dalam keadaan normal dijaga keseimbangan air sehingga air yang masuk(input) dan output seimbang. Keseimbangan
air dan elektrolit yang ingin dicapai adalah konstantnya volume dan komposisi ECF. Pernyataan ini melibatkan masalah
sensor yang mengenal perubahan dan efektor yang mengoreksi perubahan, ini berarti satu feedback loop yang
memungkinkan hubungan kontinu antara output dari satu sensor dan efek yang ditimbulkannya.

Dalam keadaan sehat tubuh mampu mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat mencegah dan
memperbaiki kerusakan. Haus sadar ingin air, salah satu faktor utama yang menentukan intake(input) cairan,
Osmoreseptor dihipotalamus adalah cell yang dirangsang oleh kenaikan tekanan osmotik cairan tubuh.

Memulai Rasa Haus

Haus juga dirangsang oleh penurunan volume ECF, tapi harus diingat tanpa penurunan ECF bisa timbul rasa haus bila
mulut kering oleh atropin yang dapat menekan salivasi. Homeostatik volume air dalam tubuh dipertahankan atau
diperbaiki dengan menyesuaikan output dan intake. Ginjal bertanggung jawab utama dalam menjaga keseimbangan
cairan dan elektrolit dengan mengontrol output, dalam pekerjaanya membantu mengatur total volume ECF ginjal diatur
oleh hormon ADH(anti diuretic hormon) dan aldosteron.

ADH adalah hormon yang diproduksi oleh nucleus supra optic hypothalamus dan mempunyai fungsi utama meningkatkan
permeabilitas tubulus distalis dan collecting tubules renalis terhadap air sehingga air diserap kedalam medulla
interstitialis. Sedangkan aldosteron diproduksi oleh zone glomerulosa cortex adrenal mempunyai fungsi utama
mempengaruhi membran tubulus distalis renalis terhadap Na sehingga ion Na diabsorbsi dan ion K disekresi bersamaan
dengan air turut diabsorbsi.

Bila tekanan osmotik dalam ECF meningkat akan menstimulir osmoreseptor dalam hipotalamus membebaskan ADH
menyebabkan retensi air oleh ginjal. Bila volume ECF atau plasma menurun akan menstimulir volume reseptor pada
Yuxta glomerullar apparatus ginjal membebaskan renin kedalam plasma menjadi angiotensin I kemudian oleh
pengaruh enzym converting menjadi angiotensin II yang berfungsi :

a. menaikkan tekanan darah dengan menaikkan tahanan perifer.

b. membebaskan aldosteron dari glandula adrenal.

Aldosteron juga dibebaskan oleh pengaruh langsung kenaikan kalium darah terhadap glandula adrenal untuk mensekrersi
kalium ditubulus distalis renalis sehingga kadar kalium kembali normal. Aldosteron juga mempengaruhi transport Na
dalam colon, kelenjar keringat dan saliva tapi tak begitu berarti dibandingkan renal tubules.

Sekresi ADH berlebihan bisa terjadi akibat takut, nyeri, infeksi akut, pengaruh analgetik/narkotik seperti morphin, petidin,
juga pengaruh stress trauma atau operasi besar yang bisa berlangsung 12-36 jam post operatif yang mana hal ini perlu
dipertimbangkan dalam pemberian cairan selama post operatif dimana cenderung terjadi retensi cairan dan natrium.

Kalau kita perhatikan keseimbangan input dan output cairan tubuh :

Masuk : minum 1500 cc

makan 700 cc

oksidasi 200 cc

———-

2400 cc

Keluar : kulit-menguap 350 cc

keringat 100 cc

paru-paru 350 cc

faeces 200 cc
urine 1400 cc

———-

2400 cc

Keluarnya air melalui kulit dan paru tanpa memandang berapa besar yang masuk disebut insensibel loss atau hilang
tanpa disadari dalam keadaan normal biasanya 700 cc/hari. Ini akan bertambah hebat bila demam atau hiperventilasi
yang sering lupa menggantinya dalam terapi cairan,

Biasanya kalau demam perlu penambahan 12% dari maintainance setiap kenaikan satu derajat C, diatas suhu tubuh
normal. Air yang keluar dari faeces sama dengan yang diperoleh dari oksidasi 200 cc/hari. Jumlah air yang dikeluarkan
oleh ginjal tergantung situasi air dalam tubuh (intake & perspirasi).

Makanan yang banyak mengandung air yaitu sayuran dan daging (60 -97)%, air yang diperoleh dari oksidasi makanan
disebut air oksidasi diperkirakan setiap 100 g kalori karbohidrat atau protein menghasilkan 10 cc air. Perlu diingat
pengeluaran air via paru-paru dan kulit dipengaruhi luas permukaan tubuh, suhu tubuh, suhulingkungan, kelembaban
udara dan frekuensi pernafasan.

Pada bayi terutama yang prematur justru penguapan air ini 70% keluar dari permukaan kulit dan 30% dari paru-paru.

Gangguan keseimbangan air:

Bisa berupa: dehidrasi dan overhidrasi.

Dehidrasi disebut ringan bila berat badan turun < 5%

sedang ——————– antara (5 – 10 ) %
 berat > 10%
 fatal >


20%

Haus merupakan gejala paling dini hilangnya air, biasanya dirasakan setelah berat badan (BB) turun 2%,bila mulut dan
kulit kering diperkirakan >6%, bila telah muncul bingung/gelisah(delirium) berarti diantara 7-14%.

Pada kasus pediatri bila turgor jelek dan fontanell cekung, diduga berat badan turun >10% tetapi bila mata juga cekung
berarti diantara 10-20%.

Setiap hilang cairan 6% diperkirakan natrium hilang 0,5%, atau setiap hilang 4,5 liter air berarti natrium hilang 20 g.

Berdasarkan ratio air dan elektrolit yang ditahan ECF maka tipe dehidrasi dapat dibagi atas:

a. Dehidrasi Isotonik——- 270 – 290 mosm/L
 b. Dehidrasi Hipotonik—–< 270 mosm/L
 c. Dehidrasi Hipertonik—–>
290 mosm/ L

Diagnose yang tepat pada stadium lanjut penting oleh karena terapi yang tak sesuai diagnose sangat berbahaya. Oleh
sebab Na (sodium) sebagai pengatur utama serum osmolality maka bisa digunakan juga istilah dehidrasi iso, hipo atau
hipernatrimia.

Disebut isonatrimia bila jumlah air yang keluar sama banyak dengan elektrolit seperti muntah, ileus obstruktif, tak ada
kompensasi replacement dari ECF, bila berlangsung lama bila jadi shock.

Disebut hiponatrimia bila natrium lebih banyak hilang, seperti pada kasus kelaparan dimana cairan masuk dari ECF
kedalam ICF sehingga volume ECF berkurang, bahaya shock lebih cepat terjadi. Disebut hipernatrimia bila cairan yang
hilang lebih banyak dari elektrolit (Na) dimana osmolaritas ECF meningkat, dalam hal ini cairan sekitar jaringan masuk
kedalam plasma sehingga bahaya shock berkurang. Sering terjadi pada diare yang akut tetapi jarang terjadi pada kasus-
kasus yang akan dioperasi. Bahaya dehidrasi ditentukan oleh derajat gangguan dan cepatnya proses.

Penentuan jenis dehidrasi isotonis, hipotonis dan hipertonis penting untuk terapi yang tepat memilih cairan.

Kebutuhan air untuk orang dewasa 30-35cc/kgBB/24jam sedangkan pada bayi dan anak bergantung BB:

<10 kg 4cc /kgBB/jam
 10 - 20 kg 40cc + 2cc/kgBB diatas 10kg
 > 20 kg (60cc + 1cc/kgBB diatas 20kg )
per jam

Ini penting untuk maintainance cairan (pemeliharaan) dimana setiap suhu naik satu derajat C ditambah kira-kira 12-15%.

Untuk lebih detail akan dibahas pada bab terapi cairan dan elektrolit.
G.REGULASI NATRIUM :

Pengatur utama sodium tubuh adalah ginjal, oleh karena sodium merupakan pengatur utama ECF maka berarti ginjal
adalah pengatur ECF. Hal ini karena sodium(natrium) merupakan partikel kecil mudah difiltrasi oleh ginjal bersama anion
Cl dan bikarbonat.

Kalau kita perhatikan tabel dibawah ini baik air maupun elekrolit lebih 90% yang difiltrasi akan direabsorbsi
kembali.(dewasa normal, diet normal).

Filtrasi /24jam | Ekskresi /24


jam | Reabsorbsi
 ===============================================================
 I Na+
I 25.000 mmol I 100 mmol I 99,6%
 I Cl- I 18.000 mmol I 100
mmol I 99,5%
 I HCO3- I 5.000 mmol I 0 mmol I 100%
 I K+ I 700
mmol I 50 mmol I 93%
 I Air I 180 L I 1 L I 99,4
%
 ================================================================

10-12% filtrasi mencapai collecting tubules dan direabsorbsi kembali, dan diekskresikan lebih kurang 1%. Tetapi
dicollecting tubules lebih menentukan walaupun diproximal tubules reabsorbsinya lebih besar karena bila intake natrium
tak ada maka ekskresi natrium dalam urine jauh sangat rendah 0.01% karena reabsorbsi di colecting tubules meningkat.
Dengan demikian banyak sedikitnya keluar natrium dalam urine ditentukan oleh reabsorbsi natrium dicollecting tubules
yang dipangaruhi oleh aldosteron.

Keseimbangan natrium

Total sodium dalam tubuh kira-kira 4000-5000 meq, hanya 10% berada dalam cell. Kebutuhan minimal natrium untuk
dewasa perhari minimum 5,9 g per hari (100 meq)(1,5 meq/kgBB)

Output : Hampir seluruhnya dikeluarkan via urine hanya sedikit via keringat maupun faeces kecuali ada diarrhea atau
hilangnya lendir mukose usus maka hilangnya natrium meningkat.

Konsentrasi Na plasma ditentukan dengan menurunkan renal loss dikontrol aldosteron.

Gangguan keseimbangan Na bisa berupa hiponatrimia dan hipernatrimia.

a.Hiponatrimia :

Yang murni jarang sekali oleh sebab natrium tak dapat hilang tanpa air sehingga kenyataan apa yang disebut
hiponatrimia adalah jumlah air tubuh yang berlebihan yang diperberat dengan kurangnya intake natrium pengganti yang
hilang. Umpama berkeringat banyak diminum air yang banyak sehingga terjadi dilusi hiponatrimia.

Tekanan osmotik ECF menurun, cairan interstitial ditarik ke ICF, ginjal berusaha mengeluarkan air yang banyak untuk
mempertahankan tonicity ECF, akibatnya terjadi dehidrasi ECF sementara overhidrasi ICF sehingga penderita tak merasa
haus dan tak ingin minum

Kadar Na plasma normal: 135 – 145 mg /L, bila < 120 mg/L akan muncul tanda-tanda disorientasi, lethargi, gangguan
mental, irritability, dan henti nafas dan bila < 110 mg/L bisa terjadi kejang sampai koma.

Hiponatrimia bisa disebabkan :

Euvolemia : SIADH(sundroma inapropriate anti diuretic hormon) .

Hipovolemia : diarhae, vomitus, diuretika, third space losses.

Hipervolemia: nephrosis, cirrhosis hepatis lative

Ini bisa dikoreksi bila Na >= 125 mg/L cukup retriksi cairan.

bila Na < 120 mg/L –> NaCl 3%

(140 -X) xBB x 0,6 mg
 X = kadar Na dikoreksi

b.Hipernatrimia

Relative hipernatrimia terjadi pada deplesi air (dehidrasi) dengan adanya fungsi renal yang mundur bisa akibat kerusakan
tubuler overproduksi aldosteron primer/sekunder sehingga kelebihan Na tak bisa dikeluarkan. Kelebihan Na murni bisa
didapat oleh sebab overinfused dengan NaCl hipertonis, asupan berlebihan salt tablet, bicarbonas natricus.
Adanya retensi natrium dan air yang meningkat terjadi odem. Timbul dehidrasi ICF karena penarikan cairan ICF ke ECF
penderita merasa haus, bila kadar Na >160 mg/L akan timbul gejala lethargi, kejang, koma.

Terapinya :

kelebihan Na = (X-140) x BB x 0,6 mg.
 defisit cairan = (X-140) x BB x 0,6 : 140 = L
 berikan Dextrose 5% in water

Prinsipnya memberikan banyak air walaupun ada retensi air tetapi pada saatnya membatasi intake Na.

H. REGULASI KALIUM (POTASIUM):

Total kalium dalam tubuh lebih kurang 3500 meq dan 98% berada dalam cell, terutama dalam cell otot.

Kadar dalam plasma = 3,5-5,0 meq/ L
 Kalium berfungsi mempertahankan membran potensial elektrik.

Gangguan kadar kalium terutama mempengaruhi cardiovascular, neuromuscular dan gastro intestinal.

Intake : rata-rata pemasukan perhari 2-3 gram, daging sumber utama kalium disamping teh dan buah-buahan.
 Output
terutama via urine sedikit via keringat atau faeces, pada diarrhae atau hilangnya lendir mukosa usus yang
banyak hilangnya kalium meningkat. Bila protein dipecah selama kelaparan, stress pembedahan atau anestesi atau
peradangan maka tiap gram nitrogen yang dipecah akan membebaskan kalium sebesar 3 meq.

Insulin dan adrenalin bisa menurunkan kadar kalium plasma.

Gangguan keseimbangan kalium : bisa berupa hipokalimia atau hiperkalimia.

a.Hipokalimia :

Jarang menimbulkan problem yang serius bila tidak berlangsung lama atau tiba-tiba dalam jumlah yang banyak seperti
pada gastroenteritis atau colitis atau pasien yang diinfus jangka lama tanpa kalium. Penyebab yang lebih sering muntah-
muntah karena stenosis pilorus terutama bila banyak mukus yang hilang seperti pada chronic gastritis yang berat atau
suction gastrointestinal post operatif .

Bisa juga karena pergeseran kalium kedalam cell, oleh karena plasma alkalosis, atau karena koreksi diabetes dengan
insulin, beta adrenergik agonis serta keluarnya kalium via urine pengaruh aldosteron, diuretikum. Bila kalium hilang dari
cell diganti Na atau H ion, secara klinis akan timbul kelemahan, tetani dan aritmia.

Kadar K< 3 meq/L bisa menimbulkan gejala aritmia (VT.SVT, bradikardi.) ECG abnormal(U wave, flat atau inverted T),
paralise parestesi, mual muntah bila K<2 meq bisa fatal.

Terapi dengan KCl :

K> 3meq/L ,oral atau via NGT 20-40 mmol.
 K< 3 meq/L,(4,5 – X ) x BBx 0,3 meq.
 Kecepatan 0,5 meq /kgBB/jam,
pediatrik 0,2-0,3meq/kg/jam.
 Berikan bila produksi urine sudah baik 0,5-1cc/kgBB/jam.

b. Hiperkalimia:

Umumnya tejadi bila ion kalium bergeser dari dalam cell ke cairan interstitial dan plasma darah dalam jumlah yang lebih
besar dari normal

Ini bisa disebabkan oleh:

- infeksi atau trauma yang luas, kematian cell (rhabdomyolisis, hemolisis, tumorlisis, luka bakar)
 -dysfungsi ginjal,
diabetik asidosis/ketosis,hypoaldesteronisme.
 -obat-obatan yang membatasi sekresi kalium didistal tubules seperti
spironolacton,triamteren,
 -NSAID,ACE inhibitor,
 -Succinilcholine –menggeser K+ keluar otot terutama otot yang paralise
berbahaya pada penderita paralyse otot.

Perlu diingat oklusi vena terlalu lama waktu mengambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium bisa
menggambarkan hiperkalimia palsu, juga pada thrombocytosis atau leukositosis dimana pelepasan K+ dari platelet atau
leukosit selama pembekuan darah.

Kadar K plasma > 6 meq/timbul gejala aritmia, heart block, bradikardi, ECG abnormal(PR prolonggation, QRS wide QRS,
Diminish P wave) paralise dan reflex hipoaktif. Bila > 7 meq/L sering berakhir dengan cardiac atau respirasi arrest.

Yang perlu diingat lagi adalah selama post operatif oleh karena trauma bedah/anestesi, premedikasi (morpin,petidin),
emosi terjadi retensi cairan dan natrium serta mobilisasi K dari cell ke ECF serta penurunan urine output ini semua karena
pengaruh ADH dan aldosterone serta pemecahan protein cell yang menaikkan output nitrogen.

Awas overload cairan, natrium maupun kalium selama periode 24-72 post operatif.

Terapi ECG abnormal beri CaCl2 10%, 5-10 cc perlahan-lahan . Untuk mendorong K ke intracell, biasanya satu unit
regular insulin dalam 30cc D10. Na bikarbonat 1 meq/kgBB iv pelan-pelan beta agonist -albuterol inhaled 10-20 mg Lasix
Loop diuretik) utk exkresi K Dialisis kalau K>7 meq/L +oliguri/anuria.

Hiperventilasi membuat alkalosis sehingga kalium masuk cell, Yang paling penting adalah intake kalium distop.

Calcium homeostatis :

Fungsi utama Ca++ adalah bagian utama struktur tulang.
 Mempengaruhi transmisi neuro muscular.
 Mempengaruhi
sekresi kelenjer eksokrin dan endokrin, cardiac action potential, system enzym dan pembekuan darah.

Normal kadar Ca plasma : Total 10 mg% terdiri dari 4,7mg% ionized, 1,3mg% complexed, 4,0 mg% protein bound) atau
1-1,25 mmol/L.

Gangguan keseimbangan Ca berupa hipocalcemia dan hipercalcemia.

Hipocalcemia :

Bila Ca++ < 1 mmol/L bisa muncul gejala aritmia, gagal jantung sampai henti jantung ,hipotensi, ECG (Prolonggasi
QT,ST) tetani, spasmo otot, parestesi dan kejang.

Bisa disebabkan : Transfusi massif, gangguan ginjal, malabsorbsi, sakit liver, pancreatitis, luka bakar dan lain-lain.

Koreksi Calcium : CaCl2 10% 3-4 cc atau Ca glukonas10% 10 cc iv pelan.

Hipercalcemia : Bila kadar Ca++ > 1,3 mmol/L

Bisa timbul gejala berupa :

aritmia, hipertensi, bradikardi, ischeia cordis, digitalis toxicity, gangguan konduksi, depresi mental, kejang koma, mual
muntah konstipasi dan lain-lain.

Bisa disebabkan : thyrotoxicosis, keganasan, hiperparathyroidea, overdosis vitamin A,D.

Terapi : NaCl 0,9% untuk perbaikan volume plasma agar perfusi dan renal blood flow cukup.

Loop diuretik(furesemid): Meninggikan eskresi Calcium.

Magnesium homeostasis:

Fungsi magnesium sebagai element struktural tulang, mempengaruhi neuroexiability system enzim terutama ATP ase.

Konsentrasi Mg dalam plasma 1,6-1,9 mg%(1,4-1,7meq)/L, kira-kira 55% dalam bentuk ionized, 13% complex dan
32% ikatan protein) Gangguan klinis umumnya disebabkan hipo magnesemia atau hipermagnesemia.

Hipomagnesemia

Sering disertai hipocalcemia dan hipokalimia.

Manifestasi klinisnya mirip hipocalcemia adanya gejala neuromuscular seperti:

fasciculasi otot,tremor,spontanous carp pedalspasm general spasticity,tetani nausea,apathi dan lain-lain bisa disebabkan
:

poor intake (total parenteral nutrisi yang lama tanpa Mg.
 excessive renal loss (terapi diuretik,SIADH)
 excessive gastro
intestinal loss (gastro intestinal suction)

miscellaneous (luka bakar,transfusi darah citrat,gentamy cine,diabetic aidosis)
 dysfungsi organ (renal diseases hyper
thyiroid,hyperpara thyroidism,acute pancreatitis).

TERAPI
Hati-hati pemberian Mg pada renal insuficiency dengan evaluasi sering kadar Mg plasma
 karena sebagian
besar ekskresi via renal.

Dosis dan jalur pemberiannya tergantung pada beratnya deficiency dan gejala yang timbul seperti adanya kejang bisa
diberi Mg sampai 2meq /kgBB iv dalam 4 jam.

Sebelum memulai infus bisa diberi 30 cc Mg Sulfat 10% iv pelan-pelan.

Untuk yang sedang bisa diberi 0,25-0,5 meq/kgBB setiap 4 jam via oral atau parenteral. Hati-hati memberikan iv pada
anak kecil bisa hipotensi.

MgSulfat tersedia dalam larutan 10,25 dan 50%.

Setiap g MgSO47H20 setara dengan 8 meq Mg.

Untuk dosis peroral, 12,5-25 meq ,4x sehari tersedia dalam sediaan Mg citrat,Mg Hidroksida,MgChloride dan asetat.

Sangat effektif untuk pre atau eklampsi via parenteral karena mendepressi neuromuscular function dan menurunkan
tekanan darah dengan efek vasodilatasi perifer.

Hipermagnesemia:

Mendepressi neuromuscular transmission baik perifer maupun central.

Manifestasi klinisnya mensupressi fungsi mental mulai dari mengantuk sampai koma depresi fungsi motorik mulai
menurunnya reflex tendon paralise otot,reflex patella menghilang bila kadar Mg > 8 meq/L, dan paralise otot respirasi bila
> 10 meq/L.

Efek vasodilatasi perifer terjadi hipotensi,mual,muntah effek pada gastrointestinal dan QT interval memanjang pada
ECG,soft tissue calcification.

Penyebabnya: Intake obat-obatan mengandung Mg pada renal failure

Adrenal cortical insuficiency,hipothyroidism.

Bisa timbul selama hipotermi.

TERAPI :

Untuk terapi emergensi Ca gluconate 10% 10 cc iv pelan2 oleh karena ion Ca mengantagonis ion Mg.

Bila fungsi renal baik beri diuretik furesemide, Hentikan obat2an yang berisi Mg. Bila tak respons lakukan dialise.

Phosphate Homeostasis :

Hampir 85% total body phosphate dijumpai dalam tulang, merupakan mayor intracellular anion konsentrasi mencapai 140
meq/L air cell.

Umumnya merupakan persenyawaan organik yang berperan dalam metabolisme karbohidrat (KH) dan tak bebas
berdiffusi lewat membran cell.

Konsentrasi plasma bervariasi 12 mg% pada kanak-kanak dan turun serenda pada dewasa karena diperlukan
untuk pertumbuhan skletal.

Fungsi utamanya :

-merupakan element struktural tulang
 -terlibat dalam proses metabolisme KH,lipid,asam nucleat
dan oxidative phosphorylation penentu dalam produksi ATP dan 2,3 DPG,

- memelihara intergritas struktural

Gangguan kronis biasanya dijumpai pada penyakit tulang sedangkan gangguan metabolisme akut mempengaruhi fungsi
otot,syaraf dan sel darah.

Gangguan homeostatis fosfat berupa hipo atau hiperpospatemia.


Hipopospatemia :

Manifestasi klinik chronic hypophosphatemia berupa osteomalacia atau rickets oleh serba penurunan pembentukan
CaP04.

Akut hipofosfatemi bisa terjadi dalam beberapa keadaan menyebabkan sindroma klinik yang berat melibatkan banyak
organ.

Disorientasi,koma,gagal nafas,kejang,gangguan fungsi platelet,turunnya red blood cell 2,3 DPG dan
 Penyebabnya bisa
:
 -poor intake atau poor interstinal absorbtion:
 meningkatnya eskresi fosfat lewat ginjal.
 pergeseran fosfat kedalam cell
(acute alkalosis obat2an insulin,adrenalin,pemberian KH).

TERAPI
 Bila akut kadar P > 1 mg% diberi enteral

P< 1 mg beri potassium fosfat 0,6-0,9/kg/jam iv pelan2 kemudian 1000 mg/hari ditambah kehilangan,

Yang penting menyingkirkan penyebabnya :

- phosphate binding antacid
 - gangguan hidroksilasi vit D–> vit D dosis tinggi.
 - gangguan reabsorbsi renal—>fosfat 1-3
g/har

Hiperphosphatemia :

Pengaruhnya yang buruk adalah akibat efeknya pada Ca++
 yaitu hipocalcaemia dan kalsifikasi extra skletal.

Penyebabnya adalah :

-gagal ginjal -pebebasan fosfat dari cell (acute acidosis) -hiperparathyroidism
 TERAPI

Oleh karena hyperphosphatemia umumnya akibat menurunnya eksresi fosfat via renal biasanya tak dapat dikoreksi maka
terapi ditujukan dengan menurunkan absorbsi fosfat diusus dengan intestinal phosphate binding agent seperti
Alumenium hydoxide gel.

Kesimpulan:
 Ketrampilan mengelola gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit adalah kecakapan yang harus dimiliki
oleh ahli anesthesiologi.

Hal ini penting karena kejadian ini sangat sering dalam dunia pembedahan/anestesi.

Telah dikemukakan dasar-dasar keseimbangan cairan dan elektrolit dimana perubahan kadar Na,K Ca,Mg dan Pospat
yang abnormal dan mendadak dapat mengancam nyawa penderita.

Pada bayi dan anak memerlukan perhatian yang lebih khusus. Sering dilupakan perhitungan penggantian cairan
sehubungan dengan kenaikan suhu tubuh,lingkungan, surgical exposure dan translokasi cairan akibat pembedahan
dan anestesi.

TERAPI CAIRAN DAN NUTRISI


Terapi cairan bukan sekadar memberi cairan tetapi punya sasaran, ukuran dan cara tertentu bergantung pada situasi dan
kondisi penderita. Terapi cairan identik dengan pemberian obat punya efek samping dan komplikasi untuk memperkecil
dampak negatif ini diperlukan landasan kerja yang legeartis. Yaitu pengertian dasar mengenai keseimbangan cairan dan
elektrolit serta asam basa. Hal inilah yang perlu dimiliki oleh personil yang terlibat dalam penanggulangannya.

Sasaran :
 Mengembalikan keseimbangan cairan dan eletrolit serta asam basa yang terganggu.

Pola gangguan :
 Meliputi gangguan keseimbangan:

- volume

- tonisitas

- komposisi

- asam basa

Strategi:
 Mengenal pola gangguan dan mengatasinya dengan cara :


a. Bila ada shock segera atasi shocknya dengan mengembalikan volume plasma secepat mungkin.

b. Volume interstitial diatasi secara bertahap untuk mencegah overload.

c. Pemilihan jenis cairan yang tepat sehingga volume intra vascular segera terkoreksi dan dampak negatif bisa dicegah.

d. Monitoring yang ketat apalagi penderita dengan kelemahan fungsi jantung dan ginjal.

Kenapa volume intravascular(plasma) harus segera dikoreksi?

Untuk mempertahankan perfusi jaringan vital yang cukup dengan harapan dapat dicegah hipoksia dan acidosisi terutama
otak yang sangat rentan terjadi hipoksia oleh karena konsumsi oksigen otak sangat tinggi, (3,3-3,5)cc/ 100 gram
otak/menit. Bila circulasi berhenti 3 menit saja akan terjadi ischemia otak yang irrepairable dan semua langkah yang
diambil akan sia-sia.

Bagaimana caranya?

Langkah pertama apapun penyebab shocknya buat posisi shock dimana kaki ditinggikan minimal 30 derajat tetapi kepala
tetap datar. Bukan posisi Tredelenburg dimana posisi kepala lebih rendah justru akan menyebabkan odema otak dimana
terjadi bendungan vena diotak apalagi penderita dengan trauma cerebral,disamping diaphragma terdorong kearah thorax
sehingga pengembangan paru terhalang. Dengan posisi shock diharapkan terjadi autotransfusi sebanyak satu liter darah
memperbesar aliran balik jantung dus meningkatkan curah jantung dan volume semenit.Tindakan ini perlu dibudayakan
disamping memang sangat menolong, juga untuk penghematan pemakaian darah terutama pada tindakan operasi besar.

Jangan lupa beri oksigen konsentrasi tinggi diharapkan pengangkutan O2 tak hanya via eritrosit tetapi juga lewat yang
terlarut dalam plasma justru dalam suasana acidosis, Hb lebih mudah melepaskan O2 kejaringan. Sebagai kompensasi
terhadap hipoksia. Pasang infus dengan jarum ukuran besar mulai bagian distal extrimitas superor sinistra untuk yang
right handed, sebaiknya jangan diextrimitas inferior kalau tak terpaksa karena mudah terjadi phlebitis/ thrombosis. Bila
gagal coba v, subclavia /v, jugularis externa/interna. Beri cairan yang tepat dan cepat.

Cairan yang mana yang kita pilih?

Cairan berdasarkan osmolaritas/tonisitas ada 3 macam :
 a. Isotonis : 280 - 300 mosm/L—-> untuk dehidrasi
isotonis

b. Hipertonis : > 300 mosm/L—–>untuk dehidrasi hipotonis

c. Hipotonis : < 280 mosm/L—- > untuk dehidrasi hipertonis

Note : Penentuan type dehidrasi berdasarkan tonisitas sangat penting untuk menyesuaikan type cairan yang diberikan,
pemeriksaan Na plasma atau osmolaritas penting untuk diagnose type dehidrasi. Umumnya kasus pembedahan disertai
dehidrasi isotonis.

Dalam aplikasi klinis ada 3 jenis cairan :

a. Cairan Kristaloid : air dengan kandungan elektrolit atau glukose.

b. Cairan Koloid : Larutan yang mengandung zat terlarut dengan BM antara 20.000 – 110.000 Dalton yang dapat
menghasilkan tekanan osmotik koloid.

c. Cairan khusus : Untuk koreksi indikasi khusus.(NaCl 3%.Bicnat, Mannitol)

Bila ingin memperbaiki volume plasma pilih cairan koloid (plasma, albumin 5%, Dextran) tetapi bila ingin memperbesar
volume plasma (expander) dengan menarik cairan interstitial kedalam intra vascular maka beri (koloid
hiperonkotik)(albumin 25%, dextran 70, Haes steri 10%).

Tapi jangan lupa mengisi ruangan interstitial dengan cairan kristaloid). Bila ingin mengisi ruangan interstitial maka
pilihannya adalah kristaloid(Ringers laktat. NaCl09,9%, Ringers solution) Bila ingin mengisi cairan ECF + ICF maka
pilihannya cairan hipotonis seperti D5% Bergantung problema cairan yang dihadapi maka cairan yang diberikan juga
berbeda.

Untuk replacement terapi syok hipovolemik karena diare, luka bakar digunakan cairan yang paling fisiologis yaitu Ringer
Laktat dimana laktat yang ada dalam RL akan dimetabolisir dihepar melalui jalur glukoneogenik membentuk glukose dan
bikarbonat atau melalui jalur tricarboksilik(laktat—> piruvat —> asetil koenzym A dimana bikarbonat sebagai dapar untuk
acidosis metabolik.

Bila disertai kadar Na rendah, alkalois, retensi kalium, apalagi ada trauma kepala maka NaC/0,9% adalah pilihannya.
Tetapi bila jumlah besar >10% kenaikan volume akan terjadi hiper chloremia, acidosis dilutional dan hipernatrimia.

Bila shock hipovolemi karena perdarahan maka berikan darah kalau tak tersedia beri cairan koloid iso onkotik jumlahnya
sama dengan darah yang hilang (plasma, hemacel, gelafundin, Haes steril 6%) bila ingin memperbesar volume dengan
menarik cairan interstitial kedalam intravascular (plasma expander) beri cairan koloid hiperonkotik seperti Haes streril
10%, Dextran 70 atau albumin 25%.

Bila belum ada indikasi transfusi bisa diberikan kristaloid (3cc untuk 1 cc darah). Untuk replacement dehidrasi air murni
seperti evaporasi, hiperventilasi atau pengganti cairan karena puasa berikan DW 2,5 atau 5%. Untuk mencegah
hipoglikemia, mempertahankan protein atau mencegah ketosis bisa diberi larutan D10%. Sementara untuk maintainance
bisa diberi larutan (D5%+NS ) atau (D5% + 1/4 NS) ditambahkan KCl 20 meq/L.

Luka bakar yang luas dimana banyak plasma yang hilang tentu pilihannya plasma.

Tabel komposisi cairan infus yang tersedia

Cairan Glukosa Na Cl K Laktat osmolaritas

g/L meq/L meq/L meq/L meq/L mosm/kg

=============================================

D5W 50 0 0 0 0 252

RL 0 130 109 4 28 273

D5RL 50 130 109 4 28 525

NS 0 154 154 0 0 308

HES 0 154 154 0 0 310

Albumin5% 0 154 154 0 0 310

Albumin 25% 0 154 154 0 0 310

Nutrisi Parenteral:

Maksudnya memberikan makanan melalui intra vena baik parsial mapun total.

Pemberian makanan pada pasien bisa dengan cara :

a. Peroral

b. Personde

c. Parenteral

Pemberian nutrisi parenteral biasanya karena :
 Tak bisa makan dengan sonde karena tractus gastro intestinal tak
berfungsi atau tak bisa digunakan untuk memberikan istirahat usus post reseksi.

Prinsip :
 Bila usus masih berfungsi dengan baik mutlak pemberian nutrisi haruslah peroral kalau tak bisa makan karena
koma, mual muntah maka alternatif adalah perentetal (pipa lambung).

Pengosongan lambung terganggu pada kebanyakan pasien kritis namun fungsi usus halus umumnya baik. Bising usus
dihasilkan oleh pergerakan udara melalui usus duodenum namun deteksi bising usus tergantung pada pengosongan
udara dari lambung ke duodenum yang mencerminkan pengosongan lambung yang terganggu, maka nutrisi diberikan
lewat usus halus.(If the gut works,use it) . Jangan diberikan parenteral nutrisi kalau hemodinamik tak stabil harus
dikoreksi dulu, atau gagal nafas karena akan memberatkan oleh produksi CO2 yang meningkat dari metabolisme
karbohidrat (KH) kecuali pakai ventilator atau pasca bedah sebelum 24 jam (phase Ebb dimana terjadi peningkatan
stress hormon, resistensi terhadap insulin dan hiperglikemia. Sebaiknya sesingkat mungkin karena banyak dampak
negatifnya, perlu pengawasan yang ketat dan biayanya mahal.

Dampak negatif berupa komplikasi antara lain:
 a. Sehubungan kateter – pneumothorax, emboli udara, thrombosis,
phlebitis sepsis
b. Sehubungan metabolisme : hiperglikemia, hipoglikemia, gangguan asam basa.

c. Gangguan fungsi hati

d. Over Feeding : Pemberian > 35 kcal/kg/24 jam bisa menimbulkan hiperglikemia. Meningkatnya produksi CO2,
hipertriglisedemia.

Tujuan/sasaran :

Memberikan kalori yang cukup untuk mencegah pembakaran makanan cadangan seperti lemak, glikogen dan protein,
agar tak terjadi asidosis akibat hasil antara pembakaran lemak & protein. Mobilisasi lemak untuk keperluan energi disebut
lipolisis sedangkan mobilisasi protein disebut proteolisis dan keadaan ini disebut proses katabolisme.

Ini terlihat berupa meningkatnya hilang nitrogen dan menurunnya berat badan. Juga mempertahankan sistem immun
untuk mengatasi infeksi atau mencukupkan kebutuhan nutrient karena via enteral tak adekuat

Apa saja yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan pemberian parenteral nutrisi (NPE) ?
 Beberapa faktor
antara lain underlying illness, umur, access yang ada, psikiologi pasien dan berapa lama direncanakan pemberiannya.

Berapa banyak kalori yang diberikan ?
 Berdasarkan formula estimasi kebutuhan energi (calculating basal energy
expenditure)(BEE) menurut persamaan Harris Benedict. Rata-rata 25 kcal/kgBB/hari.

BEE (Men) = 66 + ( 13,7 x W) + ( 5x H) – (6.8 x A)

BEE (Woman) = 65,5 + ( 9,6 x W ) + ( 1,7 x H ) – ( 4,7 x A )

W = Weight in kg ; H = Height in cm ; A = Age in Years

BEE dalam kilokalori (kcal) yang dibakar selama 24 jam termasuk energi yang digunakan proses vital dalam kondisi
istirahat (metabolisme, circulasi, respirasi dan termoregulasi).
 Kebutuhan energi ini dipengaruhi beberapa faktor (usia,
derajat stress, status nutrisi dan lain-lain).

Koreksi kebutuhan energi dihitung berdasarkan derajat hipermetabolisme dimana BEE x stress factor.(tergantung kondisi
pasien antara lain):

- Pasca bedah tanpa komplikasi : 1.00 - 1.10

- Peritonitis /sepsis : 1.20 - 1,40

- Multiple organ failure syndrome : 1.20 - 1.40

- Luka bakar luas : 1.20 - 2.00

Actual Energi Expenditure (AEE) = BEE x Strees factor

Alternatif lain dari formula ini dapat menggunakan rule of thumb bahwa kebutuhan energi basal atau saat istirahat lebih
kurang 25cal/kgBB/hari, Setiap kenaikan suhu 1 derajat diatas 37C ditambah 12,5%, Pembedahan 25%, Sepsis 75% dan
luka bakar sampai 100% dari BEE. Cara lain untuk luka bakar : 25 kcal/kgBB + 40 kcal / % BSA burned(luas luka bakar).

Untuk pasien obese gunakan ajusted body weight untuk menghitung BEE.
 Adjusted Body Weight =( ABW – IBW) x
0,25 + IBW

ABW = Actual Body Weight ;IBW = Ideal Body Weight.

Quebbeman dengan bedside indirect calorimetry menemukan kebutuhan kalori pasien pasca trauma berat dan pasien
sepsis berkisar antara 1000 kcal/m2 luas tubuh (Resting Energy Expenditure) setara dengan 25 kcal /kgBB, Berdasarkan
penemuan ini rumus Harris Benedict dengan koreksi metabolik tak perlu diikuti lagi.

Pasien malnutrisi pemberian nutrisi yang hipokalorik lebih ditolerir kira-kira 20-25 kcal/kgBB untuk mencegah terjadinya
refeeding syndrome dimana terjadi pergeseran elektrolit dan cairan.

Karena dimulainya dukungan nutrisi(refeeding), untuk ini perlu diperiksa dan dikoreksi elektrolit setiap hari.setelah
elektrolit normal baru pikirkan bahan nutrisi yang lain.

Pemberian glukose melebihi kebutuhan tak ada gunanya malah merugikan karena produksi CO2 meningkat karena
dalam fase stress umumnya 24 jam pasca bedah /trauma terjadi penurunan metabolisme glukose hingga tinggal 4 mg/kg
BB/menit atau 25-30 kca/kg/hari.

Setelah fase stress dapat diberikan glukosa lebih banyak 25-30 kcal/kgBB/hari atau 5-6 g per kg BB/hari. Coba kita lihat
tabel pertukaran gas selama metabolism dibawah ini.
 ————————————————————————
 Konsumsi
O2 Produksi CO2 Resp.Quotient

per gram per kcal per gram per kcal (RQ)
 KH 0,81 0,20 0,81 0,20 1,0

Fat 1.96 0,22 1,39 0,15 0,7

Protein 0,94 0,24 0,75 0,19 0,8
 ————————————————————————

Nutrisi Parenteral (NPE) dapat menyebabkan hyperglikemia dan ketidak seimbangan elektrolit maka sebaiknya kadar
gula darah diperiksa sebelum mulai NPE dan tiap hari sesudahnya sampai tercapai kadar yang stabil < 220 mg%, kadar
gula darah > 220 mg % dapat menaikan 20% timbulnya infeksi post operatif.Bila tetap hiperglikemia berat lakukan
regulasi cepat yaitu 4 unit regulr insulin(RI) intravena per jam sampai kadar gula darah < 250 mg% ( 4 unit RI tiap jam
dapat menurun kan kadar gula darah 50-75 mg%).

Cairan KH paling aman untuk penderita DM adalah Maltose 10% dosis maksimal satu liter/hari untuk BB<60 kg dan 1,5
liter per hari untuk BB>60 kg. Bila terjadi hipoglikemia <30 mg% beri 3 flacon D40%, antara 30-60 mg% beri 2 flacon dan
bila antara 60-100 mg% beri 1 flacon iv, setiap flacon 25cc D40% dapat menaikkan KGD atau kadar gula darah kira-kira
25-50 mg%, KGD yang diinginkan adalah > = 120 mg%.

Cara lain beri infus 25- 100 cc glukose 50% lanjutkan infus glukose 10% sampai KGD normal.Agar toleransi terhadap
glukose meningkat perlu kesempatan adaptasi 1-2 hari sebelum dosis glukosa ditingkatkan dengan demikian mayoritas
pasien dapat menerima beban glukosa sampai 20 gram perjam tanpa perlu tambahan insulin eksogen.(START SLOW,
GO SLOW) Sebaliknya hipoglikemia juga bisa terjadi jika pemberhentian pemberian glukosa dosis tinggi terhenti
mendadak(rebound hipoglikemia) sebaiknya mengakhiri NPE tak boleh mendadak infus diganti dulu dengan 500 cc D5%
selama 6 jam baru dihentikan (END SLOW).

Dianjurkan cairan glukosa diberikan tak lebih dari 0,4-0,9 g/jam atau tak > 5mg/kg/menit untuk mencegah hiperglikemia
dan lipogenesis. Karena melampaui kecepatan tubuh memetabolisir glukosa bahkan pasien lebih tua, DM, sepsis, mayor
trauma, meningkat kebutuhan insulin untuk mengatur KGD. Perlu diingat bahwa hyperglikemia terutama yang mendapat
insulin eksogen cenderung mendorong gula dan nutrient lain dan elektrolit(Mg, K& Posfat) kedalam cell sehingga terjadi
hipokalimia bila dibawah 2,5 meq/L dan hipoposfatemia < 1,0 meq/L haruslah NPE di stop dulu sampai dinormalisir.

Dilaporkan bila glukosa sebagai sumber energi tunggal (D50-70%) sering timbul hyperglikemia,
hipoglikemia,hiperosmolar dehidrasi, essensial fatty acid deficiency, fatty infiltration of the liver, meningkatnya produksi
CO2 dan meningkatnya ekskresi cathecolamine. Sehingga glukose sebagai sumber energi tunggal kontra indikasi pada
keadaan deffisiensi fatty acid, overhidrasi, diabetes sulit dikontrol, dan hiperkapnia. Bila nutrient diberikan terpisah maka
larutan D20-30% diberikan lewat vena central atau D10% lewat vena perifer.

Dosis asam amino dianjurkan 1,5-2 g/kgBB/hari diberikan setelah kebutuhan kalori dicukupi dengan karbohidrat (KH).
Untuk orang Indonesia dibatasi 1g/kgBB/hari,untuk NPE protein tak boleh lebih dari 1 gram /kgBB/hari. Dengan catatan
setiap pemberian 1 gram nitrogen harus diberikan minimal 200 kcal (perbandingan nitrogen : KH = 1: 200 ) Untuk
mencegah pemakaian protein sebagai sumber energi, ( glukoneogenesis ), perbandingan ini disebut C/N Ratio dalam
keadaan normal C/N Ratio adalah 150 – 250, dalam kondisi stress diperlukan nitrogen lebih banyak C/N Ratio 80-125
dengan catatan 1 gram nitrogen setara dengan 6,25 g asam amino atau protein.

Protein 50 gram per hari memerlukan 1200 kcal atau 300 gram glukose. Ingat walaupun 1 gram asam amino dapat
memberi 4 kalori tetapi kalori dari asam amino tak boleh diperhitungkan untuk memenuhi kebutuhan kalori dimana asam
amino diharapkan untuk regenerasi cell, sintese protein dan enzim vital.Sekali lagi jangan memberi asam amino bila
kebutuhan kalori belum dicukupi.

Dalam memilih komposisi asam amino untuk formula perenteral harus diperhatikan:

Penderita tanpa kelainan ginjal dan hepar berikan yang berisi asam amino essensial dan non essensial yang seimbang.
Penderita dengan kelainan fungsi hepar berikan banyak asam amino rantai bercabang (isoleucine, leucine, valine)
dimana terjadi penurunan asam amino rantai bercabang (BCAA) yang berperan dalam keseimbangan nitrogen,
konsentrasi protein serum tetapi dosis rendah rendah methionine, phenilalanine, tryptophane, sebab bisa berfungsi
sebagai neurotransmitter palsu dan menyebabkan encephalopathi. BCAA merupakan sumber glutamin sangat dianjurkan
pada kasus ensefalopati hepatik dan merupakan asam amino yang sangat penting untuk mendukung metabolik pada
pasien sepsis dan kritis lainnya. Karena protein dalam bentuk ini akan meningkatkan input protein total. Glutamin banyak
terdapat dalam plasma dan intracellular merupakan pembawa nitrogen antar organ penting khususnya antar organ
pembentuk(otot,hepar) dengan tempat penggunaannya (usus,limposit,paru) bila terjadi deplesi glutamin(sepsis) akan
terjadi atropi usus, otot maupun sel endothel paru, gangguan barrier mukosa usus, translokasi bakteri akhirnya
MOSF(Multiple organ system dysfunction).
Dalam keadaan normal merupakan asam amino non essensial tetapi dalam kondisi kritis (stress metabolic) menjadi
essensial disebut conditionally amino acid.Glutamin dapat meningkatkan respon immun melalui sintese purin, pirimidin
dan glutation.Termasuk dalam daftar immunonutrient dalam konsep immunonutrisi dengan memodulasi sistem immun
baik stimulasi maupun supressi. Biasanya diberikan 0,5g/kgBB/hari. Penderita dengan kelainan ginjal berikan asam
amino essensial tanpa mengandung elekrolit terutama ion kalium.

Anjuran pemberian nitrogen pada gagal ginjal akut :

Bila pemberian asam amino> 0,4-0,5g/hari beri asam amino essensial dan non essensial. Pasien non dialisis bila
pemberian asam amino 0,4-0,5g/kgBB//hari beri campuran asam amino atau dalam bentuk protein 0,6-1,0g/kgBB/hari.
Pada dialisis intermittent berikan protein 1,1-1,2 g/kgBB/hari. Pada continous renal replacement therapy (CRRT) beri
1,5g/kgBB/hari.

Kebutuhan energi tetap terpenuhi (30-45)kcal/kgBB/hari dengan ratio KH:Fat =70:30. Larutan asam amino standard untuk
parenteral nutrisi tersedia dalam konsentrasi 5-15%. Biasanya terdiri dari 40-50% asam amino essensial dan 50-60%
non essensial memberikan 4kcal/gram. Lemak sangat baik sebagai sumber kalori karena produksi CO2 sedikit tetapi
tubuh tak bisa hidup dengan membakar lemak saja haruslah dikombinasi dengan glukose atau KH lain,dimana lemak tak
punya sparing effect dengan protein seperti KH. Kalori dari lemak dianjurkan tak lebih dari 50% kalori total, 50% sisanya
harus berasal dari glukosa umpama kebutuhan kalori total 1200 kcal maka 150 gram glukose = 600 kcal maka sisanya
700 gram lemak ( 1 g lemak = 9 kalori).

Untuk NPE pasien kritis sebaiknya kecepatan infus tak> 0.11 g/kgBB/jam <20% total kalori. Sumber kalori dari KH (
glukose,dextrose,sorbitol atau xylitol) dari lemak(intralipid 10&20%). Disamping pemberian nutrisi jangan lupa pemberian
vitamin dan mengoreksi asam basa dan elekrolit. Semua yang diberikan harus diperhitungkan juga dari segi ekonomi dan
side effect. Kebutuhan biologik normal yang didapat dari pengambilan makanan peroral untuk pembentukan kalori kira-
kira 25 -30 kcal/kgBB /hari terdiri dari : 60% KH, 15% protein & 25% fat,dalam kondisi normal dan 45% KH, 25% protein &
30% fat dalam kondisi hiperkatabolik.

Untuk pemberian nutrisi perinfus haruslah didasarkan pada perhitungan :
 1 gram KH memberikan 4 kalori

1 gram protein 4 kalori

1 gram lemak 9 kalori

1 gram alkohol 7 kalori.

Contoh :

Dextrose 5% artinya dalam 100 cc larutan ada 5 gram dextrose, dalam satu flabot 500cc =5×5 g = 25g, jumlah kalori yang
diberikan 1 flabot D5% adalah 25×4 kalori = 100 kalori .Untuk memenuhi kebutuhan 1000 kalori berarti harus diberikan 10
flabot = 5000 cc akibatnya penderita bisa kebanjiran.

Jangan salah tingkah infus emulsi lemak ditakuti terjadi emboli lemak, thrombo phlebitis, infus D10% bikin phlebitis dan
nyeri sehingga diberikan D5% kombinasi satu botol asam amino; atau memberi larutan asam amino untuk mengganti
protein yang hilang karena perdarahan,sekali lagi jangan diikuti aliran sesat ini.

Sebaiknya pemberian nutrisi dimulai dengan pemberian KH dulu bila ternyata penderita terpaksa menggunakan
parenteral nutrisi lebih satu minggu baru diatur pemberian asam amino karena harganya cukup mahal. Bisa diberikan
dextrose 20% sebanyak 1-2 liter, ditambah 1 unit regular insuline untuk tiap 5 g glukose untuk mencegah hiperglikemia.
Bila ada uang bisa diberi cairan yang mengandung xylitol, glukose dan fruktose yang tak butuh insulin. Pemberian nutrisi
pasca bedah pada hari ke 7 kalau gizi sebelumnya normal.

Tetapi bila gizi buruk, gagal ginjal atau liver diberikan setelah 24 jam, jangan diberikan < 24 jam karena masih dalam
phase ebb. Kemungkinan infeksi lebih tinggi 20% bila post operasi hari pertama kadar gula darah diatas 220 mg%, oleh
karena itu kadar gula darah harus dimonitor dan dikoreksi.

Distribusi KH haruslah merata pada setiap tetes infus.

Pengelolaan pemberian nutrisi post operatif :
 NPE awal dimulai hari I dengan dosis medium, kalori dan protein dinaikkan
secara bertahap dan mencapai dosis penuh pada hari ke 3, Bila pada hari 4-5 intake oral belum diberikan maka dosis
sama dengan hari ke 3.
 H0 hanya diberikan glukose dan elektrolit isotonis

H1 15-20 kcal/kgBB/hari, dan protein 625-875 mgkgBB/hari.

H2 20-25 kcal/kgBB/hari, dan protein 800-1000 mg/kgBB/hari.

H3 25-35 kcal/kgBB/hari, dan protein 940-1250 mg/kgBB/hari.


Beri larutan dextrose selama hari pertama sampai hari kelima:

Hari 1 : RD5% 1000 cc + D5% 1500 cc (500 kcal)

Hari 2-3 : RD5% 1000 cc + D10% 1500 cc ( 800 kcal)
 Hari 4 : RD5% 1000 cc + D20% 1000 cc (1000kcal)

Atau larutan dextrose dan asam amino melalui vena perifer

Hari 1 : RD5% 1000 cc + D5% 1500 cc ( 500 kcal).

Hari 2-3 : D10% 1500 cc + KH 1000 cc + AA 2,5% ( 900 kcal + 25 g AA )

Hari 4 : D20% 1000 cc + KH 1000 cc + AA 2,5% ( 1100 kcal+ 25 g AA ).
 Atau dextrose dan asam amino lewat
vena central:
 Hari 1 : RD5% 1000 cc + D5% 1500 cc (500 kcal)

Hari 2-3 : D10% 1500 cc + KH 10% 1000 cc + AA2,5% (1000 kcal + 50 gAA)
 Hari 4 : D20% 1000 cc + KH 10% 1000
cc + AA2,5% (1200 kcal + 50 gAA)

Note :
 Vena perifer hanya mentolerir osmolaritas cairan hingga 900 mosm, larutan dengan osmolaritas yang lebih tinggi
dapat diberi vena perifer dengan cara diencerkan dengan infus type Y( infus berisi larutan hipotonis dan cabang yang lain
berisi lautan hipertonis dengan kecepatan yang sama atau gabung keduanya dalam botol infus jumbo

Monitoring yang disarankan untuk TPN (total parenteral nutrition):
 Parameter Frekuensi

========= ==========

KGD tiap 6 jam

Vital sign tiap 8 jam

elektrolit darah tiap hari

BUN,creatinine tiap hari

Calcium &posfor darah tiap hari

Mg,enzim hepatik,bilirubin tiap 2 hari

Triglicerid,cholesterol,albumin tiap minggu

Urinary urea nitrogen 24 jam tiap minggu

Nutrient intake tiap hari
 Jumlah cairan yang masuk/hilang tiap hari

Berat Badan tiap hari

=================================

Kesimpulan:

Telah diuraikan sasaran, strategi dan dasar-dasar pemilihan cairan dalam mengatasi pola gangguan cairan. Telah
dikemukakan pula prinsip,tujuan,cara pemberian parenteral nutrisi, hal-hal yang perlu dipertimbangkan sampai
pengawasannya.

PENGGUNAAN ALAT BANTU NAFAS


Peningkatan penggunaan alat bantu nafas (ventilator dan sejenisnya) pada akhir-akhir ini baik diunit perawatan intensif
maupun kamar bedah menuntut banyak kemampuan khusus baik dokter maupun paramedis dalam tehnik pemakaian
ventilator.

Pemakaian satu jenis ventilator yang dikuasai dengan baik lebih bermanfaat dari segala jenis ventilator yang hanya
diketahui serba sedikit. Penggunaan ventilator yang sederhana lebih di prioritaskan daripada ventilator yang dilengkapi
banyak tombol yang rumit serta membingungkan bagi yang kurang pengalaman.Yang paling penting bagi paramedis
minimal mengetahui dasar penggunaan ventilator dan apa yang harus dimonitor agar sasaran yang diinginkan bisa
dicapai.
Sama halnya dengan obat ,ventilator juga punya ukuran dan aturan pemberian dan indikasi serta efek samping yang
perlu dipertimbangkan sebelum menggunakannya.

Definisi :
 Ventilator/respirator adalah alat memberikan nafas buatan secara mekanik. Nafas yang dibuat orang lain
disebut nafas buatan sedangkan nafas dengan kemauan pasien sendiri disebut pernafasan spontan.

Nafas buatan bisa dilakukan dalam beberapa cara :

A. Manual methode :

Holger Nielsen

Penderita tengkurap dilakukan penekanan pada punggungnya dan penarikan lengan sebanyak 12x permenit.
 Schafer :

Menekan punggung dan mengangkat pinggul penderita berganti-ganti 12 x per menit.
 Silvester :
 Penderita telentang
lengan diangkat vertikal diatas kepala kemudian diletakkan diatas dada lalu ditekan 12 x per menit.

B. Meniup udara expirasi:
 - mulut kemulut

- mulut kehidung

Cara B lebih efektif mudah paling sering digunakan dari pada cara A.

C.Memberikan tekanan negatif diluar tubuh penderita sehingga dada,mengembang terjadi inspirasi kemudian tekanan
dijadikan positif terjadi expirasi.

Contoh-Cabinet respirator
 Cuirass respirator.

D. Memberikan tekanan positif kejalan nafas:
 Contoh – Ventilator RCF,drager
 Ini yang paling banyak digunakan
belakangan ini.

Note: Yang dimaksud tekanan positif ialah tekanan diatas satu atsmosfer dalam hal ini tekanan satu atsmosfer dianggap
sama dengan nol,sedangkan tekanan negatif sama dengan tekanan dibawah satu atsmosfer.

Prinsip dalam melakukan nafas buatan:

Time saving is live saving (waktu adalah nyawa). Jangan buang waktu,lakukan apa yang mudah bagi anda jangan tunggu
fasilitas ini dan itu,tenggang waktu hanya tiga menit bagi penderita yang parunya sebelumnya normal. Lewat tiga menit
apnoe cadangan oksigen diparu habis terkuras, dan hipoksia otak diambang pintu. Bila fasilitas air viva memungkinkan
segera gunakan,tak perlu tergesa gesa mengintubasi apalagi belum trampil melakukannya bisa berbahaya. Ingat
rangsangan intubasi dalam kondisi hipoksia dan hiperkarbia akan merangsang vagal reflex menyebabkan spamo
laryng,bradikardi sampai cardiac arrest.

Pemakaian airviva membutuhkan pelatihan khusus agar udara yang diperas benar-benar masuk keparu bukan
keperut,sungkup muka yang sesuai dan posisi kepala yang tepat (Sniffing position) merupakan syarat utama keberhasilan
airviva.

Bila terjadi henti nafas (apnoe) langsung lakukan nafas buatan 3-4x berturut-turut baru periksa deyut jantung (nadi
carotis),bila negatif lakukan pijat jantung luar. Satu hal yang paling penting jalan nafas harus bebas hambatan baik oleh
sebab lidah yang jatuh kebelakang maupun lendir atau benda asing.

Dalam peristiwa kegawatan selalu ingat 6B(breath,bleed,brain,bladder,bone) dimana gawat nafas menempati urutan
pertama oleh sebab itu pemberian nafas buatan didahulukan daripada yang lain.

Bila ada obstruksi jalan nafas bagian atas lakukan crycothyreodectomi,yaitu membuat irisan pada membran crycothyroid
yang anatomis mudah dikenal,superficial & sedikit pembuluh darah. Trachestomi hanya dilakukan setelah masa kritis
berlalu. Bila ada sumbatan pada trachea atau laryng coba lakukan pukulan dipunggung atau back blow.

Mekanisme nafas spontan:

Pada nafas spontan inspirasi dimulai dari turunnya diaphragma kearah abdomen sehingga rongga thorak semakin besar
dan tekanannya semakin negatif (-10cmH2O) maka udara luar akan masuk kedalam alveoli. Pada waktu expirasi
diaphragma kembali keposisi semula tekanan negatif dalam thorak menurun (-5 cm H2O) dan udara keluar ke atsmosfer.

Baik pada waktu inspirasi maupun expirasi tekanan dalam thorak tetap negatif maka dalam keadaan normal pada akhir
expirasi alveoli tetap mengembang dimana tekanan dalam alveoli (0 cmH2O) tetap lebih besar dari tekanan dalam thorak
(-5 cmH2O). Pada akhir inspirasi maupun expirasi tekanan dalam alveoli tetap sama dengan udara luar (0 ccmH2O).

Adanya tekanan negatif ini banyak membantu menyedot darah vena kembali kejantung tetapi sebaliknya tekanan
positif(ventilator) menghambat sehingga venous return dan akhirnya tekanan darah menurun.

Type nafas buatan yang diberikan ventilator :
 a.Nafas terkendali (Controlled respiration)

Pernafasan pasien diambil alih sepenuhnya oleh ventilator dengan perkataan lain pasien tak bernafas sama sekali
(apnoe). Ventilator memberikan udara inspirasi sementara expirasi berjalan pasif.

b.Nafas dibantu sebagian(Assisted ventilation/respiration):

Sebagian inspirasi pasien dibantu ventilator untuk mencukupinya. Dalam hal ini pasien masih bernafas spontan hanya tak
kuat lalu dibantuoleh ventilator dengan syarat usaha inspirasi pasien masih bisa mentriger(stimuler) ventilator
memberikan sejumlah udara pernafasan, hal ini hanya mungkin kalau pernafasan pasien tak terlalu lemah atau cepat.

c. Nafas wajib (Intermittent mandatory ventilation)

Ventilator memberikan ventilasi dengan frekuensi tertentu tetapi tak setiap kali bernafas seperti assisted ventilation.
Dalam hal ini ventilasi yang diberikan ventilator bisa berdasarkan pacuan atau trigger dari usaha inspirasi pasien seperti
assisted ventilation disebut synchronous intermittent mandatory ventilation)(SIMV) tetapi bisa langsung tanpa trigger
(controlled ventilation) disebut intermittent mandatory ventilation ( IMV).

Penggunaan SIMV sangat populer karena tak akan menimbulkan tabrakan antara pernafasan pasien dan ventilator
sehingga terjadinya peregangan alveoli minimal,atau tersedotnya kembali udara expirasi bisa dicegah.

Pola nafas bantu :

a.Memberikan tekanan positif selama inspirasi sedangkan expirasi pasif. Dalam hal ini tekanan pada akhir inspirasi positif
sementara akhir expirasi tetap nol disebut dengan IPPV(Intermittent Positive Pressure Ventilation) atau ZEEV (Zero End
Expiratory Pressure).

b.Bila pada akhir expirasi juga diberi tekanan positif disebut PEEP(Positive End Expiratory Pressure) atau
CPPV(Continous Positive Pressure Ventilation) sebab baik pada inspirasi maupun expirasi tetap diberikan tekanan positif.

c. Bila pada akhir expirasi diberi tekanan negatif disebut NEEP (Negative End Expiratory Pressure).

Cara kerja ventilator :

a.Pressure cycled :

Tekanan inspirasi yang diberikan diatur ventilator, bila tekanan tersebut sudah dicapai maka inspirasi berakhir tak soal
apakah udara yang masuk keparu cukup atau tidak. Bila ada gangguan di jalan nafas apa itu berupa lendir, odem, atau
elastisitas paru berkurang maka tekanan yang diatur cepat dicapai dan inspirasi cepat selesai akibatnya terjadi
hipoventilasi.

b.Volume cycled :

Volume udara yang diberikan diatur pada ventilator sesuai besarnya dengan tidal volume pasien. Tidal volume adalah
jumlah udara yang keluar masuk paru pasien pada pernafasan spontan dalam satu kali bernafas.Bila volume yang diatur
tercapai maka inspirasi berakhir. Walaupun ada tahanan meningkat dijalan nafas atau elastisitas paru menurun jumlah
udara yang masuk ke paru tetap sesuai yang diatur hanya tekanan bisa sampai demikian tingginya mengakibatkan
pneumothorak tetapi ini bisa di cegah bila dilengkapi denganvalv(klep) yang mengeluarkan kelebihan tekanan (pressure
relieve valve).

c. Time cycled :

Lamanya inspirasi dan expirasi diatur pada ventilator bila waktu yang diatur tercapai maka berakhirlah inspirasi atau
expirasi. Bila ada hambatan dijalan nafas tentu diperlukan waktu yang lebih lama agar udara cukup masuk keparu
sehingga bila waktu sudah berakhir tentu udara belum cukup masuk keparu, atau pada saat expirasi berakhir belum
seluruh udara yang diharapkan akan keluar dari paru.

Ventilator yang ideal adalah volume cycled time preset, dimana volume dan waktu diatur pada ventilator sehingga tepat
waktu inspirasi berakhir, volume udara yang masuk ke paru sesuai dengan yang telah diatur, dengan dilengkapi system
volume dan pressure limiter (safety valv) maka setiap kenaikan volume dan tekanan dijalan nafas akan keluar dari klep
pengaman. Apalagi dilengkapi system alarm bisa diketahui gangguan ventilator sedini mungkin, seperti terlepasnya
konektor, kebocoran circuit, kehabisan oksigen dan lain-lain. Apalagi kalau dilengkapi system baterai (AC-DC) sehingga
bila listrik padam bisa diambil alih accu selama satu jam.

Indikasi pemakaian ventilator :

1. Kegagalan nafas :

a. tak bernafas (apnoe)

b. tak kuat bernafas

2. Tak boleh bernafas

Ad.1. Bisa disebabkan faktor dalam paru : penyakit paru

sumbatan jalan nafas penekanan jalan nafas.

diluar paru : fraktur iga otot dada dan abdomen lemah

centrum pernafasan rusak

Ad 2. Untuk memberi istirahat paru pasien atau menjamin olsigenasi dan ventilasi yang cukup seperti post thorakotomi
atau craniotomi.

Pernafasan disebut gagal bila tak bisa menyedot oksigen atau mengeluarkan CO2 secara sempurna. Parameternya
turunnya tekanan partiel O2 dalam darah arteri (PaO2) atau meningkatnya tekanan partiel CO2 dalam darah arteri
(PaCO2) atau dengan kata lain adanya hipoksia atau hiperkapnia. Dalam keadaan normal PaO2 80-90 mmHg dan
PaCO2 35-45. Menurut Saphiro 1975 bila PaCO2 > 50 mmHg atau PaO2 < 50 mmHg merupakan parameter adanya
kegagalan pernafasan mendadak (akut), dikenal sebagai Rule of Fifty (aturan 50).

Tetapi pemasangan ventilator lebih dini lebih baik untuk mencegah berkembangnya gagal nafas.

Secara klinis bisa dikenal :

- Frekuensi nafas < 10x atau > 35x per menit.

- Pernafasan cuping hidung ditambah cyanosis.

- Aktifnya otot-otot nafas bantu

- Retraksi supra sternal atau intercostalis.

- Tachycardi atau bradicardi.

Cara penggunaan ventilator :

Meliputi:

a. persiapan

b. pengawasan

c. penyapihan

a. Persiapan :
 Pasien bebaskan jalan nafas dari obstruksi pasang pipa tracheal yang sesuai (intubasi) untuk ini perlu
perlengkapan :

*pipa trachea (endotracheal tube) segala ukuran

*laryngoscope segala ukuran

*pipa oropharyng (Guedel airway) segala ukuran

*Magil forceps membantu memasukkan pipa tracheal ke glottis.

*Syring 10 cc untuk memompa cuff endotracheal tube.


*Jelly (pelumas ) mengurangi trauma pipa trachea.

*Suction aparat untuk menghisap lendir dan benda asing.

*Bila pemakaian ventilator diperkirakan jangka panjang > 7 hari, tracheostomi.

-Ventilator
 *Periksa oksigen apakah cukup.

*Test ventilator apakah bisa bekerja.

*Test sistem monitoring bila ada.

*Bila ada paru buatan ditest apakah volume yang dipompakan cukup.

*Tentukan volume tidal = berat badan x 10 cc.

*Frekuensi pernafasan diantara 12 -20x per menit.

*Konsentrasi oksigen (FiO2) antara 40-100% tergantung kebutuhan.

*Bila ada inspiratory flow atur antara 30-40 L/menit.
 *Bila pasien apnoe atau dibikin apnoe gunakan controlled
ventilation.

*Bila masih bernafas spontan tapi tak adekuat tapi masih mampu mentriger ventilator gunakan assisted ventilation.

*Kalau frekuensi pernafasan terlalu cepat sehingga tak sempat mentriger ventilator gunakan intermittent mandatory
ventilation (IMV), bila ada SIMV lebih baik, tetapi sebagian menganjurkan lumpuhkan total pernafasan pakai control
ventilasi. Biasanya SIMV digunakan untuk menyapih ventilator dari pasien agar tak menimbulkan ketergantungan pasien
pada ventilator. Bila keadaan paru masih baik bisa digunakan pola IPPV tetapi kalau terjadi atelectase atau
meningkatnya tahanan jalan nafas sebaiknya dicoba PEEP agar dengan oksigen konsentrasi rendah cukup memberikan
PaO2 normal yang tak mungkin dicapai dengan IPPV, Sekaligus keracunan oksigen bisa diminimalisir.

Biasanya PEEP diatur mulai dari 5 cmH2O dan tak lebih dari 15 cmH2O agar tak terganggu circulasi. Tetapi pada
penderita trauma kepala akan menambah bendungan di otak memperberat odem otak. Untuk membantu venous
return bisa digunakan NEEP diatur antara -1 sampai -5 cmH2O, tekanan negatif > -5 cmH2O bisa menyebabkan
atelectase atau airtrapping (terperangkapnya udara dibelakang penyempitan saluran nafas).

Pada beberapa ventilator dilengkapi sarana Sigh yaitu ventilasi yang lebih panjang dari normal (80-100)% diatas tidal
volume normal, biasanya diberikan satu kali setiap 100x pernafasan untuk mengembangkan alveoli yang akan collaps
sehingga bisa dicegah microatelectase.

Humidifier : Harus sudah dipersiapkan sebelum ventilator dipasang agar udara yang diberikan benar-benar fisiologis
dimana suhu 37-40 derajat C, Kelembaban nisbi 100%.

Dalam keadaan normal hidung berfungsi sebagai humidifier tetapi setelah intubasi fungsinya hilang oleh sebab itu
humidifier diperlukan untuk mencegah lendir tak mengental yang bisa menyumbat jalan nafas terutama pada bayi.

Pengawasan (monitoring) :

Sasaran penggunaan ventilator adalah tercapainya oksigenasi yang cukup dimana PaO2 antara 100-150 mmHg, kecuali
pada RDS(Respiratory Distress Syndrome) kita cukupkan sekitar 80mmHg, dan ventilasi cukup sekitar 35-40 mmHg.
Untuk itu 30 menit post pasang ventilator diperiksa analisa gas darah(AGD).

Perhatikan kembang kempis dada cukup dan simetris.;Bersihkan jalan nafas secara intensif agar jalan nafas lancar dan
tercegah dari infeksi. Hati-hati penghisapan lendir yang keliru malah terjadi penyedotan oksigen cadangan diparu,
sampai terjadi collaps alveoli.

Prinsip penggunaan pengisap lendir :
 - pengisap harus steril

- harus ditekuk waktu memasukkan kejalan nafas

- sebelum pengisapan diberi oksigen 100%.

- pengisap ditarik secara spiral tak boleh lebih dari 15 detik.

- setelah pengisapan diberi ventilasi oksigen 100% lagi.
 Awasi kesadaran, tekanan darah, nadi (denyut jantung) serta
ada tidaknya pernafasan spontan dan udara expirasi ditera dengan spirometer apakah sesuai dengan yang diinginkan.

Penyapihan (weaning):
 Cara konvensional dengan melepaskan ventilator dari pasien bila diduga telah mampu bernafas
spontan selama 5 menit, perhatikan frekuensi nafas, cyanosis, nadi dan tekanan darah kemudian hubungkan kembali
selama 55 menit.

Bila jam pertama tak ada problem coba lepaskan lagi 10 menit, Ini dilakukan pada periode jam berikutnya dengan periode
lepas 2x sebelumnya dengan syarat tanda vital baik.

Prinsipnya waktu lepas ditambah sedangkan hubungan dengan ventilator dikurangi. Bila selama 4-6 jam telah mampu
bernafas spontan tanpa kelelahan ventilator tak diperlukan lagi.

Bila ada sarana SIMV cara ini lebih baik hanya dengan mengurangi frekuensi 2x per menit secara bertahap tanpa
melepas ventilator dapat dicegah ketergantungan pasien pada ventillator sementara tiap tahap dimonitor tanda-tanda vital
dan AGD. Setelah 1 jam bila normal turunkan lagi.

Kesimpulan :

Telah dikemukakan prinsip umum, tujuan, indilaksi, tehnik pemakaian ventilator secara sederhana sebagai pedoman
penatalaksanaan pasien dengan ventilator. Masalah perawatan dan hal lain dibahas dalam mata kuliah yang lain. Untuk
kelengkapan pengetahuan agar dibaca buku lain yang berkenaan ventilator

PENGELOLAAN GAGAL NAFAS


Walaupun kita ketahui bahwa ahli anestesi yang kompeten menangani kasus-kasus kegagalan pernafasan namun satu
team dokter ahli termasuk seorang internist dan neurologist bersama anesthesiologist akan memberikan pengelolaan
yang lebih baik oleh karena tiap kasus tak hanya respiratory support saja yang dibutuhkan tetapi penyebabnya juga harus
diobati.(8)

Penanganan pasien dengan kegagalan pernafasan yang ringan atau dengan gangguan temporer seperti pada periode
post operatif umumnya tak begitu rumit masalahnya. Masalah khusus akan timbul pada kasus-kasus dengan kegagalan
pernafasan yang memerlukan ventilasi support dalam beberapa hari atau minggu.(8)

Perlu diingat tak semua kasus dengan kegagalan pernafasan memerlukan ventilasi support, kadang-kadang dengan
membersihkan atau membebaskan jalan nafas dan pemberian oksigen secara insuflasi sudah cukup mengatasi kesulitan
yang sebenarnya bisa dilakukan personil non ICU(Intensive Care Unit). Kebiasaan yang buruk dalam hal pengiriman
pasien ke ICU tak dilengkapi oksigen dan airviva malah posisi kepala yang tak menguntungkan bagi bebasnya jalan
nafas. Hal seperti ini besar andilnya dalam meningkatkan kematian di ICU.

POLA DASAR :

Pola dasar kebijakan yang harus menjadi panutan setiap personil medis dalam menghadapi/mengevaluasi penderita
gawat darurat adalah menurut skala perioritas 3B(Breath,Bleed and Brain)(Pernafasan, Hemodinamik dan Kesadaran).

Hal ini bisa dilihat menurut bagan dibawah :

Penderita

/ \

sadar tak sadar

| |

| buka jalan nafas

|——- nafas-<————————————> tak nafas

| |

| !

—————————- beri nafas

| | raba nadi carotid
 !


| | |

normal tak normal ————————
 (+) (-


)
 ! ! !

| ! !
 ! ! !

terapi O2

nafas bantu beri nafas terus CPR
 1. evaluasi hemodinamik

2. evaluasi penyebab
 Mengatasi gawat darurat dengan pola dasar diatas merupakan langkah pertama yang perlu
diamankan.

Satu hal yang perlu diingat motto ; ventilate first intubate latter.(8)

Maksudnya pada pasien dengan gagal nafas segera beri ventilasi dengan cara apa saja yang mudah bagi anda tak perlu
memaksa diri mengintubasi kalau tak cukup terampil melakukannya. Pedoman kita adalah, Time saving is Life saving.

PENGELOLAAN :
 A. Sasaran : Tercapainya ventilasi dan oksigenasi yang adekuat.
 Untuk mencapai sasaran tersebut
terapi harus ditujukan :

1. Menghilangkan penyebabnya

2. Memberikan respiratory support
 Respiratory support kita gunakan tiga metode :
 1. Terapi oksigen

2. Pulmonary toilet(mobilisasi pengeluaran sekret)

3. Memberi ventilasi buatan

Pasien-pasien dengan respiratory insuffisiensi yang berat mungkin sekaligus memakai ke-3 metode tersebut, sedangkan
kasus-kasus yang sedang atau ringan hanya memerlukan satu atau dua metode saja.
 Untuk memudahkan klassifikasi
perioritas pengobatan kita golongkan penyebab kegagalan pernafasan atas tiga bagian besar :
 1.Primary ventilatory
failure :
 Hilangnya ventilasi normal oleh karena faktor extra pulmo
 -CNS depressi/disfungsi

-gangguan neuromuskular

-gangguan metabolisme

-gangguan otot-otot respirasi
 2.Acute pulmonary parenchyma disease :
 Pertukaran gas yang tak adekuat oleh karena
parenchyma paru :

pneummonia

congestive heart failure(odema pulmonum)

pulmonary embolism

atelectasis dll
 3.Penyakit jalan nafas obstruktif/restrictif

stenosis trachea

aspirasi

emphysema/astmabronchiale

fibrosis paru

pleural effusion dll
 SKALA PRIORITAS TERAPI MENURUT PENYEBAB UTAMANYA :

Kausa Primary ventilatory Pulmonary parenchymal

Obstructive failure diseases Restrictive diseases

Terapi
 —————————————————————————————–
oksigen + +++ +

clearing

secretions ++ ++ +++

improving mechanic +++ + ++

Pemberian oksigen :

Merupakan material pokok yang harus diberikan.

Besarnya diberikan tergantung derajat gagal nafas dan kronisitas penyakit. Perlu diketahui bisa sebagai penyelamat dan
bisa sebagai perusak.
 Oleh karena itu harus tahu benar berapa besarnya FiO2 yang diberikan untuk mencapai PaO2
yang diharapkan ,diperlukan monitoring BGA(Blood Gas Analysis) Besarnya FiO2 bisa diketahui dari dengan cara
bagaimana O2 diberikan dan berapa flow O2 rate.

Cara Flow O2 FiO2

L/menit %

——————————————————————————————-

Nasal catheter 1-2 24-48

/canula. 3-4 30-35

5-6 38-44

Simple mask 5-6 40

6-7 50

7-8 60

Mask dengan Re-

servoir bag 6 60

7 70

8 80

9-10 90-99

Ventury mask _ 24-35

Face tent 8-10 40

Sebagai pegangan adalah setiap pemberian O2 pada paru yang sehat, PaO2 yang dicapai sebanding dengan 5x FiO2
yang dibeerikan bila FIo2 20% maka PaO2 harusnya 5×20=100 mmHg.

Tujuan akhir sebenarnya bagaimana mencegah/mengatasi hipoksia. Ini hanya bisa dicapai bila PaO2 normal dan faktor-
faktor yang mempengaruhi seperti konsentrasi Hb, pH plasma, cardiac output dan lain-lain normal.

Besarnya FiO2 yang minimal kita pertahankan bila PaO2 telah stabil mencapai 80-100 mmHg pada orang muda dan
sekitar 70 mmHg pada orang tua diatas 60 tahun(3). Pada kasus COPD cukup dipertahankan antara 50-60 mmHg.
Semua pasien apnoe kita mulai deengan FiO2 100% kemudian diturunkan bertahap sesuai hasil BGA.

Pada pasien COPD yang berat kita mulai saja dari FiO2 24% kemudian kita naikkan bertahap sampai PaO2 55-60 mmHg
stabil(1,3) untuk mencegah hipoventilasi akibat hilangnya hipoksia drive. Side efek terapi O2 dapat dicegah asal kita
bekerja sesuai aturan permainan. Pemberian O2 100% tak lebih dari 24 jam, dan 50% tak lebih 48 jam dapat mencegah
pulmonary toksisiti berupa rusaknya endothel kapiler paru yang bisa mengakibatkan odema pulmonum.(1)

Sebaiknya jangan diberi FiO2 yang melebihi kebutuhan PaO2 diatas 100 mmHg untuk mencegah absorbsi atelectase
akibat terusirnya N2 dari alveoli yang mempertahankan peregangan alveoli ,dimana surfactan rusak sehingga O2 yang
masuk circulasi lebih cepat dari yang masuk alveoli.(1).

Bila dengan FiO2 yang cukup tinggi PaO2 yang diharapkan tak tercapai kemungkinan ada pulmonary shunting sebaiknya
kita gunakan ventilasi mekanik dengan PEEP(Positive End Expiratory Pressure). Dengan PEEP diharapkan FRC
(Functional Residual Capacity) meningkat sehingga dengan FiO2 yang rendah sudah cukup untuk mencapai PaO2 yang
adekuat dus dengan demikian keracunan O2 bisa dicegah(1,3). Yang paling penting adalah monitoring yang ketat jangan
phobi keracunan O2 akibatnya hipoksemia tak terkoreksi

Prinsip kita ―It is preferable to run of the risk of stiff lungs rather than chancing a soft brain(bair paru jadi kaku daripada
otak jadi bubur) bila FiO2 yang tinggi sangat diperlukan.(3). Dalam pemberian O2 jangan lupa humidity udara inspirasi
lebih-lebih bila jalan nafas telah di bypass oleh pipa tracheal sehingga fungsi humidifier alami dari hidung dan pharyng tak
bekerja sama sekali.

Dalam keadaan normal udara inspirasi dipanaskan oleh temperatur tubuh dan dengan bantuan system yang sangat
effisien dalam membran mukosa hidung /pharyng menjadi saturasi sempurna dengan molekul uap air ketika mencapai
bronchus proksimal. Presentase uap air dalam udara inspirasi sangat menentukan berlangsungnya fungsi cilia untuk
mendorong benda asing, mukus ,kearah glottis dan mencegah sekret tak mengental /mengeras yang bisa menimbulkan
mukus plug bisa menghalangi jalan nafas. Pada pemberian O2 secara nasal canule dengan kecepatan kurang dari 5 liter
permenit tak memerlukan humidifikasi karena mekanisme humidifikasi nasopharyng masih kuat.

Dengan bantuan humidifier artifisial bisa diberikan humidity tertentu dalam udara pernafasan.

3.Apa yang kita lakukan sebelum ventilator dipasang ?

a.Persiapan pasien :
 - bebaskan jalan nafas
 - pasang endotracheal
 - bila diperkirakan pemakaian ventilator jangka
panjang langsung tracheostomi.
 - bila pasien shock buat posisi kaki setinggi 30-45 derajat.
 - pasang infus untuk
distribusi obat-obatan emergensi.

b. Persiapan ventilator :
 - periksa apakah ventilator bekerja baik.
 - perhatikan supply O2 cukup atau tidak.
 - konektor
sesuaikan dengan pipa endotracheal untuk mencegah kebocoran circuit.
 - pipa endotracheal sesuaikan dengan ukuran
jalan nafas pasien.
 - periksa adakah kebocoran cuff endotracheal tube.

Persiapkan jelly dan xylocaine spray untuk mengurangi rangsangan/trauma intubasi.

Bila menggunakan ventilator volume cycle tentukan(6):

a.tidal volume : 10-12 cc/kgBB ideal.
 b.sigh volume : 1,5xtidal volume.
 c.frekuensi nafas : 12-16x/menit.
 d.Inspirasi
expirasi ratio (I:E ratio):

Perbandingan masa inspirasi dan expirasi minimal 1:1
 Paling baik 1:2(1:3)

Menurut Watson 1962 penelitiannya pada kasus-kasus IPPB atau IPPV bahwa masa inspirasi lebih dari 1,5 detik
akan menghasilkan VD/VT ratio kurang dari 0,25 sedangkan bila masa inspirasi 0,5 detik kenaikan VD/VT ratio sampai
kira-kira 50%,ini disebabkan distribusi yang abnormal pada inspirasi yang cepat yang sebagian alveoli overventilasi tetapi
underperfused sedangkan alveoli yang lain under ventilated tetapi overperfused. Makin panjang inspirasi makin baik
ventilasi tapi makin jelek circulasi,untuk itu perlu diatur sedemikian rupa agar dicapai ventilasi yang baik sementara
circulasi tetap baik.

Diperkirakan masa inspirasi 1,3 detik adalah optimal.

Penelitian yang lain berkesimpulan bahwa gangguan pada circulasi minimal kalau perbandingan masa inspirasi
dan expirasi 1 : 1,5 atau 1 : 2.

d.Peak flow rate :

Kecepatan aliran O2 yang diberikan agar tidal volume yang diinginkan tercapai. Ini dapat dihitung dari tidal volume dan
masa inspirasi.

Sekiranya I : E ratio 1 : 2 sedangkan frekuensi nafas.
 15x permenit maka masa inspirasi 1/3 x 60/15 .(=1,33 detik maka
Peak flow rate = tidal volume x 60/ masa inspirasi=500 x 45 cc/menit=22,5 L/menit)

e. FiO2 :
Konsentrasi O2 dalam udara inspirasi. Kalau tak ada indikasi pemakaian O2 konsentrasi tinggi kita mulai saja dari 0,4
sedangkan pada kasus COPD kita mulai dari 0,24.

f. Humidifier :

Diatur sampai temperatur diantara 32 – 35 derajat C(7)

g. Mode of ventilasi :

- Bila pasien apnoe lakukan controlled ventilation(IPPV).
 - Bila bernafas spontan tapi tak adekwat,frekwensi tak lebih dari
30x per menit gunakan assisted ventilation.
 - Prinsip asisted adalah usaha inspirasi pasien membuat tekanan
subatsmosfer pada airway,mentriger ventilator memberikan ventilasi.
 - Bila frekwensi pernafasan terlalu cepat maka
inspirasi tak sempat mentriger ventilator untuk itu bisa digunakan IMV(Intermittent Mandatory
Ventilation) dimana ventilator memberikan suplementasi terhadap usaha pernafasan spontan agar terjamin alveolar
ventilation yang adekwat.

Pasien bernafas spontan dan sewaktu-waktu diberikan satu mandatory breath tak tergantung pada rate dan pattern
respirasi.

Bila ada intrapulmonary shunting pada pemeriksaan BGA sebaiknya lebih dini gunakan PEEP mode.Dengan PEEP
diharapkan daerah atelektase dapat membuka dan O2 tak perlu konsentrasi tinggi. Dimulai dengan positive 5 cm H2O
kemudian perlahan-lahan naikkan sebesar 2 cm H2O sampai tercapai PaO2 yang diinginkan.

Bila bernafas spontan untuk membuka atelektase atau untuk mencegah collapsnya airway yang lemah digunakan
CPAP(Continous Positive Airway Pres).

Apa yang harus kita lakukan selama pasien diventilasi ?

Tiap 20-30 menit periksa BGA kemudian evaluasi PaO2,PaCO2,pH dan base excess bandingkan dengan hasil
sebelumnya.

Bila PaO2 masih rendah naikkan FiO2 sampai tercapai PaO2 yang normal.

Sebenarnya PaO2 diatas 60 mm Hg sudah cukup untuk saturasi Hb optimal akan tetapi bila terjadi penurunan sedikit
saja akan terjadi perubahan yang serius.,untuk itu untuk orang muda yang sehat sebelumnya pertahankan PaO2 antara
80-100 mmHg.

Bila PaO2 tetap rendah padahal FiO2 cukup tinggi dan lama,usahakan system PEEP. Bila PaCO2 tetap tinggi periksa
jalan nafas bila perlu bersihkan.Kalau jalan nafas bersih tingkatkan ventilasi alveolar bisa dengan memperbesar tidal
volume atau frekwensi nafas.

Bila PaCO2 rendah maka frekwensi diturunkan secara bertahap dua kali permenit dan tidal volume lebih aman tak
diturunkan resiko hipoventilasi alveolar(5).

Bila base excess lebih dari minus 5 meq berarti ada metabolik asidosis,harus dikoreksi kalau pH lebih kecil dari
7,25,tetapi bila diatas 7,25 biarkan tubuh mengkompensirnya.

Jumlah bikarbonat yang diberikan menurut rumus BB x Base Defisitx1/3 meq diberikan setengahnya. Selanjutnya
berdasarkan hasil BGA berikutnya. Jangan terburu memberi bikarbonat(Meylon) bahaya hyperosmolarity dan heart
failure.

Bila hasil evaluasai BGA sudah normal dan stabil,evaluasi BGA cukup dilakukan 2-3 x perhari. Perlu diingat bahwa PaO2
yang normal belum menjamin oksigenasi jaringan yang adekwat.

Untuk itu perlu dikoreksi Hb kalau pasien anemia,pH kalau kesimbangan asam basa terganggu, koreksi cardiac output
dengan mengurangi hambatan pada venous return dan lain-lain. koreksi cardiac output bisa dilakukan dengan
menurunkan tekanan rata rata intrathoracal(3) :

masa inspirasi lebih pendek dari expirasi (I:E) ratio diperbesar flow of gas ditinggikan agar phase inspirasi lebih pendek.

- mengurangi tahanan expirasi (membersihkan jalan nafas) dengan adanya tahanan terhadap gas outflow akan
memperlambat turunnya tekanan selama phase expirasi dan ini meningkatkan tekanan intra pulmonal. mengurangi dead
space dengan tracheeostomi akan memperpendek circuit ventilator.

- memberikan tekanan negative selama phase expirasi,awas bahaya
 - collapsenya airway memperbaiki intravascular
volume.
Monitoring yang ketat vital sign setiap 15-30 menit.
 - kesadaran
 - nadi
 - tekanan darah
 - respirasi

Kesadaran :

Sebaiknya dievaluasi dengan GCS(Glasgow Coma Scale) setiap setengah jam terutama penderita trauma kapitis.

Hypotensi/tachycardi :

kemungkinan pengaruh :

- ventilasi mekanik
 - dehidrasi
 - hipoksia/hiperkarbia

Respirasi :

- Tidal volume sering diukur dengan spirometer apakah yang diberikan ventilator sesuai dengan yang diterima pasien
kemungkinan adanya kebocoran circuit.
 - Sudahkah ada respirasi spontan bila ada adekwat atau tidak ?
 - Bila belum
adekwat sedangkan frekwensi nafas kurang dari 30x permenit beri asisted mode.
 - Bila lebih dari 32x permenit beri IMV
mode
 - Kalau pasien memberikan perlawanan terhadap ventilator(fighting) dimana tak sinkron antara ventilator dengan
pernafasan pasien pikirkan

kemungkinan :

Hipoksia: FiO2 tingkatkan, jalan nafas bebaskan.

Hiperkarbia tambah tidal volume atau frekuensi nafas (hiperventilasi).

Bila hipoksia dan hiperkarbia telah disingkirkan maka baru boleh diberi sedative seperti diazepam 0,3 mg/kgBB,atau
morfin 1-2 mg intravena.

Ulangi setiap 3-5 menit sampai sinkron, biasanya 2-3 pemberian cukup.

Kalau perlu bisa diberi relaxant dosis kecil seperti pancuronium 1 mg tiap 3-5 menit biasanya bila sampai dosis 2-4 mg
sudah cukup asinkron tadi.

Tapi sebaiknya setiap pemberian relaxant disertai sedative karena pasien sadar.Yang paling penting awasi ketat
perubahan hemodinamik.

Monitor ECG diawasi apakah ada perubahan aktivitas jantung(aritmia).

Pada kasus kelainan jantung perlu dipasang CVP mencegah overload cairan disamping ventilator sendiri bisa bikin
retensi cairan.

Suhu tubuh : Selalu diukur setiap 3 jam perectal untuk memonitor kemungkinan adanya :
 - infeksi
 - dehidrasi
 -
menyesuaikan kebutuhan cairan

Awasi kemungkinan timbul komplikasi dan segera atasi :

a.hipotensi bisa timbul akibat :
 - meningkatnya tekanan intrathoracal
 - penurunan PaCO2 yang cepat menghilangkan
tiba-tiba stimulus simpatis.

Atasi dengan :

- Tinggikan kaki pasien 30 derajat.
 - I:E ratio diperbesar.
 - Flow rate of gas ditinggikan.
 - Tekanan negatif akhir
expirasi.
 - Bersihkan jalan nafas.
 - Penambahan cairan intravascular.

b. Perubahan pH kearah alkalosis bila koreksi hyperkarbi terlalu drastis bisa menimbulkan tetani,mental depressi, untuk
ini frekwensi nafas diturunkan secara bertahap 2x/menit.

c. Barotrauma :

- Pneumothorax,subcutan atau mediastinal empisema.
 - Biasanya pasien gelisah, berkeringat banyak, perkusi
hipertimpani hipersonor didaerah lesi,dan bila ditusuk jarum besama spuitnya pada medioclavicularis sela iga 2-3, seher
spuit akan terlepas/terlempar bila ada tension pneumothorak.

Tindakan ini disamping untuk diagnostik juga tindakan darurat pada pneumothorax spontanea.
d. Positive water balance syndrome :

Ini dijumpai pada pemakaian ventilator yang lama.

Ditemukan adanya odema pulmonum,compliance paru yang menurun dan berat badan yang bertambah.

Mekanisme kejadiannya belum jelas diduga mungkin adanya retensi cairan disebabkan adanya :
 - hipoalbuminaemia
 -
reduksi lymp flow
 - subclinical heart failure
 - sekresi ADH yang meningkat

Sangat responsive dengan diuretika dan retriksi cairan. Kita membatasi pemberian cairan pada pasien dengan ventilator
kira-kira 25 cc per kgBB kecuali ada indikasi lain. Bila ada kenaikan suhu satu derajat celcius ditambah 10%. Penting
pengukuran intake/output cairan, serum elektrolit secara rutin.

e.Pulmonary infection :

Sering pada penderita yang diventilasi sebagai penyebab utama kematian. Semua benda asing yang ada ditrachea
menjadi tempat biakan bakteri yang pathogen,untuk ini perlu tehnik yang steril,tracheal toilet yang tepat dan perawatan
yang intensif.

Pemberian antibiotika haruslah berdasarkan indikasi yang tepat untuk mencegah resistensi,suhu yang meninggi ,sekret
yang purulent,lekosit meningkat,tanda fisik diagnostik serta perubahan pada X ray.Pemeriksaan gram stained dan lekosit
secara rutin sangat membantu.

f. Gastro intestinal bleeding :

Sering akibat stress ulcer pada kasus yang diventilator. Untuk itu feeding dan antacid terapi harus dimulai sedini mungkin
via gastric tube. Kebutuhan kalori 30-40 kalori per 24 jam.

g. Perlu adanya supervisi yang ketat :

Khusus : pulmonary toilet balon pipa tracheal dikempiskan setiap jam selama 3-5 menit. Sebelum dikempiskan dilakukan
suction dalam pipa tarachea maupun sekitarnya. Pada hari ketiga bila pemakaian ventilator masih lama maka lakukan
tracheostomi,pipa tracheostomi sebaikanya pakai cuff dan dari plastik agar tak mengiritasi jalan nafas

Umum :

Mata: Tutup kasa steril agar kornea tak kering,jangan gunakan zalf antibiotika.

kulit : Rubah posisi pasien tiap jam mencegah dekubitus.

lambung/usus: Pasang sonde lambung untuk pemberian makanan juga untuk dekompressi mencegah distensi lambung.

Bila pipa sonde berisi makanan sebagai akibat regurgitasi sebaiknya pemberian nutrisi via parenteral.

Sonde lambung sebaiknya diganti setiap tiga hari.

kandung kencing :

Pasang kateter urine untuk mencegah blass penuh dan untuk pengukuran urine sewaktu/24 jam.

Extrimitas :

latihan gerakan extrimitas secara aktif dan pasif mencegah thrombosis dan disuse atropi otot-otot.

lokasi infus sebaiknya hindari extrimitas inferior mencegah phlebitis.

Kalau pasien sadar lakukan pendekatan manusiawi dan yakinkan pasien bahwa dia akan pulih seperti biasa.

6.Kapan pasien dibebaskan dari ventilator atau di weaning ?

Tujuan dari weaning untuk mengurangi bantuan ventilator secara bertahap sampai pasien mampu bernafas spontan
secara adekwat.

Indikasi weaning:(5)

PaO2 (mm Hg) > 80


PaCO2 (mm Hg) < 50

VD/VT < 0,6

Respirasi rate ( x/menit) < 30

Resting tidal volume (cc/kgBB) >5

Vital Capacity (cc/kgBB) > 12

Inspiratory Force (cm H2O) >-30
 ———————————————————————–
 Negative inspiratory


force(NIF) dapat menilai tenaga otot-otot inspirasi dapat diketahui dengan manometer dihubungkan dengan tracheal tube
dan pasien diminta bernafas sedalam mungkin,

Normal lebih dari -80 cm H2O.

Bagaimana cara weaning ?

Ada 2 cara :

1.conservative

2.Intermitent mandatory ventilation.

1.Cara conservative :

Mula-mula pasien dilepas dari ventilator dan pipa tracheal dihubungkan T piece diberi FiO2 yang sama selama 5 menit
amati frekwensi nafas,cyanosis,nadi dan tensi kemudian hubungkan kembali ke ventilator selama 55 menit.

Bila pada jam pertama tak ada problema pada jam kedua lepaskan ventilator 10 menit. Ini dilakukan terus pada jam-jam
berikutnya dengan periode lepas dua kali sebelumnya dengan syarat tidak ditemukan tanda-tanda kesulitan nafas.

Bila telah mencapai periode lepas lebih dari 30 menit untuk mendeteksi ventilasi yang efisien lakukan evaluasi BGA,tidal
volume,vital capacity dan NIF.

Bila pasien tak menunjukkan tanda keletihan dengan pernafasan spontan teruskan keproses weaning seterusnya. Tetapi
bila ada tanda-tanda keletihan dipasang ventilator untuk beberapa waktu. Prinsipnya waktu pelepasan ditambah
sementara ke ventilator dikurangi.

Bila telah mampu mellampaui masa 4-6 jam tanpa menunjukkan tanda-tanda keletihan dianggap telah mampu bernafas
sendiri tanpa ventilator. Namun demikian pasien tetap terintubasi sambil mengamati tanda keletihan.

Bila ventilasi telah adekwat selama 72 jam dinilai dari NIF,VC,VT,dan BGA maka pasien boleh diextubasi.

Cara ini cukup lama, membosankan dan pasien sangat tergantung pada ventilator.

2.Cara IMV :

Prinsipnya mengurangi bantuan ventilator secara bertahap dengan cara mengurangi frekuensi IMV perlahan-
lahan, Ventilator tak perlu dilepas dan pasien tak menyadari bahwa dia telah berjuang sekuat tenaga untuk bernafas
sendiri.

Penurunan frekuensi secara bertahap 2x/menit awasi vital sign,BGA,sesudah 1 jam bila normal turunkan lagi 2x/menit
dan seterusnya sampai frekuensi IMV nol, pindahkan kepada Tpiece dengan FiO2 yang sama awasi lagi, bila
pernafasan adekuat lakukan extubasi dan pasien dioksigenasi dengan humidified 40% oksigen, melalui sungkup(mask)
untuk mengurangi keresahan akibat iritasi jalan nafas bagian atas selama periode intubasi,sesudah 1 jam extubasi
diperiksa BGA lagi. Pemberian O2 diteruskan sampai BGA normal selama bernafas dengan udara kamar. Cara ini
mengatasi ketergantungan pasien pada ventilator.

IV.KESIMPULAN :

Telah dikemukakan dasar-dasar pengelolaan penderita gagal nafas. Telah dibicarakan pula beberapa kebijakan dalam
terapi O2, pulmonary toilet, dan pemakaian ventilator. Perawatan merupakan bagian yang menentukan nasib penderita.
Peningkatan dan penyegaran ketrampilan dari personil yang terlibat adalah keharusan.
ANESTESI

Anda mungkin juga menyukai