A. Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin,
yaitu suatu
alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya,
reseptor muskarinik ini
menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan
menggunakan study ikatan dan
panghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas reseptor
muskarinik seperti
M
1
,M
2
,M
3
,M
4
,M
5
. Reseptor muskarinik dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan
organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar
eksokrin. (Mary J.
Mycek, dkk, 2001).
Secara khusus walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdapat
dalam neuron,
namun reseptor M
1
ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M
2
terdapat
dalam otot polos dan jantung, dan reseptor M
3
dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. Obatobat yang bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor
muskarinik dalam jaringan
tadi, tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula
(Mary J. Mycek,
dkk, 2001).
Sejumlah mekanisme molekular yang berbeda terjadi dengan
menimbulkan sinyal
yang disebabkan setelah asetilkolin mengikat reseptor muskarinik.
Sebagai contoh, bila
reseptor M
1
atau M
2
diaktifkan, maka reseptor ini akan mengalami perubahan konformasi
dan berinteraksi dengan protein G, yang selanjutnya akan mengaktifkan
fosfolipase C.
Akibatnya akan terjadi hidrolisis fosfatidilinositol-(4,5)-bifosfat (PIP
2
) menjadi diasilgliserol
(DAG) dan inositol (1,4,5)-trifosfat (IP
3
) yang akan meningkatkan kadar Ca
++
intrasel.
Kation ini selanjutnya akan berinteraksi untuk memacu atau menghambat
enzim-enzim atau
menyebabkan hiperpolarisasi, sekresi atau kontraksi
ini bekerja secara langsung terhadap organ-organ ujung dengan kerja utama yang mirip efek
muskarin dari ACh. Semuanya adalah zat-zat amonium kwaterner yang bersifat hidrofil dan
sukar larut memasuki SSP, kecuali arekolin (Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002).
Sedangkan kolinergika yang bekerja secara tak langsung meliputi zat-zat
antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin, dan piridogstimin. Obat-obat ini
merintangi penguraian ACh secara reversibel, yakni hanya untuk sementara. Setelah zat-zat
tersebut habis diuraikan oleh kolinesterase, ACh segera akan dirombak lagi (Tan Hoan Tjay
& Rahardja, 2002).
Disamping itu, ada pula zat-zat yang mengikat enzim secara irreversibel, misalnya
parathion dan organofosfat lainnya. Kerjanya panjang, karena bertahan sampai enzim baru
terbentuk lagi. Zat ini banyak digunakan sebagai insektisid beracun kuat di bidang pertanian
(parathion) dan sebagai obat kutu rambut (malathion). Gas saraf yang digunakan sebagai
senjata perang termasuk pula kelompok organofosfat ini, misalnya Sarin, Soman, dan
sebagainya (Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002).
Salah satu kolinergika yang sering digunakan dalam pengobatan glaukoma adalah
pilokarpin. Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh
asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini ternyata
sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk
oftamologi. Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan
kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme akomodasi, dan penglihatan
akan terpaku pada jarak tertentu, sehingga sulit untuk memfokus suatu objek.
Pilokarpin juga merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar
keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian.
Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan tekanan bola
mata baik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut lebar. Obat ini sangat efektif untuk
membuka anyaman trabekular di sekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turun
dengan segera akibat cairan humor keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsung
sekitar sehari dan dapat diulang kembali. Obat penyekat kolinesterase, seperti isoflurofat
dan ekotiofat, bekerja lebih lama lagi. Disamping kemampuannya dalam mengobati
glaukoma, pilokarpin juga mempunyai efek samping. Dimana pilokarpin dapat mencapai
otak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi yang
berlebihan (Mary J. Mycek, dkk, 2001).
reseptor telah dapat diidentifikasikan : reseptor neuronal (M1),cardiak
(M2) dan kelenjar
Genitourinary
Antikolinergik dapat menurunkan tonus ureter dan blader sebagai hasil
dari relaksasi otot
polos dan retensi urin, khususnya pada pasien usia klanjut dengan
pembesaran prostat(Askep,
2009).
G. Termoregulasi
Penghambatan kelenjar liur dapat meningkatkan temperatur suhu tubuh
( demam atropin)
(Askep, 2009).
H. Immune-mediated hypersensitivity
http://askepterlengkap.blo
obatantikolinergik.html?
gspot.com/2009/06/obatzx=
http://www.infogue.com/viewstory/2009/01/12/obat_kolinergik/?
url=http://otetatsuya.wordpress.com/2009/01/02/obat-kolinergik/
bf1c0f73d60de0ae
http://moveamura.wordpress.com/farmakologi/
J. Mycek, Mary, dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi ke-2. PT Elex Media
Komputindo
Kelompok Gramedia. Jakarta
of 8