Anda di halaman 1dari 14

Tugas farmakologi dasar

Nama : Alma Dwi Pertiwi Choerunnisa


Nim : O1A117004
Kelas : A

OBAT-OBAT AGONIS KOLINERGIK DAN ANTAGONIS

KOLONERGIK

Obat-obat otonom adalah obat –obat yang dapat mempengaruhi penerusan

impuls dalam SSO dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan,

atau penguraian neurotransmitter atau mempengaruhi kerjanya atas reseptor

khusus. Akibatnya adalah dipengaruhinya fungsi otot polos dan organ, jantung, dan

kelenjar.

Obat kolinergik singkatnya disebut kolinergik juga disebut

parasimpatomimetik, berarti obat yang kerja serupa perangsangan saraf

parasimpatis. Tetapi karena ada saraf yang secara anatomis termasuk saraf simpatis

yang transmitornya asetilkolin maka istilah obat kolinergik lebih tepat daripada

istilah parasimpatomimetik.

Obat kolinergik dibagi dalam tiga golongan :

1. Ester kolin. Dalam golongan ini termasuk : asetilkolin, metakolin, karbakol,

betanekol

2. Antikolinesterase, termasuk didalamnya : eserin (fisostigmin), prostigmin

(neostigmin), diisopropil-fluorofosfat (DFP), dan insektisid golongan

organofosfat ; dan

3. Alkaloid tumbuhan, yaitu : muskarin, pilokarpin, dan arekolin.

Penggolongan Agonis Kolinergik


1. Agonis kolinergik bekerja langsung

a. Asetilkolin (ACh)

Asetilkolin adalah suatu senyawa amonium kuartener yang tidak mampu

menembus membran. Walaupun sebagai neurotransmiter saraf parasimpatis dan

kolinergik, namun dalam terapi zat ini kurang penting karena beragam kerjanya dan

sangat cepat diinaktifkan oleh asetilkolinesterase. Aktivitasnya berupa muskarinik

dan nikotinik. Kerjanya termasuk menurunkan denyut jantung dan curah jantung,

menurunkan tekanan darah. Kerja lainnya pada saluran cerna, asetilkolin dapat

meningkatkan sekresi saliva, memacu sekresi dan gerakan usus.

a. Farmakodinamik

Secara umum farmakodinamik dari ACh dibagi dalam dua golongan, yaitu terhadap

1. kelenjar eksokrin dan otot polos, yang disebut efek muskarinik ;

2. ganglion (simpatis dan parasimpatis) dan otot rangka yang disebut efek nikotinik.

pembagian efek ACh ini didasarkan obat yang dapat menghambatnya, yaitu atropin

menghambat khusus efek muskarinik, dan nikotin dalam dosis besar menghambat

efek nikotinik asetilkolin terhadap ganglion. Bila digunakan dosis yang berlebihan

maka atropin, nikotin dan kurare masing – masing dapat juga menghambat semua

efek muskarinik dan nikotinik ACh. Efek obat pada dosis toksik ini tidak dianggap

sebagai efek farmakologik lagi, karena sifat selektifnya hilang.

b. Kegunaan klinis

Jarang digunakan secara klinis. Sediaan dan posolog asetilkolin klorida/bromida

dapat diperoleh sebagai bubuk kering, dan dalam ampul berisi 200 mg.

c. Dosis
10 – 100 mg IV.

d. Kontra indikasi

Ulkus peptikum, penyakit arteri koroner, hiperteroid (fibrilasi atrium), asma,

obstruksi kandung kemih mekanis.

e. Efek samping

Ester kolin dapat mendatangkan serangan iskemia jantung pada penderita angina

pektoris, karena tekanan darah yang menurun mengurangi sirkulasi koroner.

Penderita hipertiroidisme dapat mengalami fibrasi atrium. Gejala keracunan pada

umumnya berupa efek muskarinik dam nikotinik yang berlebihan.

f. Indikasi

Meteorisme (gejala akibat penimbunan gas dalam saluran cerna), atonia kandung

kemih dan retensi urin, feokromositoma (digunakan untuk tes provokasi penyakit ini

pada waktu tekanan darah penderita sedang rendah).

g. Nama Paten

Miochol-E ( Novartis Biochemie)

h. Interaksi Obat

Asetilkolin Cl dan karbakol tidak efektif pada pasien yang diterapi dengan AINS

topikal.

Senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara

kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis disebut antagonis. Antagonis

kolinergik (disebut juga obat penyakit kolinergik atau obat antikolinergik) mengikat

kolinoseptor tetapi tidak memicu efek intraseluler diperantarai reseptor seperti

lazimnya. Yang paling bermanfaat dari obat golongan ini adalah menyakat sinaps
muskarinik pada saraf parasimpatis selektif. Oleh karena itu, persarafi parasimpatis

menjadi terganggu dan kerja pacu simpatis muncul tanpa imbang.

Adapun obat yang akan dibahas adalah obat antimuskarinik, obat penyekat

ganglionik dan obat penyekat neuromuskular.

1. Obat Antimuskarinik

Obat golongan ini seperti atropin dan skopolamin bekerja menyekat reseptor

muskarinik yang menyebabkan hambatan semua fungsi muskarinik. Selain itu,

obat ini menyekat sedikit perkecualian neuron simpatis yang juga kolinergik,

seperti saraf simpatis yang menuju ke kelenjar keringat. Bertentangan dengan obat

agonis kolinergik yang kegunaan terapeutiknya terbatas, maka obat penyekat

kolinergik ini sangat menguntungkan dalam sejumlah besar situasi klinis. Karena

obat ini tidak menyekat reseptor nikotinik, maka obat antimuskarinik ini sedikit

atau tidak mempengaruhi sambungan saraf otot rangka atau ganglia otonom.

Antimuskarinik ini bekerja dialat persarafi serabut pascaganglion

kolinergik. Pada ganglion otonom dan otot rangka, tempat asetilkolin juga bekerja

penghambatan oleh atropin hanya terjadi pada dosis sangat besar. Kelompok obat

ini memperlihatkan kerja yang hampir sama tetapi dengan afinitas yang sedikit

berbeda terhadap berbagai alat; pada dosis kecil (sekitar 0,25 mg) misalnya,

atropin hanya menekan sekresi airl iur, mukus, bronkus dan keringat. Sedangkan

dilatasi pupil, gangguan akomodasi dan penghambatan nasofagus terhadap jantung

baru terlihat pada dosis yang lebih besar (0,5 – 1,0mg). Dosis yang lebih besar lagi

diperlukan untuk menghambat peristalsis usus dan sekresi kelenjar di lambung.


Beberapa subtipe reseptor muskarinik telah diidentifikasi saat ini. Penghambatan

pada reseptor muskarinik ini mirip denervasi serabut pascaganglion kolinergik dan

biasanya efek adrenergik menjadi lebih nyata. Antimuskarinik memperlihatkan

efek sentral terhadap susunan saraf pusat, yaitu merangsang pada dosis kecil dan

mendepresi pada dosis toksik.

Banyak sekali antikolinergik disintesis dengan maksud mendapatkan obat

dengan efek selektif terhadap gangguan tertentu disertai efek samping yang lebih

ringan. Saat ini terdapat antimuskarinik yang digunakan untuk mendapatkan efek

perifer tanpa efek sentral misalnya, antispasmodic, penggunaan lokal pada mata

sebagai midriatikum, memperoleh efek sentral misalnya, obat untuk penyakit

Parkinson, efek bronkodilatasi dan memperoleh efek hambatan pada sekresi

lambung dan gerakan saluran cerna.

a. Atropin

Atropin alkaloid belladonna, memiliki afinitas kuat terhadap reseptor

muskarinik, di mana obat ini terikat secara kompetitif, sehingga mencegah

asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor muskarinik. Atropin menyekat

reseptor muskarinik baik di sentral maupun di saraf tepi. Kerja obat ini

berlangsung sekitar 4 jam kecuali bila diteteskan ke dalam mata, maka

kerjanya bahkan sampai berhari-hari.

FARMAKODINAMIK

Hambatan oleh atropin bersifat reversible dan dapat diatasi dengan

pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian


antikolinesterase. Atropin memblok asetilkolin endogen maupun

eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang eksogen.

1. Susunan Saraf Pusat

Atropin merangsang medula oblongata dan pusat lain di otak. Dalam

dosis 0,5 mg (untuk orang Indonesia mungkin ± 0,3 mg) atropin

merangsang N.Vagus dan frekuensi jantung berkurang. Efek

penghambatan sentral pada dosis ini belum terlihat. Depresi yang timbul

khusus dibeberapa pusat motorik dalam otak, dapat menghilangkan

tremor yang terlihat pada parkinsonisme. Perangsangan respirasi terjadi

sebagai akibat dilatasi bronkus, tetapi dalam hal depresi respirasi oleh

sebab tertentu, atropin tidak berguna merangsang respirasi. Bahkan pada

dosis yang besar sekali, atropin menyebabkan depresi nafas, eksitasi,

disorientasi, delirium, halusinasi dan perangsangan lebih jelas dipusat-

pusat lebih tinggi. Lebih lanjut terjadi depresi dan paralisis medulla

oblongata.

2. Mata

Alkaloid belladonna menghambat M.constrictor pupilae dan M.Ciliaris

lensa mata, sehingga menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis

mekanisme akomodasi). Midriasis mengakibatkan fotofobia, sedangkan

siklopegia menyebabkan hilangnya daya melihat jarak dekat.


Sesudah pemberian 0,6 mg atropine SK pada mulanya terlihat efek

terhadap kelenjar eksokrin, terutama hambatan salvias, serta brakikardi

sebagai hasil perangsangan N.Vagus, midriasis baru terlihat dengan

dosis yang lebih tinggi (>1 mg). Mula timbulnya midriasis tergantung

dari besarnya dosis, dan hilangnya lebih lambat daripada hilangnya efek

terhadap kelenjar liur. Pemberian lokal pada mata menyebabkan

perubahan yang lebih cepat dan berlangsung lama sekali (7-12 hari). Hal

ini disebabkan atropin sukar dieliminasi dari cairan bola mata. Midriasis

oleh alkaloid belladonna dapat diatasi oleh pilokarpin, eserin atau DFP.

Tekanan intraokular pada mata yang normal tidak banyak mengalami

perubahan.tetapi pada penderita glaukoma, penyeluran dari cairan

intraokular akan terhambat, terutama pada glaukoma sudut sempit,

sehingga dapa meningkatkan tekanan intraokular. Hal ini disebabkan

karena dalam keadaan midriasis muara saluran schlemm yang terletak

disudut bilik depan mata menyempit, sehingga terjadi bendungan cairan

bola mata.

3. Saluran Nafas

Alkaloid belladonna mengurangi sekret hidung, mulut, faring dan

bronkus. Pemakaiannya adalah pada medikasi preanastetik untuk

mengurangi sekresi lender pada jalan nafas. Sebagai bronkodilator,

atropin tidak berguna dan jauh lebih lemah daripada epinefrin atau

aminofilin. Ipratropium bromida merupakan antimuskarinik yang

memperlihatkan bronkodilatasi berarti secara khusus.


4. Sistem kardiovaskular

Pengaruh atropin terhadap jantung bersifat bifastik. Dengan dosis 0,25-

0,5 mg yang biasa digunakan, frekuensi jantung berkurang, mugkin

disebabkan karena perangsangan nukleus N.Vagus. Brakikardi biasanya

tidak nyata dan tidak disertai perubahan tekanan darah atau curah

jantung. Pada dosis lebih dari 2 mg, yang biasanya hanya digunakan

pada keracunan insektisida organosfat, terjadi hambatan N.Vagus dan

timbul suatu takikardi. Atropin dalam hal ini lebih efektif daripada

skopolamin. Obat ini juga dapat menghambat brakikardi yang

ditimbulkan oleh obat kolinergik. Atropin tidak mempengaruhi

pembuluh darah maupun tekanan darah secara langsung, tetapi

menghambat vasodilatasi oleh asetikolin atau ester kolin yang lain.

Atropin tidak berefek terhadap sirkulasi darah bila diberikan sendiri,

karena pembuluh darah hampir tidak dipersarafi parasimpatik. Dilatasi

kapiler pada bagian muka dan leher terjadi pada dosis yang besar dan

toksik. Kelainan ini mungkin dapat dikacaukan dengan penyakit yang

menyebabkan kemerahan kulit didaerah tersebut, vasodilatasi ini

disertai dengan naiknya suhu kulit, Hipotensi ortostatik kadang-kadang

dapat terjadi setelah pemberian dosis 2 mg.

5. Saluran Cerna.

Karena bersifat menghambat peristaltis lambung dan usus, atropin juga

disebut obat antispasmodik. Penghambatan terhadap asetkolin eksogen

(atau ester kolin) terjadi lengkap, tetapi terhadap asetikolin endogen


hanya terjadi parsial. Atropin menyebabkan berkurangnya sekresi liur

dan sebagian juga sekresi lambung. Pada tukak pektik, atropin sedikit

saja mengurangi sekresi HCl, karena sekresi asam ini lebih dibawah

control fase gaster daripada oleh N.Vagus. Gejala-gejala ulkus

peptikum setelah pemberian atropin terutama dikurangi oleh hambatan

motilitas lambung, inipun memerlukan dosis yang selalu disertai dengan

keringnya mulut. Tetapi sekali terjadi blokade, maka blokade akan

tertahan untuk waktu yang agak lama. Atropin hampir tidak mengurangi

sekresi cairan pankreas, empedu dan cairan usus, yang lebih banyak

dikontrol oleh faktor hormonal.

Antimuskarinik yang lebih selektif ialah pirenzepin yang afinitasnya

lebih jelas pada reseptor M1, konstante disosiasi pirenzepin pada M1,

kira-kira 5 kali konstante disosiasi pada M2.

Pirenzepin bekerja lebih selektif menghambat sekresi asam lambung

dan pepsin pada dosis yang kurang mempengaruhi organ lain. Sekresi

asam lambung pada malam hari dapat diturunkan sampai 44%. Dengan

dosis 100 mg sehari, sekresi saliva dan motilitas kolon berkurang.

Pengosongan lambung dan faal pankreas tidak dipengaruhi obat ini.

6. Otot polos lain

Saluran kemih dipengaruhi oleh atropin dalam dosis agak besar (kira-

kira 1 mg). Pada piolegram akan terlihat dilatasi kaliks, pelvis, ureter

dan kandung kemih. Hal ini dapat mengakibatkan retensi urin. Retensi

urin disebabkan urin disebabkan relaksasi M. destrusor konstriksi


sfingter uretra. Bila ringan akan berupa kesulitan miksi yaitu penderita

harus mengejan sewaktu miksi. Efek antispasmodik pada saluran

empedu, tidak cukup kuat untuk menghilangkan kolik yang disebabkan

oleh batu dalam saluran empedu. Pada uterus yang inervasi otonomnya

berbeda dari otot polos lainnya, tidak terlihat relaksasi, sehingga atropin

hampir tidak bermamfaat untuk pengobatan nyeri haid.

7. Kelenjar eksokrin

Kelenjar eksokrin yang paling jelas dipengaruhi oleh atropin ialah

kelenjar liur dalam mulut serta bronkus. Untuk menghambat aktivitas

kelenjar keringat diperlukan dosis yang lebih besar; kulit menjadi

kering, panas dan merah terutama dibagian muka dan leher. Hal ini

menjadi lebih jelas lagi pada keracunan yaitu seluruh suhu badan

meningkat. Efek terhadap kelenjar air mata dan air susu tidak jelas.

FARMAKOKINETIK

Alkaloid belladonna mudah diserap dari semua tempat, kecuali kulit.

Pemberian atropin sebagai obat tetes mata, terutama pada anak dapat

menyebabkan absorbsi dalam jumlah yang cukup besar lewat mukosa

nasal, sehingga menimbulkan efek sistemik dan bahkan keracunan.

Untuk mencegah hal ini perlu dilakukan penekanan kantus internus mata

setelah penetesan obat agar larutan atropin tidak masuk ke rongga

hidung, terserap dan menyebabkan efek sistemik. Dari sirkulasi darah,

atropin cepat memasuki jaringan dan kebanyakan mengalami hidrolisis

enzimatik oleh hepar. Sebagian diekskresi melalui ginjal dalam bentuk


asal. Atropin mudah diserap, sebagian dimetabolisme di dalam hepar

dan dibuang dari tubuh terutama melalui air seni. Masa paruhnya sekitar

4 jam.

EFEK SAMPING / TOKSIK

Efek samping antimuskarinik hampir semuanya merupakan efek

farmakodinamik obat. Pada orang muda efek samping mulut kering,

gangguan miksi, meteorisme sering terjadi, tetapi tidak membahayakan.

Pada orang tua efek sentral terutama sindrom demensia, dapat terjadi.

Memburuknya retensi urin pada pasien dengan hypertrofi prostat dan

penglihatan pada pasien glaukoma, menyebabkan obat ini kurang

diterima. Efek samping sentral kurang pada pemberian antimuskarinik

yang bersifat ammonium kuartener. Walaupun demikian selektifitas

hanya berlaku pada dosis rendah dan pada dosis toksik semuanya dapat

terjadi.

Muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi melainkan efek

samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Alergi

terhadap atropin tidak sering ditemukan.

Atropin kadang-kadang menyebabkan keracunan, terutama pada

anak, karena kesalahan dalam menghitung dosis, atau sewaktu meracik

obat kombinasi, karena itu atropin tidak dianjurkan diberikan pada

anak-anak di bawah 4 tahun. Telah dijelaskan di atas bahwa kadang-


kadang obat tetes matapun dapat menyebabkan keracunan bila tidak

dilakukan tindakan untuk mengurangi absorpsinya. Keracunan terjadi

akibat makan buah dari tanaman yang mengandung alkaloid

belladonna, misalnya kecubung. Walaupun gejala keracunan obat ini

sangat mengejutkan, kematian dapat terjadi. Telah dilaporkan bahwa

dosis 500–1000 mg masih belum merupakan dosis fatal. Sebaliknya

pada anak, dosis 10 mg mungkin menyebabkan kematian. Perbedaan

dalam dosis fatal ini mungkin berdasarkan reaksi idiosinkrasi dan

kepekaan seseorang. Karena itu, tiap keracunan alkaloid belladonna

tidak boleh dianggap tidak berbahaya.

Atropin dapat menyebabkan mulut kering, penglihatan mengabur,

mata rasa berpasir, takikardia dan konstipasi. Efeknya terhadap SSP

termasuk rasa capek, bingung, halusinasi, delinium, yang mungkin

berlanjut menjadi depresi, kolaps sirkulasi dan sistem pernapasan dan

kematian. Pada individu yang lebih tua, pemakaian atropine dapat

menimbulkan midriasis dan sikloplegi dan keadaan ini cukup gawat

karena dapat menyebabkan serangan glaukoma berulang setelah

menjalani kondisi tenang.

DOSIS

Dosis atropin umumnya berkisar antara seperempat sampai 1 mg.

Untuk keracunan antikolinesterase digunakan dosis 2 mg/kali. Dosis


untuk mengatasi keracunan kolinergik pada anak adalah 0,04 mg/kgBB

per kali.

INDIKASI LAIN

Medikasi preanestetik, atropin berguna untuk mengurangi sekresi lendir

jalan napas pada anastesi, terutama pada anastesi inhalasi dengan gas-

gas yang merangsang.

Atropin kadang-kadang berguna untuk menghambat N.Vagus pada

bradikardi atau sinkope akibat refleks sinus karotis yang hiperaktif.

Beberapa jenis blok A-V yang disertai dengan hiperaktivitas vagus

dapat diperbaiki dengan atropin.

Terhadap otot polos, efek relaksasi uterus oleh atropin tidak dapat

diandalkan dan zat ini hampir tidak berguna untuk nyeri haid.

Efektivitasnya terhadap kolik ginjal atau saluran empedu juga tidak

dapat dikatakan konsisten dan untuk ini perlu dikombinasi dengan

petidin atau analgesik lain.

Atropin berguna untuk mengantagonis gejala parasimpatomimetik yang

menyertai pengobatan kolinergik pada miastenia gravis. Obat ini tidak

mengganggu efek kolinergik terhadap otot rangka.

Anda mungkin juga menyukai