“Konstipasi”
Dosen Pengampu:
Dr. Titik Sunarni, S.Si, M.Si., Apt
Teori: Apoteker B
Kelompok 6
Anggota:
1. Nining Astiti Tamu Ina (2020394393)
2. Nofitamala (2020394394)
3. Nur Afhriyanti (2020394395)
4. Nur Azmi Istiqomah (2020394396)
5. Nur Diniyah Indra (2020394397)
Konstipasi adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan kesulitan buang
air besar sebagai akibat dari feses yang mengeras. Konstipasi dapat diartikan
terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Menurut North
American Society for Pediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition
(NAPSGAN) 2006, menyebutkan konstipasi adalah kelambatan atau kesulitan
dalam defekasi yang terjadi dalam 2 minggu atau lebih dan cukup membuat
pasien menderita. Konstipasi dapat dirasakan oleh semua umur baik dari anak –
anak sampai lanjut usia. Petunjuk paktis pada World Gastroenterology
Organization (WGO) menjelaskan sebagian besar pasien menyebutkan konstipasi
sebagai defekasi keras (52%), tinja seperti pil atau butir obat (44%),
ketidakmampuan defekasi saat diinginkan (34%), atau defekasi yang jarang
(33%).
Penyebab umum konstipasi adalah kegagalan merespons dorongan buang air
besar, asupan serat dan cairan yang tidak tercukupi yang menyebaban dehidrasi
serta kelemahan otot. Serat memiliki kemampuan mengikat air di dalam usus
besar yang membuat volume feses menjadi lebih besar dan merangsang saraf
retum sehingga menimbulkan keinginan untuk defekasi. Asupan serat yang rendah
dapat menyebabkan masa feses berkurang dan sulit untuk buang air besar (Lee et
all, 2008).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan sebagian besar
penduduk Indonesia masih kurang konsumsi serat dari sayur dan buah. Kurangnya
konsumsi buah dan sayur terdapat pada penduduk umur lebih dari 10 tahun adalah
93,5% dan di wilayah Jawa Tengah sebanyak 91% penduduk yang kurang
mengonsumsi sayur dan buah. Rata – rata konsumsi serat pada penduduk
Indonesia secara umum adalah 10,5 gram/hari, sedangan kebutuhan serat ideal
rata-rata setiap hari sebanyak 25-30 gram. Hal tersebut menunjukkan bahwa
asupan serat penduduk Indonesia hanya mencapai 1/3 dari kebutuhan serat yang
dianjurkan (Depkes, 2008).
Prevalensi kejadian konstipasi di Asia yang diwakili oleh Korea Selatan,
China, dan Indonesia diperkirakan 15-23% terjadi pada perempuan dan sekitar
11% pada laki-laki (Wald et all, 2010). Berdasarkan International Database US
Census Bureau pada tahun 2003, prevalensi konstipasi di Indonesia sebesar
3.857.327 jiwa. Angka kejadian konstipasi di dunia maupun di indonesia cukup
tinggi, sekitar 12% dari populasi penduduk di seluruh dunia mengalami
konstipasi. Kejadian konstipasi umumnya diderita masyarakat sekitar 4-30% pada
kelompok usia 60 tahun ke atas atau lansia. Kejadian konstipasi lebih sering
terjadi pada lansia karena lansia banyak mengalami penurunan fungsi organ tubuh
yaitu pada sistem gastrointestinal yang mengalami perubahan strutur dan fungsi
usus besar (Wahyu, 2012).
Gejala konstipasi disebabkan dengan menurunnya gerakan peristaltik usus
sehingga menyebabkan konsistensi feses menjadi keras dan usus tidak dapat
mendorong kotoran (feses) ke arah rektum. Faktor – faktor seperti mengonsumsi
makanan yang tidak sesuai dan kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan
terjadinya konstipasi. Pada orang normal, proses pergerakan peristaltis usus
terjadi selama 24 – 48 jam, sedangkan pada pasien konstipasi pergerakan
peristaltik ususnya melambat sehingga frekuensi defekasi kurang dari 3 kali dalam
seminggu. Konstipasi sering disertai feses yang keras, defekasi terasa nyeri, dan
rasa pengosongan perut tidak sepenuhnya (Heinrich et all, 2009).
Penderita biasanya mengatasi keluhan ini dengan mengobati diri sendiri
(swamedikasi), apabila keluhan ini sudah kronis dan tidak dapat diatasi sendiri,
maka penderita konsultasi ke dokter. Swamedikasi untuk konstipasi dapat
dilakukan dengan perubahan pola makan atau aktivitas fisik dan dapat
menggunakan obat sintetik maupun obat herbal atau yang disebut laksatif,
contohnya obat seperti golongan bisakodil dan laktulosa yang selalu dijadikan
alternatif bagi penderita konstipasi. Efek samping dari obat laksatif ini adalah
perut kram, ketergantungan dan bisa sampai terjadi hipokalemia jika digunakan
dalam jangka waktu lama (Sholekhudin, 2014).
BAB II
ISI
Tatalaksana swamedikasi :
Tatalaksana swamedikasi :
KESIMPULAN