Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH SWAMEDIKASI

“Konstipasi”

Dosen Pengampu:
Dr. Titik Sunarni, S.Si, M.Si., Apt

Teori: Apoteker B
Kelompok 6
Anggota:
1. Nining Astiti Tamu Ina (2020394393)
2. Nofitamala (2020394394)
3. Nur Afhriyanti (2020394395)
4. Nur Azmi Istiqomah (2020394396)
5. Nur Diniyah Indra (2020394397)

PROGRAM STUDI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURKARTA
TAHUN AJARAN 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

Konstipasi adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan kesulitan buang
air besar sebagai akibat dari feses yang mengeras. Konstipasi dapat diartikan
terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Menurut North
American Society for Pediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition
(NAPSGAN) 2006, menyebutkan konstipasi adalah kelambatan atau kesulitan
dalam defekasi yang terjadi dalam 2 minggu atau lebih dan cukup membuat
pasien menderita. Konstipasi dapat dirasakan oleh semua umur baik dari anak –
anak sampai lanjut usia. Petunjuk paktis pada World Gastroenterology
Organization (WGO) menjelaskan sebagian besar pasien menyebutkan konstipasi
sebagai defekasi keras (52%), tinja seperti pil atau butir obat (44%),
ketidakmampuan defekasi saat diinginkan (34%), atau defekasi yang jarang
(33%).
Penyebab umum konstipasi adalah kegagalan merespons dorongan buang air
besar, asupan serat dan cairan yang tidak tercukupi yang menyebaban dehidrasi
serta kelemahan otot. Serat memiliki kemampuan mengikat air di dalam usus
besar yang membuat volume feses menjadi lebih besar dan merangsang saraf
retum sehingga menimbulkan keinginan untuk defekasi. Asupan serat yang rendah
dapat menyebabkan masa feses berkurang dan sulit untuk buang air besar (Lee et
all, 2008).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan sebagian besar
penduduk Indonesia masih kurang konsumsi serat dari sayur dan buah. Kurangnya
konsumsi buah dan sayur terdapat pada penduduk umur lebih dari 10 tahun adalah
93,5% dan di wilayah Jawa Tengah sebanyak 91% penduduk yang kurang
mengonsumsi sayur dan buah. Rata – rata konsumsi serat pada penduduk
Indonesia secara umum adalah 10,5 gram/hari, sedangan kebutuhan serat ideal
rata-rata setiap hari sebanyak 25-30 gram. Hal tersebut menunjukkan bahwa
asupan serat penduduk Indonesia hanya mencapai 1/3 dari kebutuhan serat yang
dianjurkan (Depkes, 2008).
Prevalensi kejadian konstipasi di Asia yang diwakili oleh Korea Selatan,
China, dan Indonesia diperkirakan 15-23% terjadi pada perempuan dan sekitar
11% pada laki-laki (Wald et all, 2010). Berdasarkan International Database US
Census Bureau pada tahun 2003, prevalensi konstipasi di Indonesia sebesar
3.857.327 jiwa. Angka kejadian konstipasi di dunia maupun di indonesia cukup
tinggi, sekitar 12% dari populasi penduduk di seluruh dunia mengalami
konstipasi. Kejadian konstipasi umumnya diderita masyarakat sekitar 4-30% pada
kelompok usia 60 tahun ke atas atau lansia. Kejadian konstipasi lebih sering
terjadi pada lansia karena lansia banyak mengalami penurunan fungsi organ tubuh
yaitu pada sistem gastrointestinal yang mengalami perubahan strutur dan fungsi
usus besar (Wahyu, 2012).
Gejala konstipasi disebabkan dengan menurunnya gerakan peristaltik usus
sehingga menyebabkan konsistensi feses menjadi keras dan usus tidak dapat
mendorong kotoran (feses) ke arah rektum. Faktor – faktor seperti mengonsumsi
makanan yang tidak sesuai dan kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan
terjadinya konstipasi. Pada orang normal, proses pergerakan peristaltis usus
terjadi selama 24 – 48 jam, sedangkan pada pasien konstipasi pergerakan
peristaltik ususnya melambat sehingga frekuensi defekasi kurang dari 3 kali dalam
seminggu. Konstipasi sering disertai feses yang keras, defekasi terasa nyeri, dan
rasa pengosongan perut tidak sepenuhnya (Heinrich et all, 2009).
Penderita biasanya mengatasi keluhan ini dengan mengobati diri sendiri
(swamedikasi), apabila keluhan ini sudah kronis dan tidak dapat diatasi sendiri,
maka penderita konsultasi ke dokter. Swamedikasi untuk konstipasi dapat
dilakukan dengan perubahan pola makan atau aktivitas fisik dan dapat
menggunakan obat sintetik maupun obat herbal atau yang disebut laksatif,
contohnya obat seperti golongan bisakodil dan laktulosa yang selalu dijadikan
alternatif bagi penderita konstipasi. Efek samping dari obat laksatif ini adalah
perut kram, ketergantungan dan bisa sampai terjadi hipokalemia jika digunakan
dalam jangka waktu lama (Sholekhudin, 2014).
BAB II
ISI

A. Defenisi sembelit (konstipasi)


Konstipasi biasa disebut sembelit atau susah buang air besar. Konstipasi
adalah suatu keadaan yang ditandai oleh perubahan konsistensi feses menjadi
keras, ukuran besar, penurunan frekuensi atau kesulitan defekasi. Konstipasi
sering ditandai dengan gejala cemas ketika defekasi oleh karena rasa nyeri
saat buang air besar (Jannah dkk., 2017).
Konstipasi adalah suatu gejala bukan penyakit. Di masyarakat dikenal
dengan istilah sembelit, merupakan suatu keadaan sukar atau tidak dapat
buang air besar, feses (tinja) yang keras, rasa buang air besar tidak tuntas
(ada rasa ingin buang air besar tetapi tidak dapat mengeluarkannya), atau
jarang buang air besar. Seringkali orang berpikir bahwa mereka mengalami
konstipasi apabila mereka tidak buang air besar setiap hari yang disebut
normal dapat bervariasi dari tiga kali sehari hingga tiga kali seminggu
(Herawati, 2012).
Sembelit atau konstipasi merupakan keadaan tertahannya feses (tinja)
dalam usus besar pada waktu cukup lama karena adanya kesulitan dalam
pengeluaran. Hal ini terjadi akibat tidak adanya gerakan peri staltik pada usus
besar sehingga memicu tidak teraturnya buang air besar dan timbul perasaan
tidak nyaman pada perut (Akmal, dkk, 2010).
Secara umum konstipasi menurut the North American Society for
Pediatric Gastroenterology and Nutrition (NASPHGAN) adalah kesulitan
atau keterlambatan melakukan defekasi selama dua minggu atau lebih dan
dapat menyebabkan stres pada pasien.
B. Klasifikasi sembelit
Klasifikasi Konstipasi berdasarkan lamanya keluhan Ada 2 jenis yaitu
konstipasi akut dan konstipasi kronis. Disebut konstipasi akut bila keluhan
berlangsung kurang dari 4 minggu. Sedangkan bila konstipasi telah
berlangsung lebih dari 4 minggu disebut konstipasi kronik. Penyebab
konstipasi kronik biasanya lebih sulit disembuhkan (Kasdu 2005 ).
C. Epidemiologi Sembelit
Prevalensi gangguan konstipasi cukup tinggi di Amerika Serikat dan
melibatkan 15% dari jumlah penduduk. Pada 2006, kasus konstipasi yang
ditemukan pada kunjungaan dokter ke rumah sakit mencapai angka 5,7 juta
penderita, dan 2,7 juta diantaranya terdiagnosis konstipasi sebagai diagnosis
primer. 2 % dari populasi tersebut mengeluhkan gangguan konstipasi yang
terjadi secara konstan. Kasus konstipasi diseluruh dunia mencapai 12 % dari
total penduduk dunia yang diketahui oleh penderita itu sendiri. Penduduk
Amerika dan Asia pasifik memiliki angka prevalensi dua kali lebih banyak
daripada penduduk Eropa. Di Australia, sekitar 20% dari populasi berusia di
atas 60 tahun mengeluh mengalami konstipasi dan lebih banyak terjadi pada
perempuan dibandingkan pria. Suatu penelitian yang melibatkan 3000 orang
berusia diatas 65 tahun menunjukkan sekitar 34% perempuan dan 26 %
pria yang mengeluh konstipasi (Pranaka, 2009).
Konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi pada anak.
Penelitian Loening Baucke (2007) didapatkan prevalensi konstipasi pada
anak usia 4-17 tahun adalah 22,6%, sedangkan prevalensi konstipasi pada
anak usia di bawah 4 tahun hanya sebesar 16%. Penelitian Rasquin dkk .
(2006) didapatkan bahwa 16% anak usia 9-11 tahun menderita konstipasi.
Sebanyak 90-97% kasus konstipasi yang terjadi pada anak merupakan suatu
konstipasi fungsional dan kejadiannya sama antara laki-laki dan perempuan.
Hal ini berbeda dengan penelitian yang di lakukan oleh Borowitz dkk.
(2003),konstipasi lebih banyak dijumpai pada anak laki-laki dengan
perbandingan 2:1. Penelitian di Indonesia pernah dilakukan pada anak sekolah
taman kanak-kanak di wilayah Senen, Jakarta. Prevalensi konstipasi
didapatkan sebesar 4,4% (Firmansyah,2007).
D. Etiologi sembelit
Adapun etiologi dari konstipasi sebagai berikut
1. Pola hidup ; diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air besar
yang tidak teratur, kurang olahraga.
a. Diet rendah serat :Makanan lunak dan rendah serat yang
berkurang pada feses sehingga menghasilkan  produk sisa yang
tidak cukup untuk merangsang refleks  pada proses defekasi.
Makan  rendah serat seperti; beras, telur dan daging segar bergerak
lambat di saluran cerna.  Meningkatnya  asupan cairan  dengan 
makanan  seperti  itu  meningkatkan  pergerakan  makanan tersebut
(Siregar, 2004).
b. Kurang cairan/minum :
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika
pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine,
muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh
melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di
sepanjang kolon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari
normal, menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi
berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalanan chyme
di sepanjang intestinal, sehingga meningktakan reabsorbsi dari
chime (Siregar, 2004).
c. Kebiasaan buang air besar (BAB) yang tidak teratur Salah satu
penyebab yang paling sering menyebabkan konstipasi adalah
kebiasaan BAB yang tidak teratur. Refleks defekasi yang normal
dihambat atau diabaikan, reflex-refleks ini terkondisi untuk
menjadi semakin melemah. Ketika kebiasaan diabaikan, keinginan
untuk defekasi habis. Anak pada masa bermain bisa mengabaikan
refleks-refleks ini; orang dewasa mengabaikannya karena tekanan
waktu dan pekerjaan. Klien yang dirawat inap bisa menekan
keinginan buar air besar karena malu menggunakan bedpan atau
karena proses defekasi yang tidak nyaman. Perubahan rutinitas dan
diet juga dapat berperan dalam konstipasi. Jalan terbaik untuk
menghindari konstipasi adalah membiasakan BAB teratur dalam
kehidupan (Siregar, 2004).
2. Obat–obatan
Banyak obat yang menyebabkan efek samping konstipasi.
Beberapa di antaranya seperti ; morfin, codein sama halnya dengan obat
obatan adrenergic dan antikolinergik, melambatkan pergerakan dari kolon
melalui kerja mereka pada sistem syaraf pusat. Kemudian, menyebabkan
konstipasi yang lainnya seperti: zat besi, mempunyai efek menciutkan dan
kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk menyebabkan
konstipasi. Zat  besi  juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat
menyebabkan  diare  pada  sebagian  orang (Siregar, 2004).
3. Kelainan struktural kolon ; tumor, stiktur, hemoroid, abses perineum,
magakolon.
4. Penyakit sistemik ; hipotiroidisme, gagal ginjal kronik, diabetes mellitus.
5. Penyakit neurologik ; hirschprung, lesi medulla spinalis, neuropati
otonom.
6. Disfungsi otot dinding dasar pelvis.
7.   Idiopatik transit kolon yang lambat, pseudo obstruksi kronis.
8.   Irritable Bowel syndrome tipe konstipasi (Djojoningrat, 2009).
E. Patofisiologi
Kontipasi muncul akibat dua jenis gangguan motilitas usus. Gangguan
pertama adalah koloninersia atau slow-transit constipation yang mengacu pada
lambatnya perpindahan feses dari proksimal menuju kolon distal dan rektum.
Terdapat dua mekanisme yang menyebabkan lambatnya transit kolon, yaitu
penurunan kontraksi peristaltik dan aktivitas motorik yang tidak terkoordinasi
dalam kolon distal. Gangguan kedua adalah pervic floor dysfungtion, kondisi
ini menyebabkan ketidak mampuan rektum untuk mengosongkan isi kolon.
Kombinasi dari kedua gangguan tersebut juga dapat terjadi pada konstipasi
dimana penderita mengalami kelambatan transit dan ketidak mampuan saat
pengosongan.
F. Tanda dan Gejala
Menurut Akmal, dkk (2010), ada beberapa tanda dan gejala yang
umum ditemukan pada sebagian besar atau terkadang beberapa penderita
sembelit sebagai berikut:
1. Perut terasa begah, penuh dan kaku;
2. Tubuh tidak fit, terasa tidak nyaman, lesu, cepat lelah sehingga malas
mengerjakan sesuatu bahkan terkadang sering mengantuk;
3. Sering berdebar-debar sehingga memicu untuk cepat emosi,
mengakibatkan stress, rentan sakit kepala bahkan demam;
4. Aktivitas sehari-hari terganggu karena menjadi kurang percaya diri,
tidak bersemangat, tubuh terasa terbebani, memicu penurunan kualitas,
dan produktivitas kerja;
5. Feses lebih keras, panas, berwarna lebih gelap, dan lebih sedikit
daripada biasanya;
6. Feses sulit dikeluarkan atau dibuang ketika air besar, pada saat
bersamaan tubuh berkeringat dingin, dan terkadang harus mengejan
atupun menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan
dan membuang feses (bahkan sampai mengalami ambeien/wasir);
7. Bagian anus atau dubur terasa penuh, tidak plong, dan bagai terganjal
sesuatu disertai rasa sakit akibat bergesekan dengan feses yang kering dan
keras atau karena mengalami wasir sehingga pada saat duduk tersa tidak
nyaman;
8. Lebih sering buang angin yang berbau lebih busuk daripada biasanya;
9. Usus kurang elastis ( biasanya karena mengalami kehamilan atau usia
lanjut), ada bunyi saat air diserap usus, terasa seperti ada yang
mengganjal, dan gerakannya lebih lambat daripada biasanya;
10. Terjadi penurunan frekuensi buang air besar;
Adapun untuk sembelit kronis (obstipasi), gejalanya tidak terlalu
berbeda hanya sedikit lebih parah, diantaranya:
a. Perut terlihat seperti sedang hamil dan terasa sangat mulas;
b. Feses sangat keras dan berbentuk bulat-bulat kecil;
c. Frekuensi buang air besar dapat mencapai berminggu-minggu;
d. Tubuh sering terasa panas, lemas, dan berat;
e. Sering kurang percaya diri dan terkadang ingin menyendiri;
G. Penatalaksanaan
Pengobatan pada sembelit dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non
farmakologi dan farmakologi.
a. Terapi non farmakologi
- Memperbaiki pola makan dan mengkonsumsi makanan yang tinggi serat
seperti sayur-sayuran dan buah
- Minum air putih minimal 8 gelas tiap harinya
- Kurangi stress
b. Terapi farmakologi
1. Pembentuk Massa
Mekanisme: mengikat air dan ion dalam lumen kolon sehingga volume
tinja bertambah dan konsistensinya juga lunak. Contoh:
Isphagula/Psyllium, agar-agar, metil selulosa
2. Stimulan
Mekanisme: merangsang dinding usus besar untuk berkontraksi sehingga
mampu mendorong keluarnya tinja. Contoh: bisacodyl
3. Pencahar Osmotik
Mekanisme: Menarik air kedalam lumen usus sehingga tinja menjadi lebih
lunak sehingga mudah dikeluarkan. Contoh: Magnesium sulfat, laktulosa,
natrium fosfat, natrium sulfat
4. Pencahar Emolien
Mekanisme: melunakkan tinja tanpa merangsang peristaltic usus. Contoh:
paraffin cair
Nama obat Indikasi KI Dosis ESO
Vegeta Memudahkan dan Untuk BAB secar
melancarkan BAB dan lancar dan alami
juga sebagai pengganti sehari 2-3 x 1 sachet
makanan
Kompolax Melembekkan feses pada Anak-anak Dewasa= 2 sdtk Alergi
konstipasi atoni, di bawah 6 1kali/hari kulit
melembekkan fesees pada th, wanita (ruam)
peradangan di sekitar anus hamil dan Anak-anak= 6-12 th: 1
dan paska operasi menyusui sdtk sebanyak
1kali/hari
Dulcolax Melancarkan BAB pada Wanita Dewasa & anak 12 th
kasus konstipasi atau hamil ke atas:sehari 1x1
sembelit, digunakan untuk (trimester I) suppo atau sehari 1-2
membersihkan usus dan ibu tab sehari (5 – 10 mg)
sebelum pemeriksaan atau menyusui
operasi usus. Anak (6-12 th): sehari
½ suppo atau 1 tablet
(5 mg perhari

Prolaxan Mengatasi sembelit atau Dewasa:2 tab/hari Kram


konstipasi, mengosongkan Anak 6-12 th: 1 perut
perut sebelum operasi, x- tab/hari
ray atau prosedur pada
usus lainnya
Maximus Mengatasi konstipasi dan Dewasa >12 th: 2-4
meringankan wasir kapsul sehari,
diminum malam hari
Laxing Melancarkan BAB dan Anak <12 Dewasa: 1-2 kapsul/ Kram
melunakkan feses th, ibu hari, diminum perut
hamil dan sebelum tidur
menyusui
Microlax Konstipasi rektal dan Untuk anak > 3 tahun
sigmodal, konstipasi pada dan dewasa 1 tube/
kehamilan, konstipasi hari sebelum tidur
bakal atau peralihan pada
anak
KASUS SEMBELIT

1. Seorang ibu datang ke apotek mengeluhkan anaknya usia 5 tahun mengalami


sakit perut dan sudah 5 hari tidak dapat BAB karena feses terasa mengeras. Ibu
tersebut datang untuk meminta obat yang bisa diberikan untuk anaknya agar
segera bisa BAB dengan lancar.

Tatalaksana swamedikasi :

A. Tanyakan pada orang tua pasien


 Bagaimana pola BAB normal anak?
 Bagaimana pola makan dan minum anak?
 Bagaimana aktivitas fisik anak?
 Apakah sebelumnya pernah mengalami konstipasi?
 Apakah sudah mengkonsumsi obat konstipasi sebelumnya?
 Obat apa yang sedang dikonsumsi saat ini?
B. Pilihan obat oleh Apoteker
Microlax enema

Produksi : Pharoz, Labaz


Kandungan : Na-Lauril Sulfoasetat 45 mg, Na-sitrat 450 mg, asam
sorbat 5 mg, PEG-400 625 mg, sorbitol 4.465 mg
Indikasi : Kontipasi rectal dan sigmodial, kontipasi pada
kehamilan, kontipasi atau peralihan pada anak-anak
Dosis : Untuk anak di atas 3 tahun dan dewasa, beri 1 tube
dengan memasukkan pipa aplikator seluruhnya pada
rektum/anus.
Cara kerja obat : Bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan
feses dan secara bersamaan menyerap air ke dalam usus
besar sehingga feses menjadi lembek. Microlax juga
melumasi bagian bawah rektum sehingga feses lebih
mudah dikeluarkan
Lama kerja obat: 5-15 menit
C. Cara penggunaan Microlax
 Putar dan tarik segel dari aplikator sediaan
 Tekan tabung perlahan sehingga setetes Microlax membasahi ujung
sediaan (untuk mempermudah masuknya enema ke dalam dubur)
 Masukkan setengah aplikator ke dalam dubur
 Tekan tube tersebut sampai seluruh isinya keluar
 Cabut kembali pipa tersebut tanpa melepaskan tekanan pada tube
D. Penyimpanan
 Microlax harus disimpan pada tempat dengan suhu di bawah 30˚C
 Jangan menyimpan Microlax pada kamar mandi atau pada tempat
yang basah
 Jauhkan dari jangkauan anak-anak
E. Materi KIE
 Menyarankan penggunaan Microlax untuk mengatasi kontipasi
 Menjelaskan tata cara menggunakan Microlax enema
 Microlax enema bisa diberikan pada anak langsung setelah
pemberian
 Jika setelah mengkonsumsi obat dan belum membaik segera hubungi
dokter
 Menganjurkan anak untuk mengkonsumsi sayur, buah-buahan,
istirahat yang cukup, serta perbanyak mengkonsumsi air putih

2. Seorang pasien berumur 57 tahun datang ke apotek bersama anaknya, anaknya


tersebut memberitahu kalau Ibunya merasakan nyeri pada perut bagian bawah
dan sudah seminggu tidak BAB. Anak dari pasien tersebut ingin membeli obat
yang tepat agar Ibunya bisa segera BAB.

Tatalaksana swamedikasi :

A. Tanyakan pada pasien


 Bagaimana pola BAB normal pasien?
 Bagaimana pola makan dan minum pasien?
 Bagaimana aktivitas fisik pasien?
 Apakah sebelumnya pernah mengalami konstipasi?
 Apakah sudah mengkonsumsi obat konstipasi sebelumnya?
 Obat apa yang sedang dikonsumsi saat ini?
B. Pilihan obat apoteker
Dulcolax Suppositoris
Produksi : Boehringer Ingelheim / Sanofi Aventis
Kandungan : Bisacodyl 10 mg
Indikasi : Kegunaan dulcolax suppositoria (bisacodyl) adalah
untuk mengatasi sembelit atau konstipasi dan
mengosongkan isi perut
Dosis : Untuk dewasa menggunakan 1 suppo dewasa (10 mg)
Cara kerja obat : Bekerja dengan merangsang dinding usus besar untuk
berkontraksi sehingga mampu mendorong keluarnya
feses.
C. Cara penggunaan dulcolax supp
 Cuci tangan sebelum menggunakan obat.
 Buka wadah pembungkus suppositoria.
 Bagian ujung suppositoria dibasahi dengan sedikit air (sebagai
pelincir)
 Atur posisi tubuh berbaring menyamping dengan kaki bagian bawah
diluruskan, sementara kaki bagian atas ditekuk ke arah perut.
 Tarik pantat bagian atas untuk menjangkau lubang anus, masukkan
suppositoria ke dalam lubang anus secara perlahan, bagian yaang
lancip masuk terlebih dahulu hingga suppo masuk ke otot dibagian
lubang pantat (0,5 – 1 inch), lepaskan suppo dan biarkan masuk
dengan sendirinya.
 Setelah obat masuk, pasien dianjurkan untuk tetap berbaring
menyamping dengan kedua kaki dan pantat merapat selama kurang
lebih 5 menit untuk menghindari suppo keluar.
D. Penyimpanan dulcolax suppo
Disimpan di lemari pendingin dengan suhu 2-8˚C dan dalam wadah
tertutup rapat.
BAB III

KESIMPULAN

Konstipasi adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan kesulitan


buang air besar sebagai akibat dari feses yang mengeras. Konstipasi dapat
diartikan terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal.

Faktor – faktor seperti mengonsumsi makanan yang tidak sesuai dan


kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan terjadinya konstipasi.

Kontipasi muncul akibat dua jenis gangguan motilitas usus. Gangguan


pertama adalah koloninersia dan gangguan kedua adalah pervic floor dysfungtion

Pengobatan untuk swamedikasi terbagi menjadi terapi farmakologi dan


non farmakologi. Terapi farmakologi dapat dilakukan dengan menggunakan obat
antara lain vegeta, kompolax, dulcolax, prolaxan, maximus, laxing dan microlax.
Sedangkan untuk terapi nonfarmakologi antara lain mengkonsumsi makanan
berserat, olahraga dan perbanyak mengkonsumsi air putih.
DAFTAR PUSTAKA

Akmal, M. 2010. Ensiklopedi Kesehatan Untuk Umum. Yogyakarta : Ar-ruzz


Media.
Depkes RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
Djojoningrat,  D,.  2009. Dispepsia  Fungsional.  In  :  Sudoyo,  AW.,  Setiyohadi,
B,.Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Heinrich, M., Barnes, J., Gibbons, S., dan Williamson, E.M. 2009. Farmakognisi
dan Fitoterapi. Jakarta: EGC.
Herawati, F. 2012. Panduan Terapi Aman Selama Kehamilan. Surabaya : PT.
ISFI Penerbitan.
Jannah, I, N., Arifa, M., Edith F, P., 2017. Reduction Of Constipating Scoring
System Among Women Aged 18–25 Years Old As A Result Of Decocted
Trengguli (Cassia Fistula L.). Journal of Vocational Health Studies 58–62.
Kasdu, D. 2005. Solusi Problem Kehamilan. Jakarta : Puspa Swara.
Kementerian Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Lee, WT., Chan, JS., Lui, NW., dan Young, BW. 2008. Prevalence Constipation
In Pre-School Children Is Attributable To Under-Consumption of Plant
Food: A Community-Based Study. Journal Paediatr Child Health 170-175.
Pranaka, K., dan Hadi. 2009. Geriatri (Ilmu Kesehatan Lanjut Usia). Jakarta :
Balai penerbit FKUI.
Sholehudin, M. 2014. Buku Obat Sehari-hari. Jakarta : PT. Elex Media
Komputindo.
Simadibrata, MK. 2006. Pendekatan Diagnostik Diare Kronik. Didalam : Sudoyo
Aru W Et Al, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1 Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI
Siregar, Charles. JP., 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Cetakan
I. Jakarta : Penerbit EGC.
Smeltzer, Suzane C., And Bare, Brenda G. 2008. Buku Ajar Kesehatan Medical
Bedah, Volume 2, Edisi 8. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai