Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
konstipasi dan inkonytenensia ini.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR ISI
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB 11: PEMBAHASAN
A. KONSEP TEORITIS KONSTIPASI
1. Definisi
2. epidemiologi
3. Etiologi
4. patofisiologi
5. Klasifikasi
6. Manifestasi klinis
7. Penatalaksanaan
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KONSTIPASI
1. Pengkajian
2. Diagnosa keperawatan
3. Intervensi keperawatan
A. kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan
normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses (kotoran) kurang, atau
fesesnya keras dan kering. Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut usia
(lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus, red) lebih lambat
dan kemungkinan sebab lain. Kebanyakan terjadi jika makan kurang berserat, kurang minum,
dan kurang olahraga. Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga hari berturut-
turut.
Kasus konstipasi umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4-30 persen pada
kelompok usia 60 tahun ke atas. Ternyata, wanita lebih sering mengeluh konstipasi dibanding
pria dengan perbandingan 3:1 hingga 2:1. Insiden konstipasi meningkat seiring bertambahnya
umur, terutama usia 65 tahun ke atas. Pada suatu penelitian pada orang berusia usia 65 tahun
ke atas, terdapat penderita konstipasi sekitar 34 persen wanita dan pria 26 persen.
Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya karena jijik
dengan WC-nya, bingung caranya buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan
kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek samping
obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor kelainan organ
di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau kelainan
pada rektum, anak dan dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik.
Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Lagi-lagi, kuncinya adalah
mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada buah dan
sayur. Jika penderita konstipasi ini mengalami kesulitan mengunyah, misalnya karena
ompong, haluskan sayur atau buah tersebut dengan blender.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan
pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia
lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami
inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat
berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali
lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.
Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah.
Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi
tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua
Beberapa perubahan berkaitan dengan lanjut usia dan keadaan patologik yang sering
terjadi pada lanjut usia daapat mendukung terjadinya inkontinensia. Inkontinensia urin
mempunyai kemungkinan besar untuk sembuhkan terutama pada penderita dengan mobilitas
dan status mental yang cukup baik. Bahkan bila tidak dapat diobati sempurna, inkontinensia
selalu dapat diupayakan lebih baik, sehingga kualitas hidup penderita dapat ditingkatkan dan
meringankan beban yang ditanggung oleh mereka yang merawat penderita.
B. Rumusan Masalah
1. Apa konsep teori dari konstipasi dan bagaimana asuhan keperawatan dalam
menangani kasus konstipasi?
2. Apa konsep teori dari konstipasi dan bagaimana asuhan keperawatan dalam
menangani kasus inkontinensia?
C. Tujuan
1. Apa konsep teori dari konstipasi dan bagaimana asuhan keperawatan dalam
menangani kasus konstipasi?
2. Apa konsep teori dari konstipasi dan bagaimana asuhan keperawatan dalam
menangani kasus inkontinensia?
BAB 11
PEMBAHASAN
2. Epidemiologi
Konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi pada anak. Penelitian Loening-Baucke
(2007) didapatkan prevalensi konstipasi pada anak usia 4-17 tahun adalah 22,6%, sedangkan
prevalensi konstipasi pada anak usia di bawah 4 tahun hanya sebesar 16%. Penelitian Rasquin
dkk. (2006) didapatkan bahwa 16% anak usia 9-11 tahun menderita konstipasi. Sebanyak 90-
97% kasus konstipasi yang terjadi pada anak merupakan suatu konstipasi fungsional (Van
Den Berg dkk., 2006) dan kejadiannya sama antara laki-laki dan perempuan (Loening-
Baucke, 2004). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Borowitz dkk. (2003),
konstipasi lebih banyak dijumpai pada anak laki-laki dengan perbandingan 2:1. Penelitian di
Indonesia pernah dilakukan pada anak sekolah taman kanak-kanak di wilayah Senen, Jakarta.
Prevalensi konstipasi didapatkan sebesar 4,4% (Firmansyah, 2007).
3. Etiologi
Penyebab tersering konstipasi pada anak yaitu fungsional, fisura ani, infeksi virus dengan
ileus, diet dan obat. Konstipasi pada anak 95% akibat konstipasi fungsional. Konstipasi
fungsional pada umumnya terkait dengan perubahan kebiasan diet, kurangnya makanan
mengandung serat, kurangnya asupan cairan, psikologis, takut atau malu ke toilet (Van Dijk
dkk., 2010; Uguralp dkk., 2003; Ritterband dkk., 2003; Devanarayana dan Rajindrajith 2011).
4. Patofisiologi
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor
yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut,
motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak
mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. perubahan patofisiologi yang
menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi
pada mereka dengan konstipasi.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak
mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas motorik
dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak yang
ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang
usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-
9 hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi
sampai 14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon sebelah
kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid.
Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien dengan
konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat berkurangnya
inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan juga berkurangnya
rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan memanjangnya waktu
gerakan usus.
Individu di atas usia 60 tahun jug aterbukti mempunyai kadar plasma beta-endorfin yang
meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di usus. Hal ini
dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang dapat menyebabkan relaksasi
tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot
polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. pasien dengan konstipasi
mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras sehingga
upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf
pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya, pada
mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami 3 perubahan patologis pada rektum :
1) Diskesia Rektum
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan
peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk menginduksi
refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada colok dubur pasien dengan diskesia
rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan untuk BAB
sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan karena tanggapnya atau
penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada penderita demensia,
imobilitas, atau sakit daerah anus dan rectum
2) Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna saat
BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran anus
saat mengejan.
3) Peningkatan Tonus Rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada kolon
yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel Syndrome, dimana konstipasi merupakan
hal yang dominan.
5. Klasifikasi
Ada 2 jenis konstipasi berdasarkan lamanya keluhan yaitu konstipasi akut dan konstipasi
kronis. Disebut konstipasi akut bila keluhan berlangsung kurang dari 4 minggu. Sedangkan
bila konstipasi telah berlangsung lebih dari 4 minggu disebut konstipasi kronik. Penyebab
konstipasi kronik biasanya lebih sulit disembuhkan Kasdu ( 2005).
6. Manifestasi Klinis
Gejala klinis konstipasi adalah frekuensi defekasi kurang dari tiga kali per minggu, nyeri
saat defekasi, tinja keras, sering mengejan pada saat defekasi, perasaan kurang puas setelah
defekasi. (Uguralp dkk., 2003; Rajindrajith dkk, 2010)Keluhan lain yang biasa timbul adalah
nyeri perut, kembung, perdarahan rektum (tinja yang keluar keras dan kehitaman). Keluhan
tersebut makin bertambah berat, bahkan sampai timbulnya gejala obstruksi intestinal
7. Penatalaksanaan
1) Pengobatan non-farmakologis.
a. Latihan usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku
yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya.
Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk
memanfaatkan gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit
setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB.
Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap
tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda
dorongan untuk BAB ini.
b. Diet : peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan
usia lanjut. data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung
banyak serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam
penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal.
Serat meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit
di usus. untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan cairan
sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.
c. Olahraga : cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi
konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur
dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk
memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni
pada otot perut
2) Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan
biasnya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :
a. memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl
selulose, Psilium.
b. melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan
tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air.
Contohnya : minyak kastor, golongan dochusate.
c. golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan,
misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
d. merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan
ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa
dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan
berakibat dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.
e. Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-
cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya
kolektomi sub total dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada
konstipasi berat dengan masa transit yang lambat dan tidak diketahui
penyebabnya serta tidak ada respons dengan pengobatan yang diberikan. Pasa
umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya volvulus,
tidak dilakukan tindakan pembedahan
1. Pengkajian
a. Biodata Pasien
b. Keluhan Utama
c. Riwayat Kesehatan
d. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan dibuat untuk mendapatkan informasi tentang awitan dan durasi
konstipasi, pola emliminasi saat ini dan masa lalu, serta harapan pasien tentang elininasi
defekasi. Informasi gaya hidup harus dikaji, termasuk latihan dan tingkat aktifitas, pekerjaan,
asupan nutrisi dan cairan, serta stress. Riwayat medis dan bedah masa lalu, terapi obat-obatan
saat ini, dan penggunaan laksatif serta enema adalah penting. Pasien harus ditanya tentang
adanya tekanan rektal atau rasa penuh, nyeri abdomen, mengejan berlebihan saat defekasi,
flatulens, atau diare encer.
e. Riwayat / Keadaan Psikososial
f. Pemeriksaan Fisik
g. Pola Kebiasaan Sehari-hari
h. Analisa Data
Pengkajian objektif mencakup inspeksi feses terhadap warna, bau, konsistensi,
ukuran, bentuk, dan komponen. Abdomen diauskultasi terhadap adanya bising usus dan
karakternya. Distensi abdomen diperhatikan. Area peritonial diinspeksi terhadap adanya
hemoroid, fisura, dan iritasi kulit.
2. Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan.
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.
3. Intervensi
NO DIAGNOSA NOC NIC
1 Konstipasi b.d pola Eliminasi usus(0501) Manajemen saluran
defekasi tidak teratur Definisi: pembentkan dan cerna(0430)
pengeluaran feces Definisi: pembentukan dan
050101 pola pemeliharaan pola yang
eliminasi teratur dalam hal eliminasi
050102 kontrol saluran cerna
gerakan usus Aktivitas-aktivitas:
050103 warna feces Catat tanggal buang
050104 jumlah feces air besar terakhir
untuk diet Monitor buang air
050104 feses lembut besar termasuk
dan berbentuk frekuensi,
spingter tepat
usus tinggi
050107 lemak dalam Lapor berkurangnya
feses bisisng usus
050108 darah dalam Monitor tanda dan
feses gejala konstipasi
050109 mukus Catat masalah BAB
dalam feses yang sudah ada
050110 konstipasi sebelumnya, BAB
050128 nyeri pada rutin dan
saat BAB penggunaan laksatif
Ajarkan pasien
mengenai makanan-
mmakanan tertentu
yang membantu
mendukung
keteraturan (aktivitas
usus)
2. Etiologi
Inkontinensia urine pada umumnya disebabkan oleh komplikasi dari penyakit seperti
infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter dan perubahan tekanan yang tiba-tiba pada
abdominal.
3. Klasifikasi
Inkontinensia urine di klasifikasikan menjadi 3 ( Charlene J.Reeves at all )
1. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toiletsehingga
berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urinumumnya juga akan teratasi.
Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapatmemicu timbulnya inkontinensia urin fungsional
atau memburuknya inkontinensiapersisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan
sebagainya.Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pulamenyebabkan inkontinensia
urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitisdan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia
urin. Konstipasi juga seringmenyebabkan inkontinensia akut.Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria
dapat memicu terjadinyainkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi
vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinyainkontinensia urin
nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinyainkontinensia urin seperti Calcium
Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesicnarcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic.Untuk
mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapatdilihat akronim di bawah ini :
- Delirium
- Restriksi mobilitas, retensi urin
- Infeksi, inflamasi, Impaksi
-Poliuria, pharmasi
4. Manifestasi klinik
1. Urgensi
2. Retensi
3. Kebocoran urine
4. Frekuensi
5. Patofisiologi
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran
kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara tiba-
tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord trauma atau bersifat
temporer pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat berakibat
terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari
berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.
6. Pemeriksaan diagnosa
1. Pengkajian fungsi otot destrusor
2. Radiologi dan pemeriksaan fisik ( mengetahui tingkat keparahan / kelainan dasar
panggul )
3. Cystometrogram dan elektromyogram
4. Laboratorium : Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.
5. Kultur Urine
a. Steril
b. Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml)
c. Organisme.
6. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakanuntuk mencatat
waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan
dengan inkontinensia urin. Pencatatan polaberkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut
dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena
dapatmenyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.
7. Penatalaksanaan medik
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,
medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat
dilakukan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang
keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu
dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum
2. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia
urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi.
3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti
Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada inkontinensia stress
diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik
antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
4. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini
dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada
wanita).
5. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami
inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal,
komod dan bedpan.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
BAB 111
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan
normal. Dan dapat diartikan pula sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses (kotoran)
kurang, atau fesesnya keras dan kering.
Penyakit Konstipasi atau sembelit ini lebih banyak menyerang pada usia lanjut atau orang
tua dengan rata-rata berumur sekitar 65 tahun ke atas dan wanita lebih
cenderung mengalaminya di banding pria. Penyebab Konstipasi bisa terjadi dimana saja
dapat terjadi saat sedang berpergian misalnya karena jijik melihat WC-nya yang terlihat
kotor dan mungkin kurang terawat dan juga karena faktor lain misalnya karena faktor
sistemik, efek samping obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer bisa juga
karena faktor kelainan organ di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang
tidak normal.
Inkontinensia urine adalah pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam jumlah yang
cukup banyak,sehingga dapat dianggap merupakan masalah bagi seseorang. Inkontinensia
urine adalah pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam jumlah yang cukup
banyak,sehingga dapat dianggap merupakan masalah bagi seseorang.
Penyebab:
a. Adanya kelemahan dari otot dasar panggul.
b. Produksi urine berlebihan karena berbagai sebab, misalnya gangguan metabolik, seperti
DM, harus dipantau.
c. Asupan cairan yang berlebihan
d. Gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urine meningkat
atau adanya ganggguan kemampuan / keinginan untuk ke toilet.
B. Saran
Dengan dituliskan makalah ini diharapkan agar penulis dan pembaca dapat lebih memahami
dan mengerti tentang kostipasi dan inkontinensia ini dan juga bisa menangani masalah pada
pasien dengan gangguan tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Charlene J. Reeves at all. Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : Salemba Medica, 2001.
Susan Martin Tucker at all. Patient Care Standarts Collaborative Planning & Nursing
Interventions, Seventh Edition, St. Louis Baltimore Berlin : Mosby, 2000.
Luckmann’s, Suzanne E, Tatro. Care Principles and practise of Medical Surgical Nursing.
Christensen Kocknow. Adult Health Nursing, Third edition, St. Louis Baltimore, Boston :
Mosby, 1999.
Susan Puderbangh, Susan W. Nursing Care Planning Guides, for Adult In Acute, Extended
and Home Care Settings. WB. Saunders Company, 2001.