Anda di halaman 1dari 37

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem pencernaan manusia terdiri atas saluran dan kelenjar pencernaan. Saluran
pencernaan merupakan saluran yang dilalui bahan makanan. Ada banyak sekali penyakit yang
dapat menyerang saluran pencernaan, baik dari sumber biologi seperti makanan yang
mengandung virus atau bakteri atau mikroorganisme lain, sumber kimia seperti kelebihan
dosis obat, maupun akibat mekanik seperti suhu dan lingkungan.
Pencernaan sangatlah penting untuk manusia, karena kinerja sistem pencernaan akan
menentukan gizi yang terserap dan pembuangan sisa yang tidak diperlukan tubuh. Sistem
pencernaan juga akan membentuk asam amino esensial rantai pendek (SCFA) yang berguna
dalam proses kekebalan tubuh (imunitas).
Dewasa ini, persentasi kasus-kasus penyakit yang berdampak pada gangguan saluran
pencernaan mulai mengalami peningkatan. Kecukupan nutrisi tubuh berpengaruh besar
terhadap produktivitas dan hal itu sangat berkaitan erat dengan fungsi kerja saluran
pencernaan. Saluran pencernaan yang berfungsi secara optimal akan mampu memaksimalkan
nilai pemanfaatan ransum melalui proses pencernaan dan penyerapan nutrisi. Sistem
pencernaan merupakan sistem yang memproses mengubah makanan dan menyerap sari
makanan yang berupa nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Sistem pencernaan juga
akan memecah molekul makanan yang kompleks menjadi molekul yang sederhana dengan
bantuan enzim sehingga mudah dicerna oleh tubuh. Karena itu gangguan pada sistem
pencernaan akan mengganggu penyediaan air, elektrolit dan makanan yang akan berdampak
buruk bagi tubuh.
Gangguan saluran pencernaan ini dapat disebabkan oleh banyak hal. Kelainan asupan,
gangguan absorpsi, gangguan struktur lainnya, serta pola makan yang tidak benar dan tidak
sehat dapat menjadi penyebab dari timbulnya gangguan saluran pencernaan. Berbagai macam
pengobatan dan terapi dilakukan untuk mengatasi adanya gangguan saluran pencernaan.
Hanya saja tidak semua terapi dan pengobatan dilakukan dengan sesuai dan benar. Pemilihan
obat dan metode terapi yang sesuai dan benar sangat dibutuhkan untuk dapat mengatasi
gangguan saluran pencernaan tersebut. Dalam makalah ini, penulis akan lebih membahas
mengenai cara penanganan dan terapi untuk mengatasi gangguan saluran pencernaan pada
penderita.

1.2 Rumusan Masalah


1
1. Apa pengertian dari penyakit kosntipasi, diare dan ulkus peptik.
2. Bagaimana prevalensi dari penyakit kosntipasi, diare dan ulkus peptik.
3. Bagaimana diagnosa dari penyakit kosntipasi, diare dan ulkus peptik.
4. Bagaimana pengobatan dari penyakit kosntipasi, diare dan ulkus peptik.
5. Bagaimana pencegahan dari penyakit kosntipasi, diare dan ulkus peptik.
6. Bagaimana terapi anak tangga dari penyakit kosntipasi, diare dan ulkus peptik.
7. Bagamana penyelesaian studi kasus dari penyakit kosntipasi, diare dan ulkus peptik.
8. Apa penyebab gangguan saluran pencernaan.

1.3 Tujuan Penulisan


1. Memahami pengertian dari penyakit kosntipasi, diare dan ulkus peptik.
2. Mengetahui prevalensi dari penyakit konstipasi, diare, dan ulkus peptik.
3. Mengetahui diagnosa dari penyakit konstipasi, diare, dan ulkus peptik.
4. Mengetahui pengobatan dari penyakit konstipasi, diare, dan ulkus peptik.
5. Mengetahui pencegahan dari penyakit konstipasi, diare, dan ulkus peptik.
6. Mengetahui terapi anak tangga dari penyakit konstipasi, diare, dan ulkus peptik.
7. Mengetahui penyelesaian studi kasus dari penyakit konstipasi, diare, dan ulkus peptik.
8. Memahami penyebab gangguan saluran cerna.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konstipasi
2.1.1 Pengertian
Periode buang air besar (BAB) kurang dari 3 kali seminggu untuk wanita dan 5 kali
seminggu untuk laki-laki, atau periode lebih dari 3 hari tanpa pergerakan usus, BAB yang
dipaksakan lebih dari 25% dari keseluruhan waktu dan atau 2 kali atau kurang BAB setiap
minggu (Yulinah, 2008).
Konstipasi didefinisikan sebagai frekuensi defekasi kurang dari tiga kali per minggu.
Namun, frekuensi feces sendiri bukan merupakan kriteria yang cukup digunakan, karena
banyak pasien konstipasi menunjukkan frekuensi defekasi normal, tetapi keluhan subjektif
mengenai feses keras, mengejan, rasa penuh pada abdomen bawah dan rasa evakuasi tidak
lengkap. Sehingga, kombinasi kriteria objektif dan subjektif harus digunakan untuk
menerangkan konstipasi (Isselbacher, et al., 1999).
Konstipasi didefinisikan sebagai evakuasi feses yang jarang atau sulit dan dapat akut
atau kronis. Konstipasi absolut didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mengeluarkan
feses maupun flatus (Grace & Borley, 2006).

2.1.2 Prevalensi
Untuk mengetahui penyebab sembelit, perlu diketahui bagaimana usus bekerja. Usus
besar bekerja dengan menyerap hampir sebagian besar air dari feses dan mengubahnya
menjadi kotoran yang padat, kemudian dengan pergerakan usus, feses akan ke rektum dan
anus. Konstipasi terjadi ketika feses terlalu lama di dalam usus besar sehingga usus besar
menyerap terlalu banyak air dan feses menjadi keras dan kering.
Beberapa gaya hidup dapat menyebabkan konstipasi seperti:
a. Makan makanan rendah serat;
b. Kurang aktivitas fisik, terutama pada orang tua yang sangat terbatas aktivitas fisiknya.
Selain itu pada usia tua, metabolisme bekerja lebih lambat begitu pula dengan aktivitas
usus;
c. Adanya perubahan kegiatan rutinitas, terutama saat sedang bepergian. Waktu makan,
waktu tidur, maupun waktu untuk buang air besar ikut berubah;

3
d. Tidak mengindahkan keinginan untuk buang air besar;
e. Banyak stres pikiran;
f. Tidak minum yang cukup (dehidrasi);
g. Minum suplemen kalsium atau zat besi;
h. Minum obat-obatan seperti penghilang rasa sakit, obat-obat antidepresi, dll. ;
i. Penggunaan obat pencahar secara berlebihan. Obat pencahar dapat menciptakan suatu
kebiasaan (habit-forming), sehingga ketika tidak mengkonsumsinya dapat meningkatkan
risiko terjadinya sembelit.

Beberapa kondisi medis yang dapat menyebabkan konstipasi :


a. Kehamilan atau setelah melahirkan;
b. Adanya masalah dengan otot atau persarafan di usus, rektum , atau anus (Mutiple sclerosis,
Parkinson, stroke);
c. Irritable bowel syndrome, suatu kondisi di mana saraf yang mengontrol otot-otot di usus
tidak berfungsi dengan baik, usus menjadi lebih sensitif terhadap makanan, feses, gas, dan
stres;
d. Diabetes, suatu kondisis di mana seseorang mempunyai kadar gula darah yang tinggi
karena tubuh tidak mampu menggunakan gula darah sebagai energi;
e. Hipotiroid, suatu kondisi di mana kelenjar tiroid tidak mampu memproduksi hormon yang
cukup sesuai dengan kebutuhan tubuh dan banyak fungsi tubuh yang menurun, termasuk
fungsi usus; kanker usus besar atau akibat pengobatan kanker itu sendiri (Mula, 2014).

2.1.3 Diagnosa
a. Anamnesis
Anamnesis yang terperinci merupakan hal terpenting untuk mengungkapkan adakah
konstipasi dan faktor resiko penyebab (Sari, 2012).
Pada umumnya, gejala klinis dari konstipasi adalah frekuensi defekasi kurang dari 3
kali per minggu, feses keras dan kesulitan untuk defekasi. Anak sering menunjukkan
perilaku tersendiri untuk menghindari proses defekasi. Pada bayi, nyeri ketika akan
defekasi ditunjukkan dengan menarik lengan dan menekan anus dan otot-otot bokong
untuk mencegah pengeluaran feses. Balita menunjukkan perilaku menahan defekasi
dengan menaikkan ke atas ibu jari-ibu jari dan mengeraskan bokongnya (Tanjung, 2012).
Berikut beberapa kriteria untuk menentukan diagnosis konstipasi.
1) Kriteria Rome-II untuk diagnosis konstipasi fungsional
Dua atau lebih gejala klinis berikut ditemukan sekurang kurangnya 12 minggu dalam
4
12 bulan ( tidak boleh berturut-turut).
a) Mengejan selama lebih dari satu dalam buang empat kali buang air besar.
b) Tinja keras dalam 4 kali buang air besar.
c) Sensasi defekasi yang tidak lampias dan lebih dari satu dalam empat kali buang
air besar.
d) Menggunakan evakuasi digital (misalnya mengeluarkan tinja dengan jari
tangan, penopang dasar panggul) dengan lebih satu dalam empat kali buang air
besar.
e) Kurang dari 3 kali buang air besar per minggu.
 Tanpa ada diare atau tinja yang lembek.
 Gejala klinis tidak memenuhi kriteria sindrom usus iritabel (Lavan)
(Sari, 2012).
2) Kriteria Rome III untuk diagnosis konstipasi fungsional
Empat Kriteria diagnostik harus memenuhi dua atau lebih dari kriteria di bawah ini,
dengan usia minimal 4 tahun:
a) Kurang atau sama dengan 2 kali defekasi per minggu.
b) Minimal satu episode inkontinensia per minggu.
c) Riwayat retensi tinja yang berlebihan.
d) Riwayat nyeri atau susah untuk defekasi.
e) Teraba massa fekal yang besar di rektum.
f) Riwayat tinja yang besar sampai dapat menghambat kloset.

Kriteria dipenuhi sedikitnya 1 kali dalam seminggu dan minimal terjadi 2 bulan
sebelum diagnosis (Sari, 2012).

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi:
1) Inspeksi perineal mencari lesi yang nyeri dan lain-lain.
2) Pemeriksaan rektal perhatikan tonus anus, tekanan menjepit dan apakah rektum
kosong atau terisi dan penuh dengan feses.
3) Pemeriksaan abdomen untuk melihat ada massa atau jaringan parut.
4) Pemeriksaan neurologik.
5) Pemeriksaan vagina untuk mengobservasi adanya rektokel (Sari, 2012).

c. Pemeriksaan Laboratorium
5
Pemeriksaan Laboratorium meliputi:
1) Sigmoidoskopi untuk mencari lesi lokal.
2) Pemeriksaan darah lengkap, LED.
3) Urea, elektrolit, kalsium darah, tes fungsi tiroid.
4) Radiologi

a) Foto otot polos penting pada kecurigaan adanya obstruksi


b) Barium enema merupakan indikasi pada semua kasus (Cooper)

2.1.4 Pengobatan
a. Terapi Farmakologi
Terapi non-farmakologis digunakan untuk meningkatkan frekuensi BAB pada pasien
konstipasi, yaitu dengan menambah asupan serat sebanyak 10-12 gram per hari dan
meningkatkan volume cairan yang diminum, serta meningkatkan aktivitas fisik/ olahraga.
Sumber makanan yang kaya akan serat, antara lain: sayuran, buah, dan gandum. Serat
dapat menambah ‘volume’ feses (karena dalam saluran pencernaan manusia ia tidak
dicerna), mengurangi penyerapan air dari feses, dan membantu mempercepat feses
melewati usus sehingga frekuensi defekasi/ BAB meningkat (Dipiro, et al,2005).
Terapi non-farmakologi, ujar Chudahman, dilakukan dengan meningkatkan aktivitas
fisik, menghindari obatobatan yang dapat menyebabkan konstipasi, meningkatkan
konsumsi serat dan minum yang cukup, serta mengatur kebiasaan BAB, seperti mengindari
mengejan dan membiasakan BAB setelah makan atau waktu yang dianggap sesuai.
(Susilawati,2010).
Hasil terapi yang diharapkan adalah pencegahan konstipasi lebih lanjut melalui
perubahan gaya hidup terutama makanan. Untuk konstipasi akut, tujuan terapi adalah
untuk menghilangkan gejala dan mengembalikan fungsi normal usus. Terapi konstipasi
dapat melalui modifikasi makanan kaya serat, pembedahan, terapi biofeedback.
Beberapa contoh terapi non farmakologi untuk penyakit konstipasi yaitu :
a. Latihan BAB
Hendaknya BAB pada waktu yang tepat sama setiap harinya. Waktu yang optimal untuk
BAB adalah di pagi hari setelah berjlaan dan sarapan sehingga saat aktivitas kolon
sangat tinggi. Pasien juga disaranakan untuk tidak mengedan berlebihan.
b. Tingkatkan asupan serta dan cairan
Rekomendasi jumlah asupan setiap harinya adalah 20-25 gram. Jumlah hidasi yang
cukup amat penting untuk menjaga pergerakan usus.
6
c. Meningkatkan aktifitas fisik regular
Suatu studi khorot menyebutkan, latihan fisik 2-5 kali per minggu menurunkan resiko
konstipasi hingga 35%.
d. Bowel training
Terapi tertawa juga dapat dilakukan, karena dengan tertawa otot perut secara refleks
bergerak sehingga perut terpijat sehingga merangsang gerakan peristaltik usus dan
melancarkan buang air besar (Gibran,2008).

Agar penderita konstipasi dapat cepat sembuh, maka penderita dilarang:


1. Menahan buang air besar.
2. Mengkonsumsi makanan siap saji dan bersifat panas.
3. Makan dalam porsi yang banyak.
4. Meminum minuman yang berkafein dan minuman ringan.
5. Mengkonsumsi makanan atau minuman dingin
6. Mengkonsumsi obat yang mengakibatkan konstipasi seperti antasida
(alumunium), zat besi, obat diare dari golongan narkotik dsb
7. Minum susu sapi dalam jumlah banyak (Sari,2012).

b. Terapi Non Farmakologi


Terapi non-farmakologis digunakan untuk meningkatkan frekuensi BAB pada pasien
konstipasi, yaitu dengan menambah asupan serat sebanyak 10-12 gram per hari dan
meningkatkan volume cairan yang diminum, serta meningkatkan aktivitas fisik/ olahraga.
Sumber makanan yang kaya akan serat, antara lain: sayuran, buah, dan gandum. Serat
dapat menambah ‘volume’ feses (karena dalam saluran pencernaan manusia ia tidak
dicerna), mengurangi penyerapan air dari feses, dan membantu mempercepat feses
melewati usus sehingga frekuensi defekasi/ BAB meningkat (Dipiro, et al., 2005).
Terapi non-farmakologi, ujar Chudahman, dilakukan dengan meningkatkan aktivitas
fisik, menghindari obatobatan yang dapat menyebabkan konstipasi, meningkatkan
konsumsi serat dan minum yang cukup, serta mengatur kebiasaan BAB, seperti mengindari
mengejan dan membiasakan BAB setelah makan atau waktu yang dianggap sesuai.
(Susilawati, 2010).
Hasil terapi yang diharapkan adalah pencegahan konstipasi lebih lanjut melalui
perubahan gaya hidup terutama makanan. Untuk konstipasi akut, tujuan terapi adalah
untuk menghilangkan gejala dan mengembalikan fungsi normal usus. Terapi konstipasi
dapat melalui modifikasi makanan kaya serat, pembedahan, terapi biofeedback.
7
Beberapa contoh terapi non farmakologi untuk penyakit konstipasi yaitu :
1) Latihan BAB
Hendaknya BAB pada waktu yang tepat sama setiap harinya. Waktu yang optimal untuk
BAB adalah di pagi hari setelah berjlaan dan sarapan sehingga saat aktivitas kolon
sangat tinggi. Pasien juga disaranakan untuk tidak mengedan berlebihan.
2) Tingkatkan asupan serta dan cairan
Rekomendasi jumlah asupan setiap harinya adalah 20-25 gram. Jumlah hidasi yang
cukup amat penting untuk menjaga pergerakan usus.
3) Meningkatkan aktifitas fisik regular
Suatu studi khorot menyebutkan, latihan fisik 2-5 kali per minggu menurunkan resiko
konstipasi hingga 35%.
4) Bowel training
Terapi tertawa juga dapat dilakukan, karena dengan tertawa otot perut secara refleks
bergerak sehingga perut terpijat sehingga merangsang gerakan peristaltik usus dan
melancarkan buang air besar (Gibran,2008).

Agar penderita konstipasi dapat cepat sembuh, maka penderita dilarang:


1) Menahan buang air besar.
2) Mengkonsumsi makanan siap saji dan bersifat panas.
3) Makan dalam porsi yang banyak.
4) Meminum minuman yang berkafein dan minuman ringan.
5) Mengkonsumsi makanan atau minuman dingin
6) Mengkonsumsi obat yang mengakibatkan konstipasi seperti antasida (alumunium), zat
besi, obat diare dari golongan narkotik dsb.
7) Minum susu sapi dalam jumlah banyak (Sari,2012).

2.1.5 Pencegahan
a. Mengonsumsi makanan yang kaya akan serat.
Serat merupakan elemen penting untuk menyehatkan sistem pencernaan. Serat membantu
feses agar lebih mudah melewati usus. Mengonsumsi makanan yang kaya akan serat setiap
hari secara teratur akan membantu meningkatkan kondisi kesehatan secara keseluruhan.
Sumber makanan yang kaya serat antara lain adalah buah-buahan, sayuran, kacang-
kacangan, dan biji-bijian.
b. Minum cukup air putih.

8
Sebagian besar orang yang menderita konstipasi mengalami dehidrasi. Air sangat penting
dalam menggerakkan sampah atau feses dalam usus. Minum air putih minimal 8 gelas
setiap hari dapat mencegah munculnya konstipasi.Air dapat membantu membuat feses
menjadi lebih lunak sehingga tidak akan menimbulkan sakit baik di usus maupun ketika
dikeluarkan melalui anus.
c. Batasi konsumsi makanan dan obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi
Ada beberapa makanan yang dapat menyebabkan konstipasi, contohnya adalah roti yang
terbuat dari terigu putih atau produk susu, daging, telur, keju dan makanan olahan. Begitu
pula obat-obatan seperti antasid dapat pula menyebabkan konstipasi. Oleh karena itu batasi
konsumsi makanan dan obat-obatan tersebut.
d. Olahraga secara teratur
Hasil penelitian menunjukkan bahwa olahraga secara teratur dapat mencegah konstipasi.
Berolahraga selama tiga puluh menit setiap hari atau 3-5 kali dalam seminggu dapat
membantu sistem pencernaan bekerja lebih efektif dan membantu mencegah konstipasi.
e. Hindari menunda keinginan untuk buang air besar
Terkadang banyak yang memilih untuk menunda pergi ke kamar mandi ketika dorongan
buang air besar muncul dengan berbagai alasan. Menunda ketika dorongan buang air besar
muncul justru dapat menimbulkan konstipasi.
f. Hindari minuman yang dapat menyebabkan dehidrasi
Beberapa minuman dapat menimbulkan dehidrasi misalnya minuman bersoda, kopi, dan
teh. Selain itu hindari konsumsi alkohol terlalu banyak karena alkohol juga memiliki efek
yang dapat menimbulkan dehidrasi pada tubuh. Jika tubuh mengalami dehidrasi maka air
yang ada dalam feses diserap kembali oleh tubuh sehingga menyebabkan feses menjadi
keras dan memicu konstipasi.
g. Hindari ketergantungan obat pencahar
Menggunakan obat pencahar hampir setiap hari, menyebabkan usu besar kehilangan
kemampuan peristaltiknya. Begitu pula dengan menggunakan obat pencahar injeksi. Jadi,
hindari obat-obatan pencahar yang justru menyebabkan konstipasi sulit untuk
disembuhkan.
h. Hindari penggunaan suplemen Makanan
Suplemen pasaran juga berdampak padakesehatan pencernaan. Suplemen zat besi dan
kalsium adalah dua dari sekian suplemen yang menjadi penyebabnya.
i. Hindari terlalu sering mengonsumsi Junk Food
Mengonsumsi junk food/cepat saji artinya mengonsumsi banyak gula dan lemakyang
kurang serat dan nutrisi. Hal ini adapat memicu terjadinya konstipasi karena lemak
9
cenderung memperlambat kerja usus karena berusaha keras dalam menyerap kalori dari
lemak (Laili, 2012).

2.1.6 Terapi anak tangga

konstipasi

Dasar terapi :
Modifikasi diet kaya serat + bulk forming agent

Bedridden atau
Pasien rawat jalan Bayi dan Anak
geriatri atau Pasien rawat inap
(konstipasi akut) anak
konstipasi kronik
Dasar untuk pengobatan sembelit adalah dengan selain modifikasi diet yang kaya serat
dan penggunaan bulk forming agent. Ditinjau dari jenis pasien yang mengalami konstipasi
terapi dapat digolongkan menjadi empat yaitu:
a. Pada pasien yang mengalami konstipasi akut dan menjalani rawat jalan, terapi yang
pertama diberikan adalah modifikasi diet yang kaya serat dan penggunaan bulk forming
agent, jika terapi tidak berhasil maka diganti dengan pemberian laksativa yang lebih kuat
yaitu suppositoria gliserin atau tap water enema. Jika tidak efektif diperlukan penggunaan
sorbitol (PO) atau bisakodil dosis rendah atau senna atau magnesium. Jika konstipasi
masih berlanjut hingga lebih dari satu minggu pasien disarankan berkonsultasi dengan
dokter menentukan apakah ada penyebab yang mendasari sembelit yang membutuhkan
pengobatan dengan agen selain obat pencahar.
b. Untuk beberapa pasien terbaring di tempat tidur atau geriatri, atau orang lain dengan
sembelit kronis, obat pencahar pembentuk sampah tetap baris pertama pengobatan, tetapi
penggunaan obat pencahar yang lebih kuat diperlukan relatif sering. Agen yang dapat
digunakan dalam situasi ini termasuk magnesium dan laktulosa.
c. Pada pasien dirawat di rumah sakit tanpa penyakit GI, sembelit mungkin terkait
penggunaan anestesi umum dan / atau zat candu. Kebanyakan lisan atau pencahar rektal
10
dapat digunakan. Untuk inisiasi dari buang air besar, tap water enema atau supositoria
gliserin dianjurkan,atau magnesium.
d. Pada pasien bayi dan anak anak harus mempertimbangkan neurologis, metabolik, atau
kelainan anatomi saat sembelit adalah masalah yang terus-menerus. Ketika tidak terkait
dengan penyakit tersebut, pendekatan sembelit adalah sama dengan pada orang dewasa.
terapi yang pertama diberikan adalah modifikasi diet yang kaya serat dan penggunaan bulk
forming agent, jika terapi tidak berhasil maka diganti dengan pemberian laksativa yang
lebih kuat yaitu suppositoria gliserin atau tap water enema. Jika tidak efektif diperlukan
penggunaan sorbitol (PO) atau bisakodil dosis rendah atau senna atau magnesium. Jika
konstipasi masih berlanjut hingga lebih dari satu minggu pasien disarankan berkonsultasi
dengan dokter menentukan apakah ada penyebab yang mendasari sembelit yang
membutuhkan pengobatan dengan agen selain obat pencahar (Dipiro.2009).

Berikut adalah bagan terapi untuk konstipasi pada setiap keadaan pasien
1. Konstipasi akut pada pasien rawat jalan

11
2. Konstipasi pada pasien geriatric, bedridden, konstipasi kronik

3. Konstipasi pada pasien rawat inap

12
4. Konstipasi pada bayi dan anak anak

13
2.2 Diare
2.2.1 Pengertian
Diare adalah frekuensi dan likuiditas buang air besar (BAB) yang abnormal. Frekuensi
dan konsistensi BAB bervariasi dalam dan antar individu. Contohnya : beberapa individu
defekasi tiga kali sehari, sedangkan yang lainnya dua atau tiga kali seminggu (Yulinah, 2008).
Diare adalah keadaan buang-buang air dengan banyak cairan (Tjay, 2007).
14
Diare adalah kondisi dimana seseorang buang air besar 3 kali atau lebih dalam satu hari
dan feses yang keluar berupa cairan encer atau sedikit berampas, kadang juga disertai darah
atau lendir (Arijanty, 2012).
Diare adalah keadaan dimana sekresi cairan ke usus lebih besar daripada absorpsi cairan
dalam usus, atau keadaan dimana gerakan peristaltik usus lebih cepat (Marks, 2013).

2.2.2 Prevalensi
Pada bayi: infeksi (bakteri atau virus) dan alergi makanan (khususnya susu atau
laktosa), intoleransi makanan (bayi mengalami intoleransi laktosa bila tidak cukup
memproduksi laktasi- suatu enzim yang dibutuhkan untuk mencerna laktosa).
Pada Balita: biasanya melalui mulut. Pada balita yang masih belajar untuk makan dan
untuk menggigit menjadi salah satu jalan kuman dapat masuk ke dalam tubuh anak. Diare
yang dialaminya juga bisa disebabkan karena kurang bersihnya peralatan makan yang anak
gunakan setiap harinya. Selain itu saat balita yang terus menerus cengeng akan
mengakibatkan anak menjadi gelisah, suhu dana yang meningkat, nafsu makan anak yang
semakin lama semakin berkurang, kemudian timbul diare.

2.2.3 Diagnosa
a. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap sangat penting dalam assessment penderita dengan diare
kronis. Dari anamnesis dapat diduga gejala timbul dari kelainan organik atau fungsional,
membedakan malabsorpsi kolon atau bentuk diare inflamasi, dan menduga penyebab
spesifik. Gejala mengarah dugaan organik jika didapatkan diare dengan durasi kurang dari
3 bulan, predominan nocturnal atau kontinyu, disertai penurunan berat badan yang
signifikan. Malabsorpsi sering disertai dengan steatore, dan tinja pucat dan dalam volume
yang besar. Bentuk inflamasi atau sekretorik kolon ditandai dengan pengeluaran tinja yang
cair disertai dengan darah atau lendir (Wiryani, 2007).

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik lebih berguna untuk menentukan keparahan diare dari pada
menemukan penyebabnya. Status volume dapat dicari dengan dengan mencari perubahan
ortostatik tekanan darah dan nadi. Demam dan tanda lain toksisitas perlu dicari dan dicatat.
Pemeriksaan fisik abdomen dengan melihat dan meraba distensi usus, nyeri terlokalisir
atau merata, pembesaran hati atau massa, dan mendengarkan bising usus. Perubahan kulit
dapat dilihat pada mastositosis (urtikaria pigmentosa), amiloidosis berupa papula
15
berminyak dan purpura pinch. Tanda limfadenopati menandakan AIDS atau limfoma.
Tanda-tanda arthritis mungkin dijumpai pada inflammatory bowel disease. Pemeriksaan
rektum dapat memperjelas adanya inkontinensia feses (Wiryani, 2007).

c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Tes Darah
Abnormalitas pada penapisan awal seperti laju endap darah yang tinggi, anemia,
albumin darah yang rendah memperkuat dugaan adanya penyakit organik. Penapisan
dasar untuk dugaan malabsorpsi meliputi hitung darah lengkap, urea dan elektrolit, tes
fungsi hati, vitamin B12, folat, calsium, feritin, laju endap darah, c- reaktif protein, tes
fungsi tiroid (Wiryani, 2007).

2.2.4 Pengobatan
a. Terapi Farmakologi
Umumnya diare nonspesifik dapat sembuh dengan sendirinya, namun untuk
mengurangi gejala diare dapat digunakan beberapa obat, antara lain antimotilitas,
antisekretori, adsorben dan obat-obat lainnya seperti probiotik, enzim laktase dan zink
(Berarrdi et al., 2009; Spruill and Wade, 2008).
1) Antimotilitas
Pada golongan ini adalah opiat dan turunannya, yang bekerja dengan menunda
perpindahan intraluminal atau meningkatkan kapasitas usus, memperpanjang kontak
dan absorbsi. Sebagian besar opiat bekerja melalui mekanisme perifer dan sentral,
kecuali loperamid hanya perifer. Loperamid menghambat calcium-binding protein
calmodulin, yang mengatur pengeluaran klorida. Loperamid disarankan untuk
mengatasi diare akut dan kronis. Jika digunakan secara tepat, obat ini tidak
menimbulkan efek samping sperti pusing dan konstipasi. Golongan opiat yang lain
adalah diphenoxylate yang dapat menimbulkan atropinism seperti pandangan kabur,
mulut kering dan retensi urin. Kedua obat ini tidak digunakan pada pasien yang
memiliki resiko bacterial enteritis E. coli, Shigella, atau Salmonella (Spruill and Wade,
2008).
a) LOPERAMID

16
Loperamid merupakan opioid agonist sintetis yang memiliki efek antidiare
dengan menstimulasi reseptor mikro-opioid yang berada pada otot sirkular usus. Hal
ini menyebabkan melambatnya motilitas usus, meningkatkan absorbsi elektrolit dan
air melalui usus. Stimulasi pada reseptor tersebut juga menurunkan sekresi pada
saluran cerna, yang berkontribusi pada efek antidiare. Selain itu, terdapat mekanisme
lain, yaitu gangguan terhadap mekanisme kolinergik dan nonkolinergik yang terlibat
dalam regulasi peristaltik, penghambatan calmodulin dan inhibisi voltage-dependent
calcium channels. Efek terhadap calmodulin dan calcium channel ini yang
berkontribusi dalam efek antiskretori. Loperamid 50 kali lipat lebih poten
dibandingkan morfin dan 2-3 kali lebih poten dibandingkan diphenoxylate dalam
efeknya terhadap motilitas saluran cerna. Loperamid tidak memiliki efek terhadap
SSP karena penetrasinya kurang baik (Spruill and Wade, 2008).
Loperamid digunakan sebagai terapi simptomatik diare akut dan nonspesifik.
Efek terapinya meliputi penurunanan volume feses harian, meningkatkan viskositas,
bulk volume, dan mengurangi kehilangan cariran dan elektrolit. Loperamid tidak
disarankan untuk anak kurang dari 6 tahun karena akan meningkatkan efek samping
seperti ileus dan toxic megacolon. Dosis untuk dewasa adala 4 mg per oral, diikuti
dengan 2 mg setiap setelah buang air , sampai dengan 16 mg per hari (Sweetman,
2009).
Efek samping yang jarang timbul antara lain, pusing, konstipasi, nyeri
abdominal, mual, muntah, mulut kering, lelah dan reaksi hipersensitif. Seperti
dijelaskan sebelumnya, loperamid tidak digunakan untuk mengatasi diare yang
disebabkan oleh bakteri karena akan memperparah diare, toxic megacolon atau ileus
paralytic (Spruill and Wade, 2008).

17
2) Antisekretori
a) Bismut Subsalisilat

Senyawa bismuth tidak larut atau kelarutannya sangat rendah, toksisitas


biasanya tidak muncul jika digunakan pada periode terbatas. Penggunaan bismuth
jangka panjang secara sistemik tidak direkomendasikan. Mekanisme kerjanya dengan
memproduksi antisekretori dan efek antimikroba, juga memiliki efek antiinlflamasi.
Biasanya diberikan sebagai antidiare dan antasida lemah (Spruill and Wade, 2008).
Bismut salisilat diindikasikan untuk pengobatan gangguan pencernaan seperti
konstipasi, mual, nyeri abdomen, diare, termasuk traveler’s diare dan tidak
diperbolehkan pada pasien yang menderita penyakit akibat virus seperti campak atau
influenza pada pasien dengan umur dibawah 18 tahun (Spruill and Wade, 2008).
Dosis maksimum perhari adalah 4g (Sweetman, 2009).Bentuk sediaan bismuth
subsalisilat yang ada adalah tablet kunyah (262 mg), 262 mg/5 ml cairan, 524
mg/15ml cairan. Bismut salisilat berinteraksi dengan salisilar, tetrasiklin dan anti
koagulan, serta memiliki efek samping tinnitus, mual dan muntah (Spruill and Wade,
2008).

3) Adsorben
Adsorben merupakan kelompok obat yang umumnya digunakan pada terapi
simptomatik pada diare, yang mekanisme kerjanya tidak spesifik, adsorbsi meliputi
nutrisi, toksin, obat dan digestive juice (Spruill and Wade, 2008). Adsorben meliputi
attapulgit, kaolin dan pektin (Berarrdi, et al., 2009).
Mekanisme adsorben yaitu dengan mengadsorbsi toksin mikroba dan
mikroorganisme pada permukaannya. Adsorben tidak diabsorbsi oleh saluran cerna,
toksin mikroba dan mikroorganisme langsung dikeluarkan bersama feses. Beberapa
polimer organik hidrofilik adsorben, mengikat air pada usus halus sehingga
menyebabkan pembentukan feses yang lebih padat. Adsorbsi bersifat tidak selektif
sehingga diperlukan perhatian khusus pada pasien yang mengkonsumsi obat lain karena
absorbsinya dapat terganggu (Nathan, 2010).
Contoh adsorben, antara lain (ISO Indonesia vol 44-2009 s/d 2010):
a) Bismuth subsalicylate
Merupakan bentuk kompleks dari bismuth dan asam salisilat.
18
Contoh :
 Scantoma® : mengandung Bismuth subsalicylate 375 mg.
 Stobiol® : mengandung Bismuth subsalicylate 262 mg.
b) Attapulgite
Contoh :
 Biodiar® : mengandung attapulgit koloidal teraktifasi 630 mg.
 New Diatab® : mengandung attapulgit aktif.
 Teradi® : mengandung attapulgit 600 mg.
c) Kaolin-pektin
Contoh :
 Envois-FB® : per 5 mL mengandung kaolin 1000mg dan pektin 40 mg.
 Neo Diaform® : mengandung kaolin 550 mg, pektin 20 mg.
 Neo Kacitin® : mengandung kaolin 700 mg, pektin 50 mg.
 Neo Kaolana® : per 15 ml mengandung kaolin 700 mg, pektin 66 mg.
 Oppidiar sirup® : mengandung kaolin 986 mg, pektin 22 mg.
d) Activated charcoal
Contoh :
 Bekarbon® : mengandung activated charcoal 250 mg.
e) Kombinasi
Contoh :
 Molagit® : mengandung attapulgit 700 mg dan pectin 50 mg, meredakan diare non
spesifik.
 Arcapec® : mengandung Attapulgit 600 mg, Pektin 50 mg.
 Diagit® : mengandung Attapulgit 600 mg, Pektin 50 mg.
 Entrogard® : mengandung Attapulgit 750 mg, Pektin 50 mg.
 Fitodiar® : mengandung Attalpugite 300 mg, Psidii Folium Extractum 50 mg,
Curcuma domestica Rhizoma Extractum 7,5 mg.
 Neo Diastop® : mengandung attapulgite 600 mg, pektin 50 mg.
 Neo Entrostop®: mengandung attapulgite koloidal teraktifasi 650 mg, pektin 50 mg.

4) Obat lain
a) Probiotik
Probiotik, termasuk beberapa spesies Lactobacillus, Bifidobacteria lactis dan
Saccharomyces boulardii umum digunakan untuk management atau pencegahan
diare akut. Lactobacillus meningkatkan sistem imun, menghasilkan substansi
19
antimikroba dan berkompetisi dengan bakteri terhadap binding site pada mukosa
usus (Berrardi, et al., 2009).
Sediaan Lactobacillus yang mengandung bakteri atau yeast seperti bakteri
asam laktat merupakan suplemen harian yang digunakan sebagai pengganti
microflora kolon. Memperbaiki fungsi intestinal normal dan menekan
pertumbuhan mikroorganisme patogen. Sediaan yang umum ada antara lain susu, jus,
air atau sereal (Spruill and Wade, 2009).
Contoh sediaannya antara lain (ISO Indonesia vol 44-2009 s/d 2010):
1) Lactodia® (Indofarma)
Komposisi: Lactobacillus acidophilus 1X1010 cfu/g, Bifidobacterium
longum 1x1010 cfu/g, Streptococcus thermophilus 1X1010 cfu/g, Krim sayuran
bubuk, Glukosa, Fructo-oligo-saccharide, Bubuk stroberi (5,1%), Perisa Stroberi,
Vitamin C, Vitamin B3 (Niasin), Konsentrat mineral susu, Seng oksida, Sukrosa,
Vitamin B1, Vitamin B2, Vitamin B6.
2) Yakult ®(Yakult Indonesia Persada)
Komposisi : L. casei Shirota strain, susu skim, glukosa, sukrosa.
b) Enzim Laktase
Produk enzim laktase sangat membantu bagi pasien yang mengalami diare
sekunder akibat lactose intolerance. Laktase diperlukan untuk pencernaan
karbohidrat.  Jika tidak memiliki enzim ini, konsumsi produk susu dapat
menyebabkan diare osmotik. Produk ini digunakan setiap kali mengkonsumsi produk
susu seperti susu dan es krim (Spruill and Wade, 2008).

c) Zinc
Penggunaan suplemen zinc harian pada anak-anak dengan diare akut dapat
mengurangi pengeluaran feses, frekuensi feses berair, dan durasi serta keparahan
diare. Ditujukan untuk yang mengalami defisiensi zinc yang diakibatkan gangguan
imunitas selular dan humoral yang menyebabkan pada GIT terjadi gangguan absorbsi
air dan elektrolit, meningkatkan sekresi sebagai respon terhadap endotoksin bakteri,
dan menurunnya enzim brush border (Berrardi, et al., 2009). Contoh sediaan
suplemen zinc adalah Zn- Diar® (Hexpharm Jaya) dengan komposisi seng sulfat
monohidrat 54,9 mg yang setara dengan mineral seng 20 mg/ tablet.

b. Terapi Non Farmakologi


Tujuan terapi pada pengobatan diare adalah untuk mengatur diet, mencegah
20
pengeluaran air berlebihan, elektrolit, dan gangguan asam basa, menyembuhkan gejala,
mengatasi penyebab diare, dan mengatur gangguan sekunder yang menyebabkan diare.
1) Fluid and Electrolyte Management
Dapat dilakukan dengan cara pemberian oral rehidration atau memperbanyak
intake cairan seperti air mineral, sup atau jus buah, dengan tujuan untuk mengembalikan
komposisi cairan dan elektrolit tubuh yang sebelumnya mengalami dehidrasi akibat diare
(Berarrdi, et al., 2009).
2) Oral rehydration solution (ORS)
 Atau oralit digunakan pada kasus diare ringan sampai sedang. Rehidrasi dengan
menggunakan ORS harus dilakukan secepatnya yaitu 3-4 jam untuk menggantikan
cairan serta elektrolit yang hilang selama diare untuk mencegah adanya dehidrasi. Cara
kerja dari ORS adalah dengan menggantikan cairan serta elektrolit tubuh yang hilang
karena diare dan muntah, namun ORS tidak untukmengobati gejala diare (Berarrdi, et
al., 2009 ; Nathan, 2010).
ORS mengandung beberapa komponen yaitu Natrium dan kalium yang berfungsi
sebagai pengganti ion essensial, sitrat atau bicarbonate yang berfungsi untuk
memperbaiki keseimbangan asam basa tubuh serta glukosa digunakan sebagai sebagai
carrier pada transport ion natrium dan air untuk melewati mukosa pada usus
halus.Komposisi ORS yang direkomendasikan oleh WHO yaitu adalah komponen
natrium 75 mmol/L dan glukosa 200 mmol/L (Nathan,2010).
Dalam 1 sachet ORS serbuk harus dilarutkan dengan menggunakan 200mL air.
Penting sekali untuk membuat larutan ORS sesuai dengan volume yang
direkomendasikan, sebab apabila terlalu pekat konsentrasinya, maka larutan akan
mengalami hiperosmolar, dan dapat menyebabkan penarikan air pada usus halus
sehingga dapat memperparah diarenya. Larutan ORS yang telah dilarutkan tersebut
sebaiknya digunakan tidak lebih dari 24 jam dan disimpan di dalam lemari es. Dosis
ORS yang direkomendasikan untuk orang dewasa adalah 200-400 mL diminum tiap
setelah buang air besar, atau 2-4 liter selama 4-6 jam (Nathan,2010).

Cara membuat Oralit :


a) Cuci tangan dengan sabun dan bilas dengan air hingga bersih,
b) Sediakan 1 gelas air minum (200 mL),
c) Pastikan oralit dalam keadaan bubuk kering,
d) Masukkan 1 bungkus oralit ke dalam air minum di gelas,
e) Aduk cairan oralit sampai larut,
21
f) Larutan oralit jangan disimpan lebih dari 24 jam
(Kementrian Kesehatan R.I, 2011).

3) Dietary management
Saat mengalami diare, umumnya pasien menahan untuk tidak makan dikarenakan
khawatir diare yang dialami akan bertambah parah. Hal tersebut justru memperparah
keadaan  pasien, sebab pada saat yang sama pasien juga mengalami malabsorbsi nutrisi.
Oleh karena itu, pasien dianjurkan makan tetap seperti biasa, namun sedapat mungkin
menghindari makanan berlemak dan makanan dengan kadar gula yang tinggi karena
akan dapat menimbulkan diare osmotik, serta dihindari pula makanan pedas karena akan
mengganggu saluran cerna seperti timbul rasa mulas dan kembung pada perut. Perlu
dihindari juga minuman yang mengandung kafein, karena kafein dapat meningkatkan
siklik AMP sehingga  berakibat pada peningkatan sekresi cairan ke saluran cerna, hal ini
dapat memperparah diare. Pasien dianjurkan untuk banyak minum air putih, dan jika
22
diperlukan dapat disertai  pemberian ORS (Blenkinsopp, et al., 2009; Berarrdi, 2009).
4) Modifikasi makanan
Setelah situasi diare akut terjadi, pasien biasanya makan lebihsedikit karena
mereka menjadi terfokus pada diare. Baik anak-anak dan orang dewasa harus berusaha
untukmempertahankan nutrisi dalam tubuh. Makanan tidak hanyamenyediakan nutrisi,
tetapi juga membantu menggantikanvolume cairan yang hilang. Namun, makannan
mungkin tidakcukup menggantikan volume cairan yang hilng akibat diare.Pasien dengan
diare kronis mungkin dapat memakanmakannan yang padat (misalnya, beras, pisang
dangandum) (Hamid,2012).

2.2.5 Pencegahan
a. Sebaiknya ibu memberikan ASI pada bayinya. ASI berguna sebagai antibodi pada bayi
karena didalam ASI terkandung enzim-enzim pencernaan yang diperlukan oleh bayi
sehingga bila besar nanti, Anak akan memiliki daya tahan tubuh yang baik.
b. Mencuci botol susu anak dengan baik dan benar.
c. Membersihkan bahan-bahan makanan dengan air bersih
d. Karena tangan merupakan salah satu bagian tubuh yang paling sering melakukan kontak
langsung dengan benda lain, maka sebelum makan disarankan untuk mencuci tangan
dengan sabun. Sebuah hasil studi Cochrane menemukan bahwa dalam gerakan-gerakan
sosial yang dilakukan lembaga dan masyarakat untuk membiasakan mencuci tangan
menyebabkan penurunan tingkat kejadian yang signifikan pada diare.
e. Selalu pakai alas kaki, terutama jika berada di tempat yang becek atau terdapat genangan
air hujan, untuk mencegah masuknya kuman melalui kulit.
f. Jaga kebersihan lingkungan, baik di dalam maupun di sekitar rumah Anda, dengan
membuang sampah pada tempatnya, dan membersihkan selokan yang tersumbat oleh
sampah, dan sebagainya.
g. Selalu cuci sayuran dan buah sebelum dikonsumsi.
h. Sebaiknya tidak memotong maupun mengolah bahan makanan makanan yang mentah
dengan yang matang dengan alat masak yang sama, untuk mencegah kontaminasi silang.
i. Masak makanan hingga matang, terutama bahan makanan seperti daging, ayam, ikan
maupun telur, minimal hingga suhu 70 derajat Celcius.
j. Sebaiknya simpan makanan matang yang tidak habis dimakan dalam lemari es dan
panaskan kembali terlebih dahulu jika ingin dikonsumsi kembali.
k. Selalu konsumsi air minum dan air untuk memasak dalam kondisi matang atau sudah
dimasak hingga mendidih, agar bakteri yang terdapat dalam air tersebut mati.
23
l. Konsumsi makanan dengan nutrisi yang cukup, terutama protein, vitamin, mineral, dan air
untuk menjaga daya tahan tubuh tetap kuat sehingga terlindungi dari infeksi kuman
penyakit.
m. Berolahraga teratur untuk menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh (Gentara, 2013).

2.3 Ulkus Peptik


2.3.1 Pengertian
Ulkus peptik (tukak) merupakan pembentukan ulkus pada saluran pencernaan bagian
atas yang diakibatkan oleh pembentukan asam dan pepsin. Tukak berada dari erosi mukosa
superfisial dalam yang membuat luka lebih dalam pada mukosa muskularis (Yulinah, 2008).

2.3.2 Prevalensi
Stres dapat memicu tukak lambung karena dalam kondisi stres sangat dimungkinkan
orang melakukan tindakan yang akan menyebabkan penyakit lambung seperti merokok,
mengkonsumsi obat NSAIDs atau alkohol. Selain itu diperkirakan dalam kondisi stres,
hormon adrenalin akan meningkat produksinya mengakibatkan produksi asam oleh reseptor
asetilkolin meningkat pula, efeknya asam lambung pun meningkat.
Obat NSAIDs bisa menyebabkan tuak lambung bisa melalui 2 cara, mengiritasi
epitelium lambung secara langsung atau melalui penghambat prostaglandin. Namun
penghambatan sintesis prostaglandin merupakan senyawa yang disintetis di mukosa lambung
yang melindumgi fungsi fisiologis tubuh seperti fungsi ginjal, homeostasis dan mukosa
lambung.

2.3.3 Diagnosa
a. Anamnesis
Biasanya pasien yang menderita penyakit ini merasakan gejala dan keluhan sebagai berikut:
1) Nyeri epigastrik lokal yang menusuk
2) Mual
3) Salivasi berlebihan
4) Resa nyeri hilang setelah makan atau antasida
5) Anoreksia dan muntah spontan (Umar, 2012).

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan perut (abdomen) bagian bawah dengan menekan-nekannya untuk
mengetahui apakah ada pembengkakan (sakit) (Umar, 2012).

24
c. Pemeriksaan Laboratorium
Gold Standar adalah pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas (UGIE-Upper
Gastrointestinal Endoscopy) dan biopsi lambung (untuk deteksi kuman H.Pylori, massa
tumor, kondisi mukosa lambung) (Umar, 2012).
Berikut pemeriksaan laboratorium yang dilakukan:
1) Pemeriksaan Radiologi
Radiologi atau radiografi sering digunakan sebagai prosedur diagnosa awal dari PUD
(Peptic Ulcer Disease) tanpa penyakit komplikasi lainnya karena biayanya lebih murah,
ketersediaannya lebih banyak, dan tingkat keamanannya yang tinggi (Dipiro et al, 2008).
Barium Meal Kontras Ganda dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis tukak
peptik. Gambaran berupa kawah, batas jelas disertai lipatan mukosa teratur dari pinggiran
tukak. Apabila permukaan pinggir tukak tidak teratur dicurigai ganas (Umar, 2012).
2) Pemeriksaan Endoskopi
Berupa luka terbuka dengan pinggiran teratur, mukosa licin dan normal disertai
lipatan yang teratur yang keluar dari pinggiran tukak. Gambaran tukak akibat keganasan
adalah Boorman-I/polipoid, B-II/ulcerative, B-III/infiltrative, B-IV/linitis plastika
(scirrhus). Dianjurkan untuk biopsi & endoskopi ulang 8-12 minggu setelah terapi
eradikasi. Keunggulan endoskopi dibanding radiologi adalah dapat mendeteksi lesi kecil
diameter < 0,5 cm, dapat melihat lesi yang tertutupi darah dengan penyemprotan air,dapat
memastikan suatu tukak ganas atau jinak, dan dapat menentukan adanya kuman H.Pylori
sebagai penyebab tukak (Umar, 2012).
3) Invasive Test
Rapid Urea Test adalah tes kemampuan H.pylori untuk menghidrolisis urea. Enzim
urea katalase menguraikan urea menjadi amonia bikarbonat, membuat suasana menjadi
basa, yang diukur dengan indikator pH. Spesimen biopsi dari mukosa lambung diletakkan
pada tempat yang berisi cairan atau medium padat yang mengandung urea dan pH
indikator, jika terdapat H.Pylori pada spesimen tersebut maka akan diubah menjadi
ammonia,terjadi perubahan pH dan perubahan warna (Umar, 2012).
Untuk pemeriksaan histologi, biopsi diambil dari pinggiran dan dasar tukak
minimum 4 sampel untuk 2 kuadran, bila ukuran tukak besar diambil sampel dari 3
kuadran dari dasar, pinggir dan sekitar tukak, minimal 6 sampel. Pemeriksaan kultur tidak
biasa dilakukan pada pemeriksaan rutin (Umar, 2012).
4) Non Invasive Test.
Urea Breath Test adalah untuk mendeteksi adanya infeksi H.pylori dengan
25
keberadaan urea yang dihasilkan H.pylori, labeled karbondioksida (isotop berat,C-13,C-14)
produksi dalam perut, diabsorpsi dalam pembuluh darah, menyebar dalam paru-paru dan
akhirnya dikeluarkan lewat pernapasan. Stool antigen test juga mengidentifikasi adanya
infeksi H.Pylori melalui mendeteksi keadaan antigen H.Pylori dalam faeces (Umar, 2012).
d. Pemeriksaan Pendukung

Pemeriksaan pendukung yang dapat membantu proses diagnosa dari Ulkus Lambung
ini adalah sebagai berikut:
1) Scan ultrasonik perut
2) Sinar-x kontras barium
Bagian saluran pencernaan yang tidak terlihat dengan sinar-x biasa (datar) dapat dicitrakan
dengan kontras barium.
3) Biopsi
Pemeriksaan mikroskopis atas sebuah sel atau pun sekumpulan besar jaringan berisi
berbagai sel untuk memastikan diagnosis berbagai kelainan tubuh (Sudoyo et al, 2006).
2.3.4 Pengobatan
a. Terapi Farmakologi
1) Uji H.pylori direkomendasikan hanya bila direncanakan terapi eradikasi. Eradikasi
direkomendasikan untuk semua pasien yang terinfeksi H.pylori dengan tukak aktif,
tukak yang sudah ada sebelumnya, atau dengan komplikasi tukak. Regimen individual
harus diseleksi berdasarkan efikasi, toleransi, interaksi obat yang potensial, resistensi
antibiotik, biaya dan kepatuhan pasien.
2) Pengobatan harus diawali dengan regimen 3 obat-PPI (Pompa Proton Inhibitor). Obat
ini lebih efektif, memiliki toleransi yang lebih baik, lebih simpel dan akan membuat
pasien lebih patuh dalam menjalani pengobatan. 14 hari dipilih lebih dari 10 hari
karena durasi yang lama menyebabkan pengobatan berhasil. 7 hari secara teratur tidak
dianjurkan.
3) Regimen 2 obat kurang selektif dibandingkan dengan regimen 3 obat dan hanya
termasuk satu antibiotik yang dapat menyebabkan resistensi antimikroba.
4) Bismuth-based four drug regimens (regimen 4 obat dengan bismuth) efektif tetapi
memiliki aturan dosis yang komplek dan tingginya efek yang tidak diingginkan.
5) Pasieng dengan penyakit tukak aktif harus menerima terapi tambahan dengan PPI atau
H2RA (H2 Reseptor Antagonis) untuk meringankan penyakit.
6) Jika pengobatan kedua untuk H.pylori dibutuhkan maka harus dipilih antibiotik yang
berbeda.
26
7) Pasien harus diminta menggunakan seluruh obat (kecuali PPI) dengan makanan dan
pada waktu istirahat (jika perlu). PPI harus dikonsumsi 15-30 menit sebelum makan.
8) Eradikasi H.pylori tidak menjamin kesembuhan pasien yang tidak patuh atau tidak
toleran, pada pasien dengan tukak karena NSAID yang bebas H.pylori atau pasien
dengan sindrom Zollinger-Ellison.
9) Pengobatan antitukak yang konvensional (H2RA, PPI, atau sukralfat) adalah
pengobatan alternatif tapi tidak begitu efektif karena dapat menyebabkan kekambuhan.
Terapi kombinasi ini tidak meningkatkan keefektifan dan memerlukan biaya yang
mahal.
10) Terapi pemeliharaan dengan H2RA dosis rendah, PPI, atau sukralfat harus dibatasi
karena memiliki resiko yang tinggi untuk pasien yang H.pylorinya gagal dieradikasi,
pasien dengan beberapa penyakit komplikasi, dan pasien tukak degan H.pylori negatif.
11) Tukak yang sulit disembuhkan dengan dosis obat standar PPI (contoh omeprazol
20mg/ hari) atau dosis tinnggi H2RA biasanya dapat disembuhkan dengan dosis PPI
yang lebih tinggi (contoh omeprazol 40mg/ hari). Terapi pemeliharaan dengan dosis
PPI penting untuk mencegah kekambuhan.
12) Kebanyakan tukak induksi NSAID yang tidak komplek sembuh dengan regimen terapi
standar H2RA, PPI atau sukralfat, jika NSAID dihentikan. Jika NSAID harus
dilanjutkan, PPI merupakan obat pilihan,karena baik untuk penekan asam yang
kuatdibutuhkan untuk mempercepat kesembuhan tukak. Jika H.pylori ada,
pengobatannya harus dimulai dengan regimen eradikasi yang mengandung PPI. Pasien
yang berisiko memnderita komplikasi yang serius sementara dia masih menggunakan
NSAID, harus mendapat terapi profilaksis dengan misoprostol atau PPI.
13) Pasien dengan komplikasi (pendarahan saluran cerna atas, obstruksi, perforasi, atau
penetrasi) sering membutuhkan terapi pembedahan atau endoskopi (Sukandar, et al.,
2008).

Obat yang digunakan untuk ulkus peptikum terdiri dari:


1) Antagonis H2
Obat yang termasuk antagonis reseptor H2 adalah Simetidine, Ranitidine,  Nizatidine,
dan Famotidine. Senyawa-senyawa antagonis reseptor H2 secara kompetitif dan
reversibel berikatan dengan reseptor H2 di sel parietal, menyebabkan berkurangnya
produksi sitosolik siklik AMP dan sekresi histamine yang menstimulasi sekresi asam
lambung. Interaksi antara siklik AMP dan jalur kalsium menyebabkan inhibisi parsial
asetilkolin dan gastrin yang menstimulasi sekresi asam (Djuwantoro D, 1992).

27
2) Antasida
Antasida antara lain senyawa magnesium, aluminium, dan bismut, hidrotalsit, kalsium
karbonat, Na-bikarbonat. Antasida adalah obat yang menetralkan asam lambung
sehingga efektifitasnya bergantung pada kapasitas penetralan dari antasida tersebut.
Kapasitas penetralan (dalam miliequivalen) adalah mEq HCl yang dibutuhkan untuk
memepertahankan suspensi antasida pada  pH 3,5 selama 10 menit secara in vitro.
Peningkatan pH cairan gastric dari 1,3 ke 2,3 terjadi penetralan sebesar 90% dan
peningkatan ke pH 3,3 terjadi  penetralan sebesar 99% asam lambung. Antasida ideal
adalah yang memiliki kapasitas penetralan yang besar, juga memiliki durasi kerja yang
panjang dan tidak menyebabkan efek lokal maupun sistemik yang merugikan
(Soemanto, dkk., 1993).
3) Proton Pump Inhibitor (PPI)
Obat-obat yang termasuk dalam PPI adalah Omeprazol, lansoprazol,  pantoprazol,
rabeprazol dan esomeprazol. Obat-obat golongan proton pump inhibitor mengurangi
sekresi asam lambung dengan jalan menghambat enzim H+, K+, ATPase (enzim ini
dikenal sebagai pompa proton) secara selektif dalam sel-sel parietal. Enzim pompa
proton bekerja memecah KH ATP yang kemudian akan menghasilkan energi yang
digunakan untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen
lambung. Ikatan antara  bentuk aktif obat dengan gugus sulfhidril dari enzim ini yang
menyebabkan terjadinya penghambatan terhadap kerja enzim. Kemudian dilanjutkan
dengan terhentinya produksi asam lambung (Djuwantoro, 1992).
a). Lansoprazol
Penggunaan Lansoprazol dipilih berdasar data subjektif  pasien yang mengeluh nyeri
perut berpindah, sering mual tapi tidak muntah.  Nyeri perut berpindah
mengindikasikan adanya ulkus. Selain itu, data objektif pasien juga menunjukkan
bahwa pasien mengalami infalamasi. Pemilihan Lansoprazole dianggap tepat karena
memiliki indikasi untuk ulkus peptikum, menekan produksi gastro content hingga
100% karena merupakan Proton Pump Inhibitor yang bekerja dengan menghambat
pembentukan H+ agar tidak membentuk HCl bersama Cl-. Merupakan obat dengan
indeks terapi linear, dimana dosis dan efek terapi berbanding lurus, sehingga
kemungkinan toksik kecil. Lansoprazole yang dipilih adalah merk Lancid produksi
Kalbe Farma Indonesia karena memiliki indikasi sesuai untuk pasien dengan dosis
yang sesuai, serta harga terjangkau (Sukandar, 2009 dan Di Piro, et al., 2009).

4) Analog Prostaglandin
28
Prostaglandin E2 dan I2 dihasilkan oleh mukosa lambung, menghambat seksresi HCl dan
merangsang seksresi mukus dan bikarbonat (efek sitoprotektif). Defisiensi prostaglandin
diduga terlibat dalam patogenesis ulkus peptikum. Misoprostol yaitu analog
prostaglandin E digunakan untuk mencegah ulkus lambung yang disebabkan
antiinflamasi non steroid (NSAIDs). Obat ini kurang efektif bila dibandingkan
antagonis H2 untuk  pengobatan akut ulkus peptikum (Djuwantoro, 1992).
5) Sukralfat
Mekanisme Sukralfat atau aluminium sukrosa sulfat adalah disakarida sulfat yang
digunakan dalam penyakit ulkus peptik. Mekanisme kerjanya diperkirakan melibatkan
ikatan selektif pada jaringan ulkus yang nekrotik, dimana obat ini bekerja sebagai sawar
terhadap asam, pepsin, dan empedu. Obat ini mempunyai efek perlindungan terhadap
mukosa termasuk stimulasi  prostaglandin mukosa. Selain itu, sukralfat dapat langsung
mengabsorpsi garam-garam empedu, aktivitas ini nampaknya terletak didalam seluruh
kompleks molekul dan bukan hasil kerja ion aluminium saja (Soemanto, dkk, 1993).
6) Senyawa Bismut
Senyawa bismut juga bekerja secara selektif berikatan dengan ulkus, melapisi dan
melindungi ulkus dari asam dan pepsin. Postulat lain mengenai mekanisme kerjanya
termasuk penghambatan aktivitas pepsin, merangsang  produksi mukosa, dan
meningkatkan sintesis prostaglandin. Obat ini mungkin  juga mempunyai beberapa
aktivitas antimikroba terhadap H pylori. Bila dikombinasi dengan antibiotik seperti
metronidazol dan tetrasiklin, kecepatan  penyembuhan ulkus mencapai 98%. Biaya dan
potensi toksisitas dari regimen ini dapat membatasi penggunanya pada ulkus yang serius
atau pada penderita yang sering kambuh. Garam bismut tidak menghambat ataupun
menetralisasi asam (Syam, dkk, 2001).
7) Antibiotik
Pengobatan ini ditujukan untuk memberantas infeksi bakteri (dikenal sebagai 'terapi
eradikasi') dan mengurangi produksi asam di perut. Ulkus kemudian dapat disembuhkan
dan mencegah kekambuhan karena bakteri tidak lagi di usus. Pada terapi erakdisi ini ada
beberapa protokol pengobatan berbeda yang sering digunakan, tapi NICE (National
Institute for Health and Clinical Excellence) merekomendasikan 'terapi tiga regimen'
sebagai baris pertama (Nathan, 2012).

b. Terapi Non Farmakologi


Sasaran terapi adalah menghilangkan nyeri tukak, mengobati ulkus, mencegah
kekambuhan dan mengurangi komplikasi yang berkaitan dengan tukak. Pada penderita
29
dengan H.pylori positif, tujuan terapi adalah mengatasi mikroba dan menyembuhkan
penyakit dengan obat yang efektif secara ekonomi.
Untuk terapi non farmakologi dari peptik ulkus yaitu harus menghilangkan kebiasaan
merokok dan penggunaan AINS ; Menghindari makanan/minuman tertentu yang dapat
merangsang ulkus seperti makanan pedas, kafein dan alcohol ; Mengganti penggunaan
AINS nonselektif dengan asetaminofen, salisilat takterasetilasi (isal salsalat) atau AINS
selektif COX-2 untuk mengatasi timbulnya rasa nyeri ; Dalam kondisi trsebut ulkus
peptikum memerlukan tindakan pembedahan. (Ivanesha,2013).
Menghindarimakanan danminuman yang dapatmengiritasi lambungIstirahat yang
cukupdan hindari stressMakan makanan yanglunak sedikit demisedikit dan sering
(Purnamasari,2011).
Beberapa terapi non farmakologi untuk penderita peptik ulkus :
1) Makan teratur.
Alasan harus diterapkannya terapi non-farmakologi iniadalah bahwa orang yang
memiliki pola makan tidak teratur mudahterserang penyakit gastritis dan kemudian
ulkus peptik, hal ini sesuaidengan data objektif pasien. Pada saat perut harus diisi, tapi
dibiarkankosong, atau ditunda pengisiannya, asam lambung akan mencerna lapisan
mukosa lambung, sehingga timbul rasa nyeri (Ester,2001). Bila seseorangtelat makan
sampai 2-3 jam, maka asam lambung yang diproduksi semakin banyak dan berlebih
sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung sertamenimbulkan rasa nyeri di sekitar
epigastrium (Baliwati, 2004).
2) Menghindari makanan makanan pedas, asam, kafein, dan alcohol.
Mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan merangsang sistem
pencernaan, terutama lambung dan usus untuk berkontraksi. Hal ini akanmengakibatkan
rasa panas dan nyeri di ulu hati yang disertai dengan mualdan muntah. Gejala tersebut
membuat penderita makin berkurang nafsumakannya. (Okviani, 2011).
Kafein dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat sehingga
dapatmeningkatkan aktivitas lambung dan sekresi hormon gastrin pada lambungdan
pepsin.Hormon gastrin yang dikeluarkan oleh lambung mempunyaiefek sekresi getah
lambung yang sangat asam dari bagian fundus lambung.Sekresi asam yang meningkat
dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi padamukosa lambung (Okviani, 2011).
Organ tubuh yang berperan besar dalam metabolisme alkohol adalahlambung dan
hati, oleh karena itu efek dari kebiasaan mengkonsumsialkohol dalam jangka panjang
tidak hanya berupa kerusakan hati atausirosis, tetapi juga kerusakan lambung. Konsumsi
alkohol berlebihan dapatmerusak mukosa lambung, memperburuk gejala tukak peptik,
30
danmengganggu penyembuhan tukak peptik. (Beyer, 2004).
3) Cukup istirahat dan menghindari atau mengurangi stress.
Produksiasam lambung akan meningkat pada keadaan stress,misalnya pada
bebankerja berat, panik dan tergesa-gesa. Kadar asam lambung yang meningkatdapat
mengiritasi mukosa lambung dan jika hal ini dibiarkan, lama-kelamaan dapat
menyebabkan terjadinya gatritis dan tukak peptik.Bagisebagian orang, keadaan stres
umumnya tidak dapat dihindari. (Friscaan,2010).
4) Menghindari rokok.
Merokok dapat memicu pengeluaran asetilkolin yangdapat mempengaruhi
pelepasan histamin di sel parietal sehinggameningkatkan sekresi asam lambung. Sekresi
asam lambung meningkatsebagai respon atas sekresi gastrin atau asetilkolin. Selain itu,
rokok jugamempengaruhi kemampuan cimetidine (obat penghambat asam lambung)dan
obat-obatan lainnya dalam menurunkan asam lambung pada malamhari, dimana hal
tersebut memegang peranan penting dalam proses timbulnya peradangan pada mukosa
lambung. Rokok dapatmengganggu faktor defensif lambung (menurunkan sekresi
bikarbonat danaliran darah di mukosa), memperburuk peradangan, dan berkaitan
eratdengan komplikasi tambahan karena infeksi H. pylori. Merokok juga
dapatmenghambat penyembuhan spontan dan meningkatkan risiko kekambuhantukak
peptik (Beyer, 2004).
2.3.5 Pencegahan
Pencegahan dari ulkus peptikum adalah dengan mengatur pola makan teratur, menjauhi
makanan yang merangsang (asam, pedas, kopi), membatasi konsumsi obat NSAIDs dan
konsultasi pada dokter apabila memang memerlukan obat tersebut untuk pengobatan jangka
panjang. Pencegahan pada orang yang sakit berat ialah dengan diberikan antacid atau
pelindung selaput lendir.
Jika penyebabnya adalah NSAIDs, sebaiknya hindari pemakaian NSAIDs, termasuk setiap
obat yang mengandung ibuprofen maupun aspirin Jika tidak ada makanan tertentu yang
diduga menjadi penyebab maupun pemicu terjadinya ulkus, biasanya tidak dianjurkan untuk
membatasi pemberian makanan kepada anak-anak yang menderita ulkus. Makanan yang
bergizi dengan berbagai variasi makanan adalah penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan anak. Alkohol dan merokok dapat memicu terbentuknya ulkus. Selain itu,
kopi, teh, soda dan makanan yang mengandung kafein dapat merangsang pelepasan asam
lambung dan memicu terbentuknya ulkus, jadi sebaiknya makanan tersebut tidak diberikan
kepada anak-anak yang menderita ulkus. Untuk mencegah terulangnya dapat dilakukan
tindakan pencagahan seperti :
31
a. Menghindari merokok dan mengkonsumsi alkohol.
b. Tidak meminum obat antiinflamasi lainnya.
c. Menahan diri dari mengkonsumsi makannan pedas. Makannan pedas dapat memperburuk
sakit maag.
d. Bakteri Helicobacter pylori bisa menyebar akibat mengonsumsi makannan dan air yang
terkontaminasi, maka itu perlu adanya tindakan pencegahan yang diperlukan (News
Medical, 2011).

2.3 Penyebab Gangguan Saluran Pencernaan


Sistem pencernaan pada manusia dapat mengalami gangguan. Adapun gangguan
sistem pencernaan manusia disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor penyebab gangguan pada
sistem pencernaan manusia misalnya mengkonsumsi makanan yang tidak sehat, pola makan
yang tidak teratur. Sistem pencernaan kita tidak diciptakan untuk mencerna berbagai jenis
makanan secara bersamaan. Pola makan manusia telah berevolusi selama ribuan tahun.
Hingga serratus lima puluhan tahun yang lalu, manusia tidak mengkonsumsi kombinasi
makanan yang pada saat ini kita anggap ‘normal’ (Apriadji, 2008).
Di saluran cerna dapat timbul berbagai gangguan yang berhubungan dengan proses
pencernaan, penyerapan makanan, dan infeksi oleh kuman. Gangguan peristaltic yang
mengakibatkan kelainan buang air besar serta infeksi cacing. Kadang proses pencernaan
terganggu karena kurangnya empedu atau enzim tertentu untuk menguraikan makanan,
khususnya pankreatin dari pancreas (Rahardja, 2010).
Gangguan sistem pencernaan secara garis besar dapat dibagi atas 3 bagian, yaitu:
a. Gangguan asupan (intake)
Gangguan asupan dapat disebabkan oleh kelainan pada sistem pencernaan itu sendiri
ataupun yang berasal dari luar sistem pencernaan. Gangguan pada sistem pencernaan
misalnya:

1) Adanya gangguan menelan. Gangguan menelan, dapat akibat adanya kelainan pada
orofaring, seperti:

a) adanya faringitis akut, tonsilitis, tumor

2) gangguan pada esofagus meliputi esofagitis, striktur esofagus, atresia esofagus,


akhalasia, tumor dan lain-lain.

32
3) Kelainan pada lambung juga akan mengakibatkan makanan yang sudah ditelan
kembali dikeluarkan akibat mual dan muntah. Hal ini misalnya dapat ditemukan
pada:

a) ulkus ventrikuli, gastritis,

b) penyakit refluk gastroesofageal,

c) gangguan pada spinkter gastro-duodenum,

d) penyakit hepatobilier,

e) gangguan pada pankreas.

4) Gangguan diluar sistem pencernaan yang dapat mengganggua asupan/ intake dimana
hal tersebut mengakibatkan mual dan muntah. misalnya:

a) hiperemesis gravidarum,

b) penyakit ginjal kronik,

c) diabetes melitus dengan ketoasidosis,

d) gangguan pada susunan saraf pusat,

b. Gangguan Penyerapan

Gangguan penyerapan dapat terjadi, baik disebabkan oleh kelainan pada system
pencernaan bagian atas, maupun kelainan pada sistem pencernaan bagian bawah.

1) Gangguan pada sistem pencernaan bagian atas misalnya: gastritis kronik, gangguan
sekresi enzim pankreas, gangguan sekresi bilirubin ke usus halus, infeksi pada usus
halus, penyakit “celiac”.

2) Gangguan pada sistem pencernaan bagian, bawah meliputi infeksi pada colon, toksin
bakteri, penyakit otoimun pada sistem pencernaan, tumor dan lain-lain. Gangguan
penyerapan akibat kelainan diluar sistem pencernaan, misalnya penderita dengan
hipertiroid, gangguan elektrolit,dll.

c. Gangguan Lainnya
Gangguan lainnya yang ditemukan pada sistem pencernaan, meliputi perdarahan pada
sistem pencernaan, baik yang bersumber dari sistem pencernaan bagian atas, maupun dari

33
sistem pencernaan bagian bawah, tumor sistem pencernaan, primer ataupun sekunder,
hemorhoid, kelainan kongenital, misalnya atresia ani dan lain-lain (Tim Skill Lab, 2012).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gangguan saluran cerna bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penderita
yang tidak membiasakan pola hidup bersih dan sehat, pola makan yang tidak teratur.
Diagnosa, pengobatan, pencegahan, terapi pada penyakit gangguan saluran cerna
tergantunng pada jenis penyakit yang diderita.

3.2 Saran
Untuk menghindari penyakit gangguan saluran pencernaan sebaiknya kita
menjaga dan membiasakan diri untuk hidup bersih dan sehat, memakan makanan yang
sehat untuk tubuh dan yang mengandung serat, serta makan dengan pola makan yang
teratur.

34
DAFTAR PUSTAKA

 Anonim, 2009. ISO Indonesia Volume 44. Jakarta : PT. ISFI Penerbitan.
 Baliwati, Yayak F. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya.
 Barkun, A., Bardou, M., Marshall, J.K. 2003. Consensus recommendations for Managing
Patients with Nonvariceal Upper Gastrointestinal Bleeding. Ann Intern Med;139:843-57
 Berardi, R.R. 2006. Reducing GI Risks in Patients Requiring Chronic NSAID Therapy.
 Berardi, R.R., et al. 2009. Handbook of Nonprescription Drugs : An Interactive
Approach to Self Care 16th Edition . Washington DC : American Pharmascist
Association.
 Beyer. 2004. Medical Nutrition Therapy for Upper Gastrointestinal Tract
Disorders .Philadelphia: Saunders
 Blenkinsopp A, Paxton P. 2009. Symptoms in the Pharmacy: A Guide to the Management
of Common Illness. 6th . Blackwell Science Ltd.
 Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
 Caestecker, J.D., Straus, J. 2006. Upper Gastrointestinal Bleeding : Surgical
Perspective. eMedicine 1-9.
 Carpenito, Juall Lynda. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC
 Cerulli, M.A., Iqbal, S. 2008. Upper Gastrointestinal Bleeding. eMedicine 1-11.
 Chan, F.K., Chung, C.S., Sing, B.S., Lee, Y.K., Hung, L.C., Wong, V.W., Leung, K.S.,
Kung, N.S., Hui, A.J., Wu, C.Y., Leung, W.K. 2001. Preventing Recurrent Upper
Gastrointestinal Bleeding in Patients With Helicobacter Pylori Infection Who Are Taking
Low-Dose Aspirin or Naproxen. N Eng J Med;344:967-73
 Dipiro, T, Joseph, et al., 2009. Pharmacoterapy Handbook 7th Edition. TheMcGraw-Hill
Companies.
 Derry, S., Loke, Y.K. 2000. Risk of gastrointestinal haemorrhage with long term use of
aspirin : meta-analysis. BMJ; 321:1183-87.
 Djuwantoro D. 1992. Diagnosis dan Pengobatan Tukak Peptik. Cermin Dunia
Kedokteran. Jakarta.
 Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
 Ester, Monica. 2001. Pedoman Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

35
 Gralneck, I.A., Barkun, A.N., Bardou, N. 2008. Management of acute bleeding from
peptic ulcer.N Eng J Med. 359:928-39.
 Green B.D, MD; et all. 2004. The Washington Manual of Medical Therapeutics 31st Ed,
Washington University School of Medicine. Lippincott Williams & Wilkins Publishing.
 Kaviani, M.J., Hashemi, M.R., Kazemifar, A.R., Merat, S., Yarmohammad. 2003. Effect
of oral omeprazol in reducing re-bleeding in bleeding peptic ulcer: a prospective, double
blind, randomized, clinical trial. Aliment Pharmacol Ther; 17:211-16
 Kementrian Kesehatan RI, 2011. ISO Indonesia Volume 44 . Jakarta : PT. ISFI
Penerbitan, hal 444-446.
 Rahardja, Kirana. 2010. Obat-Obat Sederhana untuk Gangguan Sehari-hari. Jakarta:
Elex Media Komputindo.
 Roth, S.H., Bennett, R.E. 1987. Nonsteroidaal anti-inflammatory drug gastropathy.
Recognition and response. Arch Intern Med; 147(12):2017-20.
 Soemanto PM, Hirlan, Setiawati A, Hadi S. 1993. Penatalaksanaan Gastritis dan Ulkus
Peptikum. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Uji Diri. Yayasan Penerbit IDI. Jakarta.
 Sudoyo, Setyoadi, Alwi, Simadibrata. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jil I, Ed
IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
 Sukandar, Elin Y., Andrajati, Retnosari, Sigit, Joseph I., Adyana, I Ketut, Setiadi, A. Adji
P., dan Kusnandar. 2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
 Spruill W. J., Wade W. E. 2008. Diarrhea, Constipation, and Irritable, in Dipiro, T.,
(eds) Pharmacotheraphy a Phathophysiologic Approach. New York: The McGraw-Hill
Companies.
 Sweetman, S. C. 2009. Martindale The Complete Drug ReferenceThirty-sixth edition.
London : Pharmaceutical Press . (mula, levandi. 2014, diabetes adalah. Tersedia di
hhttp://www.kerjanya.net/faq/6552-sembelit.html diakses tanggal 20 Februari 2015).
 Syam AF, Simadibrata M, Rani AA. 2001. Helicobcater Pylori: Diagnosis and
Treatment. Med Progress.
 Tim Skill Lab. 2012. Penuntun Skill Lab: Gangguan Sistem Pencernaan. Padang:
Universitas Andalas.
 Wong, S.Y., Ng, F.H., Lau, Y.K., Kng C.P. 2008. Upper Gastrointestinal Bleeding

36
During Anti-Platelet Therapy. Drug Review; 13(3):27-39.

37

Anda mungkin juga menyukai