PENDAHULUAN
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan
normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses (kotoran) kurang, atau
fesesnya keras dan kering. Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut usia
(lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus,) lebih lambat dan
kemungkinan sebab lain. Kebanyakan terjadi jika makan kurang berserat, kurang minum, dan
kurang olahraga.
Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.
Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit, kuncinya adalah mengonsumsi serat
yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur. Jika penderita
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun masalah yang dapat kami kaji dalam makalah
ini yaitu:
1
1.3 Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini, adapun tujuan yang hendak dicapai penulis yaitu:
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konstipasi
pengerasan feses atau tinja yang berlebihan sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan dan
dapat menyebabkan kesakitan yang hebat pada penderitanya. Konstipasi sendiri sebenarnya
bukanlah suatu penyakit, tetapi lebih tepat disebut gejala yang dapat menandai adanya suatu
penyakit atau masalah dalam tubuh (Dipiro et al., 2008). Seseorang dikatakan mengalami
konstipasi apabila frekuensi BAB kurang dari 3 kali dalam seminggu disertai konsistensi feses
yang keras, kesulitan mengeluarkan feses (akibat ukuran feses besar-besar maupun akibat
terjadinya gangguan refleks defekasi), serta mengalami sensasi rasa tidak puas pada saat buang
air besar. Frekuensi defekasi yang kurang dari normal belum tentu dapat dikatakan menderita
konstipasi apabila ukuran ataupun konsistensi fesesnya masih normal (McQuaid, 2006).
antara 2-20%. Di Cina, survei yang dilakukan pada orang berusia kurang dari 60 tahun di
beberapa kota menunjukkan kejadian konstipasi kronis sebesar 15-20%. Di Beijing dilakukan
studi acak pada orang dewasa usia 18-70 tahun dan ditemukan 6,07% persennya menderita
konstipasi. Konstipasi dapat terjadi pada segala usia, dari bayi sampai lansia. Berdasarkan
International Database US Census Bureau pada tahun 2003 prevalensi konstipasi di Indonesia
sebesar 3.857.327 jiwa. Angka kejadian konstipasi di dunia maupun di indonesia cukup tinggi
namun masih sebagian besar penderita biasanya hanya melakukan pengobatan sendiri. Farmasis
dapat menyarankan obat-obatan Over The Counter (OTC) guna perbaikan keluhan pasien.
3
2.2 Etiologi
Beberapa penyakit dan penggunaan obat tertentu merupakan salah satu faktor yang berkaitan
dengan timbulnya konstipasi. Gangguan saluran gastrointestinal (sindrom iritasi usus atau
terlibat dalam timbulnya konstipasi. Konstipasi umumnya disebabkan karena rendahnya asupan
serat atau dari penggunaan obat-obatan seperti opiat yang dapat menginduksi terjadinya
konstipasi (Burns et al., 2008). Pada orang tua konstipasi yang sering terjadi dapat disebabkan
karena hasil dari diet yang tidak tepat (rendah serat dan cairan), kekuatan otot pada dinding
abdomen berkurang, serta karena berkurangnya aktivitas fisik. Namun frekuensi buang air besar
tidak menurun dengan penuaan normal (Dipiro et al., 2008). Daftar penyebab umum konstipasi
4
Penurunan aktivitas fisik
Perubahan pola makan
Asupan cairan yang tidak memadai
Asupan serat rendah
Penggunaan garam besi
Penyebab Penyakit SSP
Neurogenik Trauma otak (terutama medula)
Cedera tulang belakang
Tumor SSP
Kecelakaan serebrovaskular
Parkinson
Penyebab Mengabaikan keiginan untuk buang air besar
psikogenik Penyakit kejiwaan
Induksi Obat Analgesik (inhibitor sintesis prostaglandin, opiat)
Antikolinergik (antihistamin, agen antiparkinsonian, Phenothiazines,
Tricyclic antidepressant)
Antasida yang mengandung CaCO3 atau Al(OH)3
Barium sulfat
Calcium channel blockers
Clonidine
Diuretik (tidak hemat kalium)
NSAID
Fungsi sistem pencernaan adalah memproses makanan menjadi bentuk molekulernya yang
kemudian akan diserap dan didistribusikan ke sel melalui sistem sirkulasi. Dalam proses
pencernaan, terdapat sisa pencernaan yang harus diekskresikan, yaitu feses. Feses mengandung
material yang tidak dapat dicerna dan tidak dapat diserap sehingga dikeluarkan melalui proses
5
Gambar 1.1 Saluran cerna manusia (lambung dan usus)
Mekanisme yang berperan dalam proses defekasi sangat kompleks. Defekasi dirangsang oleh
gerakan peristaltik akibat adanya massa feses di dalam rektum (Endyarni dan Syarif, 2004).
Sebelum memasuki rektum, makanan yang bercampur dengan enzim-enzim pencernaan (chyme)
memasuki cecum (bagian awal dari kolon) melalui ileocecal sphincter. Sfingter ini secara normal
tertutup, tetapi setelah makan, refleks gastroileal meningkatkan kontraksi ileum, sfingter
mengalami rileks ketika bagian terminal ileum berkonstraksi, diikuti oleh masukknya chyme ke
dalam kolon. Di sisi lain, penggelembungan kolon menghasilkan refleks kotraksi pada sfingter,
mencegah material yang ada di fecal kembali ke usus kecil (Vander et al., 2001).
Kurang lebih 1500 mL chyme memasuki kolon setiap harinya. Material ini berasal dari
sekresi dari bagian bawah usus kecil, karena sebagian besar makanan yang dicerna telah
diabsorbsi sebelum melalui kolon. Absorbsi cairan oleh kolon secara normal, hanya merupakan
bagian kecil dari cairan yang memasuki saluran gastrointestinal tiap harinya. Proses absorbsi
primer pada kolon adalah transport aktif sodium dari lumen menuju darah, yang diikuti absorbsi
osmotik air. Jika material fecal masih berada di kolon dalam waktu yang lama, hampir semua air
tersebut diabsorbsi dan dihasilkan feses yang keras. Terdapat perpindahan potasium total yang
6
normal dari darah menuju lumen kolon dan pengurasan total potasium dalam tubuh dapat terjadi
bila cairan dalam jumlah besar diekskresikan melalui feses. Terdapat pula perpindahan total ion
bikarbonat menuju lumen. Kehilangan bikarbonat (basa) pada pasien dengan diare yang panjang
Kontraksi dari otot polos sirkular pada kolon menghasilkan gerak segmentasi dengan ritme
yang jauh lebih lambat (sekali setiap 30 menit) dibandingkan di dalam usus kecil. Karena
lambatnya dorongan dari konten pada kolon, dibutuhkan waktu 18-24 jam untuk dapat
memasukkan makanan dari usus kecil menuju kolon. Tiga sampai empat kali sehari, bisanya
diikuti oleh makanan, gelombang kontraksi usus (perpindahan massa) menyebar dengan cepat
melalui segmen melintang dari kolon menuju rektum. Hal ini biasanya bertepatan dengan
gastroileal refleks. Tidak seperti gelombang peristaltik, di mana otot polos pada setiap titik
mengalami rileks setelah gelombang kontraksi terjadi, otot polos kolon tetap berkontraksi untuk
Anus biasanya ditutup oleh sfingter anal internal (terdiri dari otot polos) dan sfingter anal
eksternal (terdiri dari otot rangka) yang dapat dikontrol secara sadar. Penggelembungan tiba-tiba
dinding rektum yang akibat gerakan massa feses ke dalam rektum, memulai refleks buang air
besar yang dimediasi oleh mekanoreseptor. Respon refleks terdiri dari kontraksi rektum,
relaksasi sfingter anal internal, tetapi terjadi kontraksi sfingter anal eksternal (pada awalnya) dan
meningkatnya aktivitas peristaltik di kolon sigmoid. Akhirnya, tekanan tercapai dalam rektum
yang memicu refleks relaksasi dari sfingter anal eksternal, yang memungkin-kan kotoran harus
dikeluarkan. Otak dapat mengatur hal tersebut, namun, melalui jalur balik saraf somatik ke
sfingter anal eksternal, menimpa sinyal refleks yang akhirnya akan mengendurkan sfingter,
dengan demikian menjaga sfingter eksternal ditutup dan memungkinkan seseorang untuk
7
menunda buang air besar. Pada kasus ini, penggelembungan berkepanjangan rektum
menginisiasi peristaltik balik yang mendorong isi rektum kembali ke kolon sigmoid. Dorongan
untuk defekasi kemudian mereda sampai gerakan massa yang ada di depannya mendorong tinja
ke rektum, meningkatkan volume, dan memulai lagi refleks buang air besar. Kerusakan sumsum
tulang belakang dapat menyebabkan hilangnya kontrol sadar untuk melakukan defekasi (Vander
et al., 2001).
Defekasi biasanya dibantu oleh inspirasi dalam, diikuti dengan penutupan glotis dan
kontraksi otot-otot perut dan dada, menghasilkan peningkatan tekanan perut yang ditransmisikan
pada massa yang ada pada kolon dan rektum. Manuver ini (manuver Valsava) juga menyebabkan
peningkatan tekanan intratoraks, yang mengarah pada peningkatan tekanan darah yang
sementara, kemudian diikuti oleh penurunan tekanan karena aliran balik vena ke jantung
berkurang. Perubahan kardiovaskular akibat regangan berlebihan saat buang air besar dapat
memicu stroke atau serangan jantung, terutama pada orang tua sembelit dengan penyakit jantung
Konstipasi bukan merupakan suatu penyakit, namun merupakan gejala dari adanya suatu
penyakit atau masalah dalam tubuh. Pengobatan pada konstipasi harus diawali dengan usaha
atau gangguan sistem endokrin dapat menjadi hal-hal yang terkait dengan timbulnya konstipasi.
Konstipasi umumnya hasil dari diet rendah serat atau penggunaan obat-obat yang menyebabkan
konstipasi seperti obat-obat golongan opiat. Di samping itu, hal-hal yang berawal dari gangguan
psikis juga dipercaya menyebabkan konstipasi, penurunan kekuatan otot dinding abdomen dan
kemungkinan penurunan aktifitas fisik. Bagaimana pun juga, frekuensi pergerakan usus tidak
8
berkurang pada usia produktif. Selain itu, penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan
konstipasi, seperti kanker kolon dan diverticulitis, akan meningkat kemungkinannya seiring
dengan bertambahnya umur. Contoh faktor penyebab konstipasi telah dijelaskan pada sub bab
etiologi. Penggunaan obat-obatan (tabel 1.1) yang menghambat fungsi neurologis atau otot
saluran cerna (terutama usus besar) juga merupakan penyebab konstipasi (Dipiro et al., 2008).
Pasien mengeluh tentang rasa tidak nyaman dan kembung pada perut, kelelahan, sakit
kepala, mual dan muntah, pergerakan usus yang hilang, feses dengan ukuran kecil, perasaan
penuh, kesulitan, dan sakit saat mengeluarkan feses (Dipiro et al., 2008; Sukandar dkk., 2008)
Implikasi dari konstipasi dapat bervariasi mulai dari rasa tidak nyaman sampai gejala kanker
Konstipasi menunjukan gejala yang parah apabila ditandai dengan gejala berlangsung lebih
dari 3 minggu, terdapat darah dalam tinja, penurunan berat badan, demam, anoreksia, mual, dan
muntah atau setiap kali terjadi perubahan kebiasaan buang air besar yang biasa terjadi secara
B. Tes Laboratorium
sigmoidoskopi, kolonoskopi, dan barium enema yang mungkin diperlukan untuk menentukan
Studi mengenai fungsi tiroid dapat dilakukan untuk menentukan adanya metabolik dan
9
2.6 Tata Laksana Terapi dan Farmakologi Obat
Pada pasien dengan konstipasi, tujuan utama terapi adalah untuk mengidentifikasi dan
mengobati penyebab sekunder, mengurangi gejala, serta mengembalikan fungsi normal usus
(Chisholm-Burns et al., 2008). Tindakan umum yang diyakini bermanfaat dalam mengatasi
konstipasi adalah modifikasi diet untuk meningkatkan jumlah serat yang dikonsumsi tiap hari,
olahraga, penyesuaian pola buang air besar sehingga teratur dan waktu yang memadai dibuat
untuk merespon dorongan untuk buang air besar, dan meningkatkan asupan cairan. Jika yang
mendasari penyebab konstipasi adalah penyakit lain, maka lakukan upaya untuk
Penyakit pada endokrin dan metabolik harus ditangani dengan metode yang tepat. Obat yang
agen lainnya. Jika tidak ada alternatif yang rasional untuk menggantinya, maka dapat
dipertimbangkan untuk menurunkan dosis dari obat tersebut (Dipiro et al., 2008).
Satu atau lebih laksatif dapat diberikan untuk mengobati gejala. Jika apoteker merasa bahwa
pasien hanya perlu diberikan saran diet, maka akan masuk akal untuk melihat terlebih dahulu
keadaan pasien sekitar 2 minggu untuk melihat apakah konstipasi menetap sebelum pasien
Riwayat
a. frekuensi feses
b. konsistensi feses
Kemungkinan penyebab
10
a. Diet makanan tinggi serat yang kurang dan terutama terdiri dari makanan yang sangat
halus
b. Gangguan GI
d. Kehamilan
e. Neurogenik
f. Psikogenik
h. Penyalahgunaan laksatif
kolitis
a. Proktoskopi
b. Sigmoidoskopi
c. Kolonoskopi
d. Barium enema
Diagnosa
a. Bulk-forming agent
b. Modifikasi diet
11
c. Perubahan gaya hidup (olahraga)
d. Asupan cairan
Sebelum memulai terapi, pasien harus ditanyakan tentang frekuensi pergerakan usus dan
tingkat keparahan konstipasi. Pasien juga harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan yang
berkaitan tentang kebiasaan diet dan regimen laksatif yang dikonsumsi. Pasien juga harus
ditanyakan dengan seksama tentang kebiasaan diet dan regimen pencahar yang diterima.
Ditanyakan apakah pasien memiliki diet tetap dengan mengurangi makanan yang berserat
tinggi, terutama yang berserat halus serta obat pencahar (laksatif atau katartik) apa yang pernah
dicoba oleh pasien untuk menghilangkan konstipasi/sembelitnya. Selain itu, pasien juga harus
ditanyakan tentang kombinasi pengobatan yang dilakukan secara bersamaan, yang mungkin
Dasar dari perawatan dan pencegahan konstipasi harus terdiri dari usaha pemberian agen
yang membentuk bulk disamping modifikasi diet untuk meningkatkan serat. Untuk beberapa
penderita konstipasi akut yang tidak dirawat di rumah sakit, penggunaan produk laksatif dapat
diterima. Namun sebelum pasien diberikan laksatif ataupun katartik yang lebih poten, sebaiknya
konstipasi akut dapat dihilangkan dengan penggunaan tap-water enema (agen yang
menyebabkan terjadinya pemasukan air ke dalam usus atau kolon melalui anus untuk
merangsang buang air besar) atau suppositoria gliserin. Jika tidak efektif, penggunaan sorbitol
oral, bisakodil atau senna dalam dosis rendah atau saline laksatif (misalnya susu magnesium)
dapat diberikan sebagai pembantu perawatan. Jika pengobatan laksatif diperlukan untuk lebih
dari 1 minggu, orang tersebut dianjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan
12
apakah ada penyebab lain yang mendasari konstipasi sehingga diperlukan pengobatan dari agen
Modifikasi gaya hidup perlu dilakukan sebelum penggunaan laksatif pada konstipasi.
Konstipasi biasanya berhubungan dengan rendahnya asupan serap, kurangnya cairan dan
segar dan sayuran seperti asparagus, kol dan wortel sebanyak 20-35 gram/hari dan menghindari
konsumsi makanan yang rendah serat seperti keju dan es krim. Asupan cairan yang cukup juga
penting (6-8 gelas perhari). Berjalan atau latihan aerobik lain dapat membantu melatih otot di
daerah abdominal yang mendorong propulsi dalam usus. Selain itu, pasien sebaiknya
membiasakan untuk tidak menunda keinginan untuk buang air besar (Chisholm-Burns et al.,
2008).
c. Terapi Farmakologi
Derivatif difenilmetana (bisacodyl) dan antrakuinon (senna) memiliki aksi yang selektif pada
saraf pleksus otot polos usus yang menyebabkan peningkatan motilitas usus (Chisholm-Burns et
al., 2008). Semua obat laksatif stimulan dapat menghasilkan kram nyeri. Disarankan untuk
memulai dengan dosis paling rendah dari kisaran dosis yang dianjurkan, kemudian dosis dapat
ditingkatkan jika diperlukan. Intensitas efek laksatif berhubungan dengan dosis yang digunakan.
Laksatif stimulan bekerja dalam 6-12 jam bila digunakan secara oral. Harus digunakan
maksimum 1 minggu. Bisacodyl tablet yang dilapisi salut enterik harus ditelan utuh karena
bisacodyl dapat mengiritasi lambung. Jika diberikan sebagai supositoria, efeknya biasanya terjadi
dalam 1 jam dan kadang-kadang 15 menit setelah insersi (Blenkinsopp et al., 2005).
13
Natrium Docusate tampaknya memiliki efek stimulan dan efek melembutkan tinja, bertindak
dalam waktu 12 hari. Penggunaan dari senna dan cascara yang tidak terstandardisasi, harus
digunakan secara hati-hati, karena dosis dan mekanismenya tidak bisa ditebak. Minyak jarak
adalah obat tradisional untuk konstipasi, yang tidak lagi dianjurkan karena adanya sediaan lain
lebih baik. Penggunaan laksatif stimulan secara terus menerus dapat mengakibatkan hilangnya
aktivitas otot di dinding usus dan nantinya menyebabkan konstipasi (Blenkinsopp et al., 2005).
Bulk laksatif seperti ispaghula, metilselulosa dan sterculia memiliki mekanisme yang paling
mendekati dengan fisiologis normal yang terlibat dalam evakuasi usus dan dianggap oleh banyak
orang sebagai obat pencahar pilihan. Agen ini sangat berguna ketika pasien tidak bisa atau tidak
mau meningkatkan asupan serat makanan. Bulk laksatif bekerja dengan cara mengembang di
usus dan meningkatkan massa feses sehingga peristaltik usus dirangsang. Efek laksatif dapat
Kandungan natrium pada bulk laksatif (sebagai natrium bikarbonat) harus dipertimbangkan
penggunaan bulk laksatif, apoteker harus menyarankan bahwa peningkatan asupan cairan akan
diperlukan. Sebelum mengkonsumsi bulk laksatif, karena sediaannya dalam bentuk butiran atau
bubuk, sediaan harus dicampur dengan segelas penuh cairan (misalnya jus buah atau air). Jus
buah dapat menutupi rasa hambar sediaan. Obstruksi usus mungkin timbul dari asupan cairan
yang tidak memadai pada pasien yang memakai bulk laksatif, terutama yang ususnya tidak
berfungsi dengan baik sebagai akibat dari penyalahgunaan obat laksatif stimulant (Blenkinsopp
et al., 2005).
14
Laktulosa bekerja dengan menjaga volume cairan dalam usus. Laksatif osmotik mungkin
memerlukan waktu 1-2 hari untuk bekerja. Laktitol secara kimiawi berhubungan dengan
laktulosa dan tersedia dalam sachet. Isi sachet itu ditaburkan pada makanan atau dicampurkan
dengan cairan (misalnya jus buah atau air). Laktulosa dan laktitol dapat menyebabkan perut
kembung, kram dan ketidaknyamanan perut. Garam Epsom (magnesium sulfat) merupakan
pengobatan tradisional yang sementara ini tidak lagi direkomendasikan, namun masih diminta
oleh beberapa pasien yang usianya sudah tua. Obat ini bekerja dengan menarik air ke dalam usus
gerakan usus dalam beberapa jam. Penggunaan berulang dapat menyebabkan dehidrasi
Gliserin biasanya diberikan sebagai suppositoria dengan bobot sekitar 3 g dan menimbulkan
efek berupa aksi osmotik di dalam rektum. Seperti kebanyakan agen yang diberikan dalam
bentuk suppositoria, efek biasanya terjadi dalam waktu kurang dari 30 menit. Kadar yang tinggi
dalam suppositoria dapat menimbulkan iritasi lokal. Gliserin dianggap sebagai pencahar yang
aman, meskipun terkadang dapat menyebabkan iritasi pada dubur. Penggunaannya dapat
diterima untuk konstipasi yang sifatnya berselang (kadang-kadang), terutama pada anak-anak
(Dipiro et al., 2008). Membasahi supositoria sebelum digunakan akan membuat penggunaannya
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
pengerasan feses atau tinja yang berlebihan sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan dan
2.Pengobatan penyakit konstipasi, salah satunya secara farmakologi yaitu laksatif. Lasatif
3.2 Saran
a. Makalah ini dapat dijadikan proses pembelajaran yang khususnya menambah pengetahuan
mengenai konstipasi.
16
DAFTAR PUSTAKA
Blenkinsopp, A., Paxton, P., Blekinsopp, J. 2005. Symptoms in the Pharmacy : A Guide
Rotschafer, and J. T. DiPiro. 2008. Pharmacotherapy Principles & practice. New York: The
McGraw-Hill Companies.
Dipiro, Joseph .T., Robert L. Talbert., Gary C. Yee., Gary R. Matzke., Barbara G. Wells
Endrayani, B. dan Syarif, B.H. 2004. Konstipasi Fungsional. Sari Pedriati, Vol. 6 (2) :75-
80.
McQuaid, K.R, 2006, E-book: Current Medical Diagnosis & Treatment: Allimentary
Vander, A.J., Sherman, J.H., dan Luciano, D.S. 2001. Human Physiology:
17