Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan

normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses (kotoran) kurang, atau

fesesnya keras dan kering. Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut usia

(lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus,) lebih lambat dan

kemungkinan sebab lain. Kebanyakan terjadi jika makan kurang berserat, kurang minum, dan

kurang olahraga.

Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.

Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit, kuncinya adalah mengonsumsi serat

yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur. Jika penderita

konstipasi ini mengalami kesulitan mengunyah, misalnya karena ompong,dapat mengkomsumsi

minuman serat dalam kemasan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, adapun masalah yang dapat kami kaji dalam makalah

ini yaitu:

1. Apa definisi dari konstipasi?

2. Bagaimana etiologi penyakit konstipasi?

3. Bagaimana bentuk fisiologi normal?

4. Bagaimana patofisiologi penyakit konstipasi?

5. Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit tersebut?

6. Bagaimana penatalaksanaan terapi dari penyakit tersebut?

1
1.3 Tujuan

Dalam pembuatan makalah ini, adapun tujuan yang hendak dicapai penulis yaitu:

1. Untuk mengetahui definisi dari konstipasi

2. Untuk mengetahui etiologi penyakit konstipasi

3. Untuk mengetahui fisiologi normal

4. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit konstipasi

5. Untuk mengetahui manifestasi klinis penyakit konstipasi

6. Untuk mengetahui penatalaksanaan terapi dari penyakit konstipasi

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konstipasi

Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan dimana seseorang mengalami

pengerasan feses atau tinja yang berlebihan sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan dan

dapat menyebabkan kesakitan yang hebat pada penderitanya. Konstipasi sendiri sebenarnya

bukanlah suatu penyakit, tetapi lebih tepat disebut gejala yang dapat menandai adanya suatu

penyakit atau masalah dalam tubuh (Dipiro et al., 2008). Seseorang dikatakan mengalami

konstipasi apabila frekuensi BAB kurang dari 3 kali dalam seminggu disertai konsistensi feses

yang keras, kesulitan mengeluarkan feses (akibat ukuran feses besar-besar maupun akibat

terjadinya gangguan refleks defekasi), serta mengalami sensasi rasa tidak puas pada saat buang

air besar. Frekuensi defekasi yang kurang dari normal belum tentu dapat dikatakan menderita

konstipasi apabila ukuran ataupun konsistensi fesesnya masih normal (McQuaid, 2006).

Berdasarkan National Health Interview, prevalensi konstipasi di Amerika Serikat berkisar

antara 2-20%. Di Cina, survei yang dilakukan pada orang berusia kurang dari 60 tahun di

beberapa kota menunjukkan kejadian konstipasi kronis sebesar 15-20%. Di Beijing dilakukan

studi acak pada orang dewasa usia 18-70 tahun dan ditemukan 6,07% persennya menderita

konstipasi. Konstipasi dapat terjadi pada segala usia, dari bayi sampai lansia. Berdasarkan

International Database US Census Bureau pada tahun 2003 prevalensi konstipasi di Indonesia

sebesar 3.857.327 jiwa. Angka kejadian konstipasi di dunia maupun di indonesia cukup tinggi

namun masih sebagian besar penderita biasanya hanya melakukan pengobatan sendiri. Farmasis

dapat menyarankan obat-obatan Over The Counter (OTC) guna perbaikan keluhan pasien.

3
2.2 Etiologi

Beberapa penyakit dan penggunaan obat tertentu merupakan salah satu faktor yang berkaitan

dengan timbulnya konstipasi. Gangguan saluran gastrointestinal (sindrom iritasi usus atau

diverticulitis), gangguan metabolik (diabetes), atau gangguan endokrin (hipotiroidisme) dapat

terlibat dalam timbulnya konstipasi. Konstipasi umumnya disebabkan karena rendahnya asupan

serat atau dari penggunaan obat-obatan seperti opiat yang dapat menginduksi terjadinya

konstipasi (Burns et al., 2008). Pada orang tua konstipasi yang sering terjadi dapat disebabkan

karena hasil dari diet yang tidak tepat (rendah serat dan cairan), kekuatan otot pada dinding

abdomen berkurang, serta karena berkurangnya aktivitas fisik. Namun frekuensi buang air besar

tidak menurun dengan penuaan normal (Dipiro et al., 2008). Daftar penyebab umum konstipasi

pada kondisi penyakit tertentu ditampilkan dalam tabel 1.1.

Tabel 1.1 Daftar Penyebab Umum Konstipasi


Kondisi Etiologi yang Berpotensi Menyebabkan Konstipasi
Gangguan GI Irritable Bowel Syndrome (IBS)
 Diverticulitis
 Penyakit saluran pencernaan atas
 Penyakit anal dan rektal
 Wasir
 Ulcerative proctitis
 Tumor
 Hernia
 Volvulus usus
 Sifilis
 Tuberkulosis
 Infeksi cacing
Gangguan  Diabetes melitus dengan neuropati
metabolisme  Hipotiroidisme
dan endokrin  Panhypopituitarism
 Pheochromocytoma
 Hiperkalsemia
 Kelebihan glukagon enterik
Kehamilan  Motilitas usus tertekan
 Peningkatan penyerapan cairan dari usus

4
 Penurunan aktivitas fisik
 Perubahan pola makan
 Asupan cairan yang tidak memadai
 Asupan serat rendah
 Penggunaan garam besi
Penyebab  Penyakit SSP
Neurogenik  Trauma otak (terutama medula)
 Cedera tulang belakang
 Tumor SSP
 Kecelakaan serebrovaskular
 Parkinson
Penyebab  Mengabaikan keiginan untuk buang air besar
psikogenik  Penyakit kejiwaan
Induksi Obat  Analgesik (inhibitor sintesis prostaglandin, opiat)
 Antikolinergik (antihistamin, agen antiparkinsonian, Phenothiazines,
Tricyclic antidepressant)
 Antasida yang mengandung CaCO3 atau Al(OH)3
 Barium sulfat
 Calcium channel blockers
 Clonidine
 Diuretik (tidak hemat kalium)
 NSAID

2.3 Fisiologi Normal

Fungsi sistem pencernaan adalah memproses makanan menjadi bentuk molekulernya yang

kemudian akan diserap dan didistribusikan ke sel melalui sistem sirkulasi. Dalam proses

pencernaan, terdapat sisa pencernaan yang harus diekskresikan, yaitu feses. Feses mengandung

material yang tidak dapat dicerna dan tidak dapat diserap sehingga dikeluarkan melalui proses

defekasi (Vander et al., 2001).

5
Gambar 1.1 Saluran cerna manusia (lambung dan usus)

Mekanisme yang berperan dalam proses defekasi sangat kompleks. Defekasi dirangsang oleh

gerakan peristaltik akibat adanya massa feses di dalam rektum (Endyarni dan Syarif, 2004).

Sebelum memasuki rektum, makanan yang bercampur dengan enzim-enzim pencernaan (chyme)

memasuki cecum (bagian awal dari kolon) melalui ileocecal sphincter. Sfingter ini secara normal

tertutup, tetapi setelah makan, refleks gastroileal meningkatkan kontraksi ileum, sfingter

mengalami rileks ketika bagian terminal ileum berkonstraksi, diikuti oleh masukknya chyme ke

dalam kolon. Di sisi lain, penggelembungan kolon menghasilkan refleks kotraksi pada sfingter,

mencegah material yang ada di fecal kembali ke usus kecil (Vander et al., 2001).

Kurang lebih 1500 mL chyme memasuki kolon setiap harinya. Material ini berasal dari

sekresi dari bagian bawah usus kecil, karena sebagian besar makanan yang dicerna telah

diabsorbsi sebelum melalui kolon. Absorbsi cairan oleh kolon secara normal, hanya merupakan

bagian kecil dari cairan yang memasuki saluran gastrointestinal tiap harinya. Proses absorbsi

primer pada kolon adalah transport aktif sodium dari lumen menuju darah, yang diikuti absorbsi

osmotik air. Jika material fecal masih berada di kolon dalam waktu yang lama, hampir semua air

tersebut diabsorbsi dan dihasilkan feses yang keras. Terdapat perpindahan potasium total yang

6
normal dari darah menuju lumen kolon dan pengurasan total potasium dalam tubuh dapat terjadi

bila cairan dalam jumlah besar diekskresikan melalui feses. Terdapat pula perpindahan total ion

bikarbonat menuju lumen. Kehilangan bikarbonat (basa) pada pasien dengan diare yang panjang

dapat menyebabkan darah menjadi asam (Vander et al., 2001).

Kontraksi dari otot polos sirkular pada kolon menghasilkan gerak segmentasi dengan ritme

yang jauh lebih lambat (sekali setiap 30 menit) dibandingkan di dalam usus kecil. Karena

lambatnya dorongan dari konten pada kolon, dibutuhkan waktu 18-24 jam untuk dapat

memasukkan makanan dari usus kecil menuju kolon. Tiga sampai empat kali sehari, bisanya

diikuti oleh makanan, gelombang kontraksi usus (perpindahan massa) menyebar dengan cepat

melalui segmen melintang dari kolon menuju rektum. Hal ini biasanya bertepatan dengan

gastroileal refleks. Tidak seperti gelombang peristaltik, di mana otot polos pada setiap titik

mengalami rileks setelah gelombang kontraksi terjadi, otot polos kolon tetap berkontraksi untuk

beberapa saat setelah perpindahan massa terjadi (Vander et al., 2001).

Anus biasanya ditutup oleh sfingter anal internal (terdiri dari otot polos) dan sfingter anal

eksternal (terdiri dari otot rangka) yang dapat dikontrol secara sadar. Penggelembungan tiba-tiba

dinding rektum yang akibat gerakan massa feses ke dalam rektum, memulai refleks buang air

besar yang dimediasi oleh mekanoreseptor. Respon refleks terdiri dari kontraksi rektum,

relaksasi sfingter anal internal, tetapi terjadi kontraksi sfingter anal eksternal (pada awalnya) dan

meningkatnya aktivitas peristaltik di kolon sigmoid. Akhirnya, tekanan tercapai dalam rektum

yang memicu refleks relaksasi dari sfingter anal eksternal, yang memungkin-kan kotoran harus

dikeluarkan. Otak dapat mengatur hal tersebut, namun, melalui jalur balik saraf somatik ke

sfingter anal eksternal, menimpa sinyal refleks yang akhirnya akan mengendurkan sfingter,

dengan demikian menjaga sfingter eksternal ditutup dan memungkinkan seseorang untuk

7
menunda buang air besar. Pada kasus ini, penggelembungan berkepanjangan rektum

menginisiasi peristaltik balik yang mendorong isi rektum kembali ke kolon sigmoid. Dorongan

untuk defekasi kemudian mereda sampai gerakan massa yang ada di depannya mendorong tinja

ke rektum, meningkatkan volume, dan memulai lagi refleks buang air besar. Kerusakan sumsum

tulang belakang dapat menyebabkan hilangnya kontrol sadar untuk melakukan defekasi (Vander

et al., 2001).

Defekasi biasanya dibantu oleh inspirasi dalam, diikuti dengan penutupan glotis dan

kontraksi otot-otot perut dan dada, menghasilkan peningkatan tekanan perut yang ditransmisikan

pada massa yang ada pada kolon dan rektum. Manuver ini (manuver Valsava) juga menyebabkan

peningkatan tekanan intratoraks, yang mengarah pada peningkatan tekanan darah yang

sementara, kemudian diikuti oleh penurunan tekanan karena aliran balik vena ke jantung

berkurang. Perubahan kardiovaskular akibat regangan berlebihan saat buang air besar dapat

memicu stroke atau serangan jantung, terutama pada orang tua sembelit dengan penyakit jantung

(Vander et al., 2001).

2.4 Patofisiologi Penyakit

Konstipasi bukan merupakan suatu penyakit, namun merupakan gejala dari adanya suatu

penyakit atau masalah dalam tubuh. Pengobatan pada konstipasi harus diawali dengan usaha

untuk menetapkan penyebabnya. Gangguan pada saluran pencernaan, gangguan metabolisme

atau gangguan sistem endokrin dapat menjadi hal-hal yang terkait dengan timbulnya konstipasi.

Konstipasi umumnya hasil dari diet rendah serat atau penggunaan obat-obat yang menyebabkan

konstipasi seperti obat-obat golongan opiat. Di samping itu, hal-hal yang berawal dari gangguan

psikis juga dipercaya menyebabkan konstipasi, penurunan kekuatan otot dinding abdomen dan

kemungkinan penurunan aktifitas fisik. Bagaimana pun juga, frekuensi pergerakan usus tidak

8
berkurang pada usia produktif. Selain itu, penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan

konstipasi, seperti kanker kolon dan diverticulitis, akan meningkat kemungkinannya seiring

dengan bertambahnya umur. Contoh faktor penyebab konstipasi telah dijelaskan pada sub bab

etiologi. Penggunaan obat-obatan (tabel 1.1) yang menghambat fungsi neurologis atau otot

saluran cerna (terutama usus besar) juga merupakan penyebab konstipasi (Dipiro et al., 2008).

2.5 Manifestasi Klinis

A. Tanda dan Gejala

 Pasien mengeluh tentang rasa tidak nyaman dan kembung pada perut, kelelahan, sakit

kepala, mual dan muntah, pergerakan usus yang hilang, feses dengan ukuran kecil, perasaan

penuh, kesulitan, dan sakit saat mengeluarkan feses (Dipiro et al., 2008; Sukandar dkk., 2008)

 Implikasi dari konstipasi dapat bervariasi mulai dari rasa tidak nyaman sampai gejala kanker

usus besar atau penyakit serius lainnya (Sukandar dkk., 2008).

 Konstipasi menunjukan gejala yang parah apabila ditandai dengan gejala berlangsung lebih

dari 3 minggu, terdapat darah dalam tinja, penurunan berat badan, demam, anoreksia, mual, dan

muntah atau setiap kali terjadi perubahan kebiasaan buang air besar yang biasa terjadi secara

signifikan (Burns et al., 2008).

B. Tes Laboratorium

 Pada tes laboratorium, terdapat serangkaian pemeriksaan, termasuk proktoskopi,

sigmoidoskopi, kolonoskopi, dan barium enema yang mungkin diperlukan untuk menentukan

adanya kolorektal patologi.

 Studi mengenai fungsi tiroid dapat dilakukan untuk menentukan adanya metabolik dan

gangguan endokrin yang berhubungan dengan konstipasi. (Dipiro et al., 2008).

9
2.6 Tata Laksana Terapi dan Farmakologi Obat

Pada pasien dengan konstipasi, tujuan utama terapi adalah untuk mengidentifikasi dan

mengobati penyebab sekunder, mengurangi gejala, serta mengembalikan fungsi normal usus

(Chisholm-Burns et al., 2008). Tindakan umum yang diyakini bermanfaat dalam mengatasi

konstipasi adalah modifikasi diet untuk meningkatkan jumlah serat yang dikonsumsi tiap hari,

olahraga, penyesuaian pola buang air besar sehingga teratur dan waktu yang memadai dibuat

untuk merespon dorongan untuk buang air besar, dan meningkatkan asupan cairan. Jika yang

mendasari penyebab konstipasi adalah penyakit lain, maka lakukan upaya untuk

menyembuhkannya. Gangguan GI yang berbahaya bisa dihilangkan melalui bedah reseksi.

Penyakit pada endokrin dan metabolik harus ditangani dengan metode yang tepat. Obat yang

berpotensi menyebabkan konstipasi harus diidentifikasi dan dipertimbangkan diganti dengan

agen lainnya. Jika tidak ada alternatif yang rasional untuk menggantinya, maka dapat

dipertimbangkan untuk menurunkan dosis dari obat tersebut (Dipiro et al., 2008).

Satu atau lebih laksatif dapat diberikan untuk mengobati gejala. Jika apoteker merasa bahwa

pasien hanya perlu diberikan saran diet, maka akan masuk akal untuk melihat terlebih dahulu

keadaan pasien sekitar 2 minggu untuk melihat apakah konstipasi menetap sebelum pasien

dirujuk ke dokter (Blenkinsopp et al., 2005).

a. Algoritma Terapi Konstipasi

Riwayat

a. frekuensi feses

b. konsistensi feses

c. Kesulitan buang air besar

Kemungkinan penyebab

10
a. Diet makanan tinggi serat yang kurang dan terutama terdiri dari makanan yang sangat

halus

b. Gangguan GI

c. Gangguan metabolisme dan endokrin

d. Kehamilan

e. Neurogenik

f. Psikogenik

g. Diinduksi oleh penggunaan obat

h. Penyalahgunaan laksatif

Gejala yang terlihat pada sembelit kronis

a. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (hipokalemia)

b. Protein-losing gastroenteropathy dengan hipoalbuminemiak. Sindrom yang me- nyerupai

kolitis

Pilih uji diagnostik yang tepat

a. Proktoskopi

b. Sigmoidoskopi

c. Kolonoskopi

d. Barium enema

Diagnosa

1. Mengobati penyebab spesifik

2. Tidak ada diagnosis, terapi simtomatis :

a. Bulk-forming agent

b. Modifikasi diet

11
c. Perubahan gaya hidup (olahraga)

d. Asupan cairan

e. Hentikan obat yang berpotensial menginduksi konstipasi

Sebelum memulai terapi, pasien harus ditanyakan tentang frekuensi pergerakan usus dan

tingkat keparahan konstipasi. Pasien juga harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan yang

berkaitan tentang kebiasaan diet dan regimen laksatif yang dikonsumsi. Pasien juga harus

ditanyakan dengan seksama tentang kebiasaan diet dan regimen pencahar yang diterima.

Ditanyakan apakah pasien memiliki diet tetap dengan mengurangi makanan yang berserat

tinggi, terutama yang berserat halus serta obat pencahar (laksatif atau katartik) apa yang pernah

dicoba oleh pasien untuk menghilangkan konstipasi/sembelitnya. Selain itu, pasien juga harus

ditanyakan tentang kombinasi pengobatan yang dilakukan secara bersamaan, yang mungkin

dapat menyebabkan sembelit (Dipiro et al., 2008).

Dasar dari perawatan dan pencegahan konstipasi harus terdiri dari usaha pemberian agen

yang membentuk bulk disamping modifikasi diet untuk meningkatkan serat. Untuk beberapa

penderita konstipasi akut yang tidak dirawat di rumah sakit, penggunaan produk laksatif dapat

diterima. Namun sebelum pasien diberikan laksatif ataupun katartik yang lebih poten, sebaiknya

dicobakan terlebih dahulu langkah-langkah pengobatan yang lebih sederhana. Misalnya,

konstipasi akut dapat dihilangkan dengan penggunaan tap-water enema (agen yang

menyebabkan terjadinya pemasukan air ke dalam usus atau kolon melalui anus untuk

merangsang buang air besar) atau suppositoria gliserin. Jika tidak efektif, penggunaan sorbitol

oral, bisakodil atau senna dalam dosis rendah atau saline laksatif (misalnya susu magnesium)

dapat diberikan sebagai pembantu perawatan. Jika pengobatan laksatif diperlukan untuk lebih

dari 1 minggu, orang tersebut dianjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan

12
apakah ada penyebab lain yang mendasari konstipasi sehingga diperlukan pengobatan dari agen

lain selain laksatif (Dipiro et al., 2008).

b. Terapi Non Farmakologi

Modifikasi gaya hidup perlu dilakukan sebelum penggunaan laksatif pada konstipasi.

Konstipasi biasanya berhubungan dengan rendahnya asupan serap, kurangnya cairan dan

olahraga. Peningkatan konsumsi serat seperti kacang-kacangan, biji-bijian, sereal, buah-buahan

segar dan sayuran seperti asparagus, kol dan wortel sebanyak 20-35 gram/hari dan menghindari

konsumsi makanan yang rendah serat seperti keju dan es krim. Asupan cairan yang cukup juga

penting (6-8 gelas perhari). Berjalan atau latihan aerobik lain dapat membantu melatih otot di

daerah abdominal yang mendorong propulsi dalam usus. Selain itu, pasien sebaiknya

membiasakan untuk tidak menunda keinginan untuk buang air besar (Chisholm-Burns et al.,

2008).

c. Terapi Farmakologi

1. Laksatif Stimulan (Stimulant Laxative)

Derivatif difenilmetana (bisacodyl) dan antrakuinon (senna) memiliki aksi yang selektif pada

saraf pleksus otot polos usus yang menyebabkan peningkatan motilitas usus (Chisholm-Burns et

al., 2008). Semua obat laksatif stimulan dapat menghasilkan kram nyeri. Disarankan untuk

memulai dengan dosis paling rendah dari kisaran dosis yang dianjurkan, kemudian dosis dapat

ditingkatkan jika diperlukan. Intensitas efek laksatif berhubungan dengan dosis yang digunakan.

Laksatif stimulan bekerja dalam 6-12 jam bila digunakan secara oral. Harus digunakan

maksimum 1 minggu. Bisacodyl tablet yang dilapisi salut enterik harus ditelan utuh karena

bisacodyl dapat mengiritasi lambung. Jika diberikan sebagai supositoria, efeknya biasanya terjadi

dalam 1 jam dan kadang-kadang 15 menit setelah insersi (Blenkinsopp et al., 2005).

13
Natrium Docusate tampaknya memiliki efek stimulan dan efek melembutkan tinja, bertindak

dalam waktu 12 hari. Penggunaan dari senna dan cascara yang tidak terstandardisasi, harus

digunakan secara hati-hati, karena dosis dan mekanismenya tidak bisa ditebak. Minyak jarak

adalah obat tradisional untuk konstipasi, yang tidak lagi dianjurkan karena adanya sediaan lain

lebih baik. Penggunaan laksatif stimulan secara terus menerus dapat mengakibatkan hilangnya

aktivitas otot di dinding usus dan nantinya menyebabkan konstipasi (Blenkinsopp et al., 2005).

2. Pembentuk Massa Feses (bulk laksative)

Bulk laksatif seperti ispaghula, metilselulosa dan sterculia memiliki mekanisme yang paling

mendekati dengan fisiologis normal yang terlibat dalam evakuasi usus dan dianggap oleh banyak

orang sebagai obat pencahar pilihan. Agen ini sangat berguna ketika pasien tidak bisa atau tidak

mau meningkatkan asupan serat makanan. Bulk laksatif bekerja dengan cara mengembang di

usus dan meningkatkan massa feses sehingga peristaltik usus dirangsang. Efek laksatif dapat

memakan waktu beberapa hari (Blenkinsopp et al., 2005).

Kandungan natrium pada bulk laksatif (sebagai natrium bikarbonat) harus dipertimbangkan

pada mereka yang memerlukan pembatasan asupan natrium. Ketika merekomendasikan

penggunaan bulk laksatif, apoteker harus menyarankan bahwa peningkatan asupan cairan akan

diperlukan. Sebelum mengkonsumsi bulk laksatif, karena sediaannya dalam bentuk butiran atau

bubuk, sediaan harus dicampur dengan segelas penuh cairan (misalnya jus buah atau air). Jus

buah dapat menutupi rasa hambar sediaan. Obstruksi usus mungkin timbul dari asupan cairan

yang tidak memadai pada pasien yang memakai bulk laksatif, terutama yang ususnya tidak

berfungsi dengan baik sebagai akibat dari penyalahgunaan obat laksatif stimulant (Blenkinsopp

et al., 2005).

3. Laksatif Osmotik (Osmotic Laxatives)

14
Laktulosa bekerja dengan menjaga volume cairan dalam usus. Laksatif osmotik mungkin

memerlukan waktu 1-2 hari untuk bekerja. Laktitol secara kimiawi berhubungan dengan

laktulosa dan tersedia dalam sachet. Isi sachet itu ditaburkan pada makanan atau dicampurkan

dengan cairan (misalnya jus buah atau air). Laktulosa dan laktitol dapat menyebabkan perut

kembung, kram dan ketidaknyamanan perut. Garam Epsom (magnesium sulfat) merupakan

pengobatan tradisional yang sementara ini tidak lagi direkomendasikan, namun masih diminta

oleh beberapa pasien yang usianya sudah tua. Obat ini bekerja dengan menarik air ke dalam usus

sehingga menghasilkan peningkatan tekanan motilitas di usus dan biasanya menghasilkan

gerakan usus dalam beberapa jam. Penggunaan berulang dapat menyebabkan dehidrasi

(Blenkinsopp et al., 2005).

Gliserin biasanya diberikan sebagai suppositoria dengan bobot sekitar 3 g dan menimbulkan

efek berupa aksi osmotik di dalam rektum. Seperti kebanyakan agen yang diberikan dalam

bentuk suppositoria, efek biasanya terjadi dalam waktu kurang dari 30 menit. Kadar yang tinggi

dalam suppositoria dapat menimbulkan iritasi lokal. Gliserin dianggap sebagai pencahar yang

aman, meskipun terkadang dapat menyebabkan iritasi pada dubur. Penggunaannya dapat

diterima untuk konstipasi yang sifatnya berselang (kadang-kadang), terutama pada anak-anak

(Dipiro et al., 2008). Membasahi supositoria sebelum digunakan akan membuat penggunaannya

lebih mudah (Blenkinsopp et al., 2005).

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1.Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan dimana seseorang mengalami

pengerasan feses atau tinja yang berlebihan sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan dan

dapat menyebabkan kesakitan yang hebat pada penderitanya.

2.Pengobatan penyakit konstipasi, salah satunya secara farmakologi yaitu laksatif. Lasatif

dibagi menjadi 2 yaitu, laksatif stimulant dan osmotik

3.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas penulis menyarankan:

a. Makalah ini dapat dijadikan proses pembelajaran yang khususnya menambah pengetahuan

mengenai konstipasi.

b. Diperlukan pengkajian yang khusus mengenai mekanisme terjadinya konstipasi.

16
DAFTAR PUSTAKA

Blenkinsopp, A., Paxton, P., Blekinsopp, J. 2005. Symptoms in the Pharmacy : A Guide

to the Management of Common Illness 5th. USA : Blackwell Publishing.

Burns, M.A., B. G. Wells, T. L. Schwinghammer, P. M. Malone, J. M. Kolesar, J. C.

Rotschafer, and J. T. DiPiro. 2008. Pharmacotherapy Principles & practice. New York: The

McGraw-Hill Companies.

Dipiro, Joseph .T., Robert L. Talbert., Gary C. Yee., Gary R. Matzke., Barbara G. Wells

and L. Michael Posey. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Seventh Edition.

The McGraw-Hill Companies, Inc.

Endrayani, B. dan Syarif, B.H. 2004. Konstipasi Fungsional. Sari Pedriati, Vol. 6 (2) :75-

80.

McQuaid, K.R, 2006, E-book: Current Medical Diagnosis & Treatment: Allimentary

Tract. 45th Edition. USA:McGraw-Hill.

Vander, A.J., Sherman, J.H., dan Luciano, D.S. 2001. Human Physiology:

The Mechanism of Body Function. USA: The McGraw−Hill Companies. P.553-584.

17

Anda mungkin juga menyukai