Anda di halaman 1dari 12

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

Pada Pasien Dengan Impaksi

Kelompok 4 :
Annisah Rabihan ( 2720170052 )
Fina Fiona
Muhammad Ali Ridho

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH
JAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Impaksi fekal merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usialanjut; terjadi
peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30- 40 % orang diatas usia 65 tahun mengeluh
impaksi fekal. Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas usia 60 tahun merupakan
konsumen yang teraturmenggunakan obat pencahar .
Di Australia sekitar 20% populasi di atas 65tahun mengeluh menderita impaksi fekal
dan lebih banyak pada wanitadibanding pria. Menurut National Health Interview Survey pada
tahun 1991,sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita impaksi fekalterutama
anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas.Beberapa faktor yang mempermudah
terjadinya impaksi fekal padalansia seperti kurangnya gerakan fisik, makanan yang kurang
sekalimengandung serat, kurang minum, akibat pemberian obat-obat tertentu danlain-lain.
Akibatnya, pengosongan isi usus menjadi sulit terjadi atau isi ususmenjadi tertahan.
Pada impaksi fekal, kotoran di dalam usus menjadi kerasdan kering, dan pada keadaan
yang berat dapat terjadi akibat yang lebih berat berupa penyumbatan pada usus disertai rasa
sakit pada daerah perut.Anamnesis merupakan hal yang terpenting untuk
mengungkapkanetiologi dan factor-faktor risiko penyebab impaksi fekal, sedangkan
pemeriksaan fisik pada umumnya tidak mendapatkan kelainan yang jelas.Pemeriksaan colok
dubur dapat memberikan banyak informasi yang berguna.Pemeriksaan-pemeriksaan lain yang
intensif dikerjakan secara selektif setelah3 sampai 6 bulan pengobatan impaksi fekal kurang
berhasil dan dilakukanhanya pada pusat-pusat pengelolaan impaksi fekal tertentu.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Impaksi merupakan massa feses yang keras di lipatan rektum yang diakibatkan oleh
retensi dan mengumpulkan material feses yang berkepanjangan. Biasanya disebabkan oleh
konstipasi, asupan cairan yang kurang, kurang aktivitas, diet rendah serat dan kelemahan
tonus otot (Hidayat, 2006).
Impaksi adalah kumpulan feses yang mengeras, mengendap di dalam rektum yang
tidak dapat di keluarkan oleh konstipasi yang tidak diatasi.

B. Epidemiologi
Sekitar 80% manusia pernah mengalami impaksi fekal dalam lolos dan impaksi fekal
yang berlangsung singkat adalah normal (ASCRS, 2002).
Menurut Survei Wawancara Kesehatan Nasional pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk
Amerika Serikat mempengaruhi anak-anak, wanita dan orang dewasa usia 65 tahun ke atas.
Hal ini menyebabkan kunjungan ke dokter sebesar 2,5 juta kali / tahun dan menghabiskan
dana sekitar 725 juta dolar untuk obat-obatan pencahar (NIDDK, 2000).
Impaksi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Terjadi
Peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30-40% orang di atas 65 tahun mengeluhkan
impaksi fekal (Holson, 2002).
Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas usia 65 tahun merupakan konsumen yang
menggunakan obat pencahar (Cheskin, dkk 1990).
Di Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun setuju mendrita impaksi fekal dan
lebih banyak pada wanita daripada pria (Robert-Thomson, 1989). Sekitar 3.000 orang usia
lanjut berusia di atas 65 tahun menunjukkan sekitar 34% wanita dan 26% pria melibatkan
pengaruh fekal (Harari, 1989).

C. Etiologi
Banyak lansia memperbaiki impaksi sebagai akibat dari penumpukan kesulitan saraf,
tidak menyelesaikan pengosongan usus, atau gagal dalam sinyal untuk defekasi. Impaksi
fekal merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas,
penurunan kekuatan dan tonus otot. Klien yang mengalami kelemahan, kebingungan, atau
tidak sadar adalah klien yang paling berisiko kesulitan impaksi.
Faktor-faktor risiko pada periode lanjut:
1. Obat-obatan: golongan antikolinergik, golongan narkotik, golongan analgetik,
golongan diuretik, NSAID, kalsium antagonis, preparat kalsium, preparat besi,
antasida aluminium, dapat digunakan untuk pencahar.
2. Kondisi neurologik: stroke, penyakit parkinson, trauma medula spinalis, neuropati
diabetik.
3. Gangguan metabolik: hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroidisme.
4. Kausa psikologik: psikosis, depresi, demensia, kurang privasi untuk BAB,
mengabaikan dorongan BAB, impaksi fekal imajiner.
5. Penyakit-penyakit saluran cerna: kanker kolon, divertikel, ileus, hernia, volvulus,
sindrom iritasi usus, rektokel, wasir, fistula / fisura ani, inersia kolon.
6. Lain-lain: defisiensi diet dalam asupan cairan dan serat, imobilitas / kurang
olahraga, bepergian jauh, paska tindakan bedah parut.

D. Patofisiologi
Defekasi merupakan suatu proses fisiologi yang diajukan atas kerja otot-otot polos
dan serat lintang, persarafan, sentral dan perifer, koordinasi sisitem reflek, kesadran yang
baik dan kemampuan fisik untuk mencari tempat BAB. Defekasi dimulai dari gerakan
peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk
dan meregangkan ampula rektum yang datang relaksasi sfingter anus interna. Untuk
menghindari fakta-fakta yang spontan, terjadi refleks kontraksi refleks anus eksterna dan
kontraksi otot dasar pelvis yang dipindahkan oleh syaraf pudendus.Untuk menerima BAB
dan sfingter eksterna diperintahkan untuk relaksasi, dan rektum mengeluarkan isinya dengan
bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontaksi ini akan meningkatkan tekanan dalam perut,
relaksasi dan otot lift ani.baik persyarafan simpatis dan para simpatis terlibat dalam proses
ini. Patogenesis impaksi fekal beragam macam-macam, penyebabnya multipel, mencakup
beberapa faktor yang tumpah tindih, motilitas kolon tidak sesuai dengan bertambahnya usia.
Proses menua yang normal tidak dilakukan perlambatan perjalanan saluran cerna.
Pengurangan respons motorik akibat berkurangnya inervasi instinsik akibat degenerasi
pleksus myenterikus, sedangkan penguatan rangsang saraf pada otot polos sirkuler
menyebabkan memanjangnya waktu pergerakan usus. Pada lansia memiliki kadar beta-
endorfin plasma yang meningkat, meningkat pada ikatan reseptor opiat endogen di usus. Ini
dibuktikan dengan efek implikasi fekalf sediaan opiat karena dapat menyebabkan relaksasi
tonus otot kolon, motilitas berkurang dan menghambat refleks gaster-kolon. Berkurangnya
tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos terkait dengan usia pada wanita. Pada penderita
impaksi fekal memiliki kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras,
menyebabkan upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini berakibat pada saraf
pudendus dengan kelemahan lebih lanjut.

E. Manifestasi Klinis
Beberapa keluhan yang mungkin berkaitan dengan impaksi fekal adalah:
(ASCRS, 2012)
1. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
2. Mengejan keras saat BAB
3. Massa feses yang keras dan sulit keluar
4. Perasaan tidak tuntas saat BAB
5. Sakit pada daerah rectum saat BAB
6. Rasa sakit pada daerah perut saat BAB
7. Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam
8. Menggunakan bantuan jari-jari intuk menerbitkan feses
9. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB

F. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana non farmakologik
a. Status Cairan
Keadaan hidrasi yang buruk dapat menyebabkan impaksi fekal.
Bagaimanapun ada kontraindikasi, orang lanjut usia perlu kembali untuk
minum sekurang-kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari)
untuk mencegah dehidrasi. Cairan yang dapat diperoleh bila tersedia
cairan / minuman yang dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula cairan
yang dibutuhkan dari sup, sirup, dan es. Asupan cairan perlu lebih banyak
bagi mereka yang membutuhkan diuretik tetapi stabil dalam kondisi
jantungnya.
b. Serat
Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna selama waktu
transit (waktu transit). Pada orang lanjut usia, diterima agar mengonsumsi
serat skitar 6-10 gram per hari. Ada juga yang mengonsumsi lebih dari 15-
20 per hari. Serat diterima dari biji-bijian, sereal, beras merah, buah,
sayur, kacang-kacangan. Serat akan memudahkan pergerakan dengan
meningkatkan masa tinja dan mengurangi waktu transit usus. Serat juga
menyediakan substrat untuk bakteri kolon, dengan produksi gas dan asam
lemak rantai pendek yang meningkatkan gumpalan tinja. Diperlukan serat
yang cukup, dan dikontraindikasikan pada pasien dengan impaksi tinja
(skibala) atau dilatasi kolon. Peningkatan jumlah serat dapat
menyebabkan gejala kembung, banyak gas, dan pembuangan besar tidak
teratur pada 2-3 minggu pertama, yang dipermasalahkan karena
kekurangan obat. c. Pelatihan usus
Hal tersebut akan menyebabkan rektum semakin mengembang karena
adanya penumpukan feses. Membuat jadwal untuk angkutan udara besar
merupakan langkah awal yang lebih baik dilakukan pada pasien tersebut,
dan juga diterapkan pada pasien lanjut usia
c. Senna stimulan
Pencahar merupakan obat yang digunakan oleh orang tua. Senna
meningkatkan peristaltik di distal dan menstimulasi peristaltik diterima
dengan evakuasi feses yang lunak. Pemberian 20 mg senna per hari
selama 6 bulan oleh pasien lebih dari 80 tahun tidak menyebabkan
kehilangan protein atau elektrolit. Senna diterbitkan untuk menghasilkan
evakuasi tinja 8-12 jam setelah diberikan. Orang usia lanjut biasanya
menghabiskan 10 minggu sebelum mencapai kebiasaan defekasi yang
teratur. Pemberian sebelum malam mengurangi risiko inkontininsia fekal
malam hari dan dosis juga harus ditritasi berdasarkan respon individu.
Terapi dengan Bisakodil supositoria memiliki daya serap yang
minimal dan sangat menolong untuk mengatasi diskezia pada usia lanjut.
Sebaiknya diberikan segera setelah makan pagi supositoria untuk
mendapatka efek refleks gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat
menyebabkan komplikasi pada rectum, sehingga dapat digunakan secara
rutin, hanya sekitar 3 kali seminggu.
d. Pencahar hiperosmolar
Pencahar hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan sorbitol.
Di dalam kolon menjadi di kolon menjadi bentuklaktat, aetat, dan asam
dengan melepaskan karbondioksida. Asam organik dengan berat molekul
rendah ini meningkatkan osmotik cairan intraluminal dan menurunkan pH
feses. Laktulosa sebagai pencahar hiperosmolar terbukti memperpendek
waktu transit pada terbukti kecil penghni panti rawat jompo yang
menambah impaksi fekal.
Laktulosa dan sorbitol juga sama-sama menunjukkan efektifitasnya
dalam memulihkan impaksi pada orang tua lanjut yang berobat jalan.
Sorbitolakukan diberikan 20-30 selama empat kali sehari. Glikol
polietelin merupakan pencahar hiperosmolar yang berpotensi mengalirkan
cairan ke lumen dan merupakan zat pembersih usus yang efektif. Gliserin
adalah pencahar hiperomolar yang dugunakan hanya dalam bentuk
supositoria.
e. Enema
Enema menggantikan evakuasi sebagai respons terhadap distensi
kolon; hasil yang kurang baik karena disediakan yang tidak memadai.
Enema harus digunakan hati-hati pada usia lanjut. Pasien usia lanjut yang
mengeluarkan tirah baring mungkin perlu enema untuk mencegah skibala.
Namun, pemberian enema tertentu juga dapat dilakukan efek samping.
Enema yang berasal dari kran (air keran) merupakan tipe paling aman
untuk penggunaan rutin, karena tidak menghasilkan iritasi mukosa kolon.
Enema yang diterima dari air sabun tidak perlu diberikan pada orang tua.
ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORI
A. Pengkajian
Pengkajian pasien dilakukan untuk mendapatkan data subjektif dan data objektif
melalui interview dan pemeriksaan fisik terutama yang berkaitan dengan saluran cerna,
pemeriksaan laboratorium dan radiology.

B. DATA SUBJEKTIF
Pengumpulan data berkaitan dengan riwayat eliminasi feses akan membantu perawat
memastikan pola BAB pasien yang normal.
Sebagian besar pengkajian riwayat keperawatan terdiri dari :
1. Pola defekasi
Frekuensi dan waktu klien mengalami defekasi, apakah pola BABberubah baru-
baru ini, apakah pola BAB pernah berubah. Jika iya, apakah klien mengetahui faktor-
faktor penyebabnya.
2. Pola tingkah laku
Penggunaan laksatif, dan bahan-bahan yang sama yang mempertahankan pola
BAB yang normal. Apa rutinitas yang dilakukan klien untuk mempertahankan pola
defekasi yang biasa (contoh: segelas jus lemon panas ketika sarapan pagi atau jalan
pagi sebelum sarapan).
3. Deskripsi feses
Bagaimana klien mendeskripsikan fesesnya, termasuk warna, tekstur (keras,
lembut, berair), bentuk, bau.
4. Diet
Makanan apa yang dipercayai oleh klien yang dapat mempengaruhi proses
defekasi, jenis makanan, porsi, makanan yang selalu dia dihindari, apakah makanan
tersebut dimakan secara teratur.
5. Cairan
Berapa jumlah dan jenis asupan cairan setiap hari (contoh: 6 gelas air, 5 cangkir
kopi).
6. Latihan
Pola latihan seperti apa yang dilakukan klien setiap hari, frekuensi dan lamanya.
7. Obat-obatan
Apakah klien mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi saluran
intestinal (contoh: zat besi, antibiotika, antidiare, analgesik, dan antasida)
8. Stres
Apakah klien mengalami stres dalam jangka waktu yang lama atau singkat.
Tetapkan stres seperti apa yang dialami klien dan bagaimana dia menerimanya.
9. Pembedahan
Apakah klien mengalami pembedahan atau penyakit yang berpengaruh terhadap
saluran cerna. Keberadaan ostomi harus diperhatikan.

C. DATA OBJEKTIF
Data objektif didapat melalui pemeriksaan fisik khususnya yang berkaitan dengan
proses pembuangan yaitu intestin pada bagian perut hingga anus, pengkajian dilakukan
dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

D. INTESTINAL
Pengkajian pada abdomen dengan rujukan khusus pada saluran intestinal; Klien
dianjurkan dalam posisi supine dan diselimuti sehingga hanya bagian abdomen yang
terlihat. Perawat harus mengidentifikasi batasan-batasan yang digunakan sebagai nilai-
nilai rujukan untuk mendeskripsikan hasil yang dijumpai.
1. Inspeksi
Perawat mengobservasi bentuk dan kesimetrisan. Normalnya perut berbentuk
datar/rata tanpa adanya tonjolan. Tonjolan seperti massa akan kelihatan suatu bengkak,
mengobservasi dinding abdomen untuk gelombang yang dapat dilihat yang
mengidentifikasikan kerja peristaltik usus. Kecuali pada orang-orang tertentu terkadang
tidak dapat diobservasi secara normal. Peristaltik yang dapat diobservasi menunjukkan
adanya suatu obstruksi intestinal.
2. Palpasi
Baik palpasi ringan atau dalam keduanya digunakan, biasanya untuk mendeteksi
dan mengetahui adanya daerah lunak dan massa. Keempat kuadran pada abdomen
dipalpasi mulai dari quadran kanan atas, kiri atas, kiri bawah, kanan bawah dan daerah
umbilikal, otot-otot abdomen harus rileks untuk memperoleh hasil palpasi yang
diharapkan. Perawat seharusnya melakukan palpasi ringan kemudian dalam. Daerah yang
sensitif (daerah yang menjadi keluhan pasien) seharusnya dipalpasi terakhir karena
kontraksi otot-otot (pelindung abdomen) yang sering terjadi ketika daerah yang nyeri
tersentuh.
Suatu kelainan abdomen seharusnya dapat diukur pada daerah umbilikal dengan
menempatkan suatu tip pengukur sekeliling tubuh. Pengukuran berulang akan
menunjukkan apakah tekanan meningkat atau menurun. Secara normal perut akan terasa
lembut, tidak ada nyeri pada palpasi ringan dan dalam, data tidak dijumpai adanya massa
yang keras.
3. Perkusi
Daerah abdomen diketuk untuk mendeteksi cairan pada rongga abdomen, tekanan
intestinal berhubungan dengan flatus dan pembentukan massa seperti pembesaran
kantung empedu dan lever. Daerah seluruh abdomen diperkusi, dimulai pada daerah
kuadran kanan atas menurut arah jarum jam. Flatus menghasilkan resonansi (tympani),
sementara cairan dan massa menghasilkan bunyi ”dull” (tumpul). Ketika ada cairan di
abdominal, ketukan menghasilkan suara tumpul diantara cairan. Ketika klien berada pada
satu sisi, cairan ascites mengalir ke sisi tersebut. Ketukan memperlihatkan sebuah garis
damartasi di antara dulnes dan tympani; garis ini menandai adanya tingkat cairan; sebuah
garis ditarik di atas abdomen sehingga perawat dapat mengukur apakah jumlahnya
meningkat atau menurum, ketika dilakukan ketukan selanjutnya.
4. Auskultasi
Suara usus dikaji dengan stetoskop. Suara usus mencerminkan peristaltik usus
kecil, dideskripsikan menurut intensitas, keteraturan, dan frekuensi atau tingkat
aktivitasnya. Intensitas menunjukkan kekuatan dari suara atau rata-rata dari peristaltik.
Kuat lemahnya (dentum) dari dinding intestinal sebagai hasil dari gelombang peristaltik,
pada peningkatan tekanan intestinal akan ada kemungkinan peningkatan dentuman.
Tingkat aktivitas atau frekuensi dari suara usus juga dikaji. Peningkatan atau penurunan
peristaltik dapat terjadi karena beberapa alasan: proses pembedahan; ketidakseimbangan
elektrolit, seperti ketidaknormalan dari rendahnya tingkat potasium serum dan peritonitis.
Intensitas dan frekuensi yang abnormal pada suara usus (borborygmi) terjadi pada
enteritis dan pada obstruksi usus kecil. Pada pemeriksaan anorektal klien biasanya
dianjurkan dalam posisi sims/miring ke kiri atau genupectoral. Klien wanita juga
disarankan dalam posisi litotomi.
E. REKTUM DAN ANUS
1. Inspeksi
Daerah perianal dikaji warnanya, tanda-tanda peradangan, scar, lesi, fisura,
fistula atau hemorhoid. Juga ukuran, lokasi dan kepadatan dari lesi dicatat. Secara
normal tidak ditemukan adanya peradangan ataupun fistula.
2. Palpasi
Selama pemeriksaan rektal sangat penting bahwa palpasi harus lembut
sehingga tidak merangsang refleks dari nervus vagus, yang dapat menekan denyut
jantung.
3. Feses
Wadah khusus harus disediakan untuk sampel feses. Sangat penting bagi
perawat mengetahui mengapa spesimen diambil dan wadah yang digunakan tepat.
Kadang-kadang wadah memakai zat pengawet khusus untuk menunjukkan hasil tes.
Petunjuk khusus harus ditulis dan dilampirkan ketika penyediaan spesimen. Klien
dapat menyediakan spesimennya setelah diberi informasi yang adekuat. Feses tidak
boleh bercampur dengan urin atau air, karenanya klien diminta BAB di bedpan.
Sebuah tongue spatel kayu atau plastik digunakan untuk memindahkan spesimen, dan
sekitar 2,5cm ditempatkan di dalam wadah. Jika kotoran berbentuk cair, dikumpulkan
15-30ml. Wadah kemudian ditutup dengan aman dan tepat, dilengkapi label. Pada
kenyataannya bahwa spesimen yang telah diperoleh harus dimasukkan sebagai rahasia
klien. Untuk tes tertentu diperlukan feses segar. Jika harus seperti itu spesimen dibawa
segera ke lab. Spesimen kotoran jangan ditinggalkan pada suhu ruangan dalam waktu
yang lama karena bakteri dapat mengubahnya. Wadah spesimen biasanya memiliki
petunjuk penyimpanan, hal ini harus diikuti jika spesimen tidak dapat dikirim segera
ke lab. Pada beberapa instansi digunakan pendingin. Untuk mengamankan spesimen
dari bayi atau anak-anak yang tidak terlatih di toilet, spesimen diambil dari feses yang
baru. Ketika feses dikultur untuk memperoleh mikroorganisme, feses dipindahkan ke
wadah dengan aplikator steril.
Feses normal berwarna coklat, hal ini berhubungan dengan adanya bilirubin
dan turunannya yaitu stercobilin dan urotilin; kegiatan dari bakteri normal yang
terdapat pada intestinal. Bilirubin merupakan pigmen berwarna kuning pada empedu.
Feses dapat berwarna lain, khususnya ketika ada hal-hal yang abnormal. Misalnya;
feses hitam seperti tir, ini menunjukkan adanya perdarahan dari lambung atau usus
halus; warna tanah liat (acholic) menunjukkan adanya penurunan fungsi empedu;
hijau atau orange menunjukkan adanya infeksi pada intestinal. Makanan juga dapat
mempengaruhi warna feses, misalnya: gula bit merubah feses menjadi warna merah,
kadang-kadang hijau. Obat-obatan juga dapat merubah warna feses, misalnya zat besi,
dapat membuat feses berwarna hitam.
Konsistensi : Secara normal feses berbentuk tetapi lembut dan mengandung air
sebanyak 75% jika seseorang mendapat intake cairan yang cukup, sedangkan 25%
lagi adalah bagian padat.
Feses normal bergerak lebih cepat dari normal melalui intestinal, sehingga
hanya sedikit air dan ion yang direabsorpsi ke dalam tubuh. Feses yang keras
mengandung lebih sedikit air daripada normal dan pada beberapa kasus mungkin sulit
atau nyeri sekali saat dikeluarkan. Beberapa orang, bayi dan anak-anak khususnya
mungkin mengeluarkan feses yang berisi makanan yang tidak dicerna.
Bentuk : Feses normal berbentuk rektum.
Bau: Bau feses merupakan hasil kerja bakteri pada intestinal dan bervariasi
pada setiap orang. Bau feses yang sangat menyengat (tajam) dapat menunjukkan
adanya gangguan saluran cerna.
4. Darah
Darah yang terdapat pada feses adalah abnormal. Darah dapat berwarna terang
atau merah terang, hal ini berarti darah mewarnai feses pada proses eliminasi akhir.
Feses berwarna hitam dan tir berarti darah memasuki chyme pada lambung atau usus
halus. Beberapa obat-obatan dan makanan juga dapat membuat feses berwarna merah
atau hitam. Oleh karena itu adanya darah harus dikonfirmasi melalui sebuah test.
Perdarahan pada feses kadang tidak terlihat, ini dikenal occult bleeding(perdarahan
tersembunyi).
Test untuk mengetahui adanya darah pada feses secara rutin dilakukan di
klinik. Hemotest menggunakan tablet sebagai reagen; sementara guaiac dan
hemoccult test menggunakan reagen berbentuk solusion (larutan), setiap test
memerlukan spesimen feses. Guaiac test secara umum lebih sering digunakan. Feses
yang sedikit diletakkan pada kertas saring atau kertas usap. Reagen selanjutnya
diletakkan dan warna dicatat; warna biru menunjukkan adanya darah.
5. Bahan-bahan abnormal
Kadang-kadang feses mengandung bahan-bahan asing yang dicerna secara
kebetulan, pencernaan benda-benda asing secara kebetulan banyak ditemukan pada
anak-anak. Bahan-bahan abnormal lain termasuk pus, mukus, parasit, lemak dalam
jumlah banyak dan bakteri patogen. Test untuk mengetahui keberadaan bahan-bahan
asing biasanya ditunjukkan di lab.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Test laboratorium
Feces ditampung dalam kontainer untuk diperiksa di laboratorium untuk
mengetahui adanya atau tidaknya kelainan dalam feses berupa kadar darah, bakteri
dll.
2. Pandangan langsung
Yaitu tehnik pandangan secara langsung ; anoscopy, pandangan dari saluran anus;
proctoscopy, pandangan pada rektum; proctosigmoidoscopy, pandangan pada rektum
dan kolon sigmoid; umumnya saat ini dilakukan tindakan colonoscopy.
3. Roentgenography
Roentgenoraphy dilakukan untuk mengetahui kondisi saluran cerna dari
sumbatan ataupun deformitas dengan memasukkan zat kontras seperti bubur barium
dilarutkan dalam 1 liter air untuk diminum, atau dengan memasukkan larutan
omnipaque kedalam kolon menggunakan rektal tube melalui anus.

G. Diagnosa Keperawatan
1. Impaksi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu
makan
3. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen

H. Intervensi Keperawatan
1. Impaksi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
Tujuan : pasien dapat defekasi dengan teratur (setiap hari)
Kriteria hasil :
 Defekasi dapat dilakukan satu kali sehari
 Konsistensi feses lembut
 Eliminasi feses tanpa perlu mengejan berlebihan

Intervensi
Mandiri
 Tentukan pola defekasi bagi klien dan latih klien untuk menjalankannya
 Atur waktu yang tepat untuk defekasi klien seperti sesudah makan
 Berikan cakupan nutrisi berserat sesuai dengan indikasi
 Berikan cairan jika tidak kontraindikasi 2-3 liter per hari
Kolaborasi
 Pemberian laksatif atau enema sesuai indikasi

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu


makan
Tujuan : menunjukkan status gizi baik
Kriteria Hasil :
 Toleransi terhadap diet yang dibutuhkan
 Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
 Nilai laboratorium dalam batas normal
 Melaporkan keadekuatan tingkat energy
Intervensi
 Mandiri
 Buat perencanaan makan dengan pasien untuk dimasukkan ke dalam
jadwal makan.
 Dukung anggota keluarga untuk membawa makanan kesukaan pasien dari
rumah.
 Tawarkan makanan porsi besar disiang hari ketika nafsu makan tinggi
 Pastikan diet memenuhi kebutuhan tubuh sesuai indikasi.
 Pastikan pola diet yang pasien yang disukai atau tidak disukai.
 Pantau masukan dan pengeluaran dan berat badan secara periodik.
 Kaji turgor kulit pasien
Kolaborasi
 Pantau nilai laboratorium, seperti Hb, albumin, dan kadar glukosa darah
 Ajarkan metode untuk perencanaan makan

3. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen


Tujuan : menunjukkan nyeri telah berkurang
Kriteria Hasil :
 Menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk
mencapai kenyamanan
 Mempertahankan tingkat nyeri pada skala kecil
 Melaporkan kesehatan fisik dan psikologisi
 Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk mencegah
nyeri
 Menggunakan tindakan mengurangi nyeri dengan analgesik dan non-
analgesik secara tepat.
Intervensi
Mandiri
 Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas dari nyeri dengan melakukan
penggalihan melalui televisi atau radio
 Perhatikan bahwa lansia mengalami peningkatan sensitifitas terhadap efek
analgesik opiate
 Perhatikan kemungkinan interaksi obat – obat dan obat penyakit pada lansia

Anda mungkin juga menyukai