Anda di halaman 1dari 17

Konsep Dasar Penyakit

A. Definisi
Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang tidak normal pada seseorang,
disertai dengan kesulitan keluarkan feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang
keras dan kering (Wilkinson, 2006).
Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut
konsistensi tinja dan frekuensi berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1 sampai
4 minggu, sedangkan dikatakan kronik jika lamanya lebih dari 1 bulan (Mansjoer, 2000).
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah penurunan
frekunsi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering.
Adanya upaya mengedan saat defekasi adalah suatu tanda yang terkait dengan konstipasi.
Apabila motilitas usus halus melambat, masa feses lebih lama terpapar pada dinding usus
dan sebagian besar kandungan air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan
untuk melunakkan dan melumasi feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat
menimbulkan nyeri pada rektum. (Potter & Perry, 2005).  
Para tenaga medis mendefinisikan konstipasi sebagai penurunan frekuensi buang
air besar, kesulitan dalam mengeluarkan feses, atau perasaan tidak tuntas ketika buang air
besar. Studi epidemiologik menunjukkan kenaikan pesat konstipasi berkaitan dengan usia
terutama berdasarkan keluhan penderita dan bukan karena konstipasi klinik. Banyak
orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar setiap hari. Sering ada
perbedaan pandangan antara dokter dan penderita tentang arti konstipasi (Cheskin dkk,
1990).
 
B. Epidemiologi
Menurut National Health Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta
penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi terutama anak-anak, wanita dan orang
usia 65 tahun ke atas. Hal ini menyebabkan kunjungan ke dokter sebanyak 2.5 juta
kali/tahun dan menghabiskan dana sekitar 725 juta dolar untuk obat-obatan pencahar
(NIDDK, 2000).
 
C. Etiologi
Konstipasi sebagai akibat dari penumpukan sensasi saraf, tidak sempurnanya
pengosongan usus, atau kegagalan dalam menanggapi sinyal untuk defekasi. Konstipasi
merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas,
penurunan kekuatan dan tonus otot.
Faktor-faktor risiko konstipasi pada usia lanjut:
1. Obat-obatan: golongan antikolinergik, golongan narkotik, golongan analgetik,
golongan diuretik, NSAID, kalsium antagonis, preparat kalsium, preparat besi,
antasida aluminium, penyalahgunaan pencahar.
2. Kondisi neurologik: stroke, penyakit parkinson, trauma medula spinalis, neuropati
diabetic.
3. Gangguan metabolik: hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroidisme.
4. Kausa psikologik: psikosis, depresi, demensia, kurang privasi untuk BAB,
mengabaikan dorongan BAB, konstipasi imajiner.
5. Penyakit-penyakit saluran cerna: kanker kolon, divertikel, ileus, hernia, volvulus,
iritable bowel syndrome, rektokel, wasir, fistula/fisura ani, inersia kolon.
6. Lain-lain: defisiensi diet dalam asupan cairan dan serat, imobilitas/kurang olahraga,
bepergian jauh, paska tindakan bedah parut
 
D. Patofisiologi
Defekasi merupakan suatu proses fisiologi yang menyertakan kerja otot-otot polos
dan serat lintang, persarafan, sentral dan perifer, koordinasi sisitem reflek, kesadran yang
baik dan kemampuan fisik untuk mencari tempat BAB.
Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik  usus besar yang menghantarkan feses ke
rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula rektum yang diikuti
relaksasi sfingter anus interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses yang spontan,
terjadi refleks kontraksi refleks anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang
dilayani oleh syaraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan
sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, dan rektum mengeluarkan isinya
dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan
dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani.baik persyarafan simpatis dan para
simpatis terlibat dalam proses ini.
Patogenesis konstipasi bervariasi macam-macam, penyebabnya multipel, mencakup
beberapa faktor yang tumpah tindih, motilitas kolon tidak terpengaruh dengan
bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan
perjalanan saluran cerna. Pengurangan respon motorik sigmoid disebabkan karena
berkurangnya inervasi instinsik akibat degenerasi pleksus myenterikus, sedangkan
pengurangan rangsang saraf pada otot polos sirkuler menyebabkan memanjangnya
waktu gerakan usus. Pada lansia mempunyai kadar plasma beta- endorfin yang
meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiat endogen di usus. Ini
dibuktikan dengan efek konstipasif sediaan opiat karena dapat menyebabkan relaksasi
tonus otot kolon, motilitas berkurang dan menghambat refleks gaster-kolon. Terdapat
kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos berkaitan
dengan usia khususnya pada wanita. Pada penderita konstipasi mempunyai kesulitan
lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras, menyebabkan upaya
mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini berakibat penekanan pada saraf pudendus
dengan kelemahan lebih lanjut.

E. Manifestasi Klinis
Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah: Kesulitan
memulai dan menyelesaikan BAB
1. Mengejan keras saat BAB
2. Massa feses yang keras dan sulit keluar
3. Perasaan tidak tuntas saat BAB
4. Sakit pada daerah rectum saat BAB
5. Rasa sakit pada daerah perut saat BAB
6. Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam
7. Menggunakan bantuan jari-jari intuk mengeluarkan feses
8. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yaitu laboratorium jarang diperlukan kecuali jika
dicurigai penyakit lain yang mendasari. Pemeriksaan darah yaitu kadar hormone tiroid
atau adrenal, elektrolit dan kalsium, antigliadin, antitissue transglutaminase (TTG), dan
antibodi endomisial. Pemeriksaan kultur urin juga dapat dilakukan. Pemeriksaan radiologi
berupa foto polos abdomen dapat berguna untuk menentukan ada atau tidaknya retensi
feses, sampai sejauh mana, serta menilai abnormalitas tulang belakang spinalis.

G. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana non farmakologik
a. Cairan
Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi. Kecuali ada
kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk minum sekurang
kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari) untuk mencegah dehidrasi.
Asupan cairan dapat dicapai bila tersedia cairan/minuman yang dibutuhkan di
dekat pasien, demikian pula cairan yang berasal dari sup,sirup, dan es. Asupan
cairan perlu lebih banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi
jantungnya stabil.
b. Serat
Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan waktu
transit (transit time). Pada orang lanjut usia disarankan agar mengkonsumsi serat
skitar 6-10 gram per hari. Ada juga yang menyarankan agar mengkonsumsi serat
sebanyak 15-20 per hari. Serat berasal dari biji-bijian, sereal, beras merah, buah,
sayur, kacang-kacangan. Serat akan memfasilitasi gerakan usus dengan
meningkatkan masa tinja dan mengurangi waktu transit usus. Serat juga
menyediakan substrat untuk bakteri kolon, dengan produksi gas dan asam lemak
rantai pendek yang meningkatkan gumpalan tinja. Perlu diingat serat tidaklah
efektif tanpa cairan yang cukup, dan dikontraindikasikan pada pasien dengan
impaksi tinja (skibala) atau dilatasi kolon. Peningkatan jumlah serat dapat
menyebabkan gejala kembung, banyak gas, dan buang besar tidak teratur terutama
pada 2-3 minggu pertama, yang seringkali menimbulkan ketidakpatuhan obat.
c. Bowel training
Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa untuk buang
air besar. Hal tersebut akan menyebabkan rektum  lebih mengembang karena
adanya penumpukan feses. Membuat jadwal untuk buang air besar merupakan
langkah awal yang lebih baik untuk dilakukan pada pasien tersebut, dan baik juga
diterapkan pada pasien usia lanjut yang mengalami gangguan kognitif. Pada
pasien yang sudah memiliki kebiasaan buang air besar pada waktu yang teratur,
dianjurkan meneruskan kebiasaan teresebut. Sedangkan pada pasien yang tidak
memiliki jadwal teratur untuk buang air besar, waktu yang baik untuk buang air
besar adalah setelah sarapan dan makan malam.
d. Latihan jasmani
Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang sederhana tetapi
bermanfat bagi orang usia lanjut yang masih mampu berjalan. Jalan kaki satu
setengah jam setelah makan cukup membantu. Bagi mereka yang tidak mampu
bangun dari tampat tidur, dapat didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan
disekitar tempat tidur. Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat
bergerak, meninggalkan tempat tidurnya menuju ke kursi beberapa kali dengan
interval 15 menit, adalah salah satu cara untuk mencegah ulkus dekubitus. Tentu
saja pasien yang mengalami tirah baring dapat dibantu dengan menyediakan toilet
atau komod dengan tempat tidur, jangan diberi bed pan. Mengurut perut dengan
hati-hati mungkin dapat pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus.
e. Evaluasi penggunaan obat
Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu dilakukan untuk
mengeliminasi, mengurangi dosis, atau mengganti obat yang diperkirakan
menimbulkan konstipasi. Obat antidepresan, obat Parkinson merupakan obat yang
potensial menimbulkan konstipasi. Obat yang mengandung zat besi juga
cenderung menimbulkan konstipasi, demikian obat anti hipertensi (antagonis
kalsium). Antikolinergik lain dan juga narkotik merupakan obat-obatan yang
sering pula menyebabkan konstipasi.
2. Tatalaksana farmakologik
a. Pencahar pembentuk tinja (pencahar bulk/bulk laxative)
Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di pasaran. Sediaan
yang ada merupakan bentuk serat alamiah non-wheat seperti pysilium dan
isophagula husk, dan senyawa sintetik seperti metilselulosa. Bulking agent sistetik
dan serat natural sama-sama efektif dalam meningkatkan frekuensi dan volume
tinja. Obat ini tidak menyebabkan malabsorbsi zat besi atau kalsium pada orang
usia lanjut, tidak seperti bran yang tidak diproses. Pencahar bulk terbukti
menurunkan konstipasi pada orang usia lanjut dan nyeri defekai pada hemoroid.
Sama halnya dengan serat, obat ini juga harus diimbangi dengan asupan cairan.
b. Pelembut tinja
Docusate seringkali direkomendasikan dan digunakan oleh orang lanjut usia
sebagai pencahar dan sebagai pelembut tinja. Docusate sodium bertindak
sebagaisurfaktan, menurunkan tegangan permukaan feses untuk membiarakan air
masuk dam memperlunak feses. Docusate sebenarnya tidak dapat menolong
konstipasi yang kronik, penggunaannya sebaiknya dibatasi pada situasi dimana
mangedan harus dicegah.
c. Pencahar stimulant
Senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia lanjut. Senna
meningkatkan peristaltik di kolon distal dan menstimulasi peristaltik diikuti
dengan evakuasi feses yang lunak. Pemberian 20 mg senna per hari selama 6
bulan oleh pasien berusia lebih dari 80 tahun tidak menyebabkan kehilangan
protein atau elektrolit. Senna umumnya menginduksi evakuasi tinja 8-12 jam
setelah pemberian. Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama
yakni sampai dengan 10 minggu sebelum mencapai kebiasaan defekasi yang
teratur. Pemberian sebelum tidur malam mengurangi risiko inkontininsia fekal
malam hari dan dosis juga harus ditritasi berdasarkan respon individu. Terapi
dengan Bisakodil supositoria memiliki absorbsi sistemik minimal dan sangat
menolong untuk mengatasi diskezia rectal pada usia lanjut. Sebaiknya diberikan
segera setelah makan pagi secara supositoria untuk mendapatka efek refleks
gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat menyebabkan sensasi terbakar
pada rectum, jadi sebaiknya digunakan secara rutin, melainkan sekitar 3 kali
seminggu.
d. Pencahar hiperosmolar
Pencahar hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan sorbitol. Di dalam
kolon keduanya di metabolisme oleh bakteri kolon menjadi bentuk laktat, aetat,
dan asam dengan melepaskan karbondioksida. Asam organik dengan berat
molekul rendah ini secara osmotic meningkatkan cairan intraluminal dan
menurunkan pH feses. Laktulosa sebagai pencahar hiperosmolar terbukti
memperpendek waktu transit pada sejumlah kecil penghni panti rawat jompo yang
mengalami konstipasi. Laktulosa dan sorbitol juga sama-sama menunjukkan
efektifitasnya dalam mengobati konstipasi pada orang usia lanjut yang berobat
jalan. Sorbitol sebaiknya diberikan 20-30 selama empat kali sehari. Glikol
polietelin merupakan pencahar hiperosmolar yang potensial yang mengalirkan
cairan ke lumen dan merupakan zat pembersih usus yang efektif. Gliserin adalah
pencahar hiperomolar yang dugunakan hanya dalam bentuk supositoria.
e. Enema
Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi kolon; hasil
yang kurang baik biasanya karena pemberian yang tidak memadai. Enema harus
digunakan secara hati-hati pada usia lanjut. Pasien usia lanjut yang mengalami
tirah baring mungkin membutuhkan enema secara berkala untuk mencegah
skibala. Namun, pemberian enema tertentu terlalu sering dapat mengakibatkan
efek samping. Enema yang berasal dari kran (tap water) merupakan tipe paling
aman untuk penggunaan rutin, karena tidak menghasilkan iritasi mukosa kolon.
Enema yang berasal dari air sabun (soap-suds) sebaiknya tidak diberikan pada
orang usia lanjut.
Konsep Asuhan Keperawatan

A Pengkajian
1. Identitas
 Pasien
 Nama :
 Jenis Kelamin :
 Umur :
 Pekerjaan :
 Diagnosa masuk :
2. Riwayat keluarga
Tidak terkaji
3. Status kesehatan
a. Status Kesehatan Saat Ini
 Keluhan utama (saat MRS dan saat ini)
Keluhan utama yang dirasakan pasien.
 Alasan masuk Rumah Sakit dan perjalanan Penyakit saat ini
Keluhan pasien dari masuk rumah sakit sampai saat pengkajian.

 Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya


Upaya klien untuk mengatasi keluhannya

b. Status Kesehatan Masa Lalu


 Penyakit yang pernah dialami
Riwayat penyakit klien

 Pernah dirawat
Riwayat pernah rawat inap sebelumnya

 Riwayat alergi :
 Riwayat tranfusi :
 Kebiasaan :
 Merokok
 Minum kopi
 Penggunaan Alkohol
 Lain-lain:
 Jelaskan :
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keluarga yang diderita

5. Diagnosa Medis dan therapy

6. Pola Fungsi Kesehatan


a. Pemeliharaan dan persepsi terhadap kesehatan
Kaji bagaimana klien memelihara kesehatan selama ini, persepsi terkait dengan
sakit, arti kesehatan, pengetahuan dan penanganan kesehatan,kemampuan dalam
menyusun tujuan kesehatan.

b. Nutrisi/ metabolic
Perlu mengkaji bagaimana masukan nutrisi, nafsu makan, pola makan, diit,
perubahan BB, apakah ada gangguan menelan, mual/muntah, makanan favorit
pasien.
c. Pola eliminasi
Kaji bagaimana pola ekresi, kebiasan miksi, defekasi, Adanya gangguan
defekasi, frekuensi miksi dan defekasi, karakteristik urin dan feses
d. Pola aktivitas dan latihan
Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4
Makan/minum
Mandi
Toileting
Berpakaian
Mobilisasi di tempat tidur
Berpindah
Ambulasi ROM
0: mandiri, 1: alatbantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu orang lain dan alat, 4:
tergantung total.

e. Pola tidur dan istirahat


Kaji bagaimana pola tidur dan istirahat, kuantitas dan kualitas tidur, apakah
mengalami gangguan tidur pada pasien

f. Pola kognitif-perseptual
Kaji nyeri yang dialami klien dengan PQRST
g. Pola persepsi diri/konsep diri

h. Pola seksual dan reproduksi


Kaji dampak sakit terhadap seksualitas, riwayat penyakit hubungan seksual

i. Pola peran-hubungan
Kaji hubungan klien dengan keluarga, lingkungan, pekerjaan.

j. Pola manajemen koping stress


Kaji bagaimana kemampuan pasien untuk menangani stres dan penggunaan
sistem pendukung,penggunaan obat utk menangani stres, metode koping yg biasa
digunakan

k. Pola keyakinan-nilai
Kaji bagaimana pola keyakinan dan nilai yang dianut klien terkait dengan kondisi
sakit, apakah pasien mencari bantuan spiritual selama sakit.

7. Riwayat Kesehatan dan Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan Fisik
a Keadaan umum: Keadaan umum baik, sedang, lemah atau penurunan kesadaran
b Pemeriksaan integument:
1) Kulit: Umumnya tidak ada kelainan, atau turgor kulit kurang
2) Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis.
3) Rambut : umumnya tidak ada kelainan.
4) Pemeriksaan kepala dan leher:
Kepala: bentuk normocephalik
Wajah: Umumnya tidak ada kelainan
LeherUmumnya tidak ada kelainan
a Pemeriksaan dada: Umumnya tidak ada kelainan
b Pemeriksaan abdomen: Didapatkan penurunan peristaltik usus yang kurang,
terdapat penumpuka dan pemadatan feses.
c Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus: Umumnya tidak ada kelainan
d Pemeriksaan ekstremitas: umumnya tidak ada kelainan
B Diagnosa keperawatan

1 Analisa data

No. Tanggal Data Penyebab/Interpretasi Masalah


1 DS : Diet rendah serat, kekurangan Konstipasi
cairan, factor metabolic
DO : Mengejan
saat BAB,
absorsi cairan di usus
perasaan kurang
tuntas saat BAB,
Feses mengeras
feses teraba keras
dan sulit keluar
Gangguan fungsi utama kolon

Penurunan peristaltic kolon

Konstipasi
2 DS : Penurunan peristaltik usus Nyeri akut

DO : Sakit pada
daerah rectum Penumpukas feses di kolon

saat BAB, sakit


pada daerah perut Feses mengeras

saat BAB
Nyeri akut

2 Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan penurunan respon terhadap dorongan defekasi
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.

C. Perencanaan
No
NOC NIC
Dx
1 Setelah dilakukan tindakan  NIC
keperawatan selama 3x7 jam, pasien  Manajemen konstipasi
 Identifikasi faktor-faktor yang
dengan Konstipasi diharapkan dapat
menyebabkan konstipasi
teratasi dengan kriteria hasil :  Monitor tanda-tanda ruptur
 Pola BAB dalam batas normal bowel/peritonitis
 Feses lunak  Jelaskan penyebab dan
rasionalisasi tindakan pada
 Cairan dan serat adekuat
pasien
 Aktivitas adekuat
 Konsultasikan dengan dokter
 Hidrasi adekuat
tentang peningkatan dan
penurunan bising usus
 Kolaburasi jika ada tanda dan
gejala konstipasi yang menetap
 Jelaskan pada pasien manfaat
diet (cairan dan serat) terhadap
eliminasi
 Jelaskan pada klien konsekuensi
menggunakan laxative dalam
waktu yang lama
 Kolaburasi dengan ahli gizi diet
tinggi serat dan cairan
 Dorong peningkatan aktivitas
yang optimal
 Sediakan privacy dan keamanan
selama BAB

2 Setelah dilakukan tindakan  NIC - Nutrition Management


keperawatan selama 3x7 jam, pasien  Catat status nutrisi pasien pada
dengan ketidakseimbangan nutrisi penerimaan,catat turgor
kurang dari kebutuhan tubuh kulit.BB,Intergritas mukosa
diharapkan dapat teratasi dengan oral,kemampuan
kriteria hasil : menelan,riwayat
mual/muntah/diare
NOC - Nutritional Status (status
nutrisi) :  Pastikan pola diet biasa pasien
 Intake nutrisi meningkat  Awasi masukan dan pengeluaran
sesuai dengan diit nutrisi dan BAB secara periodik
 Intake makanan dan cairan  Selidiki adanya anoreksia
meningkat sesuai dengan diet
 Menunjukkan perubahan
prilaku/pola hidup untuk
menigkatkan/mempertahankan
BB.

3 Setelah dilakukan tindakan  Lakukan pengkajian nyeri secara


keperawatan selama 3x7 jam, pasien komprehensif termasuk lokasi,
Nyeri akut diharapkan dapat teratasi karakteristik, durasi, frekuensi,
dengan kriteria hasil : kualitas dan faktor presipitasi
 Observasi reaksi nonverbal dari
 Mampu mengontrol nyeri (tahu
ketidaknyamanan
penyebab nyeri, mampu
 Bantu pasien dan keluarga untuk
menggunakan tehnik
mencari dan menemukan
nonfarmakologi untuk mengurangi
dukungan
nyeri, mencari bantuan)
 Kontrol lingkungan yang dapat
 Melaporkan bahwa nyeri
mempengaruhi nyeri seperti
berkurang dengan menggunakan
suhu ruangan, pencahayaan dan
manajemen nyeri
kebisingan
 Mampu mengenali nyeri (skala,
 Kurangi faktor presipitasi nyeri
intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
 Menyatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang  Ajarkan tentang teknik non
farmakologi: napas dala,
 Tanda vital dalam rentang normal
relaksasi, distraksi, kompres
 Tidak mengalami gangguan tidur
hangat/ dingin
 Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri: ……...
 Tingkatkan istirahat
 Berikan informasi tentang nyeri
seperti penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan berkurang dan
antisipasi ketidaknyamanan dari
prosedur

D. Implementasi
Implementasi sesuai dengan asuhan yang diberikan
E. EVALUASI
Evaluasi dilakukan sesuai dengan tujuan intervensi.

Anda mungkin juga menyukai