PENDAHULUAN
1.2 TUJUAN
a. Tujuan Umum :
Mengetahui dan memahami konsep teori impaksi dan asuhan keperawatan
dalam menangani kasus impaksi.
b. Tujuan Khusus :
1. Memahami definisi Impaksi
2. Memahami etiologi Impaksi
3. Memahami patofisiologis Impaksi
4. Memahami manifestasi klinis Impaksi
6. Memahami penatalaksanaan Impaksi
7. Memahami asuhan keperawatan pada Impaksi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 definisi
Impaksi adalah kumpulan fekal yang mengeras, mengendap dalam rectum
yang tidak dapat dikeluarkan. Impaksi feses dapat didefenisikan sebagai suatu
massa atau kumpulan yang mengeras, feses seperti dempul pada lipatan rektum.
Pada impaksi yang gawat feses terkumpul dan ada di dalam colon sigmoid.
Impaksi terjadi pada retensi yang lama dan akumulasi dari bahan-bahan feses.
Klien yang lemah, tidak sadar akan lebih cenderung mengalami impaksi karena
mereka terlalu lemah untuk memenuhi kebutuhan defekasinya. Tanda impaksi
ialah ketidakmampuan mengeluarkan fekal selama beberapa hari, walaupun
terdapat keinginan melakukan defekasi. Kehilangan nafsu makan, distensi, dan
kram abdomen, serta nyeri rektum dapat menyertai keadaan ini.
Klien sering mengeluh konstipasi, nyeri pada dubur. Banyak terjadi pada
klien dengan gangguan neurologis atau psikosis. Untuk mengatasi komplikasi
lebih lanjut, feces perlu dikeluarkan secara manual.
Impaksi feses ditandai dengan adanya diare dan kotoran yang tidak
normal. Cairan merembes keluar feses sekeliling dari massa yang tertahan.
Impaksi dapat juga dinilai dengan pemeriksaan digital pada rektum, selama
impaksi massa yang mengeras sering juga dapat dipalpasi. Diare yang bersama
dengan konstipasi, termasuk gejala yang sering tetapi tidak ada keinginan untuk
defekasi dan nyeri pada rektum. Hadirnya tanda-tanda umum dari terjadinya
penyakit ; klien menjadi anoreksia, abdomen menjadi regang dan bisa juga terjadi
muntah.
2.2 ETIOLOGI
Penyebab dari impaksi feses biasanya kebiasaan buang air besar yang
jarang dan konstipasi. Obat-obat tertentu juga berperan serta pada impaksi.
Barium digunakan pada pemeriksaan radiologi pada saluran gastrointestinal
bagian atas dan bawah dapat menjadi faktor penyebab, sehingga setelah
pemeriksaan ini hasil pengukuran diperoleh untuk memastikan pergerakan
barium. Pada orang yang lebih tua faktor-faktor yang beragam dapat
menyebabkan impaksi ; asupan cairan yang kurang, diet yang kurang serat,
rendahnya aktivitas, melemahnya tonus otot.
2.4 PATOFISIOLOGI
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang
menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer,
koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk
mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari impaksi adalah
karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal. Gangguan
dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat impaksi.
Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantakan
feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari
rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan
pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus
eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf pudendus.
Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna
diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan
bantuan kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam
perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun
parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
Patogenesis dari impaksi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup
beberapa faktor yang tumpang tindih. Walaupun impaksi merupakan keluhan
yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh
bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan
dari perjalanan saluran cerna. Perubahan patofisiologi yang menyebabkan impaksi
bukanlah karena bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi pada mereka
dengan impaksi.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut
yang sehat tidak mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus,
termasuk aktivitas motorik dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan
mengikuti petanda radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah
dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang menderita impaksi
menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 10 hari. Pada mereka yang
dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari
bahkan lebih. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada
kolon sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid.
Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari
kolon pasien dengan impaksi menunjukkan berkurangnya respons motorik dari
sigmoid akibat berkurangnya inervasi intrinsic karena degenerasi plexus
mienterikus. Ditemukan juga berkurangnya rangsang saraf pada otot polos
sirkuler yang dapat menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan
kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan.
Pasien dengan impaksi mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan
feses yang mengendap dan keras sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih
lama bahkan sampai tidak bisa keluar sama sekali. Hal ini dapat berakibat
penekanan pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut.
Sebaliknya, pada mereka yang mengalami impaksi dapat mengalami 3 perubahan
patologis pada rektum :
1. Diskesia Rektum
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan
sensasi rektum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar
regangan rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan
interna. Pada colok dubur pasien dengan diskesia rektum sering didapatkan
impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan untuk BAB sering sudah
tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan karena tanggapnya atau
penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada penderita
demensia, imobilitas, atau sakit daerah anus dan rektum
2. Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus
eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan
tekanan pada saluran anus saat mengejan.
3. Peningkatan Tonus Rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering
ditemukan pada kolon yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel
Syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang dominan.
2.5 PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan non-farmakologis
Latihan usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang
disarankan pada penderita impaksi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita
dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan
gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan,
sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan
kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan
rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
Diet : peran diet penting untuk mengatasi impaksi terutama pada golongan usia
lanjut. Data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak
serat mengurangi angka kejadian impaksi dan macam-macam penyakit
gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat
meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus.
untuk mendukung manfaat serat ini, diharapkan cukup asupan cairan sekitar 6-8
gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.
Olahraga : cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi
impaksi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan
kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat
otot-otot dinding perut.
2. Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi
farmakologis, dan biasanya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe
golongan obat pencahar :
memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl selulose,
Psilium.
melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan
permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak
kastor, golongan dochusate.
golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan,
misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan
ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa
dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat
dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Impaksi sering diartikan sebagai sangat kurangnya frekuensi buang air
besar atau bahkan tidak BAB sama sekali, dengan feses yang kecil-kecil dan keras
dan kadang-kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar.
Impaksi merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas,
kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot.
Manifestasi klinis yang sering muncul adalah rasa nyeri dan tekanan,
penurunan nafsu makan, sakit kepala, kelelahan, tidak dapat makan, sensasi
pengosongan tidak lengkap, mengejan saat defekasi, eliminasi volume feses
sedikit, keras, dan kering bahkan tidak keluar sama sekali.
Penatalaksanaan impaksi pada lansia dengan tatalaksana non farmakologik
: cairan, serat, bowel training, latihan jasmani, evaluasi panggunaan obat.
Tatalaksana farmakologik : pencahar pembentuk tinja, pelembut tinja, pencahar
stimulant, pencahar hiperosmolar dan enema.