Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

INKONTINENSIA FEKAL

Disusun oleh :
Kelompok 4

Siti Nuryani
Tarisha Andriani
Oktina Gita Azzahra
Putri Dewi Insani
Yasa Almansyah

SMK BINTANG NUSANTARA SCHOOL


Jl. Raya Gatot Subroto, Desa Pondok Jaya, Sepatan, Kabupaten
Tangerang - Banten

Tahun 2019

1
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur kehadiran Allah Subhanallahu


wata’ala, atas berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
ini, tak lupa kami haturkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad
Sallallahualaihi wassallam, keluarga, para sahabat dan pengikut beliau hingga
akhir zaman. Semoga kita mendapatkan safa’atnya kelak amin.

Kami mohon pengertiannya karena kami menyadari sepenuhnya bahwa


dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan baik dari segi penggunaan kata
dan bahasa yang belum memenuhi kaidah yang tepat, maupun dari isi makalah ini
sendiri. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan
yang akan datang.

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang


Manusia mempunyai kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi secara
memuaskan melalui proses homeostasis, baik fisiologis maupun psikologis.
Adapun kebutuhan merupakan suatu hal yang sangat penting, bermanfaat, atau
diperlukan untuk menjaga homeostasis dan kehidupan itu sendiri. Banyak ahli
filsafat, psikologis, dan fisiologis menguraikan kebutuhan manusia dan
membahasnya dari berbagai segi. Orang pertama yang menguraikan kebutuhan
manusia adalah Aristoteles. Sekitar tahun 1950, Abraham Maslow seorang
psikolog dari Amerika mengembangkan teori tentang kebutuhan dasar manusia
yang lebih dikenal dengan istilah Hierarki Kebutuhan Dasar Manusia Maslow
(Wolf, Lu Verne,dkk , 1984).
Suatu hal yang sangat diperlukan tubuh dalam kaitannya dengan proses
pertumbuhan dan perkembangan adalah nutrisi yang adekuat. Pemenuhan
kebutuhan nutrisi akan sangat membantu seseorang untuk mempertahankan
kondisi tubuh dalam mencegah terjadinya suatu penyakit, mempertahankan suhu
tubuh dalam kondisi yang normal serta menghindari proses infeksi.
Nutrient adalah suatu zat yang terkandung dalam makanan misalnya
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Nutrient atau kandungan zat
yang terdapat dalam makanan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh terdiri dari 6
kategori, yaitu : karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Nutrisi
normal meliputi keseimbangan antara intake makanan yang di makan dengan
energi yang dikeluarkan oleh tubuh. Intake makanan yang adekuat juga
dibutuhkan oleh enzim untuk mensintesa hormon, mengganti sel-sel yang telah
rusak serta membantu pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Intake nutrisi yang
adekuat pada usia toddler dan pra sekolah ( 1–5 tahun ) sangat diperlukan, karena
pada usia tersebut merupakan fase pertumbuhan fisik dan perkembangan yang
pesat, sehingga kebutuhan nutrisi juga akan berbeda dengan usia-usia yang lain.
Disamping itu pada fase ini, anak akan cenderung aktif dan merasa kehilangan

3
nafsu makan karena rasa suka dan tidak suka terhadap suatu makanan. Sehingga
peran orang tua untuk mempertahankan pemenuhan kebutuhan nutrisi pada usia
toddler maupun pra sekolah sangat diperlukan untuk membantu proses
pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut. Kebutuhan nutrisi yang
dibutuhkan pada usia ini termasuk diantaranya adalah zat besi untuk mencegah
anemi, serta vitamin A dan C untuk menjaga daya tahan tubuh terhadap suatu
penyakit. Kemampuan untuk mengabsorbsi makanam, keadaan fisik seperti
peradangan pada sistem gastro intestinal, obstruksi pada gastro intestinal dan
malabsorbsi serta diabetes melitus akan menyebabkan gangguan dalam
mengabsorbsi zat-zat makanan, sehingga juga akan menyebabkan gangguan
dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi.
Eliminasi fekal atau defekasi merupakan proses pembuangan metabolisme
tubuh yang tidak terpakai. Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus
penting untuk fungsi tubuh normal. Perubahan pada defekasi dapat menyebabkan
masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh lain, karena sisa-sisa produk usus
adalah racun. Pola defekasi bersifat individual, bervariasi dari beberapa kali sehari
sampai beberapa kali seminggu. Jumlah feses yang dikeluarkan pun berfariasi
jumlahnya tiap individu. Feses normal mengandung 75% air dan 25% materi
padat. Feses normal berwarna coklat karena adanya sterkobilin dan uriobilin yang
berasal dari bilirubin. Warna feses dapat dipengaruhi oleh kerja bakteri
Escherecia coli. Flatus yang dikelurkan orang dewasa selama 24 jam yaitu 7-10
liter flatus dalam usus besar. Kerja mikroorganisme mempengaruhi bau feses.
Fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan
kebiasaan (Berman, et.al., 2009).
Inkontinensia fekal merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup
serius pada pasien geriatri. Angka kejadian inkontinensia fekal ini lebih sedikit
dibandingkan pada kejadian inkontinensia urin. Namun demikian, data di luar
negeri menyebutkan bahwa 30-50% pasien geriatri yang mengalami inkontinensia
urin juga mengalami inkontinensia fekal. Inkontinensia fekal merupakan hal yang
sangat mengganggu bagi penderitannya, sehingga harus diupayakan mencari
penyebabnya dan penatalaksanaannya dengan baik. Seiring dengan meningkatnya

4
angka kejadian inkontinensia urin, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi
pula peningkatan angka kejadian inkontinensiafekal. Untuk itu diperlukan
penanganan yang sesuai baik untuk inkontinensia urin maupun inkontinensia
fekal, agar tidak menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien. Berikut ini akan dibahas mengenai
inkontinensia fekal dan penanganannya.

1.1        Rumusan Masalah


1.      Bagaimana definisi dari penyakit inkontinensia fekal?
2.      Bagaimana etiologi dari penyakit inkontinensia fekal?
3.      Bagaimana patofisiologi dari penyakit inkontinensia fekal?
4.  Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit inkontinensia fekal?
5. Bagaimana cara pencegahan masalah penyakit inkontinensia fekal?
6. Bagaimana analisa jurnal menurut para peneliti?

1.2       Tujuan
1.      Mengetahui definisi dari penyakit inkontinensia fekal?
2.      Mengetahui etiologi dari penyakit inkontinensia fekal?
3.      Mengetahui patofisiologi dari penyakit inkontinensia fekal?
4.      Mengetahui manifestasi klinis dari penyakit inkontinensia fekal?
5. Mengetahui pencegahan masalah dari penyakit inkontinensia fekal?
6. Mengetahui analisa jurnal dari penyakit inkontinensia fekal?

5
BAB II

PEMBAHASAN MATERI

2.1 Definisi

Inkontinensia fekal merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup


serius pada pasien geriatri. Angka kejadian inkontinensia fekal ini lebih sedikit
dibandingkan pada kejadian inkontinensia urin. Namun demikian, data di luar
negeri menyebutkan bahwa 30-50% pasien geriatri yang mengalami

6
inkontinensia urin juga mengalami inkontinensia alvi. Inkontinensia fekal
merupakan hal yang sangat mengganggu bagi penderitannya, sehingga harus
diupayakan mencari penyebabnya dan penatalaksanaannya dengan baik. Seiring
dengan meningkatnya angka kejadian inkontinensia urin, maka tidak menutup
kemungkinan akan terjadi pula peningkatan angka kejadian inkontinensia fekal.
Untuk itu diperlukan penanganan yang sesuai baik untuk inkontinensia urin
maupun inkontinensia fekal, agar tidak menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Berikut ini akan dibahas
mengenai inkontinensia fekal dan penanganannya.

2.2 Etiologi

Penyebab utama timbulnya inkotinensia fekal adalah masalah sembelit,


penggunaan pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti demensia dan
stroke, serta gangguan kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan kerusakan
sfingter rektum. Konstipasi atau sembelit merupakan kejadian yang paling sering
timbul pada pasien geriatri dan bila menjadi kronik akan menyebabkan timbulnya
inkontinensia fekal. Skibala akan mengiritasi rektum dan menghasilkan mukus
dan cairan. Cairan ini akan membanjiri tinja yang mengeras dan mempercepat
terjadinya inkontinensia. Konstipasi sulit untuk didefinisikan dan secara teknik
biasanya diindentikkan dengan buang air besar sebanyak tiga kali dalam
seminggu.

Penyebab inkontinensia fekal dapat dibagi menjadi 4 kelompok (Brocklehurst


dkk, 1987; Kane dkk, 1989) :
1.      Inkontinensia fekal akibat konstipasi.
2.      Inkontinensia fekal simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus
besar.
3.      Inkontinensia fekal akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi
(inkontinensia neurogenik).
4.      Inkontinensia fekal karena hilangnya refleks anal.

7
2.3 Patofisiologi

Fungsi traktus gastrointestinal biasanya masih tetap adekuat sepanjang


hidup. Namun demikian beberapa orang mengalami ketidaknyamanan akibat
motilitas yang melambat. Peristaltic di esophagus kurang efisien. Selain itu,
sfingter gastroesofagus gagal berelaksasi, mengakibatkan pengosongan esophagus
terlambat.keluhan utama biasanya berpusat pada perasaan penuh, nyeri ulu hati,
dan gangguan pencernaan. Motalitas gaster juga mnurun, akibatnya terjadi
keterlambtan pengosongan isi lambung. Berkurangnya sekresi asam dan pepsin
akan menurunkan absorsi besi, kalsium dan vitamin B12.
Absorsi nutrient di usus halus nampaknya juga berkurang dengan bertambahnya
usia namun masih tetap adekuat. Fungsi hepar, kandung empedu dan pangkreas
tetap dapat di pertahankan, meski terdapat inefisiensi dalam absorsi dan toleransi
terhadap lemak. Impaksi feses secara akut dan hilangnya kontraksi otot polos pada
sfingter mengakibatkan inkontinensia fekal.

2.4 Manifestasi Klinis


Secara klinis, inkontinensia fekal dapat tampak sebagai feses yang cair atau
belum berbentuk dan feses keluar yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali
sehari dipakaian atau tempat tidur. Perbedaan penampilan klinis ini dapat
menunjukkan penyebab yang berbeda-beda, antara lain inkontinensia fekal akibat
konstipasi (sulit buang air besar), simtomatik (berkaitan dengan penyakit usus
besar), akibat gangguan saraf pada proses defekasi (neurogenik), dan akibat
hilangnya refleks pada anus.

2.5 Pencegahan dan Pengobatan


Pencegahan

Inkontinensia tinja adalah kondisi yang tidak dapat dicegah dengan mudah
karena ditentukan oleh penyebabnya. Namun, beberapa langkah berikut dapat

8
dilakukan untuk mencegah inkontinensia tinja atau mengurangi gejala yang
dialami. Di antaranya adalah:

 Mengonsumsi makanan tinggi serat dan memperbanyak minum cairan


untuk mengurangi risiko konstipasi.
 Berolahraga secara teratur.
 Tidak mengejan saat buang air besar. Mengejan dapat melemahkan otot
dubur atau merusak saraf yang berujung pada inkotinensia tinja.
 Menghindari penyebab diare dengan menjaga kebersihan tangan sebelum
dan setelah makan, serta kebersihan makanan yang dikonsumsi.
 Menggunakan pakaian dalam berbahan katun sehingga aliran udara tetap
terjaga dan tidak terjadi iritasi.

Penderita inkontinensia tinja biasanya mengalami masalah dengan


kepercayaan diri dan kesulitan ketika sedang berada di luar rumah. Berikut adalah
beberapa hal yang bisa dilakukan oleh penderita inkontinensia tinja untuk
menjaga kenyamanan dan meningkatkan kepercayaan diri terkait kondisi yang
diderita.

 Buang air besar sebelum melakukan perjalanan.


 Gunakanlah pembalut atau popok dewasa saat menempuh perjalanan jarak
jauh.
 Jangan lupa mempersiapkan alat pembersih dan pakaian ganti cadangan
sesuai dengan kebutuhan.
 Segera cari lokasi toilet sesampainya di tujuan.
 Gunakan pil penghilang bau (fecal deodorant) untuk mengurangi aroma
tidak sedap dari kotoran atau gas (kentut).

Pengobatan

Metode pengobatan inkontinensia tinja ditentukan berdasarkan


penyebabnya. Ada beberapa langkah pengobatan yang dapat dilakukan, yaitu:

9
 Perubahan pola makan. Jika inkontinensia tinja disebabkan oleh diare
atau konstipasi, perubahan pola makan perlu dilakukan untuk
mengembalikan fungsi dan mengendalikan pergerakan usus. Dokter akan
menganjurkan pasien untuk memperbanyak konsumsi makanan tinggi
serat (20-30 gr per hari) agar tinja lebih padat dan mudah dikendalikan,
serta memperbanyak konsumsi cairan.
 Terapi obat. Beberapa jenis obat yang dapat diberikan dokter kepada
penderita inkontinensia tinja adalah:
 Obat antidiare, seperti loperamide.
 Laksatif atau pencahar, dengan kandungan laktulosa. Jenis obat ini
biasanya diberikan untuk inkontinensia tinja yang disebabkan oleh
konstipasi kronik.
 Suplemen serat, untuk mengatasi konstipasi.

laksatif atau suplemen tidak dapat mengatasi konstipasi, dokter mungkin akan
memberikan jenis obat yang dimasukkan melalui dubur.

 Terapi fisik. Terapi fisik dilakukan untuk mengembalikan kekuatan otot


rektum, sehingga dapat meningkatkan kendali sfingter anus dan sensasi
untuk buang air besar. Beberapa metode terapi fisik yang mungkin
dilakukan, di antaranya adalah:
o Biofeedback. Gerakan latihan sederhana untuk meningkatkan
kekuatan otot dubur, otot dasar panggul, kontraksi otot ketika
sedang buang air, dan sensasi dorongan untuk mengeluarkan
kotoran. Terapi ini umumnya dilakukan dengan bantuan manometri
anal atau balon rektal.
o Balon vaginal. Alat menyerupai pompa yang dimasukkan ke
dalam vagina untuk memberikan tekanan pada area rektum.
o Latihan Kegel. Latihan untuk mengurangi inkontinensia tinja dan
menguatkan otot dasar panggul yang berperan dalam kinerja
saluran kemih, saluran cerna, dan otot pada rahim
perempuan. Gerakan Kegel dilakukan dengan cara menahan dan

10
membiarkan urine keluar untuk menghasilkan kontraksi pada otot.
Lakukan latihan mengencangkan otot selama 5-10 detik, kemudian
lemaskan. Ulangi latihan kontraksi 10-20 kali, setidaknya 3 kali
sehari.
 Latihan usus atau saluran cerna. Latihan untuk meningkatkan kendali
atas otot rektum dan anus dengan melakukan aktivitas yang dilakukan
secara rutin, seperti:
o Buang air besar secara teratur sesuai jadwal yang ditentukan,
misalnya setelah makan.
o Menstimulasi otot sfingter anus dengan jari yang telah diberi
pelumas.
o Menggunakan obat supositoria (obat yang dimasukkan melalui
rektum atau vagina) untuk merangsang pergerakan usus.
 Operasi. 

Jika terapi obat dan fisik tidak efektif, prosedur operasi dapat
dilakukan untuk menangani inkontinensia tinja. Tindakan operasi
umumnya disesuaikan dengan kondisi pasien secara keseluruhan dan
penyebab inkontinensia tinja. Beberapa pilihan jenis operasi yang dapat
dilakukan adalah:

o Sphincteroplasty, yaitu prosedur operasi untuk memperbaiki otot


dubur yang lemah atau rusak. Prosedur ini umumnya dilakukan
pada pasien inkontinensia tinja yang telah menjalani proses
persalinan.
o Kolostomi, yaitu prosedur pembuatan lubang pada dinding perut
untuk mengalihkan dan mengeluarkan kotoran (feses). Kotoran
yang keluar dari lubang tersebut akan ditampung di sebuah
kantong khusus yang ditempelkan dekat lubang.
o Bedah koreksi, yaitu prosedur untuk memperbaiki otot anus dan
rektum yang rusak. Tindakan ini dilakukan untuk menangani

11
turunnya rektum, rektokel, dan wasir, yang menyebabkan
inkontinensia tinja.
o Transplantasi otot gracilis. Prosedur ini umumnya dilakukan
terhadap pasien yang kehilangan fungsi saraf di sfingter anus.
Tindakan ini dilakukan dengan cara mengambil otot dari paha
bagian atas untuk ditempatkan di sekitar otot sfingter guna
memperkuat otot tersebut.
o Stimulasi saraf. Dokter akan menempatkan sebuah alat di dalam
tubuh yang akan merangsang saraf dan mengendalikan otot anus
sehingga dapat berfungsi secara normal.

2.6 Analisa Jurnal

Indonesia adalah negara berkembang yang memasuki era penduduk


berstruktur lanjut usia (lansia) (aging structured population). Saat ini Indonesia
menduduki peringkat 5 besar dalam jumlah lansia di dunia. Jika dilihat dari
populasi lansia, penduduk lansia di Indonesia mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Pada tahun 2010 jumlah lansia sebanyak 14,439, 967 jiwa (7.18 %).
Sementara tahun 2011, jumlah lansia menjadi 20 juta jiwa (9.51 %) dengan UHH
67.4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan penduduk lansia di Indonesia
mengalami peningkatan sebesar 28.8 juta jiwa (11.34 %) dengan usia harapan
hidup (UHH) 71.1 tahun (Depkes, 2012). Dengan penambahan populasi lansia
diperlukan perhatian dan penanganan khusus terhadap permasalahan-
permasalahan yang kemungkinan muncul dalam proses menua. Penyakit kronis
seperti hipertensi, diabetes dan penyakit paru merupakan permasalahan terbanyak
yang dikeluhkan oleh lansia (World Health Organization [WHO], 2009). Dan
yang tidak kalah pentingnya adalah permasalahan penurunan fungsi pencernaan
karena penurunan fungsi organ fisik seperti terjadinya inkontinensia khususnya
fekal (Bliss et al., 2005; Bliss et al., 2008; Peden-McAlpine et al., 2008). Dari
penelitian sebelumnya, terdapat 22.4 % lansia yang mengalami inkontinensia
fekal. Data ini didapat dari studi kwantitatif yang melibatkan 303 lansia di Kota
Denpasar (Suyasa, 2011). Tetapi, dalam penelitian tersebut belum mengeksplorasi

12
bagaimana pengalaman lansia dalam menghadapi masalahnya. Dengan
mengetahui dan memahami pengalaman lansia secara nyata tentang inkontinensia
fekal dapat diambil strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut (Peden-
McAlpine et al., 2008). Penelitian pengalaman lansia tentang inkontinensia fekal
sudah pernah diteliti sebelumnya namun penelitian tersebut dilakukan di Amerika
Serikat yang hanya terfokus pada lansia wanita. Disamping itu, budaya dan
kebiasaan lansia di negara maju seperti Amerika Serikat akan berbeda dengan
budaya di negara berkembang seperti halnya Indonesia. Berdasarkan data diatas,
penulis tertarik untuk meneliti pengalaman lansia dengan inkontinensia fekal.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengalaman lansia dengan
inkontinensia fekal di Kota Denpasar, Bali. Diharapkan dengan memahami
pengalaman yang dirasakan lansia selama menghadapi inkontinensia fekal akan
dapat mengembangkan strategi keperawatan yang berguna untuk mengurangi dan
mengatasi permasalahan lansia yang berhubungan dengan inkontinensia fekal.

13

Anda mungkin juga menyukai