INKONTINENSIA FEKAL
Disusun oleh :
Kelompok 4
Siti Nuryani
Tarisha Andriani
Oktina Gita Azzahra
Putri Dewi Insani
Yasa Almansyah
Tahun 2019
1
KATA PENGANTAR
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
nafsu makan karena rasa suka dan tidak suka terhadap suatu makanan. Sehingga
peran orang tua untuk mempertahankan pemenuhan kebutuhan nutrisi pada usia
toddler maupun pra sekolah sangat diperlukan untuk membantu proses
pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut. Kebutuhan nutrisi yang
dibutuhkan pada usia ini termasuk diantaranya adalah zat besi untuk mencegah
anemi, serta vitamin A dan C untuk menjaga daya tahan tubuh terhadap suatu
penyakit. Kemampuan untuk mengabsorbsi makanam, keadaan fisik seperti
peradangan pada sistem gastro intestinal, obstruksi pada gastro intestinal dan
malabsorbsi serta diabetes melitus akan menyebabkan gangguan dalam
mengabsorbsi zat-zat makanan, sehingga juga akan menyebabkan gangguan
dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi.
Eliminasi fekal atau defekasi merupakan proses pembuangan metabolisme
tubuh yang tidak terpakai. Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus
penting untuk fungsi tubuh normal. Perubahan pada defekasi dapat menyebabkan
masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh lain, karena sisa-sisa produk usus
adalah racun. Pola defekasi bersifat individual, bervariasi dari beberapa kali sehari
sampai beberapa kali seminggu. Jumlah feses yang dikeluarkan pun berfariasi
jumlahnya tiap individu. Feses normal mengandung 75% air dan 25% materi
padat. Feses normal berwarna coklat karena adanya sterkobilin dan uriobilin yang
berasal dari bilirubin. Warna feses dapat dipengaruhi oleh kerja bakteri
Escherecia coli. Flatus yang dikelurkan orang dewasa selama 24 jam yaitu 7-10
liter flatus dalam usus besar. Kerja mikroorganisme mempengaruhi bau feses.
Fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan
kebiasaan (Berman, et.al., 2009).
Inkontinensia fekal merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup
serius pada pasien geriatri. Angka kejadian inkontinensia fekal ini lebih sedikit
dibandingkan pada kejadian inkontinensia urin. Namun demikian, data di luar
negeri menyebutkan bahwa 30-50% pasien geriatri yang mengalami inkontinensia
urin juga mengalami inkontinensia fekal. Inkontinensia fekal merupakan hal yang
sangat mengganggu bagi penderitannya, sehingga harus diupayakan mencari
penyebabnya dan penatalaksanaannya dengan baik. Seiring dengan meningkatnya
4
angka kejadian inkontinensia urin, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi
pula peningkatan angka kejadian inkontinensiafekal. Untuk itu diperlukan
penanganan yang sesuai baik untuk inkontinensia urin maupun inkontinensia
fekal, agar tidak menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien. Berikut ini akan dibahas mengenai
inkontinensia fekal dan penanganannya.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui definisi dari penyakit inkontinensia fekal?
2. Mengetahui etiologi dari penyakit inkontinensia fekal?
3. Mengetahui patofisiologi dari penyakit inkontinensia fekal?
4. Mengetahui manifestasi klinis dari penyakit inkontinensia fekal?
5. Mengetahui pencegahan masalah dari penyakit inkontinensia fekal?
6. Mengetahui analisa jurnal dari penyakit inkontinensia fekal?
5
BAB II
PEMBAHASAN MATERI
2.1 Definisi
6
inkontinensia urin juga mengalami inkontinensia alvi. Inkontinensia fekal
merupakan hal yang sangat mengganggu bagi penderitannya, sehingga harus
diupayakan mencari penyebabnya dan penatalaksanaannya dengan baik. Seiring
dengan meningkatnya angka kejadian inkontinensia urin, maka tidak menutup
kemungkinan akan terjadi pula peningkatan angka kejadian inkontinensia fekal.
Untuk itu diperlukan penanganan yang sesuai baik untuk inkontinensia urin
maupun inkontinensia fekal, agar tidak menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Berikut ini akan dibahas
mengenai inkontinensia fekal dan penanganannya.
2.2 Etiologi
7
2.3 Patofisiologi
Inkontinensia tinja adalah kondisi yang tidak dapat dicegah dengan mudah
karena ditentukan oleh penyebabnya. Namun, beberapa langkah berikut dapat
8
dilakukan untuk mencegah inkontinensia tinja atau mengurangi gejala yang
dialami. Di antaranya adalah:
Pengobatan
9
Perubahan pola makan. Jika inkontinensia tinja disebabkan oleh diare
atau konstipasi, perubahan pola makan perlu dilakukan untuk
mengembalikan fungsi dan mengendalikan pergerakan usus. Dokter akan
menganjurkan pasien untuk memperbanyak konsumsi makanan tinggi
serat (20-30 gr per hari) agar tinja lebih padat dan mudah dikendalikan,
serta memperbanyak konsumsi cairan.
Terapi obat. Beberapa jenis obat yang dapat diberikan dokter kepada
penderita inkontinensia tinja adalah:
Obat antidiare, seperti loperamide.
Laksatif atau pencahar, dengan kandungan laktulosa. Jenis obat ini
biasanya diberikan untuk inkontinensia tinja yang disebabkan oleh
konstipasi kronik.
Suplemen serat, untuk mengatasi konstipasi.
laksatif atau suplemen tidak dapat mengatasi konstipasi, dokter mungkin akan
memberikan jenis obat yang dimasukkan melalui dubur.
10
membiarkan urine keluar untuk menghasilkan kontraksi pada otot.
Lakukan latihan mengencangkan otot selama 5-10 detik, kemudian
lemaskan. Ulangi latihan kontraksi 10-20 kali, setidaknya 3 kali
sehari.
Latihan usus atau saluran cerna. Latihan untuk meningkatkan kendali
atas otot rektum dan anus dengan melakukan aktivitas yang dilakukan
secara rutin, seperti:
o Buang air besar secara teratur sesuai jadwal yang ditentukan,
misalnya setelah makan.
o Menstimulasi otot sfingter anus dengan jari yang telah diberi
pelumas.
o Menggunakan obat supositoria (obat yang dimasukkan melalui
rektum atau vagina) untuk merangsang pergerakan usus.
Operasi.
Jika terapi obat dan fisik tidak efektif, prosedur operasi dapat
dilakukan untuk menangani inkontinensia tinja. Tindakan operasi
umumnya disesuaikan dengan kondisi pasien secara keseluruhan dan
penyebab inkontinensia tinja. Beberapa pilihan jenis operasi yang dapat
dilakukan adalah:
11
turunnya rektum, rektokel, dan wasir, yang menyebabkan
inkontinensia tinja.
o Transplantasi otot gracilis. Prosedur ini umumnya dilakukan
terhadap pasien yang kehilangan fungsi saraf di sfingter anus.
Tindakan ini dilakukan dengan cara mengambil otot dari paha
bagian atas untuk ditempatkan di sekitar otot sfingter guna
memperkuat otot tersebut.
o Stimulasi saraf. Dokter akan menempatkan sebuah alat di dalam
tubuh yang akan merangsang saraf dan mengendalikan otot anus
sehingga dapat berfungsi secara normal.
12
bagaimana pengalaman lansia dalam menghadapi masalahnya. Dengan
mengetahui dan memahami pengalaman lansia secara nyata tentang inkontinensia
fekal dapat diambil strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut (Peden-
McAlpine et al., 2008). Penelitian pengalaman lansia tentang inkontinensia fekal
sudah pernah diteliti sebelumnya namun penelitian tersebut dilakukan di Amerika
Serikat yang hanya terfokus pada lansia wanita. Disamping itu, budaya dan
kebiasaan lansia di negara maju seperti Amerika Serikat akan berbeda dengan
budaya di negara berkembang seperti halnya Indonesia. Berdasarkan data diatas,
penulis tertarik untuk meneliti pengalaman lansia dengan inkontinensia fekal.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengalaman lansia dengan
inkontinensia fekal di Kota Denpasar, Bali. Diharapkan dengan memahami
pengalaman yang dirasakan lansia selama menghadapi inkontinensia fekal akan
dapat mengembangkan strategi keperawatan yang berguna untuk mengurangi dan
mengatasi permasalahan lansia yang berhubungan dengan inkontinensia fekal.
13