Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN KONSTIPASI

Makalah
Disusun untuk memenuhi mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I
yang diampu oleh Ns.Tina Muzaenah,S.Kep.,M.Kep

Disusun oleh :
Anindya R 1811010044 Fela Nur Latifah 1811010051
Atika Hetinurani 1811010045 Nur Fitri K 1811010053
Nabila Winar 1811010046
Ria Siti Fauzi 1811010054
Putri Amalia A 181101004
Naufia Atiqoh 1811010055
Diva Hanis A 1811010048
Nur Endah S 1811010056
Aenaul M 1811010049
Mufti Yunika F 1811010057
Mutia Dwi W 1811010050

2
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN DIII
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-
Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis bisa
menyelesaikan makalah mata kuliah “KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 1”.
Shalawat serta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW
yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan sunnah untuk
keselamatan umat di dunia.

Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah di program studi Keperawatan DIII Fakultas Ilmu Kesehatan pada
Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Selanjutnya penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Ns. Tina Muzaenah,S.Kep.,M.Kep
selaku dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah dan kepada
segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan
makalah ini.

Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan


makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Purwokerto, 17 November 2019

Penulis

4
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian

B. Etiologi

C. Manifestasi Klinis

D. Patofiaiologi

E. Komplikasi

F. Pemeriksaan Penunjang

G. Penatalaksanaan

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

A. Konsep Dasar Keperawatan

B. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Kostipasi di Ruang

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA 5
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kasus konstipasi umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4%
sampai 30% pada kelompok usia 60 tahun ke atas. Ternyata wanita lebih
sering mengeluh konstipasi dibanding pria dengan perbandingan 3:1 hingga
2:1. Insiden konstipasi meningkat seiring bertambahnya umur, terutama usia
65 tahun ke atas. Pada suatu penelitian pada orang berusia usia 65 tahun ke
atas, terdapat penderita konstipasi sekitar 34% wanita dan pria 26%. Di
Inggris ditemukan 30% penduduk di atas usia 60 tahun merupakan konsumen
yang teratur menggunakan obat pencahar . Di Australia sekitar 20% populasi
di atas 65 tahun mengeluh menderita konstipasi dan lebih banyak pada wanita
dibanding pria. Menurut National Health Interview Survey pada tahun 1991,
sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi terutama
anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas.
Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi saat bepergian,
misalnya karena jijik dengan WC-nya, bingung caranya buang air besar seperti
sewaktu naik pesawat dan kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa
karena faktor sistemik, efek samping obat, faktor neurogenik saraf sentral atau
saraf perifer. Bisa juga karena faktor kelainan organ di kolon seperti obstruksi
organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau kelainan pada rektum,
anak dan dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik.
Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya
adalah mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh
adalah pada buah dan sayur. Jika penderita konstipasi ini mengalami kesulitan
mengunyah, misalnya karena ompong, caranya haluskan sayur atau buah
tersebut dengan diblender.
6
B. Rumusan Masalah
a. Apa definisi dari konstipasi?
b. Bagaimana etiologi dari konstipasi?
c. Bagaimana manifestasi klinis dari konstipasi?
d. Bagaimana patofisiologi dari konstipasi?

e. Bagaimana komplikasi dari konstipasi?


f. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari konstipasi?
g. Bagaimana penatalaksanaan dari konstipasi?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui definisi dari konstipasi
b. Untuk mengetahui etiologi dari konstipasi
c. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari konstipasi
d. Untuk mengetahui patofisiologi dari konstipasi
e. Untuk mengetahui komplikasi dari konstipasi
f. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari konstipasi
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari konstipasi

7
BAB II
PEMBAHASAN
KONSTIPASI
A. Pengertian
Konstipasi adalah suatu penurunan frekuensi pergerakan usus yang
disertai dengan perpanjangan waktu dan kesulitan pergerakan feses (Stanley,
2007).
Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada
seseorang, disertai dengan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau
keluarnya feses yang sangat keras dan kering (Wilkinson, 2006).
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah
penurunan frekunsi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama
atau keras dan kering. Adanya upaya mengedan saat defekasi adalah suatu
tanda yang terkait dengan konstipasi. Apabila motilitas usus halus melambat,
masa feses lebih lama terpapar pada dinding usus dan sebagian besar
kandungan air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan untuk
melunakkan dan melumasi feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras
dapat menimbulkan nyeri pada rektum. (Potter & Perry, 2005).
Konstipasi dirasakan dapat juga menjadi masalah subjektif yang terjadi
(Dougthy dan Jackson, 1993) bila pola eliminasi usus seseorang tidak
konsisten dengan apa yang dirasakan orang tersebut sebagai normal.
Penggunaan laksatif kronis duhubungkan dengan masalah ini dan merupakan
masalah kesehatan utama di Amerika Serikat, khususnya diantara populasi
lansia.

B. Etiologi
Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005 adalah
sebagai berikut:
1. Kebiasaan defekasi
8 yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk
defekasi dapat menyebabkan konstipasi.
2. Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani
(misalnya daging, produk-produk susu, telur) dan karbohidrat murni
(makanan penutup yang berat) sering mengalami masalah konstipasi,
karena bergerak lebih lambat didalam saluran cerna. Asupan cairan yang
rendah juga memperlambat peristaltik.
3. Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga yang teratur
menyebabkan konstipasi.
4. Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi
normal. Selain itu, kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan
sempurna, memerlukan waktu untuk diisi kembali oleh masa feses.
5. Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek
menciutkan dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk
menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan
dapat menyebabkan diare pada sebagian orang), diuretik, antasid dalam
kalsium atau aluminium, dan obat-obatan antiparkinson dapat
menyebabkan konstipasi.
6. Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot
abdomen, dan penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering
mengonsumsi makanan rendah serat.
7. Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI
(gastrointestinal), seperti obstruksi usus, ileus paralitik, dan
divertikulitus.
8. Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya
cedera pada medula spinalis, tumor) dapat menyebabkan konstipasi.
9. Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme, hipokalsemia, atau
hypokalemia dapat menyebabkan konstipasi.
Ada juga penyebab yang lain dari sumber lain, yaitu:
10. Peningkatan stres psikologi. Emosi yang kuat diperkirakan
menyebabkan konstipasi
9 dengan menghambat gerak peristaltik usus
melalui kerja dari epinefrin dan sistem syaraf simpatis. Stres juga dapat
menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau iritasi
colon ). Yang berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah kram pada
abdominal, meningkatnya jumlah mukus dan periode bertukar-tukarnya
antara diare dan konstipasi.
11. Umur
Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi
pada orang tua turut berperan menyebabkan konstipasi.

C. Manifestasi klinis
Menurut Stanley (2007) :
a. Mengejan berlebihan saat BAB
b. Massa feses yang keras
c. Perasaan tidak puas saat BAB
d. Sakit pada daerah rektum saat BAB
e. Menggunakan jari-jari untuk mengeluarkan feses
Tipe Konstipasi
Berdasarkan International Workshop on Constipation, adalah sebagai berikut:
1. Konstipasi Fungsional
Kriteria:
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan:
a. Mengedan keras 25% dari BAB
b. Feses yang keras 25% dari BAB
c. Rasa tidak tuntas 25% dari BAB
d. BAB kurang dari 2 kali per minggu
2. Penundaan pada muara rektum
Kriteria:
a. Hambatan pada anus lebih dari 25% BAB
b. Waktu untuk BAB lebih lama
c. Perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat
10
dari feses, sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid
menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai adanya
perasaan sumbatan pada anus.

D. Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang
menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan
perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan
fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari
konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses
BAB normal (Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh
distensi rektal melalui empat tahap kerja, antara lain: rangsangan refleks
penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter
external dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-
abdomen). Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat
konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang
menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan
meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna.
Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi
dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang depersarafi
oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan
sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum
mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. kontraksi
ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator
ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup
beberapa faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan
keluhan yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh
bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan
perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan patofisiologi yang
11
menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi memang
khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut
yang sehat tidak mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan
usus, termasuk aktivitas motorik dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus
dengan mengikuti petanda radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3
hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang
menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9
hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih
panjang lagi sampai 14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat
jalannya pada kolon sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari
kolon sigmoid. Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas
motorik dari kolon pasien dengan konstipasi menunjukkan berkurangnya
respons motorik dari sigmoid akibat berkurangnya inervasi intrinsic karena
degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan juga berkurangnya rangsang saraf
pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan memanjangnya waktu
gerakan usus.
Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma
beta-endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor
opiate endogen di usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari
sediaan opiate yang dapat menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas
berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan
kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan.
Pasien dengan konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk
mengeluarkan feses yang kecil dan keras sehingga upaya mengejan lebih keras
dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf pudendus
sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut.
Sebaliknya, pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga
perubahan patologis pada rektum, sebagai berikut:
1. Diskesia Rektum 12
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan
sensasi rektum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih
besar regangan rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter
eksterna dan interna. Pada colok dubur pasien dengan diskesia rektum
sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan
untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan
karena tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang
dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah anus dan
rektum
2. Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan
sfingter anus eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik
menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.
3. Peningkatan Tonus Rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering
ditemukan pada kolon yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel
Syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang dominan.

PATHWAY
E. Komplikasi
Menurut Darmojo&Martono (2006) akibat-akibat atau komlikasi dari
konstipasi antara lain:
a. Impaksi feses
Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya
penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan.
b. Volvulus daerah sigmoid
Mengejan berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan
konstipasi dapat berakibat prolaps dari rektum.
c. Haemorrhoid
Tinja yang keras dan padat menyebabkan makin susahnya defekasi
sehingga ada kemungkinan
13 akan menimbulkan haemorrhoid.
d. Kanker kolon
Bakteri menghasilkan zat-zat penyebab kanker. Konsistensi tinja yang
keras akan memperlambat pasase tinja sehingga bakteri memiliki waktu
yang cukup lama untuk memproduksi karsinogen dan karsinogen yang
diproduksi menjadi lebih konsentrat.
e. Penyakit divertikular
Mengedan berlebihan (peningkatan tekanan intraabdominal) pada
penderita konstipasi dapat menyebabkan terbentuknya kantung-kantung
pada dinding kolon, di mana kantung-kantung ini berisi sisa-sisa makanan.
Kantung-kantung ini dapat meradang dan disebut dengan divertikulitis.

F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan
kelainan yang jelas. Namun demikian pemeriksaan fisik yang teliti dan
menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan yang berpotensi
mempengaruhi fungsi usus besar.
Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya
luka pada selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa
pengecap dan proses menelan.
Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau
tonjolan. Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut.
Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya
tumor atau pelebaran batang nadi. Pada pemeriksaan ketuk dicari
pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, cairan dalam rongga perut
atau adanya massa tinja.
Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara
gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang
pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan)
atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor
di dubur yang bisa mengganggu proses buang air besar.
Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya
14
timbunan tinja, atau adanya darah.
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor
risiko konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia
akibat keluarnya darah dari dubur.
Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada
saluran cerna, tukak, wasir, dan tumor. Foto polos perut harus dikerjakan pada
penderita konstipasi untuk mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras
yang menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan,
anemia, keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus
besar perlu dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian orang konstipasi hanya
sekadar mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat menimbulkan
komplikasi serius. Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70%),
usus besar (20%), dan pangkal usus besar (10%). Hal ini menyebabkan
kesakitan dan meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan berpotensi
menimbulkan akibat yang fatal. Pada konstipasi kronis kadang-kadang terjadi
demam sampai 39,5oC , delirium (kebingungan dan penurunan kesadaran),
perut tegang, bunyi usus melemah, penyimpangan irama jantung, pernapasan
cepat karena peregangan sekat rongga badan. Pemadatan dan pengerasan tinja
berat di muara usus besar bisa menekan kandung kemih menyebabkan retensi
urine bahkan gagal ginjal serta hilangnya kendali otot lingkar dubur, sehingga
keluar tinja tak terkontrol. Sering mengejan berlebihan menyebabkan turunnya
poros usus.

G. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana non farmakologik
a) Cairan
Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi.
Kecuali ada kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk
minum sekurang kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari)
untuk mencegah dehidrasi. Asupan cairan dapat dicapai bila tersedia
15
cairan/minuman yang dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula
cairan yang berasal dari sup,sirup, dan es. Asupan cairan perlu lebih
banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi
jantungnya stabil.
b) Serat
Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna
menurunkan waktu transit (transit time). Pada orang lanjut usia
disarankan agar mengkonsumsi serat skitar 6-10 gram per hari. Ada
juga yang menyarankan agar mengkonsumsi serat sebanyak 15-20 per
hari. Serat berasal dari biji-bijian, sereal, beras merah, buah, sayur,
kacang-kacangan. Serat akan memfasilitasi gerakan usus dengan
meningkatkan masa tinja dan mengurangi waktu transit usus. Serat
juga menyediakan substrat untuk bakteri kolon, dengan produksi gas
dan asam lemak rantai pendek yang meningkatkan gumpalan tinja.
Perlu diingat serat tidaklah efektif tanpa cairan yang cukup, dan
dikontraindikasikan pada pasien dengan impaksi tinja (skibala) atau
dilatasi kolon. Peningkatan jumlah serat dapat menyebabkan gejala
kembung, banyak gas, dan buang besar tidak teratur terutama pada 2-3
minggu pertama, yang seringkali menimbulkan ketidakpatuhan obat.
c) Bowel training
Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa
untuk buang air besar. Hal tersebut akan menyebabkan rektum lebih
mengembang karena adanya penumpukan feses. Membuat jadwal
untuk buang air besar merupakan langkah awal yang lebih baik untuk
dilakukan pada pasien tersebut, dan baik juga diterapkan pada pasien
usia lanjut yang mengalami gangguan kognitif. Pada pasien yang
sudah memiliki kebiasaan buang air besar pada waktu yang teratur,
dianjurkan meneruskan kebiasaan teresebut. Sedangkan pada pasien
yang tidak memiliki jadwal teratur untuk buang air besar, waktu yang
baik untuk buang air besar adalah setelah sarapan dan makan malam.
d) Latihan jasmani16
Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang
sederhana tetapi bermanfat bagi orang usia lanjut yang masih mampu
berjalan. Jalan kaki satu setengah jam setelah makan cukup membantu.
Bagi mereka yang tidak mampu bangun dari tampat tidur, dapat
didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan disekitar tempat tidur.
Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat bergerak,
meninggalkan tempat tidurnya menuju ke kursi beberapa kali dengan
interval 15 menit, adalah salah satu cara untuk mencegah ulkus
dekubitus. Tentu saja pasien yang mengalami tirah baring dapat
dibantu dengan menyediakan toilet atau komod dengan tempat tidur,
jangan diberi bed pan. Mengurut perut dengan hati-hati mungkin dapat
pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus.
e) Evaluasi penggunaan obat
Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu
dilakukan untuk mengeliminasi, mengurangi dosis, atau mengganti
obat yang diperkirakan menimbulkan konstipasi. Obat antidepresan,
obat Parkinson merupakan obat yang potensial menimbulkan
konstipasi. Obat yang mengandung zat besi juga cenderung
menimbulkan konstipasi, demikian obat anti hipertensi (antagonis
kalsium). Antikolinergik lain dan juga narkotik merupakan obat-obatan
yang sering pula menyebabkan konstipasi.

2. Tatalaksana farmakologik
a) Pencahar pembentuk tinja (pencahar bulk/bulk laxative)
Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di
pasaran. Sediaan yang ada merupakan bentuk serat alamiah non-wheat
seperti pysilium dan isophagula husk, dan senyawa sintetik seperti
metilselulosa. Bulking agent sistetik dan serat natural sama-sama
efektif dalam meningkatkan frekuensi dan volume tinja. Obat ini tidak
menyebabkan malabsorbsi zat besi atau kalsium pada orang usia
lanjut, tidak seperti
17 bran yang tidak diproses. Pencahar bulk terbukti
menurunkan konstipasi pada orang usia lanjut dan nyeri defekai pada
hemoroid. Sama halnya dengan serat, obat ini juga harus diimbangi
dengan asupan cairan.
b) Pelembut tinja
Docusate seringkali direkomendasikan dan digunakan oleh
orang lanjut usia sebagai pencahar dan sebagai pelembut tinja.
Docusate sodium bertindak sebagaisurfaktan, menurunkan tegangan
permukaan feses untuk membiarakan air masuk dam memperlunak
feses. Docusate sebenarnya tidak dapat menolong konstipasi yang
kronik, penggunaannya sebaiknya dibatasi pada situasi dimana
mangedan harus dicegah.
c) Pencahar stimulan
Senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia
lanjut. Senna meningkatkan peristaltik di kolon distal dan
menstimulasi peristaltik diikuti dengan evakuasi feses yang lunak.
Pemberian 20 mg senna per hari selama 6 bulan oleh pasien berusia
lebih dari 80 tahun tidak menyebabkan kehilangan protein atau
elektrolit. Senna umumnya menginduksi evakuasi tinja 8-12 jam
setelah pemberian. Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu
yang lebih lama yakni sampai dengan 10 minggu sebelum mencapai
kebiasaan defekasi yang teratur. Pemberian sebelum tidur malam
mengurangi risiko inkontininsia fekal malam hari dan dosis juga harus
ditritasi berdasarkan respon individu. Terapi dengan Bisakodil
supositoria memiliki absorbsi sistemik minimal dan sangat menolong
untuk mengatasi diskezia rectal pada usia lanjut. Sebaiknya diberikan
segera setelah makan pagi secara supositoria untuk mendapatka efek
refleks gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat menyebabkan
sensasi terbakar pada rectum, jadi sebaiknya digunakan secara rutin,
melainkan sekitar 3 kali seminggu.
d) Pencahar hiperosmolar
18
Pencahar hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan
sorbitol. Di dalam kolon keduanya di metabolisme oleh bakteri kolon
menjadi bentuk laktat, aetat, dan asam dengan melepaskan
karbondioksida. Asam organik dengan berat molekul rendah ini secara
osmotic meningkatkan cairan intraluminal dan menurunkan pH feses.
Laktulosa sebagai pencahar hiperosmolar terbukti memperpendek
waktu transit pada sejumlah kecil penghni panti rawat jompo yang
mengalami konstipasi. Laktulosa dan sorbitol juga sama-sama
menunjukkan efektifitasnya dalam mengobati konstipasi pada orang
usia lanjut yang berobat jalan. Sorbitol sebaiknya diberikan 20-30
selama empat kali sehari. Glikol polietelin merupakan pencahar
hiperosmolar yang potensial yang mengalirkan cairan ke lumen dan
merupakan zat pembersih usus yang efektif. Gliserin adalah pencahar
hiperomolar yang dugunakan hanya dalam bentuk supositoria.
e) Enema
Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi
kolon; hasil yang kurang baik biasanya karena pemberian yang tidak
memadai. Enema harus digunakan secara hati-hati pada usia lanjut.
Pasien usia lanjut yang mengalami tirah baring mungkin
membutuhkan enema secara berkala untuk mencegah skibala. Namun,
pemberian enema tertentu terlalu sering dapat mengakibatkan efek
samping. Enema yang berasal dari kran (tap water) merupakan tipe
paling aman untuk penggunaan rutin, karena tidak menghasilkan
iritasi mukosa kolon. Enema yang berasal dari air sabun (soap-suds)
sebaiknya tidak diberikan pada orang usia lanjut.

19
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KONSTIPASI

A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Biodata Pasien
b. Keluhan Utama
c. Riwayat Kesehatan
d. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan dibuat untuk mendapatkan informasi tentang
awitan dan durasi
20 konstipasi, pola emliminasi saat ini dan masa lalu,
serta harapan pasien tentang elininasi defekasi. Informasi gaya hidup
harus dikaji, termasuk latihan dan tingkat aktifitas, pekerjaan, asupan
nutrisi dan cairan, serta stress. Riwayat medis dan bedah masa lalu,
terapi obat-obatan saat ini, dan penggunaan laksatif serta enema adalah
penting. Pasien harus ditanya tentang adanya tekanan rektal atau rasa
penuh, nyeri abdomen, mengejan berlebihan saat defekasi, flatulens,
atau diare encer.
e. Riwayat / Keadaan Psikososial
f. Pemeriksaan Fisik
g. Pola Kebiasaan Sehari-hari
h. Analisa Data
Pengkajian objektif mencakup inspeksi feses terhadap warna,
bau, konsistensi, ukuran, bentuk, dan komponen. Abdomen diauskultasi
terhadap adanya bising usus dan karakternya. Distensi abdomen
diperhatikan. Area peritonial diinspeksi terhadap adanya hemoroid,
fisura, dan iritasi kulit.
2. Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
hilangnya nafsu makan.
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.
3. Intervensi
4. Implementasi
5. Evaluasi
B. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Konstipasi
Contoh kasus:
Seorang kakek bernama Tn. X yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri
pada perut bagian bawah. Kakek mengatakan bahwa sudah seminggu belum
BAB. Biasanya kakek bisa BAB tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak
pernah menghabiskan porsi makan sehari-harinya karena kurang nafsu makan.
Setelah dikaji inspeksi21terdapat pembesaran abdomen dan saat dipalpasi ada
impaksi feses.
1. Pengkajian
Nama : Tn. X
Tanggal lahir : 5 November 1945
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal MRS : 30 November 2010
Alamat : Surabaya
Diagnosa Medis : Konstipasi
Sumber Informasi : Klien, pemeriksaan fisik, kolonoskopi
Keluhan utama : nyeri pada perut, seminggu belum BAB
Riwayat penyakit sekarang :
Tn. X yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada perut bagian
bawah. Kakek mengatakan bahwa sudah seminggu belum BAB. Biasanya
kakek bisa BAB tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak pernah
menghabiskan porsi makan sehari-harinya. Selain itu, kakek mengaku
mudah lelah untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Riwayat kesehatan keluarga :-
Hasil pemeriksaan fisik umum :
a. keadaan umum : lemah
b. TTV : tekanan darah 130/95 mmHg, nadi : 90x/mnt,
RR 23x/mnt
Pemeriksaan fisik abdomen
a. Inspeksi : pembesaran abdomen
b. Palpasi : perut terasa keras, ada impaksi feses
c. Perkusi : redup
d. Auskultasi : bising usus tidak terdengar
Analisa Data

No Data Etiologi Masalah

22
1. Data subjektif : Pola BAB tidak Konstipasi
Seminggu tidak teratur
BAB, kebiasaan
BAB tiga kali
sehari
Data objektif :
Inspeksi :
pembesaran
abdomen.
Palpasi : perut
terasa keras, ada
impaksi feses.
Perkusi : redup.
Auskultasi : bising
usus tidak
terdengar
2. Data subjektif: Nafsu Nutrisi kurang dari
Klien tidak nafsu makan menurun kebutuhan
makan

Data objektif:
Bising usus tidak
terdengar
3. Data subjektif: konsistensi tinja Nyeri Akut
Keluhan nyeri dari yang keras sulit
pasien keluar

Data objektif:
Perubahan nafsu
makan

2. Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya
nafsu makan. 23
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.
3. Intervensi
Problem NOC NIC
1. Konstipasi Pasien dapat defekasi dengan teratur 1. Tentukan pola
berhubungan (setiap hari) defekasi bagi klien
dengan polaSetelah dilakukan tindakan dan latih klien untuk
defekasi keperawatan selama 3 x 24 jam menjalankannya.
tidak teratur diharapkan nutrisi pasien terpenuhi 2. Atur waktu yang
dengan kiteria hasil : tepat untuk defekasi
Indikator Awal Akhir klien seperti sesudah
1. Defekasi makan
dapat 3. Berikan cakupan
dilakukan 1 5 nutrisi berserat
satu kali sesuai dengan
sehari indikasi
2. Konsistensi 4. Berikan cairan jika
feses 2 5 tidak kontraindikasi
lembut 2-3 liter per hari
3. Eliminasi 5. Pemberian laksatif
feses tanpa atau enema sesuai
perlu 2 5 indikasi
mengejan
berlebihan
2. Perubahan Menunjukkan status gizi baik 1. Mandiri:
nutrisi Setelah dilakukan tindakan 1. Buat perencanaan
kurang darikeperawatan selama 3 x 24 jam makan dengan pasien
kebutuhan diharapkan nutrisi pasien terpenuhi untuk dimasukkan ke
berhubungan dengan kiteria hasil : dalam jadwal makan.
dengan 2. Dukung anggota
hilangnya Indikator Awal Akhir keluarga untuk
nafsu makan 1. Toleransi membawa makanan
terhadap kesukaan pasien dari
2 5
diet yang rumah.
dibutuhkan 3. Tawarkan makanan
2. Mempertaha porsi besar disiang hari
nkan massa ketika nafsu makan
tubuh dan tinggi
2 5
berat24 badan 4. Pastikan diet memenuhi
dalam batas kebutuhan tubuh sesuai
normal indikasi.
3. Nilai 5. Pastikan pola diet yang
laboratorium pasien yang disukai atau
3 5
dalam batas tidak disukai.
normal 6. Pantau masukan dan
4. Melaporkan pengeluaran dan berat
keadekuatan badan secara periodik.
3 5
tingkat 7. Kaji turgor kulit pasien
energi 8. Pantau nilai
laboratorium, seperti
Hb, albumin, dan kadar
glukosa darah
9. Ajarkan metode untuk
perencanaan makan
10. Ajarkan pasien dan
keluarga tentang
makanan yang bergizi
dan tidak mahal

3. Nyeri akutMenunjukkan nyeri telah berkurang 1. Bantu pasien untuk


berhubungan Setelah dilakukan tindakan lebih berfokus pada
dengan keperawatan selama 3 x 24 jam aktivitas dari nyeri
akumulasi diharapkan Nyeri pasien terpenuhi dengan melakukan
feses kerasdengan kiteria hasil : penggalihan melalui
pada televisi atau radio.
abdomen Indikator Awal Akhir 2. Perhatikan bahwa
1. Menunjukkan lansia mengalami
teknik relaksasi peningkatan
secara individual sensitifitas terhadap
3 5
yang efektif untuk efek analgesik opiate
mencapai 3. Perhatikan
kenyamanan kemungkinan interaksi
2. Mempertahankan obat – obat dan obat
tingkat nyeri pada 3 5 penyakit pada lansia
skala kecil 4. Minta pasien untuk
3. Melaporkan menilai nyeri atau
kesehatan
25 fisik 3 5 ketidak nyaman pada
dan psikologisi skala 0 – 10
4. Mengenali faktor 3 5 5. Gunakan lembar alur
penyebab dan nyeri
menggunakan 6. Lakukan pengkajian
tindakan untuk nyeri yang
mencegah nyeri komperhensif
5. Menggunakan 7. Health education
tindakan 8. Instruksikan pasien
mengurangi nyeri untuk
3 5
dengan analgesik 9. menginformasikan
dan non-analgesik pada perawat jika
secara tepat pengurang nyeri
kurang tercapai
10. Berikan informasi
tetang nyeri

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air
besar) dari kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang,
jumlah feses kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi bisa terjadi
26 saat bepergian, misalnya karena jijik dengan WC-
di mana saja, dapat terjadi
nya, bingung caranya buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan
kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa karena faktor sistemik,
efek samping obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa
juga karena faktor kelainan organ di kolon seperti obstruksi organik atau
fungsi otot kolon yang tidak normal atau kelainan pada rektum, anak dan
dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik. Mencegah
konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya adalah
mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah
pada buah dan sayur.

B. Saran
Saran dari kami tim penulis adalah sebaiknya bagi penderita kuncinya
adalah dengan mengonsumsi makanan yang berserat.

DAFTAR PUSTAKA
Stanley dan Beare, 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith.M, 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan (Edisi 7).
Jakarta :EGC
Potter & Perry, 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses &
Praktek. Edisi 4. Vol 1. Jakarta
27 : EGC
Darmojo dan Martono, 2006. Geriatri. Jakarta : Yudistira.
Zulkarnaen, 2011. Asuhan keperawatan konstipasi pada lansia. Diunduh dari
:http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id. diakses pada tanggal 3 november
2015 jam18.30

28

Anda mungkin juga menyukai