BAB I
PENDAHULUAN
Konstipasi atau hemoroid adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari
kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses
kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi juga dapat diartikan sebagai
keadaan dimana membengkaknya jaringan dinding dubur (anus) yang
mengandung pembuluh darah balik (vena),sehingga saluran cerna seseorang yang
mengalami pengerasan feses dan kesulitan untuk melakukan buang air besar.
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut; terjadi
peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30 – 40 % orang di atas usia 65 tahun
mengeluh konstipasi . Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas usia 60 tahun
merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar . Di Australia
sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh menderita konstipasi dan lebih
banyak pada wanita dibanding pria. Menurut National Health Interview Survey
pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita
konstipasi terutama anak- anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas.
1.3. Tujuan
Tujuan
Umum :
Tujuan Khusus :
1.4. Manfaat
2.1 Epidemiologi
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Terjadi
peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30-40 % orang di atas 65 tahun
mengeluhkan konstipasi (Holson, 2002). Di Inggris ditemukan 30% penduduk di
atas usia 65 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat
pencahar (Cheskin, dkk 1990). Di Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun
mengeluh mendrita konstipasi dan lebih banyak pada wanita dibanding pria
(Robert-Thomson, 1989). Suatu penelitian yang melibatkan 3000 orang usia
lanjut usia di atas 65 tahun menunjukkan sekitar 34% wanita dan 26% pria
meneluh menderita konstipasi (Harari, 1989).
2.2 Etiologi
2.3 Patofisiologi
Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke
rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula rektum yang
diikuti relaksasi sfingter anus interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses
yang spontan, terjadi refleks kontraksi refleks anus eksterna dan kontraksi otot
dasar pelvis yang dilayani oleh syaraf pudendus. Otak menerima rangsang
keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi,
dan rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut.
Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot
elevator ani.baik persyarafan simpatis dan para simpatis terlibat dalam proses ini.
2.5 Penatalaksanaan
a) Cairan
Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi. Kecuali ada
kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk minum sekurang
kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari) untuk mencegah dehidrasi.
Asupan cairan dapat dicapai bila tersedia cairan/minuman yang dibutuhkan di
dekat pasien, demikian pula cairan yang berasal dari sup,sirup, dan es. Asupan
cairan perlu lebih banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi
kondisi jantungnya stabil.
b) Serat
Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan waktu transit
(transit time). Pada orang lanjut usia disarankan agar mengkonsumsi serat skitar
6-10 gram per hari. Ada juga yang menyarankan agar mengkonsumsi serat
sebanyak 15-20 per hari. Serat berasal dari biji-bijian, sereal, beras merah, buah,
sayur, kacang- kacangan. Serat akan memfasilitasi gerakan usus dengan
meningkatkan masa tinja dan mengurangi waktu transit usus. Serat juga
menyediakan substrat untuk bakteri kolon, dengan produksi gas dan asam lemak
rantai pendek yang meningkatkan gumpalan tinja. Perlu diingat serat tidaklah
efektif tanpa cairan yang cukup, dan dikontraindikasikan pada pasien dengan
impaksi tinja (skibala) atau dilatasi kolon.
Peningkatan jumlah serat dapat menyebabkan gejala kembung, banyak gas,
dan buang besar tidak teratur terutama pada 2-3 minggu pertama, yang
seringkali menimbulkan ketidakpatuhan obat.
c) Bowel training
Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa untuk buang air
besar. Hal tersebut akan menyebabkan rektum lebih mengembang karena adanya
penumpukan feses. Membuat jadwal untuk buang air besar merupakan langkah
awal yang lebih baik untuk dilakukan pada pasien tersebut, dan baik juga
diterapkan pada pasien usia lanjut yang mengalami gangguan kognitif. Pada
pasien yang sudah memiliki kebiasaan buang air besar pada waktu yang teratur,
dianjurkan meneruskan kebiasaan teresebut. Sedangkan pada pasien yang tidak
memiliki jadwal teratur untuk buang air besar, waktu yang baik untuk buang air
besar adalah setelah sarapan dan makan malam.
d) Latihan jasmani
Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang sederhana tetapi
bermanfat bagi orang usia lanjut yang masih mampu berjalan. Jalan kaki satu
setengah jam setelah makan cukup membantu. Bagi mereka yang tidak mampu
bangun dari tampat tidur, dapat didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan
disekitar tempat tidur.
Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat bergerak, meninggalkan
tempat tidurnya menuju ke kursi beberapa kali dengan interval 15 menit, adalah
salah satu cara untuk mencegah ulkus dekubitus. Tentu saja pasien yang
mengalami tirah baring dapat dibantu dengan menyediakan toilet atau komod
dengan tempat tidur, jangan diberi bed pan. Mengurut perut dengan hati-hati
mungkin dapat pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus.
Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di pasaran. Sediaan yang
ada merupakan bentuk serat alamiah non-wheat seperti pysilium dan isophagula
husk, dan senyawa sintetik seperti metilselulosa. Bulking agent sistetik dan serat
natural sama-sama efektif dalam meningkatkan frekuensi dan volume tinja. Obat
ini tidak menyebabkan malabsorbsi zat besi atau kalsium pada orang usia lanjut,
tidak seperti bran yang tidak diproses. Pencahar bulk terbukti menurunkan
konstipasi pada orang usia lanjut dan nyeri defekai pada hemoroid. Sama halnya
dengan serat, obat ini juga harus diimbangi dengan asupan cairan.
b) Pelembut tinja
c) Pencahar stimulan
Senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia lanjut. Senna
meningkatkan peristaltik di kolon distal dan menstimulasi peristaltik diikuti
dengan evakuasi feses yang lunak. Pemberian 20 mg senna per hari selama 6
bulan oleh pasien berusia lebih dari 80 tahun tidak menyebabkan kehilangan
protein atau elektrolit. Senna umumnya menginduksi evakuasi tinja 8-12 jam
setelah pemberian. Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih
lama yakni sampai dengan 10 minggu sebelum mencapai kebiasaan defekasi yang
teratur. Pemberian sebelum tidur malam mengurangi risiko inkontininsia fekal
malam hari dan dosis juga harus ditritasi berdasarkan respon individu. Terapi
dengan Bisakodil supositoria memiliki absorbsi sistemik minimal dan sangat
menolong untuk mengatasi diskezia rectal pada usia lanjut. Sebaiknya diberikan
segera setelah makan pagi secara supositoria untuk mendapatka efek refleks
gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat menyebabkan sensasi terbakar
pada rectum, jadi sebaiknya digunakan secara rutin, melainkan sekitar 3 kali
seminggu.
d) Pencahar hiperosmolar
e) Enema
Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi kolon; hasil yang
kurang baik biasanya karena pemberian yang tidak memadai. Enema harus
digunakan secara hati-hati pada usia lanjut. Pasien usia lanjut yang mengalami
tirah baring mungkin membutuhkan enema secara berkala untuk mencegah
skibala. Namun, pemberian enema tertentu terlalu sering dapat mengakibatkan
efek samping. Enema yang berasal dari kran (tap water) merupakan tipe paling
aman untuk penggunaan rutin, karena tidak menghasilkan iritasi mukosa kolon.
Enema yang berasal dari air sabun (soap-suds) sebaiknya tidak diberikan pada
orang usia lanjut.
3.1 KASUS
BAB III
TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN
Tn. A berusia 65 tahun datang ke poli umum dengan keluhan tidak bisa buang air
besar selama seminggu.Setelah 1 minggu Tn.A bisa BAB dan mengalami nyeri
saat defekasi. Tn. A merasakan nyeri dan penuh perjuangan dalam mengejan.
Saat dikaji, klien mengatakan bentuk fesesnya keras dalam minggu ini sampai
sekarang. Dari hasil pemeriksaan didapatkan :
TD : 150 / 90
mmHg HR :
106x/menit
RR :
22x/menit
TB : 158
cm
3.2 PENGKAJIAN
1. I. BIODATA
Penanggung Jawab
Nama : Tn. P
Tn. A mengatakan bahwa sakitnya sudah 1 minggu terakhir ini dan Tn. A
juga merasakan perutnya terasa penuh. Klien juga mengatakan bahwa susah
buang air besar dan sering buang angin selama 1 minggu terakhir ini.
Baik, klien mau bergaul dengan sesama warga panti terutama dengan anggota
satu wisma.
1. Kegemaran
1. Daya adaptasi
Klien dapat beradaptasi dengan warga di panti walaupun klien kurang bisa
mengikuti kegiatan yang ada di panti seperti pengajian, gotong royong dan senam
pagi karena keterbatasan karena penyakitnya.
f) Bone : normal
1. Pola Eliminasi
Diit type : Jenis makanan yaitu makanan biasa dan jumlah makanan per
hari 3 piring dalam per hari. Jarang makan sayur. Kurang suka makanan
berserat. Minum 5 gelas sehari
Kehilangan selera makan : perut terasa penuh
1. Tanda Objektif
1. Pola Kegiatan/Aktivitas
BAB 1x/minggu
Feses keras
Bising usus Gangguan
Teraba Skibala koordinasi reflek defekasi
Penumpukan feses
Konstipasi
Data Subjektif: Penatalaksanaan penyakit Kurang pengetahuan
Klien mengatakan
permintaan informasi serta
Ketidakakuratan mengikuti
menyatakan bahwa klien
instruksi
kurang mengerti manfaat
makanan berserat
Permintaan informasi
Data Objektif:
Ketidak-akuratan mengikuti
pola diet yang sehat
Kurang pengetahuan
IV
PENU
TUP
KESIMPULAN
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya
kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan
kadang- kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar.
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Terjadi
peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30-40 % orang di atas 65 tahun
mengeluhkan konstipasi. Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari
penumpulan sensasi saraf, tidak sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan
dalam menanggapi sinyal untuk defekaasi. Konstipasi merupakan masalah umum
yang disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas, penurunan kekuatan
dan tonus otot.
SARAN
Carpenito, Juall Lynda. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10.
Jakarta: EGC
Noedhi, Darmojo. 2009. Geriatri (Ilmu Kesehatan Lanjut Usia). Jakarta: Balai
penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC
- Faktor genetik ;
1. Penuaan diri.
2. Resiko penyakit.
3. Intelegensia.
4. Pharmakogenetik.
5. Warna kulit.
6. Tipe atau kepribadian seseorang.
- Faktor endogenik ;
1. Perubahan struktural dan penurunan
fungsional. 2.Kemampuan/skill.
3. Daya adaptasi.
4. Kapasitas kulit untuk mensintesis vitamin D.
- Faktor lingkungan ;
1. Diet/asupan zat gizi.
2. Merokok.
3. Tingkat polusi.
4. Pendidikan.
5. Obat.
6. Penyinaran sinar ultraviolet.
- Sistem pencernaan
1. Gigi.
2. Penurunan sensitifitas indera penciuman dan perasa.
3. Penurunan produksi asam lambung dan enzim pencernaan.
4. Penurunan absorbsi.
5. Penurunan motilitas usus.
6. Obat-obatan.
7. Perubahan fungsi hati.
- Sistem jantung
Efesiensi kerja jantung dalam memompa darah menjadi berkurang.
- Sistem pernafasan
Penurunan fungsi paru.
- Sistem ekskresi
Penurunan fungsi ginjal.
- Masa tulang
Berkurangnya massa tulang.
b. Perubahan mental
Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan mental ;
- Tipe kepribadian.
- Faktor sosial.
- Faktor budaya.
- Masalah pengunyahan.
Tips untuk mengatasi masalah pengunyahan pada lansia ;
1. Makanan yang disajikan harus lembut, agak berair.
2. Makanan dipotong menjadi bagian yang kecil.
3. Sertakan minuman atau cairan didalam makanan.
4. Konsultasi dengan ahli diet atau dokter, jika mengalami
kesulitan pengunyahan yang cukup serius.
b. Gizi lansia.
Kondisi gizi yang baik pada lansia ditentukan oleh hal berikut ;
1. Kesehatan sel-sel tubuh.
2. Penerapan pedoman diet lansia untuk memenuhi kecukupan gizi.
3. Pengawasan penggunaan obat pada lansia sehingga tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap penyerapan zat gizi yang
akan membahayakan kesehatan tubuh.
Perlu diperhatikan ;
1. Naikan beban perlahan.
2. Hindari cidera.
3. Lakukan 3 kali/minggu atau 2 kali/minggu.
- Bagi penderita hypertensi, jantung atau masalah peredaran
darah sebaiknya tubuh menggunakan beban waktu jalan.
- Mereka yang memiliki masalah pada leher, punggung dan lengan
jangan menggunakan beban.
- Lakukan pengulangan (rutin) sehingga lama beban itu terasa
semakin ringan.
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian mengenai Diabetes Melitus
oleh beberapa orang ahli, diantaranya :
a. Diabetes melitus adalah penyakit kronis metabolisme abnormal yang memerlukan
pengobatan seumur hidup dengan diet, latihan, dan obat-obatan (Carpenito,
1999 : 143).
b. Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronik yang kompleks yang
melibatkan (1) kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dan (2)
berkembangnya komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan neurologis
(Long, 1996 : 4)
c. Diabetes melitus adalah gangguan kronis yang ditandai dengan metabolisme
karbohidrat dan lemak yang diakibatkan oleh kekurangan insulin atau secara
relatif kekurangan insulin (Tucker et all, 1992 : 401).
d. Dibetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis
termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat
(Price dan Wilson, 1992 : 1111).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan
bahwa diabetes melitus adalah penyakit kronis yang ditandai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang disebabkan oleh defisiensi
insulin relatif atau absolut.
2. Anatomi dan Fisiologi
a. Anatomi Pankreas
Menurut Price dan Wilson (1992 : 430-431) pankreas merupakan organ yang
panjang dan ramping. Panjangnya sekitar 6 inci dan lebarnya 1,5 inci. Pankreas
terletak retroperitoneal dan dibagi dalam 3 segmen utama : kaput, korpus dan
kauda. Kaput terletak pada bagian cekung duodenum dan kauda menyentuh
limpa.
Pankreas dibentuk dari 2 sel dasar yang mempunyai fungsi sangat berbeda. Sel-
sel eksokrin yang berkelompok-kelompok disebut asini menghasilkan unsur-
unsur getah pankreas. Sel-sel endokrin atau pulau Langerhans menghasilkan
sekret endokrin, insulin dan glukagon yang penting untuk metabolisme
karbohidrat.
Pankreas merupakan kelenjar kompleks alveolar. Secara keseluruhan pankreas
menyerupai setangkai anggur, cabang-cabangnya merupakan saluran yang
bermuara pada duktus pankreatikus utama (duktus Wirsungi). Saluran-saluran
kecil dari tiap asinus mengosongkan isinya ke saluran utama. Saluran utama
berjalan di sepanjang kelenjar, sering bersatu dengan duktus koledokus pada
ampula Vater sebelum masuk ke duodenum. Saluran tambahan, duktus Santorini,
sering ditemukan berjalan dari kaput Pankreas masuk ke duodenum, sekitar 1
inci di atas papila duodeni.
b. Konsep Fisiologis Pankreas
Menurut Corwin (1996 : 538 – 541), konsep fisiologis pankreas dibagi 2 yaitu :
1. Fungsi Eksokrin Pankreas
a) Sekresi Enzim Pankreas
Sekresi enzim-enzim pankreas terutama berlangsung akibat perangsangan
pankreas oleh kolesistokinin (CCK), suatu hormon yang dikeluarkan oleh usus
halus.
b) Sekresi Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat dikeluarkan dari sel-sel asinus ke usus halus, sebagai
respon terhadap hormon usus halus untuk menetralkan kimus yang asam
karena enzim- enzim pencernaan tidak dapat berfungsi dalam lingkungan
asam.
2. Fungsi Endokrin Pankreas
Fungsi endokrin pankreas adalah memproduksi dan melepaskan hormon insulin,
glukagon dan somatostatin yaitu oleh pulau Langerhans.
a) Sekresi insulin
Insulin merupakan suatu hormon yang menurunkan glukosa darah (Price dan
Wison, 1996 : 1109) dilepaskan pada suatu tingkat/kadar basal oleh sel-sel beta )
pulau Langerhans. Rangsangan utama untuk pelepasan insulin di atas ( kadar
basal adalah peningkatan kadar glukosa darah , hal ini merangsang sekresi insulin
dari pankreas dengan cepat meningkat dan kembali ke tingkat basal dalam 2-3
jam. Insulin adalah hormon utama pada stadium absorptif pencernaan yang
muncul segera setelah makan. Di antara waktu makan, kadar insulin rendah.
Insulin bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor insulin yang terdapat di
sebagian besar sel tubuh untuk menyebabkan peningkatan transportasi glukosa
(yang diperantarai oleh pembawa) ke dalam sel. Setelah berada di dalam sel,
glukosa dapat segera dipergunakan untuk menghasilkan energi melalui siklus
Krebs, atau dapat disimpan di dalam sel sebagai glikogen, sewaktu glukosa
dibawa masuk ke dalam sel, kadar glukosa darah menurun. Insulin adalah hormon
anabolik (pembangun) utama pada tubuh dan memiliki berbagai efek. Insulin
meningkatkan transportasi asam amino ke dalam sel, merangsang pembentukan
protein serta menghambat penguraian simpanan lemak, protein dan glikogen.
Insulin juga menghambat glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru) oleh hati .
b) Sekresi glukagon
Glukagon ) adalah suatu hormon protein yang dikeluarkan oleh sel-sel alpha
( pulau Langerhans sebagai respon terhadap kadar glukosa darah yang rendah dan
peningkatan asam amino plasma. Glukagon adalah hormon stadium
pascaabsorptif pencernaan, yang muncul dalam masa puasa di antara waktu
makan. Fungsi hormon ini terutama adalah katabolik (penguraian). Glukagon
merangsang penguraian lemak dan pelepasan asam-asam lemak bebas ke dalam
darah, untuk digunakan sebagai sumber energi selain glukosa.
c) Sekresi Somatostatin
Somatostatin ) pulau Langerhans. Hormon ini disekresikan oleh sel-sel
delta ( mengotrol metabolisme dengan menghambat sekresi insulin dan
glukagon.
3. Patofisiologi
a. Diabetes Melitus Tipe I ( Diabetes Melitus Dependent Insulin/DMDI )
Diabetes melitus tipe I adalah penyakit hiperglikemi akibat ketiadaan absolut
insulin, biasanya dijumpai pada orang yang tidak gemuk dan berusia kurang dari
30 tahun . Diabetes tipe I diperkirakan timbul akibat destruksi otoimun sel-sel
beta pulau Langerhans yang dicetuskan oleh lingkungan. Individu yang peka
secara genetik tampaknya memberikan respon dengan memproduksi antibodi
terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin
yang dirangsang oleh glukosa. Juga terdapat bukti adanya peningkatan antibodi-
antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans yang ditujukan terhadap komponen
antigenik tertentu dari sel-sel beta. Mungkin juga bahwa para individu yang
mengidap diabetes tipe I memiliki kesamaan antigen antara sel-sel beta pankreas
mereka dengan virus atau obat tertentu, sehingga sistem imun gagal mengenali
bahwa sel-sel pankreas adalah “diri” atau self
(Gambar 2.3) (Corwin, 1996 : 543 )
b. Diabetes Melitus Tipe II (Diabetes Melitus Non Dependent
Insulin/DMNDI) DM tipe II tampaknya berkaitan dengan kegemukkan. Selain
itu, pengaruh genetik yang menentukan kemungkinan seseorang mengidap
penyakit ini, cukup kuat.
Mungkin pula bahwa individu yang menderita diabetes tipe II menghasilkan
antibodi insulin yang berikatan dengan reseptor insulin, menghambat akses insulin
ke reseptor, tetapi tidak merangsang aktivitas pembawa.
Individu yang mengidap diabetes tipe II tetap menghasilkan insulin. Namun
sering terjadi kelambatan dalam ekskresi setelah makan dan berkurangnya jumlah
insulin yang dikeluarkan. Hal ini cenderung semakin parah seiring dengan
pertambahan usia pasien. Sel-sel tubuh, terutama sel otot dan adiposa,
memperlihatkan resistensi terhadap insulin yang terdapat dalam darah.Pembawa
glukosa tidak secara adekuat dirangsang dan kadar glukosa darah meningkat. Hati
kemudian melakukan glukoneogenesis, serta terjadi penguraian simpanan
trigliserida, protein, dan glikogen untuk menghasilkan sumber bahan bakar
alternatif. Hanya sel-sel otak dan sel darah merah yang terus menggunakan
glukosa sebagai sumber energi efektif. Karena masih terdapat insulin, maka
individu dengan diabetes tipe II jarang hanya mengandalkan asam-asam lemak
untuk menghasilkan energi dan tidak rentan terhadap ketosis.
c. Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak
mengidap diabetes. Sekitar 50 % wanita pengidap kelainan ini akan kembali
ke stastu nondiabetes setelah kehamilan berakhir. Penyebab diabetes
gestasional dianggap berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energi dan
kadar estrogen dan hormon pertumbuhan yang teru-menerus tinggi selama
kehamilan.
4. Gambaran Klinis Diabetes Melitus
Menurut Corwin (1996 : 546 – 547), terdapat 5 buah gambaran klinis dari DM, yaitu :
a. Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang
kronik, katabolik protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel-sel. Sering
terjadi penurunan berat badan.
b. Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat besar
dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel
mengikuti dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran
ADH dan menimbulkan rasa haus.
c. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin), pada orang nondiabetes, semua
glukosa yang difiltrasi ke dalam urin akan diserap secara aktif kembali ke dalam
darah. Pengangkut-pengangkut glukosa di ginjal yang membawa glukosa keluar
urin untuk masuk kembali ke darah akan mengalami kejenuhan dan tidak dapat
mengangkut glukosa lebih banyak. Karena glukosa di dalam urin memiliki
aktivitas osmotik, maka air akan tertahan di dalam filtrat dan diekskresikan
bersama glukosa dalam urin sehingga terjadi poliuria.
d. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di dalam otot
dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa
sebagai energi.
e. Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa di sekresi
mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah pada penderita
diabetes
kronik.