GANGGUANSISTEMPENCERNAAN
INKONTINENSIAFEKAL
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami bagaimana membuat asuhan keperawatan Inkontinensia fekal
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi dari penyakit inkontinensia fekal?
2. Mengetahui etiologi dari penyakit inkontinensia fekal?
3. Mengetahui patofisiologi dari penyakit inkontinensia fekal?
4. Mengetahui klasifikasi dari penyakit inkontinensia fekal?
5. Mengetahui gambaran Klinis dari penyakit inkontinensia fekal?
6. Mengetahui factor yang mempengaruhi proses defekasi?
7. Mengetahui manifestasi klinis dari penyakit inkontinensia fekal?
8. Mengetahui pemeriksaan fisik dari penyakit inkontinensia fekal?
9. Mengetahui pemeriksaan diagnostic dari penyakit inkontinensia fekal?
10. Mengetahui penatalaksanaan dari penyakit inkontinensia fekal?
11. Mengetahui WOC dari penyakit inkontinensia fekal?
12. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan inkontinensia fekal?
1.4 Manfaat
1. Memperoleh pengetahuan tentang konsep dari penyakit inkontinensia fekal.
2. Memperoleh pengetahuan dan dapat melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan
penyakit inkontinensia fekal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Sistem digestive merupakan organ gastrointestinal yang terdiri dari mulut, faring, esofagus,
lambung, usus halus, usus besar.
1. Mulut merupakan suatu membran mukosa yang terdiri dari pipi (berfungsi sebagai otot
pengunyah), lidah, dan kelenjar saliva (yang berfungsi memudahkan makaan untuk dikunyah
gigi).
2. Faring merupakan tuba fibromuskular yang melekat pada dasar tulang tengkorak, berfungsi
membawa makanan melewati orofaring dan laring menuju esofagus.
3. Esofagus adalah tube muskular yang bertujuan membawa makanan ke lambung.
4. Lambung bertindak sebagai gerobak makanan dalam kantung dan mlepaskan makanan
tersebut secara bertahap ke dalam usus
5. Usus halus adalah bagian saluran pencernaan diantara lambung dan usus besar, yang
bertujuan mensekresi cairan usus, menerima cairan empedu dan pankreas, mencerna
makanan, serta mengabsorbsi air, garam dan vitamin.
6. Usus besar berfungsi mengabsorbsi air, natrium dan klorida serta mensekresi kalium.
Organ tambahan yang terdapat dalam sistem digestive namun keluar dari sistem
gastrointestinal adalah pankreas. Sistem tubuh yang berperan dalam eliminasi fekal (buang
air besar) adalah gastrointestinal bawah yang meliputi usus halus dan usus bear. Usus halus
terdiri atas duodenum,jejunum dan ileum dengan panjang kurang lebih 6 meter dan diameter
2,5cm serta berfungsi sebagai rearbsorsi elektrolit Na, Cl, K, Mg, HCO, dan kalsium.usus
besar dimulai dari rektum, kolon hingga anus yang memiliki panjang kurang lebih1,5 meter,
50-60 inci denan diameter 6 cm. Batasan antara usus besar dan usus halus adalah katup
ileocaecal. Katup ini biasanya nmencegan zat yang masuk ke usus besar sebelum waktunya
dan mencegah produk buangan untuk kembali ke usus halu.produk buangan yang memasuki
usus besar adalah berupa cairan.setiap hari salutan anus menyarap sekitar 800-1000 ml
cairan. Penyerapan inilah yang mempengaruhi fesef berbentuk dan berwujud setengah padat.
Jika penyerapan tidak baik, produk buangan cepatmelalui usus besar feses akan lunak dan
bercair, Jika feses terlalu lama dalam usus besa, maka akan terlalu banyak air yang diserap
sehingga feses menjadi kering dan keras. Kolon sigmoid mengandung feses yang sudah siap
untuk dibuang dan diteruskan kedalam rektum. Panjang rektum adalah 12cm (5 inci) , 25cm
(1 inci) merupakan saluran anus. Gerakan peristaltik yang kuat dapat mendorong feses
kedepan. Gerakan ini terjadi 1-4 kali dalam 24 jam dan terjadi sesudah makan. Makanan yang
diterima oleh usus dari lambung dalam bentuk setengah padat atau dikenal dengan nama
chyme, baik berupa air, nutrien, maupun elektrolit kemudian akan diabsorbsi.usus akan
mensekresi mukus, kalium, karbonat, dan enzim. Secara umum kolon berfungsi sebagai
tempat rearbsorbsi, proteksi, sekresi, dan eliminasi. Proses perjalanan makanan dari mulut
hingga rektum membutuhkan waktu selama 12 jam. Otot lingkar (sfingter) bagian dalam dan
luar saluran anus menguasai pembyangan feses dan gas dari anus. Rangsangan motorik
disalurkan oleh sistem simpatis dan rangsangan penghalang oleh sistem parasimpatis, bagian
dari sisten saraf otonom ini memiliki sistem kerja yang belawanan dalam keseimbangan
yang dinamis. Sfingter luar anus merupakan otot bergaris yang berada dibawah penguasaan
parasimpatis,baik diwaktu sakit maupun sehat.
Defekasi adalah proses pengosongan usus yang sering disebut dengan buang air
besa.terdapat dua pusat yang menguasai refleks untuk defekasi, yaitu terletak di medula dan
sumsum tulang belakang. Bila terjadi rangsangan paraimpatis, sfingter asun bagian dalam
akan mengendur dan usus besar akan menguncup. Refleks defekasi dirangsang untuk buang
air besar kemudian sfingter anus bagian luar diawasi oleh sistem saraf parasimpatis
mengendur dan menguncup saat defekasi. Feses terdiri atas sisa makanan seperti selulosa
yang tidak direncanakan dan zat makanan lain yang seluruhnya tidak dipakai oleh tubuh,
berbagai macam mikroorganisme, sekresi kelenjar usus, pigmen empedu dan cairan tubuh.
Secara umum terdapat dua macam refleks dalam membantu proses defekasi yaitu rileks
defekasi intrinsik yang dimulai dengan adanya zat sisa makanan (rektum) dalam rektum
sehungga terjadi distensi. Kemudian flexus mesenterikus merangsang gerakan peristaltik dan
akhirnya feses sampai dianus.
Inkotinensia fekal adalah Perubahan kebiasaan defekasi dari pola normal dengan
karakteristik pengeluaran feses secara involunter. (Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy
R). Inkotinensia fekal adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan dan mengeluarkan
tinja pada waktu dan tempat yang tepat. Inkontinensia dapat diklasifikasikan
menjadi soil (kehilangan mukus), insufisiensi (tidak ada kontrol gas dan diare), dan
inkontinensia (tidak ada kontrol untuk membentuk feses padat). Klasifikasi lain membagi
inkontinensia menjadi inkontinensia minor dan inkontinensia mayor. Inkontinensia
mayoradalah keadaan tidak dapat mengontrol membentuk konsistensi tinja yang normal.
Sedangkan inkontinensia minor adalah soilling sebagian atau keadaan dimana sewaktu-
waktu dapat mengeluarkan tinja secara normal dan tepat atau dapat diartikan sebagai bentuk
tinja yang encer/cair.
Inkontinensia fekal merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius pada
pasien geriatri. Angka kejadian inkontinensia fekal ini lebih sedikit dibandingkan pada
kejadian inkontinensia urin. Namun demikian, data di luar negeri menyebutkan bahwa 30-
50% pasien geriatri yang mengalami inkontinensia urin juga mengalami inkontinensia alvi.
Inkontinensia fekal merupakan hal yang sangat mengganggu bagi penderitannya, sehingga
harus diupayakan mencari penyebabnya dan penatalaksanaannya dengan baik. Seiring dengan
meningkatnya angka kejadian inkontinensia urin, maka tidak menutup kemungkinan akan
terjadi pula peningkatan angka kejadian inkontinensia fekal. Untuk itu diperlukan
penanganan yang sesuai baik untuk inkontinensia urin maupun inkontinensia fekal, agar tidak
menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien. Berikut ini akan dibahas mengenai inkontinensia fekal dan penanganannya.
2.2 Etiologi
Penyebab utama timbulnya inkotinensia fekal adalah masalah sembelit, penggunaan
pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti demensia dan stroke, serta gangguan
kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan kerusakan sfingter rektum. Konstipasi atau
sembelit merupakan kejadian yang paling sering timbul pada pasien geriatri dan bila menjadi
kronik akan menyebabkan timbulnya inkontinensia fekal. Skibala akan mengiritasi rektum
dan menghasilkan mukus dan cairan. Cairan ini akan membanjiri tinja yang mengeras dan
mempercepat terjadinya inkontinensia. Konstipasi sulit untuk didefinisikan dan secara teknik
biasanya diindentikkan dengan buang air besar sebanyak tiga kali dalam seminggu.
Penyebab inkontinensia fekal dapat dibagi menjadi 4 kelompok (Brocklehurst dkk,
1987; Kane dkk, 1989) :
1. Inkontinensia fekal akibat konstipasi.
2. Inkontinensia fekal simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus besar.
3. Inkontinensia fekal akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi (inkontinensia
neurogenik).
4. Inkontinensia fekal karena hilangnya refleks anal.
2.3 Patofisiologi
Fungsi traktus gastrointestinal biasanya masih tetap adekuat sepanjang hidup. Namun
demikian beberapa orang mengalami ketidaknyamanan akibat motilitas yang melambat.
Peristaltic di esophagus kurang efisien. Selain itu, sfingter gastroesofagus gagal berelaksasi,
mengakibatkan pengosongan esophagus terlambat.keluhan utama biasanya berpusat pada
perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan. Motalitas gaster juga mnurun,
akibatnya terjadi keterlambtan pengosongan isi lambung. Berkurangnya sekresi asam dan
pepsin akan menurunkan absorsi besi, kalsium dan vitamin B12.
Absorsi nutrient di usus halus nampaknya juga berkurang dengan bertambahnya usia namun
masih tetap adekuat. Fungsi hepar, kandung empedu dan pangkreas tetap dapat di
pertahankan, meski terdapat inefisiensi dalam absorsi dan toleransi terhadap lemak. Impaksi
feses secara akut dan hilangnya kontraksi otot polos pada sfingter mengakibatkan
inkontinensia fekal.
Kemungkinan Penyebab :
a. Defek persarafan, kelemahan pelvis, imobilitas karena cidera serebrosspinalis,CVA, dll.
b. Pola defekasi tidak teratur.
c. Nyeri saat defekasi karena hemoroid.
d. Menurunnya peristaltik karena stres psikologis.
e. Penggunaan obat, seperti penggunaan antasida, laksantiv, atau anastesi.
f. Proses penuaan (usia lanjut).
Batasan dari konstipasi (obstipasi) masih belum tegas. Secara teknis dimaksudkan
untuk buang air besar kurang dari tiga kali per minggu. Tetapi banyak penderita sudah
mengeluhkan konstipasi bila ada kesulitan mengeluarkan feses yang keras atau merasa
kurang puas saat buang air besar (Kane dkk, 1989). Konstipasi sering sekali dijumpai pada
lanjut usia dan merupakan penyebab yang paling utama pada inkontinensia fekal pada lanjut
usia (Brocklehurst dkk, 1987).
Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan/impaksi dari masa
feses yang keras (skibala). Masa feses yang tidak dapat keluar ini akan menyumbat lumen
bawah dari anus dan menyebabkan perubahan dari besarnya sudut ano-rektal. Kemampuan
sensor menumpul dan tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya
feses yang cair akan merembes keluar (Broklehurst dkk, 1987).
Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa rektum dan terjadi
produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela-sela dari feses yang impaksi akan
keluar dan terjadi inkontinensia fekal (Kane dkk, 1989). Diagnosis ditegakkan dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik, antara lain meraba adanya skibala pada colok dubur.
2. Inkontinensia fekal simtomatik
Inkontinensia fekal simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari macam-
macam kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Keadaan ini mungkin dipermudah
dengan adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia dari proses kontrol yang
rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair, dan gangguan pada saluran anus bagian
atas dalam membedakan flatus dan feses yang cair (Brocklehurst dkk, 1987).
Beberapa penyebab diare yang mengakibatkan inkontinensia fekal simtomatik ini
antara lain gastroenteritis, divertikulitis, proktitis, kolitis-iskemik, kolitis ulceratif, karsinoma
kolon/rektum. Penyebab lain dari inkontinensia fekal simtomatik misalnya kelainan
metabolik, contohnya diabetes mellitus, kelainan endokrin seperti tiroksikosis, kerusakan
sfingter anus sebagai komplikasi dari operasi hemoroid yang kurang berhasil dan prolapsus
rekti.
Penyebab yang paling umum dari diare pada usia lanjut usia adalah obat-obatan,
antara lain yang mengandung unsur besi, atau memang akibat pencahar (Brocklehurst dkk,
1987; Robert-Thomson).
3. Inkontinensia fekal neurogenik
Inkontinensia fekal neurogenik terjadi akibat gangguan fungsi menghambat dari
korteks serebri saat terjadi regangan/distensi rektum. Proses normal dari defekasi melalui
refleks gastro-kolon. Beberapa menit setelah makanan sampai di lambung/gaster, akan
menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah rektum. Distensi rektum akan
diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti halnya kandung kemih, tidak terjadi kontraksi
intrinsik dari rektum pada orang dewasa normal, karena ada inhibisi/hambatan dari pusat di
korteks serebri (Brocklehurst dkk, 1987). Bila buang air besar tidak memungkinkan, maka
hal ini tetap ditunda dengan inhibisi yang disadari terhadap kontraksi rektum dan sfingter
eksternanya. Pada lanjut usia dan terutama pada penderita dengan penyakit serebrovaskuler,
kemampuan untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu bahkan hilang.
Karakteristik inkontinensia neurogenik ini tampak pada penderita dengan infark
serebri multipel, atau penderita demensia. Gambaran klinisnya ditemukan satu-dua potong
feses yang sudah berbentuk ditempat tidur, dan biasanya setelah minum panas atau makan.
4. Inkontinensia fekal akibat hilangnya refleks anal
Inkontinensia fekal ini terjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-
otot seran lintang. Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh
Brocklehurst dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit-unit yang berfungsi motorik pada
otot-otot daerah sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks anal,
berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat
inkontinensia fekal pada peningkatan tekanan intra-abdomen dan prolaps dari rektum.
Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada ahli proktologi untuk
pengobatannya (Brocklehurst dkk, 1987).
5. Inkontinensia fekal akibat konstipasi kolonik
Konstipasi kolonin merupakan keadaan individu yang mengalamai atau beresiko
mengalami perlambatan pasase residu makanan yang mengakibatkan feses kering dan keras.
Tanda Klinis :
a. Adanya penurunan frekuensi eliminasi.
b. Feses kering dan keras.
c. Mengejan saat defekasi.
d. Nyeri defekasi.
e. Adanya distensi pada abdomen.
f. Adanya tekanan pada rektum.
g. Nyeri abdomen
Kemungkinan Penyebab :
a. Deek persarafan, kelemahan pelvis, imobilitas karena cidera serebrusspinalis, CVA dll.
b. Pola defkasi yang tidak teratur.
c. Efek samping penggunaan obat antasida, anastesi, laksantif dll.
d. Menurunnya peristaltik
6. Inkontinensia fekal akibat konstipasi dirasakan
Konstipasi dirasakan merupakan keadaan individu dalam menentukan sendiri
penggunaan laksantif, enema, supositoria untuk memastikan defkasi setiap harinya.
Tanda Klinis :
a. Adanya penggunaan laksansia setiap hari sebagai enema atau supositoria secara berlebihan.
b. Adanya dugaan pengeluaran feses pada waktu yang sama setiap hari.
Kemungkinan Penyebab :
a. Persepsi salah akibat depresi.
b. Keyakinan budaya.
7. Inkontinensia fekal akibat diare
Diare merupakan keadaan individu yang mengalami atau berisiko sering mengalami
penegluaran feses dalam bentuk cair,. Diare sering disertai dengan kejang usus, mungkin
disertai oleh rasa mual dan muntah.
Tanda Klinis :
a. Adanya pengeluaran feses cair.
b. Frekuensi lebih dari 3 kali sehari.
c. Nyeri/kram abdomen.
d. Bising usus meningkat.
Kemungkinan Penyebab :
a. Malabsorpsi atau inflamasi, proses infeksi.
b. Peningkatan peristaltik karena peningkatan metabolisme.
c. Efek tindakan pembedahan usus.
d. Efek penggunaan obat seperti antasida, laksansia, antibiotik dll.
e. Stres psikologis.
f. Inkontinensia fekal akibat kembung
Kembung merupakan keadaan penuh udara dalam perut karena pengumpulan gas secara
berlebihan dalam lambung atau usus.
2.10 Penatalaksanaan
Penanganan yang baik terhadap sembelit akan mencegah timbulnya skibala dan dapat
menghindari kejadian inkontinensia fekal. Langkah utama dalam penanganan sembelit pada
pasien geriatri adalah dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya
sembelit. Jika sembelit yang timbul pada pasien geriatri merupakan suatu keluhan yang baru,
maka kemungkinan hal tersebut disebabkan oleh penyakit kolon, gangguan endokrin dan
metabolik, deperesi atau efek samping obat-obatan.
Untuk pencegahan konstipasi, lansia sebaiknya mengkonsumsi diet yang cukup cairan dan
serat. Dianjurkan untuk mengkonsumsi 4-6 gram serat kasar sehari (hal ini bisa did apatkan
dari 3-4 sendok the biji-bijian). Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam penanganan
inkotinensia fekal adalah dengan mengatur waktu ke toilet, meningkatkan mobilisasi, dan
pengaturan posisi tubuh ketika sedang melakukan buang air besar di toilet. Defekasi
sebaiknya dilakukan ditempat yang khusus, lingkungan yang tenang, dan pada saat timbulnya
refleks gastrokolik yang biasanya timbul lima menit setelah makan.
Pada inkotinensia fekal yang disebabkan oleh gangguan syaraf, terapi latihan otot
dasar panggul terkadang dapat dilakukan, meskipun sebagian besar pasien geriatrik dengan
dimensia tidak dapat menjalani terapi tersebut. Pada pasien dengan demensia tahap akhir
dengan inkotinensia fekal, program penjadwalan ke toilet dan penjadwalan penggunaan obat
pencahar secara teratur dapat dilakukan dan efektif untuk mengontrol defekasi. Usaha
terakhir yang dapat dilakukan dalam penanganan inkontinensia fekal pada pasien ini adalah
dengan menggunakan pampers yang dapat mencegah dari komplikasi.
2.11 WOC
Konstipasi
Simtomatik
Usia
Hilangnya reflex anal
Kelemahan oto sfingter
Gangguan fungsi syaraf
Neurogenik
Iritasi rectum menghasilkan cairan
Inkontinensia Fekal
Berkurangnya sensasi pada anus
Inkontinensia fekal
B6
(muskuloskeletal)
Kelemahan otot sfingter
B5
(pencernaan)
Iritasi rektum
Cairan membanjiri tinja
DK : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan.
Inkontinensia fekal
B3 (persyarafan)
Penurunan fungsi syaraf
Korteks serebri terhambat
Korteks serebri terhambat
Regangan rektum
Cairan membanjiri tinja yang mengeras
Berkurangnya sensasi pada anus
Regangan rektum
DK : Inkontinensia Fekal
DK : Kerusakan integritas kulit
Intoleransi aktifitas
DK : Harga diri rendah
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Klien :
a. Nama : Suami / Istri / Orangtua
b. Umur : Nama :
c. Jenis kelamin : Pekerjaan :
d. Agama : Alamat :
e. Suku/bangsa :
f. Bahasa : Penanggung jawab :
g. Pendidikan : Nama :
h. Pekerjaan : Alamat :
i. Status :
j. Alamat :
3.1.2 Keluhan utama
Keluhan yang sering muncul pada pasien inkontinensia fekal adalah Menurunnya bising usus,
Mual, Nyeri abdomen, Perubahan konsistensi feses, frekuensi buang air besar, dll.
3.1.3 Riwayat Penyakit sekarang
Mengkaji perjalanan penyakit pasien saat ini dari awal gejala muncul dan penanganan yang
telah dilakukan hingga saat dilakukan pengkajian.
3.1.4 Riwayat Penyakit dahulu
Perlu dikaji apakah pasien mempunyai riwayat penyakit yang berhubungan dengan
inkontinensi fekal. Seperti, Anemi, Hipotiroidisme, Dialisa ginjal, Pembedahan abdomen.,
Paralisis, Cedera spinal cord, Immobilisasi yang lama, dan lain-lain.
3.1.5 Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang memiliki gejala penyakit yang sama seperti
pasien.
3.1 Pola Fungsi Kesehatan :
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Persepsi klien/keluarga terhadap konsep sehat sakit dan upaya klien/keluarga dalam bentuk
pengetahuan, sikap, dan perilaku yang menjadi gaya hidup klien/keluarga untuk
mempertahankan kondisi sehat.
2. Pola nutrisi dan metabolic
Kebiasaan klien dalam memenuhi kebutuhan nutrisi sebelum sakit sampai saat sakit (saat ini)
yang meliputi : jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi, frekuensi makanan, porsi
makan yang di habiskan, makanan selingan, makanan yang di sukai, alergi makanan dan
mamakan pantangan. Keluhan yang berhubungan dengan nutrisi seperti mual, muntah, dan
kesulitan menelan, di buatkan deskripsi singkat dan jelas. Bila di perlukan, lakukan
pengkajian terhadap pengetahuan klien/keluarga tentang diet yang harus di ikuti serta bila ada
larangan adat atau agamapada suatu makanan tertentu.
3. Pola eliminasi
Kaji eliminasi alvi (buang air besar) dan eliminasi urin (buang air kecil) Pola eliminasi
menggambarkan keadaan eliminasi klien sebelum sakit sampai saat sakit (saat ini), yang
meliputi : frekuensi, konsistensi, warna, bau, adanya darah, dan lain-lain. Bila di temukan
adanya keluhan pada eliminasi, hendaknya dibuatkan deskripsi singkat dan jelas tentang
keluhan yang di maksud.
4. Pola aktivitas dan latihan
Kaji aktifitas rutin yang dilakukan klien sebelum sakit sampai saat sakit mulai dari bangun
tidur sampai tidur kembali, termasuk penggunaan waktu senggang. Mobilitas selama sakit di
lihat dan aktivitas perawatan diri, seperti makan-minum, mandi, toileting, berpakaian,
berhias, dan penggunaan instrumen.
5. Pola tidur dan istirahat
Kaji kualitas dan kuantitas istrahat tidur klien sejak sebelum sakit sampai saat sakity (saat
ini), meliputi jumlah tidur siang dan malam, penggunaan alat pengantar tidur, perasaan klien
sewaktu bangun tidur, dan kesulitan atau masalah tidur : sulit jatuh tidur, sulit tidur lama,
tidak bugar saat bangun, terbangun dini, atau tidak bisa melanjutkan tidur.
6. Pola hubungan dan peran
Kaji hubungan klien dengan anggota keluarga, masyarakat pada umumnya, perawat, dan tim
kesehatan yang lain, termasuk juga pola komunikasi yang di gunakan klien dalam
berhubungan dengan orang lain.
7. Pola sensori dan kognitif
Kaji kemampuan klien berkomunikasi (berbicara dan mengerti pembicaraan) status mental
dan orientasi, kemampuan pengindraan yang meliputi indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, perabaan dan pengecapan.
8. Pola persepsi dan konsep diri
Kaji pada klien yang sudah dapat mengungkapkan perasaan yang berhubungan dengan
kesadaran akan dirinya meliputi : gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri dan identitas
diri.
9. Pola reproduksi dan seksual
Kaji pada usia 0-12 tahun di isi sesuai dengan tugas perkembangan psikoseksual. Usia
remaja-dewasa-lansia dikaji berdasarkan jenis kelamin.
10. Pola peran-berhubungan
Kaji hubungan klien dengan anggota keluarga, masyarakat pada umumnya, perawat, dan tim
kesehatan, termasuk juga pola komunikasi yang digunakan klien dalam berhubungan dengan
orang lain.
11. Pola mekanisme koping
Kaji mekanisme koping yang biasanya dilakukan klien ketika menghadapi masalah/ konflik/
stres/ kecemasa.
12. Pola nilai dan kepercayaan
Kaji nilai-nilai dan keyakinan klien terhadap sesuatu dan menjadi strategi yang amat kuat
sehingga mempengaruhi gaya hidup klien, dan berdampak pada kesehatan klien.
b. Abdomen :
1) Inspeksi : memriksa adanya masa, gelombang peristaltik, jaringan parut, pola pembuluh
darah vena, dan stoma.
2) Auskultasi : bising usus normal terjadi 5-15 detik dan berlangsung sampai beberapa detik.
3) Palpasi : Untuk melihat adanya massa atau area nyeri tekan.
4) Perkusi : Mendeteksi cairan atau gas di dalam abdomen.
c. Rektum : Menginspeksi daerah di sekitar anus dan mempalpasi untuk memeriksa rectum.
3.3 Intervensi
1. Inkontinensia defekasi NOC NIC
Dialysis Acces
Maintenance
3.5 Evaluasi
Keefektifan perawatan bergantung pada keberhasilan dalam mencapai tujuan dan hasil akhir
yang diharapkan dari perawatan secara optimal klien akan mampu mengeluarkan feses yang
lunak secara teratur tanpa merasa nyeri. Klien juga akan memperoleh informasi yang
dibutuhkan untuk menetapkan pola eliminasi normal dan untuk medemonstrasikan
keberhasilan yang berkelanjutan, yang di ukur berdasarkan interval waktu tertentu dalam
suatu periode yang panjang. Klien akan mampu melakukan defekasi secara normal dengan
memanipilasi komponen-komponen alamiah dalam kehidupan sehari-hari seperti diet, asupan
cairan dan olahraga. Ketergantungan klien pada tindakan bantuan untuk membantu defekasi
seperti enema dan penggunaan laksatif, menjadi minimal. Klien akan merasa nyaman dengan
protocol ostomi dan mengidentifikasi protocol tersebut sebagai sesuatu yang dapat
dipraktikkan secara pasti.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Eliminasi fecal atau defekasi merupakan proses pembuangan metabolisme tubuh yang
tidak terpakai. Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh
normal. Perubahan pada defekasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan
bagian tubuh lain, karena sisa-sisa produk usus adalah racun. Pola defekasi bersifat
individual, bervariasi dari beberapa kali sehari sampai beberapa kali seminggu. Jumlah feses
yang dikeluarkan pun berfariasi jumlahnya tiap individu. Feses normal mengandung 75% air
dan 25% materi padat. Feses normal berwarna coklat karena adanya sterkobilin dan uriobilin
yang berasal dari bilirubin. Warna feses dapat dipengaruhi oleh kerja bakteriEscherecia
coli. Flatus yang dikelurkan orang dewasa selama 24 jam yaitu 7-10 liter flatus dalam usus
besar. Kerja mikroorganisme mempengaruhi bau feses. Fungsi usus tergantung pada
keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan (Berman, et.al., 2009).
Inkontinensia fekal merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius pada
pasien geriatri. Angka kejadian inkontinensia fekal ini lebih sedikit dibandingkan pada
kejadian inkontinensia urin. Namun demikian, data di luar negeri menyebutkan bahwa 30-
50% pasien geriatri yang mengalami inkontinensia urin juga mengalami inkontinensia fekal.
Inkontinensia fekal merupakan hal yang sangat mengganggu bagi penderitannya, sehingga
harus diupayakan mencari penyebabnya dan penatalaksanaannya dengan baik. Seiring dengan
meningkatnya angka kejadian inkontinensia urin, maka tidak menutup kemungkinan akan
terjadi pula peningkatan angka kejadian inkontinensia fekal. Untuk itu diperlukan
penanganan yang sesuai baik untuk inkontinensia urin maupun inkontinensia fekal, agar tidak
menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien.
4.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :
1. Pada Perawat
Agar meningkatkan kualitas dalam pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada klien dengan
Inkontinensia Fekal dan meningkatkan pengetahuan dengan membaca buku-buku dan
mengikuti seminar serta menindaklanjuti masalah yang belum teratasi.
2. Pada Mahasiswa
Diharapkan dapat melaksanakan tehknik komunikasi terapeutik dan melakukan pengkajian
agar kualitas pengumpulan data dapat lebih baik sehingga dapat melaksanakan Asuhan
Keperawatan dengan baik.
3. Pada Klien dan Keluarga
Diharapkan klien dapat melaksanakan anjuran dan penatalaksanaan pengobatan dan diet yang
telah diinstruksikan leh perawat dan dokter.
DAFTAR PUSTAKA
Wilkinson Judith M, Ahern Nancy R. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Edisi 9. 2011.
Huda A.N, Kusuma H. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
NANDA.MediAction Publishing. Edisi Revisi Jilid 1. 2013.
Huda A.N, Kusuma H. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
NANDA.MediAction Publishing. Edisi Revisi Jilid 2. 2013.