BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari
kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang,
atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi juga dapat diartikan sebagai keadaan dimana
membengkaknya jaringan dinding dubur (anus) yang mengandung pembuluh darah balik
(vena), sehingga saluran cerna seseorang yang mengalami pengerasan feses dan kesulitan
untuk melakukan buang air besar. Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih
pada lanjut usia (lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada
usus, red) lebih lambat dan kemungkinan sebab lain yakni penggunaan obat-obatan
seperti aspirin, antihistamin, diuretik, obat penenang dan lain-lain. Kebanyakan terjadi
jika makan makananan yang kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga.
Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Kasus
konstipasi umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4% sampai 30% pada kelompok
usia 60 tahun ke atas. Ternyata wanita lebih sering mengeluh konstipasi dibanding pria
dengan perbandingan 3:1 hingga 2:1. Insiden konstipasi meningkat seiring bertambahnya
umur, terutama usia 65 tahun ke atas. Pada suatu penelitian pada orang berusia usia 65
tahun ke atas, terdapat penderita konstipasi sekitar 34% wanita dan pria 26%. Di Inggris
ditemukan 30% penduduk di atas usia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur
menggunakan obat pencahar . Di Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun
mengeluh menderita konstipasi dan lebih banyak pada wanita dibanding pria. Menurut
National Health Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika
mengeluh menderita konstipasi terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke
atas.
Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya karena
jijik dengan WC-nya, bingung caranya buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan
kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek samping
obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor kelainan
organ di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau
kelainan pada rektum, anak dan dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik
kronik.
2.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Tujuan Penulisan
Tujuan Umum:
Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien dengan
konstipasi, serta mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan konstipasi.
Tujuan Khusus:
Untuk mengetahui dan memahami pengertian konstipasi
Untuk mengetahui dan memahami pembagian konstipasi
Untuk mengetahui dan memahami etiologi konstipasi
Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi konstipasi
Untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinis konstipasi
Untuk mengetahui dan mampu menerapkan pemeriksaan, penatalaksanaan serta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Berikut pengertian konstipasi dari beberapa sumber sebagai berikut:
Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada seseorang, disertai
dengan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat
keras dan kering (Wilkinson, 2006).
Konstipasi adalah defekasi dengan frekuensi yang sedikit, tinja tidak cukup
jumlahnya, berbentuk keras dan kering (Oenzil, 1995).
Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut
konsistensi tinja dan frekuensi berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1 sampai
4 minggu, sedangkan dikatakan kronik jika lamanya lebih dari 1 bulan (Mansjoer, 2000).
Konstipasi adalah kesulitan atau jarang defekasi yang mungkin karena feses keras
atau kering sehingga terjadi kebiasaaan defekasi yang tidak teratur, faktor psikogenik,
kurang aktifitas, asupan cairan yang tidak adekuat dan abnormalitas usus. (Paath, E.F.
2004) .
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah penurunan
frekunsi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering.
Adanya upaya mengedan saat defekasi adalah suatu tanda yang terkait dengan konstipasi.
Apabila motilitas usus halus melambat, masa feses lebih lama terpapar pada dinding usus
dan sebagian besar kandungan air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan
untuk melunakkan dan melumasi feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat
menimbulkan nyeri pada rektum. (Potter & Perry, 2005).
Normalnya pola defekasi yang biasanya setiap 2 sampai 3 hari sekali tanpa ada
kesulitan, nyeri, atau perdarahan dapat dianggap normal.
B.
1.
a.
b.
c.
d.
2.
a.
b.
c.
Tipe Konstipasi
Berdasarkan International Workshop on Constipation, adalah sebagai berikut:
Konstipasi Fungsional
Kriteria:
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan:
Mengedan keras 25% dari BAB
Feses yang keras 25% dari BAB
Rasa tidak tuntas 25% dari BAB
BAB kurang dari 2 kali per minggu
Penundaan pada muara rektum
Kriteria:
Hambatan pada anus lebih dari 25% BAB
Waktu untuk BAB lebih lama
Perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses, sedangkan
penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang
terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.
C.
Etiologi
Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005 adalah sebagai
berikut:
1.
Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk defekasi dapat
2.
menyebabkan konstipasi.
Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani (misalnya daging,
produk-produk susu, telur) dan karbohidrat murni (makanan penutup yang berat) sering
mengalami masalah konstipasi, karena bergerak lebih lambat didalam saluran cerna.
3.
konstipasi.
4.
Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi normal. Selain
itu, kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan sempurna, memerlukan waktu untuk
diisi kembali oleh masa feses.
5.
Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek menciutkan
dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi. Zat
besi juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada sebagian
orang), diuretik, antasid dalam kalsium atau aluminium, dan obat-obatan antiparkinson
6.
7.
penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering mengonsumsi makanan rendah serat.
Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI (gastrointestinal), seperti
Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang
menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer,
koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai
tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena
banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal (Dorongan untuk defekasi
secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap kerja, antara lain:
rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot
sfingter external dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen).
Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi. Defekasi dimulai
dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk
dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari
sfingter anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi
refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang
depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan
sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan
isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini akan menaikkan
tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan simpatis
maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa
faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada
usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua
yang normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan
patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi
memang khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat
tidak mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas
motorik dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak
yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian
pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu
gerakan usus dari 4-9 hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur,
dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat
jalannya pada kolon sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid.
Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien
dengan konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat
berkurangnya inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan juga
berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan
memanjangnya waktu gerakan usus.
Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma beta-endorfin
yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di usus. Hal
ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang dapat menyebabkan
relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otototot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. Pasien dengan konstipasi
mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras
sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan
pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya,
pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga perubahan patologis pada
1.
2.
pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah anus dan rektum
Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna saat
BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran
3.
E.
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala akan berbeda antara seseorang dengan seseorang yang lain,
karena pola makan, hormon, gaya hidup dan bentuk usus besar setiap orang berbedabeda, tetapi biasanya tanda dan gejala yang umum ditemukan pada sebagian besar atau
1.
2.
hamil).
Tinja menjadi lebih keras, panas, dan berwarna lebih gelap daripada biasanya, dan
jumlahnya lebih sedikit daripada biasanya (bahkan dapat berbentuk bulat-bulat kecil bila
3.
sudah parah).
Pada saat buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-kadang harus
mengejan ataupun menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan
tinja.
4. Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.
5.
Bagian anus terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai sakit akibat bergesekan
dengan tinja yang panas dan keras.
6.
Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih busuk daripada biasanya (jika
kram perutnya parah, bahkan penderita akan kesulitan atau sama sekali tidak bisa buang
7.
Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu transit buang air besar
F.
Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan kelainan yang
jelas. Namun demikian pemeriksaan fisik yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk
menemukan kelainan yang berpotensi mempengaruhi fungsi usus besar.
Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada
selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses
menelan.
Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau tonjolan.
Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih dalam
dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran batang nadi.
Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, cairan
dalam rongga perut atau adanya massa tinja.
Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara gerakan usus
besar serta mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang pemeriksaan dubur untuk
mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan) atau fistula (hubungan abnormal pada
saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang bisa mengganggu proses buang
air besar.
Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan
tinja, atau adanya darah.
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor risiko
konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat keluarnya
darah dari dubur.
Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna,
tukak, wasir, dan tumor. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi
untuk mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat bahkan
melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari dubur
atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu dilakukan kolonoskopi. Bagi
sebagian orang konstipasi hanya sekadar mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat
menimbulkan komplikasi serius. Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70%),
usus besar (20%), dan pangkal usus besar (10%). Hal ini menyebabkan kesakitan dan
meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan berpotensi menimbulkan akibat yang
fatal. Pada konstipasi kronis kadang-kadang terjadi demam sampai 39,5 oC , delirium
(kebingungan dan penurunan kesadaran), perut tegang, bunyi usus melemah,
penyimpangan irama jantung, pernapasan cepat karena peregangan sekat rongga badan.
Pemadatan dan pengerasan tinja berat di muara usus besar bisa menekan kandung kemih
menyebabkan retensi urine bahkan gagal ginjal serta hilangnya kendali otot lingkar
dubur, sehingga keluar tinja tak terkontrol. Sering mengejan berlebihan menyebabkan
turunnya poros usus.
G.
Penatalaksanaan
Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi konstipasi,
merangsang upaya untuk memberikan pengobatan secara simptomatik. Sedangkan bila
mungkin, pengobatan harus ditujukan pada penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat
pencahar jangka panjang terutama yang bersifat merangsang peristaltik usus, harus
1.
a.
BAB ini.
b.
Diet:
Peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia lanjut. Data
epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat mengurangi
angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya
divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa dan berat feses serta
mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan
cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan
c.
cairan.
Olahraga:
Cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi konstipasi jalan kaki
atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien, akan
menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama
pada penderita dengan atoni pada otot perut.
2.
Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan
a.
biasnya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :
Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl selulose,
Psilium.
b.
Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan
permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak kastor,
c.
golongan dochusate.
Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan,
d.
misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini
yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai untuk
jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon.
Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.
Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara
tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi sub
total dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi berat dengan
masa transit yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya serta tidak ada respons
dengan
Pencegahan
Berikut beberapa pencegahan untuk mencegah terjadinya konstipasi:
1.
Jangan jajan di sembarang tempat.
2.
Hindari makanan yang kandungan lemak dan gulanya tinggi.
3.
Minum air putih minimal 1,5 sampai 2 liter air (kira-kira 8 gelas) sehari dan cairan
4.
5.
6.
olahraga ringan, dan minimal 2 jam untuk olahraga yang lebih berat.
Biasakan buang air besar secara teratur dan jangan suka menahan buang air besar.
Konsumsi makanan yang mengandung serat secukupnya, seperti buah-buahan dan
7.
sayur-sayuran.
Tidur minimal 4 jam sehari.
BAB III
e.
f.
g.
h.
2.
a.
b.
c.
3.
4.
5.
B.
1.
: Evart
Tanggal lahir
Jenis kelamin
: 5 November 1945
: Laki-laki
Tanggal MRS
: 30 November 2010
Alamat
: Surabaya
Diagnosa Medis
: Konstipasi
Sumber Informasi
: Klien, pemeriksaan fisik, kolonoskopi
Keluhan utama
: nyeri pada perut, seminggu belum BAB
Riwayat penyakit sekarang
:
Evart yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada perut bagian bawah. Kakek
mengatakan bahwa sudah seminggu belum BAB. Biasanya kakek bisa BAB tiga hari
sekali. Sejak saat itu kakek tidak pernah menghabiskan porsi makan sehari-harinya.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Selain itu, kakek mengaku mudah lelah untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Riwayat kesehatan keluarga
:Review of system
:
B1 (Breath)
: RR meningkat
B2 (Blood)
: denyut jantung meningkat, TD meningkat
B3 (Brain)
: nyeri pada abdomen bawah
B4 (Bladder) : B5 (Bowel)
: nafsu makan turun, BB turun
B6 (Bone)
:Hasil pemeriksaan fisik umum :
a.
b.
keadaan umum
TTV
: lemah
: tekanan darah 130/95 mmHg, nadi : 90x/mnt, RR 23x/mnt
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
: pembesaran abdomen
: perut terasa keras, ada impaksi feses
: redup
: bising usus tidak terdengar
Analisa Data:
No
Data
Etiologi
Masalah
1.
Data subjektif :
Seminggu tidak
teratur
Konstipasi
BAB, kebiasaan
BAB tiga kali
Eliminasi feses
sehari
tidak lancar
Data objektif :
Inspeksi :
konstipasi
pembesaran
abdomen.
Palpasi : perut
terasa keras, ada
impaksi feses.
Perkusi : redup.
Auskultasi : bising
usus tidak
2.
terdengar
Data subjektif:
Sulit BAB
Nutrisi
kurang
kebutuhan
Perut terasa
begah
Data objektif:
Bising usus tidak
Nafsu
terdengar
makan
menurun
Menurunnya
3.
Data subjektif:
intake makanan
konsistensi
pasien
sulit keluar
Data objektif:
Perubahan
makan
nafsu
Akumulasi
kolon
di
Nyeri Akut
dari
Nyeri abdomen
2.
a.
b.
c.
Diagnosa
Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan.
Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.
3.
a.
Intervensi
Mandiri:
Tentukan pola defekasi bagi klien dan
a.
Rasional
Untuk mengembalikan keteraturan pola
defekasi klien
b.
c.
d.
eliminasi fekal
Untuk melunakkan eliminasi feses
Kolaborasi:
Pemberian laksatif atau enema sesuai
indikasi
b.
1)
2)
3)
4)
Diagnosa
makan.
Dukung anggota keluarga untuk
membawa makanan kesukaan pasien dari
rumah.
c.
Rasional
a.
d.
masuk.
Tinggi karbohidrat, protein, dan kalori
diperlukan atau dibutuhkan selama
e.
perawatan.
Untuk mendukung peningkatan nafsu
makan pasien
f.
Mengetahui keseimbangan intake dan
pengeluaran asuapan makanan.
g.
Sebagai data penunjang adanya
2.
a.
1)
Kolaborasi:
Observasi:
Pantau nilai laboratorium, seperti Hb,
albumin, dan kadar glukosa darah
2)
makan
b.
Health Edukasi
Ajarkan pasien dan keluarga tentang
makanan yang bergizi dan tidak mahal
1)
Diagnosa
abdomen
Tujuan
: menunjukkan nyeri telah berkurang
Kriteria Hasil
:
1)
Menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai
2)
3)
4)
5)
kenyamanan
Mempertahankan tingkat nyeri pada skala kecil
Melaporkan kesehatan fisik dan psikologisi
Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk mencegah nyeri
Menggunakan tindakan mengurangi nyeri dengan analgesik dan non-analgesik secara
tepat
Intervensi
1.
a.
Mandiri:
Bantu pasien untuk lebih berfokus pada
Rasional
a.
nyeri
analgesik opiat
c.
Perhatikan kemungkinan interaksi obat
b.
c.
Kolaborasi
Observasi
Minta pasien untuk menilai nyeri atau
a.
1)
komperhensif
b.
Health education
1)
Instruksikan pasien untuk
meminformasikan pada perawat jika
pengurang nyeri kurang tercapai
2)
Berikan informasi tetang nyeri
Observasi
Mengetahui tingkat nyeri yang
dirasakan klien
2)
3)
b.
1)
Health Education
Perawat dapat melakukan tindakan
2)
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Konstipasi atau
kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang,
atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi saat
bepergian, misalnya karena jijik dengan WC-nya, bingung caranya buang air besar
seperti sewaktu naik pesawat dan kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa
karena faktor sistemik, efek samping obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf
perifer. Bisa juga karena faktor kelainan organ di kolon seperti obstruksi organik atau
fungsi otot kolon yang tidak normal atau kelainan pada rektum, anak dan dasar pelvis
dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik. Mencegah konstipasi secara umum
ternyata tidaklah sulit. Kuncinya adalah mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang
paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur.
B.
Saran
Saran dari kami tim penulis adalah sebaiknya bagi penderita kuncinya adalah
dengan mengonsumsi makanan yang berserat.
http://evaloy.blogspot.co.id/2013/05/askep-pada-pasien-dengan-konstipasi_5582.html