“KONSTIPASI”
OLEH:
19192017
CI LAHAN CI INSTITUSI
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP MEDIS
A. Pengertian
1. Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada seseorang, disertai dengan
kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat keras dan kering
(Wilkinson, 2006).
2. Konstipasi adalah defekasi dengan frekuensi yang sedikit, tinja tidak cukup jumlahnya,
berbentuk keras dan kering (Oenzil, 1995).
3. Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut konsistensi tinja dan
frekuensi berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1 sampai 4 minggu, sedangkan
dikatakan kronik jika lamanya lebih dari 1 bulan (Mansjoer, 2000).
4. Konstipasi adalah kesulitan atau jarang defekasi yang mungkin karena feses keras atau kering
sehingga terjadi kebiasaaan defekasi yang tidak teratur, faktor psikogenik, kurang aktifitas,
asupan cairan yang tidak adekuat dan abnormalitas usus. (Paath, E.F. 2004) .
5. Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah penurunan frekunsi defekasi,
yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering. Adanya upaya mengedan
saat defekasi adalah suatu tanda yang terkait dengan konstipasi. Apabila motilitas usus halus
melambat, masa feses lebih lama terpapar pada dinding usus dan sebagian besar kandungan air
dalam feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan untuk melunakkan dan melumasi feses.
Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat menimbulkan nyeri pada rektum. (Potter & Perry,
2005).
6. Normalnya pola defekasi yang biasanya setiap 2 sampai 3 hari sekali tanpa ada kesulitan, nyeri,
atau perdarahan dapat dianggap normal.
B. Etiologi
Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005 adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk defekasi dapat
menyebabkan konstipasi.
2. Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani (misalnya daging, produk-
produk susu, telur) dan karbohidrat murni (makanan penutup yang berat) sering mengalami
masalah konstipasi, karena bergerak lebih lambat didalam saluran cerna. Asupan cairan yang
rendah juga memperlambat peristaltik.
3. Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek menciutkan dan kerja
yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi. Zat besi juga
mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada sebagian orang), diuretik,
antasid dalam kalsium atau aluminium, dan obat-obatan antiparkinson dapat menyebabkan
konstipasi.
4. Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot abdomen, dan penurunan
sekresi mukosa usus. Lansia sering mengonsumsi makanan rendah serat.
5. Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI (gastrointestinal), seperti obstruksi
usus, ileus paralitik, dan divertikulitus.
6. Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya cedera pada medula
spinalis, tumor) dapat menyebabkan konstipasi.
7. Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme, hipokalsemia, atau hypokalemia dapat
menyebabkan konstipasi.
8. Peningkatan stres psikologi. Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan konstipasi dengan
menghambat gerak peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin dan sistem syaraf simpatis. Stres
juga dapat menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau iritasi colon ). Yang
berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah kram pada abdominal, meningkatnya jumlah
mukus dan periode bertukar-tukarnya antara diare dan konstipasi.
9. Umur
Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi pada orang tua turut berperan
menyebabkan konstipasi.
C. Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan kerja
otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks,
kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan
pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB
normal (Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap
kerja, antara lain: rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot
sfingter external dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen). Gangguan
dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik
usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan
ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran
feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis
yang depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter
anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan
kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan
otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak
mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas motorik dari kolon.
Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak yang ditelan, normalnya kurang
dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi
menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada mereka yang dirawat atau
terbaring di tempat
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya, pada
mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga perubahan patologis pada rektum, sebagai
berikut:
1. Diskesia Rektum
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan
peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk menginduksi
refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada colok dubur pasien dengan diskesia
rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan untuk BAB sering
sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan karena tanggapnya atau penekanan pada
dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit
daerah anus dan rektum
2. Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna saat
BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran anus saat
mengejan.
D. Pathway
E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala akan berbeda antara seseorang dengan seseorang yang lain, karena pola
makan, hormon, gaya hidup dan bentuk usus besar setiap orang berbeda-beda, tetapi biasanya tanda
dan gejala yang umum ditemukan pada sebagian besar atau kadang-kadang beberapa penderitanya
adalah sebagai berikut:
1. Perut terasa begah, penuh, dan bahkan terasa kaku karena tumpukan tinja (jika tinja sudah
tertumpuk sekitar 1 minggu atau lebih, perut penderita dapat terlihat seperti sedang hamil).
2. Tinja menjadi lebih keras, panas, dan berwarna lebih gelap daripada biasanya, dan jumlahnya
lebih sedikit daripada biasanya (bahkan dapat berbentuk bulat-bulat kecil bila sudah parah).
3. Pada saat buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-kadang harus mengejan
ataupun menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan tinja.
4. Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.
5. Bagian anus terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai sakit akibat bergesekan dengan
tinja yang panas dan keras.
6. Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih busuk daripada biasanya (jika kram
perutnya parah, bahkan penderita akan kesulitan atau sama sekali tidak bisa buang
7. Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu transit buang air besar (biasanya
buang air besar menjadi 3 hari sekali atau lebih). Terkadang mengalami mual bahkan muntah jika
sudah parah.
Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan di
bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :
F. Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan kelainan yang jelas.
Namun demikian pemeriksaan fisik yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan
kelainan yang berpotensi mempengaruhi fungsi usus besar.
Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada selaput lendir
mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.
Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau tonjolan. Perabaan
permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa
tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran batang nadi. Pada pemeriksaan ketuk dicari
pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau adanya massa tinja.
Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara gerakan usus besar
serta mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir,
hernia, fissure (retakan) atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan
tumor di dubur yang bisa mengganggu proses buang air besar.
Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja, atau
adanya darah.
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor risiko konstipasi seperti
gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat keluarnya darah dari dubur.
Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak, wasir,
dan tumor. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk mendeteksi adanya
pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat
badan, anemia, keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu
dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian orang konstipasi hanya sekadar mengganggu. Tapi, bagi
sebagian kecil dapat menimbulkan komplikasi serius. Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros
usus (70%), usus besar (20%), dan pangkal usus besar (10%).
G. Penatalaksanaan
1. Pengobatan non-farmakologis
a. Latihan usus besar:
Melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan pada
penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan mengadakan waktu
secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini
adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk
BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda
dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
b. Diet
Peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia lanjut.
Data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat mengurangi
angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya
divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa dan berat feses serta
mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup
asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.
c. Olahraga:
Cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi konstipasi jalan
kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien, akan
menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada
penderita dengan atoni pada otot perut.
2. Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan
biasnya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar:
a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl selulose, Psilium.
b. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan
feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak kastor, golongan
dochusate.
c. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya pada
penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
d. Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang
banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai untuk jangka
panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya :
Bisakodil, Fenolptalein.
Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara
tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi sub total dengan
anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi berat dengan masa transit yang
lambat dan tidak diketahui penyebabnya serta tidak ada respons dengan pengobatan yang
diberikan. Pasa umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya volvulus, tidak
dilakukan tindakan pembedahan.
H. Pencegahan
II . KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan menurut Doenges(1999) adalah :
1.Identitas klien Meliputi : nama,umur,agama,jenis kelamin,alamat suku
bangsa,pendidikan,tanggal masuk rumah sakit,nomor registrasi,dan diagnosa medis
Riwayat kesehatan
2.Keluhan utama
Nyeri pada perut
3.Riwayat kesehatan sekarang
Nyeri pada bagian perut , terasa tertususk-tususk, sejak tiga hari dan belum BAB
Ny,K yang berumur 52 tahun mengeluh nyeri pada perut bagian bawah. Ny,K
mengatakan bahwa sudah tiga hari belum BAB. Biasanya Ny,K bisa BAB satu hari satu kali.
Sejak saat itu Ny,K tidak pernah menghabiskan porsi makan sehari-harinya. Selain itu,Ny,K
mengaku mudah lelah untuk melakukan aktivitas sehari-hari
sakit saraf
Review of system :
a. B1 (Breath) : RR meningkat
b. B2 (Blood) : denyut jantung meningkat, TD meningkat
c. B3 (Brain) : nyeri pada abdomen bawah
d. B4 (Bladder) :-
e. B5 (Bowel) : nafsu makan turun, BB turun
f. B6 (Bone) :-
2. INTERVENSI
menggunakan skala 0 – 10
tindakan analgesik
mengurangi nyeri
dengan analgesik 3) Lakukan pengkajian
b. Health education
1) Instruksikan pasien
untuk
meminformasikan 1) Mengetahui
pada perawat jika tingkat nyeri
pengurang nyeri yang
kurang tercapai dirasakan
2) Berikan informasi klien
tetang nyeri
2) Mengetahui
karakteristik
nyeri
3) Agar
mengetahui
nyeri secara
spesifik
1) Perawatan
dapat
melakukan
tindakan
yang tepat
dalam
mengatasi
nyeri klien
2) Agar pasien
tidak merasa
cemas
DAFTAR PUSTAKA
1. Mustaqqin,Arif dan SARI,kumala (2011) Gangguan Gastrointestital : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah.Salembe Medika : Jakarta
2. Engram,Barbara.1999.Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta,EGC
3. Elfianto D., Harsali dan Alwin Monoarfa.(2015) Jurnal e-Clinic (eCL),Volume 3,nomor
1,Januari-April 2015 Gambaran pasien Hirschsprung Di Rsup Prof.Dr.r.d.Kandau Manado
Periode Januari 2010.
4. Baughman, Diane C. Keperawatan Medikal Bedah. Terjemahan Yasmin Asih. Jakarta : EGC,
2000
5. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Terjemahan I Made Kariasa, Ni
Made Sumarwati. Jakarta : EGC, 1999
6. Brunner & Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC, 2002.
7. Carpenito, Juall Lynda. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC, 2006