Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PRAKTEK KLINIK KMB 1

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN


GANGGUAN ELIMINASI
KONSTIPASI

DOSEN PEMBIMBING :

Ns. Efa Trisna., S.Kep.,M.Kes

DISUSUN OLEH :

SHEFIIA NOVERA ACHDIWATI HS

1814401105

TINGKAT II REGULER III

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN TANJUNGKARANG

TAHUN AJARAN 2019/2020


A. DASAR TEORI
A.1. DEFINISI DIAGNOSA KEPERAWATAN
 Konstipasi atau  sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari
kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang,
atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi juga dapat diartikan sebagai keadaan dimana
membengkaknya jaringan dinding dubur (anus) yang mengandung pembuluh darah balik
(vena), sehingga saluran cerna seseorang yang mengalami pengerasan feses dan kesulitan
untuk melakukan buang air besar. Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih
pada lanjut usia (lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada
usus, red) lebih lambat dan kemungkinan sebab lain yakni penggunaan obat-obatan
seperti aspirin, antihistamin, diuretik, obat penenang dan lain-lain. Kebanyakan terjadi
jika makan makananan yang kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga.
Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.
Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada seseorang, disertai
dengan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat
keras dan kering (Wilkinson, 2006).
Konstipasi adalah defekasi dengan frekuensi yang sedikit, tinja tidak cukup
jumlahnya, berbentuk keras dan kering (Oenzil, 1995). 
Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut
konsistensi tinja dan frekuensi berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1 sampai
4 minggu, sedangkan dikatakan kronik jika lamanya lebih dari 1 bulan (Mansjoer, 2000).
Konstipasi adalah kesulitan atau jarang defekasi yang mungkin karena feses keras
atau kering sehingga terjadi kebiasaaan defekasi yang tidak teratur, faktor psikogenik,
kurang aktifitas, asupan cairan yang tidak adekuat dan abnormalitas usus. (Paath, E.F.
2004) .
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah penurunan
frekunsi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering.
Adanya upaya mengedan saat defekasi adalah suatu tanda yang terkait dengan konstipasi.
Apabila motilitas usus halus melambat, masa feses lebih lama terpapar pada dinding usus
dan sebagian besar kandungan air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan
untuk melunakkan dan melumasi feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat
menimbulkan nyeri pada rektum. (Potter & Perry, 2005).  
Normalnya pola defekasi yang biasanya setiap 2 sampai 3 hari sekali tanpa ada
kesulitan, nyeri, atau perdarahan dapat dianggap normal.

A.2. PENYEBAB
Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005 adalah sebagai
berikut:
1.      Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk defekasi dapat
menyebabkan konstipasi.
2.      Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani (misalnya daging,
produk-produk susu, telur) dan karbohidrat murni (makanan penutup yang berat) sering
mengalami masalah konstipasi, karena bergerak lebih lambat didalam saluran cerna.
Asupan cairan yang rendah juga memperlambat peristaltik.
3.      Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga yang teratur menyebabkan
konstipasi.
4.      Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi normal. Selain
itu, kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan sempurna, memerlukan waktu untuk
diisi kembali oleh masa feses.
5.      Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek menciutkan
dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi. Zat
besi juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada sebagian
orang), diuretik, antasid dalam kalsium atau aluminium, dan obat-obatan antiparkinson
dapat menyebabkan konstipasi.
6.      Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot abdomen, dan
penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering mengonsumsi makanan rendah serat.
7.      Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI (gastrointestinal), seperti
obstruksi usus, ileus paralitik, dan divertikulitus.
8.      Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya cedera pada
medula spinalis, tumor) dapat menyebabkan konstipasi.
9.      Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme, hipokalsemia, atau hypokalemia
dapat menyebabkan konstipasi.
Ada juga penyebab yang lain dari sumber lain, yaitu:
10.  Peningkatan stres psikologi. Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan konstipasi
dengan menghambat gerak peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin dan sistem syaraf
simpatis. Stres juga dapat menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau
iritasi colon ). Yang berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah kram pada abdominal,
meningkatnya jumlah mukus dan periode bertukar-tukarnya antara diare dan konstipasi.
11.  Umur
Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi pada orang tua turut
berperan menyebabkan konstipasi.

A.3. GEJALA DAN TANDA MAYOR


Subyejtif : 1. Defekasi kurang dari 2 kali seminggu
2. pengeluaran feses lama dan sulit
Objektif : 1. Feses keras
2. peristaltic usus menurun

A.3. GEJALA DAN TANDA MINOR


Subjektif : 1. Mengejan saat defekasi
Obyektif : 1. Distensi abdomen
2. kelemahan umum
3. teraba massa pada rektal

A.4. KONDISI KLINIS TERKAIT (Uraikan patofisiologi kondisi klinis yang terkait,
boleh ditambahkan barisnya)
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang
menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer,
koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk
mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah
karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal (Dorongan
untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap
kerja, antara lain: rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter
internal, relaksasi otot sfingter external dan otot dalam region pelvik, dan
peningkatan tekanan intra-abdomen). Gangguan dari salah satu mekanisme ini
dapat berakibat konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar
yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan
meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk
meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari
sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf
pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus
eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya
dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini akan menaikkan tekanan
dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan simpatis
maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup
beberapa faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan
yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya
usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan
saluran cerna. Perubahan patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah
karena bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi pada mereka dengan
konstipasi.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang
sehat tidak mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk
aktivitas motorik dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti
petanda radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan.
Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi
menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada mereka yang
dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari.
Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon sebelah kiri
dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid. Pemeriksaan
elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien dengan
konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat
berkurangnya inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan
juga berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan
memanjangnya waktu gerakan usus.
Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma beta-
endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen
di usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang dapat
menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks
gaster-kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan
otot-otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. Pasien dengan
konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil
dan keras sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat
berakibat penekanan pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih
lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut.
Sebaliknya, pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga
perubahan patologis pada rektum, sebagai berikut:
1.      Diskesia Rektum
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi
rektum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan
rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada
colok dubur pasien dengan diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang
tidak disadari karena dorongan untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum
juga dapat diakibatkan karena tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk
BAB seperti yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah
anus dan rektum
2.      Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna
saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada
saluran anus saat mengejan.
3.      Peningkatan Tonus Rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada
kolon yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel Syndrome, dimana
konstipasi merupakan hal yang dominan.

A.4. PENATALAKSANAAN MEDIS ( penatalaksanaan kondisi klinis terkait)


Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi konstipasi,
merangsang upaya untuk memberikan pengobatan secara simptomatik. Sedangkan
bila mungkin, pengobatan harus ditujukan pada penyebab dari konstipasi.
Penggunaan obat pencahar jangka panjang terutama yang bersifat merangsang
peristaltik usus, harus dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi:
1.      Pengobatan non-farmakologis
a.       Latihan usus besar:
Melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan pada
penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan
mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus
besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat
memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat
menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB,
dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
b.      Diet:
Peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia lanjut.
Data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat
mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit
gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat
meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus.
untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan cairan sekitar 6-8
gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.
c.       Olahraga:
Cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi konstipasi jalan
kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan
pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-otot
dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut.
2.      Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis,
dan biasnya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat
pencahar :
a.       Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl
selulose, Psilium.
b.      Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan
tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air.
Contohnya : minyak kastor, golongan dochusate.
c.       Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan,
misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
d.      Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan
ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa
dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat
dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.
Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-
cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya
kolektomi sub total dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada
konstipasi berat dengan masa transit yang lambat dan tidak diketahui
penyebabnya serta tidak ada respons dengan  pengobatan yang diberikan. Pasa
umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya volvulus, tidak
dilakukan tindakan pembedahan.
B. RENCANA KEPERAWATAN (lihat SLKI dan SIKI)

Diagnosa Keperawatan :
Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
Tujuan :
Pasien dapat defekasi dengan teratur (setiap hari).
Kriteria Hasil :
1)      Defekasi dapat dilakukan satu kali sehari.
2)      Konsistensi feses lembut
3)      Eliminasi feses tanpa perlu mengejan berlebihan

Intervensi :
1.Tentukan pola defekasi bagi klien dan latih untuk menjalankannya
Rasional :
Untuk mengembalikan keteraturan pola defekasi klien

2. atur waktu yang tepat untuk defekasi klien seperti sesudah makan
Rasional:
Untuk memfasilitasi reflex defekasi

3. berikan asupan nutrisi berserat sesuai dengan indikasi


Rasional :
Nutrisi serat tinggi untuk melancarkan eliminasi fekal

4. berikan cairan jika tidak kontraindikasi 2-3 liter perhari


Rasional:
Untuk melunakkan eliminasi feses

5. Berikan laksatif atau enema sesuai indikasi


Rasional:
Untuk melunakkan feses
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadsyah I, et al,.1997.Kelainan abdomen nonakut. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed Sjamsuhidajat


R,  Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Carpenito, Juall Lynda. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC
Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Hadi S,.2001.Psikosomatik pada Saluran Cerna Bagian Bawah, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid II, Edisi ke-3, Gaya baru, Jakarta.
Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 2. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai