DOSEN PEMBIMBING :
DISUSUN OLEH :
1814401105
A.2. PENYEBAB
Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005 adalah sebagai
berikut:
1. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk defekasi dapat
menyebabkan konstipasi.
2. Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani (misalnya daging,
produk-produk susu, telur) dan karbohidrat murni (makanan penutup yang berat) sering
mengalami masalah konstipasi, karena bergerak lebih lambat didalam saluran cerna.
Asupan cairan yang rendah juga memperlambat peristaltik.
3. Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga yang teratur menyebabkan
konstipasi.
4. Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi normal. Selain
itu, kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan sempurna, memerlukan waktu untuk
diisi kembali oleh masa feses.
5. Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek menciutkan
dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi. Zat
besi juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada sebagian
orang), diuretik, antasid dalam kalsium atau aluminium, dan obat-obatan antiparkinson
dapat menyebabkan konstipasi.
6. Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot abdomen, dan
penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering mengonsumsi makanan rendah serat.
7. Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI (gastrointestinal), seperti
obstruksi usus, ileus paralitik, dan divertikulitus.
8. Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya cedera pada
medula spinalis, tumor) dapat menyebabkan konstipasi.
9. Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme, hipokalsemia, atau hypokalemia
dapat menyebabkan konstipasi.
Ada juga penyebab yang lain dari sumber lain, yaitu:
10. Peningkatan stres psikologi. Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan konstipasi
dengan menghambat gerak peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin dan sistem syaraf
simpatis. Stres juga dapat menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau
iritasi colon ). Yang berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah kram pada abdominal,
meningkatnya jumlah mukus dan periode bertukar-tukarnya antara diare dan konstipasi.
11. Umur
Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi pada orang tua turut
berperan menyebabkan konstipasi.
A.4. KONDISI KLINIS TERKAIT (Uraikan patofisiologi kondisi klinis yang terkait,
boleh ditambahkan barisnya)
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang
menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer,
koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk
mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah
karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal (Dorongan
untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap
kerja, antara lain: rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter
internal, relaksasi otot sfingter external dan otot dalam region pelvik, dan
peningkatan tekanan intra-abdomen). Gangguan dari salah satu mekanisme ini
dapat berakibat konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar
yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan
meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk
meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari
sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf
pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus
eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya
dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini akan menaikkan tekanan
dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan simpatis
maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup
beberapa faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan
yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya
usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan
saluran cerna. Perubahan patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah
karena bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi pada mereka dengan
konstipasi.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang
sehat tidak mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk
aktivitas motorik dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti
petanda radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan.
Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi
menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada mereka yang
dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari.
Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon sebelah kiri
dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid. Pemeriksaan
elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien dengan
konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat
berkurangnya inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan
juga berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan
memanjangnya waktu gerakan usus.
Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma beta-
endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen
di usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang dapat
menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks
gaster-kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan
otot-otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. Pasien dengan
konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil
dan keras sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat
berakibat penekanan pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih
lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut.
Sebaliknya, pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga
perubahan patologis pada rektum, sebagai berikut:
1. Diskesia Rektum
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi
rektum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan
rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada
colok dubur pasien dengan diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang
tidak disadari karena dorongan untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum
juga dapat diakibatkan karena tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk
BAB seperti yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah
anus dan rektum
2. Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna
saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada
saluran anus saat mengejan.
3. Peningkatan Tonus Rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada
kolon yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel Syndrome, dimana
konstipasi merupakan hal yang dominan.
Diagnosa Keperawatan :
Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
Tujuan :
Pasien dapat defekasi dengan teratur (setiap hari).
Kriteria Hasil :
1) Defekasi dapat dilakukan satu kali sehari.
2) Konsistensi feses lembut
3) Eliminasi feses tanpa perlu mengejan berlebihan
Intervensi :
1.Tentukan pola defekasi bagi klien dan latih untuk menjalankannya
Rasional :
Untuk mengembalikan keteraturan pola defekasi klien
2. atur waktu yang tepat untuk defekasi klien seperti sesudah makan
Rasional:
Untuk memfasilitasi reflex defekasi