Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan karunianya sehingga kami diberikan kesempatan untuk menyelesaikan
makalah yang berjudul “Konstipasi” untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Farmakoterapi Gangguan Saluran Cerna dan Nutrisi dengan tepat waktu. 
Dalam mengerjakan makalah ini, tentunya kami tidak dapat
menyelesaikannya sendiri tanpa dukungan dari pihak lain. Kami mengucapkan
terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Farmakoterapi Gangguan
Saluran Cerna dan Nutrisi yaitu Bapak Hariyanto, IH., M.Si., Apt sehingga kami
dapat lebih mendalami pemahaman serta melakukan studi literatur tentang
Konstipasi. Tidak lupa kami juga berterima kasih kepada teman-teman yang telah
memberikan dukungan untuk kami melalui doa agar kami mampu menyelesaikan
makalah ini dengan baik.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena
terdapat kekurangan. Kami menerima dengan sangat terbuka terhadap kritik dan
saran yang membangun guna membangun yang terbaik kedepannya. Akhir kata,
kami ucapkan terima kasih dan semoga materi yang kami sampaikan melalui
makalah ini dapat bermanfaat.

Pontianak, 25 Agustus 2023

Kelompok 7

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 3
BAB III METODOLOGI...................................................................................... 9
BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................10
BAB V KESIMPULAN........................................................................................14
Daftar Pustaka.......................................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Konstipasi biasa disebut sembelit atau susah buang air besar.
Konstipasi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh perubahan konsistensi
feses menjadi keras, ukuran besar, penurunan frekuensi atau kesulitan
defekasi. [1]
Gejala konstipasi yang biasa dikeluhkan oleh pasien yaitu tinja
yang keras, sulit buang air besar, kembung, perasaan tidak puas setelah
buang air besar, dan rasa tidak nyaman pada perut. [2]
Konstipasi dapat terjadi pada semua umur, tetapi lebih sering terjadi
pada anak-anak maupun usia lanjut. Prevalensi konstipasi bervariasi karena
perbedaan antara kelompok. Jenis kelamin, umur dan pendidikan sangat
berkaitan dengan prevalensi konstipasi. [3]
Konstipasi terjadi pada sekitar
14.7% dari penduduk Amerika Serikat, terutama 16% pada anak-anak dan
15 sampai 50% pada orang tua, dan konstipasi umumnya lebih sering terjadi
pada wanita dibanding pria. [2]
Prevalensi konstipasi semakin meningkat pada usia 60-110 tahun yaitu
33.5%, dan lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan. Prevalensi rata-rata
keluhan konstipasi pada pasien dewasa di seluruh dunia adalah 16%,
sedangkan pada pasien anak adalah 12%. Konstipasi banyak terjadi di
masyarakat umum pada kelompok remaja dan dewasa awal, risiko
terjadinya konstipasi lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan
pria dengan angka perbandingan 4:1. [4]
Serat pangan sangat diperlukan dalam mencegah sembelit. Serat
pangan yang tinggi terdapat pada buah-buahan dan sayur-sayuran.
Konsumsi sayuran dan buah- buahan yang cukup merupakan salah satu
indikator sederhana gizi seimbang. Hal ini membuktikan bahwa buah dan
sayur-sayuran turut berperan dalam mencegah resiko terjadinya konstipasi.
[4]

I.2. Rumusan Masalah

1
2

Adapun rumusan masalah dari makalah ini, yaitu : 


1. Apa patogenesis dari penyakit konstipasi?
2. Bagaimana tatalaksana terapi dari penyakit konstipasi?
3. Apa saja golongan obat dari penyakit konstipasi?
4. Bagaimana mekanisme kerja tiap golongan obat dari penyakit
konstipasi?
5. Apa saja MESO dari penyakit konstipasi?
6. Bagaimana terapi non-farmakologi dari penyakit konstipasi?

I.3. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini, yaitu :
1. Mengetahui patogenesis penyakit konstipasi
2. Mengetahui tatalaksana terapi penyakit konstipasi
3. Mengetahui golongan obat penyakit konstipasi
4. Mengetahui mekanisme kerja tiap golongan obat penyakit konstipasi
5. Mengetahui MESO penyakit konstipasi
6. Mengetahui terapi non-farmakologi penyakit konstipasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Patogenesis
Patogenesis konstipasi bersifat multifaktorial, antara lain
kecenderungan genetik, status sosial ekonomi, kurangnya asupan cairan
yang memadai, kurangnya mobilitas, gangguan keseimbangan hormon, efek
samping obat, hingga konsumsi serat yang rendah. [5]
Konstipasi dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal atau dalam usus dan rektum dapat menyebabkan konstipasi
meliputi obstruksi usus besar (neoplasma, volvulus, striktur), motilitas kolon
lambat terutama pada pasien dengan riwayat penyalahgunaan pencahar
kronis, obstruksi anatomis pada saluran keluar: intususepsi dinding anterior
rektum saat mengejan, prolaps rektum, dan rektokel, obstruksi fungsional
pada saluran keluar: spasme sfingter eksternal saat mengejan, penyakit
Hirschsprung segmen pendek, dan kerusakan saraf pudendal. [6]
Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang terlibat dalam
konstipasi yang berasal dari luar usus besar termasuk kebiasaan makan yang
buruk dan faktor psikologis. Faktor eksternal yang paling umum adalah
asupan serat atau cairan yang tidak memadai atau penggunaan kafein atau
alkohol yang berlebihan. [7]
Konstipasi juga bisa disebabkan oleh penggunaan obat-obatan, seperti
antasida, nifedipine, dan sertraline. Selain itu, gangguan endokrin dan
neurologi juga bisa menyebabkan keluhan konstipasi, misalnya hipotiroid,
spinal cord injury, dan multiple sclerosis. [8]
Depresi, gangguan fisiologis,
dan kecemasan juga merupakan beberapa hal yang berhubungan dengan
kejadian konstipasi. Hiperkalsemia juga merupakan penyebab terjadinya
keterlambatan konduksi pada persarafan ekstrinsik dan intrinsik usus. [2]

II.2. Tahapan Diagnosis dan Penatalaksanaan Terapi


II.2.1. Tahapan Diagnosis
Diagnosis konstipasi terdiri dari beberapa tahapan, yaitu [9] :

3
4

a. Anamnesis 
Anamnesis lengkap dibutuhkan untuk mengidentifikasi obat-
obat yang menginduksi konstipasi dan untuk menyingkirkan
penyebab-penyebab konstipasi lainnya. 
b. Pemeriksaan fisik 
Pemeriksaan fisik dilakukan menyeluruh untuk menyingkirkan
berbagai etiologi konstipasi. Inspeksi daerah perianal dapat
menunjukkan bekas luka/parut, fistula, fisura, dan hemoroid
eksternal. Pemeriksaan digital rektum penting untuk mengakses
impaksi feses, striktur anal, atau adanya massa rektum.
c. Inspeksi feses
Tipe konsistensi feses dapat berguna untuk mengetahui estimasi
waktu transit kolon. Misalnya, feses berbentuk seperti kacang,
keras, terpisah satu sama lain (sulit dikeluarkan)
menggambarkan waktu sekitar 100 jam (transit lambat).
Sedangkan, feses berbentuk cair yang tidak terdapat potongan
padat menggambarkan waktu sekitar 10 jam (transit cepat).
d. Pemeriksaan Laboratorium 
Pelayanan primer terdiri dari, pemeriksaan darah rutin/darah
lengkap (hemoglobin, hitung leukosit, dan trombosit) terutama
untuk menyingkirkan kemungkinan anemia, dan tes fungsi tiroid
(TSH/thyroid stimulating hormone, jika perlu ditambah fT4)
untuk menyingkirkan kemungkinan hipotiroid. Pelayanan
sekunder terdiri dari tes yang lebih kompleks.
e. Pemeriksaan Radiologi 
Pemeriksaan radiologi digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan proses akut yang dapat menyebabkan ileus atau
untuk mengevaluasi penyebab konstipasi kronis.
f. Pemeriksaan Penunjang Lain 
Kolonoskopi, manometri anorektal, elektromiografi, ekspulsi
balon, transit kolon, dan defekografi dapat digunakan dalam
mengevaluasi konstipasi.
5

II.2.2. Penatalaksanaan Terapi


Ada beberapa tahapan penatalaksanaan terapi untuk konstipasi,
yaitu :
a. Menentukan Target Penatalaksanaan
Target penatalaksanaan konstipasi kronis adalah untuk
mengurangi gejala, mengembalikan kebiasaan defekasi yang
normal, keluarnya feses yang berbentuk dan lunak setidaknya 3
kali per minggu tanpa mengejan, dan meningkatkan kualitas
hidup dengan efek samping minimal. [9]
b. Jenis terapi
Terapi untuk penyakit konstipasi terdiri dari terapi non-
farmakologis dan farmakologis. Terapi non-farmakologis seperti
aktivitas fisik, latihan, posisi saat defekasi, konsumsi air, dan
serat. Terapi farmakologis menggunakan agen-agen yang
tersedia untuk menangani konstipasi, biasanya golongan
laksatif. [9]
Saat ini untuk mengatasi konstipasi di rumah sakit selalu
bergantung dengan terapi farmakologi yaitu pemberian obat
pencahar (laxative). Penanganan konstipasi harus disesuaikan
dengan memperhitungkan lama dan intensitas konstipasi baik
dengan obat-obatan maupun mobilisasi. [10]
Terapi non farmakologi dapat dilakukan tanpa
menimbulkan efek samping seperti masase abdomen. Terapi ini
yang diberikan pada dinding abdomen secara langsung dapat
membantu merangsang peristaltik usus, memperkuat otot-otot
abdomen serta dapat meningkatkan kontraksi dari intestinal dan
rektum seseorang sehingga dapat memperlancar sistem
pencernaan. [10]

II.3. Golongan Obat


6

Beberapa golongan obat yang dapat digunakan untuk konstipasi,


antara lain [9,11] :

Golongan Obat Mekanisme Kerja Contoh

Laksatif Bulk Menahan cairan dalam tinja dan Psyllium,


meningkatkan berat dan Methylcellulose,
konsistensi tinja. Polycarbophil
calcium

Laksatif Golongan obat ini sulit diserap Magnesium


Osmotik dan menarik air ke dalam lumen hydroxide,
usus. Laktulosa,
Propylene glycol
(PEG 3350)

Laksatif Melalui perubahan transpor Anthraquinolone


Stimulan elektrolit oleh mukosa intestinal, (senna, cascara),
sehingga meningkatkan aktivitas Derivat
motor intestinal diphenylmethane

Agonis Reseptor Menyebabkan regulator Prucalopride


5HT-4 konduktansi transmembran
fibrosis kistik (CFTR), yang,
pada gilirannya, menyebabkan
sekresi air dan elektrolit ke dalam
lumen.

II.4. Monitoring Efek Samping Obat


Adapun monitoring efek samping obat dari golongan obat untuk
konstipasi yaitu [9,12] :

Golongan Obat Contoh Efek Samping

Laksatif Bulk Psyllium Flatulens, kram perut, reaksi


alergi (jarang)

Methylcellulose Sama seperti Psyllium,


tetapi flatulens lebih jarang

Polycarbophil calcium Flatulens lebih jarang


dibandingkan bulk-forming
laxative lainnya
7

Laksatif Magnesium hydroxide Flatulens, hipermagnesemia


Osmotik pada pasien dengan gagal
ginjal, hipokalemia

Laktulosa Flatulens, kram dan tidak


nyaman di perut

Propylene glycol (PEG Flatulens (jarang), nyeri


3350) perut

Laksatif Anthraquinolone (senna, Kram perut, hipokalemia


Stimulan cascara)

Derivat Kram perut, flatulens, rasa


diphenylmethane terbakar pada rektal dengan
bentuk suppository

Agonis Reseptor Prucalopride Sakit kepala, kram perut,


5HT-4 perut kembung berlebihan,
pusing, diare, dan ruam

II.5. Terapi Non-Farmakologi


Konstipasi dapat diobati melalui terapi non farmakologi atau cara
alami yaitu dengan modifikasi gaya hidup. Terapi non farmakologi yang
bisa dilakukan antara lain meningkatkan asupan cairan dengan
memperbanyak minum air putih, mengkonsumsi makanan tinggi serat
seperti pepaya, berolahraga secara teratur, bowel training, dan
menghentikan konsumsi obat-obatan yang menyebabkan terjadinya
konstipasi. [13]
Penderita konstipasi harus dianjurkan minum setidaknya 8 gelas air
per hari (sekitar 2 liter per hari). Konsumsi kopi, teh, dan alkohol dikurangi
semaksimal mungkin atau konsumsi segelas air putih ekstra untuk setiap
kopi, teh, atau alkohol yang diminum. [9]
Selain itu, mengkonsumsi air
bening hangat setelah bangun tidur dipagi hari saat perut kosong dapat
memperlancar pencernaan dan mengatasi masalah konstipasi. Hal ini
dikarenakan memberi efek vasodilator, yang membuat aliran darah lebih
banyak ke usus, sehingga fungsi sistem pencernaan menjadi lancar dan
8

maksimal. Mengkonsumsi air hangat akan menghemat energi tubuh, karena


tidak memerlukan banyak energi dalam menghangatkan minuman yang
dikonsumsi agar sama dengan suhu tubuh. Air hangat sangat menolong
proses defekasi pada penderita konstipasi, karena feses yang melunak. [13]
Pengobatan non farmakologi lainnya yang sering dianjurkan untuk
mengatasi konstipasi adalah dengan meningkatkan konsumsi makanan yang
tinggi serat seperti buah dan sayur sebagai terapi awal konstipasi. [9]
Buah
pepaya (Carica papaya L) merupakan salah satu sumber makanan yang
tinggi serat, memiliki kandungan gizi yang sangat bermanfaat untuk
kesehatan, dan dapat pula digunakan sebagai pengobatan alami, karena
kandungan zat non nutrisi yang dikandungnya. Selain mengandung serat
tinggi, buah pepaya mengandung enzim papain, chymopapain dan senyawa
alkaloid carpaina yang sangat bermanfaat untuk memaksimalkan fungsi
sistem pencernaan, meningkatkan massa feses dan air dalam saluran cerna,
sehingga dapat melembekan feces dan membuat proses BAB menjadi
mudah dan lancar. [13]
Pengobatan terapi non-farmakologis yang lainnya untuk konstipasi
adalah dengan memperbanyak aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik
berhubungan dengan peningkatan dua kali lipat risiko konstipasi. Tirah
baring dan imobilisasi berkepanjangan juga sering dihubungkan dengan
konstipasi. Lalu, membiasakan untuk memiliki pola defekasi yang teratur.
Saat optimal untuk defekasi adalah segera setelah bangun tidur dan setelah
makan, saat transit kolon tersingkat. Pasien harus mengenali dan merespons
keinginan defekasi, jika gagal dapat mengakibatkan menumpuknya feses
yang berlanjut diabsorpsi cairan yang membuatnya makin sulit dikeluarkan.
[9]
BAB III
METODOLOGI

Data yang digunakan dalam makalah ini dikumpulkan menggunakan


metode studi literatur/pustaka, baik melalui pustaka primer maupun pustaka
sekunder. Penelusuran pustaka melalui pencarian pustaka berbasis online seperti
Google, Google Scholar, Research Gate, NCBI, dan lain-lain. Kata kunci yang
digunakan untuk mencari pustaka adalah ‘Konstipasi’, ‘Patogenesis Konstipasi’,
‘Tatalaksana Terapi Konstipasi’, ‘Golongan Obat Konstipasi’, ‘Efek Samping
Obat Konstipasi’, dan ‘Terapi Konstipasi’. Dari hasil studi pustaka yang berasal
dari 2013-2023, diperoleh jurnal baik nasional atau internasional dan artikel yang
digunakan dalam pembuatan makalah ini. Pembatasan referensi ini bertujuan agar
data yang diperoleh merupakan data yang terbaru dan akurat. Pustaka-pustaka
yang diperoleh kemudian disusun sesuai kerangka makalah.

9
BAB IV
PEMBAHASAN

Konstipasi dapat didefinisikan sebagai kelainan pada saluran cerna yang


dapat mengakibatkan jarang buang air besar dan kesulitan untuk buang air besar
(BAB). Konstipasi ditandai dengan beberapa gejala, seperti feses yang keras,
penyumbatan anorektal, dan rasa kembung serta tidak nyaman pada bagian perut.
Berdasarkan patofisiologinya, penyebab konstipasi terbagi menjadi penyebab
primer dan sekunder. Penyebab primer seperti obstruksi saluran keluar dan
penyebab sekunder seperti dehidrasi, gangguan metabolisme, konsumsi obat-
obatan tertentu seperti opioid dan obat AINS lainnya, gangguan neurologis,
gangguan miopati, dan kelainan struktural. [14]
Patogenesis penyakit konstipasi bersifat multifaktorial, mulai dari diet,
kecenderungan genetik, motilitas kolon, faktor perilaku, dan faktor biologis.
Selain itu, asupan makan yang rendah serat, asupan air yang tidak memadai, gaya
hidup yang tidak banyak bergerak, sindrom iritasi usus besar, dan transit yang
lambat juga faktor-faktor yang menyebabkan konstipasi. Faktor-faktor sosial
seperti status sosial ekonomi yang rendah, pendidikan yang rendah, depresi,
pelecehan seksual, dan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari juga dapat
menjadi faktor penyebab konstipasi. [15]
Secara keseluruhan, rata-rata prevalensi konstipasi pada orang dewasa
diperkirakan sebesar 16% di seluruh dunia sedangkan prevalensi sebesar 33,5%
terjadi pada orang dewasa berusia 60 hingga 110 tahun. Konstipasi lebih sering
terjadi pada orang berusia lanjut daripada orang-orang muda. Hal ini disebabkan
oleh beberapa hal, seperti pola makan kurang tepat, kurangnya pergerakan usus,
kurangnya asupan cairan, kurangnya aktivitas fisik, dan penyakit dan penggunaan
obat-obatan tertentu. Orang berusia lanjut biasanya memilih untuk mengkonsumsi
makanan yang lembut dan rendah serat karena kesulitan menelan. [15]
Konstipasi terbagi menjadi konstipasi akut dan konstipasi kronis.
Konstipasi akut dapat menyebabkan penutupan usus yang membutuhkan tindakan
pembedahan. Konstipasi kronis biasanya terjadi pada orang-orang yang berusia

10
11

lanjut yang ditandai dengan kesulitan untuk buang air besar, hal ini berhubungan
dengan kualitas hidup orang tersebut. [15]
Terdapat beberapa tahapan diagnosis konstipasi, yaitu anamnesis,
pemeriksaan fisik, inspeksi feses, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologi, dan pemeriksaan penunjang lain. Anamnesis atau wawancara
merupakan langkah pertama dalam tata cara kerja yang harus ditempuh untuk
membuat diagnosis. Seorang dokter akan dapat mengarahkan kemungkinan
diagnostik pada seorang pasien melalui anamnesis yang baik. Anamnesis yang
baik harus mengacu pada pertanyaan yang sistematis, yaitu dengan berpedoman
pada empat pokok pikiran (The Fundamental Four) dan tujuh butir mutiara
anamnesis (The Sacred Seven). Anamnesis lengkap dibutuhkan untuk
mengidentifikasi obat-obat yang menginduksi konstipasi dan untuk
menyingkirkan penyebab-penyebab konstipasi lainnya. Setelah memperoleh
informasi dari pasien, dilakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dilakukan
menyeluruh untuk menyingkirkan berbagai etiologi konstipasi. Pemeriksaan
digital rektum penting untuk mengakses impaksi feses, struktur anal, atau adanya
massa rektum. Selanjutnya dilakukan inspeksi feses, pemeriksaan laboratorium,
dan pemeriksaan radiologi. [9]
Pemeriksaan laboratorium pada pelayanan primer meliputi pemeriksaan
darah rutin/darah lengkap (hemoglobin, leukosit, dan trombosit) dan tes fungsi
tiroid. Hal ini untuk mencegah kemungkinan anemia dan hipotiroid. Pemeriksaan
radiologi digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan proses akut yang dapat
menyebabkan ileus atau untuk mengevaluasi penyebab konstipasi kronis.
Pemeriksaan penunjang lain seperti kolonoskopi, manometri anorektal,
elektromiografi, ekspulsi balon, transit kolon, dan defekografi juga dapat
dilakukan untuk mengevaluasi konstipasi. Diagnosis penting untuk dilakukan
sebelum melakukan penatalaksanaan terapi. [9]
Setelah menegakkan diagnosis langkah berikutnya adalah menyusun
rencana penatalaksanaan. Tata laksana penyakit dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu farmakologis dan non farmakologis. Penatalaksanaan dilakukan sesuai
dengan kondisi pasien pasien dan dapat berupa tatalaksana farmakologis atau non
farmakologis. Tatalaksana farmakologis adalah pemberian terapi dengan
12

menggunakan obat-obatan, sedang tatalaksana non farmakologi merupakan upaya


pelengkap untuk mendapatkan efek pengobatan farmakologis yang lebih baik. [16]
Target penatalaksanaan konstipasi terutama konstipasi kronis adalah untuk
mengurangi gejala, mengembalikan kebiasaan defekasi yang normal, keluarnya
feses yang berbentuk dan lunak setidaknya 3 kali per minggu tanpa mengejan, dan
meningkatkan kualitas hidup dengan efek samping minimal. [9]
Terapi
farmakologis konstipasi dapat menggunakan agen-agen yang tersedia untuk
meredakan konstipasi. Saat ini untuk mengatasi konstipasi di rumah sakit selalu
bergantung dengan terapi farmakologi yaitu pemberian obat pencahar (laxative).
Laksatif merupakan terapi obat yang berfungsi untuk merangsang kerja usus yang
memudahkan pengeluaran feses. [10]
Laksatif dapat meningkatkan berat feses karena mengabsorbsi air,
sehingga mempercepat propulsi. Laksatif terdiri dari beberapa golongan, yaitu
laksatif bulk, laksatif osmotik, dan laksatif stimulan. Laksatif bulk bekerja dengan
cara menahan cairan dalam feses dan meningkatkan berat dan konsistensi feses.
Laksatif osmotik bekerja dengan menarik air ke dalam lumen usus dan golongan
ini cukup sulit untuk diserap. Laksatif stimulan bekerja melalui perubahan
transpor elektrolit oleh mukosa intestinal sehingga meningkatkan aktivitas motor
intertinal. Selain golongan laksatif, obat golongan agonis reseptor 5HT-4 juga
dapat digunakan untuk terapi farmakologis konstipasi. Agonis reseptor 5HT-4
menyebabkan regulator konduktansi transmembran fibrosis kistik (CFTR) yang
menyebabkan sekresi air dan elektrolit ke dalam lumen. Penanganan konstipasi
harus disesuaikan dengan memperhitungkan lama dan intensitas konstipasi baik
dengan obat-obatan maupun mobilisasi. Konsumsi obat-obatan anti inflamasi
seperti opioid atau AINS lainnya perlu diperhatikan karena dapat memicu
konstipasi. Hal ini karena penggunaan beberapa obat AINS dapat menyebabkan
gangguan pada gastrointestinal seperti dispepsia, diare, konstipasi, mual, muntah,
gastritis, dan ganguan pada kardiovaskular seperti hipertensi dan hipotensi. [17]
Selain terapi farmakologis, terapi non farmakologis juga dilakukan untuk
melengkapi terapi farmakologis. Terapi non farmakologis untuk penyakit
konstipasi yaitu aktivitas fisik, latihan, posisi saat defekasi, konsumsi air, dan
serat. Kurangnya aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan dua kali lipat
13

risiko konstipasi. Sebagian kemampuan defekasi merupakan suatu refleks yang


dikondisikan. Saat optimal untuk defekasi adalah segera setelah bangun tidur dan
setelah makan, saat transit kolon tersingkat. Posisi defekasi yang baik adalah
setengah berjongkok atau semi squatting. Konsumsi air adalah kunci
penatalaksanaan. Pasien dianjurkan untuk minum setidaknya 8 gelas air atau 2
liter air per hari. Konsumsi kopi, teh, dan alkohol dikurangi semaksimal mungkin.
Meningkatkan konsumsi serat umum dianjurkan sebagai terapi awal konstipasi.
Rekomendasi makanan tinggi serat atau suplemen-suplemen serat Psyllium perlu
dilanjutkan selama 2-3 bulan sebelum ada perbaikan gejala yang bermakna. [9]
BAB V
KESIMPULAN

Adapun terdapat beberapa kesimpulan dari makalah “Konstipasi” ini,


yaitu : 
1. Patogenesis penyakit konstipasi bersifat multifaktorial, yaitu kecenderungan
genetik, status sosial ekonomi, kurangnya asupan cairan, kurangnya
mobilitas, gangguan keseimbangan hormon, efek samping obat, hingga
konsumsi serat yang rendah.
2. Tatalaksana terapi penyakit konstipasi terdiri dari terapi farmakologis yaitu
dengan obat dan terapi non farmakologis.
3. Terdapat beberapa golongan obat untuk penyakit konstipasi, yaitu laksatif
bulk, laksatif osmotik, laksatif stimulan, dan agonis reseptor 5HT-4.
4. Setiap golongan obat untuk konstipasi memiliki mekanisme kerja yang
berbeda. Obat golongan laksatif bekerja dengan meningkatkan berat feses
sehingga mempercepat propulsi dan obat golongan agonis reseptor 5HT-4
bekerja dengan sekresi air dan elektrolit ke dalam lumen.
5. Setiap golongan obat untuk konstipasi memiliki efek samping yang berbeda-
beda, seperti flatulens dan kram perut.
6. Terapi non-farmakologi untuk penyakit konstipasi yaitu dengan cara alami
atau modifikasi gaya hidup. 

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Jannah IN, et al. Reduction of Constipating Scoring System Among Women


Aged 18-25 Years Old as a Result of Decocted Trengguli (Cassia fistula L.).
Journal of Vocational Health Studies. 2017; 1: 58-62.
2. Octaviani I. Chronic Constipation with Hemorrhoid at Single Man Because
of Unhealthy Lifestyle. Jurnal Medula Unila. 2014; 3(1): 46-55.
3. Rahma E, Oktafany. Efektivitas Lidah Buaya (Aloe Vera) terhadap
Konstipasi. Jurnal Agromedicine. 2018; 5(1): 427-432.
4. Abyan MA, Eksa DR, Artini I. Hubungan Pengetahuan Tentang Makanan
Berserat Dengan Kejadian Konstipasi Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Malahayati Bandar Lampung. Malahayati Nursing Journal.
2021; 3(4): 578-586.
5. Azzahra J, et al. Hubungan Asupan Serat dengan Kejadian Konstipasi pada
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia Angkatan
2020. Fakumi Medical Journal. 2023; 3(1): 72-79.
6. Aziz I, Whitehead WE, Palsson OS, Törnblom H, Simrén M. An approach
to the diagnosis and management of Rome IV functional disorders of
chronic constipation. Expert Rev Gastroenterol Hepatol. 2020; 14(1): 39-46.
7. Bharucha AE, Lacy BE. Mechanisms, Evaluation, and Management of
Chronic Constipation. Gastroenterology. 2020; 158(5): 1232-1249.
8. D Basson Marc. Constipation. Medscape. 2020.
9. Sianipar NB. Konstipasi pada Pasien Geriatri. Continuing Medical
Education. 2015; 42(8): 572-577.
10. Sianturi NRS, et al. Efektivitas Masase Abdomen Terhadap Pencegahan
Konstipasi Pada Pasien Stroke. Journal of Telenursing (JOTING). 2022:
4(1): 237-242.
11. Basir A, Sizar O. Laxatives. Treasure Island: Statpearls Publishing; 2023.
12. Sajid MS, et al. Use of Prucalopride for Chronic Constipation: A Systematic
Review and Meta-analysis of Published Randomized, Controlled Trials.
Journal of Neurogastroenterology and Motility. 2016; 22(3): 412-422.

15
16

13. Soputri N, Lado WO, Panjaitan M. Efektifitas Konsumsi Air Bening dan
Carica Papaya L. Sebagai Terapi Alamiah untuk Mengatasi Konstipasi.
Jurnal Skolastik Keperawatan. 2021; 7(2): 83-91.
14. Jani B, Marsicano E. Constipation: Evaluation and Management. Science of
Medicine. 2018; 115(3): 236-240.
15. Forootan M, Bagheri N, Darvishi M. Chronic Constipation: A Review
Literature. Medicine. 2018; 97(20): 1-9.
16. Novitasari A, Ridlo S, Kristina TN. Instrumen Penilaian Diri Kompetensi
Klinis Mahasiswa Kedokteran. Journal of Educational Research and
Evaluation. 2017; 6(1): 81-89.
17. Idacahyati K, et al. Hubungan Tingkat Kejadian Efek Samping
Antiinflamasi Non Steroid dengan Usia dan Jenis Kelamin. Jurnal Farmasi
dan Ilmu Kefarmasian Indonesia. 2019; 6(2): 56-61.

Anda mungkin juga menyukai