Anda di halaman 1dari 19

KEPERAWATAN MEDIKALBEDAH II

ASUHAN KEPERAWATAN KONSTIPASI

DOSEN PENGAMPU:
Ns.Sumitro Adi Putra, S.Kep, M.Kes

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 6
1.ADE WIDYA NINGSIH
2.DESSY HERMAWATY
3.DWI FITRIYANI
4.M.FAJRI MUMTAZAH
5.MARINI RUSADI

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


JURUSAN D3 KEPERAWATAN PALEMBANG
2018/2019
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Konstipasi” ini dengan
baik. Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah II dan juga sebagai panduan belajar.
Makalah ini belum sepenuhnya sempurna dan masih banyak terdapat
kekurangan. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga maklah ini
dapat berguna bagi pembaca dan memberikan informasiyan baru dan menambah
pengetahuan bagi kita semua.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua yang membantu dalam
pembuatan makalah ini terutama dosen pengajar dan teman-teman yang telah
mendukung.
Palembang, Maret 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………....ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………….….iii
BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………......1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………...1
1.2 Tujuan…………………………………………………………………………2
1.3 Manfaat……………………………………………………………………......2
BAB II TINJAUAN TEORI………………………………………………………3
2.1 Konsep Dasar Teori……………………………………………………………3
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi…………………………………………...………3
2.1.2 Pengertian………………………………………………………..………3
2.1.3 Tipe Konstipasi…………………………………………………..……...4
2.1.4 Etiologi…………………………………………………………………..4
2.1.5 Patofisiologi…………………………………………………………......5
2.1.6 Manifestasi Klinik……………………………………………………….7
2.1.7 Pemeriksaan…………………………………………………………......8
2.1.8 Penatalaksanaan………………………………………………………....9
2.1.9 Pencegahan……………………………………………………………..10
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan…………………………………………10
2.2.1 Pengkajian……………………………………………………………...10
2.2.2 Analisa Data…………………………………………………………....11
2.2.3 Diagnosa Keperawatan…………………………………………………12
2.2.4 Intervensi dan Rasional………………………………………………...12
BAB III PENUTUP……………………………………………………………...13
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………..15
3.2 Saran………………………………………………………………………....15
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………....iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar)


dari kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses
kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi juga dapat diartikan sebagai
keadaan dimana membengkaknya jaringan dinding dubur (anus) yang
mengandung pembuluh darah balik (vena), sehingga saluran cerna seseorang yang
mengalami pengerasan feses dan kesulitan untuk melakukan buang air besar.
Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut usia (lansia) akibat
gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus, red) lebih lambat dan
kemungkinan sebab lain yakni penggunaan obat-obatan seperti aspirin,
antihistamin, diuretik, obat penenang dan lain-lain. Kebanyakan terjadi jika
makan makananan yang kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga.
Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut.
Kasus konstipasi umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4% sampai 30%
pada kelompok usia 60 tahun ke atas. Ternyata wanita lebih sering mengeluh
konstipasi dibanding pria dengan perbandingan 3:1 hingga 2:1. Insiden konstipasi
meningkat seiring bertambahnya umur, terutama usia 65 tahun ke atas. Pada suatu
penelitian pada orang berusia usia 65 tahun ke atas, terdapat penderita konstipasi
sekitar 34% wanita dan pria 26%. Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas
usia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar . Di
Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh menderita konstipasi
dan lebih banyak pada wanita dibanding pria. Menurut National Health Interview
Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita
konstipasi terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas.
Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya
karena jijik dengan WC-nya, bingung caranya buang air besar seperti sewaktu
naik pesawat dan kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa karena
faktor sistemik, efek samping obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf
perifer. Bisa juga karena faktor kelainan organ di kolon seperti obstruksi organik
atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau kelainan pada rektum, anak dan
dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik.
Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya adalah
mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada
buah dan sayur. Jika penderita konstipasi ini mengalami kesulitan mengunyah,
misalnya karena ompong, caranya haluskan sayur atau buah tersebut dengan
diblender.
1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum:


Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien
dengan konstipasi, serta mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien
dengan konstipasi.
1.2.2 Tujuan Khusus:
a.Untuk mengetahui dan memahami pengertian konstipasi
b.Untuk mengetahui dan memahami pembagian konstipasi
c.Untuk mengetahui dan memahami etiologi konstipasi
d.Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi konstipasi
e.Untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinis konstipasi
f.Untuk mengetahui dan mampu menerapkan pemeriksaan, penatalaksanaan serta
pencegahan untuk pasien dengan konstipasi
g.Untuk memahami dan menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan
konstipasi

1.3 Manfaat

a.Menambah pengetahuan dan wawasan penulis dan pembaca tentang penyakit


Konstipasi.
b.Dapat menambah referensi bagi pembaca tentang konsep penyakit dan askep
pada Konstipasi.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Teori


2.1.1 Anatomi dan Fisiologi

Saluran gastroinstestinal (GI) adalah jalur (panjang totalnya 23-26 kaki)


yang berjalan dari mulut melalui esophagus,lambung,dan usus sampai anus.
Fungsi esophagus,yaitu: saluran pencernaan yang menjadi distensi bila
makanan melewatinya. Fungsi lambung, yaitu sebagai sekresi yang mengandung
enzim pepsin yang penting untuk memulai pencernaan protein, untuk memecah
makanan menjadi komponen yang lebih dapat diabsorpsi dan membantu destruksi
kebanyakan bakteri pencernaan. Fungsi usus halus ,yaitu mengubah makanan
yang dicerna, yang pada awalnya dicerna dalam bentuk lemak,protein,dan
karbohidrat dan dipecahkan menjadi nutrisi unsur pokoknya melalui proses
pencernaan. Fungsi kolon ,adalah membantu mengabsorpsi cairan dan elektrolit
(Suddarth & Brunner.2002.hal.984).

2.1.2 Pengertian

Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada seseorang,


disertai dengan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses
yang sangat keras dan kering (Wilkinson, 2006).
Konstipasi adalah defekasi dengan frekuensi yang sedikit, tinja tidak cukup
jumlahnya, berbentuk keras dan kering (Oenzil, 1995).
Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut
konsistensi tinja dan frekuensi berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1
sampai 4 minggu, sedangkan dikatakan kronik jika lamanya lebih dari 1 bulan
(Mansjoer, 2000).
Konstipasi adalah kesulitan atau jarang defekasi yang mungkin karena feses
keras atau kering sehingga terjadi kebiasaaan defekasi yang tidak teratur, faktor
psikogenik, kurang aktifitas, asupan cairan yang tidak adekuat dan abnormalitas
usus. (Paath, E.F. 2004) .
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah penurunan
frekunsi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan
kering. Adanya upaya mengedan saat defekasi adalah suatu tanda yang terkait
dengan konstipasi. Apabila motilitas usus halus melambat, masa feses lebih lama
terpapar pada dinding usus dan sebagian besar kandungan air dalam feses
diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan untuk melunakkan dan melumasi
feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat menimbulkan nyeri pada
rektum. (Potter & Perry, 2005).
Normalnya pola defekasi yang biasanya setiap 2 sampai 3 hari sekali tanpa
ada kesulitan, nyeri, atau perdarahan dapat dianggap normal.

2.1.3 Tipe Konstipasi

Berdasarkan International Workshop on Constipation, adalah sebagai


berikut:
1.Konstipasi Fungsional
Kriteria:
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan:
a.Mengedan keras 25% dari BAB
b.Feses yang keras 25% dari BAB
c.Rasa tidak tuntas 25% dari BAB
d.BAB kurang dari 2 kali per minggu
2.Penundaan pada muara rektum
Kriteria:
a.Hambatan pada anus lebih dari 25% BAB
b.Waktu untuk BAB lebih lama
c.Perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari
feses, sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya
disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.

2.1.4 Etiologi

Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005
adalah sebagai berikut:
1.Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk
defekasi dapat menyebabkan konstipasi.
2.Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani (misalnya
daging, produk-produk susu, telur) dan karbohidrat murni (makanan penutup yang
berat) sering mengalami masalah konstipasi, karena bergerak lebih lambat
didalam saluran cerna. Asupan cairan yang rendah juga memperlambat peristaltik.
3.Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga yang teratur menyebabkan
konstipasi.
4.Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi normal.
Selain itu, kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan sempurna, memerlukan
waktu untuk diisi kembali oleh masa feses.
5.Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek
menciutkan dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk
menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat
menyebabkan diare pada sebagian orang), diuretik, antasid dalam kalsium atau
aluminium, dan obat-obatan antiparkinson dapat menyebabkan konstipasi.
6.Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot abdomen,
dan penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering mengonsumsi makanan rendah
serat.
7.Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI (gastrointestinal),
seperti obstruksi usus, ileus paralitik, dan divertikulitus.
8.Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya cedera
pada medula spinalis, tumor) dapat menyebabkan konstipasi.
9.Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme, hipokalsemia, atau
hypokalemia dapat menyebabkan konstipasi.
Ada juga penyebab yang lain dari sumber lain, yaitu:
1.Peningkatan stres psikologi. Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan
konstipasi dengan menghambat gerak peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin
dan sistem syaraf simpatis. Stres juga dapat menyebabkan usus spastik
(spastik/konstipasi hipertonik atau iritasi colon ). Yang berhubungan dengan
konstipasi tipe ini adalah kram pada abdominal, meningkatnya jumlah mukus dan
periode bertukar-tukarnya antara diare dan konstipasi.
2.Umur
Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi pada orang
tua turut berperan menyebabkan konstipasi.

2.1.5 Patofisiologi

Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang
menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer,
koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk
mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi
adalah karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal
(Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui
empat tahap kerja, antara lain: rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi
otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter external dan otot dalam region pelvik,
dan peningkatan tekanan intra-abdomen). Gangguan dari salah satu mekanisme ini
dapat berakibat konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar
yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan
meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna.
Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi
dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang depersarafi oleh
saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus
eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya
dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini akan menaikkan
tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan
simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup
beberapa faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan
yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh
bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan
dari perjalanan saluran cerna. Perubahan patofisiologi yang menyebabkan
konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi pada
mereka dengan konstipasi.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut
yang sehat tidak mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus,
termasuk aktivitas motorik dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan
mengikuti petanda radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah
dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang menderita
konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada
mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi
sampai 14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada
kolon sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid.
Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien
dengan konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motorik dari sigmoid
akibat berkurangnya inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus.
Ditemukan juga berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat
menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus.
Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma beta-
endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate
endogen di usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiate
yang dapat menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan
menghambat refleks gaster-kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan
otot-otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. Pasien dengan
konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil
dan keras sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat
berakibat penekanan pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih
lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut.
Sebaliknya, pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga
perubahan patologis pada rektum, sebagai berikut:
1.Diskesia Rektum
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan
sensasi rektum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar
regangan rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan
interna. Pada colok dubur pasien dengan diskesia rektum sering didapatkan
impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan untuk BAB sering sudah
tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan karena tanggapnya atau
penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada penderita
demensia, imobilitas, atau sakit daerah anus dan rektum
2.Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus
eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan
tekanan pada saluran anus saat mengejan.
3.Peningkatan Tonus Rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering
ditemukan pada kolon yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel
Syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang dominan.

2.1.6 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala akan berbeda antara seseorang dengan seseorang yang lain,
karena pola makan, hormon, gaya hidup dan bentuk usus besar setiap orang
berbeda-beda, tetapi biasanya tanda dan gejala yang umum ditemukan pada
sebagian besar atau kadang-kadang beberapa penderitanya adalah sebagai berikut:
1.Perut terasa begah, penuh, dan bahkan terasa kaku karena tumpukan tinja (jika
tinja sudah tertumpuk sekitar 1 minggu atau lebih, perut penderita dapat terlihat
seperti sedang hamil).
2.Tinja menjadi lebih keras, panas, dan berwarna lebih gelap daripada biasanya,
dan jumlahnya lebih sedikit daripada biasanya (bahkan dapat berbentuk bulat-
bulat kecil bila sudah parah).
3.Pada saat buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-kadang
harus mengejan ataupun menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat
mengeluarkan tinja.
4.Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.
5.Bagian anus terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai sakit akibat
bergesekan dengan tinja yang panas dan keras.
6.Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih busuk daripada
biasanya (jika kram perutnya parah, bahkan penderita akan kesulitan atau sama
sekali tidak bisa buang
7.Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu transit buang
air besar (biasanya buang air besar menjadi 3 hari sekali atau lebih).
8.Terkadang mengalami mual bahkan muntah jika sudah parah.
Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling
sedikit 2 dari keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :
1.Konsistensi feses yang keras,
2.Mengejan dengan keras saat BAB,
3.Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB, dan
4.Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.

2.1.7 Pemeriksaan

Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan


kelainan yang jelas. Namun demikian pemeriksaan fisik yang teliti dan
menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan yang berpotensi
mempengaruhi fungsi usus besar.
Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka
pada selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan
proses menelan.
Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan
atau tonjolan. Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot
perut. Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya
tumor atau pelebaran batang nadi. Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan
gas berlebihan, pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau adanya massa
tinja.
Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara
gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang pemeriksaan
dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan) atau fistula
(hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang
bisa mengganggu proses buang air besar.
Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya
timbunan tinja, atau adanya darah.
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor risiko
konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat
keluarnya darah dari dubur.
Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran
cerna, tukak, wasir, dan tumor. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita
konstipasi untuk mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang
menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia,
keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu
dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian orang konstipasi hanya sekadar
mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat menimbulkan komplikasi serius.
Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70%), usus besar (20%), dan
pangkal usus besar (10%). Hal ini menyebabkan kesakitan dan meningkatkan
risiko perawatan di rumah sakit dan berpotensi menimbulkan akibat yang fatal.
Pada konstipasi kronis kadang-kadang terjadi demam sampai 39,5oC , delirium
(kebingungan dan penurunan kesadaran), perut tegang, bunyi usus melemah,
penyimpangan irama jantung, pernapasan cepat karena peregangan sekat rongga
badan. Pemadatan dan pengerasan tinja berat di muara usus besar bisa menekan
kandung kemih menyebabkan retensi urine bahkan gagal ginjal serta hilangnya
kendali otot lingkar dubur, sehingga keluar tinja tak terkontrol. Sering mengejan
berlebihan menyebabkan turunnya poros usus.

2.1.8 Penatalaksanaan

Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi


konstipasi, merangsang upaya untuk memberikan pengobatan secara simptomatik.
Sedangkan bila mungkin, pengobatan harus ditujukan pada penyebab dari
konstipasi. Penggunaan obat pencahar jangka panjang terutama yang bersifat
merangsang peristaltik usus, harus dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi:
1.Pengobatan non-farmakologis
a.Latihan usus besar
Melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan
pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan
mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus
besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat
memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat
menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB,
dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
b.Diet
Peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan
usia lanjut. Data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung
banyak serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit
gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat
meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus.
untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan cairan sekitar 6-8
gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.
c.Olahraga
Cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi
konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan
kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat
otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut.
2.Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi
farmakologis, dan biasnya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe
golongan obat pencahar :
a.Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl
selulose, Psilium.
b.Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan
tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya
: minyak kastor, golongan dochusate.
c.Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan,
misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
d.Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan
ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa
dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat
dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.
Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan
cara-cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya
kolektomi sub total dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada
konstipasi berat dengan masa transit yang lambat dan tidak diketahui
penyebabnya serta tidak ada respons dengan pengobatan yang diberikan. Pasa
umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya volvulus, tidak
dilakukan tindakan pembedahan.

2.1.9 Pencegahan

Berikut beberapa pencegahan untuk mencegah terjadinya konstipasi:


1.Jangan jajan di sembarang tempat.
2.Hindari makanan yang kandungan lemak dan gulanya tinggi.
3.Minum air putih minimal 1,5 sampai 2 liter air (kira-kira 8 gelas) sehari dan
cairan lainnya setiap hari.
4.Olahraga, seperti jalan kaki (jogging) bisa dilakukan. Minimal 10-15 menit
untuk olahraga ringan, dan minimal 2 jam untuk olahraga yang lebih berat.
5.Biasakan buang air besar secara teratur dan jangan suka menahan buang air
besar.
6.Konsumsi makanan yang mengandung serat secukupnya, seperti buah-buahan
dan sayur-sayuran.
7. Tidur minimal 4 jam sehari.

2.2 Konsep Dasar Askep


2.2.1 Pengkajian
a.Biodata Pasien
Lakukan pengkajian meliputi: nama,jenis kelamin,sukubangsa,tanggallahir,agama
dan tanggal pengkajian.
b.Keluhan Utama
Klien datang ke RS dengan keluhan nyeri pada perut, seminggu belum BAB
c.Riwayat Kesehatan Sekarang
Faktor pencetus:
Klien mengatakakn bahwa nyeri timbul pada perut selama seminggu.
Sejak saat itu klien tidak pernah menghabiskan porsi makan sehari-harinya. Selain
itu, klien mengaku mudah lelah untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
d.Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit yang pernah dialami(jenis penyakit ,lama dan upaya untuk
mengatasi,riwayat masuk RS).
e.Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit keturunan atau menular dalam keluarga.

Riwayat kesehatan dibuat untuk mendapatkan informasi tentang awitan


dan durasi konstipasi, pola emliminasi saat ini dan masa lalu, serta harapan pasien
tentang elininasi defekasi. Informasi gaya hidup harus dikaji, termasuk latihan dan
tingkat aktifitas, pekerjaan, asupan nutrisi dan cairan, serta stress. Riwayat medis
dan bedah masa lalu, terapi obat-obatan saat ini, dan penggunaan laksatif serta
enema adalah penting. Pasien harus ditanya tentang adanya tekanan rektal atau
rasa penuh, nyeri abdomen, mengejan berlebihan saat defekasi, flatulens, atau
diare encer.
f. Pemeriksaan Fisik
a.B1 (Breath) : RR meningkat
b.B2 (Blood) : denyut jantung meningkat, TD meningkat
c.B3 (Brain) : nyeri pada abdomen bawah
d.B4 (Bladder) : -
e.B5 (Bowel) : nafsu makan turun, BB turun
f.B6 (Bone) :-
Hasil pemeriksaan fisik umum :
a.Keadaan umum : lemah
b.TTV : tekanan darah 130/95 mmHg, nadi : 90x/mnt, RR
23x/mnt
Pemeriksaan fisik abdomen
a.Inspeksi : pembesaran abdomen
b.Palpasi : perut terasa keras, ada impaksi feses
c.Perkusi : redup
d.Auskultasi : bising usus tidak terdengar

2.2.2.Analisa Data

Pengkajian objektif mencakup inspeksi feses terhadap warna, bau,


konsistensi, ukuran, bentuk, dan komponen. Abdomen diauskultasi terhadap
adanya bising usus dan karakternya. Distensi abdomen diperhatikan. Area
peritonial diinspeksi terhadap adanya hemoroid, fisura, dan iritasi kulit.
2.2.3 Diagnosa

a.Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.


b.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu
makan.
c.Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.

2.2.4 Intervensi dan Rasional

a.Diagnosa : Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur


Tujuan : pasien dapat defekasi dengan teratur (setiap hari)
Kriteria hasil :
1)Defekasi dapat dilakukan satu kali sehari.
2)Konsistensi feses lembut
3)Eliminasi feses tanpa perlu mengejan berlebihan

Intervensi Rasional
1.Mandiri:
a.Tentukan pola defekasi bagi a.Untuk mengembalikan
klien dan latih klien untuk keteraturan pola defekasi klien
menjalankannya
b.Atur waktu yang tepat untuk b.Untuk memfasilitasi refleks
defekasi klien seperti sesudah defekasi
makan
c.Berikan cakupan nutrisi berserat c.Nutrisi serat tinggi untuk
sesuai dengan indikasi melancarkan eliminasi fekal
d.Berikan cairan jika tidak d.Untuk melunakkan eliminasi
kontraindikasi 2-3 liter per hari feses

2.Kolaborasi:
Pemberian laksatif atau enema Untuk melunakkan feses
sesuai indikasi

b.Diagnosa : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


hilangnya nafsu makan
Tujuan : menunjukkan status gizi baik
Kriteria Hasil :
1)Toleransi terhadap diet yang dibutuhkan
2)Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
3)Nilai laboratorium dalam batas normal
4)Melaporkan keadekuatan tingkat energy
Intervensi Rasional
1.Mandiri:
a.Buat perencanaan makan a.Menjaga pola makan pasien
dengan pasien untuk sehingga pasien makan secara
dimasukkan ke dalam jadwal teratur
makan. b.Pasien merasa nyaman dengan
b.Dukung anggota keluarga makanan yang dibawa dari
untuk membawa makanan rumah dan dapat meningkatkan
kesukaan pasien dari rumah. nafsu makan pasien.
c. Tawarkan makanan porsi c.Dengan pemberian porsi yang
besar disiang hari ketika nafsu besar dapat menjaga
makan tinggi keadekuatan nutrisi yang masuk.
d.Pastikan diet memenuhi d.Tinggi karbohidrat, protein,
kebutuhan tubuh sesuai dan kalori diperlukan atau
indikasi. dibutuhkan selama perawatan.
e.Pastikan pola diet yang pasien e.Untuk mendukung
yang disukai atau tidak disukai. peningkatan nafsu makan pasien
f.Pantau masukan dan f. Mengetahui keseimbangan
pengeluaran dan berat badan intake dan pengeluaran asuapan
secara periodik. makanan.
g.Kaji turgor kulit pasien g.Sebagai data penunjang
adanya perubahan nutrisi yang
kurang dari kebutuhan

2.Kolaborasi: 1)Untuk dapat mengetahui


a.Observasi: tingkat kekurangan kandungan
1) Pantau nilai laboratorium, Hb, albumin, dan glukosa dalam
seperti Hb, albumin, dan kadar darah.
glukosa darah 2)Klien terbiasa makan dengan
terencana dan teratur.
2) Ajarkan metode untuk
perencanaan makan Menjaga keadekuatan asupan
b.Health Edukasi nutrisi yang dibutuhkan.
Ajarkan pasien dan keluarga
tentang makanan yang bergizi
dan tidak mahal
c. Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada
abdomen
Tujuan : menunjukkan nyeri telah berkurang
Kriteria Hasil :
1)Menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai
kenyamanan
2)Mempertahankan tingkat nyeri pada skala kecil
3)Melaporkan kesehatan fisik dan psikologisi
4)Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk mencegah nyeri
5)Menggunakan tindakan mengurangi nyeri dengan analgesik dan non-analgesik
secara tepat.

Intervensi Rasional
1.Mandiri:
a.Bantu pasien untuk lebih aKlien dapat mengalihkan
berfokus pada aktivitas dari nyeri perhatian dari nyeri
dengan melakukan penggalihan b.Hati-hati dalam pemberian
melalui televisi atau radio. anlgesik opiate
b.Perhatikan bahwa lansia c.Hati-hati dalam pemberian
mengalami peningkatan obat-obatan pada lansia
sensitifitas terhadap efek
analgesik opiat
c.Perhatikan kemungkinan
interaksi obat – obat dan obat
penyakit pada lansia

2.Kolaborasi
a.Observasi a.Observasi
1)Minta pasien untuk menilai 1)Mengetahui tingkat nyeri
nyeri atau ketidak nyaman pada yang dirasakan klien
skala 0 – 10 2)Mengetahui karakteristik
2)Gunakan lembar alur nyeri nyeri
3)Lakukan pengkajian nyeri yang 3)Agar mngetahui nyeri secara
komperhensif spesifik
b. Health education
1)Instruksikan pasien untuk b.Health Education
meminformasikan pada perawat 1) Perawat dapat melakukan
jika pengurang nyeri kurang tindakan yang tepat dalam
tercapai mengatasi nyeri klie
2) Berikan informasi tetang 2)Agar pasien tidak merasa
nyeri cemas
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari
kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses
kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat
terjadi saat bepergian, misalnya karena jijik dengan WC-nya, bingung caranya
buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan kendaraan umum lainnya.
Penyebab konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek samping obat, faktor
neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor kelainan organ
di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau
kelainan pada rektum, anak dan dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik
kronik. Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya
adalah mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah
pada buah dan sayur.

3.2 Saran

Saran dari kami tim penulis adalah sebaiknya bagi penderita kuncinya adalah
dengan mengonsumsi makanan yang berserat.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadsyah I, et al,.1997.Kelainan abdomen nonakut. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed


Sjamsuhidajat R, Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Carpenito, Juall Lynda. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10.
Jakarta: EGC
Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Hadi S,.2001.Psikosomatik pada Saluran Cerna Bagian Bawah, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi ke-3, Gaya baru, Jakarta.
Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 2. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai