MODUL IV (KONSTIPASI)
SEMESTER 5
TUTOR:
KELOMPOK 2
Nama Anggota:
PRODI KEDOKTERAN
Assalamualaikum wr.wb
Segala puji kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang diberikan,
sehingga Laporan PBL Modul 4 Blok Gasteroenterohepatologi ini bisa terselesaikan dengan
baik. Adapun laporan ini kami susun sebagai bagian dari tugas akhir setelah menyelesaikan
Tutorial PBL Modul 4.
Dalam penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terimaksih sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu terselesaikannya laporan ini. Terutama kepada dr.Mieke
Marindawati,Sp.PA selaku dosen pengampu pada tutorial modul 4 di Blok
Gasteroenterohepatologi Fakultas Muhammadiyah Jakarta.
Kami selaku penyusun menyadari bahwa laporan praktikum ini belumlah dikatakan sempurna.
Untuk itu, kami dengan sangat terbuka menerima kritik dan saran dari pembaca sekalian.
Semoga laporan praktikum ini bermanfaat untuk kita semua.
Wasssalamualaikum wr.wb
Kelompok 2
DAFTAR ISI
Halaman Depan
Kata Pengantar ………………………………………………………………………………… i
Daftar Isi ………………………………………………………………………………………. ii
BAB I Pendahuluan ……………………………………………………………………...…..….4
BAB II Pembahasan …………………………………………………………………………...… 4
BAB III Penutup …………………………………………………………………………….......23
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO 2
Seorang laki-laki 35 tahun 4ating ke poliklinik dengan keluhan sulit buang air besar yang sudah
berlangsung lebih dari satu tahun.BABnya keras dan selalu lebih dari 3 hari sekali.Ia juga
mengeluh setiap BAB tidak puas dan perutnya sering kembung.Ia mengaku tidak mempunyai
masalh kesehatan lain dan kadang-kadang hanya minum obat bebas tanpa ada perbaikan gejala.
BAB II
PEMBAHASAN
KONSTIPASI
Alur
Diagnos
Anamnesi Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan penunjang
s
DD
Komplikas WD Prognosis
i
Farmakologi
Penatalaksanaan Pencegahan
Non-farmakologi
Langkah 3 : Peta Konsep
Langkah 5: Pembahasan
Konstipasi
Konstipasi adalah suatu gejala bukan penyakit. Di masyarakat dikenal dengan istilah sembelit,
merupakan suatu keadaan sukar atau tidak dapat buang air besar, feses (tinja) yang keras, rasa
buang air besar tidak tuntas (ada rasa ingin buang air besar tetapi tidak dapat mengeluarkannya),
atau jarang buang air besar. Seringkali orang berpikir bahwa mereka mengalami konstipasi
apabila mereka tidak buang air besar setiap hari yang disebut normal dapat bervariasi dari tiga
kali sehari hingga tiga kali seminggu
Etiologi Konstipasi
b. Psikologis/ psikogenik yang meliputi: depresi, stres emosional, dan konfusi mental
e. Fisiologis: perubahan pola makan dan makanan yang biasa dikonsumsi, penurunan motilitas
saluran gastrointestinal, dehidrasi, insufisiensi asupan serat (Diet, pola, atau jenis makanan yang
dikomsumsi dapat mempengaruhi proses defekasi. Makanan yang memiliki kandungan serat
tinggi dapat membantu proses percepatan defekasi dan jumlah yang dikonsumsi pun
mempengaruhinya), insufisiensi asupan cairan (Pemasukan cairan yang kurang dalam tubuh
membuat defekaksi menjadi keras. Oleh karena proses absorbsi air yang kurang menyebabkan
kesulitan proses defekasi), pola makan buruk .
klasifikasi Konstipasi
dikelompokkan menjadi bentuk primer atau sekunder bergantung pada ada tidaknya penyebab
yang mendasarinya. Konstipasi fungsional primer ditegakkan bila penyebab dasar konstipasi
tidak dapat ditentukan. Keadaan ini ditemukan pada sebagian besar pasien dengan
konstipasi.Konstipasi fungsional sekunder ditegakkan bila kita dapat menentukan penyebab
dasar keluhan tersebut. Penyakit sistemik dan efek samping pemakaian beberapa obat tertentu
merupakan penyebab konstipasi fungsional yang sering dilaporkan.3 Klasifikasi lain yang perlu
dibedakan pula adalah apakah keluhan tersebut bersifat akut atau kronis. Konstipasi akut bila
kejadian baru berlangsung selama 1-4 minggu, sedangkan konstipasi kronis bila keluhan telah
berlangsung lebih dari 4 minggu
Konstipasi Primer
• Fungsional
• Transit Lambat
• Disfungsi Anorektal
Konstipasi Sekunder
• Parasit
• Obat-obatan
Patofisiologi Konstipasi
Jika terjadi pola makanan yang kurang sehat, kurang minum, menahan BAB, obat-obatan , diet
rendah serat dan kondisi metabolic terjadilah obstruksi saluran cerna atau yang disebt
penyumbatan yang terjadi di dalam usus baik halus maupun usus besar dan pasti adanya cedera
usus.Karna ada sudah menekan pembuluh darah vena arteri pembuluh limfatik dan pleksus saraf
bagian obstruksinya (kerusakan neuromuscular).Terjadilah gangguan reflex defekasi. Karna
persayarafan sudah terganggu dan motalitasnya (peristaltic kolon)pasti terganggu juga. Jika
penurunan pengeluaran cairan di dalam usus dan tinja lama di kolin tinggi penyerapannya cairan
jadilah tinja kering, keras dan tinja sulitb di keluarkan maka terjadi lah konstipasi.
Prolapse rectum
Pada kondisi ini, rectum pindah dari posisinya didalam tubuh dan menonjol keluar dari
anus akibat terlalu lama mengejan.
Perdarahan hemoroid
Pembengkakan dinding anus akibat pelebaran pembuluh darah yang biasanya disebabkan
oleh proses mengejan yang terlalu lama.
Fisura ani
Mengejan terlalu lama dan tinja yang keras atau besar dapat mengakibatkan fisura atau
robeknya kulit pada dinding anus.
Impaksi feses
Impaksi feses yaitu menumpuknya tinja yang kering dan keras direktum akibat konstipasi
yang berlarut-larut dapat menyebabkan obstruksi kolon dan ulserasi rectum yang dapat
mengakibatkan perdarahan atau perforasi.
Infeksi saluran kencing berulang akibat penekanan ureter oleh massa feses.
Tatalaksana Konstipasi
Nonfarmakologi
Farmakologi
Obat – obat laksatif
Bulk laxative
Obat ini terdiri dari yang bisa larut (psyllium, pectin, plantago) dan yang tidak bisa larut
(selulosa). Golongan laksatif ini bersifat hidrofilik, menyerap air dari lumen usus yang
akhirnya dapat meningkatkan massa feses dan melunakkan konsistensi feses.
Pasien- pasien dengan konstipasi transit normal memberikan respon yang baik dengan
pemberian bulk laxatives. Namun pada pasien-pasien dengan kontipasi transit lambat atau
difungsi anorrektal, penggunaan obat ini tidak memberikan respon yang baik.Efek samping
yang bisa timbul pada penggunaan golongan laksatif ini adalah rasa kembung dan gas yang
berlebihan.
Laksatif osmotic
Golongan ini seperti magnesium hidroksida, magnesim sitrat dan natrium bifosfat bersifat
hyperosmolar, meenyebabkan seekresi air ke dalam lumen saluran cerna berdasarkan
aktivitas osmotik. Golongan ini cukup aman karena bekerja di lumen kolon dan tidak
menimbulkan efek sistemik. Namun pada penggunaan dapat terjadi gangguan elektrolit.
Salbutamol dan laktulosa merupakan undigestible agent , dicerna oleh bakteri usus menjadi
hydrogen elektrolit
-Stimulant laxative
Bisacondyl dan semua dapatkan meningkatkan sekresi air kedalam lumen usus. Biasanya
defekasi terjadi dalam beberapa jam setelah laksatif ini diminum, namun kadang-kadang
dapat terjadi abdominal craming karena menigkatnya peristalsis.
Terapi empiris sebaiknya di evaluasi setelah 2-4 minggu. Jika tidak ada perbaikan segera
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut atau modifikasi pengobatan. Pada asien konstipasi transit
lambat, dianjurkan untuk diberikan kombinasi Antara stimulant laxative dengan obat-obat
prokinetik.
Terapi biofeedback
Adalah terapi utama untuk pasien dengan disfungsi anorektal, dikombinasi dengan terapi
nonfarmakologi dan laksatif. Terapi ini diharapkan dapat mengembalikan koordinasi normal
dan fungsi dari spingter ani dan otot dasar panggul. Terapi ini dilakukan menggunakan
elektromiografi anorektal atau kateter manometri.
Terapi surgical
Pada pasien dengan konstipasi transit lambat tanpa adanya disfungsi anorektal yang gagal
dengan terapi nonfarmakologi dan laksatif, dapat mempertimbangkan kolektomi subtotal
dengan ileorektosatomi.
Pencegahan Konstipasi
Beberapa hal dibawah merupakan upaya pencegahan untuk konstipasi, diantaranya
adalah:
Alur Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan neurologis terfokus harus dilakukan untuk mencari defisit fokal dan fase relaksasi
yang tertunda dari refleks tendon yang dalam (menunjukkan hipotiroidisme). Pasien juga harus
dievaluasi tanda-tanda depresi, kecemasan, dan somatisasi.
Diagnosis Differential
adalah salah satu penyakit gastrointenstinal fungsional. Irritable bowel syndrome memberikan
gejala berupa adanya nyeri perut, distensi dan gangguan pola defekasi tanpa gangguan organik1 .
Pada dua dekade terakhir, Irritable bowel syndrome telah mendapatkan perhatian yang cukup
besar di bidang kesehatan akibat semakin tingginya prevalensi dan gejala yang muncul
bervariasi. IBS termasukdalam kelompok penyakit gastrointestinal kronik yang disebut sebagai
functional bowel disorders (FBD) yang diklasifikasikan oleh the Rome foundation . Menurut
Kriteria Rome II, prevalensi kejadian IBS dengan prevalensi tertinggi terdapat di Kanada dan
Amerika (12%) . Gejala klinik IBS berupa nyeri perut atau rasa tidak nyaman di abdomen dan
perubahan pola buang air besar seperti diare, konstipasi atau diare dan konstipasi bergantian
sertarasa kembung. Didiagnosis atas dasar gejala-gejala yang khas tanpa adanya gejala alarm
seperti penurunan berat badan, perdarahan per rektal, demam atau anemia. Pemeriksaan fisik dan
tes diagnostik yang sekarang tersedia tidak cukup spesifik untuk menegakkan diagnosis IBS,
sehingga diagnosis IBS ditegakkan atas dasar gejala-gejala yang khas tersebut . Sebagai gejala
tambahan pada nyeri perut, diare atau konstipasi, gejala khas lain meliputi perut kembung,
adanya gas dalam perut, stool urgensi atau strining dan perasaan evakuasi kotoran tidak lengkap .
Oleh karena patofisiologi dan penyebab IBS yang kurang dipahami, pengobatan utama
difokuskan pada gejala-gejala yang muncul untuk mempertahankan fungsi sehari-hari dan
meningkatkan kualitas hidup orang dengan IBS.
Epidemiologi
Kejadian dari IBS mencapai 20% dari penduduk Amerika, hal ini didasarkan pada gejala yang
sesuai dengan kriteria IBS. Kejadian IBS lebih banyak pada perempuan dan mencapai 3 kali
lebih besar dari laki-laki. Prevalensi IBS bisa mencapai 3,6-21, 8% dari jumlah penduduk dengan
rata-rata 11% .
Etiologi
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya IBS antara lain gangguan motilitas, intoleransi
makanan, abnormalitas sensoris, abnormalitas dari interaksi aksis braingut, hipersensitivitas
viseral,dan pasca infeksi usus . Adanya IBS predominan diare atau predominan konstipasi
menunjukkan bahwa pada IBS terjadi sesuatu perubahan motilitas. Pada IBS tipe diare terjadi
peningkatan kontraksi usus dan memendeknya waktu transit kolon dan usus halus. Sedangkan
IBS tipe konstipasi terjadipenurunan kontraksi usus dan memanjangnya waktu transit kolon dan
usus halus. IBS yang terjadi pasca infeksi dilaporkan hampir pada 1/3 kasus IBS. Penyebab IBS
paska infeksi antara lain virus, giardia atau amuba . Faktor-faktor yang dapat mengganggu kerja
dari usus adalah sebagai berikut:
1. Faktor psikologis Stress dan emosi dapat secara kuat mempengaruhi kerja kolon. Kolon
memiliki banyak saraf yang berhubungan dengan otak. Sebagian kolon dikontol oleh
SSP, yang berespon terhadap stress. Sebagai contoh kolon dapat berkontraksi secara
cepat atau sebaliknya.
2. Sensitivitas terhadap makanan
Gejala IBS dapat ditimbulkan oleh beberapa jenis makanan seperti kafein, coklat,
produk-produk susu, makanan berlemak, alkohol, sayursayuranyang dapat memproduksi
gas (kol dan brokoli) dan minuman bersoda .
3. Genetik
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada kemungkinan IBS diturunkan dalam
keluarga dengan perkiraan faktor genetik berperan berkisar antara 0-57%
4. Hormon
Gejala IBS sering muncul pada wanita yang sedang menstruasi, mengemukakan bahwa
hormon reproduksi estrogen dan progesteron dapat meningkatkan gejala dari IBS .
5. Obat obatan konvensional
Banyak pasien yang menderita IBS melaporkan bertambah beratnya gejala setelah
menggunakan obatobatan konvensionalseperti antibiotik, steroid dan obat anti inflamasi.
Klasifikasi Menurut kriteria Roma III dan berdasarkan pada karakteristik feses pasien,
subklasifikasi IBS dibagi menjadi:
Berdasarkan gejala klinis subklasifikasi lain dapat digunakan :
1. Berdasarkan gejala:
- IBS predominan disfungsi usus:
- IBS predominan nyeri - IBS predominan kembung
2. Berdasarkan faktor pencetus:
- Post-infectious (PI-IBS)
- Food-induced
- Berhubungan dengan stress
Patofisiologi
1. Perubahan motilitas usus Dalam 50 tahun terakhir, perubahan pada kontraktilitas kolon dan
usus halus telah diketahui pada pasien IBS. Stress psikologis atau fisik dan makanan dapat
merubah kontraktilitas kolon. Motilitas abnormal dari usus halus selama puasaditemukan pada
pasien IBS. Juga dilaporkan adanya respon kontraksi yang berlebihan pada makanan tinggi
lemak
2. Hipersensitivitas visceral Salah satu penjelasan yang mungkin adalah sensitivitas dari reseptor
pada viscus dirubah melalui perekrutan silence nociseptor pada respon terhadap iskemia,
distensi, kandungan intraluminal, infeksi, atau faktor psikiatri. Beberapa penulis menyatakan
bahwa kewaspadaan yang berlebihan lebih bertanggung jawab dari pada hipersensitivitas
visceral murni untuk ambang nyeri yang rendah pada pasien IBS .
3. Faktor psikososial Stress psikologis dapat merubah fungsi motor pada usus halus dan kolon,
baik pada orang normal maupun pasien IBS. Sampai 60% pasien pada pusat rujukan memiliki
gejala psikiatri seperti somatisasi, depresi, dan cemas. Dan pasien dengan diagnosis IBS lebih
sering memiliki gejala ini1 .
Serotonin memegang peranan penting dalam mengatur sekresi, motilitas dan keadaan sensori
pada saluran cerna melaui aktivasi dari sejumlah reseptor yang tersebar luas pada saraf usus dan
eferen sensoris. Sel enterosit mengakhiri efek dari serotonin dengan membuangnya dari ruangan
interstitial melaui aksi dari reuptake serotonin transporter (SERT). Sehingga merubah kandungan
dan pelepasan, ekspresi dari reseptor atau perubahan pada ekspresi SERT/ aktivitas dapat
berperanan pada fungsi sensimotor pada IBS .
Peningkatan pelepasan mediator seperti nitric oxide, interleukin, histamin, dan protease
menstimulasi system saraf enterik; mediator yang dikeluarkan menyebabkan gangguan motilitas,
sekresi serta hiperalgesia sistem gastrointestinal .
5. Infeksi dan inflamasi Ditemukan adanya bukti yang menunjukkan bahwa beberapa pasien IBS
memiliki peningkatan jumlah sel inflamasi pada mukosa kolon dan ileum. Adanya episode
enteritis infeksi sebelumnya, faktor genetik, alergi makanan yang tidak terdiagnosis, dan
perubahan pada mikroflora bakteri dapat berperanan pada terjadinya proses inflamasi derajat
rendah. Inflamasi dikatakan dapat mengganggu reflex gastrointestinal dan mengaktivasi sistem
sensori visceral. Kelainan pada interaksi neuroimun dapat berperanan pada perubahan fisiologi
dan hipersensitivitas gastrointestinal yang mendasari IBS .
6. Faktor genetic
Data menunjukkan mungkin ada komponen genetik pada IBS meliputi: pengelompokan IBS
pada keluarga, frekuensi 2 kali meningkat pada kembar monozigot jika dibandingkan dengan
dizigot. Adanya polimorpisme gen yang mengendalikan down regulation dari inflamasi (seperti
IL-10 dsn TGF _1) dan SERT. Faktor genetik sendiri tidak merupakan penyebab, tapi
berinteraksi palingdengan faktor lingkungan . Sampai saat ini belum ada model konsep tunggal
yang dapat menjelaskan semua kasus dari IBS .
Manifestasi Klinik
Gejala klinik dari IBS biasanya bervariasi diantaranya nyeri perut, kembung dan rasa tidak
nyaman di perut. Gejala lain yang menyertai biasanya perubahan defekasi dapat berupa diare,
konstipasi atau diare yang diikuti dengan konstipasi. Diare terjadi dengan karakteristik feses
yang lunak dengan volume yang bervariasi. Konstipasi dapat terjadi beberapa hari sampai bulan
dengan diselingi diare atau defekasi yang norma.
Selain itu pasien juga sering mengeluh perutnya terasa kembung dengan produksi gas yang
berlebihan dan melar, feses disertai mucus, keinginan defekasi yang tidak bisa ditahan dan
perasaan defekasi tidak sempurna.Gejalanya hilang setelah beberapa bulan dan kemudian
kambuh kembali pada beberapa orang, sementara pada yang lain mengalami pemburukkan
gejala .
Pada sekitar 3-35% pasieng ejala IBS muncul dalam 6 sampai 12 bulan setelah infeksi sistem
gastrointestinal. Secara khusus ditemukan sel inflamasi mukosa terutama sel mast di beberapa
bagian duodenum dan kolon
Diagnosis
Diagnosis dari IBS berdasarkan atas kriteria gejala, mempertimbangkan demografi pasien (umur,
jenis kelamian dan ras) dan menyingkirkan penyakit organik. Melalui anamnesis riwayat secara
spesifik menyingkirkan gejala alarm (red flag) seperti penurunan berat badan, perdarahan per
rektal, gejala nokturnal, riwayat keluarga dengan kanker, pemakaian antibiotik dan onset gejala
setelah umur 50 tahun .
Tidak ada tes diagnosis yang khusus, diagnosis ditegakkan secara klinis. Pendekatan klinis ini
kemudian dipakai guideline dengan berdasarkan kriteria diagnosis. Saat ini ada beberapa kriteria
diagnosis untuk IBS diantaranya kriteria Manning, Rome I, Rome II, dan Rome III1 .
Menurut kriteria Rome III, nyeri perut atau rasa tidak nyaman setidaknya 3 hari per bulan dalam
3 bulan terakhir dihubungkan dengan 2 atau lebih hal berikut1 :
Kriteria terpenuhi selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala setidaknya 6 bulan sebelum
diagnosis. Gejala penunjang yang tidak masuk dalam kriteria diagnosis meliputi kelaianan pada
frekuensi kotoran (3x/hari), kelainan bentuk kotoran (kotoran keras atau kotoran encer/berair),
defekasi strining, urgency, juga perasaan tidak tuntas saat buang air besar, mengeluarkan mukus
dan perut kembung.
Kriterian Manning
Gejala yang sering didapat :
Feses cair pada saat nyeri
Frekuensi BAB bertambah pada saat nyeri
Nyeri berkurang setelah BAB
Distensi abdomen
Gejala tambahan yang sering muncul :
Lender saat BAB
Perasaan tidak lampias saat BAB
Kriteria Rome II
Sedikitnya 12 minggu atau lebih (tidak harus berurutan) selama 12 bulan terakhir
dengan rasa nyeri atau tidak nyaman di abdomen,disertai dengan adanya 2 dari 3
berikut :
Nyeri hilang dengan defeksi
Awal kejadian duhubungkan dengan perubahan frekuensi defekasi
Awal kejadian dihubungkan dengan aanya perubahan feses
Gejala lain :
Ketidak normalan frekuensi defekasi
Kelainan bentuk feses
Ketidaknormalan proses defekasi (inkontinsesisa atau defekasi tidak tuntas)
Adanya mucus/lender
Kembung
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk IBS meliputi pemeriksaan darah lengkap, LED,biokimia darah
dan pemeriksaan mikrobiologi dengan pemeriksan telur, kista dan parasit pada kotoran .
Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial, yaitu :
4. Sigmoidoskopi;
5. Kolonoskopi.
Ileus Paralitik
Etiologi:
Manifestasi Klinis
1. Konstipasi
Gangguan pada peristaltic usus membuat feses tidak bisa dikeluarkan sehingga feses
mengeras didalam usus dan susah untuk melakukan defekasi menjadi konstipasi.
2. Kembung
Feses yang keras bisa menghambat pengeluaran gas yang ada di dalam usus dan akan
menjadi penumpukan gas menjadi distensi abdomen.
3. Mual dan muntah
Karena adanya distensi abdomen dan penumpukan gas mengakibatkan adanya gerak anti
peristaltic usus sehingga menjadi mual dan muntah
Patofisiologi
Mekanisme peristaltic usus dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu pembulu darah, saraf dan otot
polos, jika ada gangguan pada ketiga faktor tersebut akan menggangu peristaltic usus yang
menyebabkan penyerapan feses menjadi meningkat dan akan terjadi feses keras menyumbat.
Epidemiologi
Secara global, data epidemiologi yang sering ditemukan adalah ileus paralitik pasca operasi yang
merupakan jenis terbanyak penyakit ini. Ileus pasca operasi terjadi pada sekitar 50% pasien yang
menjalani operasi besar di bagian abdomen. Namun jumlah ini bervariasi antara penulis dan
bidang spesialis, beberapa publikasi mencatat angka kejadian sekitar 10-30% untuk operasi di
abdomen.
Angka kejadian ileus paralitik secara menyeluruh di Indonesia belum diketahui. Sebuah
penelitian oleh Takaendengan et al menemukan bahwa ileus paralitik dan obstruksi intestinal
merupakan peringkat ke-10 dari sepuluh penyakit terbanyak di Instalasi Gawat Darurat Bedah
RSUP Prof Dr. R. D. Kandou selama satu tahun.
Irritable Bowel Syndrom (IBS) merupakan gangguan yang bersifat kronis dengan etiologi
yang tidak spesifik sehingga biasanya sulit untuk sembuh. Kepercayaan pasien kepada diagnosis
dokter dan penjelasan serta edukasi sangat diperlukan dalam tatalaksana pasien IBS. Strategi
pengobatan didasarkan pada karakteristik pasien, derajat IBS yang ditemukan dan faktor
psikososial yang mempengaruhi perjalanan penyakit nya.
Apabila pasien IBS tidak diobati maka setelah satu tahun hanya 12% saja yang merasa
sembuh atau tanpa keluhan. Sedangkan 36% merasa ada perbaikan, sedangkan sisanya 52%
keluhannya menetap bahkan bertambah. Keluhan-keluhannya muncul secara periodic
sehinggabersifat remisi dan relaps. Pengobatan yang dianjurkan meliputi: diet, psikoterapi dan
medikamentosa. Obat-obat psikotropik seperti anti anxietas atau anti-depressant diberikan sesuai
dengan indikasi. Tujuan pengobatan penderita IBS adalah meningkatkan efektifitas pengobatan,
mengurangi gejala-gejala klinis dan mengurangi berbagai efek samping yang mungkin timbul
selama pengobatan.
Diet
Diet tinggi serat dapat memperbaiki keluhan konstipasi yang diselingi diare. Pada pasien
yang mengalami diare diet tinggi serat juga perlu diberikan secara bertahap. Diet tinggi serat
membantu pembentukan feses menjadi lebih padat dan mengurangi jumlah gas dalam usus
sehingga memperbaiki pola buang air besar. Diet tinggi serat juga didapat dari makanan seperti
gantum, sereal, sayuran, dan buah-buahan. Diet rendah gula dapat mengurangi keluhan diare
seperti dengna menghindari sorbitol dan mannitol sebagai pemani. Kopi dan coklat sebaiknya
dihindari karena dapat menstimulasi aktivitas usus. Mengurangi lemak dalam diet sangat perlu
bagi pasien IBS untuk mencegah produksi kolesistokinin yang berlebihan. Menelan udara saat
makan terlalu cepat atau makan sambil bicara, menghisap permen, dan minuman soda harus
dihindari oleh penderita IBS karena bisa menimbulkan perut kembung.
Beberapa makanan yang berasal dari kacang-kacangan dapat memproduksi gas dan
menimbulkan kembung. Selain itu, beberapa sayuran dan buah yang menimbulkan gas seperti
kol, kembang kol, brokoli, apel sebaiknya dihindari. Pola makan yang teratur dengan interval
tertentu lebih menguntungkan dibandingkan makan yang banyak dalam suatu saat untuk
menghindari rangsangan usus yang berlebihan. Minum yang banyak dianjurkan pada pasien IBS
predominant konstipasi. Psilium 15-20 mg/hari atau metilselulosa 3 gr/hari dapat memperbaiki
keluhan lambung.
Psikoterapi
Harus dilakukan sejak awal termasuk menganjurkan perubahan perilaku dan cara
mengatasi stress. Pada IBS ringan psikoterapi cukup dengan edukasi dan menghindari stress
yang mencetuskan gejalanya. Pada IBS derajat sedang psikoterapi lebih ditingkatkan. Biasanya
stress pada pasien muncul karena penyakitnya tidak kunjung sembuh.
Terapi Farmakologi
Pemberian obat-obatan pada IBS bertujuan untuk menghilangkan rasa nyeri perut serta kembung
dan memperbaiki gangguan motilitas usus dan pola buang air besar. Beberapa obat yang bisa
digunakan antara lain:
Prognosis
Pada kasus IBS tidak meningkatkan mortalitas, 50% dari kasus yang ada gejala pasien
IBS akan membaik dan akan hilang setelah 12 bulan, kurang dari 5% gejala akan
memburuk dan sisanya dengan gejala yang menetap. Tidak ada perkembangan menjadi
keganasan.
Pencegahan
Diet
Diet ini dilakukan dengan cara mengatur pola makan atau memilih jenis makanan
yang sesuai dengan keluhan yang dialami yaitu dengan mencukupi kebutuhan cairan,
mengurangi konsumsi alcohol, minuman bersoda, dan kafein, menghindari makanan
yang berlemak dan menghindari makanan yang menjadi factor pencetus timbulnya
IBS.
Pengendalian stress
Untuk mengendalikan stress mungkin dapat dilakukan olahraga, meditasi dan pijatan
ringan apabila keluhan tidak membaik bisa dilakukan psokoterapi.
Olahraga teratur
Olahraga ringan seperti senam aerobic, bersepeda, ataujalan cepat dapat menigkatkan
pergerakan usus dan menguragi tingkat stress.
Menyesuaikan jenis makanan dengan keluhan yang dialami.
Pada IBS dengan gejala konstipasi disarankan untuk meningkatkan konsumsi serat
seperti sayuran dan buah, kemudian pasien dengan gejala diare disarakan untuk
konsumsi makanan manis dan mengurangi konsumsi serat
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Healthline. https://www.healthline.com/symptom/constipation
Bates Pocket Guide to Physical Examination and History Taking 7th ed. 2013. Wolters Kluwer
Health
Hadi,sujono.2013.Gastroenterologi.Bandung.P.T.Alumni
Rani, Aziz, dkk. 2011. Buku Ajar Gastroenterologi Edisi I. Jakarta: InternaPublishing
dr. JB Suharjo, SpPD. 2014. Tatalaksana Klinis Di Bidang Gastro dan Hepatologi. Jakarta:
Sagung Seto
Reff 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2012.
Setiati Siti. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Hal: 1826 Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi edisi
ketujuh. Penerbit Alumni: Bandung
Healthline