Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PBL SISTEM GASTEROENTEROHEPATOLOGI

MODUL IV (KONSTIPASI)
SEMESTER 5

TUTOR:

dr. Mieke Marindawati,Sp.PA

KELOMPOK 2

Nama Anggota:

Ihsan Alwi 2017730057


Fabian Anfasa Razak 2017730042
Muhammad Farhan 2017730074
Alifira R. Saarah Jihan 2017730005
Novia Rindani 2017730088
Salsa Ananda Putri 2017730105
Fadhilah Istiqamah 2017730044
Dina Ummami A. 2017730038
Anggi Nur Indah Sari 2017730009
Indah Mardiana 2017730058

PRODI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA


2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Segala puji kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang diberikan,
sehingga Laporan PBL Modul 4 Blok Gasteroenterohepatologi ini bisa terselesaikan dengan
baik. Adapun laporan ini kami susun sebagai bagian dari tugas akhir setelah menyelesaikan
Tutorial PBL Modul 4.

Dalam penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terimaksih sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu terselesaikannya laporan ini. Terutama kepada dr.Mieke
Marindawati,Sp.PA selaku dosen pengampu pada tutorial modul 4 di Blok
Gasteroenterohepatologi Fakultas Muhammadiyah Jakarta.

Kami selaku penyusun menyadari bahwa laporan praktikum ini belumlah dikatakan sempurna.
Untuk itu, kami dengan sangat terbuka menerima kritik dan saran dari pembaca sekalian.
Semoga laporan praktikum ini bermanfaat untuk kita semua.

Wasssalamualaikum wr.wb

Jakarta, Oktober 2019

Kelompok 2
DAFTAR ISI

Halaman Depan
Kata Pengantar ………………………………………………………………………………… i
Daftar Isi ………………………………………………………………………………………. ii
BAB I Pendahuluan ……………………………………………………………………...…..….4
BAB II Pembahasan …………………………………………………………………………...… 4
BAB III Penutup …………………………………………………………………………….......23
BAB I

PENDAHULUAN

SKENARIO 2

Seorang laki-laki 35 tahun 4ating ke poliklinik dengan keluhan sulit buang air besar yang sudah
berlangsung lebih dari satu tahun.BABnya keras dan selalu lebih dari 3 hari sekali.Ia juga
mengeluh setiap BAB tidak puas dan perutnya sering kembung.Ia mengaku tidak mempunyai
masalh kesehatan lain dan kadang-kadang hanya minum obat bebas tanpa ada perbaikan gejala.

BAB II

PEMBAHASAN

Langkah 1: Identifikasi Masalah


Langkah 2: Mind Map

Etiologi Klasifikasi Patolofisiologi

KONSTIPASI

Alur
Diagnos
Anamnesi Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan penunjang
s

DD

Komplikas WD Prognosis
i
Farmakologi
Penatalaksanaan Pencegahan
Non-farmakologi
Langkah 3 : Peta Konsep

Langkah 4: Rumusan Masalah


1. Bagaimana etiologi konstipasi?

2. Bagaimana klasifikasi konstipasi?

3. Bagaimana patofisiologi dari konstipasi?


4. Apa komplikasi dari konstipasi?

5. Bagaimana tatalaksana konstipasi (Farmako&Non-farmako)

6. Bagaimana alur diagnosis pada skenario?

7. Apa differensial diagnosis dari skenario?

8. Bagaimana terapi untuk WD?


9. Bagaimana komplikasi,prognosis,dan pencegahan dari skenario?

Langkah 5: Pembahasan
Konstipasi

Konstipasi adalah suatu gejala bukan penyakit. Di masyarakat dikenal dengan istilah sembelit,
merupakan suatu keadaan sukar atau tidak dapat buang air besar, feses (tinja) yang keras, rasa
buang air besar tidak tuntas (ada rasa ingin buang air besar tetapi tidak dapat mengeluarkannya),
atau jarang buang air besar. Seringkali orang berpikir bahwa mereka mengalami konstipasi
apabila mereka tidak buang air besar setiap hari yang disebut normal dapat bervariasi dari tiga
kali sehari hingga tiga kali seminggu

Etiologi Konstipasi

a. Gangguan fungsi yang meliputi: kelemahan otot abdomen, pengingkaran

kebiasaan/ mengabaikan keinginan untuk defekasi, ketidakadekuatan defekasi (misalnya: tanpa


waktu, posisi saat defekasi, dan privasi), kurangnya aktivitas fisik (Aktivitas dapat
mempengaruhi proses defekasi karena melalui aktivitas tonus otot abdomen, pelvis, dan
diafragma dapat membantu kelancaran proses defekasi. Hal ini kemudian membuat proses
gerakan peristaltik pada daerah kolon dapat bertambah baik ), kebiasaan defekasi tidak teratur,
dan perubahan lingkungan yang baru terjadi

b. Psikologis/ psikogenik yang meliputi: depresi, stres emosional, dan konfusi mental

c. Farmakologis: penggunaan antasida (kalsium dan aluminium), antidepresan, antikolinergik,


antipsikotik, antihipertensi, barium sulfat, suplemen zat besi, dan penyalahgunaan laksatif

d. Mekanis: Ketidakseimbangan elektrolit, hemoroid, megakolon (penyakit Hirschprung),


gangguan neurologis, obesitas, obstruksi pascaoperasi, kehamilan, pembesaran prostat, abses
rektal atau ulkus, fisura anal rektal, striktur anal rektal, prolaps rektal, rektokel, dan tumor

e. Fisiologis: perubahan pola makan dan makanan yang biasa dikonsumsi, penurunan motilitas
saluran gastrointestinal, dehidrasi, insufisiensi asupan serat (Diet, pola, atau jenis makanan yang
dikomsumsi dapat mempengaruhi proses defekasi. Makanan yang memiliki kandungan serat
tinggi dapat membantu proses percepatan defekasi dan jumlah yang dikonsumsi pun
mempengaruhinya), insufisiensi asupan cairan (Pemasukan cairan yang kurang dalam tubuh
membuat defekaksi menjadi keras. Oleh karena proses absorbsi air yang kurang menyebabkan
kesulitan proses defekasi), pola makan buruk .

klasifikasi Konstipasi

dikelompokkan menjadi bentuk primer atau sekunder bergantung pada ada tidaknya penyebab
yang mendasarinya. Konstipasi fungsional primer ditegakkan bila penyebab dasar konstipasi
tidak dapat ditentukan. Keadaan ini ditemukan pada sebagian besar pasien dengan
konstipasi.Konstipasi fungsional sekunder ditegakkan bila kita dapat menentukan penyebab
dasar keluhan tersebut. Penyakit sistemik dan efek samping pemakaian beberapa obat tertentu
merupakan penyebab konstipasi fungsional yang sering dilaporkan.3 Klasifikasi lain yang perlu
dibedakan pula adalah apakah keluhan tersebut bersifat akut atau kronis. Konstipasi akut bila
kejadian baru berlangsung selama 1-4 minggu, sedangkan konstipasi kronis bila keluhan telah
berlangsung lebih dari 4 minggu

Konstipasi Primer

• Fungsional

• Transit Lambat

• Disfungsi Anorektal

Konstipasi Sekunder

• Penyakit Metabolik dan Endokrin

• Parasit

• Obat-obatan

Patofisiologi Konstipasi

Jika terjadi pola makanan yang kurang sehat, kurang minum, menahan BAB, obat-obatan , diet
rendah serat dan kondisi metabolic terjadilah obstruksi saluran cerna atau yang disebt
penyumbatan yang terjadi di dalam usus baik halus maupun usus besar dan pasti adanya cedera
usus.Karna ada sudah menekan pembuluh darah vena arteri pembuluh limfatik dan pleksus saraf
bagian obstruksinya (kerusakan neuromuscular).Terjadilah gangguan reflex defekasi. Karna
persayarafan sudah terganggu dan motalitasnya (peristaltic kolon)pasti terganggu juga. Jika
penurunan pengeluaran cairan di dalam usus dan tinja lama di kolin tinggi penyerapannya cairan
jadilah tinja kering, keras dan tinja sulitb di keluarkan maka terjadi lah konstipasi.

Komplikasi Konstipasi kronik

 Prolapse rectum

Pada kondisi ini, rectum pindah dari posisinya didalam tubuh dan menonjol keluar dari
anus akibat terlalu lama mengejan.

 Perdarahan hemoroid

Pembengkakan dinding anus akibat pelebaran pembuluh darah yang biasanya disebabkan
oleh proses mengejan yang terlalu lama.

 Fisura ani

Mengejan terlalu lama dan tinja yang keras atau besar dapat mengakibatkan fisura atau
robeknya kulit pada dinding anus.

 Impaksi feses
Impaksi feses yaitu menumpuknya tinja yang kering dan keras direktum akibat konstipasi
yang berlarut-larut dapat menyebabkan obstruksi kolon dan ulserasi rectum yang dapat
mengakibatkan perdarahan atau perforasi.

 Infeksi saluran kemih

Infeksi saluran kencing berulang akibat penekanan ureter oleh massa feses.

Tatalaksana Konstipasi

Nonfarmakologi

 Diet tinggi serat


Diet tinggi serat dan banyak minium, diet tinggi serat dapat mengurangi waktu transit kolon
serta meningkatkan massa feses. Asupan serat dianjurkan sekitar 20-30 gr/hari. Penambahan
diet tinggi serat yang terlampau cepat dan terlampau banyak dapat menimbulkan rasa
kembung dan gas yang berlebihan. Minum yang cukup diduga dapat membantu
memperthankan motilitas usus.
 Bowel training
Pelatihan usus membantu untuk membangun kembali gerakan usus normal. Sebagian pasien
memiliki pola buang air besar yang teratur tiap harinya. Waktu yang optima untuk defekasi
biasanya setelah bangun tidur pagi dan setelah makan (pengaruh reflex gasrokolik), ketika
aktivitas kolon dalam keadan puncaknya.

 Olahraga atau meningkatkan aktivitas fisik


Konsitpasisering terjadi pada pasien – pasien yang terlalu banyak bedrest atau kurang gerak,
sehingga kontipasi dua kali lebih besar pada passion-pasien dengan aktivitas fisik yang
kurang.

Farmakologi
Obat – obat laksatif
 Bulk laxative
Obat ini terdiri dari yang bisa larut (psyllium, pectin, plantago) dan yang tidak bisa larut
(selulosa). Golongan laksatif ini bersifat hidrofilik, menyerap air dari lumen usus yang
akhirnya dapat meningkatkan massa feses dan melunakkan konsistensi feses.

Pasien- pasien dengan konstipasi transit normal memberikan respon yang baik dengan
pemberian bulk laxatives. Namun pada pasien-pasien dengan kontipasi transit lambat atau
difungsi anorrektal, penggunaan obat ini tidak memberikan respon yang baik.Efek samping
yang bisa timbul pada penggunaan golongan laksatif ini adalah rasa kembung dan gas yang
berlebihan.

 Laksatif osmotic
Golongan ini seperti magnesium hidroksida, magnesim sitrat dan natrium bifosfat bersifat
hyperosmolar, meenyebabkan seekresi air ke dalam lumen saluran cerna berdasarkan
aktivitas osmotik. Golongan ini cukup aman karena bekerja di lumen kolon dan tidak
menimbulkan efek sistemik. Namun pada penggunaan dapat terjadi gangguan elektrolit.

Salbutamol dan laktulosa merupakan undigestible agent , dicerna oleh bakteri usus menjadi
hydrogen elektrolit

-Stimulant laxative
Bisacondyl dan semua dapatkan meningkatkan sekresi air kedalam lumen usus. Biasanya
defekasi terjadi dalam beberapa jam setelah laksatif ini diminum, namun kadang-kadang
dapat terjadi abdominal craming karena menigkatnya peristalsis.

 Obat – obat prokinetik


Berbagai obat prokinetik telah digunakan untuk pengobatan konstipasi transit lambat.
Kolkisin dan misoprostol dilaporkan dapat mempercepat waktu transit kolom dan
meningkatkan frekuensi defekasi.

Terapi empiris sebaiknya di evaluasi setelah 2-4 minggu. Jika tidak ada perbaikan segera
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut atau modifikasi pengobatan. Pada asien konstipasi transit
lambat, dianjurkan untuk diberikan kombinasi Antara stimulant laxative dengan obat-obat
prokinetik.

 Terapi biofeedback
Adalah terapi utama untuk pasien dengan disfungsi anorektal, dikombinasi dengan terapi
nonfarmakologi dan laksatif. Terapi ini diharapkan dapat mengembalikan koordinasi normal
dan fungsi dari spingter ani dan otot dasar panggul. Terapi ini dilakukan menggunakan
elektromiografi anorektal atau kateter manometri.

 Terapi surgical
Pada pasien dengan konstipasi transit lambat tanpa adanya disfungsi anorektal yang gagal
dengan terapi nonfarmakologi dan laksatif, dapat mempertimbangkan kolektomi subtotal
dengan ileorektosatomi.

Pencegahan Konstipasi
Beberapa hal dibawah merupakan upaya pencegahan untuk konstipasi, diantaranya
adalah:

 Mengonsumsi banyak makanan berserat tinggi, seperti kacang-kacangan, sayuran,


buah-buahan, sereal gandum dan lain-lain.
 Menanyakan kepada dokter apakah ada obat-obatan yang dapat menyebabkan
sembelit
 Batasi makanan yang mengandung sedikit serat, seperti makanan olahan dan
produk susu dan daging
 Minum banyak cairan
 Berolahraga secara teratur
 Atasi stres
 Jangan tunda keinginan untuk buang air besar
 Cobalah untuk membuat jadwal rutin untuk buang air besar, terutama setelah
makan
 Pastikan anak-anak makan makanan banyak serat

Alur Diagnosis

Anamnesis

1. Identitas: Nama, usia, jenis kelamin, alamat, pekerjaan (Laki-laki, 35 tahun)


2. keluhan utama (onset, durasi, dsb) (KU: Konstipasi lebih dari 1 tahun, dengan BAB 3
hari sekali)
3. Menanyakan riwayat penyakit sekarang: Keluhan tambahan (onset, durasi dsb)
(RPS: BAB tidak lampias, perut sering kembung)
4. Menanyakan adakah nyeri ulu hati atau dada seperti terbakar
5. Menanyakan adakah perut kembung atau terasa penuh/tidak nyaman
6. Menanyakan adakah mual atau muntah, menanyakan adakah muntah darah.
7. Menanyakan adakah nyeri perut
 Dimana nyeri dimulai?
 Apakah nyrinya menjalar?
 Seperti apa rasa nyerinya?
 Seberapa parah nyerinya?
 Skala nyeri dari 1-10?
 Apa yang memperingan maupun memperberat nyerinya?
8. Menanyakan adanya demam
9. Menanyakan tidak nafsu makan
10. Penurunan berat badan?
11. Menanyakan adakah sulit menelan, atau saat menelan makanan terasa sulit turun
12. Menanyakan adakah nyeri telan
13. Menanyakan pola buang air besar dan perihal buang gas
 Diare atau konstipasi?
14. Menanyakan adakah darah pada feses, menanyakan warna feses dan bentuk feses
15. Menanyakan pola buang air kecil
 Frekuensi?
 Pancaran terputus atau lancer?
 Warna BAK?
 Nyeri BAK?
16. Riwayat penyakit dahulu (RPD)
 Sudah pernah tekena penyakit yang sama sebelumnya?
 Menanyakan riwayat operasi pada perut sebelumnya?
17. Riwayat penyakit keluarga (RPK)
 Kanker saluran cerna pada keluarga?
18. Riwayat konsumsi obat
 Obat apa yang pernah di konsumsi selama mengalami sakit? (Konsumsi obat
bebas)
 Obat apa yang sedang dikonsumsi saat ini?
 Adakah perbaikan gejala setelah konsumsi obat? (tidak ada)
19. Riwayat psikologi
 Konsumsi rokok, alkohol, narkotika?
 Jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari?
 Keadaan lingkungan rumah atau tempat kerja/sekolah?
 Aktivitas fisik sehari-hari?

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mengidentifikasi penyebab konstipasi yang mendasarinya.


Berat badan pasien dicatat, dan status gizi keseluruhan dicatat. Kulit pasien diperiksa untuk
mencari pucat dan tanda-tanda hipotiroidisme (mis., Rambut tubuh berkurang, kekeringan kulit,
edema tetap), dan perut diperiksa untuk mengetahui massa, distensi, nyeri tekan, dan bising usus
yang bernada tinggi atau tidak ada. Pemeriksaan rektum meliputi inspeksi dan palpasi yang
cermat untuk massa, fisura anus dan perianal, peradangan, dan feses keras di ampula. Warna dan
konsistensi tinja harus diperhatikan.

Pemeriksaan neurologis terfokus harus dilakukan untuk mencari defisit fokal dan fase relaksasi
yang tertunda dari refleks tendon yang dalam (menunjukkan hipotiroidisme). Pasien juga harus
dievaluasi tanda-tanda depresi, kecemasan, dan somatisasi.

Diagnosis Differential

Irritable bowel syndrome (IBS)

adalah salah satu penyakit gastrointenstinal fungsional. Irritable bowel syndrome memberikan
gejala berupa adanya nyeri perut, distensi dan gangguan pola defekasi tanpa gangguan organik1 .
Pada dua dekade terakhir, Irritable bowel syndrome telah mendapatkan perhatian yang cukup
besar di bidang kesehatan akibat semakin tingginya prevalensi dan gejala yang muncul
bervariasi. IBS termasukdalam kelompok penyakit gastrointestinal kronik yang disebut sebagai
functional bowel disorders (FBD) yang diklasifikasikan oleh the Rome foundation . Menurut
Kriteria Rome II, prevalensi kejadian IBS dengan prevalensi tertinggi terdapat di Kanada dan
Amerika (12%) . Gejala klinik IBS berupa nyeri perut atau rasa tidak nyaman di abdomen dan
perubahan pola buang air besar seperti diare, konstipasi atau diare dan konstipasi bergantian
sertarasa kembung. Didiagnosis atas dasar gejala-gejala yang khas tanpa adanya gejala alarm
seperti penurunan berat badan, perdarahan per rektal, demam atau anemia. Pemeriksaan fisik dan
tes diagnostik yang sekarang tersedia tidak cukup spesifik untuk menegakkan diagnosis IBS,
sehingga diagnosis IBS ditegakkan atas dasar gejala-gejala yang khas tersebut . Sebagai gejala
tambahan pada nyeri perut, diare atau konstipasi, gejala khas lain meliputi perut kembung,
adanya gas dalam perut, stool urgensi atau strining dan perasaan evakuasi kotoran tidak lengkap .
Oleh karena patofisiologi dan penyebab IBS yang kurang dipahami, pengobatan utama
difokuskan pada gejala-gejala yang muncul untuk mempertahankan fungsi sehari-hari dan
meningkatkan kualitas hidup orang dengan IBS.

Epidemiologi

Kejadian dari IBS mencapai 20% dari penduduk Amerika, hal ini didasarkan pada gejala yang
sesuai dengan kriteria IBS. Kejadian IBS lebih banyak pada perempuan dan mencapai 3 kali
lebih besar dari laki-laki. Prevalensi IBS bisa mencapai 3,6-21, 8% dari jumlah penduduk dengan
rata-rata 11% .

Etiologi

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya IBS antara lain gangguan motilitas, intoleransi
makanan, abnormalitas sensoris, abnormalitas dari interaksi aksis braingut, hipersensitivitas
viseral,dan pasca infeksi usus . Adanya IBS predominan diare atau predominan konstipasi
menunjukkan bahwa pada IBS terjadi sesuatu perubahan motilitas. Pada IBS tipe diare terjadi
peningkatan kontraksi usus dan memendeknya waktu transit kolon dan usus halus. Sedangkan
IBS tipe konstipasi terjadipenurunan kontraksi usus dan memanjangnya waktu transit kolon dan
usus halus. IBS yang terjadi pasca infeksi dilaporkan hampir pada 1/3 kasus IBS. Penyebab IBS
paska infeksi antara lain virus, giardia atau amuba . Faktor-faktor yang dapat mengganggu kerja
dari usus adalah sebagai berikut:

1. Faktor psikologis Stress dan emosi dapat secara kuat mempengaruhi kerja kolon. Kolon
memiliki banyak saraf yang berhubungan dengan otak. Sebagian kolon dikontol oleh
SSP, yang berespon terhadap stress. Sebagai contoh kolon dapat berkontraksi secara
cepat atau sebaliknya.
2. Sensitivitas terhadap makanan
Gejala IBS dapat ditimbulkan oleh beberapa jenis makanan seperti kafein, coklat,
produk-produk susu, makanan berlemak, alkohol, sayursayuranyang dapat memproduksi
gas (kol dan brokoli) dan minuman bersoda .
3. Genetik
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada kemungkinan IBS diturunkan dalam
keluarga dengan perkiraan faktor genetik berperan berkisar antara 0-57%
4. Hormon
Gejala IBS sering muncul pada wanita yang sedang menstruasi, mengemukakan bahwa
hormon reproduksi estrogen dan progesteron dapat meningkatkan gejala dari IBS .
5. Obat obatan konvensional
Banyak pasien yang menderita IBS melaporkan bertambah beratnya gejala setelah
menggunakan obatobatan konvensionalseperti antibiotik, steroid dan obat anti inflamasi.
Klasifikasi Menurut kriteria Roma III dan berdasarkan pada karakteristik feses pasien,
subklasifikasi IBS dibagi menjadi:
Berdasarkan gejala klinis subklasifikasi lain dapat digunakan :
1. Berdasarkan gejala:
- IBS predominan disfungsi usus:
- IBS predominan nyeri - IBS predominan kembung
2. Berdasarkan faktor pencetus:
- Post-infectious (PI-IBS)
- Food-induced
- Berhubungan dengan stress

Patofisiologi

1. Perubahan motilitas usus Dalam 50 tahun terakhir, perubahan pada kontraktilitas kolon dan
usus halus telah diketahui pada pasien IBS. Stress psikologis atau fisik dan makanan dapat
merubah kontraktilitas kolon. Motilitas abnormal dari usus halus selama puasaditemukan pada
pasien IBS. Juga dilaporkan adanya respon kontraksi yang berlebihan pada makanan tinggi
lemak

2. Hipersensitivitas visceral Salah satu penjelasan yang mungkin adalah sensitivitas dari reseptor
pada viscus dirubah melalui perekrutan silence nociseptor pada respon terhadap iskemia,
distensi, kandungan intraluminal, infeksi, atau faktor psikiatri. Beberapa penulis menyatakan
bahwa kewaspadaan yang berlebihan lebih bertanggung jawab dari pada hipersensitivitas
visceral murni untuk ambang nyeri yang rendah pada pasien IBS .

3. Faktor psikososial Stress psikologis dapat merubah fungsi motor pada usus halus dan kolon,
baik pada orang normal maupun pasien IBS. Sampai 60% pasien pada pusat rujukan memiliki
gejala psikiatri seperti somatisasi, depresi, dan cemas. Dan pasien dengan diagnosis IBS lebih
sering memiliki gejala ini1 .

4. Ketidakseimbangan neurotransmitter Lima persen serotonin berlokasi di susunan saraf pusat,


95% di saluran gastrointestinal dalam sel enterokromafin, saraf, sel mast, dan sel otot polos.
Serotonin mengakibatkan respon fisiologis sebagai reflek sekresi usus dan peristaltik dan gejala
seperti mual, muntah, nyeri perut, dan kembung . Neurotransmitter lain yang memiliki peranan
penting pada kelainan fungsional saluran cerna meliputi calcitonin gene–related peptide,
acetylcholine, substance P, pituitary adenylate cyclase–activating polypeptide, nitric oxide, and
vasoactive intestinal peptide. Neurotransmitter ini menyediakan hubungan tidak hanya antara
kontraktilitas usus dan sensitivitas visceral, tapi juga antara sistem saraf usus dan sistem saraf
pusat .

Serotonin memegang peranan penting dalam mengatur sekresi, motilitas dan keadaan sensori
pada saluran cerna melaui aktivasi dari sejumlah reseptor yang tersebar luas pada saraf usus dan
eferen sensoris. Sel enterosit mengakhiri efek dari serotonin dengan membuangnya dari ruangan
interstitial melaui aksi dari reuptake serotonin transporter (SERT). Sehingga merubah kandungan
dan pelepasan, ekspresi dari reseptor atau perubahan pada ekspresi SERT/ aktivitas dapat
berperanan pada fungsi sensimotor pada IBS .

Peningkatan pelepasan mediator seperti nitric oxide, interleukin, histamin, dan protease
menstimulasi system saraf enterik; mediator yang dikeluarkan menyebabkan gangguan motilitas,
sekresi serta hiperalgesia sistem gastrointestinal .

5. Infeksi dan inflamasi Ditemukan adanya bukti yang menunjukkan bahwa beberapa pasien IBS
memiliki peningkatan jumlah sel inflamasi pada mukosa kolon dan ileum. Adanya episode
enteritis infeksi sebelumnya, faktor genetik, alergi makanan yang tidak terdiagnosis, dan
perubahan pada mikroflora bakteri dapat berperanan pada terjadinya proses inflamasi derajat
rendah. Inflamasi dikatakan dapat mengganggu reflex gastrointestinal dan mengaktivasi sistem
sensori visceral. Kelainan pada interaksi neuroimun dapat berperanan pada perubahan fisiologi
dan hipersensitivitas gastrointestinal yang mendasari IBS .

6. Faktor genetic

Data menunjukkan mungkin ada komponen genetik pada IBS meliputi: pengelompokan IBS
pada keluarga, frekuensi 2 kali meningkat pada kembar monozigot jika dibandingkan dengan
dizigot. Adanya polimorpisme gen yang mengendalikan down regulation dari inflamasi (seperti
IL-10 dsn TGF _1) dan SERT. Faktor genetik sendiri tidak merupakan penyebab, tapi
berinteraksi palingdengan faktor lingkungan . Sampai saat ini belum ada model konsep tunggal
yang dapat menjelaskan semua kasus dari IBS .

Manifestasi Klinik

Gejala klinik dari IBS biasanya bervariasi diantaranya nyeri perut, kembung dan rasa tidak
nyaman di perut. Gejala lain yang menyertai biasanya perubahan defekasi dapat berupa diare,
konstipasi atau diare yang diikuti dengan konstipasi. Diare terjadi dengan karakteristik feses
yang lunak dengan volume yang bervariasi. Konstipasi dapat terjadi beberapa hari sampai bulan
dengan diselingi diare atau defekasi yang norma.
Selain itu pasien juga sering mengeluh perutnya terasa kembung dengan produksi gas yang
berlebihan dan melar, feses disertai mucus, keinginan defekasi yang tidak bisa ditahan dan
perasaan defekasi tidak sempurna.Gejalanya hilang setelah beberapa bulan dan kemudian
kambuh kembali pada beberapa orang, sementara pada yang lain mengalami pemburukkan
gejala .

Pada sekitar 3-35% pasieng ejala IBS muncul dalam 6 sampai 12 bulan setelah infeksi sistem
gastrointestinal. Secara khusus ditemukan sel inflamasi mukosa terutama sel mast di beberapa
bagian duodenum dan kolon

Diagnosis

Diagnosis dari IBS berdasarkan atas kriteria gejala, mempertimbangkan demografi pasien (umur,
jenis kelamian dan ras) dan menyingkirkan penyakit organik. Melalui anamnesis riwayat secara
spesifik menyingkirkan gejala alarm (red flag) seperti penurunan berat badan, perdarahan per
rektal, gejala nokturnal, riwayat keluarga dengan kanker, pemakaian antibiotik dan onset gejala
setelah umur 50 tahun .

Tidak ada tes diagnosis yang khusus, diagnosis ditegakkan secara klinis. Pendekatan klinis ini
kemudian dipakai guideline dengan berdasarkan kriteria diagnosis. Saat ini ada beberapa kriteria
diagnosis untuk IBS diantaranya kriteria Manning, Rome I, Rome II, dan Rome III1 .

Menurut kriteria Rome III, nyeri perut atau rasa tidak nyaman setidaknya 3 hari per bulan dalam
3 bulan terakhir dihubungkan dengan 2 atau lebih hal berikut1 :

1. Membaik dengan defekasi;


2. Onset dihubungkan dengan perubahan pada frekuensi kotoran;
3. Onset dihubungkan dengan perubahan pada bentuk (penampakan) dari kotoran.

Kriteria terpenuhi selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala setidaknya 6 bulan sebelum
diagnosis. Gejala penunjang yang tidak masuk dalam kriteria diagnosis meliputi kelaianan pada
frekuensi kotoran (3x/hari), kelainan bentuk kotoran (kotoran keras atau kotoran encer/berair),
defekasi strining, urgency, juga perasaan tidak tuntas saat buang air besar, mengeluarkan mukus
dan perut kembung.

Kriterian Manning
Gejala yang sering didapat :
 Feses cair pada saat nyeri
 Frekuensi BAB bertambah pada saat nyeri
 Nyeri berkurang setelah BAB
 Distensi abdomen
Gejala tambahan yang sering muncul :
 Lender saat BAB
 Perasaan tidak lampias saat BAB
Kriteria Rome II
 Sedikitnya 12 minggu atau lebih (tidak harus berurutan) selama 12 bulan terakhir
dengan rasa nyeri atau tidak nyaman di abdomen,disertai dengan adanya 2 dari 3
berikut :
 Nyeri hilang dengan defeksi
 Awal kejadian duhubungkan dengan perubahan frekuensi defekasi
 Awal kejadian dihubungkan dengan aanya perubahan feses
Gejala lain :
 Ketidak normalan frekuensi defekasi
 Kelainan bentuk feses
 Ketidaknormalan proses defekasi (inkontinsesisa atau defekasi tidak tuntas)
 Adanya mucus/lender
 Kembung

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk IBS meliputi pemeriksaan darah lengkap, LED,biokimia darah
dan pemeriksaan mikrobiologi dengan pemeriksan telur, kista dan parasit pada kotoran .
Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial, yaitu :

1. Pemeriksaan darah lengkap;

2. Pemeriksaan biokimia darah;

3. Pemeriksaan hormon tiroid;

4. Sigmoidoskopi;

5. Kolonoskopi.

Ileus Paralitik

Etiologi:

1. Pasca operasi (paling sering)


2. Thrombus pada pembulu darah usus
3. Fraktur vertebra
4. Obat opioid

Manifestasi Klinis
1. Konstipasi
Gangguan pada peristaltic usus membuat feses tidak bisa dikeluarkan sehingga feses
mengeras didalam usus dan susah untuk melakukan defekasi menjadi konstipasi.
2. Kembung
Feses yang keras bisa menghambat pengeluaran gas yang ada di dalam usus dan akan
menjadi penumpukan gas menjadi distensi abdomen.
3. Mual dan muntah
Karena adanya distensi abdomen dan penumpukan gas mengakibatkan adanya gerak anti
peristaltic usus sehingga menjadi mual dan muntah

Patofisiologi

Mekanisme peristaltic usus dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu pembulu darah, saraf dan otot
polos, jika ada gangguan pada ketiga faktor tersebut akan menggangu peristaltic usus yang
menyebabkan penyerapan feses menjadi meningkat dan akan terjadi feses keras menyumbat.

Epidemiologi

Secara global, data epidemiologi yang sering ditemukan adalah ileus paralitik pasca operasi yang
merupakan jenis terbanyak penyakit ini. Ileus pasca operasi terjadi pada sekitar 50% pasien yang
menjalani operasi besar di bagian abdomen. Namun jumlah ini bervariasi antara penulis dan
bidang spesialis, beberapa publikasi mencatat angka kejadian sekitar 10-30% untuk operasi di
abdomen.

Angka kejadian ileus paralitik secara menyeluruh di Indonesia belum diketahui. Sebuah
penelitian oleh Takaendengan et al menemukan bahwa ileus paralitik dan obstruksi intestinal
merupakan peringkat ke-10 dari sepuluh penyakit terbanyak di Instalasi Gawat Darurat Bedah
RSUP Prof Dr. R. D. Kandou selama satu tahun.

Tatalaksana Iritable Bowel Disease

Irritable Bowel Syndrom (IBS) merupakan gangguan yang bersifat kronis dengan etiologi
yang tidak spesifik sehingga biasanya sulit untuk sembuh. Kepercayaan pasien kepada diagnosis
dokter dan penjelasan serta edukasi sangat diperlukan dalam tatalaksana pasien IBS. Strategi
pengobatan didasarkan pada karakteristik pasien, derajat IBS yang ditemukan dan faktor
psikososial yang mempengaruhi perjalanan penyakit nya.
Apabila pasien IBS tidak diobati maka setelah satu tahun hanya 12% saja yang merasa
sembuh atau tanpa keluhan. Sedangkan 36% merasa ada perbaikan, sedangkan sisanya 52%
keluhannya menetap bahkan bertambah. Keluhan-keluhannya muncul secara periodic
sehinggabersifat remisi dan relaps. Pengobatan yang dianjurkan meliputi: diet, psikoterapi dan
medikamentosa. Obat-obat psikotropik seperti anti anxietas atau anti-depressant diberikan sesuai
dengan indikasi. Tujuan pengobatan penderita IBS adalah meningkatkan efektifitas pengobatan,
mengurangi gejala-gejala klinis dan mengurangi berbagai efek samping yang mungkin timbul
selama pengobatan.

Terapi Non Farmakologi

Diet
Diet tinggi serat dapat memperbaiki keluhan konstipasi yang diselingi diare. Pada pasien
yang mengalami diare diet tinggi serat juga perlu diberikan secara bertahap. Diet tinggi serat
membantu pembentukan feses menjadi lebih padat dan mengurangi jumlah gas dalam usus
sehingga memperbaiki pola buang air besar. Diet tinggi serat juga didapat dari makanan seperti
gantum, sereal, sayuran, dan buah-buahan. Diet rendah gula dapat mengurangi keluhan diare
seperti dengna menghindari sorbitol dan mannitol sebagai pemani. Kopi dan coklat sebaiknya
dihindari karena dapat menstimulasi aktivitas usus. Mengurangi lemak dalam diet sangat perlu
bagi pasien IBS untuk mencegah produksi kolesistokinin yang berlebihan. Menelan udara saat
makan terlalu cepat atau makan sambil bicara, menghisap permen, dan minuman soda harus
dihindari oleh penderita IBS karena bisa menimbulkan perut kembung.
Beberapa makanan yang berasal dari kacang-kacangan dapat memproduksi gas dan
menimbulkan kembung. Selain itu, beberapa sayuran dan buah yang menimbulkan gas seperti
kol, kembang kol, brokoli, apel sebaiknya dihindari. Pola makan yang teratur dengan interval
tertentu lebih menguntungkan dibandingkan makan yang banyak dalam suatu saat untuk
menghindari rangsangan usus yang berlebihan. Minum yang banyak dianjurkan pada pasien IBS
predominant konstipasi. Psilium 15-20 mg/hari atau metilselulosa 3 gr/hari dapat memperbaiki
keluhan lambung.

Psikoterapi
Harus dilakukan sejak awal termasuk menganjurkan perubahan perilaku dan cara
mengatasi stress. Pada IBS ringan psikoterapi cukup dengan edukasi dan menghindari stress
yang mencetuskan gejalanya. Pada IBS derajat sedang psikoterapi lebih ditingkatkan. Biasanya
stress pada pasien muncul karena penyakitnya tidak kunjung sembuh.

Terapi Farmakologi

Pemberian obat-obatan pada IBS bertujuan untuk menghilangkan rasa nyeri perut serta kembung
dan memperbaiki gangguan motilitas usus dan pola buang air besar. Beberapa obat yang bisa
digunakan antara lain:

- Antispasmodik, seperti cimetropiun bromide, Hyocine butilbromide, dan lainnya. Dosis


hyconice butilbromide yaitu 3x10 mg perhari dengan tujuan mengurangi nyeri perut.
- Anti konstipasi, Laksatif jangka pendek seperti cisaprid atau agonist 5HT4 (tegaserod).
Laksatif berfungsi untuk pelunak tinja agar tinja lebih mudah dikeluarkan melalu proses
defekasi.
- Softener atau lubricant, untuk melunaki feses sehingga feses bercampur dengan lemak
- Antibiotik, penggunaan antibiotic dikhawatirkan terdapat kasus infeksi. Karena pada
konstipasi biasanya terjadi fermentasi ulangan oleh bakteri berlebih. Neomycin lebih
direkomendasikan untuk mengobati Konstipasi.
- Antidepresant, seperti dijelaskan diatas penggunaan antidepressant harus dikonsultasikan
terlebih dahulu. Pasien yang mendapat terapi antidepressant biasanya pada pasien dengan
penyakit IBS yang sudah cukup lama untuk menekan psikis nya. Dua rekomendasi
terbaik untuk antidepressant adalah SSRI  Meningkatkan motilitas usus, dan TCA 
Mempercepat transit.
A. Komplikasi
Konstipasi pada Irritable Bowl Syndrome (IBS) dapat mengarah pada hemoroid. Selain
itu IBS juga dapat dikaitkan dengan gangguan mental seperti cemas dan stress. Hal ini
dapat menyebabkan kondisi pasien dengan Iritable Bowl Syndrome semakin buruk.
Dalam beberapa kasus pasien yang mengalami IBS tingkat sedang hingga berat memiliki
kualitas hidup yang menurun terutama pada produktifits kerja.

Prognosis
Pada kasus IBS tidak meningkatkan mortalitas, 50% dari kasus yang ada gejala pasien
IBS akan membaik dan akan hilang setelah 12 bulan, kurang dari 5% gejala akan
memburuk dan sisanya dengan gejala yang menetap. Tidak ada perkembangan menjadi
keganasan.

Pencegahan
 Diet
Diet ini dilakukan dengan cara mengatur pola makan atau memilih jenis makanan
yang sesuai dengan keluhan yang dialami yaitu dengan mencukupi kebutuhan cairan,
mengurangi konsumsi alcohol, minuman bersoda, dan kafein, menghindari makanan
yang berlemak dan menghindari makanan yang menjadi factor pencetus timbulnya
IBS.

 Pengendalian stress
Untuk mengendalikan stress mungkin dapat dilakukan olahraga, meditasi dan pijatan
ringan apabila keluhan tidak membaik bisa dilakukan psokoterapi.

 Olahraga teratur
Olahraga ringan seperti senam aerobic, bersepeda, ataujalan cepat dapat menigkatkan
pergerakan usus dan menguragi tingkat stress.
 Menyesuaikan jenis makanan dengan keluhan yang dialami.
Pada IBS dengan gejala konstipasi disarankan untuk meningkatkan konsumsi serat
seperti sayuran dan buah, kemudian pasien dengan gejala diare disarakan untuk
konsumsi makanan manis dan mengurangi konsumsi serat

 Mengurangi aktifitas jam kerja ynag berlebihan


Pasien dengan IBS harus selalu diingatkan untuk tidak tidak bekerja berlebihan dan
tidak mengeyampingkan waktu istirahatnya karena agar menyediakan waktu yang
cukup dan tidak terburu-buru pada saat makan dan dapat melakukan Buang Air Besar
secara teratur

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Rani, Azis. 2011. Buku Ajar Gastroenterologi. Edisi I. penerbit : InternaPublishing

Healthline. https://www.healthline.com/symptom/constipation

Bates Pocket Guide to Physical Examination and History Taking 7th ed. 2013. Wolters Kluwer
Health

Cuhdahman,manan.2014.Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta.Internal Publishing

Hadi,sujono.2013.Gastroenterologi.Bandung.P.T.Alumni

Buku Ajar Gastroenterologi.Jakarta.Internal Publishing

Rani, Aziz, dkk. 2011. Buku Ajar Gastroenterologi Edisi I. Jakarta: InternaPublishing
dr. JB Suharjo, SpPD. 2014. Tatalaksana Klinis Di Bidang Gastro dan Hepatologi. Jakarta:
Sagung Seto
Reff 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2012.

Setiati Siti. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Hal: 1826 Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi edisi
ketujuh. Penerbit Alumni: Bandung

Rani, Azis. 2011. Buku Ajar Gastroenterologi. Edisi I. penerbit : InternaPublishing

Healthline

Anda mungkin juga menyukai