Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH KMB 1 ( Konsep Medikal Bedah 1 )

“ Gangguan Kebutuhan Eliminasi Akibat Patologis Sistem Pencernaan dan


Persyarafan Pada Konstipasi, Inkontinensia Urine/Alvi“

Dosen Pengajar :NS. Adelia Utami, S.Kep

Nama Kelompok:

ANAS AL MANSYURI

HENI ERLIANA

ONI AGUSTIA

VENNY FITRI NURYANA

YUSLIKA SIRAIT

ZAMZAMI

AINA MARDHIAH

AKADEMI KEPERAWATAN SRI BUNGA TANJUNG

T.A 2019/2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur bagi Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya,sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya. Salawat beserta salam tidak lupa pula penulis ucapkan kepada
nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita kembali ke jalan Allah SWT.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas matakuliah
Keperawatan Medikal Bedah yang diberikan oleh dosen yang bersangkutan.
Dimana dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai “Gangguan
Kebutuhan Eliminasi Akibat Patologis System Pencernaan Dan Persyarafan”.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya


sehingga dapat menambah pengetahuan kita semua.

Akhir kata penulis mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam makalah ini,
karena penulis masih dalam proses pembelajaran. Untuk itu penulis menerima
saran dan kritikan dari pembaca sebagai batu loncatan bagi penulis untuk
pembuatan makalah kedepannya.

DUMAI, 28 NOVEMBER 2019

PENULIS

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................

DAFTAR ISI ......................................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................

1.1 Latar Belakang ..............................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................................

1.3 Tujuan ...........................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................

2.1 Konstipasi......................................................................................................................

2.2 Inkontinensia Urine/Alvi...............................................................................................

BAB III PENUTUP ...........................................................................................................

3.1 Kesimpulan ...................................................................................................................

3.2 Saran ..............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan bertambahnya usia, fungsi organ dalam tubuh akan


mengalami penurunan, tidak terkecuali pada sistem genitourinaria. Adanya
penurunan fungsi dari sistem genitourinaria ini dapat menyebabkan terjadinya
inkontinensia. Inkontinensia adalah pengeluaran urin atau feses tanpa disadari
dalam jumlah dan frekuensi yang cukup untuk mengakibatkan masalah gangguan
kesehatan atau social. Inkontinensia dapat berupa inkontinensia urin dan
inkontinensia alvi. Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali
pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan
jumlahnya. Sedangkan inkontinensia alvi adalah keluarnya feses pada waktu yang
tidak dikehendaki dan lebih jarang ditemukan.
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air
besar) dari kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang,
jumlah feses kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi juga dapat
diartikan sebagai keadaan dimana membengkaknya jaringan dinding
dubur (anus) yang mengandung pembuluh darah balik (vena), sehingga
saluran cerna seseorang yang mengalami pengerasan feses dan
kesulitan untuk melakukan buang air besar. semua orang dapat
mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut usia (la nsia) akibat gerakan
peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus, red) lebih lambat dan
kemungkinan sebab lain yakni penggunaan obat-obatan seperti aspirin,
antihistamin, diuretik, obat penenang dan lain-lain. Kebanyakan terjadi jika
makan makanan yang kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga.
Kondisi ini bertambah parah jikasudah lebih dari tiga hari berturut-turut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Jelaskan gangguan kebutuhan eliminasi akibat patologis system pencernaan &
persyarafan pada Konstipasi

1
2. jelaskan gangguan kebutuhan eliminasi akibat patologis system pencernaan &
persyarafan pada Inkontinensia
1.3 Tujuan

1. untuk memahami dan mengetahui gangguan kebutuhan eliminasi akibat


patologis system pencernaan & persyarafan pada Konstipasi

2. untuk mengetahui dan memahami gangguan kebutuhan eliminasi akibat


patologis system pencernaan & persyarafan pada Konstipasi

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konstipasi
A. DEFINISI
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air
besar) dari kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang,
jumlah feses kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi juga dapat
diartikan sebagai keadaan dimana membengkaknya jaringan dinding
dubur (anus) yang mengandung pembul uh darah balik (vena), sehingga
saluran cerna seseorang yang mengalami pengerasan feses dan
kesulitan untuk melakukan buang air besar.

B. TIPE KONNSTIPASI
Berdasarkan International Workshop on Constipation, adalah sebagai berikut:
1. Konstipasi Fungsional
Kriteria:
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan:
a. Mengedan keras 25% dari BAB
b. Feses yang keras 25% dari BAB
c. Rasa tidak tuntas 25% dari BAB
d. BAB kurang dari 2 kali per minggu
2. Penundaan pada muara rektum
Kriteria:
a. Hambatan pada anus lebih dari 25% BAB
b. Waktu untuk BAB lebih lama
c. Perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses,
sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi
anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.

3
C. ETIOLOGI
Adapun etiologi dari konstipasi adalah sebagai berikut:

1. Pola hidup ; diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air besar
yang tidak teratur, kurang olahraga.
2. Obat – obatan
banyak obat yang menyebabkan efek samping konstipasi. Beberapa diantaranya
seperti ; morfin, codein sama halnya dengan obat-obatan adrenergic dan
antikolinergik, melambatkan pergerakan dari kolon melalui kerja mereka pada
sistem syaraf pusat. Kemudian, menyebabkan konstipasi yang lainnya seperti: zat
besi, mempunyai efek menciutkan dan kerja yang lebih secara local pada mukosa
usus untuk menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi
dan dapat menyebabkan diare pada sebagian orang

3. Kelainan struktural kolon


tumor, stiktur, hemoroid, abses perineum,magakolon.

4. Penyakit sistemik
hipotiroidisme, gagal ginjal kronik, diabetes mellitusv

5. Penyakit neurologic
hirschprung, lesi medulla spinalis, neuropati otonom

6. Disfungsi otot dinding dasar pelvis


7. Idiopatik transit kolon yang lambat, pseudo obstruksi kronis
8. Irritable Bowel syndrome tipe konstipasi (Djojoningrat, 2009).

D. PATOFISIOLOGI
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan
kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari
sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB.
Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya
mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal (Dorongan untuk defekasi secara
normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap kerja, antara lain: rangsangan
refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter external
dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen). Gangguan dari

4
salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan
peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses
masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna.
Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari
sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf
pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna
diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan
kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi
sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat
dalam proses BAB.

E. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
a. Nama
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis.
b. Jenis Kelamin
Pielonefritis kronis 2 kali lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria.
Penyakit infeksi ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan laki-
laki, karena anatomi dari sistem perkemihan wanita (terutama uretra) yang lebih
pendek dari pria sehingga mudah terserang infeksi yang disebabkan oleh bakteri.

c. Usia
Anak-anak dan orang dewasa memiliki resiko tinggi terhadap penyakit
pielonefritis ini. Dan pielonefritis kronis terjadi lebih sering pada bayi dan anak-
anak muda dibandingkan dengan anak yang lebih tua dan orang dewasa.
d. Alamat
Lingkungan tempat tinggal yang kotor dan tidak sehat dapat meningkatkan resiko
terkena penyakit pielonefritis terutama temapt sanitasi yang buruk, karena dapat
menjadi tempat berkembang biaknya bakteri yang menyebabkan infeksi.
e. Agama
Agama tidak mempengaruhi sesorang untuk terkena penyakit pielonefritis.

5
f. Pekerjaan
Seseorang yang bekerja di tempat dan gaya hidup yang tidak bersih maka akan
berisiko lebih tinggi terkena infeksi pielonefritis.

2. Status Kesehatan
a. Keluhan Utama
Klien dengan penyakit pielonefritis biasanya mengeluhkan nyeri di punggung
bagian bawah, dan juga gejala yang timbul secara tiba-tiba berupa demam,
menggigil, mual dan muntah.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Kaji seberapa lamanya gejala berlangsung (saat proses masuknya bakteri ke
kandung kemih sehingga menyebabkan infeksi), nyeri abdomen atau punggung
belakang, demam atau gejala peradangan lainnya, perubahan selera makan,
penurunan berat badan, dan kebiasaan buang air kecil/BAK (frekuensi, warna,
dll). Perhatikan juga adanya riwayat transfusi darah, dan penggunaan obat-obat
intravena.

c. Riwayat Kesehatan Dahulu


Kaji penyakit kesehatan terdahulu Klien yang dapat berhubungan dengan
timbulnya penyakit pielonefritis yang diderita. Misalnya infeksi saluran
kemih/ISK, kencing manis, batu ginjal, riwayat kehamilan pada wanita yang
memungkinkan terjadinya infeksi oleh bakteri yang naik dari saluran kemih
bawah, dipermudah oleh stasis urine akibat adaptasi kehamilan.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Kaji riwayat penyakit keluarga apakah ada keluarga yang memiliki penyakit
infeksi atau gangguan sistem perkemihan. Namun penyakit pielonefritis bukan
penyakit genetik.
e. Riwayat Imunisasi
Imunisasi berfungsi sebagai penunjang sistem pertahanaan tubuh, sehingga
apabila seorang anak tidak diberikan imunisasi tepat pada usianya maka anak
tersebut dapat beresiko terserang oleh bakteri yang dapat memicu terjadinya
penyakit pielonefritis.

6
3. Pemeriksaan
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan kelainan
yang jelas. Namun demikian pemeriksaan fisik yang teliti dan menyeluruh
diperlukan untuk menemukan kelainan yang berpotensi mempengaruhi fungsi
usus besar.
Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada
selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses
menelan.
Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau tonjolan.
Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih
dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran
batang nadi. Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebihan,
pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau adanya massa tinja.
Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara gerakan
usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang pemeriksaan dubur
untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan) atau fistula (hubungan
abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang bisa
mengganggu proses buang air besar.
Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan
tinja, atau adanya darah.

 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor risiko
konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat
keluarnya darah dari dubur.
Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna,
tukak, wasir, dan tumor. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita
konstipasi untuk mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang
menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia,
keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu
dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian orang konstipasi hanya sekadar

7
mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat menimbulkan komplikasi serius.
Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70%), usus besar (20%), dan
pangkal usus besar (10%). Hal ini menyebabkan kesakitan dan meningkatkan
risiko perawatan di rumah sakit dan berpotensi menimbulkan akibat yang fatal.
Pada konstipasi kronis kadang-kadang terjadi demam sampai 39,5oC , delirium
(kebingungan dan penurunan kesadaran), perut tegang, bunyi usus melemah,
penyimpangan irama jantung, pernapasan cepat karena peregangan sekat rongga
badan. Pemadatan dan pengerasan tinja berat di muara usus besar bisa menekan
kandung kemih menyebabkan retensi urine bahkan gagal ginjal serta hilangnya
kendali otot lingkar dubur, sehingga keluar tinja tak terkontrol. Sering mengejan
berlebihan menyebabkan turunnya poros usus.

F. ANALISA DATA

No Data Etiologi Masalah


1. Data subjektif : Pola BAB tidak Konstipasi
Seminggu tidak teratur
BAB, kebiasaan
BAB tiga kali Eliminasi feses
sehari tidak lancar
Data objektif :
Inspeksi : konstipasi
pembesaran
abdomen.
Palpasi : perut
terasa keras, ada

8
impaksi feses.
Perkusi : redup.
Auskultasi : bising
usus tidak
terdengar

2. Data subjektif: Sulit BAB Nutrisi kurang dari


Klien tidak nafsu kebutuhan
makan Perut terasa
begah
Data objektif:
Bising usus tidak Nafsu
terdengar makan menurun

Menurunnya
intake makanan
3. Data subjektif: konsistensi tinja Nyeri Akut
Keluhan nyeri dari yang keras
pasien
sulit keluar
Data objektif:
Perubahan nafsu Akumulasi di
makan kolon

Nyeri abdomen

9
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya
nafsu makan.
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.

H. TINDAKAN KEPERAWATAN
a. Diagnosa : Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
Tujuan : pasien dapat defekasi dengan teratur (setiap hari)
Kriteria hasil :
1) Defekasi dapat dilakukan satu kali sehari.
2) Konsistensi feses lembut
3) Eliminasi feses tanpa perlu mengejan berlebihan

Intervensi Rasional
1. Mandiri:
a. Tentukan pola defekasi bagi a. Untuk mengembalikan
klien dan latih klien untuk keteraturan pola defekasi klien
menjalankannya
b. Atur waktu yang tepat untuk b. Untuk memfasilitasi refleks
defekasi klien seperti sesudah defekasi
makan
c. Berikan cakupan nutrisi c. Nutrisi serat tinggi untuk
berserat sesuai dengan indikasi melancarkan eliminasi fekal
d. Berikan cairan jika tidak d. Untuk melunakkan
kontraindikasi 2-3 liter per hari eliminasi feses

2. Kolaborasi:
Pemberian laksatif atau enema
sesuai indikasi Untuk melunakkan feses

10
b. Diagnosa : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
hilangnya nafsu makan
Tujuan : menunjukkan status gizi baik
Kriteria Hasil :
1) Toleransi terhadap diet yang dibutuhkan
2) Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
3) Nilai laboratorium dalam batas normal
4) Melaporkan keadekuatan tingkat energi
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
a. Buat perencanaan makan a. Menjaga pola makan
dengan pasien untuk pasien sehingga pasien makan
dimasukkan ke dalam jadwal secara teratur
makan. b. Pasien merasa nyaman
b. Dukung anggota keluarga dengan makanan yang dibawa
untuk membawa makanan dari rumah dan dapat
kesukaan pasien dari rumah. meningkatkan nafsu makan
pasien.
c. Tawarkan makanan porsi c. Dengan pemberian porsi
besar disiang hari ketika nafsu yang besar dapat menjaga
makan tinggi keadekuatan nutrisi yang masuk.
d. Pastikan diet memenuhi d. Tinggi karbohidrat,
kebutuhan tubuh sesuai protein, dan kalori diperlukan
indikasi. atau dibutuhkan selama
perawatan.
e. Pastikan pola diet yang e. Untuk mendukung
pasien yang disukai atau tidak peningkatan nafsu makan pasien
disukai. f. Mengetahui keseimbangan
f. Pantau masukan dan intake dan pengeluaran asuapan
pengeluaran dan berat badan makanan.

11
secara periodik. g. Sebagai data penunjang
adanya perubahan nutrisi yang
g. Kaji turgor kulit pasien kurang dari kebutuhan

2. Kolaborasi: 1) Untuk dapat mengetahui


a. Observasi: tingkat kekurangan kandungan
1) Pantau nilai laboratorium, Hb, albumin, dan glukosa dalam
seperti Hb, albumin, dan kadar darah.
glukosa darah 2) Klien terbiasa makan
dengan terencana dan teratur.
2) Ajarkan metode untuk
perencanaan makan Menjaga keadekuatan asupan
b. Health Edukasi nutrisi yang dibutuhkan.
Ajarkan pasien dan keluarga
tentang makanan yang bergizi
dan tidak mahal

c. Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada


abdomen
Tujuan : menunjukkan nyeri telah berkurang
Kriteria Hasil :
1) Menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk
mencapai kenyamanan
2) Mempertahankan tingkat nyeri pada skala kecil
3) Melaporkan kesehatan fisik dan psikologisi
4) Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk mencegah
nyeri

12
5) Menggunakan tindakan mengurangi nyeri dengan analgesik dan non-
analgesik secara tepat
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
a. Bantu pasien untuk lebih a. Klien dapat mengalihkan
berfokus pada aktivitas dari perhatian dari nyeri
nyeri dengan melakukan
penggalihan melalui televisi
atau radio. b. Hati-hati dalam pemberian
b. Perhatikan bahwa lansia anlgesik opiate
mengalami peningkatan
sensitifitas terhadap efek c. Hati-hati dalam
analgesik opiat pemberian obat-obatan pada
c. Perhatikan kemungkinan lansia
interaksi obat – obat dan obat
penyakit pada lansia

2. Kolaborasi
a. Observasi
1) Minta pasien untuk a. Observasi
menilai nyeri atau ketidak 1) Mengetahui tingkat nyeri
nyaman pada skala 0 – 10 yang dirasakan klien
2) Gunakan lembar alur nyeri
3) Lakukan pengkajian nyeri
yang komperhensif 2) Mengetahui karakteristik
b. Health education nyeri
1) Instruksikan pasien untuk 3) Agar mngetahui nyeri
meminformasikan pada perawat secara spesifik
jika pengurang nyeri kurang
tercapai b. Health Education
2) Berikan informasi tetang 1) Perawat dapat melakukan
nyeri tindakan yang tepat dalam

13
mengatasi nyeri klien

2) Agar pasien tidak merasa


cemas

2.2 Inkontinensia Urine/Alvi

Inkontinensia Urine

A. DEFINISI

Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan

Tipe-Tipe Inontinensia Urine :

 Inkontinensia dorongan

keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera
setelah merasa dorongan yang kuat setelah berkemih.

 Inkontinensia total

 Inkontinensia stress

 Inkontinensia reflex

 Inkontinensia fungsional

14
B. ETIOLOGI
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat
kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini
mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun
kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran
kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya
gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi
saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis
atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen topical. Terapi
perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila
terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya
serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif.
Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena
berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang
harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa
diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan
ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas.
Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau
menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis,
maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau
farmakologik yang tepat.
Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang
dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat
jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat.
Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik,
analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE

15
inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi,
antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan
alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang
disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar
panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas),
menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses
persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot
dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan
risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen
pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus
otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan
terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau
kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan
inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami
inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot
dasar panggul (Darmojo, 2009).

16
C. PATOFISIOLOGI

D. PENGKAJIAN

1. Identitas Klien

inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia
(usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup
kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.

2. Riwayat Kesehatan
a) Riwayat sekarang

Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat ini.
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului
inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi
fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi.

17
Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi
inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.

b) Riwayat kesehatan klien

Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa


sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan
apakah dirawat dirumah sakit.
c) Riwayat kesehatan keluarga

Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit
ginjal bawaan/bukan bawaan.

3. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum

Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari
terjadinya inkontinensia

Pemeriksaan Persistem :
B1 (breathing)

Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen
menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.

B2 (blood)

Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah

B3 (brain)

18
Kesadaran biasanya sadar penuh

B4(bladder)

Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena
adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai
keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi
pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria
akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar
di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.

B5(bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen,
adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.

B6(bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain,
adakah nyeri pada persendian.

4. Pemeriksaan Penunjang

a) Urinalisis

o Hematuria.
o Poliuria
o Bakteriuria.

b) Pemeriksaan Radiografi

o IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.

19
o VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan
fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat),
mengkaji PVR (Post Voiding Residual).

c) Kultur Urine

o Steril.
o Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).
o Organisme.

E. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung
kemih
2) Gangguan pola istirahat dan tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan
3) Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu
yang lama.
4) Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan
oleh urine.
5) Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
6) Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kondisi penyakit.

F. TINDAKAN KEPERAWATAN

1. Diagnosa 1
Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung
kemih.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan bisa
melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinensia.

20
Kriteria Hasil: Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional
penatalaksanaan.
Intervensi :
1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
R: Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi kandung kemih

2. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama


malam hari

3.

R: Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enurasis

4. Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara


berkemih yang telah direncanakan

R: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume


urine sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.

5. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran,
ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien berdiri
jika tidak ada kebocoran yang lebih dulu.
R: Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.
6. Anjurkan klien melakukan latihan kegel exercise atau blader training

R/ Untuk mengencangkan otot di sekitar vagina, sehingga klien lebih mampu


menahan keinginan buang air kecil.

7. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan


2000 ml, kecuali harus dibatasi.
R: Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu ginjal.
8. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan
frekuensi inkonteninsia.
2. Diagnose 2

21
Tujuan : Kebutuhan istirahat dan tidur terpenuhi.

Kriteria hasil : klien mampu istirahat dan tidur dengan waktu yang cukup, klien
mengungkapkan sudah bisa tidur, klien mampu menjelaskan factor penghambat
tidur.

Intervensi :

1. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur/istirahat dan


kemungkinan cara untuk menghindarinya.

R/ Meningkatkan pengetahuan klien sehingga klien mau kooperatif terhadap


tindakan keperawatan.

2. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.

R/ Menentukan rencana untuk mengatasi gangguan.

3. Batasi masukan cairan waktu malam hari dan berkemih sebelum tidur.

R/ Mengurangi frekuensi berkemih pada malam hari

4. Batasi masukan minuman yang mengandung kafein

R/ Kafein dapat merangsang untuk sering berkemih

3. Diagnosa 3
Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang
lama.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat berkemih
dengan nyaman.
Kriteria Hasil : Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine
menunjukkan tidak adanya bakteri.
Intervensi :
1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.

22
2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan setelah
buang air besar.
R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih dan
naik ke saluran perkemihan.
3. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah
yang terjadi (memberikan perawatan perianal, pengosongan kantung drainase
urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik aseptik bila melakukan
kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling.
R: Untuk mencegah kontaminasi silang.
4. Kecuali dikontra indikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan
masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai
dengan kebutuhan.
R: Untuk mencegah stasis urine.
5. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
 Tingkatkan masukan sari buah berri.
 Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari buah berri
diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman urine. Peningkatan
masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran
kemih.

4. Diagnosa 4
Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh
urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keruskan integritas
kulit teratasi.
Kriteria Hasil :
 Jumlah bakteri <100.000/ml.
 Kulit periostomal tetap utuh.

23
 Suhu 37° C.
 Urine jernih dengan sedimen minimal.
Intervensi :
1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam.
R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang
diharapkan.
2. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan
kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer
kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk menjamin ketepatan
ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan
kantung urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.
R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan
kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam urine
dapat menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.

5. Diagnosa 5
Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan
seimbang
Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi
1. Awasi TTV
R: Pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume intravascular,
khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
2. Catat pemasukan dan pengeluaran
R: Untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan
resiko kelebihan cairan
3. Awasi berat jenis urine
R: Untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikn urine
4. Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam

24
R: Membantu periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan yang
terbatas dan menurunkan rasa haus
5. Timbang BB setiap hari
R: Untuk mengawasi status cairan
6. Diagnosa 6

Tujuan : supaya pengetahuan klien tentang kondisinya bertambah.

Kriteria Hasil : klien dapat mengatakan secara akurat tentang diagnosis dan
pengobatan, mengikuti prosedur dengan baik dan menjelaskan tentang alas an
mengikuti prosedur tersebut, mempunyai inisiatif dalam perubahan gaya hidup
dan berpartisipasi dalam pengobatan, bekerjasama dengan pemberi informasi.

Intervensi :

1. Tentukan persepsi klien tentang kondisinya

R/ Memungkinkannya dilakukan pembenaran terhadap kesalahan persepsi dan


konsepsi serta kesalahan pengertian.

2. Beri informasi yang akurat dan actual. Jawab pertanyaan secara spesifik,
hindari informasi yang tidak diperlukan.

R/ Membantu klien dalam memahami proses penyakit

3. Berikan bimbingan kepada klien atau keluarga sebelum mengikuti


prosedur pengobatan, terap, dan komplikasi.

R/ Membantu klien dan keluarga dalam membuat keputusan pengobatan.

4. Anjurkan klien untuk memberikan unpan balik verbal dan mengkoreksi


miskonsepsi tentang penyakitnya

R/ Mengetahui sampai sejauh mana pemahaman klien dan keluarga mengenai


penyakit klien

25
Inkontinensia Alvi

A. DEFINISI
Ikontinensia alvi adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang air besar,
menyebabkan feses bocor tidak terduga dari dubur. Inkontinensia alvi juga
disebut inkontinensia usus.
Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan dan
mengeluarkan tinja pada waktu dan tempat yang tepat.
Inkontinensia alvi adalah keadaan individu yang mengalami perubahan kebiasaan
dari proses defekasi normal mengalami proses pengeluaran feses tak disadari,atau
hilangnya kemampuan otot untuk mengontrol pengeluaran feses dan gas melalui
spingter akibat kerusakan sfingter.

B. KLASIFIKASI
Berdasarkan etiologinya, inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4 kelompok :
1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi

2. Inkontinensia alvi simtomatik

3. Inkontinensia alvi neurogenik

4. Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks anal

C. ETIOLOGI
Penyebab utama timbulnya inkontinensia alvi adalah masalah sembelit,
penggunaan pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti dimensia dan
stroke, serta gangguan kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan kerusakan
sfingter rektum.
Penyebab inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi empat kelompok :
1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
 Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan atau
impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Massa feses yang tidak dapat
keluar ini akan menyumbat lumen bawah dari anus dan menyebabkan perubahan

26
dari besarnya sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat
membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan
merembes keluar .
 Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa rektum
dan terjadi produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela – sela dari
feses yang impaksi akan keluar dan terjadi inkontinensia alvi .
2. Inkontinensia alvi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus
besar
Inkontinensia alvi simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari macam –
macam kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Keadaan ini mungkin
dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia dari
proses kontrol yang rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair, dan
gangguan pada saluran anus bagian atas dalam membedakan flatus dan feses yang
cair
Penyebab yang paling umum dari diare pada lanjut usia adalah obat – obatan,
antara lain yang mengandung unsur besi, atau memang akibat pencahar
3. Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses
defekasi (inkontinensia neurogenik)
Inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat gangguann fungsi menghambat dari
korteks serebri saat terjadi regangan atau distensi rektum. Proses normal dari
defekasi melalui reflek gastro-kolon. Beberapa menit setelah makanan sampai di
lambung/gaster, akan menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah
rekum. Distensi rektum akan diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti halnya
kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum pada orang dewasa
normal, karena ada inbisi atau hambatan dari pusat di korteks serebri
4. Inkontinensia alvi karena hilangnya reflek anal
Inkontinensia alvi ini terjadi akibat karena hilangnya refleks anal, disertai
kelemahan otot-otot seran lintang.
Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh broklehurst
dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit – unit yang berfungsi motorik pada
otot – otot daerah sfingter dan pubo-rektal, keadaan ini menyebabkan hilangnya
reflek anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal

27
ini dapat berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra abdomen
dan prolaps dari rektum. Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada
ahli progtologi untuk pengobatannya (broklehurst dkk, 1987).

D. PATOFISIOLOGI

Reflek defekasi parasimpatis

Feses masuk rectum

Saraf rectum

Dibawa ke spinal cord

Kembali ke colon desenden,sigmoid dan rectum

Intensifkan peristaltic

Kelemahan spingter interna anus

Inkontinensia alvi

Fungsi traktus gastrointestinal biasanya masih tetap adekuat sepanjang hidup.


Namun demikian beberapa orang lansia mengalami ketidaknyamanan akibat
motilitas yang melambat. Peristaltik di esophagus kurang efisien pada lansia.
Selain itu, sfingter gastroesofagus gagal berelaksasi, mengakibatkan pengosongan
esophagus terlambat.keluhan utama biasanya berpusat pada perasaan penuh, nyeri
ulu hati, dan gangguan pencernaan. Motalitas gaster juga menurun, akibatnya
terjadi keterlambatan pengosongan isi lambung. Berkurangnya sekresi asam dan
pepsin akan menurunkan absorsi besi, kalsium dan vitamin B12.
Absorsi nutrient di usus halus juga berkurang dengan bertambahnya usia namun
masih tetap adekuat. Fungsi hepar, kantung empedu dan pankreas tetap dapat di
pertahankan, meski terdapat insufisiensi dalam absorsi dan toleransi terhadap

28
lemak. Impaksi feses secara akut dan hilangnya kontraksi otot polos pada sfingter
mengakibatkan inkontinensia alvi.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Anal Manometry, memeriksa keketatan dari sfingter anal dan kemampuan
sfingter anal dalam merespon sinyal serta sensitivitas dan fugsi dari rektum. MRI
terkadang juga digunakan untuk mengevaluasi sfingter.

2. Anorectal Ultrasonography, memeriksa dan mengevaluasi struktur dari


sfingter anal

3. Proctography, menunjukan berapa banyak feses yang dapat ditahan oleh


rektum, sebaik apa rektum mampu menahannya dan sebaik mana rektum mampu
mengosongkannya.

4. Progtosigmoidoscopy, melihat kedalam rektum atau kolon untuk


menemukan tanda-tanda penyakit atau masalah yang dapat menyebabkan
inkontinensia fekal seperti inflamasi, tumor, atau jaringan parut.

F. PENGKAJIAN/ANAMNESA
Untuk mengkaji pola eliminasi danmenentukan adanya kelainan,
perawatmelakukan pengkajian riwayatkeperawatan, pengkajian fisik
abdomen,menginspeksi karakteristik feses danmeninjau kembali hasil
pemeriksaan yang berhubungan.

Riwayat Keperawatan
a. Pola defekasi
 Kapan anda biasanya ingin BAB ?
 Apakah kebiasaan tersebut saat ini mengalami perubahan ?
b. Gambaran feses dan perubahan yang terjadi

29
 Apakah anda memperhatikan adanya perubahan warna, tekstur (keras,
lemah, cair), permukaan, atau bau feses anda saat ini ?
c. Masalah eliminasi fekal
 Masalah apa yang anda rasakan sekarang (sejak beberapa hari yang lalu)
berkaitan dengan BAB (konstipasi, diare, kembung, merembes /
inkontinensia{tidak tuntas}) ?
 Kapan dan berapa sering hal tersebut terjadi ?
 Menurut anda kira-kira apa penyebabnya (makanan, minuman, latihan,
emosi, obat-obatan, penyakit, operasi) ?
 Usaha apa yang anda lakukan untukmengatasinya dan bagaimana hasilnya
?
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi
 Menggunakan alat bantu BAB. Apa yang anda lakukan untuk
mempertahankan kebiasaan BAB normal ? Menggunakan bahan-bahan alami
seperti makanan / minuman tertentu atau obat-obatan ?
 Diet. Makanan apa yang anda percaya mempengaruhi BAB ? Makanan
apa yang biasa anda makan ? yang biasa anda hindari, berapa kali anda makan
dalam sehari ?
 Cairan. Berapa banyak dan jenis minuman yang anda minum dalam sehari
? (misalnya 6 gelas air, 2 cangkir kopi)
 Aktivitas dan Latihan. Pola aktivitas / latihan harian apa yang biasa
dilakukan ?
 Medikasi. Apakah anda minum obat yang dapat mempengaruhi sistem
pencernaan (misalnya Fe, antibiotik) ?
 Stress. Apakah anda merasakan stress. Apakah dengan ini anda mengira
berpengaruh pada pola BAB (defekasi) anda ? Bagaimana ?
e. Ada ostomi dan penanganannya
 Apa yang biasa anda lakukan terhadap kolostomy anda ?
 Jika ada masalah, apa yang anda lakukan ?
 Apakah anda memerlukan bantuan perawat untuk menangani kolostomy
anda ? Bagaimana caranya ?

30
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi inspeksi,
auskultasi, perkusi dan palpasi dikhususkan pada saluran intestinal. Auskultasi
dikerjakan sebelum palpasi, sebab palpasi dapat merubah peristaltik. Pemeriksaan
rektum dan anus meliputi inspeksi dan palpasi.Inspeksi Feses. Observasi feses
klien terhadap warna, konsistensi, bentuk permukaan, jumlah, bau dan adanya
unsur-unsur abdomen. Perhatikan tabel berikut :

KARAKTERISTIK FESES NORMAL DAN ABNORMAL

Karakteristik Normal Abnormal Kemungkinan penyebab

Warna Dewasa : Pekat / putih Adanya pigmen empedu (obstruksi


kecoklatan empedu); pemeriksaan diagnostik
menggunakan barium
Bayi : kekuningan
Hitam / spt ter. Obat (spt. Fe); PSPA (lambung, usus
halus); diet tinggi buah merah dan
sayur hijau tua (spt. Bayam)

Merah PSPB (spt. Rektum), beberapa


makanan spt bit.

Pucat Malabsorbsi lemak; diet tinggi susu


dan produk susu dan rendah daging.

Orange atau Infeksi usus


hijau

Konsistensi Berbentuk, lunak, Keras, kering Dehidrasi, penurunan motilitas usus


agak cair / lembek, akibat kurangnya serat, kurang
basah. latihan, gangguan emosi dan laksantif
abuse.

Diare Peningkatan motilitas usus (mis.


akibat iritasi kolon oleh bakteri).

31
Bentuk Silinder (bentuk Mengecil, bentuk Kondisi obstruksi rektum
rektum) dgn 2,5 pensil atauseperti
cm u/ benang
orangdewasa

Jumlah Tergantung diet


(100 – 400 gr/hari)

Bau Aromatik Tajam, pedas Infeksi, perdarahan


:dipengaruhi oleh
makanan yang
dimakan dan flora
bakteri.

Unsur pokok Sejumlah kecil Pus Infeksi bakteri


bagian kasar
Mukus Konsidi peradangan
makanan yang
tidak dicerna, Parasit Perdarahan gastrointestinal
potongan bakteri
Darah Malabsorbsi
yang mati, sel
epitel, lemak, Lemak Salah makan
protein, unsur- dalamjumlah
unsur kering besar
cairan pencernaan
Benda asing
(pigmen empedu
dll)

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan diare
berkepanjangan
2. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan

32
a. Diare berkepanjangan

b. Inkontinensia fekal

3. Harga diri rendah berhubungan dengan

b. Inkontinensia fekal

c. Perlunya bantuan untuk toileting

4. Defisit pengetahuan tentang bowel training

H. TINDAKAN KEPERAWATAN
1. Diagnosa 1
Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diare
berkepanjangan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan
seimbang
Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg

Intervensi rasional
 Awasi TTV  Pengawasan
invasive diperlukan untuk mengkaji
volume intravascular, khususnya
pada pasien dengan fungsi jantung
 Catat pemasukan dan buruk
pengeluaran
 Untuk menentukan fungsi
usus, kebutuhan penggantian cairan
dan penurunan resiko kelebihan
cairan yang keluar melalui feses.

 Catat karakteristik  Feses yang cair

33
feses
 Membantu periode tanpa
 Berikan minuman cairan, meminimalkan kebosanan
yang disukai sepanjang 24 pilihan yang terbatas dan
jam menurunkan rasa haus

 Timbang BB setiap  Untuk mengawasi status


hari cairan

2. Resiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan inkontinensia


fekal

Kriteria Hasil: Pasien akan mempertahankan integritas kulit

intervensi rasional
 Kaji kulit tiap hari. Catat  Menentukan garis dasar
warna, turgor, sirkulasi dan dimana perubahan pada status
sensasi dapat dibandingkan dan
melakukan intervensi yang tepat.
 Mempertahankan
 Pertahankan dalam kebersihan karena kulit yang
higiene kulit, misalnya kering dapat menjadi barier
membasuh kemudian infeksi. Pembasuhan kulit kering
mengeringkannya dengan sebagai ganti menggaruk
berhati-hati dan melakukan menurunkan resiko trauma
masase dengan menggunakan dermal pada kulit yang
lotion atau krim. kering/rapuh. Masase

34
meningkatkan sirkulasi kulit dan
meningkatkan kenyamanan.
 Friksi kulit disebabkan
oleh kain yang berkerut dan
 Pertahankan sprei bersih basah yang menyebabkan iritasi
dan tidak berkerut dan potensial terhadap infeksi.

 Kuku yang panjang/kasar


meningkatkan resiko kerusakan
 Gunting kuku secara dermal
teratur

3. Resiko tinggi terhadap isolasi sosial yang berhubungan dengan rasa malu
tentang inkontinensia di depan orang lain.

Kriteria Hasil.

Klien akan:

a) Mengekspresikan keingingan untuk bersosialisasi

b) Menunjukkan maksud untuk membuat atau meningkatkan pola sosialisasi

Intervensi rasional
 Akui frustasi klien dengan  Bagi klien, inkontinensia
inkontinensia dapat tampak seperti kembali
keadaan seperti bayi dimana ia
tidak mempunyai kontrol
terhadap fungsi tubuhnya dan
merasa diasingkan oleh orang
lain. Pengakuan kesulitan situasi
dapat membantu mengurangi
perasaan frustasinya.

35
 Tindakan ini dapat
 Tentukan kemampuan meningkatkan kontrol dan
klien untuk mengikuti pelatihan mengurangi rasa takut terhadap
untuk mengatasi inkontinensia cedera.
feses.
 Dengan membantu klien
 Ajarkan klien cara untuk mengatasi inkontinensia akan
mengontrol masalah mendorong sosialisasi
inkontinensia.  Perjalanan singkat
membantu klien secara bertahap
 Berikan dorongan klien meningkatkan percaya diri dan
untuk melakukan sosialisasi mengurangi rasa takutnya.
keluar dalam waktu singkat pada
awalnya, kemudian meningkatkan
lamanya kontak sosial bila sukses
pada penanganan peningkatan
inkontinensia.

4. Defisit pengetahuan tentang bowel training, manajemen ostomy


berhubungan dengan kurangnya pengalaman
Tujuan : pasien mengetahui cara latihan bowel training

intervensi rasional
 Berikan pengetahuan  Latihan bowel training
tentang latihan bowel training dapat membantu untuk
pada pasien menangani inkontinensia urine
dengan melatih otot anus /
 Berikan latihan rectum
positioning
 Berikan latihan / aktivitas  Latihan yang rutin dapat

36
rutin kepada klien membantu klien manangani
masalah inkontinensia alvi

I. EVALUASI
a. Asupan cairan dan diet klien sudah tepat
b. Harga diri pasien kembali normal
c. Klien dan keluarga memahami instruksi tentang training bowel

37
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari
kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses
kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat
terjadi saat bepergian, misalnya karena jijik dengan WC-nya, bingung caranya
buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan kendaraan umum lainnya.
Penyebab konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek samping obat, faktor
neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor kelainan organ
di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau
kelainan pada rektum, anak dan dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik
kronik. Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya
adalah mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah
pada buah dan sayur.

Inkontinensia keadaan dimana pengeluaran urin atau feses tanpa disadari, dalam
batas dan yang cukup sehigga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan
kesehatan atau social.

3.2 Saran

Kita sebagai seorang perawat sebaiknya memebrikan pendidikan kesehatan


kepada masyarakat tentang manfaat makanan yang berserat dan menghindari
aktivitas yang berat.

38
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/16655113/ASKEP_INKONTENENSIA_URINE

https://id.scribd.com/doc/190843810/ASKEP-Konstipasi

39

Anda mungkin juga menyukai