Anda di halaman 1dari 49

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


BLOK GASTROENTEROHEPATOLOGI Makassar, 14 Januari 2020

LAPORAN TUTORIAL MODUL 4


BLOK GASTROENTEROHEPATOLOGI
“SKENARIO 1”

TUTOR:
dr. Rezky Putri Indarwati, M.Kes.
Disusun Oleh:

NURUL INDAH PRATIWI (11020180079)


LIDIANA (11020180098)
IQRA ANUGRAH (11020180116)
M.YUSRIL KAMARUDDIN (11020180118)
ANASTASIA NUGRAHA PRATIWI (11020160056)
NURMALA SINTA A. (11020160145)
ZULFIANTI TAMSIL (11020180001)
NUR AZIZAH (11020180021)
MUH.FADLURAHMAN ISHAK (11020180022)
ANDI REZKY MAULANA (11020180046)
SAYYIDAH NADHILA LATURUMO (11020180052)
MUHAMMAD ARDIANSYAH (11020180067)
MUH. RIDZKY AFDAL MASSALINRI (11020180104)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-
Nya sehingga laporan tutorial ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.Aamiin.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan tutorial ini, karena itu
kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan guna memacu
kami menciptakan karya-karya yang lebih bagus.

Akhir kata, kami ingin menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan dalam penyusunan karya tulis ini, terutama kepada dr. Nur
Aisyah sebagai tutor PBL Modul 2 kami serta teman-teman yang telah mendukung
dan turut memberikan motivasi dalam menyelesaikan laporan tutorial ini.

Semoga Allah SWT dapat memberikan balasan setimpal atas segala kebaikan dan
pengorbanan dengan limpahan rahmat dari-Nya.Aamiin yaa Robbal A’lamiin.

Makassar, 8 Januari 2020

Kelompok 5
SKENARIO 1

KATA SULIT :

Tidak ada.

KALIMAT KUNCI

1. Laki-laki, 60 tahun
2. Susah BAB 2 minggu terakhir
3. Memberat 1 minggu terakhir
4. BAB disertai darah dan lendir
5. Perut kembung, rasa tidak puas setelah BAB
6. RT : benjolan arah jam 9, konsistensi keras, dan terdapat lendir pada
handschoen

PERTANYAAN
1. Apa saja klasifikasi dari konstipasi?
2. Bagaimana patomekanisme konstipasi?
3. Bagaimana hubungan antar gejala pada skenario?
4. Bagaimana interpretasi hasil RT?
5. Bagaimana langkah-langkah diagnosis yang tepat berdasarkan skenario?
6. Apa saja diagnosis banding berdasarkan skenario?
7. Bagaimana penatalaksanaan awal yang tepat sesuai skenario?
8. Persperktif Islam sesuai skenario!

JAWABAN

1. Etiologi dan Klasifikasi dari Konstipasi

1.1 Etiologi Konstipasi


a. Pola hidup
Diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air besar yangtidak
teratur, kurang olahraga.
1) Diet rendah serat :
Makanan lunak dan rendah serat yang berkurang pada fesessehingga
menghasilkan produk sisa yang tidak cukup untuk merangsang
refleks pada proses defekasi. Makan rendah serat seperti ; beras,
telur dandaging segar bergerak lambat di saluran cerna.
Meningkatnya asupan cairan dengan makanan seperti itu
meningkatkan pergerakan makanan tersebut.
Diet rendah serat/Dietary Reference Intake (DRI) serat berdasarkan
National Academy of Sciences :
 Anak-anak :
1 – 3 tahun : 19 gram/hari
4 – 8 tahun : 25 gram/hari
 Pria
9 – 13 tahun : 31 gram/hari
14 – 18 tahun : 38 gram/hari
19 – 30 tahun : 38 gram/hari
30 – 50 tahun : 38 gram/hari
>50 tahun : 30 gram/hari
 Wanita
9 – 13 tahun : 26 gram/hari
14 – 18 tahun : 26 gram/hari
19 – 30 tahun : 25 gram/hari
30 – 50 tahun : 25 gram/hari
>50 tahun : 21 gram/hari
2) Kurang cairan/minum
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses.
Ketikapemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth:
urine, muntah)yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh
melanjutkan untukmereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di
sepanjang kolon.Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari
normal, menghasilkan fesesyang keras. Ditambah lagi berkurangnya
pemasukan cairan memperlambatperjalanan chyme di sepanjang
intestinal, sehingga meningktakanreabsorbsi dari chyme.
3) Kebiasaan buang air besar (BAB) yang tidak teratur
Salah satu penyebab yang paling sering menyebabkan
konstipasiadalah kebiasaan BAB yang tidak teratur. Refleks
defekasi yang normaldihambat atau diabaikan, refleks-refleks ini
terkondisi untuk menjadisemakin melemah. Ketika kebiasaan
diabaikan, keinginan untuk defekasihabis. Anak pada masa bermain
bisa mengabaikan refleks-refleks ini; orang dewasa
mengabaikannya karena tekanan waktu dan pekerjaan. Klien yang
dirawat inap bisa menekan keinginan buar air besar karena malu
menggunakan bedpan atau karena proses defekasi yang tidak
nyaman. Perubahan rutinitas dan diet juga dapat berperan dalam
konstipasi. Jalan terbaik untuk menghindari konstipasi adalah
membiasakan BAB teratur dalam kehidupan.
b. Obat – obatan
Banyak obat yang menyebabkan efek samping konstipasi. Beberapa
diantaranya seperti ; morfin, codein sama halnya dengan obat-obatan
adrenergikdan antikolinergik, melambatkan pergerakan dari kolon melalui
kerja merekapada sistem syaraf pusat. Kemudian, menyebabkan konstipasi
yang lainnyaseperti: zat besi, mempunyai efek menciutkan dan kerja yang
lebih secara local pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi. Zat
besi juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada
sebagian orang.
c. Kelainan struktural kolon ; tumor, stiktur, hemoroid, abses
perineum,magakolon.
d. Penyakit sistemik ; hipotiroidisme, gagal ginjal kronik, diabetes mellitus.
e. Penyakit neurologik ; hirschprung, lesi medulla spinalis, neuropati otonom.
f. Disfungsi otot dinding dasar pelvis.
g. Idiopatik transit kolon yang lambat, pseudo obstruksi kronis.
h. Irritable Bowel syndrome tipe konstipasi.

1.2 Klasifikasi Konstipasi

Klasifikasi di klinik biasa dikenal dalam 2 kategori, yaitu :

a. Konstipasi yang disebabkan karena gangguan fungsi/ konstipasi akut/


konstipasi temporer.
1) Rektal Statis (Dysschezia)
 Kebiasaan yang salah : adanya penundaan waktu defekasi ada
rangsangan defekasi,tidak teraturnya waktu defekasi, berpergian
lama, kurang asupan makanan yang mengandung selulose.
 Adanya nyeri saat defekasi : adanya fisura ani atau abses pada
anus sehingga pasien enggan untuk defekasi.
 Inefektif pada otot-otot abdomen : kelemahan otot perut biasanya
pasca bedah abdomen dikarenakan pasien belum bisa sepenuhnya
mengejan dengan baik, sehingga tidak dapat mengeluarkan feses
dari kolon hal ini dapat menyebabkan rektal statis.
 Lesi pada diskus spinalis.
2) Kolon Statis
 Kebiasaan yang salah : adanya penundaan waktu defekasi ada
rangsangan defekasi,tidak teraturnya waktu defekasi, berpergian
lama, kurang asupan makanan yang mengandung selulose.
 Pada semua keadaan yang dapat menimbulkan dehidrasi.
 Pada penderita yang makan makanan sedikit menimbulkan low
residu diet juga salah satu penyebab konstipasi.
b. Konstipasi Simtomatik: merupakan konstipasi yang menandakan adanya
gejala pada suatu penyakit akut ataupun kronik. Diantaranya :
1) Konstipasi sebagai gejala penyakit akut misalnya :
 Dehidrasi : Sering dehidrasi memberikan akibat timbulnya
konstipasi. Penyakit yang biasa disertai panas sehingga terkadang
rehidrasi tidak selalu diperhatikan adalah penderita dengan
penyakit pneumonia, meningitis, tifus abdominalis stadium
permulaan biassanya memberikan gejala konstipasi.
 Obstruksi intestinal yang akut.
 Apendisitis akut.
 Setelah hematemesis.
2) Konstipasi sebagai gejala penyakit kronik misalnya:
 Penyakit atau kelainan dari traktus gastrointestinalis : stenosis
pilorikum, kelainan kolon (karsinoma kolon, divertikulosis, pada
megakolon yaitu hirchsprung/ pseudo-hirchsprung) blind loop
dari kolon. Kelainan dari rektum anus yaitu (fisura, proktitis,
karsinoma dari rektum, ischiorektal abses).
 Kelainan pada pelvis yang biasanya karena kompresi mekanis
pada rektum atau kolon misalnya : pada wanita yang gravid maka
uterusnya menekan sigmoid dan rektum, fibroid uterus, tumor
pada pelvis, kista ovarii, prolaps dari intestin yang masuk ke
dalam fossa rekto genital.
 Penyakit umum di organ lain: penyakit endokrin ( miksudema,
diabetes melitus, hiperparatiroid), kelainan psikiis ( depresi,
manis depresive psikhose, anoreksia nervosa, keracunan atau
karena obat-obat (karena zat logam, opiaten :codein, morfin,
tictura opii, dan lain-lain.

2. Patomekanisme Konstipasi
Konstipasi diyakini berhubungan dengan pengaruh dari sepertiga fungsi
utama kolon yaitu: transpor mukosa (sekresi mukosa memudahkan gerakan isi
kolon), aktivitas mioelektrik (pencampuran massa rektal), atau proses defekasi.
Dorongan defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat
tahap: rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal,
relaksasi sfingter eksternal dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan
tekanan intra-abdomen. Gangguan salah satu dari empat proses ini dapat
menimbulkan konstipasi (Smeltzer & Bare, 2008).
Membran mukosa rektal dan muskulatur menjadi tidak peka terhadap
adanya massa fekal apabila dorongan untuk defekasi diabaikan. Hal ini
mengakibatkan perlunya rangsangan yang lebih kuat untuk menghasilkan
dorongan peristaltik tertentu agar defekasi. Efek awal retensi fekal adalah untuk
menimbulkan kepekaan kolon, di mana pada tahap ini sering mengalami spasme,
khususnya pada saat makan. Kondisi ini dapat menimbulkan nyeri kolik
midabdominal atau abdomen bawah. Setelah proses ini berlangsung sampai
beberapa tahun, kolon kehilangan tonus dan menjadi sangat responsif terhadap
rangsang normal sehingga terjadi konstipasi.
Ada tiga mekanisme yang berperan pada konstipasi idiopatik. Mekanisme
itu terdiri dari peningkatan absorbsi cairan di kolon dengan transit normal,
melambatnya transit dengan absorbsi normal, dan gangguan defekasi di mana
pergerakan kolon tidak fungsional. Aktivitas motorik yang meningkat, menurun,
dan normal ditemukan pada konstipasi. Gerakan maju mundur yang
meningkatkan waktu kontak dari chymeatau isi lumen dengan mukosa dapat
terjadi, jika kontraksi meningkat dalam amplitudo dan frekuensi yang tidak
terkoordinasi. Perpanjangan waktu kontak meningkatkan pengeringan feses,
sehingga feses sulit didorong. Feses yang kering dapat mengakibatkan
segmentasi dengan gerakan yang melambat. Hal ini membuat transit ampas
metabolisme melambat dan akhirnya terjadi konstipasi (Simadibrata, 2006,
dalam Sudoyo, dkk, 2006).

3. Hubungan antar Gejala


Kembung didefinisikan sebagai ketidaknyamanan subyektif oleh sensasi pasien
terhadap gas usus; jika tidak, distensi perut adalah peningkatan yang terlihat
dalam lingkar perut. Di masa lalu, kembung dianggap berhubungan dengan
distensi abdomen secara langsung, tetapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa
kembung tidak selalu disertai dengan distensi abdomen. Adapun patofisiologi
kembung sebagai berikut.
a. Microbiota usus abnormal
Gangguan keseimbangan antara inang dan mikrobiota usus menghasilkan
perubahan dalam sistem kekebalan mukosa dari mikroskopis ke peradangan
terbuka dan ini juga menghasilkan perubahan dalam fungsi motorik sensorik
usus dan aktivitas kekebalan tubuh. Selain itu, mikroflora yang berubah ini
dapat menghasilkan perbedaan dalam jenis dan volume gas fermentasi, yang
mungkin menjadi penyebab gejala pada pasien dengan kembung.
b. Akumulasi gas usus
Dalam keadaan puasa, saluran GI yang sehat hanya mengandung sekitar 100
mL gas yang didistribusikan hampir secara merata di antara 6 kompartemen
- lambung, usus kecil, kolon asendens, kolon transversum, kolon desendens
dan kolon distal (panggul). Volume gas postprandial meningkat sekitar
65%, terutama di usus besar panggul. Volume gas usus yang berlebihan
telah diusulkan sebagai kemungkinan penyebab kembung dan distensi, dan
banyak peneliti telah berusaha untuk menentukan pandangan ini.
c. Perubahan motilitas usus dan transit gas yang terganggu
Dalam sebuah studi oleh Serra et al, mereka telah menunjukkan bahwa infus
gas ke jejunum mengakibatkan distensi dan perut kembung di sebagian
besar pasien IBS (18 dari 20), sementara hanya 20% (4 dari 20) subyek
kontrol mengalami gejala seperti itu. Studi lain menggunakan teknik transit
gas telah menunjukkan bahwa transit gas usus kecil (terutama, jejunum)
lebih lama pada pasien dengan kembung daripada kontrol, sedangkan transit
kolon normal. Data ini mendukung bahwa gangguan penanganan gas usus
kecil bisa menjadi mekanisme kembung gas. Selain itu, tes transit gas pada
subyek sehat selama aliran keluar gas rektal yang tersumbat menunjukkan
bahwa distensi abdomen berdasarkan pengukuran lingkar adalah serupa
pada percobaan infus jejunal dan rektum, sedangkan gejala abdomen
termasuk kembung lebih signifikan pada kelompok jejunal. Data ini
menunjukkan bahwa persepsi gejala yang berhubungan dengan gas
ditentukan oleh distribusi gas intraluminal, sedangkan distensi perut
tergantung pada volume gas usus.
d. Feses keras/sembelit
Distensi rektum oleh feses yang ditahan memperlambat transit usus kecil
serta transit kolon, mungkin menjelaskan kembung yang memburuk pada
pasien yang mengalami konstipasi. Jadi tampaknya masuk akal bahwa
sembelit atau tinja yang keras / kental menginduksi perubahan motilitas
usus dan dengan demikian mungkin meningkatkan fermentasi
bakteri. Selain itu, sembelit dapat mempercepat kembung dengan efek
bulking intraluminal dengan cara yang sama seperti dedak.

4. Interpretasi Hasil RT
4.1 Definisi
Pemeriksaan rektal terdiri dari inspeksi visual kulit perianal, palpasi digital
rectum, dan penilaian fungsi neuromuskuler perineum.
4.2 Teknik
Pemeriksaan rectum melibatkan inspeksi dan palpasi. Pertama,
mengunakan sarung tangan, pemeriksa memeriksa bokong untuk saluran
fistula label kulit wasir, eksoriasi, darah, dan prolapse dubur dan untuk
penurunan perineum yang tepat, daerah antara paha dari tulang ekor pubis.
Pada ornag normal, perineum terletak sekitar 2,5 cm diatas tuberositas ischial.
Saat mengejan tinja, perineum akan turun sekitar 1,5 cm atau ke tingkat
sekitar 1 cm diatas tuberositas ischial. Selanjutnya, pemeriksa memberikan
tekanan kuat pada tuberositas ischial untuk mengevaluasi abses dini atau
pembentukan fistula yang ditemukan pada penyakit radang usus. Dengan
tekanan masih diterapkan pada perineum, pasien diminta untuk menahan lagi
untuk mendapatkan bukti lebih lanjut tentang abses atau fistula.
Pada langkah terakhir dari pemeriksaan dubur menilai integritas
anatomi dengan palpasi digital. Perhatikan harus diberikan pada kehadiran
massa, nyeri tekan, wasir, celah, bisul, dan warna dan konsistensi feses,
dengan penekanan khusus pad arak dubur posterior. Pada pria, prostat,
ukurannya, konsistensi, dan adanya nodul harus dicatat, termasuk penilaian
area kantong rectovesicular. Pada wanita, kantong rectouterine dari douglas
harus dipalsasi untuk massa atau kelembutan.
Dua ikatan otot, yang dikenal sebagai sfingter anal internal dan
eksternal, berpartisipasi dalam buang air besar. Sfingter anal internal adalah
pembesaran otot polos melingkar usus besar dan fungsinya secara tidak
sengaja.
Rectum berfungsi untuk memungkinkan buang air besar secara
sukarela. Peristaltic mendorong tinja dari usu sigmoid ke rektum.
Peningkatan tekanan intraluminal menyebakan relaksasi tak disengaja dari
sfingter anal internal yang diikuti oleh kontraksi reflex sfingter anal eksternal,
mencegah inkontinensa sambil memberikan kesadaran akan defekasi segera.
Sfingter anal eksternal kemudian rileks secara sukarela, mengeluarkan feses.
Studi menunjukkan bahwa proses evakuasi difasilitasi oleh feses massal yang
lebih besar, memberikan dorongan untuk mendorong pasien untuk mengkonsi
diet tinggi serat dan massal.
Pentingnya memperhatikan konsistensi, warna, dan adanya darah
yang terang-terangan atau gaib dalam fese tidak dapat terlalu ditekankan.
Pasien lanjut usia, dengan atau tanpa riwayat konstipasi kronis, dapat
mengalami diare yang pemeriksaan rektum akan ditemukan karena impaksi
tinja. Kotoran hitam diakibatkan oleh daranh yang terdegradasi (melena), zat
besi, licorice, bismuth, rhubarb, atau terlalu banyak makan kue coklat.
kotoran berwarna merah mungkin disebabkan oleh perdarahan cepat yang
dikenal sebagai hematochezia (biasanya distal ke ligamentum treitz),
sedangkan pasien yang sedang menjalani pengobatan untuk tuberculosis
mungkin mengeluh tinja berwarna merah atau oranye karena rifampisin.
Salah satu gejala pertama penyakit hepatobilier adalah perkembangan feses
berwarna cokelat dan urin gelap. Sangat jarang, seorang pasien dengan
karsinoma ampula vater datang dengan keluhan tinja berwarna perak.
Pada pasien hemorhoid Hemorrhoid dibagi 2, yaitu hemorrhoid
externa dan hemorrhoid interna.
a. Hemorrhoid Externa. Merupakan varises vena hemorroidalis
inferior. Timbul di sebelah luar otot sfingter ani, dibawah linea dentata,
tertutup oleh anoderm dan berasal dari plexus hemorrhoidalis inferior. Oia,
anoderm adalah jenis kulit di anus. Kulit di anus itu berbeda dgn kulit di
pantat, disebutnya anoderm. Tidak ada appendices, kelenjar keringat, dan
rambut.
b. Hemorrhoid Interna. Merupakan varises vena hemorroidalis
superior dan media. Timbul di sebelah atas atau di sebelah proximal sfingter,
tertutup oleh mucosa, dan berasal dari plexus hemorrhoidalis superior. Bisa
soliter (1-3 nodul) atau circuler (melingkar), letaknya sering pada tiga posisi
utama yaitu jam 3,7,11.

5. Langkah-langkah Diagnosis

5.1 Anamnesis umum :

a. Menanyakan identitas :nama, umur, alamat, pekerjaan pasien


b. Menanyakan keluhan utama dan menggali riwayat penyakit saat ini.
Tanyakan :
• onset dan durasi keluhan :sejak kapan dan bagaimana timbulnya
• hal-hal yang memperberat dan meringankan keluhan
• bagian/regio apa saja yg berhubungan dengan keluhan
• gejala lain yang berhubungan dengan keluhan utama
c. Menanyakan keluhan pada system lain.
Tanyakan:
• Riwayat Demam, sakitkepala, penurunan berat badan
• Menggali riwayat pasien
• Riwayat kebiasaan :makanan & minuman, obat obatan non-steroid
antiinflamasi atau jamu, minum yang bersifat korosif, penyakit
• Riwayat pengobatan
• Riwayat penyakit dalam keluarga
5.2 Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
• PenilaianTanda Vital
• Inspeksi secara umum :kepala hingga ekstremitas,seperti adanya
ikterus, anemis, sianosis, dan jari tabuh
• Membagi permukaan dinding abdomen dalam beberaparegio
• Inspeksi regio abdomen dilakukan beberapa menit untuk melihat
kontur abdomen, adanya skar, kongesti vena, peristaltic yang tampak
atau adanya massa (darm contour dan darm steifung)
• Bila tampak distensi abdomen, evaluasi apakah karena obesitas,
timpanitis (adanya udara atau gas yg berlebihan), asites, kehamilan,
feses dan neoplasma
• Lihat penampakan abnormal dipermukaaan abdomen seperti :
jaringan parut (skar), kongesti vena (hipertensi vena porta, caput
medusae) penampakan peristaltik (obstruksi pilorus, obstruksi usus
halus-kolon) atau adanya massa abdomen

b. Auskultasi
• pada suara yang ada di abdomen dengan menggunakan bel stetoskop
di atas mid-abdomen
• Mendengarkan bising usus. Frekuensi bising usus normal sekitar 5-10
detik setiap peristaltic atau berkisar 6-12 kali peristaltik /menit.
• Meletakkan steteskop pada empat kuadran abdomen
• Bunyi peristaltic dapat didengarkan dibawah umbilicus diatas
suprabupik, atau dapat dilakukan di berbagai tempat
• diatas dan di kanan umbilicus mendengarkan bunyi bergerumuh dari
hepatic rub
• murmur aorta abdominal 5 jari dibawah processus xipoideus atau pada
regio epigastrium
• bruit dari karsinoma pankreas di kiriregio epigastrium dan splenik
friction rub dilateral
• Bila peristaltic tidak segerater dengar, lanjutkan mendengar selama 5
menit.
• Metalic Sound pada Ileus Obstruktif
• Pemeriksaan limfa. Palpasi limpa (metode Schuffner& metode
Hacket). Ujung limpa yang teraba di bawah arkuskosta kiri
menandakan splenomegali. Tangan kanan dimasukkan di belakang
margin kosta kiri pada garis midaksillaris. Tangan kiri ditempatkan
dibawah toraks dengan jari-jari aduksi dibawah tulang iga. Pasien
diminta inspirasi dalam, tangan kanan masuk lebih dalam di belakang
margin kosta dan dinaikkan, sementara tangan kiri menaikkan
costovertebra bagian belakang. Menentukan besar, konsistensi limpa
(bila membesar).
• Pemeriksaan hepar. Palpasi Hepar : nilai permukaan, tepi, ujung dan
nyeri tekan hepar. Dinding abdomen yang lemas dengan cara kaki
ditekuk hingga membentuk sudut 45-60°. Palpasi dilakukan dengan
menggunakan sisi palmar radial tangan kanan (bukan ujung jari)
dengan posisi ibu jari terlipat dibawah palmar manus. Arah jari
membentuk sudut 45° dengan garis median. Ujung jari berada pada
bagian lateral muskulus rektus abdominalis (pada garis median untuk
memeriksa lobus kiri hepar). Pasien diminta untuk menarik nafas
panjang. Pada saat ekspirasi maksimal jari ditekan kebawah,
kemudian pada awal inspirasi jari bergerak kearah dorsal dan cranial
dalam arah parabolik. Gerakan ini dilakukan berulang dan posisinya
digeser 1-2 jarik earah lengkung kosta kanan menentukan besar, tepi,
permukaan, konsistensi hepar (bila membesar). Abnormal palpasi :
- Blumberg’ssign(+)/ reboundtenderness: terasa sakit jika ditekan
ujung jari perlahan-lahan ke dinding abdomen di area kiri bawah,
kemudian secara tiba- tiba menarik kembali jari-jari.
- Rovsing’ssign(+): terasa sakit jika ditekan di area kiri bawah
- Psoassign(+): terasa sakit jika tungkai bawah difleksikan ke arah
perut
- Obturatorsign(+) : terasa sakit jika tungkai diangkat ke atas dengan
lutut ekstensi

Gambar 3. Metode Palpasi (8)

c. Perkusi
• perkusi pada keempat kuadran abdomen.
• Perkusi batasatas hepar di garis midklavikula kanan, dimulai dari
pertengahan dada, dari atas kebawah.
• Bunyi resonan dada menjadi redup ketika mencapai hepar, dilanjutkan
kebawah, bunyi redup menjadi tympani bila perkusi di atas kolon.
• Menentukan lokasi dan ukuran hepar.
d. Pemeriksaan khusus Asites
• Shifting dullness : Perkusi dari daerah mid-abdomen kearah
lateral,tentukan batas bunyi timpani dan redup. Meminta pasien
berbaring pada posisi lateral. Ascites (+) bila terjadi perubahan bunyi
dari redup ke tympani pada lokasi yang sama.

Gambar 4. Pemeriksaan Ascites. (8)


• Puddle sign: Baringkan pasien dengan proneposisi (siku dan lutut
naik/tiarap) selama 5 menit. Letakkan diafragma stetoskop di
permukaan tengah bawah perut (tempat pengumpulan cairan
terbanyak). Dengarkan suara yang dibuat oleh jari-jari yang
diketukkan pada sisi lateral abdomen. Ketukan dilanjutkan terus
sambil steteskop digerakkan menjauhi pemeriksa. Bila pinggir dari
kumpulan (puddle) cairan dicapai, intensitas suara ketukan akan lebih
keras.

Gambar 5. Puddle sign. (8)

6. Diagnosis Banding

6.1 CA COLORECTAL

A. DEFINISI
Kanker kolorektal merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas
saluran cerna. Lebih dari 60% kanker kolorektal berasal dari rektum. Salah
satu pemicu kanker kolorektal adalah masalah nutrisi dan kurang berolah
raga. Kanker kolorektal merupakan salah satu jenis kanker yang tercatat
sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia. Namun penyakit ini
bukannya tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara
dini, maka kemungkinan untuk sembuh bisa mencapai 50 %.
B. Epidemiologi
Kanker kolorektal merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas
saluran cerna. Lebih dari 60% kanker kolorektal berasal dari rektum. Salah
satu pemicu kanker kolorektal adalah masalah nutrisi dan kurang berolah
raga. Kanker kolorektal merupakan salah satu jenis kanker yang tercatat
sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia. Namun penyakit ini
bukannya tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara
dini, maka kemungkinan untuk sembuh bisa mencapai 50 %.

C. Etiologi
Walaupun penyebab kanker kolorektal tidak diketahui, studi menunjukkan
insiden yang lebih besar dalam bidang pembangunan ekonomi yang lebih
tinggi, menunjukkan hubungan antara diet (kelebihan lemak hewan,
khususnya sapi, dan rendah serat).
Faktor risiko lain untuk kanker kolorektal yaitu:
a. Penyakit pada saluran pencernaan, riwayat kolitis ulserativa, poliposis
familial (kanker hampir selalu berkembang pada usia 50), dan riwayat
keluarga kerabat (tingkat pertama) penyakit tumor ganas dari usus besar
atau rektum hampir selalu adenokarsinoma. Sekitar setengah dari ini lesi
sessile dari daerah rektosigmoid; sisanya, lesi polupoid.
b. Asupan berlebihan lemak hewani jenuh
c. Riwayat penyakit : kanker, usus inflamasi kronis, kolitis ulseratif
d. Diet.
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah
serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal.
e. Obesitas.
f. Bekerja sambil duduk seharian.

D. Patofisiologi
Penyakit kanker mengenai sel sebagai unit dasar kehidupan. Sel akan
tumbuh dan membelah untuk mempertahankan fungsi normalnya, tetapi
kadang-kadang pertumbuhan ini diluar kontrol sehingga sel terus membelah
meskipun sel-sel baru tersebut tidak diperlukan. Pertumbuhan yang
berlebihan ini dapat merupakan suatu keadaan prekanker, contohnya adalah
polip di daerah usus besar. Setelah melalui periode panjang, polip ini dapat
menjadi ganas. Pada keadaan lanjut, kanker ini dapat menembus dinding
usus besar dan menyebar melalui saluran pembuluh getah bening.
Sekitar 60 % sampai 70 % dari karsinoma tersebut muncul dalam rektum,
daerah rektosigmoid, atau kolon sigmoid. Jenis pertumbuhan tergantung
pada daerah asal. Di sisi kiri karsinoma cenderung tumbuh di sekitar usus,
mengelilinginya dan menyebabkan obstruksi awal. Di sisi kanan, tumor
cenderung besar, polypolid, berjamur. Sebagian besar kanker ini adalah
adenocarcinoma. Kedua jenis dapat menembus usus dan menyebabkan
abses, peritonitis, invasi sekitarnya organ, atau perdarahan. Tumor ini
cenderung tumbuh perlahan-lahan, dan tanpa gejala untuk jangka waktu
yang lama. Sembilan puluh lima persen dari karsinoma kolon adalah
adenokarsinoma yang mengeluarkan musin, suatu zat yang membantu
dalam memperluas keganasan. Metastasis dapat terjadi pada hati, paru-paru,
tulang, atau sistem lympatic.
a. Kebanyakan lesi usus besar merupakan adenokarsinoma yang agak
berbeda.
b. Tumor cenderung tumbuh dengan lambat dan tidak menunjukkan
gejala untuk waktu yang lama.
c. Tumor di kolon desendens dan sigmoid mengalami pertumbuhan
sirkumferensial dan mengontriksi lumen usus.
d. Tumor di kolon asendens biasanya besar saat diagnosis dan dapat
dipalpasi pada pemeriksaan fisik.

E. Gejala klinis
Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri abdomen, perdarahan dan
symptomatik anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat
badan). Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan
perubahan pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan,
mengecilnya ukuran feses, dan komplikasi karena lesi kolon kiri yang
cenderung melingkar mengakibatkan obstruksi. Tumor pada rektum atau
sigmoid bersifat lebih infiltratif pada waktu diagnosis dari leksi proksimal,
maka prognosisnya lebih jelek (Kumar dkk, 2010).

F. Faktor Resiko
Banyak faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker kolorektal,
diantaranya adalah :
➢ Diet tinggi lemak, rendah serat.

➢ Usia lebih dari 50 tahun.


➢ Riwayat keluarga satu tingkat generasi dengan riwayat kanker kolorektal
mempunyai resiko lebih besar 3 kali lipat.
➢ Familial polyposis coli, Gardner syndrome, dan Turcot syndrome. Pada
semua pasien ini tanpa dilakukan kolektomi dapat berkembang menjadi
kanker rektum.
➢ Resiko sedikit meningkat pada pasien Juvenile polyposis syndrome,
Peutz-Jeghers syndrome dan Muir syndrome.
➢ Terjadi pada 50 % pasien kanker kolorektal herediter nonpolyposis.
➢ Inflammatory bowel disease.

➢ Kolitis Ulseratif (resiko 30 % setelah berumur 25 tahun).


➢ Crohn disease, berisiko 4 sampai 10 kali lipat.

G. Pemeriksaan Fisik.
Perdarahan peranum disertai peningkatan frekuensi defekasi dan atau diare
selama minimal 6 minggu (semua umur); perdarahan peranum tanpa gejala
anal (> 60 tahun); peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal
6 minggu (> 60 tahun); massa
teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur); Tanda-tanda obstruksi
mekanik usus; setiap penderita dengan anemia defisiensi besi (Hb<11 gr%
pada pria dan Hb<10 gr% pada wanita pasca menopause).

H. Pemeriksaan Penunjang
Tumor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi perut, bila teraba
menunjukan keadaan sudah lanjut. Massa pada sigmoid lebih jelas teraba
daripada massa di bagian lain kolon. Karena kanker kolorektal sering
berkembang lamban dan penanganan stadium awal sangat dibutuhkan,
maka organisasi kanker Amerika merekomendasikan prosedur skrining
rutin bagi deteksi awal penyakit. Rekomendasinya sebagai berikut:
1. Pemeriksaan rektal tusse untuk semua orang usia lebih dari 40 tahun.
2. Test Guaiac untuk pemeriksaan darah feses bagi usia lebih dari 50
tahun.
3. Sigmoidoskopi tiap 3-5 tahun untuk tiap orang usia lebih dari 50 tahun.

Gambar pemeriksaan colok dubur pada Ca Rectum


I. Penatalaksanaan

Farmakologi
Obat Antiinflamatori Nonsteroid (OAIN) termasuk aspirin dianggap
berhubungan dengan penurunan mortalitas kanker colorectal. Beberapa
OAIN seperti sulindac dan celecoxib telah terbukti secara efektif
menurunkan insidens berulangnya adenoma pada pasien dengan FAP
(Familial Adenomatous Polyposis). Data epidemiologi menunjukkan
adanya penurunan risiko kanker dikalangan pemakai OAIN namun bukti
yang mendukung manfaat pemberian aspirin dan OAIN lainnya untuk
mencegah kanker colorectal sporadik masih lemah.
Non farmakologi
1. Pembedahan
Pembedahan pada tumor kolon yang berdekatan dan kelenjar getah
bening yang berdekatan adalah penanganan pilihan untuk kanker
kolorektal. Penanganan pembedahan bervariasi dari pengrusakan tumor
oleh laser photokoagulasi selama endoskopi sampai pemotongan
abdominoperineal (APR = abdominoperineal resection) dengan
kolostomi permanen. Bila memungkinkan spingter ani dipertahankan
dan hindari kolostomi.

2. Radioterapi
Terapi radiasi sering digunakan sebagai tambahan dari pengangkatan
bedah dari tumor usus. Bagi kanker rektum yang kecil, intrakavitari,
eksternal atau implantasi radiasi dapat dengan atau tanpa eksisi bedah
dari tumor. Radiasi preoperatif diberikan bagi pasien dengan tumor besar
sampai lengkap pengangkatan. Bila terapi radiasi megavoltase
digunakan, kemungkinan dalam kombinasi dengan kemoterapi, kanker
rektum berkurang ukurannya, sel-sel jaringan limpatik regional dibunuh
dan kekambuhan lamban atau tidak kambuh sama sekali.

3. Kemoterapi
Agen-agen kemoterapi seperti levamisole oral dan intravenous
fluorouracil (5-FU), juga digunakan postoperatif sebagai terapi adjuvan
untuk kanker kolorektal. Bila dikombinasi dengan terapi radiasi, kontrol
pemberian kemoterapi lokal dan survive bagi pasien dengan stadium II
dan III dengan kanker rektum.

4. Terapi Terkini
Metode pengobatan yang sedang dikembangkan pada dekade terakhir ini
adalah: Target Terapi: memblokade pertumbuhan pembuluh darah ke
daerah tumor, terapi Gen, modifikasi biologi dan kemoterapi : thymidy-
late synthase dan 5 fluoro urasil, extra corporal transcutaneus application
: ultrasonografi intensitas tinggi, imunoterapi: Interleukin Limfokin-2 dan
Alpa Interferon.

6.2 IRITABLE BOWEL SYNDROME

A. DEFINISI

SKI merupakan suatu penyakit fungsional gastrointestinal yang kompleks, mul-


tifaktorial dan mempunyai manifestasi klinik berupa nyeri perut atau rasa tidak enak
di perut serta gangguan kebiasaan defekasi.7,8 Penyakit fungsional adalah kondisi
dimana tidak terdapat kelainan anatomi dan biokimia pada tes diag- nostik.

Sindrom kolon iritabel (SKI) adalah pe- nyakit gastrointestinal yang ditandai oleh
kebiasaan defekasi yang terganggu dan nyeri perut tanpa adanya kelainan struk-
tural.1 SKI merupakan penyakit gastro- intestinal fungsional yang sering dihadapi,
dan diperkirakan terjadi pada 15% orang dewasa di negara Barat.2-4 Istilah SKI
pertama kali dijelaskan oleh Osler pada tahun 1892.

Walaupun bukan penyakit yang meng- ancam jiwa, SKI menyebabkan kesulitan
pada pasien. SKI merupakan penyakit dis- motilitas dari saluran gastrointestinal de-
ngan dasar psikosomatik oleh karena pasien menunjukkan sejumlah gejala
ketidaknya- manan tanpa kelainan organik. Oleh ka- rena itu, SKI menyebabkan
kehilangan produktivitas kerja dan kualitas hidup dapat memburuk.
Etiologi dan patologi fungsional SKI belum diketahui secara pasti. Gejala SKI yaitu
nyeri dan rasa tidak nyaman di perut yang membaik dengan defekasi, frekuensi
defekasi yang abnormal, dan perubahan bentuk feses. Tidak terdapat prosedur
diagnosis spesifik untuk mengidentifikasi SKI karena patofisiologi dasar belum
diketahui. Jadi, diagnosis tergantung pada kelompok gejala dan eksklusi penyakit
patologis terkait. Keraguan dalam menetapkan sindrom ini, kekurangan
pemahaman patofisiologi, dan kekurangan bukti manfaat terapi menyebabkan SKI
sulit didiagnosis dan diobati.

B. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian SKI berkisar 9-23% diseluruh dunia. Sekitar 15%


pendudukAmerika mengalami SKI. Penyakit ini sering didiagnosis pada dewasa
muda mulai umur 20 sampai 50 tahun. Ras kulit putih lebih sering mengalami SKI
dibandingkan kulit berwarma. Jenis kelamin mempunyai peranan penting pada SKI
dimana ratio antara perempuan dan laki-laki 2-3:1.9 Choudhary dan Truelove
melaporkan di negara Barat rasio SKI perempuan dan laki-laki 2:1 dan di Amerika
3:2.Di pedesaan, angka kejadian lebih sedikit dibandingkan diperkotaan.

Biaya kesehatan untuk SKI di Amerika Serikat diperkirakan 8 juta dolar sebagai
biaya medis dan 25 juta dolar sebagai biaya tidak langsung setiap tahun.

C. ETIOPATOGENESIS

Penyebab SKI tidak diketahui, tidak terdapat kelainan anatomi yang ditemu- kan,
serta tidak ada patofisiologi yang pasti.Faktor emosional, diet, atau hormon dapat
mencetuskan atau memperburuk gejala.

Sejumlah penelitian dan publikasi ilmiah tentang etiologi dan patofisiologi SKI
telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir.Sampai saat ini tidak ada teori
yang menyebutkan bahwa SKI disebabkan oleh satu faktor saja.Banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya SKI, antara lain gangguan motilitas, hipersensitivitas vise-
ral, dan pasca infeksi usus. Sebaiknya SKI dipahami sebagai suatu integrasi
beberapa faktor terkait sebagai berikut:
Motilitas abnormal

Motilitas abnormal terdapat SKI predominan diare dan SKI predominan kons-
tipasi yang menunjukkan bahwa pada SKI terjadi suatu perubahan motilitas. Pada
SKI tipe diare terjadi peningkatan kontraksi usus dan memendeknya waktu transit
kolon dan usus halus. Berbeda halnya pada SKI predominan konstipasi dimana
terjadi penurunan kontraksi usus dan memanjangnya waktu transit kolon dan usus
halus.

Stres fisik atau psikologis dan makanan tertentu dapat menganggu motilitaskolon.
Makanan tinggi kalori dapat meningkatkan motilitas lambung. Makanan berlemak
dapat menyebabkan aktivitas motorik terlambat, dan dapat memperburuk keadaan
SKI. Pada hari-hari pertama menstruasi dapat terjadi peningkatan sementara dari
prostaglandin E2, yang menyebabkan peningkatan nyeri dan diare.

Hipersensitivitas viseral

Hipersensitivitas viseral sering dihu- bungkan dengan SKI. Pasien SKI mengalami
nyeri dan rasa kembung pada tekanan dan volum usus yang lebih rendah diban-
dingkan kontrol. Hal ini disebabkan sensitivitas reseptor di usus terganggu melalui
nosiseptor sebagai respon terhadap iskemi, distensi, infeksi, makanan, atau faktor
kejiwaan. Persepsi rektal terganggu ditemukan pada 62% penderita SKI. Gejala
nyeri perut dan kembung dikaitkan dengan persepsi rektal terganggu. Gejala sering
dihubungkan dengan jenis kelamin perempuan dan kecemasan. Pasien sering
mempunyai ambang nyeri viseral rendah. Banyak pasien melaporkan rasa ingin
defekasi segera walaupun volum feses sedikit. Dengan makan makanan berlemak,
beberapa pasien mengeluhkan lebih nyeri karena nilai ambang nyeri menurun.
Gejala setelah makan sebagai akibat peningkatan komponen sensorik dari
gastrokolon yang tergantung nutrien Stimulus nyeri dari usus dihantarkan oleh
aferen spinal primer dalam ganglion akar dorsal ke kornu dorsal medula spinalis.
Sinaps di kornu dorsal merupakan pintu masuk ke susunan saraf pusat.
Sinyal aferen yang berbahaya ke otak melalui dua jalur klasik, yaitu traktus
spinotalamik dan traktus spinoretikular. Traktus spinotalamik atau sistem nyeri
lateral bermanfaat membantu fungsi diskriminatif. Jalur spinotalamik membawa
impuls aferen dari kornu dorsal medula spinalis ke talamus, kemudian ke korteks
sensorik. Bagian korteks sensorik yang mengurusi sensasi somatik adalah girus
presentral sedangkan sensasi viseral ditransmisikan ke insula, bagian
lobustemporal. Korteks insular contohnya untuk mengode indera perasa dan indera
penciuman pada binatang.Traktus spino- retikular membawa pesan aferen yang
berbahaya ke sistem nyeri medial, yang mengode nyeri. Pada orang normal, nyeri
distensi gaster berkaitan dengan aktivasi batang otak. Dari formasi retikular batang
otak, stimuli asenden mencapai bagian medial talamus, selanjutnya mengaktivasi
sistem limbik, terutama anterior cingulate cortex (korteks singulat anterior, ACC),
yang mempunyai hubungan langsung dengan nukleus talamik intralaminar. Pada
binatang, stimuli nyeri mengaktivasi talamus dan ACC. Telah diketahui bahwa
ACC merupakan pusat penting pada nyeri somatik atau viseral, dan juga berkaitan
dengan perhatian dan deteksi hal baru. Intensitas subjektif nyeri rektal dan nyeri
somatik berkorelasi dengan aliran darah ACC. Dari sistem nyeri medial dan lateral,
informasi akhirnya mencapai korteks prefrontal, dimana terdapat fungsi lebih tinggi
seperti terjadinya interpretasi.
Pada distensi esofagus dan pengamat- an Positron Emission Tomography (PET),
Azis et al mendeteksi peningkatan aliran darah ke ACC, korteks prefrontal, talamus,
dan lebih besar korteks insular. Pening- katan aliran darah ke ACC dan korteks
prefrontal pada saat rangsangan nyeri dibandingkan tidak nyeri; hal ini mengindi-
kasikan kedua daerah ini menerima fungsi nosiseptif viseral (nyeri dan tidak nya-
man).

Studi functional magnetic resonance imaging (fMRI) oleh Mertz menunjukkan


peningkatan aliran darah ke korteks insular, talamus, korteks prefrontal, dan ACC
selama distensi rektal nyeri dan tidak nyeri. Terdapat peningkatan relatif aliran
darah di ACC, korteks prefrontal, dan talamus ketika rangsangan nyeri
dibandingkan stimulus intensitas rendah. Aliran darah di ACC berkorelasi erat
dengan intensitas nyeri subjektif; hal ini mendukung peranan- nya dalam proses
nyeri.14 Mertz et al melakukan distensi rektal pada pasien SKI dan kontrol. fMRI
digunakan untuk meng- ukur perubahan aliran darah serebral. Kontrol mempunyai
tingkat aktivasi otak yang sama selama distensi 30 mmHg (tidak nyeri) dan 55
mmHg (nyeri). Pasien SKI mempunyai aktivasi talamus dan ACC yang lebih besar
secara bermakna selama stimulus 55 mmHg dibandingkan distensi 30 mmHg. Para
pasien SKI mempunyai volumee aktivitas ACC lebih besar di- bandingkan kontrol
dengan stimuli nyeri. Selain itu pasien SKI kehilangan korelasi normal dari aktivasi
ACC dan intensitas nyeri subjektif.

Infeksi usus

Setelah infeksi usus akut, sebagian besar pasien menunjukkan akselerasi transit
gastrointestinal dan peningkatan sensitive- tas usus. Hal ini akan kembali menjadi
normal secara bertahap, tetapi masa pulih bervariasi. Permeabilitas usus meningkat
pada kebanyakan pasien pasca gastroenteritis, biasanya berlangsung 6-12 minggu,
malah pada beberapa pasien sampai 4 tahun. Peningkatan permeabilitas
dipengaruhi oleh aktivasi sel mast. Stres menyebabkan degranulasi sel mast dan
peningkatan permeabilitas usus. Granula sel mast mengandung mediator-mediator
termasuk histamin, prostaglandin, dan serotonin, yang menyebabkan sensitisasi dan
peningkatan fungsi sekreto-motorik. Inflamasi mukosa mengaktivasi sensitisasi dan
hipermotilitas perifer sehingga menye- babkan terjadinya gejala SKI.Sepertiga
kasus SKI terjadi setelah infeksi, dimana keluhan SKI muncul satu bulan pasca
infeksi.Pada perempuan dan pasien dengan stresor kehidupan yang tinggi saat onset
gastroenteritis berisiko tinggi menjadi SKI pasca-infeksi. Degradasi karbohidrat
oleh bakteri di usus halus dapat menyebabkan peningkatan gas setelah makan,
kembung dan distensi, yang dapat membaik setelah pemberian antibiotik, tetapi
studi lain meragukan penemuan- penemuan ini. Kuman penyakit SKI pasca infeksi
antara lain campylobacter, salmonella, dan shigella.

Kelainan psikososial
Kelainan psikososial dapat memicu gejala SKI. Kelainan psikiatrik ditemukan
mencapai 80% pasien SKI, tanpa adanya diagnosis psikiatrik yang predominan.
Beberapa pasien memperlihatkan ansietas, depresi atau somatosisasi, tetapi stres
dan konflik emosional tidak selalu berkaitan dengan onset gejala dan
rekurensi.Kelainan psikologik dapat mempengaruhi cara pasien menerima atau
bereaksi ter- hadap penyakit dan sensasi viseral. Stres kronik dapat mengubah
motilitas usus atau memodulasi jalur yang mempengaruhi proses spinal dan sentral
dari sensasi aferen viseral.

Ketidakseimbangan neurotransmitter

Ketidakseimbangan neurotransmitter, antara lain serotonin. Bahan ini terdapat


dalam sistem saraf pusat sebesar 5%, sedangkan sisanya 95% terdapat pada saluran
cerna dalam sel enterokromafin, neuron, sel mast, dan sel otot polos. Ketika
dilepaskan oleh sel enterokromafin, serotonin menstimulasi serat saraf aferen vagal
ekstrinsik dan serat saraf aferen enterik intrinsik, yang menyebabkan respon
fisiologik seperti refleks peristaltik dan sekresi usus. Pasien SKI mempunyai
serotonin dalam plasma dan kolon yang lebih tinggi.

D. GEJALA KLINIS

Penyakit SKI merupakan penyakit kro- nik. Gejala biasanya mulai pada umur be-
lasan tahun atau dua puluhan.1Onset pada dewasa lanjut tidak lazim tetapi juga
tidak jarang.Gejala harus minimal 3 bulan sebelum diagnosis dipikirkan. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala dan peme- riksaan penunjang untuk menyingkirkan
penyakit organik.

Nyeri abdomen merupakan gejala utama SKI. Sifat nyeri bervariasi dalam intensitas
dan lokasi.Nyeri abdomen dapat berupa kram, kolik, atau nyeri tumpul baik terus-
menerus maupun intermiten pada perut bagian bawah. Onset nyeri khas berkaitan
dengan perubahan frekuensi atau bentuk defekasi dan biasanya membaik dengan
defekasi. Nyeri biasanya tidak terjadi pada malam hari atau sampai meng- ganggu
tidur.Gejala dapat dirangsang oleh stres dan makanan. Pasien perem- puan sering
mengeluhkan gejala yang memburuk selama premenstruasi dan menstruasi.
Kembung, nausea, dispepsia, dan pirosis juga dapat dikeluhkan.

Pasien SKI dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori: pasien yang mem- punyai
masalah predominan konstipasi, diare, atau campuran konstipasi dan diare. Pasien
SKI dengan konstipasi melaporkan defekasi yang jarang (kurang dari 3
kali/minggu), feses keras sehingga harus dipaksakan. Pasien SKI dengan diare di-
tandai diare yang timbul tiba-tiba sebelum, selama atau setelah makan, terutama
bila makan terburu-buru; feses cair, defekasi sering (lebih dari tiga kali/hari), nyeri,
kembung, urgensi, atau inkontinensia fekal. Feses juga dapat disertai mukus. Diare
tanpa nyeri tidak khas dan mengarahkan dokter untuk memikirkan kemungkinan
diagnostik lain (misalnya malabsorpsi dandiare osmotik)

Sifat dan lokasi nyeri, faktor pencetus dan pola defekasi berbeda pada setiap pa-
sien. Juga terdapat gejala ekstra-intestinal pada SKI, misalnya fibromialgia, sakit
kepala, dispareunia, atau sindrom sendi tem- poromandibular.

Pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk mencari bukti adanya penyakit organik.
Pada pasien SKI pemeriksaan fisik biasanya normal. Nyeri abdomen, terutama ab-
domen bagian bawah, sering dikeluhkan tetapi tidak berat. Onset yang baru pada
pasien diatas 40 tahun memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.

E. GEJALA LAINNYA

Diare atau konstipasi, yang keduanya terkadang muncul bergantian, perasaan tidak
lampias ketika Selesah BAB, perut kembung, perut terasa sakit atau kram. Gejala
ini biasanya akan berkurang setelah buang air besar, tinja disertai lendi, sakit
kepala, mual, sering bersendawa dan buang gas, kelelahan, nyeri punggung, cepat
kenyang, nafsu makan turun, rasa panas di dada.

F. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PEMERIKSAAN KHUSUS

Pasien dengan gejala yang memenuhi kriteria diagnostik SKI dan tanpa alarm
symptoms, tidak memerlukan pemeriksaan diagnostik lanjutan, karena
kemungkinan penyakit organik serius tidak ada.Tes penunjang sebaiknya lebih
intensif bila terdapat alarm symptoms: onset umur lebih dari 40 tahun, berat badan
menurun, perdarahan saluran gastrointestinal, demam, muntah, gejala timbul pada
malam hari, riwayat keluarga menderita kanker, dan pada pemeriksaan fisik
ditemukan anemia atau demam.

Kecemasan pasien dapat mendorong dokter untuk mempertimbangkan berbagai


pemeriksaan diagnostik tetapi pemeriksaan berlebihan harus dihindari.
Pemeriksaan laboratorium skrining meliputi pemeriksaan darah (hitung darah
lengkap, laju endap darah) dan analisis feses (telur cacing, parasit, dan darah).
Pemeriksaan hormon tiroid sebaiknya dilakukan pada pasien dengan diare kronis
yang menonjol.

Proktosigmoidoskopi dengan instrumen fiberoptik fleksibel sebaiknya dilaku- kan.


Masuknya sigmoidoskop dan insuflasi udara sering merangsang nyeri dan spasme
usus. Pola vaskular dan mukosa pada SKI biasanya normal.

Kolonoskopi atau enema barium pada pasien dengan gejala SKI tidak direkomen-
dasikan pada pasien tanpa alarm symptoms atau hematologi atau kimia darah
abnormal. Pada pasien dengan diare, tes serologi untuk penyakit Celiac dapat dila-
kukan. Pada semua pasien diatas 50 tahun atau lebih, enema barium atau
kolonoskopi sebaiknya dipertimbangkan untuk menyingkirkan keganasan. Pada
pasien dengan diare kronik, khususnya perempuan tua, biopsi mukosa dapat
dilakukan untuk menyingkirkan kolitis.

G. DIAGNOSIS

SKI merupakan penyakit tanpa kelain- an patognomonik sehingga diagnosisnya


berdasarkan gejala klinis dan eliminasi penyakit organik lain.Gejala yang dapat
muncul pada pasien SKI cukup bervariasi. Pemeriksaan fisik dan laboratorium yang
spesifik pada pasien SKI tidak ada, oleh karena itu penegakan diagnosis SKI kadang
kala tidak mudah.Sebelum memikirkan apakah pasien yang dihadapi adalah pasien
SKI, perlu disingkirkan kemungkinan lain didasarkan pada adanya alarm
symptoms.
Kriteria yang digunakan saat ini ialah kriteria Roma III (Tabel 1) yang diluncur-
kan pada 23 Mei 2006, menggantikan kriteria Roma I dan II.

Selain kriteria Rome III, secara praktis sering juga digunakan kritera Manning yang
lebih sederhana dan menitikberatkan pada keadaan saat onset nyeri antara lain
adanya buang air besar cair dan pening- katan frekuensi defekasi saat timbulnya
nyeri

Sering pasien SKI dianjurkan melaku- kan pemeriksaan penunjang berlebihan.


Pemeriksaan laboratorium tambahan tidak membuat diagnosis lain pada pasien
yang memenuhi kriteria Roma. Suatu penelitian validasi kriteria Roma
menunjukkan bahwa 100% pasien yang didiagnosis SKI berdasarkan kriteria Roma
memang meng- alami SKI. Pada pemantauan 2 tahun, tidak ada pasien SKI yang
mengalami perubahan diagnosis.
H. PROGNOSIS

Penyakit SKI tidak akan meningkatkan mortalitas. Pada 50% kasus gejala-gejala
biasanya akan membaik dan hilang setelah 12 bulan; kurang dari 5% yang akan
memburuk; dan sisanya dengan gejala yang menetap.

6.3 KOLITIS ULCERATIF

A. DEFINISI

Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan


saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui jelas.
Secara garis besar IBD teridiri dari 3 jenis, yaitu colitis ulseratif, penyakit Crohn,
dan bila sulit membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan dalam kategori
indeterminate colitis. Hal ini untuk secara praktis membedakannya dengan penyakit
inflamasi usus lainnya seperti infeksi, iskemia dan radiasi (Djojoningrat, 2006).
Colitis ulseratif merupakan salah satu dari dua tipe Inflammatory Bowel Disease
(IBD), selain Crohn disease. Tidak seperti Crohn disease, yang dapat mengenai
semua bagian dari traktus gastrointestinal, colitis ulseratif seringnya mengenai usus
besar, dan dapat terlihat dengan colonoscopy (Basson, 2011).

B. EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, sekitar 1 miliar orang terkena colitis ulseratif. Insidennya 10.4-
12 kasus per 100.000 orang per tahunnya. Rata-rata prevalensinya antara 35-100
kasus per 100.000 orang (Basson, 2011). Sementara itu, puncak kejadian penyakit
tersebut adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi
pada setiap decade kehidupan (Ariestine, 2008). Colitis ulseratif terjadi 3 kali lebih
sering daripada Crohn disease. Colitis ulseratif terjadi lebih sering pada orang kulit
putih daripada orang African American atau Hispanic. Colitis ulseratif juga lebih
sering terjadi pada wanita daripada laki-laki (Basson, 2011).

C. ETIOPATOGENESIS

Etiologi pasti dari colitis ulseratif masih belum diketahui, tetapi penyakit ini
multifaktorial dan polygenic. Faktor-faktor penyebabnya termasuk faktor
lingkungan, disfungsi imun, dan predisposisi genetik. Ada beberapa sugesti bahwa
anak dengan berat badan lahir di bawah rata-rata yang lahir dari ibu dengan colitis
ulseratif memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya perkembangan penyakit
(Basson, 2011).

Histocompatibility human leukocyte antigen (HLA-B27) merupakan antigen yang


sering teridentifikasi pada pasien-pasien dengan colitis ulseratif, meskipun
penemuan ini tidak berhubungan dengan kondisi pasien, dan adanya HLA-B27
tidak menunjukkan peningkatan risiko untuk colitis ulseratif. Colitis ulseratif bisa
dipengaruhi oleh makanan, meskipun makanan hanya sebagai faktor sekunder.
Antigen makanan atau bakterial dapat berefek pada mukosa usus yang telah rusak,
sehingga meningkatkan permeabilitasnya (Basson, 2011).

Sementara penyebab colitis ulseratif tetap tidak diketahui, gambaran tertentu


dari penyakit ini telah menunjukkan beberapa kemungkinan penting. Hal ini
meliputi faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikologik.

1. Faktor familial/genetik

Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada orang kulit hitam
dan orang Cina. Hal ini menunjukkan bahwa ada predisposisi genetik terhadap
perkembangan penyakit ini.

2. Faktor infeksi

Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus-menerus
untuk kemungkinan penyebab infeksi. Di samping banyak usaha menemukan agen
bakteri, jamur, atau virus, belum ada yang sedemikian diisolasi. Laporan awal
isolate varian dinding sel Pseudomonas atau agem yang ditularkan yang
menghasilkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih dikonfirmasi.

3. Faktor imunologik

Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep bahwa
manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini (misalnya arthritis,
perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik
tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat menunjukkan efek mereka
melalui mekanisme imunosupresif.

Pada 60-70% pasien dengan colitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA


(perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA tidak
terlibat dalam pathogenesis penyakit colitis ulseraif, namun ia dikaitkan dengan alel
HLA-DR2, dimana pasien dengan p-ANCA negative lebih cenderung menjadi
HLA-DR4 positif.
4. Faktor psikologik

Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan. Tidak
lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang, sehubungan
dengan adanya stress psikologis mayor misalnya kehilangan seorang anggota
keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus memiliki
kepribadian yang khas yang membuat mereka menjadi rentan terhadap stress emosi
yang sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi gejalanya.

5. Faktor lingkungan

Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit colitis ulseratif
berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit colitis ulseratif menurun secara
signifikan pada pasien yang menjalani operasi apendiktomi pada decade ke-3.

Beberapa penelitian sekarang menunjukkan penurunan risiko penyakit colitis


ulseratif di antara perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis
meta menunjukkan risiko penyakit colitis ulseratif pada perokok sebanyak 40%
dibandingkan dengan yang bukan perokok.

Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria oleh limfosit,
makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya belum jelas. Virus dan
bakteri telah diperkirakan sebagai pencetus, namun sedikit yang mendukung
adanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab IBD. Hipotesis yang kedua adalah
bahwa dietary antigen atau agen mikroba non pathogen yang normal mengaktivasi
respon imun yang abnormal. Hasilnya suatu mekanisme penghambat yang gagal.
Pada tikus, defek genetik pada fungsi sel T atau produksi sitokin menghasilkan
respon imun yang tidak terkontrol pada flora normal kolon. Hipotesis ketiga adalah
bahwa pencetus IBD adalah suatu autoantigen yang dihasilkan oleh epitel intestinal.
Pada teori ini, pasien menghasilkan respon imun inisial melawan antigen luminal,
yang tetap dan diperkuat karna kesamaan antara antigen luminal dan protein tuan
rumah. Hipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel epithelial oleh
sitotoksisitas seluler antibody-dependent atau sitotoksisitas cell-mediated secara
langsung.
Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam pathogenesis IBD. Ada peningkatan
sekresi antibody oleh sel mononuclear intestinal, terutama IgG dan IgM yang
melengkapi komplemen. Colitis ulseratif dihubungkan dengan meningktanya
produksi IgG1 (oleh limfosit Th2) dan IgG3, sub tipe yang respon terhadap protein
dan antigen T-cell dependent. Ada juga peningkatan produksi sitokin proinflamasi
(IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-α (TNF- α), terutama pada aktivasi
makrofag di lamina propria. Sitokin yang lain (IL-10, TGF-β) menurunkan imun
respon. Defek produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin
juga terlibat dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor imun yang lain
dalam pembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies
oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi netrofil, mediator soluble yang
meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi, komponen kemotaksis
netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi dan edema
(Ariestine, 2008).

D. MANIFESTASI KLINIS

1. Gejala Klinis

Gejala utama colitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen,
seringkali dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada
penyakit ringan, bisa terdapat satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang
mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi sistemik.

Derajat klinik colitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan,
berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang
terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove). Perjalanan penyakit colitis
ulseratif dapat dimulai dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan
yang bertambah berat secara gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan
pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Pada colitis ulseratif,
terdapat reksi radang yang secara primer mengenai mukosa kolon. Secara
makroskopik,, kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik.
Gambaran mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu
dengan tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal.

Perjalanan klinis colitis ulseratif bervariasi. Mayoritas pasien akan mendertia relaps
dalam waktu 1 tahun dari serangan pertama, mencerminkan sifat rekuren dari
penyakit. Namun demikian, bisa terdapat periode remisi yang berkepanjangan
hanya dengan gejala minimal. Pada umumnya, beratnya gejala mencerminkan
luasnya keterlibatan kolon dan intensitas radang (Ariestine, 2008).

Temuan fisik pada colitis ulseratif biasanya nonspesifik, bisa terdapat


distensi abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan,
pemeriksaan fisik umum akan normal. Demam, takikardia dan hipotensi postural
biasanya berhubungan dengan penyakit yang lebih berat (Ariestine, 2008).

Manifestasi ekstraintestinal bisa dijumpai, yaitu :

1. Sendi : peripheral arthritis, ankylosing spondylitis dan sacroilitis (berhubungan


dengan HLA-B27)

2. Kulit : erythema nodosum, aphtous ulcer, pyoderma gangrenosum

3. Mata : episkleritis, iritis, uveitis

4. Liver : fatty liver, pericholangitis (intrahepatic sclerosing cholangitis), primary


sclerosing cholangitis, cholangiocarcinoma, chronic hepatitis

5. Lain-lain : autoimmune hemolytic anemia, phlebitis, pulmonary embolus


(hypercoagulable state) (Fauci, 2009).

2. Gambaran Laboratorium

Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan derajat dan


beratnya perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang mencerminkan
penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan darah kronik. Leukositosis
dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap darah seringkali terlihat pada
pasien demam yang sakit berat. Kelainan elektrolit, terutama hipokalemia,
mencerminkan derajat diare. Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit yang
ekstensif dan biasanya mewakili hilangnya protein lumen melalui mukosa yang
ulserasi. Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat menunjukkan penyakit
hepatobiliaris yang berhubungan.

Pemeriksaan kultur feses (pathogen usus dan bila diperlukan, Escherichia


coli (O157:H7), ova, parasit dan toksin Clostridium difficile negative.

Pemeriksaan antibody p-ANCA dan ASCA (antibody Saccharomyces


cerevisae mannan) berguna untuk membedakan penyakit colitis ulseratif dengan
penyakit Crohn (Ariestine, 2008).

3. Gambaran Radiologi

a. Foto polos abdomen

Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung terfokus pada
kolon. Tetapi kelainan lain yang sering menyertai penyakit ini adalah batu ginjal,
sakroilitis, spondilitis ankilosing dan nekrosis avaskular kaput femur. Gambaran
kolon sendiri terlihat memendek dan struktur haustra menghilang. Sisa feses pada
daerah inflamasi tidak ada, sehingga, apabila seluruh kolon terkena maka materi
feses tidak akan terlihat di dalam abdomen yang disebut dengan empty abdomen.
Kadangkala usus dapat mengalami dilatasi yang berat (toxic megacolon) yang
sering menyebabkan kematian apabila tidak dilakukan tindakan emergensi. Apabila
terjadi perforasi usus maka dengan foto polos dapat dideteksi adanya
pneumoperitoneum, terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left lateral
decubitus (LLD) maupun pada foto toraks tegak.

Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan


pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto polos abdomen
ditemukan tanda-tanda perforasi maka pemeriksaan barium enema merupakan
kontra indikasi.

b. Barium enema

Barium enema merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan apabila ada


kelainan pada kolon. Sebelum dilakukan pemeriksaan barium enema maka
persiapan saluran cerna merupakan pendahuluan yang sangat penting. Persiapan
dilakukan selama 2 hari berturut-tururt dengan memakan makanan rendah serat atau
rendah residu, tetapi minum air putih yang banyak. Apabila diperlukan maka dapat
diberikan laksatif peroral.

Pemeriksaan barium enema dapat dilakuka dengan teknik kontras tunggal


(single contrast) maupun dengan kontras ganda (double contrast) yaitu barium
sulfat dan udara. Teknik double contrast sangat baik untuk menilai mukosa kolon
dibandingkan dengan teknik single contrast, walaupun prosedur pelaksanaan teknik
double contrast cukup sulit. Barium enema juga merupakan kelengkapan
pemeriksaan endoskopi atas dugaan pasien dengan colitis ulseratif

Gambaran foto barium enema pada kasus dengan colitis ulseratif adalah mukosa
kolon yang granuler dan menghilangnya kontur haustra serta kolon ttampak
menjadi kaku seperti tabung. Perubahan mukosa terjadi secara difus dan simetris
pada seluruh kolon. Lumen kolon menjadi lebih sempit akibat spasme. Dapat
ditemukan keterlibatan seluruh kolon. Tetapi apabila ditemukan lesi yang
segmental maka rectum dan kolon kiri (desendens) selalu terlibat, karena awalnya
colitis ulseratif ini mulai terjadi di rectum dan menyebar kea rah proksimal secara
kontinu. Jadi rectum selalu terlibat, walaupun rectum dapat mengalami inflamasi
lebih ringan dari bagian proksimalnya.

Pada keadaan dimana terjadi pan-ulseratif colitis kronis maka perubahan juga
dapat terjadi di ileum terminal. Mukosa ileum terminal menjadi granuler difus dan
dilatasi, sekum berbentuk kerucut (cone-shaped caecum) dan katup ileosekal
terbuka sehingga terjadi refluks, yang disebut backwash ileitis. Pada kasus kronis,
terbentuk ulkus yang khas yaitu collar-button ulcers. Pasien dengan colitis ulseratif
juga menanggung resiko tinggi menjadi adenokarsinoma kolon.

c. Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan ultrasonografi sampai saat ini belum merupakan modalitas


pemeriksaan yang diminati untuk kasus-kasus IBD. Kecuali merupakan
pemeriksaan alternatif untuk evaluasi keadaan intralumen dan ekstralumen.

Sebelum dilakukan pemeriksaan USG sebaiknya pasien dipersiapkan saluran


cernanya dengan menyarankan pasien untuk makan makanan rendah residu dan
banyak minum air putih. Persiapan dilakukan selama 24 jam sebelum pemeriksaan.
Sesaat sebelum pemeriksaan sebaiknya kolon diisi dulu dengan air.

Pada pemeriksaan USG, kasus dengan colitis ulseratif didapatkan penebalan


dinding usus yang simetris dengan kandungan lumen kolon yang berkurang.
Mukosa kolon yang terlibat tampak menebal dan berstruktur hipoekhoik akibat dari
edema. Usus menjadi kaku, berkurangnya gerakan peristalsis dan hilangnya haustra
kolon. Dapat ditemukan target sign atau pseudo-kidney sign pada potongn
transversal atau cross-sectional. Dengan USG Doppler, pada colitis ulseratif selain
dapat dievaluasi penebalan dindng usus dapat pula dilihat adanya hypervascular
pada dinding usus tersebut.

d. CT Scan dan MRI

Kelebihan CT Scan dan MRI, yaitu dapat mengevaluasi langsung keadaan


intralumen dan ekstralumen. Serta mengevaluasi sampai sejauh mana komlikasi
ekstralumen kolon yang telah terjadi. Sedangkan kelebihan MRI terhadap CT Scan
adalah mengevaluasi jaringan lunak karena terdapat perbedaan intensitas (kontras)
yang cukup tinggi antara jaringan lunak satu dengan yang lain.

Gambaran CT Scan pada colitis ulseratif, terlihat dinding usus menebal secara
simetris dan kalau terpotong secara cross-sectional maka terlihat gambaran target
sign. Komplikasi di luar usus dapat terdeteksi dengan baik, seperti adanya abses
atau fistula atau keadaan abnormalitas yang melibatkan mesenterium. MRI dapat
dengan jelas memperlihatkan fistula dan sinus tract-nya (Ariestine, 2008).

4. Gambaran Endoskopi

Pada dasarnya colitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan


mukosa kolon secara difus dan kontinu, dimulai dari rectum dan menyebar
/progresif ke proksimal. Data dari beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan
bahwa lokalisasi colitis ulseratif adalah 80% pada rectum dan rektosigmoid, 12%
kolon sebelah kiri (left side colitis), dan 8% melibatkan seluruh kolon (pan-kolitis).

Pada colitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema


difus, kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas mucus, darah dan
nanah. Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam adalah karakteristik.
Sekali mukosa yang sakit ditemukan (biasanya di rectum), tidak ada daerah mukosa
normal yang menyela sebelum batas proksimal penyakit dicapai. Ulserasi landai,
bisa kecil atau konfluen namun selalu terjadi pada segmen dengan colitis aktif.
Pemeriksaan kolonoskopik penuh dari kolon pada colitis ulseratif tidak
diindikasikan pada pasien yang sakit akut. Biposi rectal bisa memastikan radang
mukosa. Pada penyakit yang lebih kronik, mukosa bisa menunjukkan penampilan
granuler dan bisa terdapat pseudopolip (Ariestine, 2008).

5. Gambaran Histopatologi

Yang termasuk kriteria histopatologik adalah perubahan arsitektur mukosa,


perubahan epitel dan perubahan lamina propria. Perubahan arsitektur mukosa,
perubahan permukaan, berkurangnya densitas kripta, gambaran abnormal arsitektur
kripta (distorsi, bercabang, memendek). Pada kolon normal, permukaan datar,
kripta tegak, sejajar, bentuknya sama, jarak antar kripta sama, dan dasar dekat
muskularis mukosa. Sel-sel inflamasi, predominan terletak di bagian atas lamina
propria.
Perubahan epitel seperti berkurangnya musin dan metaplasia sel Paneth
serta permukaan viliform juga diperhatikan. Perubahan lamina propria meliputi
penambahan dan perubahan distribusi sel radang. Granuloma dan sel-sel berinti
banyak biasanya ditemukan. Gambaran mikroskopik ini berhubungan dengan
stadium penyakit, apakah stadium akut, resolving atau kronik/menyembuh
(Ariestine, 2008). Gambaran khas untuk colitis ulseratif adalah adanya abses kripti,
distorsi kripti, infiltrasi sel mononuclear dan polimorfonuklear di lamina propria
(Djojoningrat, 2006).

Tsang dan Rotterdam (1999), membagi gambaran histologik penyakit


colitis ulseratif menjadi kriteria mayor dan minor. Sekurang-kurangnya dua kriteria
mayor harus dipenuhi untuk diagnosis colitis ulseratif.

Kriteria mayor colitis ulseratif :

1. Infiltrasi sel radang yang difus pada mukosa

2. Basal plasmositosis

3. Netrofil pada seluruh ketebalan mukosa

4. Abses kripta

5. Kriptitis

6. Distorsi kripta

7. Permukaan viliformis

Kriteria minor colitis ulseratif :

1. Jumlah sel goblet berkurang

2. Metaplasia sel Paneth

Tetapi pada colitis ulseratif stadium dini, gambarannya tidak dapat


dibedakan dari colitis infektif. Colitis ulseratif mempunyai tiga stadium yang
gambaran mikroskopiknya berbeda-beda. Perlu diingat bahwa pada seorang
penderita dapat ditemukan gambaran ketiga stadium dalam satu sediaan (Ariestine,
2008).

E. PENATALAKSANAAN

Mengingat bahwa etiopatogenesis IBD belum jelas, maka pengobatannya lebih


ditekankan pada penghambatan kaskade proses inflamasi. Dengan dugaan adanya
faktor/agen proinflamasi yang dapat mencetuskan proses inflamasi kronik pada
kelompok rentan, maka diusahakan mengeliminasi hal tersebut dengan cara
pemberian antibiotik, lavase usus, pengikat produk bakteri, mengistirahatkan kerja
usus dan perubahan pola dietetik. Pada prinsipnya, pengobatan IBD ditujukan pada
serangan akut dan terapi pemeliharaan waktu fase remisi. Obat baku pertama
mengandung komponen 5-acetil salicylic acid (5-ASA) dan obat kortikosteroid
(baik sistemik maupun topikal). Bila gagal, maka diberikan obat lini kedua yang
pada umumnya bersifat imunosupresif (seperti 6-merkaptopurin, azatriopin,
siklosporin dan metotreksat), anti-TNF (infliximab). Pada kasus tertentu atau terjadi
komplikasi perforasi, perdarahan masif, ileus karena stenosis, megatoksik kolon,
maka diperlukan intervensi surgikal (Djojodiningrat, 2006).

Sulfasalazine merupakan derivate dari 5-acetil salisilic acid, yang mempunyai


efek antiinflamasi, berfungsi untuk mempertahankan remisi dan untuk menginduksi
remisi pada serangan ringan. Berguna untuk mengobati colitis ulseratif ringan-
sedang. Bekerja secara lokal pada kolon untuk menurunkan respon inflamasi dan
secara sistemik menghambat sintesis prostaglandin.

Temuan klinis pada colitis ulseratif yang berat berhubungan dengan nekrosis
luas pada mukosa kolon dan perforasi dengan sepsis. Antibiotik intravena diberikan
pada pasien yang diduga atau berpotensi terjadi sepsis (Basson, 2011).

Seringkali pasien dengan colitis ulseratif juga diberi antihistamin. Karena


histamin terdapat pada enterochromaffin like cell, sel mast dan nervus intramural
pada traktus gastrointestinal, yang menstimulasi sekresi asam lambung, beberapa
cairan dan mucus, mempengaruhi motilitas usus, berpartisipasi dalam alergi tipe
cepat dan respon inflamasi, stimulasi pertumbuhan dan proses regenerasi serta
meningkatkan pembentukan kolagen. Semua efek ini dimediasi melalui reseptor
H1, H2, H3 dan H4. Hiperplasia sel mast pada mukosa dan submukosa merupakan
karakterisitik dari IBD kronik. Inflamasi colitis ulseratif utamanya mengenai
mukosa, dan meningkatkan pengeluaran mediator sel mast intestinal (Fogel, 2005).

Berdasarkan Crohn’s and Colitis Foundation of America, diet bukan merupakan


faktor utama dalam proses inflamasi. Namun beberapa makanan spesifik, dapat
mempengaruhi gejala dari colitis ulseratif dan ikut berperan dalam proses inflamasi
(WebMD, 2012). Penatalaksanaan diet pada colitis ulseratif, serat yang insoluble
(tinggi serat) tidak baik untuk pasien, contohnya : kubis, brokoli, jagung manis,
kulit buah seperti apel dan anggur), karena jenis serat ini melewati seluruh traktus
digestivus tanpa dicerna, dan dapat menempel pada dinding colon ketika inflamasi,
semakin mengiritasi kolon dan memperparah colitis. Serat yang soluble sangat baik
untuk pasien karena akan dicerna dalam kolon, menghasilkan feses yang lunak dan
pergerakan usus yang bagus, tidak menempel pada dinding usus dan tidak
menyebabkan inflamasi. Contoh serat yang soluble adalah buah-buahan dan sayur-
sayuran yang sudah dikupas, bubur, dan nasi putih (Collitis UK, 2011).

F. KOMPLIKASI

Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi : perforasi usus yang
terlibat, terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, megakolon toksik (terutama
pada colitis ulseratif), perdarahan, dan degenerasi maligna. Diperkirakan risiko
terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13% (Djojoningrat, 2006).

7. Penatalaksanaan Awal
Kemampuan penanganan konstipasi yang optimal diperlukan pengetahuan dan
perilaku terhadap penanganan konstipasi, seperti meningkatkan konsumsi
makanan mengandung serat dan memberikan pendidikan untuk melakukan BAB
secara rutin dan tidak menahan BAB. Sejauh ini perilaku keluarga dalam upaya
pencegahan dan penanganan konstipasi belum dapat di laksanakan secara
optimal. Menurut Soetjiningsih (1998, dalam Lestari2011).
1. Penderita konstipasi perlu mendapatkan terapi komprehensif untuk sedapat
mungkin mengembalikan fungsi defekasi yang fisiologis termasuk
mempertimbangkan penyebab dari konstipasi.
2. Pada pasien konstipasi kronik yang tidak menunjukkan tanda alarm, usia
<40 tahun, tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan colok dubur dan
diduga tidak ada konstipasi sekunder, terapi empirik dapat dimulai.
3. Terapi empirik terdiri dari terapi non farmakologis dan terapi farmakologis.

3.a. Terapi non-farmakologis (modifikasi gaya hidup):

• Edukasi mengenai konstipasi

• Meningkatkan konsumsi makanan berserat dan minum air yang

cukup (minimal 30-50 cc/kgBB/hari untuk orang dewasa sehat

dengan aktivitas normal)

• Mengkonsumsi probiotik (strain Bifidobacterium sp. seperti

Bifidobacterium animalis lactis DN-173 010, misalnya aCtIVIaTM)

• Meningkatkan aktivitas fisik

• Mengatur kebiasaan defekasi:

• Menghindari mengejan

• Membiasakan buang air besar setelah makan (melatih refleks

post-prandial bowel movement) atau waktu yang dianggap

sesuai dan cukup.

Menghindari obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi.

3.b. Terapi farmakologis

 Laksatif
a) Bulk laxative: psyllium, plantago ovata, methyl cellulose
b) Osmotic laxative:
 saline laxative: magnesium hidroksida, sodium fosfat
 disakarida yang tak diserap: laktulosa
 sugar alcohol: sorbitol, mannitol
 polyethylen glycol (PEG)
c) Stimulant laxative: bisacodyl (misalnya: DulColaX®), castor
oil, sodium picosulfat, stool softener (dioctyl sodium
sulfosuccinate).
d) Rektal enema/suppositoria: bisacodyl (misalnya:
DulColaX®), fosfat enema
e) Lubiproston (specific CIC-2 chloride channel activator)**
 Non-laksatif

Prokinetik

*Untuk dosis-dosis lebih lengkap lihat pada lampiran.

**Saat konsensus dibuat belum beredar di Indonesia

Terapi empirik ini dievaluasi selama 2-4 minggu. Bila tidak ada perbaikan maka
harus dilakukan investigasi lebih lanjut.

1. Pada slow transit constipation, dianjurkan digunakan terapi kombinasi


laksatif stimulan dan prokinetik, selain terapi non-farmakologis.
2. Pasien dengan disfungsi anorektal (disfungsi dasar panggul), selain dengan
pengobatan non farmakologis dan laksatif, dapat dianjurkan untuk diberikan
terapi biofeedback atau injeksi toksin botulinum tipe A ke dalam otot
puborektalis.
3. Pada konstipasi sekunder, selain mengatasi konstipasi, terapi ditujukan
terhadap penyakit yang mendasarinya.
4. Terapi operatif dipertimbangkan untuk konstipasi yang tidak responsif
terhadap berbagai terapi medikamentosa, dengan syarat tanpa kelainan
anorektal.
5. Kondisi tertentu:
 Usia lanjut
 Kehamilan dan menyusui
 Pasien diabetes
 Perawatan paliatif/terminal

Masalah utama yang dialami usia lanjut adalah kurangnya mobilitas dan
polifarmasi. Pengobatannya sama dengan usia muda, dengan penekanan pada
gaya hidup dan diet/probiotik (Bifidobacterium animalis laktis DN-173 010
misalnya aCtIVIatM). Untuk pasien usia lanjut yang mobilisasinya kurang, lebih
baik menggunakan stimulant laxative dibandingkan bulking agents. Sangat
penting untuk mencoba menghentikan penggunaan obat-obatan yang dapat
menimbulkan konstipasi.

Kehamilan dan Menyusui

Menggunakan makanan yang berserat tinggi, meningkatkan jumlah air yang


diminum, dan senam hamil sebagai pilihan utama. Laksatif dapat digunakan jika
hal-hal di atas Obat-obat hanya digunakan dalam jangka pendek. Keamanan obat
merupakan hal yang sangat penting diperhatikan dalam kehamilan. Senna
dianggap aman pada dosis normal namun memerlukan perhatian khusus pada
kehamilan dengan risiko tinggi. Bulking agents diduga lebih aman dibandingkan
stimulant laxative. Bulking agents dan laktulosa tidak diserap di usus sehingga
aman bagi ibu hamil dan menyusui. Senna, pada dosis besar akan disekresi pada
ASI dan dapat menyebabkan diare dan kolik pada bayi.

Pasien diabetes

Bulking agents aman dan bermanfaat pada pasien-pasien diabetes yang tidak
dapat meningkatkan asupan makanan berserat. Penggunaan laksatif yang
mengandung laktulosa dan sorbitol dapat meningkatkan kadar glukosa darah.
Perawatan paliatif/terminal

Pencegahan konstipasi sangat penting pada pasien terminal. Rehidrasi dan


pemberian profilaksis laksatif suppositoria sangat penting pada pasien-pasien
terminal dengan kesulitan asupan oral/enteral serta adanya gangguan pasase
usus. Jika ditemukan massa feses yang mengeras dan rektum penuh,
direkomendasikan klisma dengan gliserin, atau docusate suppositoria. Jika feses
lunak, stimulant laxative seperti senna atau bisacodyl (misalnya: DulColaX®),
dapat digunakan. Laktulosa dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif
namun dapat menyebabkan terjadinya perut kembung dan kemungkinan
terjadinya hipotensi postural (pergeseran cairan ke dalam lumen usus).

8. Perspektif Islam
Rasulullah sendiri menganjurkan pada umatnya agar tidak berlebihan dalam
makan dan minum. Beliau menyarankan agar seseorang makan dan minum
dalam kadar yang sedikit, cukup makan beberapa suapan dengan kadar yang
dapat menegakkan punggungnya. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadits:

“Tiada tempat yang manusia isi yang lebih buruk ketimbang perut. Cukuplah
bagi anak adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya.
Namun jika ia harus (melebihinya) maka hendaknya sepertiga perutnya (diisi)
untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernapas.”
(HR. Ahmad).
DAFTAR PUSTAKA
1. Sujono, Hadi. BAB II Konstipasi. Jurnal Gastroenterologi.
Universitas Sumatera Utara. Hal 56-60.
2. Batmanghelidj, 2007; Djojoningrat, 2006, dalam Sudoyo, dkk,
2006; Guyton & Hall, 1996; Price & Wilson, 2002; Sakthi
Foundation, 2007; Smeltzer & Bare, 2008.
3. Med.unhas.2017. Buku Panduan GEH. Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar.
4. Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Douchterman, J. M., & Wagner,
C. M. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC).
Singapore: Elsevier.
5. Smeltzer, S. C. (2015). Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC.
6. Molucca Medica. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. Vol 4 No 2,
Jakarta : 2014
7. Greenberger NJ. Gngguan pencernaan. Chicago: Year Book
Medical Publishers, 1981;186-94.
8. Henry MM, Parks AG, Swash M. Otot dasar panggul pada sindrom
perineum turun. Br J Surg. 1982;69 : 470-72.
9. Edwin jim. PATOGENESIS DAN DIAGNOSIS SINDROM
KOLON IRITABEL.Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.2017
10. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus nasional
penatalaksanaan konstipasi diindonesia. 2010
11. Arisetine, Dina Aprilia. 2018.Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek
Etiologi, Klinik dan Patogenesa. Universitas Sumatera Utara
FakultasKedokteranMedan.www.scribd.com/affannurrochman/d/4
0473357-Kolitis.

Anda mungkin juga menyukai