Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH SWAMEDIKASI

“KONSTIPASI”

Dosen Pengampu :

Dr. Titik Sunarni, S.Si., M.Si., Apt.

Disusun oleh:

Ardelia Nora Amanda 2020394345


Arvandhy Harmi 2020394346
Cut Intan Annisa P 2020394357
Diyah Saptarini 2020394362
Dora Rosalina Samosir 2020394346

FAKULTAS FARMASI

PROGRAM STUDI APOTEKER

UNIIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA

2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas
Mata kuliah swamedikasi. Makalah ini berisi tentang Definisi konstipasi, etiologi,
patofisiologi, macam-macam konstipasi, dampak dan komplikasi serta penatalaksanaan
terapi konstipasi.
Dalam menyusun makalah ini kami menyampaikan rasa terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu tersusunnya makalah ini, baik moril maupun materiil. Kritik
dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna menyempurnakan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan di bidang pengetahuan khususnya keperawatan dan kesehatan pada
umumnya. Terima kasih.

Wassalamu’alikum Wr.Wb.

Solo, Februari 2020

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari
kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses (kotoran)
kurang, atau fesesnya keras dan kering. Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih
pada lanjut usia (lansia) akibat gerakan peristaltik lebih lambat dan kemungkinan sebab lain.
Kebanyakan terjadi jika makan kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga. Kondisi
ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.

Kasus konstipasi umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4-30 persen pada
kelompok usia 60 tahun ke atas. Ternyata, wanita lebih sering mengeluh konstipasi dibanding
pria dengan perbandingan 3:1 hingga 2:1. Insiden konstipasi meningkat seiring bertambahnya
umur, terutama usia 65 tahun ke atas. Pada suatu penelitian pada orang berusia usia 65 tahun
ke atas, terdapat penderita konstipasi sekitar 34 persen wanita dan pria 26 persen.

Pengobatan konstipasi dikalangan masyarakat biasa dilakukan dengan cara


pengobatan sendiri atau lebih dikenal dengan istilah swamedikasi. Pengobatan sendiri
(swamedikasi) merupakan bagian dari upaya masyarakat untuk mengobati gejala sakit yang
diderita. Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan ringan,
swamedikasi ini apabila dilakukan secara benar maka akan tercapainya tujuan yang
diinginkan yaitu kesembuhan. Salah satu untuk tercapainya swamedikasi yang tepat adalah
dengan memperhatikan jenis obat, dosis obat dan cara penggunaan yang tepat dalam hal
tersebut peran apoteker sangat penting dalam mendampingi masyarakat untuk mendapatkan
obat yang tepat dan aman.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan konstipasi?
2. Apa saja penyebab konstipasi ?
3. Bagaimana patofisiologi kosntipasi
4. Apa manestfasi klinik konstipasi?
5. Bagaimana penatalaksaana konstipasi?
6. Apa saja obat-obat untuk konstipasi?
1.3 Tujuan

1. Mengetahui dan memahami tentang konstipasi.

2. Mengetahui gejala dan tanda konstipasi.

3. Mengetahui patofisiologi konstipasi

4. Mengetahui penanganan konstipasi.

5. Mengetahui pengobatan konstipasi.


BAB II

ISI

A. Pengertian Konstipasi

Konstipasi sama artinya dengan buang air besar yang jarang atau sulit. Frekuensi BAB
pada masing-masing orang berbeda-beda. Periode buang air besar (BAB) kurang dari 3
kali seminggu untuk wanita dan 5 kali seminggu untuk laki-laki, atau periode lebih dari 3
hari tanpa pergerakan usus. Penurunan frekuensi BAB yang tidak seperti biasanya dan
atau disertai gejala nyeri selama buang air besar disebut sebagai konstipasi. Akumulasi
atau pemadatan isi usus halus yang dapat mengakibatkan konsistensi feses yang keras
mengakibatkan kesulitas defekasi (buang air besar). Semua orang dapat mengalami
konstipasi, terlebih pada lanjut usia (lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam
memompa pada usus) lebih lambat. Kebanyakan terjadi jika makan kurang berserat,
kurang minum, mengonsumsi obat obatan yang menyebabkan konstipasi (antidiare) dan
kurang olahraga. Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga hari berturut-turut
(Sukandar dkk. 2013).
Konstipasi dapat menyebabkan gejala seperti sakit perut, BAB mungkin disertai rasa
sakit, turun atau hilangnya napsu makan, mual atau muntah, turunnya berat badan, noda
feses di celana dalam anak yang menandakan banyaknya feses yang tertahan di rektum
(bagian usus besar terdekat dengan anus) disebut encopresis atau fecal incontinence.
Mengedan untuk mengeluarkan feses yang keras dapat menyebabkan robekan kecil pada
lapisan mukosa anus (anal fissure) dan perdarahan, konstipasi dapat meningkatkan risiko
infeksi saluran kemih (Wald 2015).
Kasus konstipasi umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4-30 persen pada
kelompok usia 60 tahun ke atas. Insiden konstipasi meningkat seiring bertambahnya
umur, terutama usia di atas 65 tahun. Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi
saat bepergian, misalnya karena jijik dengan WC-nya, bingung bagaimana caranya
buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan kendaraan umum lainnya. Penyebab
konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek samping obat, faktor neurogenik saraf sentral
atau saraf perifer, karena faktor kelainan organ di kolon seperti obstruksi organik atau
fungsi otot kolon yang tidak normal atau kelainan pada rektum, anak dan dasar pelvis
dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik. Mencegah konstipasi secara umum
ternyata tidaklah sulit yaitu mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah
diperoleh adalah pada buah dan sayur. Konstipasi pada umumnya terjadi akibat dari
rendahnya konsumsi serat atau penggunaan obat-obat yang dapat menimbulkan konstipasi
seperti opiate. Pemberian opiate peroral memiliki efek penghambatan pada saluran cerna
lebih besar dibandingkan pemberian parenteral. Jika penderita konstipasi ini mengalami
kesulitan mengunyah, misalnya karena ompong, haluskan sayur atau buah tersebut
dengan blender (Wald 2015).

B. Klasifikasi Konstipasi

Konstipasi diklasifikasikan kedalam beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan


patofisiologi dan lamanya keluhan. Konstipasi berdasarkan lamanya keluhan yaitu
konstipasi akut dan konstipasi kronis. Disebut konstipasi akut bila keluhan berlangsung
kurang dari 4 minggu. Sedangkan bila konstipasi telah berlangsung lebih dari 4 minggu
disebut konstipasi kronik. Penyebab konstipasi kronik biasanya lebih sulit disembuhkan
(Wald 2015).
Klasifikasi konstipasi berdasarkan patofisiologi dapat diklasifikasikan menjadi
konstipasi fungsional dan konstipasi akibat kelainan structural. Konstipasi fungsional
berhubungan dengan gangguan motilitas kolon atau anorectal. Sedangkan konstipasi
kelainan structural terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja. Konstipasi yang
dikeluhkan sebagian besar pasien umumnya merupakan konstipasi fungsional. Penyakit
sistemik dan efek samping pemakian beberapa obat tertentu merupakan penyebab
kosntipasi fungsional yang sering dilaporkan (Endyarni dkk, 2014).

C. Patofisiologi Konstipasi

Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantar feses ke
rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan merenggangkan ampula dari rekum diikuti
relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk menghindari pengeluaran feses secara spontan,
terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang
dipersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsangan keinginan untuk buang air
besar dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum
mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan
menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot-otot levator ani
Ketika serat yang dikonsumsi sedikit, kotoran akan menjadi kecil dan keras.
Konstipasi akan timbul, dimana dalam proses defekasi terjadi tekanan yang berlebihan
dalam usus besar (kolon) keluar dari otot, membentuk kantong kecil yang disebut
divertikula. Hemoroid juga bisa sebagai akibat dari tekanan yang berlebihan saat defekasi
(Wardlaw, Hampl, and DiSilvestro, 2004). Hampir 50% dari pasien dengan penyakit
divertikular atau anorektal, ketika ditanya, menyangkal mengalami konstipasi/sembelit.
Namun, hampir semua pasien ini memiliki gejala ketegangan atau jarang defekasi.

Proses sekresi di saluran cerna mungkin dapat megalami hambatan pasase bolus di
kolon atau rektum, sehingga timbul kesulitan defekasi atau timbul obstipasi. Gangguan
pasase bolus dapat diakibatkan oleh suatu penyakit atau dapat karena kelainan
psikoneuorosis. Yang termasuk gangguan pasase bolus oleh suatu penyakit yaitu
disebabkan oleh mikroorganisme (parasit, bakteri, virus), kelainan organ, misalnya
tumor baik jinak maupun ganas, pasca bedah di salah satu bagian saluran cerna (pasca
gastrektomi, pasca kolesistektomi). Untuk mengetahui bagaimana terjadinya konstipasi,
perlu diingat kembali bagaimana mekanisme kerja kolon. Begitu makanan masuk ke
dalam kolon, kolon akan menyerap air dan membentuk bahan buangan sisa makanan,
atau tinja. Kontraksi otot kolon akan mendorong tinja ini ke arah rektum. Begitu
mencapai rektum, tinja akan berbentuk padat karena sebagian besar airnya telah diserap.
Tinja yang keras dan kering pada konstipasi terjadi akibat kolon menyerap terlalu banyak
air. Hal ini terjadi karena kontraksi otot kolon terlalu perlahan-lahan sehingga
menyebabkan tinja bergerak ke arah kolon terlalu lama.
Konstipasi juga dapat timbul dari adanya defek pengisian maupun pengosongan
rektum. Pengisian rektum yang tidak sempurna terjadi bila peristaltik kolon tidak efektif
(misalnya, pada kasus hipotiroidisme atau pemakaian opium, dan bila ada obstruksi usus
besar yang disebabkan oleh kelainan struktur atau karena penyakit hirschprung). Statis
tinja di kolon menyebabkan proses pengeringan tinja yang berlebihan dan kegagalan
untuk memulai reflek dari rektum yang normalnya akan memicu evakuasi. Pengosongan
rektum melalui evakuasi spontan tergantung pada reflek defekasi yang dicetuskan oleh
reseptor tekanan pada otot-otot rektum, serabut-serabut aferen dan eferen dari tulang
belakang bagian sakrum atau otot-otot perut dan dasar panggul. Kelainan pada relaksasi
sfingter ini juga bisa menyebabkan retensi tinja.
Konstipasi bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan gejala yang mengindikasikan
adanya penyakit atau masalah yang dapat menyebabkan konstipasi antara lain kelainan
saluran pencernaan (divertikulitas), gangguan metabolisme (diabetes), gangguan
endokrin (hipotiroidism)
Konstipasi kadang-kadang juga dapat diakibatkan oleh factor psikologis. Penyakit
atau kondisi yang dapat menimbulkan konstipasi:
a. Gangguan saluran pencernaan:
1. Obstruksi gastroduodonal akibat ulser atau kanker
2. Irritable bowel syndrome
3. Divertikulitis
4. Hemorrhoids, anal fissures
5. Proktitis ulseratifTumor
b. Gangguan Metabolisme dan Endokrin:
1. Diabetes mellitus
2. Hipotiroidism
3. Panhipopituitarusme
4. Peokromositoma
5. Hiperkalsemia
c. Kehamilan
d. Konstipasi Neuragik:
1. Trauma kepala
2. Tumor system saraf pusat
3. Strok
4. Parkinson’s disease
e. Konstipasi Psikogenik:
1. Gangguan Pskistri
2. Inappropriate bowel habits
f. Obat-obat yang menginduksi konstipasi:
1. Analgesik
- Penghambat sintesis prostaglandin
- Opiat
2. Antikolinergik
- Antihistamin
- Antiparkinson
- Fenotiazin
3. Antidepresan trisiklik
4. Antasida yang mengandung kalsium karbonat atau alumunium hidroksida
5. Barium sulfat
6. Blok kanal kalsium
7. Klonidin
8. Diuretik(nonpotassium sparing)
9. Ganglion blokers
10. Preparat Besi
11. Muscle blokers ( d-tubokurarin, suksinilkolin)
12. Polistiren sodium sulfonate

D. Tanda dan Gejala Konstipasi


Menurut Akmal, dkk (2010), ada beberapa tanda dan gejala yang umum
ditemukan pada sebagian besar atau terkadang beberapa penderita sembelit sebagai
berikut:
a. Perut terasa begah dan penuh.
b. Tubuh tidak fit, terasa tidak nyaman, lesu, cepat lelah sehingga malas mengerjakan
sesuatu bahkan terkadang sering mengantuk
c. Sering berdebar-debar sehingga memicu untuk cepat emosi, mengakibatkan stress,
rentan sakit kepala bahkan demam
d. Aktivitas sehari-hari terganggu karena menjadi kurang percaya diri, tidak bersemangat,
tubuh terasa terbebani, memicu penurunan kualitas, dan produktivitas kerja
e. Feses lebih keras, panas, berwarna lebih gelap, dan lebih sedikit daripada biasanya
f. Feses sulit dikeluarkan atau dibuang ketika air besar, pada saat bersamaan tubuh
berkeringat dingin, dan terkadang harus mengejan atupun menekannekan perut terlebih
dahulu supaya dapat mengeluarkan dan membuang feses ( bahkan sampai mengalami
ambeien/wasir )
g. Bagian anus atau dubur terasa penuh, tidak plong, dan bagai terganjal sesuatu disertai
rasa sakit akibat bergesekan dengan feses yang kering dan keras atau karena mengalami
wasir sehingga pada saat duduk tersa tidak nyaman; h. Lebih sering bung angin yang
berbau lebih busuk daripada biasanya
i. Usus kurang elastis ( biasanya karena mengalami kehamilan atau usia lanjut), ada bunyi
saat air diserap usus, terasa seperti ada yang mengganjal, dan gerakannya lebih lambat
daripada biasanya
j. Terjadi penurunan frekuensi buang air besar
E. Uraian Obat

1. Tujuan Terapi
Hasil terapi yang diharapkan adalah pencegahan konstipasi lebih lanjut
melalui perubahan gaya hidup terutama makanan. Untuk konstipasi akut, tujuan
terapi adalah untuk menghilangkan gejala dan mengembalikan fungsi normal
usus.

Tabel Algoritma Terapi Konstipasi


Terapi konstipasi dapat dilakukan melalui :
a. Terapi nonfarmakologi, melalui modifikasi modifikasi diet untuk
meningkatkan jumlah serat yang dikonsumsi. Secara bertahap
tingkatkan asupan serat setiap hari hingga 20 hingga 25 g, baik melalui
perubahan pola makan atau melalui suplemen serat. Buah-buahan,
sayuran, dan sereal memiliki kandungan serat paling tinggi
b. Terapi farmakologi menggunakan obat pencahar, terdapat 4 tipe
golongan
1. Memperbesar dan melunakkan masa feses, antara lain : Cereal,
Methyl Selulose, Psilium.
2. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan
menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga
mempermudah penyerapan air. Contoh Minyak Kasto,
Golongan docusate.
3. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman
digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain :
Sorbitol, Lactulose, Glycerin.
4. Merangsang peristaltik sehingga meningkatkan motilitas usus
besar.
2. Klasifikasi obat Laksatif (pencahar)
a. Senyawa yang dapat melunakkan feses dalam 1-3 hari (bulk-forming
laxatives, emolien, polietilengliko dan sorbitol dosis rendah).
b. Senyawa yang dapat menghasilkan feses semifluid dala 6-12 jam
(Bisakodil, senna, magnesium sulfat dosis rendah).
c. Senyawa yang mempermudah pengosongan usus dalam 1-6 jam
(magnesium sitrat, magnesium hidroksida, magnesium sulfat, natrium
fosfat, bisakodil, polietilen glikol- electrolyte preparation).

Rekomendasi Dosis Untuk Pencahar Dan Katartik


1. Pencahar Emolien (Fokus)
Emollient merupakan surfaktan yang bekerja dengan membantu
pencampuran air dan lemak yang terdapat dalam saluran cerna, menghasilkan
sekresi air dan elektrolit di usus kesil dan usus besar. Emolien menghasilkan
feses yang lunak dalam 1-3 hari, sehingga banyak digunakan untuk mencegah
kostipasi. Selain itu juga dapat membantu dalam situasi di mana mengejan
harus dihindari, seperti setelah pemulihan dari infark miokard, dengan penyakit
perianal akut, atau setelah operasi rektum.
2. Laktulosa dan Sorbitol
 Laktulosa umumnya tidak direkomendasikan sebagai agen lini pertama
untuk perawatan konstipasi karena mahal dan dapat menyebabkan perut
kembung, mual, dan perut tidak nyaman atau kembung. Ini dapat digunakan
sebagai alternatif untuk sembelit akut dan telah terbukti berguna pada
pasien usia lanjut.
 Sorbitol, suatu monosakarida, telah direkomendasikan sebagai agen utama
dalam pengobatan konstipasi fungsional pada pasien yang secara kognitif
masih utuh. Ini sama efektifnya dengan laktulosa, dapat menyebabkan mual
lebih sedikit, dan jauh lebih murah.
3. Derivate difenilmetan (bisakodil dan fenolftalein)
Bisakodil merangsang pleksus saraf mukosa kolon. Senyawa ini hanya
untuk pengobatan konstipasi atau persiapan usus dalam prosedur diagnostic.
Penggunaan laksatif yang mengandung fenolftalein dapat menimbulkan urin
berwarna merah jambu.
4. Derivate antrakuinon
Senyawa yang termasuk kelompok ini adalah sagrada, sennosida,
casantrol. Efek senyawa ini terbatas pada kolon dan dapat melibatkan stimulasi
plexus Auerbach’s.
5. Saline Cathartics
Saline cathartics terdiri dari ion-ion yang sulit diserap seperti
magnesium, sulfat, fosfat, dan sitrat, yang memiliki efek osmotik untuk
menahan cairan dalam saluran GI. Senyawa ini dapat diberikan secara oral atau
melalui rektal. Pergerakan usus dapat terjadi dalam beberapa jam setelah dosis
oral dan dalam 1 jam atau lebih cepat setelah pemberian rektal. Senyawa ini
sebaiknya digunakan untuk pengosongan usus yang dibutuhkan sebelum
prosedur diagnostik, keracunan, dan penggunaan bersama dengan beberapa
anthelmintik untuk menghilangkan parasit. Katarak saline tidak boleh
digunakan secara rutin untuk mengobati konstipasi.
6. Gliserin
Senyawa ini biasanya diberikan sebagai supositoria dan memberikan
efeknya dengan aksi osmotik di rectum, onsetnya kurang dari 30 menit. Gliserin
dianggap sebagai pencahar yang aman, meskipun kadang-kadang dapat
menyebabkan iritasi dubur. Penggunaannya dapat diterima secara intermiten
untuk konstipasi, terutama pada anak-anak.
7. Polyethylene Glycol – Electrolyte Lavage Solution (PEG-ELS)
Larutan ini digunakan untuk membersihkan kaolon sebelum dilakukan
prosedur diagnostic atau operasi kolorektal. Dosis rendah larutan PEG (10−30
g atau 17−34 g per 120−240 mL) sekali atau dua kali sehari dapat digunakan
untuk pengobatan konstipasi. Penggunaan harian dalam dosis rendah (17 g)
mungkin aman dan efektif hingga 6 bulan.
8. Lubiprostone dan Linaclotide
 Lubiprostone (Amitiza) dapat digunakan untuk konstipasi idiopatik kronis
dan IBS-C konstipasi predominan pada orang dewasa dan aman untuk
pengobatan jangka panjang (hingga 48 minggu). Dosisnya 24 mg kapsul dua
kali sehari dengan makanan. Lubiprostone dapat menyebabkan sakit kepala,
diare, dan mual.
 Linaclotide (Linzess) digunakan untuk pengobatan konstipasi dan IBS-C. Itu
disetujui dalam dosis 145 mcg dan tidak boleh digunakan pada pasien usia
dibawah 18 tahun.
9. Antagonis-reseptor opioid
 Alvimopan adalah antagonis reseptor μ-spesifik pada GI, untuk penggunaan
jangka pendek pada pasien rawat inap untuk mempercepat pemulihan
fungsi usus setelah reseksi usus besar atau kecil. Diberikan 12 mg (kapsul)
30 menit hingga 5 jam sebelum operasi dan kemudian 12 mg dua kali sehari
hingga 7 hari atau sampai keluar rumah sakit (maksimum 15 dosis).
Kontraindikasi pada pasien yang menerima dosis terapi opioid selama lebih
dari 7 hari berturut-turut sebelum operasi.
 Methylnaltrexone adalah antagonis reseptor μ lain yang digunakan untuk
sembelit yang disebabkan opioid pada pasien dengan penyakit lanjut yang
menerima perawatan paliatif atau ketika respon terhadap terapi pencahar
tidak mencukupi.
E. Kasus
Kasus 1. Bapak budi (25 tahun) datang ke apotek dengan keluhan
mengalami kesulitan buang air besar selama 3 hari . 1 hari sebelum datang ke
apotek , pak budi menceritakan bahwa sudah meminum obat dulcolax tablet namun
masih belum bisa BAB. Terapi apa yang diberikan kepada pasien
Identitas :
Nama : Bapak Budi
Umur : 25 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Diagnosa : konstipasi / sembelit
Backround :
- Mengalami konstipasi selama 3 hari
- Sudah diobati dengan dulcolax tab tapi belum bisa BAB
Assessment :
a. Sembelit
Ditandai dengan BAB kurang dari 3x dalam 1 minggu , sudah diobati
dengan dulcolax tablet dengan mekanisme merangsang mukosa dan
merangsang otot polos usus sehingga meningkatkan peristaltis dan sekresi
lender usus (Obat tidak memberikan Efek)
b. Feses terlalu keras
Recommendation :
Pasien diberikan obat microlax enema
1. Mekanisme kerja : bekerja menurunkan tegangan permukaan feses dan secara
bersamaan menyerap air ke dalam usus besar sehingga feses menjadi lunak.
Microlax juga dapat melumasi bagian bawah rectum sehingga feses mudah
dikeluarkan. Microlax bekerja selama 5-15 menit setelah pemberian
2. Kandungan : tiap 5 ml mengandung :
- Natrium lauril sulfoasetat 0,045 g
- PEG 4000 0,625 g
- Sorbitol 4,465 g
- Asam sorbat 0,005 g
- Air murni hingga 6,25 g
3. Dosis : Untuk dewasa 1 tube/ rektal
4. Efek samping : penggunaan berlebihan dapat menyebabkan diare dan
kekurangan cairan
Kasus 2. Seorang anak laki-laki (A) umur 4 tahun 5 bulan, datang dengan
konstipasi sejak 5 hari yang lalu. Menurut orang tuanya A selalu terlihat kesakitan
setiap mau BAB (Buang air besar), dan keluarnya sedikit sekali, kadang- kadang 4
hari sekali, demikian beulang-ulang. Sejak 1 hari yang lalu si anak selalu menahan
kalau mau BAB, dan selalu berdiri setipa terasa mulas dan tidak mau ke toilet.
Sering terlihat adanya bercakan feses di celananya.
Identitas :
Nama : Anak A
Umur : 4 tahun 5 bulan
Jenis kelamin : laki-laki
Diagnosa : konstipasi/sembelit
Backround :
- Mengalami konstipasi hampir 5 hari
- Terlihat kesakitan setiap BAB dan keluar sedikit sekali (4 hari sekali)
- 1 hari anak tersebut menahan jika ingin BAB dan selalu berdiri jika mulas
- Tidak mau pergi toilet dan ada bercak feses di celananya.
Assessment : Sembelit
Ditandai dengan kesakitan saat BAB dan keluar hanya sedikit (BAB dalam
4 hari hanya sekali) bahkan anak berusaha menahan untuk tidak BAB, hal ini tentu
dapat berakibat fatal seperti feses yang mengeras yang dapat menyebabkan luka
pada dubur saat dikeluarkan, terjadi pergerakan usus yang lambat yang
mengakibatkan usus dapat terluka, dan infeksi bakteri ketika ada feses yang bocor
keluar melewati luka atau robekan yang ada di usus atau rektum saat usus
terinfeksi maka bakteri yang semula hidup normal di usus akan mulai berkembang
biak dengan cepat menyebabkan usus akan mengalami peradangan dan terisi
nanah.
Recommendation :
Pasien diberikan 2 pilihan obat (sehingga pasien dapat memilih karena kasus ini
adalah pasien anak-anak).
a. Dulcolax supp child 6s
1. Mekanisme kerja : obat pencahar jenis stimulan merangsang pergerakan
dalam usus, terutama usus besar hingga mengeluarkan feses. Dengan
merangsang saraf enteric sehingga mengakibatkan kontraksi kolon (usus
besar). Seperti obat pencahar lainnya, obat ini juga berfungsi untuk
membersihkan atau mengosongkan isi usus besar.
2. Kandungan : bisacodyl 5 mg
3. Dosis : 1 x sehari 1 suppositoria pada malam hari sebelum tidur
4. Efek samping : rasa tidak enak pada perut dan kram, diare, reaksi alergi
b. Lactulax Sirup
1. Mekanisme kerja : bekerja dengan cara menarik cairan ke dalam tubuh
agar feses menjadi lebih lunak, mengubah keasaman feses, serta
membantu mencegah pertumbuhan bakteri dalam usus.
2. Kandungan : tiap 5mL mengandung laktulosa 3.335 g
3. Dosis : Anak usia 1-5 tahun 1-2 sendok takar 5cc sesudah makan
4. Efek samping : rasa tidak enak pada perut dan lambung, diare, kram
lambung, rasa haus.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari
kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses
kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat
terjadi saat bepergian, misalnya karena jijik dengan WC-nya, bingung caranya
buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan kendaraan umum lainnya.
Penyebab konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek samping obat, faktor
neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor kelainan organ
di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau
kelainan pada rektum, anak dan dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik
kronik. Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya
adalah mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah
pada buah dan sayur.

B. Saran
Saran dari kami tim penulis adalah sebaiknya bagi penderita kuncinya
adalah dengan mengonsumsi makanan yang berserat.
DAFTAR PUSTAKA

Wells, B. G., Schwinghammer T. L., DiPiro J. T., DiPiro C. V. 2017. Pharmacotherapy


Handbook Tenth Edition. McGraw-Hill, New York.

Sukandar EY, dkk. 2013. ISO Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan:Jakarta. Wells. BG,
Dipiro JT, Schwinghammer TL, Dipiro C. 2015. Infectius disease ,
pharmacology a pathophysiologic Approach, Ed ke- 9, new york: mc graw-hill
companies 1998
Wald A, Scarpignato C, Mueller-Lissner S, Kamm MA, Hinkel U, Helfrich I, et al. A
multinational survey of prevalence and patterns of laxative use among adults
with self-defined constipation. Aliment Pharmacol Ther. 2008;28:917– 930.
Lindberg G, Hamid S, Malfertheiner P. Understanding the prevalence and impact of
constipation in Canada. Milwaukee: World gastroenterology organisation;
2010.
Peppas G, Alexiou VG, Mourtzoukou E, Fallagas ME. Epidemiology of constipation
in Europe and Oceania: a systematic review. BMC gastroenterology; 2008Feb
12;8:5 doi:10.1186/1471-230X-8-5.

Anda mungkin juga menyukai