Anda di halaman 1dari 32

Mata Kuliah : Biofarmasetika

Dosen : apt. Sri Wahyuningsih, M.Si

MAKALAH

“SEDIAAN PARENTERAL”

Oleh :

Kelompok : III (Tiga)


Kelas : 03/B (Alih Jenjang)

Nurmin (D1B120028) Indah Permata Sari (D1B120190)

Andih Ismail (D1B120149) Nurul Fajrianti Rais (D1B120219)

Eka Jumrawati Rapi (D1B120234) Krisna Surya (D1B120226)

Evry Surya Ningsih (D1B120173)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MEGAREZKY

MAKASSAR

2021
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. Karena atas

limpahan rahmatnya kita masih diberi kesehatan, karunia, dan petunjuk sehingga

kami mampu meneyelesaikan tugas makalah ini.

Penyusunan makalah ini telah diusahakan semaksimal mungkin dan sesuai

dengan format yang telah ditetapkan. Mengenai isi makalah telah diupayakan

sesuai dengan tujuan penulisan dengan didasarkan pada berbagai sumber referensi

lainnya.

Kami berharap semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua.

Amin.

Makassar, 14 Juli 2021


Tim Penulis,

Kelompok III (Tiga)

i
DAFTAR ISI

Sampul

Kata Pengantar ........................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................... ii

BAB I : Pendahuluan

A. Latar Belakang ........................................................................... 1

B. Rumusan Masalah....................................................................... 2

BAB II : Tinjauan Pustaka

A. Anatomi Fisiologi Sediaan Parenteral ......................................... 3

B. Pembuluh Darah yang Melalui Rute Pemberian Parenteral.......... 17

C. Proses biofarmasetika liberasi, absorpsi, distribusi, metabolisme dan

eksresi sediaan Parenteral .......................................................... 18

D. Efek terapeutik pemberian Parenteral .......................................... 19

E. Komponen karakteristik cairan Sediaan parenteral ...................... 20

F. Faktor yang mempengerahui liberasi, distribusi dan absorpsi sediaan

parenteral.................................................................................... 21

G. Evaluasi biofarmasetik dalam sediaan parenteral......................... 26

BAB III : Penutup

A. Kesimpulan ................................................................................ 28

B. Saran .......................................................................................... 28

Daftar Pustaka

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah parenteral berasal dari kata Yunani para dan enteron yang berarti
disamping atau lain dari usus. Sediaan ini diberikan dengan cara
menyuntikkan obat di bawah atau melalui satu atau lebih lapisan kulit atau
membran mukosa. Karena rute ini disekitar daerah pertahanan yang sangat
tinggi dari tubuh, yaitu kulit dan selaput/membran mukosa, maka kemurniaan
yang sangat tinggi dari sediaan harus diperhatikan. Yang dimaksud dengan
kemurnian yang tinggi itu antara lain harus steril.
Sediaan farmasi steril merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi
yang banyak digunakan terutama pada pasien yang dirawat di rumah sakit.
Sediaan parenteral merupakan salah satu tipe sediaan steril yang dapat
diberikan melalui beberapa rute pemberian yaitu intravena, intraatrial,
intramuskuler, subkutan, intradermal, dan lainnya. Sediaan ini sangat
membantu pada saat pasien dioperasi, diinfus, disuntik, mempunyai luka
terbuka yang harus diobati dan sebagainya.
Pada umumnya pemberian dengan cara parenteral dilakukan bila
diinginkan kerja obat yang cepat seperti pada keadaan gawat, bila penderita
tidak dapat bekerja sama dengan baik, tidak sadar, tidak dapat atau tidak
tahan menerima pengobatan melalui mulut (oral) atau bila obat itu sendiri
tidak efektif dengan cara pemberian lain.
Semakin meningkatnya perkembangan ilmu bioteknologi telah
meningkatkan pula jumlah obat yang diproduksi secara bioteknologi.
Penyuntikan obat diperlukan, baik untuk respon terapeutik yang cepat
maupun untuk obat yang tidak tersedia untuk rute non-injeksi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka adapun alasan penulisan
makalah ini yaitu, untuk mengetahui seperti apa sediaan parenteral itu,

1
bagaimana proses biofarmasetikanya dan bagaiamana proses evaluasi
sediaannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah yang akan
dibahas pada makalah ini yaitu :
1. Bagaimana Anatomi Fisiologi Sediaan Parenteral ?
2. Bagaimana Pembuluh Darah yang Melalui Rute Pemberian Parenteral ?
3. Bagaimana Proses biofarmasetika liberasi, absorpsi, distribusi,
metabolisme dan eksresi sediaan Parenteral ?
4. Bagaimana Efek terapeutik pemberian Parenteral ?
5. Bagaimana Komponen karakteristik cairan Sediaan parenteral ?
6. Bagaimana Faktor yang mempengerahui liberasi, distribusi dan absorpsi
sediaan parenteral ?
7. Bagaimana Evaluasi biofarmasetik dalam sediaan parenteral ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anatomi Fisiologi Sediaan Parenteral

1. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan paling luar kulit dan terdiri atas epitel
berlapis gepeng dengan lapisan tanduk. Epidermis hanya terdiri dari
jaringan epitel, tidak mempunyai pembuluh darah maupun limf; oleh
karenaitu semua nutrien dan oksigen diperoleh dari kapiler pada lapisan
dermis. Epitel berlapis gepeng pada epidermis ini tersusun oleh banyak
lapis sel yang disebut keratinosit. Epidermis terdiri atas 5 lapisan yaitu, dari
dalam ke luar, stratum basal, stratum spinosum, stratum granulosum,
stratum lusidum, dan stratum korneum.
2. Dermis
Dermis terdiri atas stratum papilaris dan stratum retikularis, batas antara
kedua lapisan tidak tegas, serat antaranya saling menjalin.
a. Stratum papilaris Lapisan ini tersusun lebih longgar, ditandai oleh
adanya papila dermis yang jumlahnya bervariasi antara 50 – 250/mm2 .

3
Jumlahnya terbanyak dan lebih dalam pada daerah di mana tekanan
paling besar, seperti pada telapak kaki. Sebagian besar papila
mengandung pembuluh-pembuluh kapiler yang memberi nutrisi pada
epitel di atasnya.
b. Stratum retikularis Lapisan ini lebih tebal dan dalam. Berkas-berkas
kolagen kasar dan sejumlah kecil serat elastin membentuk jalinan yang
padat ireguler. Pada bagian lebih dalam, jalinan lebih terbuka, rongga-
rongga di antaranya terisi jaringan lemak, kelenjar keringat dan
sebasea, serta folikel rambu
3. Subkutis
Lapisan hipodermis adalah lapisan kulit paling terdalam, yang juga sering
disebut dengan lapisan subkutan atau subkutis. Lapisan subkutan
mengandung lemak paling banyak untuk melindungi tubuh serta membantu
tubuh untuk menyesuaikan diri dengan suhu luar. Hipodermis juga
berperan sebagai pengikat kulit ke otot dan berbagai jaringan yang ada di
bawahnya.
4. Otot
Otot merupakan kumpulan jaringan otot yang saling berkontraksi sehingga
menghasilkan gerakan. Otot terdiri atas serabut sel otot yang keseluruhan
dilapisi oleh jaringan pelindung. Otot melakukan kontraksi dan relaksasi
menggunakan ATP. Otot juga dapat menerima volume obat yang lebih
besar tanpa menimbulkan ketidaknyamanan dibandingkan jaringan
subkutaneus, walaupun bergantung pada ukuran otot dan kondisi serta
lokasi yang digunakan. Pertimbangan utama dalam memberikan injeksi
intramuskular adalah memilih lokasi injeksi yang aman, jauh
dari pembuluh darah besar, saraf dan tulang.

4
Injeksi adalah obat suntik berupa larutan, emulsi atau suspense dalam air
atau pembawa lain yang cocok, steril digunakan secara parenteral yaitu dengan
merobek lapisan kulit atau lapisan mukosa/selaput lendir. Obat suntik
digunakan langsung ke dalam sistem cairan tubuh, misalnya darah, cairan
limfa, cairan ekstra dan intra seluler. (Lazuardi, 2019).
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau
serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum
digunakan, disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau
melalui kulit atau selaput lendir. (Daswiyah. 2011).
Pemberian obat suntik dilakukan apabila pemberian obat secara oral, atau
rektal tidak dapat dilakukan atau tidak efektif. Misalnya adanya gangguan
absorpsi GIT, gangguan organ esophagus, ganggaun pada organ tubuh lain.
Selain hal tersebut juga pada kasus penderita tidak sadar, mual (naucea) atau
tidak kooperatif. Alasan lain yang juga mendasari penggunaan obat suntik
yaitu memerlukan kadar tinggi pada waktu singkat, misalnya pada keadaan
darurat (emergency situation) (Lazuardi, 2019).
Keuntungan bentuk sediaan ini adalah terhindar dari perusakan obat atau
inaktivasi dalam saluran gastrointestinal; dapat digunakan bila obat sedikit
diabsorpsi dalam saluran gastrointestinal sehingga obat tidak cukup untuk
menimbulkan respons; bila dikehendaki, dapat menghasilkan efek obat yang
cepat (pada keadaan gawat); kadar obat yang diperoleh sesuai dengan yang
diharapkan karena tidak ada atau sedikit sekali dosis obat yang berkurang dan
dapat diberikan kepada penderita yang kesulitan menelan, misalnya karena
muntah atau koma. Kerugian bentuk sediaan parenteral adalah efek toksiknya
sulit dinetralkan bila terjadi kesalahan pemberian obat. Selain itu, harga
obatnya lebih mahal daripada obat oral karena harus dibat steril (Syamsuni,
2006).

5
Rute yang saat ini luas digunakan dalam terapi parenteral meliputi
intramuskular, intradermal, subkutan, dan intravena.

1. Injeksi Intramuskular
Obat-obat yang diberikan secara injeksi intramuskuler adalah obat-
obat yang menyebabkan iritasi jaringan lemak subkutan dengan onset
aksi obat relatif cepat dan durasi kerja obat cukup panjang. Obat yang
diinjeksikan ke dalam otot membentuk deposit obat yang diabsorpsi
secara gradual ke dalam pembuluh darah. Teknik injeksi intramuskuler
adalah teknik injeksi yang paling mudah dan paling aman, meski teknik
injeksi intramuskuler memerlukan otot dalam keadaan relaksasi sehingga
sangat penting pasien dalam keadaan rileks.
Lokasi injeksi
Panjang jarum yang digunakan biasanya 1-1.5 ml dengan ukuran
jarum 20-22. Tempat yang dipilih adalah tempat yang jauh dari arteri,
vena dan nervus, misalnya :
a. Regio Gluteus
Jika volume obat lebih dari 1 mL, biasanya dipilih daerah
gluteus karena otot-otot di daerah gluteus tebal sehingga
mengurangi rasa sakit dan kaya vaskularisasi sehingga absorpsi
lebih baik. Jika volume obat lebih dari 5 mL, maka dosis obat
dibagi 2 kali injeksi. Penentuan lokasi injeksi harus ditentukan
secara tepat untuk menghindarkan trauma dan kerusakan
6
ireversibel terhadap tulang, pembuluh darah besar dan nervus
sciaticus, yaitu di kuadran superior lateral gluteus. Posisi pasien
paling baik adalah berbaring tengkurap dengan regio gluteus
terpapar. Paling mudah dilakukan, namun angka terjadi
komplikasi paling tinggi. Hati-hati terhadap nervus sciaticus dan
arteri glutea superior.

Lokasi injeksi intramuskuler di regio gluteus (kuadran


superior lateral)
b. Regio superior lateral femur
Yang diinjeksi adalah m. vastus lateralis, salah satu otot
dari 4 otot dalam kelompok quadriceps femoris, berada di regio
superior lateral femur. Titik injeksi kurang lebih berada di antara
5 jari di atas lutut sampai 5 jari di bawah lipatan inguinal. Pada
orang dewasa, m. vastus lateralis terletak pada sepertiga tengah
paha bagian luar. Pada bayi atau orang tua, kadang-kadang kulit
di atasnya perlu ditarik atau sedikit dicubit untuk membantu
jarum mencapai kedalaman yang tepat. Meski di area ini tidak
ada pembuluh darah besar atau syaraf utama, kadang dapat terjadi
trauma pada nervus cutaneus femoralis lateralis superficialis.
Jangan melakukan injeksi terlalu dekat dengan lutut atau inguinal.
Pada orang dewasa, volume obat yang diijeksikan di area ini
sampai 2 mL (untuk bayi kurang lebih 1 mL). Merupakan area
injeksi intramuskuler pilihan pada bayi baru lahir (pada bayi baru
7
lahir jangan melakukan injeksi intramuskuler di gluteus, karena
otot-otot regio gluteus belum sempurna sehingga absorpsi obat
kurang baik dan risiko trauma nervus sciaticus mengakibatkan
paralisis ekstremitas bawah. Posisi pasien dalam keadaan duduk
atau berdiri dengan bagian kontralateral tubuh ditopang secara
stabil.

Lokasi injeksi intramuskuler di superior lateral femur


c. Regio femur bagian depan
Yang diinjeksi adalah m. rectus femoris. Pada orang
dewasa terletak pada regio femur 1/3me dial anterior. Pada bayi
atau orang tua, kadang-kadang kulit di atasnya perlu ditarik atau
sedikit dicubit untuk membantu jarum mencapai kedalaman yang
tepat. Pada orang dewasa, volume obat yang diijeksikan di area
ini sampai 2 mL (untuk bayi kurang lebih 1 mL). Lokasi ini
jarang digunakan, namun biasanya sangat penting untuk
melakukan auto-injection, misalnya pasien dengan riwayat alergi
berat biasanya menggunakan tempat ini untuk menyuntikkan
steroid injeksi yang mereka bawa ke mana-mana.
d. Regio deltoid
Pasien dalam posisi duduk. Lokasi injeksi biasanya di
pertengahan regio deltoid, 3 jari di bawah sendi bahu. Luas area
suntikan paling sempit dibandingkan regio yang lain. Indikasi
injeksi intramuskuler antara lain untuk menyuntikkan antibiotik,
analgetik, antivomitus dan sebagainya. Volume obat yang
diinjeksikan maksimal 1 mL. Organ penting yang mungkin
8
terkena adalah arteri brachialis atau nervus radialis. Hal ini
terjadi apabila kita menyuntik lebih jauh ke bawah daripada yang
seharusnya. Minta pasien untuk meletakkan tangannya di
pinggul (seperti gaya seorang peragawati), dengan demikian
tonus ototnya akan berada kondisi yang mudah untuk disuntik
dan dapat mengurangi nyeri.

Lokasi injeksi di regio deltoid


Prosedur injeksi intramuskuler
a. Regangkan kulit di atas area injeksi. Jarum akan lebih mudah
ditusukkan bila kulit teregang. Dengan teregangnya kulit, maka
secara mekanis akan membantu mengurangi sensitivitas ujung-
ujung saraf di permukaan kulit.
b. Spuit dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan
c. Jarum ditusukkan dengan cepat melalui kulit dan subkutan
sampai ke dalam otot dengan jarum tegak lurus terhadap
permukaan kulit, bevel jarum menghadap ke atas.
d. Setelah jarum berada dalam lapisan otot, lakukan aspirasi untuk
mengetahui apakah jarum mengenai pembuluh darah atau tidak.
e. Injeksikan obat dengan ibu jari tangan kanan mendorong plunger
perlahan-lahan, jari telunjuk dan jari tengah menjepit barrel tepat
di bawah kait plunger.
f. Setelah obat diinjeksikan seluruhnya, tarik jarum keluar dengan
arah yang sama dengan arah masuknya jarum dan masase area
9
injeksi secara sirkuler menggunakan kapas alkohol kurang lebih
5 detik.
g. Melakukan kontrol perdarahan.
h. Pasang plester di atas luka tusuk.
i. Lakukan observasi terhadap pasien beberapa saat setelah injeksi.
2. Injeksi Subkutan
Obat diinjeksikan ke dalam jaringan di bawah kulit (subkutis).
Obat yang diinjeksikan secara subkutan biasanya adalah obat yang
kecepatan absorpsinya dikehendaki lebih lambat dibandingkan injeksi
intramuskuler atau efeknya diharapkan bertahan lebih lama. Obat yang
diinjeksikan secara subkutan harus obat-obat yang dapat diabsorpsi
dengan sempurna supaya tidak menimbulkan iritasi jaringan lemak
subkutan. Indikasi injeksi subkutan antara lain untuk menyuntikkan
adrenalin pada shock anafilaktik, atau untuk obat-obat yang diharapkan
mempunyai efek sistemik lama, misalnya insulin pada penderita
diabetes.
Injeksi subkutan dapat dilakukan di hampir seluruh area tubuh,
tetapi tempat yang dipilih biasanya di sebelah lateral lengan bagian
atas (deltoid), di permukaan anterior paha (vastus lateralis) atau di
pantat (gluteus). Area deltoid dipilih bila volume obat yang
diinjeksikan sebanyak 0.5–1.0 mL atau kurang. Jika volume obat lebih
dari itu (sampai maksimal 3 mL) biasanya dipilih di area vastus
lateralis.

10
Area injeksi subkutan, kiri : area deltoid; kanan : area vastus lateralis,
Dibagian luar paha atas
Cara melakukan injeksi subkutan adalah :
a. Pilih area injeksi.
b. Sterilkan area injeksi dengan kapas alkohol 70% dengan gerakan
memutar dari pusat ke tepi. Buka tutup jarum dengan
menariknya lurus ke depan (supaya jarum tidak bengkok),
letakkan tutup jarum pada tray/ tempat yang datar.
c. Stabilkan area injeksi dengan mencubit kulit di sekitar tempat
injeksi dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri (jangan
menyentuh tempat injeksi).
d. Pegang spuit dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan,
bevel jarum menghadap ke atas.
e. Jarum ditusukkan menembus kulit, sampai jaringan lemak di
bawah kulit sampai kedalaman kurang lebih ¾ panjang jarum.
Arah jarum pada injeksi subkutan adalah membentuk sudut 450
terhadap permukaan kulit.
f. Lepaskan cubitan dengan tetap menstabilkan posisi spuit.
g. Aspirasi untuk mengetahui apakah ujung jarum masuk ke dalam
pembuluh darah atau tidak.
h. Injeksikan obat dengan menekan plunger dengan ibu jari
perlahan dan stabil, karena injeksi yang terlalu cepat akan
menimbulkan rasa nyeri.
i. Tarik jarum keluar tetap dengan sudut 450 terhadap permukaan
kulit. Letakkan kapas alkohol di atas bekas tusukan.
j. Berikan masase perlahan di atas area suntikan untuk membantu
merapatkan kembali jaringan bekas suntikan dan meratakan obat
sehingga lebih cepat diabsorpsi.

11
Injeksi subkutan, arah jarum membentuk sudut 45o terhadap
permukaan kulit
3. Injeksi Intradermal
Pada injeksi Intradermal, obat disuntikkan ke dalam lapisan
atas dari kulit. Teknik injeksi Intradermal sering merupakan bagian
dari prosedur diagnostik, misalnya tes tuberkulin, atau tes alergi (skin
test), di mana biasanya hanya disuntikkan sejumlah kecil obat sebelum
diberikan dalam dosis yang lebih besar dengan teknik lain (misal :
diinjeksikan 0,1 mL antibiotik secara Intradermal untuk skin test
sebelum diberikan dosis lebih besar secara intravena). Indikasi injeksi
intra dermal antara lain untuk vaksinasi BCG, skin test sebelum
menyuntikkan antibiotika dan injeksi alergen (contoh : injeksi lamprin
untuk desensitisasi).
Panjang jarum yang dipilih adalah ¼ - 1/2” dan spuit ukuran
26. Biasanya yang sesuai ukuran itu adalah spuit tuberkulin atau spuit
insulin. Tempat injeksi yang dipilih biasanya bagian medial/ volair dari
regio antebrachii.
Prosedur injeksi Intradermal :
a. Posisi pasien : pasien duduk dengan siku kanan difleksikan,
telapak tangan pada posisi supinasi, sehingga permukaan volair
regio antebrachii terekspos.
b. Tentukan area injeksi.
c. Lakukan sterilisasi area injeksi dengan kapas alkohol.

12
d. Fiksasi kulit : menggunakan ibu jari tangan kiri, regangkan kulit
area injeksi, tahan sampai bevel jarum dinsersikan.
e. Pegang spuit dengan tangan kanan, bevel jarum menghadap ke
atas. Jangan menempatkan ibu jari atau jari lain di bawah spuit
karena akan menyebabkan sudut jarum lebih dari 150 sehingga
ujung jarum di bawah dermis.

Posisi Jarum pada Injeksi Intradermal

f. Jarum ditusukkan membentuk sudut 150 terhadap permukaan


kulit, menelusuri epidermis. Tanda bahwa ujung jarum tetap
berada dalam dermis adalah terasa sedikit tahanan. Bila tidak
terasa adanya tahanan, berarti insersi terlalu dalam, tariklah
jarum sedikit ke arah luar.
g. Obat diinjeksikan, seharusnya muncul indurasi kulit, yang
menunjukkan bahwa obat berada di antara jaringan intradermal.
h. Setelah obat diinjeksikan seluruhnya, tarik jarum keluar dengan
arah yang sama dengan arah masuknya jarum.
i. Jika tidak terjadi indurasi, ulangi prosedur injeksi di sisi yang
lain.
j. Pasien diinstruksikan untuk tidak menggosok, menggaruk atau
mencuci/ membasahi area injeksi.
k. Tes tuberkulin : pasien diinstruksikan untuk kembali setelah 48-
72 jam untuk dilakukan evaluasi hasil tes tuberkulin.

13
l. Skin test/ allergy test : reaksi akan muncul dalam beberapa
menit, berupa kemerah-merahan pada kulit di sekitar tempat
injeksi.

Indurasi kulit setelah injeksi intraderma

Tanda bahwa injeksi intradermal berhasil adalah terasa sedikit


tahanan saat jarum dimasukkan dan menelusuri dermis serta terjadinya
indurasi kulit sesudahnya.
4. Injeksi Intravena
Injeksi intravena dbiasanya dilakukan terhadap pasien yang
dirawat di rumah sakit. Injeksi intravena dapat dilakukan secara :
a. Bolus : sejumlah kecil obat diinjeksikan sekaligus ke dalam
pembuluh darah menggunak an spuit perlahan-lahan.
b. Infus intermiten : sejumlah kecil obat dimasukkan ke dalam vena
melalui cairan infus dalam waktu tertentu, misalnya Digoksin
dilarutkan dalam 100 mL cairan infus yang diberikan secara
intermiten).
c. Infus kontinyu : memasukkan cairan infus atau obat dalam
jumlah cukup besar yang dilarutkan dalam cairan infus dan
diberikan dengan tetesan kontinyu. Jenis obat yang diberikan
dengan injeksi intravena adalah antibiotik, cairan intravena,
diuretik, antihistamin, antiemetik, kemoterapi, darah dan produk
darah. Untuk injeksi bolus, vena yang dipilih antara lain vena
mediana cubitii dengan alasan lokasi superficial, terfiksir dan
14
mudah dimunculkan. Untuk infus intermiten dan kontinyu
dipilih dipilih vena yang lurus (menetap) dan paling distal atau
dimasukkan melalui jalur intravena yang sudah terpasang.
Prosedur injeksi intravena
a. Tidak boleh ada gelembung udara di dalam spuit. Partikel obat
benar-benar harus terlarut sempurna.
b. Melakukan pemasangan torniket 2–3 inchi di atas vena tempat
injeksi akan dilakukan
c. Melakukan desinfeksi lokasi pungsi secara sirkuler, dari dalam
ke arah luar dengan alkohol 70%, biarkan mengering.
d. Cara melakukan injeksi intravena :
1) Spuit dipegang dengan tangan kanan, bevel jarum
menghadap ke atas. Jarum ditusukkan dengan sudut 150 –
300 terhadap permukaan kulit ke arah proksimal sehingga
obat yang disuntikkan tidak akan mengakibatkan turbulensi
ataupun pengkristalan di lokasi suntikan.
2) Lakukan aspirasi percobaan.
a) Bila tidak ada darah, berarti ujung jarum tidak masuk
ke dalam pembuluh darah. Anda boleh melakukan
probing dan mencari venanya, selama tidak terjadi
hematom. Pendapat yang lain menganjurkan untuk
mencabut jarum dan mengulang prosedur.
b) Bila darah mengalir masuk ke dalam spuit, berwarna
merah terang, sedikit berbuih, dan memiliki tekanan,
berarti tusukan terlalu dalam dan ujung jarum masuk
ke dalam lumen arteri. Segera tarik jarum dan
langsung lakukan penekanan di bekas lokasi injeksi
tadi.
c) Bila darah yang mengalir masuk ke dalam spuit
berwarna merah gelap, tidak berbuih dan tidak
15
memiliki tekanan, berarti ujung jarum benar telah
berada di dalam vena. Lanjutkan dengan langkah
berikutnya.
3) Setelah terlihat darah memasuki spuit, lepaskan torniket
dengan hati-hati (supaya tidak menggeser ujung jarum
dalam vena) dan tekan plunger dengan sangat perlahan
sehingga isi spuit memasuki pembuluh darah.
4) Setelah semua obat masuk ke dalam pembuluh darah
pasien, tarik jarum keluar sesuai dengan arah masuknya.
5) Tekan lokasi tusukan dengan kapas kering sampai tidak
lagi mengeluarkan darah, kemudian pasang plester.
e. Bila injeksi dimasukkan melalui jalur intravena yang sudah
terpasang :
1) Tidak perlu memasang torniket.
2) Lakukan desinfeksi pada karet infus yang dengan kapas
alkohol 70%, tunggu mengering.
3) Injeksikan obat melalui jalur intravena dengan sangat
perlahan.
4) Setelah semua obat diinjeksikan, tarik jarum keluar. Lihat
apakah terjadi kebocoran pada karet jalur intravena.
5) Lakukan flushing, dengan cara membuka pengatur tetesan
infus selama 30-60 detik untuk membilas selang jalur
intravena dari obat.
6) Injeksi intravena harus dilakukan dengan sangat perlahan,
yaitu minimal dalam 50-70 detik, supaya kadar obat dalam
darah tidak meninggi terlalu cepat.
7) Karena pada teknik injeksi intravena obat demikian cepat
tersebar ke se luruh tubuh, harus dilakukan observasi
pasca injeksi terhadap pasien (Hermasari, dkk, 2019).

16
Gambar pemberian obat melalui intravena

B. Pembuluh Darah yang Melalui Rute Pemberian Parenteral


Pembuluh darah yang melalui rute parenteral :
1. Pada bagian dermis, lebih tepatnya Stratum papilaris Sebagian besar
mengandung pembuluh-pembuluh kapiler yang memberi nutrisi pada epitel
di atasnya.
2. Pembuluh darah Arteri.
Fungsi dari arteri adalah mengalirkankan darah dengan tekanan tinggi ke
jaringan. Oleh sebab itu, arteri mempunyai dinding pembuluh darah yang
kuat dan aliran yang kuat.
3. Pembuluh darah Kapiler.
Kapiler merupakan tempat pertukaran oksigen dan nutrisi ke jaringan dan
menerima produk metabolisme.
4. Pembuluh darah Vena.
Fungsi utama pembuluh darah vena adalah membawa darah yang kaya
karbondioksida (CO2) kembali ke jantung. Vena Cutanea yang berada di
bawah kulit, yang biasanya ditusuk saat seseorang diambil darah untuk
melakukan cek gula darah, kolesterol dan lain-lain, Deep Vein yang
terletak berdekatan dengan arteri dan tidak tampak dengan mata telanjang
jika dilihat dari luar, dan Venula yang berukuran terkecil dan bertanggung
jawab terhadap distribusi darah ke kapiler.

17
C. Proses biofarmasetika liberasi, absorpsi, distribusi, metabolisme dan
eksresi sediaan Parenteral
1. Absorpsi obat parenteral
Obat yang diberikan secara ekstravaskular (i.m, s.c) akan
mengalami absorpsi dan obat yang diberikan secara intravaskular (i.v)
tidak mengalami absorpsi. Molekul obat diabsorpsi dalam bentuk bebas
(tidak terikat dengan zat lain) dan utuh ke dalam darah atau peredaran
sistemik.
Intramuscular dan Subcutan, absorbsi pada kedua injeksi ini akan
lebih cepat jika diberikan dalam bentuk cairan. Kecepatan absorbsinya
tergantung pada vaskularisasi di wilayah tubuh yang diinjeksi. Faktor
lainnya yang mempengaruhi adalah konsentrasi obat, derajat ionisasi dan
bentuk lipid nonion, serta wilayah injeksi.
2. Distribusi obat parenteral
Pada pemberian secara i.v molekul obat langsung masuk ke dalam
peredaran darah. Bila pemberian secara i.m atau s.c, molekul obat
bercampur dengan cairan tubuh atau jaringan, lalu masuk ke dalam
peredaran darah dan kemudian didistribusikan ke jaringan tempat obat
bekerja.
Tubuh manusia terdiri atas berbagai struktur jaringan dengan
perbedaan karakteristik lipofilik. Perbedaan sifat dan struktur jaringan
menyebabkan konsentrasi obat tidak sama dalam jaringan tubuh. Maka,
karakteristik distribusi obat, erat kaitannya dengan respon farmakologi.
3. Metabolisme obat parenteral
Proses metabolisme obat di dalam tubuh melibatkan proses
biotransformasi obat secara kimiawi, hal ini terjadi dalam lingkungan
biologis. Sebagian besar reaksi metabolisme merubah obat menjadi bentuk
metabolit yang lebih larut dalam air daan siap dieksresikan melalui ginjal.
Tempat utama metabolisme obat parenteral adalah di hati, namun dapat
terjadi di ginjal dan jaringan otot. Faktor- faktor yang mempengaruhi
18
kecepatan metabolisme obat yaitu faktor genetik, umur, lingkungan dan
penyakit yang diderita.
4. Eksresi Obat Parenteral
Eksresi obat dan metabolitnya merupakan tahapan terakhir dari
aktivitas serta keberadaan obat dalam tubuh. Molekul obat yang masuk ke
dalam tubuh dikeluarkan melalui beberapa saluran. Obat akan
diekskresikan dari tubuh bersama dengan berbagai cairan tubuh melalui
beberapa perjalanan. Ginjal merupakan organ utama untuk mengeliminasi
obat bersama urin. Organ lain yang dapat mengeksresikan obat yaitu :
empedu, paru, air ludah, ASI dan kulit.
D. Efek terapeutik pemberian Parenteral
Penggunaan parenteral digunakan untuk obat yang absorbsinya buruk
melalui saluran cerna dan untuk obat seperti insulin yang tidak stabil dalam
saluran cerna. Pemberian parenteral juga digunakan untuk pengobatan pasien
yang tidak sadar dan dalam keadaan yang memerlukan kerja obat yang cepat.
Pemberian parenteral memberikan kontrol paling baik terhadap dosis yang
sesungguhnya dimasukkan kedalam tubuh.
1. Intravena (IV)
Rute ini memberikan suatu efek yang cepat dan kontrol yang baik sekali
atas kadar obat dalam sirkulasi.
2. Intramuskular (IM)
obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat berupa larutan dalam
air atau preparat depo khusus sering berpa suspensi obat dalam vehikulum
non aqua seperti etilenglikol. Absorbsi obat dalam larutan cepat sedangkan
absorbsi preparat-preparat depo berlangsung lambat. Setelah vehikulum
berdifusi keluar dari otot, obat tersebut mengendap pada tempat suntikan.
Kemudian obat melarut perlahan-lahan memberikan suatu dosis sedikit
demi sedikit untuk waktu yang lebih lama dengan efek terapetik yang
panjang.

19
3. Subkutan
Rute subkutan digunakan untuk banyak obat protein karena obat tersebut
akan hancur dalam saluran pencernaan jika mereka diambil secara oral.
Obat-obatan tertentu (seperti progestin yang digunakan untuk
pengendalian kelahiran hormonal) dapat diberikan dengan memasukkan
kapsul plastik di bawah kulit (implantasi). Meskipun rute ini jarang
digunakan, keunggulan utamanya adalah untuk memberikan efek terapi
jangka panjang (misalnya, etonogestrel yang ditanamkan untuk kontrasepsi
dapat bertahan hingga 3 tahun).
E. Komponen karakteristik cairan Sediaan parenteral
Suatu sediaan injeksi harus memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan, sehingga aman bagi pemakainya tidak menyebabkan iritasi jaringan
atau efek toksis. Persyaratan lain yang juga harus ada seperti harus jernih yang
berarti tidak ada partikel padat, kecuali yang berbentuk suspensi. Sediaan tidak
berwarna (kecuali bila obatnya memang berwarna), sediaan juga harus steril.
Bila pemberian dalam jumlah besar maka tidak boleh mengandung pirogen,
sedapat mungkin isotonus dengan cairan tubuh agar tidak terasa sakit bila akan
disuntikkan. Isotonus adalah suatu larutan yang mempunyai tekanan osmose
yang sama dengan darah dan cairan-cairan tubuh seperti darah, air mata, cairan
lumbal sama dengan tekanan osmose larutan NaCl 0,9% dan sedapat mungkin
isohidris yang dimaksudkan agar bila disuntikkan ke badan tidak terasa sakit
dan penyerapannya obat dapat optimal. Isohidris adalah pH larutan sediaan
injeksi sama dengan darah dan cairan-cairan tubuh lain seperti darah, air mata,
cairan lumbal (Daswiyah. 2011).
Sediaan parenteral biasanya mengandung bahan tambahan, seperti
untuk membuat larutan isotonik sehingga perlu diatur pH dengan
meningkatkan kelarutan untuk mencegah terurainya zat aktif atau pengawet,
tetapi tidak mempengaruhi efek sediaan pada konsentrasi tertentu atau tidak
menyebabkan toksisitas atau tidak menyebabkan iritasi lokal. Wadah sediaan
parenteral dibuat dari bahan yang transparan untuk mempermudah pengamatan
20
terhadap isi, kecuali untuk implan dan kondisi dan hal lain. Wadah sediaan
parenteral harus memenuhi persyaratan wadah. Pada prinsipnya, sistem
pewadahan sediaan parenteral dalam kemasan kaca atau bahan lain seperti
plastik, atau spuit. Wadah ditutup dengan cara peleburan atau filling yang
sesuai sehingga mencegah pencemaran atau kehilangan isi. Penutup dari karet
dapat ditembus oleh jarum suntik dan pada saat penarikan jarum, segera
menutup kembali sehingga mencegah pencemaran. Kategori sediaan pareteral
yaitu injeksi, infuse, larutan pekat untuk injeksi atau infuse, serbuk untuk
injeksi atau infuse, gel untuk injeksi, implant (Lazuardi, 2019).
F. Faktor yang mempengerahui liberasi, distribusi dan absorpsi sediaan
parenteral
1. Faktor Fisiologi yang dapat mempengaruhi absorbsi zat aktif sediaan
parenteral untuk tersedia pada sirkulasi darah (bioavailabilitas):
a. Jumlah dan kecepatan sistem vaskularisasi, serta permeabilitas kapiler
darah
b. Aliran Darah dari Bagian Tubuh atau Area yang diinjeksikan.
Aliran darah merupakan suatu pertimbangan penting dalam menentukan
seberapa cepat dan seberapa banyak obat mencapai reseptor. Pada
kondisi normal, aliran darah yang mencapai otot terbatas. Selama
olahraga peningkatan aliran darah dapat mengubah fraksi obat yang
mencapai jaringan otot. Pasien diabetes yang menerima injeksi insulin
intramuscular dapat mengalami pengaruh perubahan mula kerja obat
selama berolahraga. Pada keadaan normal, cadangan darah tubuh
sebagian besar berada dalam vena dan sinus dalam abdomen. Pada
kecelakaan atau saat darah hilang, terjadi kontriksi vena besar
mengarahkan lebih banyak darah ke daerah yang memerlukan, dan oleh
karena itu mempengaruhi distribusi obat. Jaringan yang menerima
aliran darah tinggi berkesetimbangan dengan cepat dengan obat dalam
plasma. Akumulasi obat ke dalam jaringan bergantung pada aliran
darah dan afinitas obat ke jaringan. Pada umumnya, ambilan suatu obat
21
ke dalam jaringan adalah reversible. Konsetrasi obat dalam suatu
jaringan dengan kapasitas rendah berkesetimbangan dengan cepat
dengan konsetrasi obat dalam plasma dan kemudian menurun secara
cepat saat obat dieliminasi dari tubuh.
c. Kepadatan dan kondisi jaringan tempat injeksi.
Laju difusi zat aktif tergantung pada kepadatan jaringan di tempat
penyuntikan. Hal ini sangat heterogen dan sulit untuk ditentukan,
kadang-kadang hal tersebut dapat dikurangi dengan menambahkan
suatu hyaluronidase, yaitu suatu enzim penghidrolisis senyawa dasar ke
dalam larutan injeksi. Penyerapan zat aktif yang disuntikkan dalam
bentuk larutan-air hanya terjadi secara difusi molekuler di dalam
elemen konjugatif dan jaringan interstisial yang dimulai dari tahap
pelepasan zat aktif dari pembawa, yang dalam hal tertentu tahap
tersebut ditiadakan oleh bahan pembawa yang diberikan secara
suntikan, faktor fisiologik bukan satu-satunya faktor yang
mempengaruhi proses penyerapan pelepasan zat aktif dari sediaan,
namun dapat menjadi faktor yang penting
d. Suhu tubuh
e. Senyawa vasoaktif.
Senyawa vasodilator dapat meningkatkan penyerapan zat aktif tersebut
oleh pembuluh darah, sedangkan vasokonstriktor akan menghambat
penyerapannya. Pada odontology, pembiusan setempat diberikan
bersama dengan nor-adrenalin untuk membatasi penyerapan dan
memperpanjang efeknya pada tempat penyuntikan. Sebaliknya
vasodilator metakolin yang efeknya terlihat paling lambat 2 menit
setelah penyuntikan, ternyata dapat meningkatkan penyerapan senyawa
yang diberikan bersamanya.
f. Perbedaan Spesies dan Galur.
Dalam proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada
spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi
22
kadang-kadang ada perbedaan yang cukup besar pada reaksi
metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan galur
terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan yaitu pada tipe
reaksi metabolik atau perbedaan kualitatif dan pada kecepatan
metabolismenya atau perbedaan kuantitatif
g. Faktor Genetik.
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-
kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa
faktor genetik atau keturunan berperan terhadap kecepatan metabolisme
obat.
h. Perbedaan Jenis Kelamin.
Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis
kelamin terhadap kecepatan metabolisme obat. Pada manusia baru
sedikit yang diketahui tentang adanya pengaruh perbedaan jenis
kelamin terhadap metabolisme obat. Contoh: nikotin dan asetosal
dimetabolisme secara berbeda pada pria dan wanita
i. Faktor Patologi.
Menyangkut jenis dan kondisi penyakit. Contohnya pada penderita
stroke, pemberian fenobarbital bersama dengan warfarin secara agonis
akan mengurangi efek anti koagulasinya (sehingga sumbatan pembuluh
darah dapat dibuka). Demikian pula simetidin (antagonis reseptor H2)
akan menghambat aktivitas sitokrom P-450 dalam memetabolisme
obat-obat lain.
j. Faktor Makanan.
Adanya konsumsi alkohol, rokok, dan protein. Makanan panggang
arang dan sayur mayur cruciferous diketahui menginduksi enzim
CYP1A, sedang jus buah anggur diketahui menghambat metabolisme
oleh CYP3A terhadap substrat obat yang diberikan secara bersamaan.

23
k. Induksi Enzim.
Banyak obat mampu menaikkan kapasitas metabolismenya sendiri
dengan induksi enzim (menaikkan kapasitas biosintesis enzim).
Induktor dapat dibedakan menjadi dua menurut enzim yang di
induksinya,antara lain jenis fenobarbital dan jenis metilkolantrena.
Untuk terapi dengan obat, induktor enzim memberi akibat berikut:
1) Pada pengobatan jangka panjang dengan induktor enzim terjadi
penurunan konsentrasi bahan obat yang dapat mencapai tingkat
konsentrasi dalam plasma pada awal pengobatan dengan dosis
tertentu.
2) Kadar bahan berkhasiat tubuh sendiri dalam plasma dapat menurun
sampai dibawah angka normal.
3) Pada pemberian bersama dengan obat lain terdapat banyak interaksi
obat yang kadang-kadang berbahaya. Selama pemberian induktor
enzim, konsentrasi obat kedua dalam darah dapat juga menurun
sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk mendapatkan
efek yang sama (Ernst Mutschler,1991).
l. Inhibisi enzim
Inhibisi (penghambatan) enzim bisa menyebabkan interaksi obat yang
tidak diharapkan. Interaksi ini cenderung terjadi lebih cepat daripada
yang melibatkan induksi enzim karena interaksi ini terjadi setelah
obat yang dihambat mencapai konsentrasi yang cukup tinggi untuk
berkompetisi dengan obat yang dipengaruhi
2. Faktor Fisiko-kimia yang dapat mempengaruhi absorbsi zat
aktif sediaan parenteral untuk tersedia pada sirkulasi darah
(bioavailabilitas):
a. Kelarutan.
Profil pH-kelarutan merupakan suatu gambaran dari kelarutan obat
pada berbagai pH fisiologis. Larutan intravena sulit untuk disiapkan
untuk obat-obat dengan kelarutan aqueous yang rendah Kelarutan dapat
24
diperbaiki dengan penambahan suatu bahan tambahan yang bersifat
asam atau basa. Sebagai contoh, kelarutan aspirin dinaikkan dengan
penambahan dapar alkali.
b. Ukuran Partikel
Melalui pengecilan ukuran partikel, luas permukaan efektif suatu obat
meningkat sangat besar. Oleh karena itu, pelarutan terjadi pada
permukaan solut, makin besar luas permukaan, makin cepat laju
pelarutan obat, bentuk geometrik partikel juga mempengaruhi luas
permukaan, dan selama proses pelarutan, partikel solut biasanya
dianggap mempertahankan bentuk geometriknya. Ukuran partikel dan
distribusi ukuran partikel penting untuk obat-obat yang mempunyai
kelarutan rendah dalam air. Beberapa obat sangat aktif secara intravena
tetapi sangat tidak efektif bila diberikan secara oral, disebabkan oleh
absorbsi yang sangat kecil. Ukuran partikel yang makin kecil
mengakibatkan kenaikan keseluruhan luas permukaan partikel,
memperbesar penetrasi air ke dalam partikel, dan menaikkan laju
pelarutan.
c. Pengendapan zat aktif pada tempat penyuntikan.
Molekul-molekul tertentu yang diberikan dalam larutan air atau larutan
campuran air-pelarut organik akan mengendap pada tempat
penyuntikkan karena pengaruh perbedaan pH antara pembawa dan
cairan biologik, atau karena pengaruh pengenceran sediaan oleh cairan
interstisial. Pengendapan juga dapat memperpanjang aksi zat aktif.
Teknik ini digunakan untuk pembiusan setempat, namun cara ini
tampaknya telah mulai ditinggalkan karena ukuran partikelnya yang
diperoleh setelah pengendapan tidak dapat dikendalikan atau campuran
pelarut organik sering menyebabkan terjadinya peradangan.
d. Difusi zat aktif
Difusi zat aktif, dipengaruhi oleh:
1) Gradien konsentrasi
25
2) Koefisien Partisi
3) Derajat ionisasi, makin kecil makin mudah diabsorbsi
4) Ikatan dengan senyawa makromolekul/Protein
5) Osmolaritas
6) Volume injeksi
7) Kecepatan difusi berbanding terbalik dengan volume injeksi (untuk
dosis yang sama/tetap)
G. Evaluasi biofarmasetik dalam sediaan parenteral
Tahapan Uji:
1. Menentukan waktu aksi yang diharapkan
2. Memilih pembawa yang dapat memberikan hasil yang sesuai harapan
3. Evaluasi in vivo: penentuan kadar obat di dalam darah hewan dan
manusia.
4. Evaluasi Sediaan Parenteral
a. Potensi/Kadar
Penentuan kadar dilakukan dengan pektoskopi UV, HPLC,
Spektroskopi IR.
b. Ph
Adanya perubahan pH mengindikasikan telah terjadi penguraian obat
atau interaksi obat dengan wadah.
c. Warna
Perubahan warna umumnya terjadi pada sediaan parenteral yang
disimpan pada suhu tinggi (> 40 0C). Suhu tinggi menyebabkan
penguraian.
d. Kekeruhan
Alat yang dipakai adalah Tyndall, karena larutan dapat menyerap dan
memantulkan sinar. Idealnya larutan parenteral dapat melewatkan 92-
97% pada waktu dibuat dan tidak turun menjadi 70% setelah 3-5
tahun.Terjadinya kekeruhan dapat disebabkan oleh : benda asing,
terjadinya pengendapan atau pertumbuhan mikroorganisme.
26
e. Bau Pemeriksaan bau dilakukan secara periodik terutama untuk
sediaan yang mengandung sulfur atau anti oksidan.
f. Toksisistas
Lakukan uji LD 50 atau LD 0 pada sediaan parenteral selama
penyimpanan.
g. Evaluasi Wadah
h. Keseragaman bobot
i. Keseragaman volume

27
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang ada pada makalah ini, maka adapun
kesimpulan yang dapat diambil yaitu :
1. Sediaan parenteral merupakan salah satu tipe sediaan steril yang dapat
diberikan melalui beberapa rute pemberian yaitu intravena, intraatrial,
intramuskuler, subkutan, intradermal, dan lainnya. Sediaan ini sangat
membantu pada saat pasien dioperasi, diinfus, disuntik, mempunyai luka
terbuka yang harus diobati dan sebagainya.
2. Rute yang saat ini luas digunakan dalam terapi parenteral meliputi
intramuskular, intradermal, subkutan, dan intravena
3. Obat yang diberikan secara ekstravaskular (i.m, s.c) akan mengalami
absorpsi dan obat yang diberikan secara intravaskular (i.v) tidak
mengalami absorpsi
4. Faktor yang mempengaruhi proses biofarmasetik sediaan parenteral
terbagi 2 yaitu Faktor Fisiologi dan faktor fisika-kimia.
B. Saran
Adapun saran yaitu agar kiranya para pembaca dapat memberikan
masukan megenai makalah ini agar pembuatan makalah berikutnya kami
dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.

28
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah Rahma A, Dkk. 2017. Biofarmasetika Sediaan Parenteral. Universitas


Pancasila Jakarta

Daswiyah, Yuli. 2011. Pengaruh Metode Sterilisasi Terhadap Stabilitas Vitamin


C Dalam Sediaan Injeksi. Depok : Universitas Indonesia.

Hermasari, Bulan Kakanita Dian Ariningrum, Dkk. 2019. Buku Pedoman


Keterampilan Klinis Teknik Injeksi Dan Pungsi. Surakarta : Universitas
Sebelas Maret
Kalangi, Sonny. Histofisiologi kulit. Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi : Manado.

Lazuardi, Mochamad. 2019. Bagian Khusus Ilmu Farmasi Veteriner. Surabaya :


Universitas Airlangga.

Novianti Nita dan Vitrinurilawaty, 2017. Farmakologi. Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia.

Rizqah, dkk. 2015. Sediaan Parenteral. STIFA-Muhammadiyah Tangerang :


Tangerang.

Syamsuni. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta : EGC.

29

Anda mungkin juga menyukai