OLEH:
KELOMPOK IV/A4A
DENPASAR
2021
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu
Puji syukur penulis haturkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan
Yang Maha Esa), karena atas rahmat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Study Biofarmasetika Sediaan Obat Melalui Parenteral”.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok dalam menempuh
pembelajaran mata kuliah Biofarmasetika dan Farmakokinetika pada semester Genap
tahun akademik 2021.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih sederhana, baik dari segi isi maupun
tata penulisannya. Segala kritik dan saran-saran dari para pembaca sangat diharapkan
demi sempurnanya tulisan ini dan karya penulis berikutnya. Akhirnya penulis berharap,
semoga karya tulis ini ada manfaatnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………... 1
iii
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………27
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………....27
3.2 Saran……………………………………………………………………………..29
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah parenteral berasal dan kata Yunani para dan enteron yang
berarti disanping atau lain dari usus. Sediaan ini diberikan dengan cara
menyuntikkan obat di bawah alau melalui satu atau lebih lapisan kulit atau
membran mukosa. Karena rute ini disekitar daerah pertahanan yang sangat
linggi dari tubuh, yaitu kulit dan sclapue membran mukosa. maka kemurnian
yang sangat tinggi dari scdiaan harus diperhatikan. Yang dimaksud dengan
kemurnian yang tinggi itu antara lain harus steril.
1
diusahakan tidak mengandung bahan pirogenik. Bebas dari mikroba (steril)
dapat dilakukan dengan cara sterilisasi dengan pemanasan pada wadah akhir,
namun harus diingat bahwa ada bahan yang tidak tahan terhadap pemanasan.
Untuk itu dapat dilakukan teknik aseptic.
2
2. Keuntungan dan kekurangan sediaan obat melalui parenteral ?
3. Rute/jalur penghantaran obat melalui parenteral?
4. Factor factor yang mempengaruhi proses penyerapan obat
parenteral?
5. Strategi untuk meningkatkan bioavailabilitas obat melalui
parenteral?
6. Evaluasi biofarmasetika sediaan obat yang diberikan melalui
parenteral?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mampu memahami anatomi dan fisiologi yang berperan
dalam penyerapan sediaan parenteral
2. Mahasiswa mampu mengetahui keuntungan dan kerugiaan
pemberian sediaan obat melalui parenteral
3. Mahasiswa mampu mengetahui rute perjalanan obat melalui
parenteral
4. Mahasiswa mampu mengetahui faktor – faktor yang dapat
mempenaruhi proses penghantaran obat melalui parenteral
5. Mahasiswa mampu menjelaskan strategi meningkatkan
bioavailabilitas obat melalui parenteral
6. Mahasiswa mampu menjelaskan evaluasi biofarmasetika sediaan
obat yang diberikan melalui parenteral
3
BAB II
PEMBAHASAN
Kulit terdiri dari tiga lapisan yang berbeda, lapisan luar adalah
epidermis yang merupakan lapisan epitel dan lapisan dalam yaitu dermis dan
hypodermis yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat:
a) Epidermis
4
terdapat pada telapak 6 tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya
sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit. Epidermis terdiri atas lima lapisan
(dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) yaitu stratum
korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum dan
stratum basale (stratum Germinatum) (Perdanakusuma, 2007).
b) Dermis
c) Hipodermis
5
2. Sediaan padat kering atau cairan pekat tidak mengandung dapar,
pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh
setelah penambahan pelarut yang sesuai memenuhi persyaratan
injeksi, dan dapat dibedakan dari nama bentuknya Steril.
Contoh Inj. Dehidrostreptomisin Sulfat Steril.
3. Sediaan seperti tertera pada poin 2 tetapi mengandung satu atau lebih
dapar, pengencer atau bahan tambahan lain, dan dapat dibedakan dari
nama bentuknya, untuk Injeksi.
Contoh Inj. Penicillin Oil untuk Injeksi.
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan
tidak disuntikan secara intravena atau ke dalam saluran spinal, dan
dapat dibedakan dari nama bentuknya, Suspensi. Steril.
Contoh.Inj. Suspensi Hidrokortison Asetat Steril.
5. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai
membentuk larutan yang memenuhi semua persyaratan untuk
suspensi steril setelah penambahan bahan pembawa yang sesuai dan
dapat dibedakan dari nama bentuknya. Steril untuk Suspensi.
Contoh Inj. Prokain Penisilin G steril untuk suspense
Sedangkan secara umum sediaan parental dibagi menjadi 2 macam yaitu :
6
d. Produk radiofarmasi untuk deteksi dan diagnosis.
e. Produk gigi seperti anestetik lokal.
f. Produk bioteknologi.
g. Produk liposom dan lipid.
2. Sediaan Parenteral Volume Besar
Sediaan cair steril yang mengandung obat yang dikemas dalam
wadah 100 ml atau lebih dan ditujukan untuk manusia. Umumnya
dengan tujuan penggunaan sebagai berikut:
Steril
Bebas Pirogen
Sediaan Parenteral Volume Besar harus steril dan bebas pirogen
karena :
7
f) Dikemas dalam wadah dosis tunggal
g) Tidak mengadung bahan baktersid karena volume cairan
terlalu besar.
h) Isotonis dan isohidris
8
2.4.1 Rute Intravena
Pada rute ini obat diinjeksikan langsung ke dalam pembuluh
vena (venous vascular) dan masuk ke aliran darah. Penyuntikan
dilakukan dengan menusukkan syringe pada posisi sudut 45˚ dari
permukaan kulit. Pemberian obat secara intravena menghasilkan kerja
obat yang cepat (aksi segera), tepat, dan akurat dibandingkan dengan
cara-cara pemberian lain. Dikarenakan absorpsi obat tidak menjadi
masalah, maka kadar darah optimal dapat dicapai dengan kecepatan
dan kesegeraan yang tidak mungkin didapat dengan cara-cara lain.
Pada kondisi gawat atau darurat, pemberian obat lewat intravena dapat
menjadi cara yang menyelamatkan hidup karena penempatan obat
langsung ke sirkulasi darah dan kerja obat yang cepat terjadi, yakni
berkisar antara 30-60 detik saja. Namun, pada keadaan timbulnya
reaksi-reaksi yang merugikan akibat obat, maka obat tidak dapat
dengan mudah dikeluarkan atau dinetralkan dari sirkulasi seperti yang
dapat dilakukan untuk obat bila diberikan per-oral, yaitu misalnya
9
dengan cara dimuntahkan. Ini merupakan kekurangan dari pemberian
obat lewat intravena.
Rute intravena dapat diberikan dengan cara sebagai berikut :
a. Secara bolus, injeksi diberikan secara langsung dengan kadar
tinggi dan pada waktu yang pendek.
b. Secara intermitant infus, injeksi i.v diberikan melalui infus
dengan periode pemberian 20 menit sampai 4 jam dalam
sehari.
c. Secara continous infus, injeksi i.v melalui infus dengan
waktu pemberian lebih dari 6 jam sampai 24 jam.
Walaupun hampir semua vena permukaan cocok untuk
penusukan vena, tetapi di daerah antecubital (di bagian depan siku)
biasanya dipilih untuk suntikan intravena langsung. Hal tersebut
karena vena pada daerah tersebut besar, dipermukaan, mudah dilihat,
dan mudah ditusuk. Tindakan-tindakan aseptik yang ketat harus
dilakukan setiap waktu untuk menghindarkan risiko infeksi. Tidak
hanya larutan obat suntik yang digunakan yang harus steril, tetapi juga
jarum dan alat suntuk yang digunakan harus steril serta titik di mana
jarum masuk harus dibersihkan untuk mengurangi kemungkinan
terbawanya bakteri dari kulit ke darah lewat jarum.
10
tersangkut di pembuluh darah, menghalangi dan mengakibatkan
hambatan atau sumbatan yang disebut sebagai emboli. Selain itu,
pemberian obat dengan konsentrasi tinggi atau sangat pekat perlu
diperhatikan karena juga beresiko menyebabkan emboli.
11
bayi daerah gluteal (bokong) sempit dan komponen utamanya adalah
lemak bukan otot. Otot di daerah tersebut tidak berkembang dengan
baik. Penyuntikan di daerah ini berbahaya sekali karena dekat dengan
saraf sciatic, terutama bila anak itu menolak disuntik dan menggeliat-
geliat atau meronta-ronta. Oleh karena itu, pada bayi dan anak kecil
otot deltoid di lengan atas otot midlateral di paha lebih disukai sebagai
tempat penyuntikan intramuskular. Suntikan lebih baik diberikan di
bagian atas/bawah deltoid karena lebih jauh dari saraf radial. Deltoid
juga digunakan pada orang dewasa tetapi lebih terasa nyeri
dibandingkan bila disuntikkan di daerah gluteal.
12
diperlambat. Absorpsi obat juga dapat dipercepat dengan penambahan
hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakharida dan
matriks jaringan yang menyebabkan penyebaran dipercepat.
13
intraarteri adalah untuk memasukkan material radio opak (bahan
kontras) untuk tujuan diagnostik, seperti untuk arteriogram.
Beberapa obat neoplastik seperti metrotreksat diberikan melalui rute
ini. Selain itu, kemungkinan terjadi spasme arteri yang selanjutnya
dapat diikuti oleh gangrene merupakan bagian risiko dari
penyuntikan dengan cara ini.
14
intradermal kecil, biasanya kurang dari 0,5 ml. Sudut pemberian
injeksi intradermal adalah 10 – 15 derajat.
Keuntungan :
15
2.4.6 Rute Lain
16
lambatnya obat mencapai kadar MEC, yang merupakan onset atau
mula kerja obat dan waktu obat (tmax) mencapai kadar maksimum
(puncak) dalam darah (Cmax). Selanjutnya obat berangsur-angsur
akan dieliminasi dengan cara diekskresikan atau biotransformasi
atau keduanya. Lama kerja obat (durasi) atau obat memberikan
respon terapi yang dikehendaki adalah kadar obat tersebut dalam
darah berada di atas MEC. Untuk menjamin efektivitas klinik, maka
perlu dipertahankan konsentrasi obat dalam darah tetap dalam dosis
yang cukup, misalnya pemberian antibiotika, sitostatika, hormon dan
sebagainya. Oleh karena itu dalam praktek sehari-hari ditemukan
pemberian berulang misalnya 2 kali atau 3 kali sehari.
Faktor Fisiologi yang dapat mempengaruhi absorbsi zat aktif sediaan
parenteral untuk tersedia pada sirkulasi darah (bioavailabilitas):
1. Jumlah dan kecepatan sistem vaskularisasi, serta permeabilitas
kapiler darah
2. Aliran darah dari bagian tubuh atau area yang diinjeksikan Aliran
darah merupakan suatu pertimbangan penting dalam menentukan
seberapa cepat dan seberapa banyak obat mencapai reseptor.
Pada kondisi normal, aliran darah yang mencapai otot terbatas.
Selama olahraga peningkatan aliran darah dapat mengubah fraksi
obat yang mencapai jaringan otot. Pasien diabetes yang
menerima injeksi insulin intramuscular dapat mengalami
pengaruh perubahan mula kerja obat selama berolahraga. Pada
keadaan normal, cadangan darah tubuh sebagian besar berada
dalam vena dan sinus dalam abdomen. Pada kecelakaan atau saat
darah hilang, terjadi kontriksi vena besar mengarahkan lebih
banyak darah ke daerah yang memerlukan, dan oleh karena itu
mempengaruhi distribusi obat. Jaringan yang menerima aliran
darah tinggi berkesetimbangan dengan cepat dengan obat dalam
plasma. Akumulasi obat ke dalam jaringan bergantung pada
17
aliran darah dan afinitas obat ke jaringan. Pada umumnya,
ambilan suatu obat ke dalam jaringan adalah reversible.
Konsetrasi obat dalam suatu jaringan dengan kapasitas rendah
berkesetimbangan dengan cepat dengan konsetrasi obat dalam
plasma dan kemudian menurun secara cepat saat obat dieliminasi
dari tubuh.
3. Kepadatan dan kondisi jaringan tempat injeksi Laju difusi zat
aktif tergantung pada kepadatan jaringan di tempat penyuntikan.
Hal ini sangat heterogen dan sulit untuk ditentukan, kadang-
kadang hal tersebut dapat dikurangi dengan menambahkan suatu
hyaluronidase, yaitu suatu enzim penghidrolisis senyawa dasar
ke dalam larutan injeksi. Penyerapan zat aktif yang disuntikkan
dalam bentuk larutan-air hanya terjadi secara difusi molekuler di
dalam elemen konjugatif dan jaringan interstisial yang dimulai
dari tahap pelepasan zat aktif dari pembawa, yang dalam hal
tertentu tahap tersebut ditiadakan oleh bahan pembawa yang
diberikan secara suntikan, faktor fisiologik bukan satu-satunya
faktor yang mempengaruhi proses penyerapan pelepasan zat aktif
dari sediaan, namun dapat menjadi faktor yang penting.
4. Suhu tubuh
5. Senyawa Vasoaktif Senyawa vasodilator dapat meningkatkan
penyerapan zat aktif tersebut oleh pembuluh darah, sedangkan
vasokonstriktor akan menghambat penyerapannya. Pada
odontology, pembiusan setempat diberikan bersama dengan nor-
adrenalin untuk membatasi penyerapan dan memperpanjang
efeknya pada tempat penyuntikan. Sebaliknya vasodilator
metakolin yang efeknya terlihat paling lambat 2 menit setelah
penyuntikan, ternyata dapat meningkatkan penyerapan senyawa
yang diberikan bersamanya.
18
6. Perbedaan Spesies dan Galur Dalam proses metabolisme obat,
perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur
kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang
ada perbedaan yang cukup besar pada reaksi metabolismenya.
Pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan galur terhadap
metabolisme obat sudah banyak dilakukan yaitu pada tipe reaksi
metabolik atau perbedaan kualitatif dan pada kecepatan
metabolismenya atau perbedaan kuantitatif (Siswandono dan
Soekardjo,2000).
7. Faktor Genetik Perbedaan individu pada proses metabolisme
sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam sistem kehidupan.
Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan
berperan terhadap kecepatan metabolisme obat (Siswandono dan
Soekardjo,2000).
8. Perbedaan umur Pada usia tua, metabolisme obat oleh hati
mungkin menurun, tapi biasanya yang lebih penting adalah
menurunnya fungsi ginjal. Pada usia 65 tahun, laju filtrasi
Glomerulus (LFG) menurun sampai 30% dan tiap 1 tahun
berikutnya menurun lagi 1-2% (sebagai akibat hilangnya sel dan
penurunan aliran darah ginjal). Oleh karena itu ,orang lanjut usia
membutuhkan beberapa obat dengan dosis lebih kecil daripada
orang muda (Neal,2005).
9. Perbedaan Jenis Kelamin Pada beberapa spesies binatang
menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan
metabolisme obat. Pada manusia baru sedikit yang diketahui
tentang adanya pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap
metabolisme obat. Contoh: nikotin dan asetosal dimetabolisme
secara berbeda pada pria dan wanita.
10. Faktor Patologi Menyangkut jenis dan kondisi penyakit.
Contohnya pada penderita stroke, pemberian fenobarbital
19
bersama dengan warfarin secara agonis akan mengurangi efek
anti koagulasinya (sehingga sumbatan pembuluh darah dapat
dibuka). Demikian pula simetidin (antagonis reseptor H2) akan
menghambat aktivitas sitokrom P-450 dalam memetabolisme
obat-obat lain.
11. Faktor Makanan Adanya konsumsi alkohol, rokok, dan protein.
Makanan panggang arang dan sayur mayur cruciferous diketahui
menginduksi enzim CYP1A, sedang jus buah anggur diketahui
menghambat metabolisme oleh CYP3A terhadap substrat obat
yang diberikan secara bersamaan.
12. Induksi Enzim Banyak obat mampu menaikkan kapasitas
metabolismenya sendiri dengan induksi enzim (menaikkan
kapasitas biosintesis enzim). Induktor dapat dibedakan menjadi
dua menurut enzim yang di induksinya,antara lain jenis
fenobarbital dan jenis metilkolantrena. Untuk terapi dengan obat,
induktor enzim memberi akibat berikut:
a) Pada pengobatan jangka panjang dengan induktor enzim
terjadi penurunan konsentrasi bahan obat yang dapat
mencapai tingkat konsentrasi dalam plasma pada awal
pengobatan dengan dosis tertentu.
b) Kadar bahan berkhasiat tubuh sendiri dalam plasma
dapat menurun sampai dibawah angka normal.
c) Pada pemberian bersama dengan obat lain terdapat
banyak interaksi obat yang kadang-kadang berbahaya.
Selama pemberian induktor enzim, konsentrasi obat
kedua dalam darah dapat juga menurun sehingga
diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk mendapatkan
efek yang sama (Ernst Mutschler,1991).
d) Inhibisi enzim Inhibisi (penghambatan) enzim bisa
menyebabkan interaksi obat yang tidak diharapkan.
20
Interaksi ini cenderung terjadi lebih cepat daripada yang
melibatkan induksi enzim karena interaksi ini terjadi
setelah obat yang dihambat mencapai konsentrasi yang
cukup tinggi untuk berkompetisi dengan obat yang
dipengaruhi (Neal,2005)
Faktor Fisikokimia yang dapat mempengaruhi absorbsi zat aktif
sediaan parenteral untuk tersedia pada sirkulasi darah
(bioavailabilitas):
1. Kelarutan Profil pH-kelarutan merupakan suatu gambaran
dari kelarutan obat pada berbagai pH fisiologis. Larutan
intravena sulit untuk disiapkan untuk obat-obat dengan
kelarutan aqueous yang rendah Kelarutan dapat diperbaiki
dengan penambahan suatu bahan tambahan yang bersifat
asam atau basa. Sebagai contoh, kelarutan aspirin dinaikkan
dengan penambahan dapar alkali.
2. Ukuran Partikel Melalui pengecilan ukuran partikel, luas
permukaan efektif suatu obat meningkat sangat besar. Oleh
karena itu, pelarutan terjadi pada permukaan solut, makin
besar luas permukaan, makin cepat laju pelarutan obat,
bentuk geometrik partikel juga mempengaruhi luas
permukaan, dan selama proses pelarutan, partikel solut
biasanya dianggap mempertahankan bentuk geometriknya.
Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel penting untuk
obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah dalam air.
Beberapa obat sangat aktif secara intravena tetapi sangat
tidak efektif bila diberikan secara oral, disebabkan oleh
absorbsi yang sangat kecil. Ukuran partikel yang makin kecil
mengakibatkan kenaikan keseluruhan luas permukaan
partikel, memperbesar penetrasi air ke dalam partikel, dan
menaikkan laju pelarutan.
21
3. Pengendapan zat aktif pada tempat penyuntikan Molekul-
molekul tertentu yang diberikan dalam larutan air atau
larutan campuran air-pelarut organik akan mengendap pada
tempat penyuntikkan karena pengaruh perbedaan pH antara
pembawa dan cairan biologik, atau karena pengaruh
pengenceran sediaan oleh cairan interstisial. Pengendapan
juga dapat memperpanjang aksi zat aktif. Teknik ini
digunakan untuk pembiusan setempat, namun cara ini
tampaknya telah mulai ditinggalkan karena ukuran
partikelnya yang diperoleh setelah pengendapan tidak dapat
dikendalikan atau campuran pelarut organik sering
menyebabkan terjadinya peradangan.
4. Difusi zat aktif Difusi zat aktif, dipengaruhi oleh:
Gradien konsentrasi
Koefisien Partisi
Derajat ionisasi, makin kecil makin mudah diabsorbsi
Ikatan dengan senyawa makromolekul/Protein
Osmolaritas
Volume injeksi Kecepatan difusi berbanding terbalik
dengan volume injeksi (untuk dosis yang sama/tetap)
B. Distribusi obat parenteral
Pada pemberian secara i.v molekul obat langsung masuk ke
dalam peredaran darah. Bila pemberian secara i.m atau s.c, molekul
obat bercampur dengan cairan tubuh atau jaringan, lalu masuk ke
dalam peredaran darah dan kemudian didistribusikan ke jaringan
tempat obat bekerja. Tubuh manusia terdiri atas berbagai struktur
jaringan dengan perbedaan karakteristik lipofilik. Perbedaan sifat
dan struktur jaringan menyebabkan konsentrasi obat tidak sama
22
dalam jaringan tubuh. Maka, karakteristik distribusi obat, erat
kaitannya dengan respon farmakologi.
C. Metabolisme obat parenteral
Proses metabolisme obat di dalam tubuh melibatkan proses
biotransformasi obat secara kimiawi, hal ini terjadi dalam
lingkungan biologis. Sebagian besar reaksi metabolisme merubah
obat menjadi bentuk metabolit yang lebih larut dalam air daan siap
dieksresikan melalui ginjal. Tempat utama metabolisme obat
parenteral adalah di hati, namun dapat terjadi di ginjal dan jaringan
otot. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan metabolisme obat
yaitu faktor genetik, umur, lingkungan dan penyakit yang diderita.
D. Eksresi Obat Parenteral
Eksresi obat dan metabolitnya merupakan tahapan terakhir
dari aktivitas serta keberadaan obat dalam tubuh. Molekul obat yang
masuk ke dalam tubuh dikeluarkan melalui beberapa saluran. Obat
akan diekskresikan dari tubuh bersama dengan berbagai cairan tubuh
melalui beberapa perjalanan. Ginjal merupakan organ utama untuk
mengeliminasi obat bersama urin. Organ lain yang dapat
mengeksresikan obat yaitu : empedu, paru, air ludah, ASI dan kulit.
23
partisi obat dalam stratum
korneum.
Fisika Teknik yang bervariasi untuk lontophoresis,sonoforesis,elektroporasi
meningkatkan penetrasi ,termoforesis,elektroporasi,termoforesi
dengan fisik, magnetic dan s.
ultrasonic.
Biokimia Memodifikasi zat dengan Sintesis bio-konversi prodrug.
mengubahnya menjadi bentuk
yang sesuai.
Jenis Contoh
Air Air
Alcohol, alcohol berlemak, dan glikol Etanol, heksanol, lauril alcohol
Golongan Sulfoksida DMSO,DMF
Golongan Azon Azone(laurocapram; 1-
dodecylazacyloheptan-2-one), 1-alkyl-
or-1-1-alkenylazacycloalkanones
Golongan Pirolidon N-Metil-2-pirolidon (2P), asam 2-
pirolidon-5-karboksilat
Derivat Asam lemak dan ester Asam oleat,
Golongan Oksazilidinon 4-decyloxazolidin-2-one
Urea Urea
Surfaktan Natrium lauril sulfat (SLS),
asetiltrimetil ammonium bromide,
dodecyl betaine
Siklodekstrin Siklodekstrin
24
Miyak atsiri, Terpen dan Terpenoid Limonene, terpen, minyak esensial dari
eucalyptus, chenopodium.
25
2.7 Evaluasi Biofarmasetika Obat Memalui Pemberian Parenteral
1. Menentukan waktu aksi yang diharapkan
2. Memilih pembawa yang dapat memberikan hasil yang sesuai harapan
3. Evaluasi in vivo: kadar obat di darah hewan dan manusia.
4. Evaluasi Sediaan Parenteral
a. Potensi/Kadar
Penentuan kadar dilakukan dengan pektoskopi UV, HPLC,
Spektroskopi IR.
b. Ph
Adanya Perubahan pH telah terjadi penguraian obat atau interaksi
obat dengan wadah.
c. Perubahan warna
Perubahan warna umumnya terjadi pada sediaan parenteral yang
disimpan pada suhu tinggi (> 40 0C). Suhu tinggi menyebabkan
penguraian.
d. Kekeruhan
Alat yang dipakai adalah Tyndall, karena larutan dapat menyerap
dan memantulkan sinar. Idealnya larutan parenteral dapat
melewatkan 92-97% pada waktu dibuat dan tidak turun menjadi
70% setelah 3-5 tahun.Terjadinya kekeruhan dapat disebabkan oleh
: terjadinya atau pertumbuhan mikroorganisme.
e. Bau Pemeriksaan dilakukan secara berkala terutama untuk sediaan
yang mengandung sulfur atau anti oksidan.
f. Lakukan uji LD 50 atau LD 0 pada sediaan parenteral selama
penyimpanan.
g. Evaluasi Wadah
h. Keseragaman bobot
i. Keseragaman volume
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti
perlindungan terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh
fisik maupun pengaruh kimia, serta mencegah kelebihan
kehilangan air dari tubuh dan berperan sebagai termoregulasi. Kulit
bersifat lentur dan elastis yang menutupi seluruh permukaan tubuh
dan merupakan 15% dari total berat badan orang dewasa
2. Jenis – jenis sediaan parenteral yaitu obat atau larutan atau emulsi,
sediaan padat kering atau cairan, sediaan berupa suspensi serbuk
dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikan secara
intravena atau ke dalam saluran spinal dan dapat dibedakan dari
nama bentuknya.
3. Sediaan parenteral mempunyai keuntugan dan kekurangan, dimana
keuntungannya yaitu Obat memiliki onset (mula kerja) yang cepat,
Efek obat dapat diramalkan dengan pasti, Biovaibilitas sempurna
atau hampir sempurna, Kerusakan obat dalam saluran pencernaan
dapat dihindarkan, Obat dapat diberikan kepada penderita yang
sakit keras atau yang sedang dalam keadaan koma. Sedangkan
kekurangannya yaitu Dapat menimbulkan rasa nyeri/sakit pada saat
disuntik, apalagi bila pemberiannya berulang. Memberikan efek
psikologis pada pasien yang takut disuntik, Bila terjadi kekeliruan
pada saat pemberian, maka hampir tidak dapat diperbaiki terutama
setelah pemberian intravena, Bila obat sudah masuk ke dalam tubuh
pasien, maka sulit untuk ditarik kembali atau dikeluarkan.
27
4. Rute penghantaran obat melalui parenteral yaitu Rute Intravena,
Rute Intramuskular, Rute Subkutan, Rute Intraarteri, Rute
Intradermal.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan obat parenteral
yaitu Faktor Fisiologi yang dapat mempengaruhi absorbsi zat aktif
sediaan parenteral untuk tersedia pada sirkulasi darah
(bioavailabilitas) :
a. Jumlah dan kecepatan sistem vaskularisasi, serta
permeabilitas kapiler darah
b. Aliran darah dari bagian tubuh atau area yang diinjeksikan
c. Kepadatan dan kondisi jaringan tempat injeksi
d. Suhu tubuh
e. Senyawa Vasoaktif Senyawa
f. Perbedaan Spesies dan Galur
g. Faktor Genetik
h. Perbedaan umur
i. Faktor Makanan
Faktor Fisikokimia yang dapat mempengaruhi absorbsi zat aktif
sediaan parenteral untuk tersedia pada sirkulasi darah
(bioavailabilitas):
a. Kelarutan
b. Ukuran Partikel
c. Pengendapan zat aktif pada tempat penyuntikan
d. Difusi zat aktif Difusi zat aktif
6. Strategi untuk meningkatkan bioavailabilitas obat melalui
parenteral karena Penggunaan peningkat penetrasi kimia untuk
meningkatkan penetrasi dalam sistem penghantaran obat
transdermal. Peningkat penetrasi didefinisikan sebagai zat yang
28
mampu meningkatkan penetrasi obat-obatan ke dalam kulit dan
sistem penghantaran obat transdermal.
7. Evaluasi biofarmasetika sediaan obat yang diberikan secara
parenteral yaitu : Menentukan waktu aksi yang diharapkan,
Memilih pembawa yang dapat memberikan hasil yang sesuai
harapan, Evaluasi in vivo, Evaluasi Sediaan Parenteral
3.2 Saran
Diharapkan agar mahasiswa mampu mengerti dan memahami
kembali mengenai materi pemberian obat secara parenteral dalam bidang
farmasi sehingga dapat menambah pengetahuan mahasiswa
29
DAFTAR PUSTAKA
Lukas Tresno. 2006. Terapi Herbal Berdasarkan Golongan Darah. Jakarta Selatan :
PT. Argo Media Pustaka.