SEDIAAN PARENTERAL
Disusun Oleh :
KELOMPOK 5
Anggota Kelompok:
RIZQAH
SAUDA RIZHA ASTRIANI
SUCI LESTARI
SURYATI
YULIANITA PRATIWI INDAH LESTARI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini diberikan melalui
beberapa rute pemberian yaitu intravena, intraspinal, intramuskuler, subkutis
dan intradermal. Apabila injeksi diberikan melalui rute intramuscular, seluruh
obat akan berada di tempat itu. Dari tempat suntikan itu obat akan masuk ke
pembuluh darah di sekitarnya secara difusi pasif, baru masuk ke dalam
sirkulasi. Cara ini sesuai utuk bahan obat , baik yang bersifat lipofilik maupun
yang hidrofilik. Kedua bahan obat itu dapat diterima dalam jaringan otot baik
secara fisis maupun secara kimia. Bahkan bentuk sediaan larutan, suspensi,
atau emulsi juga dapat diterima lewat intramuskuler, begitu juga pembawanya
bukan hanya air melainkan yang non air juga dapat. Hanya saja apabila
berupa larutan air harus diperhatikan pH larutan tersebut.
Istilah parenteral berasal dari kata Yunani para dan enteron yang berarti
disamping atau lain dari usus. Sediaan ini diberikan dengan cara
menyuntikkan obat di bawah atau melalui satu atau lebih lapisan kulit atau
membran mukosa. Karena rute ini disekitar daerah pertahanan yang sangat
tinggi dari tubuh, yaitu kulit dan selaput/membran mukosa, maka kemurniaan
yang sangat tinggi dari sediaan harus diperhatikan. Yang dimaksud dengan
kemurnian yang tinggi itu antara lain harus steril.
Obat suntik hingga volume 100 ml disebut sediaan parenteral volume kecil
sedangkan apabila lebih dari itu disebut sediaan parenteral volume besar,
yang biasa diberikan secara intravena. Produk parenteral, selain diusahakan
harus steril juga tidak boleh mengandung partikel yang memberikan reaksi
pada pemberian juga diusahakan tidak mengandung bahan pirogenik. Bebas
dari mikroba (steril) dapat dilakukan dengan cara sterilisasi dengan
pemanasan pada wadah akhir, namun harus diingat bahwa ada bahan yang
tidak tahan terhadap pemanasan. Untuk itu dapat dilakukan teknik aseptic.
B. TUJUAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mempelajari biotransformasi obat melalui sediaan parenteral.
2. Untuk memberikan pengetahuan kepada para mahasiswa/i tentang
berbagai tipe sediaan yang digunakan melalui sediaan parenteral.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Sediaan parenteral adalah sediaan yang digunakan tanpa melalui mulut atau
dapat dikatakan obat dimasukkan ke dalam tubuh selain saluran cerna
D. Rute Pemberian
Rute pemberian sedian parenteral atau injeksi dimuat dalam beberapa
pustaka, antara lain Farmakope Indonesia, Formularium Nasional kedua
pustaka tersebut di dalam antara kurung dan lain sebagainya. Pengetahuan
tentang rute pemeberian ini bukan dimaksudkan agar dapat menyuntikkan
dengan benar, tetapi untuk farmasis lebih ditekankan pada persyaratan produk
ditinjau secara farmasis
larutannya
isotoni
dan
dapat
ditambahkan
bahan
atau
larutan
infuse
i.v
sejenisnya. Cara
ini
disebut
hipodermoklisis, dalam hal ini vena sulit ditemukan. Karena pasti terjadi
iritasi maka pemberiannya harus hati-hati. Cara ini dpata dimanfaatkan
untuk pemberian dalam jumlah 250 ml sampai 1 liter.
2. Pemberian intramuskuler
Intramuskuler artinya diantara jaringan otot. Cara ini keceparan
absorbsinya terhitung nomor 2 sesudah intravena. Jarum suntik
ditusukkan langsung pada serabut otot yang letaknya dibawah lapisan
subkutis. Penyuntikan dapat di pinggul, lengan bagian atas. Volume
injeksi 1 samapi 3 ml dengan batas sampai 10 ml (PTMvolume injeksi
tetap dijaga kecil, biasanya tidak lebih dari 2 ml, jarum suntik digunakan
1 samai 1 inci. Problem klinik yang biasa terjadi adalah kerusakan otot
atau syaraf, terutama apabila ada kesalahan dalam teknik pemberian (ini
penting bagi praktisi yang berhak menyuntik). Yang perlu diperhatikan
bagi Farmasis anatara lain bentuk sediaan yang dapat diberikan
intramuskuler, yaitu bentuk larutan emulsi tipe m/a atau a/m, suspensi
dalam minyak atau suspensi baru dari puder steril.
Pemberian intramuskuler memberikan efek depot (lepas lambat),
puncak konsentrasi dalam darah dicapai setelah 1-2 jam. Faktor yang
mempengaruhi pelepasan obat dari jaringan otot (im) anatar lain :
rheologi produk, konsentrasi dan ukuran partikel obat dalam pembawa,
bahan pembawa, volume injeksi, tonisitas produk dan bentuk fisik dari
produk. Persyaratan pH sebaiknya diperhatikan, karena masalah iritasi,
tetapi dapat dibuat pH antara 3-5 kalau bentuk suspensi ukuran partikel
kurang dari 50 mikron.
3. Pemberian intravena
Penyuntikan langsung ke dalam pembuluh darah vena untuk mendapatkan
efek segera. Dari segi kefarmasian injeksi IV ini boleh dikata merupakan
pilihan untuk injeksi yang bila diberikan secara intrakutan atau
intramuskuler mengiritasi karena pH dan tonisitas terlalu jauh dari kondisi
fisiologis. Kelemahan cara ini adalah karena kerjanya cepat, maka
pemberian antidotum mungkin terlambat.
Volume pemberian dapat dimulai Dari 1 ml hingga 100 ml, bahkan untuk
infus dapat lebih besar dari 100 ml. Kecepatan penyuntikan sampai 5 ml
diberikan 1 ml/10 detik, sedangkan untuk di atas 5 ml kecepatannya 1
ml/20 detik. Intravena hanya terbatas untuk pemberian larutan air, kalau
merupakan bentuk emulsi harus memenuhi ukuran partikel tertentu. Kalau
dapay diusahakan pH dan tonisitas sesuai dengan keadaan fisiologis.
4. Pemberian intrathekal-intraspinal
Penyuntikan langsung ke dalam cairan serebrospinal pada beberapa
tempat. Cara ini berbeda dengan cara spinal anastesi. Kedua pemberian
1. Absorbsi
Obat, untuk dapat menimbulkan aksi dan menghasilkan efek, terlebih
dahulu harus diabsorbsi. Proses absorbsi meliputi masuknya obat hingga
sampai ke aliran darah.
a. Intravena tidak mengalami tahap absorbsi. Obat langsung dimasukkan
ke pembuluh darah sehingga kadar obat didalam darah diperoleh
dengan cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons
obat
langsung
dimasukkan
kedalam
ruang
terjadi
dalam
sistem
kehidupan.
Hal
ini
kecepatan
metabolisme
obat
(Siswandono
dan
Soekardjo,2000).
c. Perbedaan umur
Pada usia tua, metabolisme obat oleh hati mungkin menurun, tapi
biasanya yang lebih penting adalah menurunnya fungsi ginjal. Pada
usia 65 tahun, laju filtrasi Glomerulus (LFG) menurun sampai 30%
dan tiap 1 tahun berikutnya menurun lagi 1-2% (sebagai akibat
hilangnya sel dan penurunan aliran darah ginjal). Oleh karena itu
dan
logam-logam
berat.
Perokok
sigaret
dengan
pektoskopi
UV, HPLC,
Spektroskopi IR.
b. Ph
Adanya perubahan pH mengindikasikan telah terjadi penguraian obat
atau interaksi obat dengan wadah.
c. Warna
Perubahan warna umumnya terjadi pada sediaan parenteral yang
disimpan pada suhu tinggi (> 40 0C). Suhu tinggi menyebabkan
penguraian.
d. Kekeruhan
Alat yang dipakai adalah Tyndall, karena larutan dapat menyerap dan
memantulkan sinar. Idealnya larutan parenteral dapat melewatkan 9297% pada waktu dibuat dan tidak turun menjadi 70% setelah 3-5
tahun.Terjadinya kekeruhan dapat disebabkan oleh : benda asing,
terjadinya pengendapan atau pertumbuhan mikroorganisme.
e. Bau Pemeriksaan bau dilakukan secara periodik terutama untuk
sediaan yang mengandung sulfur atau anti oksidan.
f. Toksisistas
Lakukan uji LD 50 atau LD 0 pada sediaan parenteral selama
penyimpanan.
g. Evaluasi Wadah
h. Keseragaman bobot
i. Keseragaman volume
DAFTAR PUSTAKA