Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini diberikan
melalui beberapa rute pemberian yaitu intravena, intraspinal, intramuskuler,
subkutis dan intradermal. Apabila injeksi diberikan melalui rute
intramuscular, seluruh obat akan berada di tempat itu. Dari tempat suntikan
itu obat akan masuk ke pembuluh darah di sekitarnya secara difusi pasif, baru
masuk ke dalam sirkulasi. Cara ini sesuai utuk bahan obat , baik yang bersifat
lipofilik maupun yang hidrofilik. Kedua bahan obat itu dapat diterima dalam
jaringan otot baik secara fisis maupun secara kimia. Bahkan bentuk sediaan
larutan, suspensi, atau emulsi juga dapat diterima lewat intramuskuler, begitu
juga pembawanya bukan hanya air melainkan yang non air juga dapat. Hanya
saja apabila berupa larutan air harus diperhatikan pH larutan tersebut.
Istilah parenteral berasal dari kata Yunani para dan enteron yang
berarti disamping atau lain dari usus. Sediaan ini diberikan dengan cara
menyuntikkan obat di bawah atau melalui satu atau lebih lapisan kulit atau
membran mukosa. Karena rute ini disekitar daerah pertahanan yang sangat
tinggi dari tubuh, yaitu kulit dan selaput/membran mukosa, maka kemurniaan
yang sangat tinggi dari sediaan harus diperhatikan. Yang dimaksud dengan
kemurnian yang tinggi itu antara lain harus steril.
Obat suntik hingga volume 100 ml disebut sediaan parenteral volume
kecil sedangkan apabila lebih dari itu disebut sediaan parenteral volume
besar, yang biasa diberikan secara intravena. Produk parenteral, selain
diusahakan harus steril juga tidak boleh mengandung partikel yang
memberikan reaksi pada pemberian juga diusahakan tidak mengandung bahan
pirogenik. Bebas dari mikroba (steril) dapat dilakukan dengan cara sterilisasi
dengan pemanasan pada wadah akhir, namun harus diingat bahwa ada bahan
yang tidak tahan terhadap pemanasan. Untuk itu dapat dilakukan teknik
aseptic.

1
Larutan yang mengandung bakteri gram positif-negatif dapat saja
memberikan reaksi demam atau pirogenik walaupun larutan injeksi tersebut
steril. Reaksi demam atau pirogen ini disebabkan oleh adanya fragmen
dinding sel bakteri yang disebut “endotoksin”. Adanya endotoksin yang
ditandai dengan reaksi demam itu merupakan pertanda bahwa selama proses
produksi terjadi kontaminasi mikroba pada produk.
I.2 Rumusan Masalah
1. Apa defenisi biofarmasetik dan sediaan parenteral ?
2. Apa saja persyaratan sediaan parenteral?
3. Apa saja rute pemberian sediaan parenteral?
4. Apa saja keuntungan dan kerugian sediaan parenteral ?
5. Proses yang dialami obat sebelum tiba pada tempat aksi ?
6. Bagaiman Bioavailabilitas dan bioekuivalensi sediaan parenteral?
7. Apa saja parameter bioavaibilitas?
I.3 Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui defenisi biofarmasetik dan sediaan parenteral
2. Untuk mengetahui saja persyaratan sediaan parenteral
3. Untuk mengetahui saja rute pemberian sediaan parenteral
4. Untuk mengetahui saja keuntungan dan kerugian sediaan parenteral
5. Untuk mengetahui Proses yang dialami obat sebelum tiba pada tempat aksi
6. Untuk mengetahui Bioavailabilitas dan bioekuivalensi sediaan parenteral
7. Untuk mengetahui saja parameter bioavaibilitas

2
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Defenisi
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan anatara sifat
fisiko kimia obat, bentuk sediaan yang mana obat diberikan dan rute
pemakaian terhadap laju dan absorpsi obat sistemik. Jadi, bioframasetika juga
mencakup faktor-faktor yang mepengaruhi (1) stabilitas obat dalam produk
obat, (2) pelepasan obat dari produk oabt, (3) laju disolusi/pelepasan obta
pada site obsorbsi, dan (4) absorbs sitemik obat.
Studi biofarmasetika didasarkan atas prinsip dasar ilmiah dan metedologi
eksperimental. Studi dalam biofarmasetika menggunakan metode In Vitro dan
In Vivo (Shargelet all, 2005).

Pelepasan Absorpsi Obat dalam Obat dalam


dan Sirkulasi Jaringan
Pelarutan Sistemik
Obat
Eliminasi

Metabolisme Efek
dan Ekskresi Farmakologis
atau Klinis

Sediaan parenteral adalah sediaan yang digunakan tanpa melalui


mulut atau dapat dikatakan obat dimasukkan ke dalam tubuh selain saluran
cerna (langsung ke pembuluh darah) sehingga memperoleh efek yang cepat
dan langsung sampai sasaran. Misal suntikan atau insulin.
Injeksi dan infus termasuk semua bentuk obat yang digunakan secara
parenteral. Injeksi dapat berupa larutan, suspensi, atau emulsi. Apabila
obatnya tidak stabil dalam cairan, maka dibuat dalam bentuk sediaan kering.
Apabila mau dipakai baru ditambahkan aqua steril untuk memperoleh larutan
atau suspensi injeksi.

3
II.2 Persyaratan Sediaan Parenteral
1. Sesuai antara kandungan bahan obat yang ada didalam sediaan dengan
pernyataan tertulis pada etiket dan tidak terjadi pengurangan kualitas
selama penyimpanan akibat kerusakan obat secara kimiawi dan
sebagainya.
2. Penggunaan wadah yang cocok, sehingga tidak hanya memungkinkan
sediaan tetap steril , tetapi juga mencegah terjadinya ineraksi antara bahn
obat dengan material dinding wadah.
3. Tersatukan tanpa terjadi reaksi.
4. Bebas kuman.
5. Bebas Pirogen.
6. Isotonis.
7. Isohidris.
8. Bebas partikel melayang
II.3 Rute Pemberian
Rute pemberian sedianparenteral atau injeksi dimuat dalam beberapa
pustaka, antara lain Farmakope Indonesia, Formularium Nasional kedua
pustaka tersebut di dalam antara kurung dan lain sebagainya. Pengetahuan
tentang rute pemeberian ini bukan dimaksudkan agar dapat menyuntikkan
dengan benar, tetapi untuk farmasis lebih ditekankan pada persyaratan produk
ditinjau secara farmasis
Persyaratan farmasetik yang dimaksud antara lain pemilihan wadah
dengan ukuran yang tepat, penentuan pH, pemilihan bahan pengawet dan
penetapan tonisitas. Untuk jelasnya dapat diikuti uraian masing-masing rute
pemberian injeksi.
1. Pemberian Subkutis (Subkutan)
Lapisan ini letaknya persis dibawah kulit, yaitu lapisan lemak
(lipoid) yang dapat digunakan untuk pemberian obat antara lain vaksin,
insulin, skopolamin, dan epinefrin atau obat lainnya. Injeksi subkutis
biasanya diberikan dengan volume samapi 2 ml (PTM membatasi tak

4
boleh lebih dari 1 ml) jarum suntik yang digunakan yang panjangnya
samapi ½ sampai 1 inci (1 inchi = 2,35 cm).
Cara formulasinya harus hati-hati untuk meyakinkan bahwa
sediaan (produk) mendekati kondisi faal dalam hal pH dan isotonis. FN
(1978) mensyaratkan larutannya isotoni dan dapat ditambahkan bahan
vasokontriktor seperti Epinefrin untuk molekulisasi obat (efek obat)
Cara pemberian subkutis lebih lambat apabila dibandingkan cara
intramuskuler atau intravena. Namun apabila cara intravena volume besar
tidak dimungkinkan cara ini seringkali digunakan untuk pemberian
elektrolit atau larutan infusei.v sejenisnya. Cara ini disebut
hipodermoklisis, dalam hal ini vena sulit ditemukan. Karena pasti terjadi
iritasi maka pemberiannya harus hati-hati. Cara ini dpata dimanfaatkan
untuk pemberian dalam jumlah 250 ml sampai 1 liter.
2. Pemberian intramuskuler
Intramuskuler artinya diantara jaringan otot. Cara ini
keceparanabsorbsinya terhitung nomor 2 sesudah intravena. Jarum suntik
ditusukkan langsung pada serabut otot yang letaknya dibawah lapisan
subkutis. Penyuntikan dapat di pinggul, lengan bagian atas. Volume
injeksi 1 samapi 3 ml dengan batas sampai 10 ml (PTM—volume injeksi
tetap dijaga kecil, biasanya tidak lebih dari 2 ml, jarum suntik digunakan
1 samai 1 ½ inci. Problem klinik yang biasa terjadi adalah kerusakan otot
atau syaraf, terutama apabila ada kesalahan dalam teknik pemberian (ini
penting bagi praktisi yang berhak menyuntik). Yang perlu diperhatikan
bagi Farmasisanatara lain bentuk sediaan yang dapat diberikan
intramuskuler, yaitu bentuk larutan emulsi tipe m/a atau a/m, suspensi
dalam minyak atau suspensi baru dari puder steril.
Pemberian intramuskuler memberikan efek “depot” (lepas
lambat), puncak konsentrasi dalam darah dicapai setelah 1-2 jam. Faktor
yang mempengaruhi pelepasan obat dari jaringan otot (im) anatar lain :
rheologi produk, konsentrasi dan ukuran partikel obat dalam pembawa,
bahan pembawa, volume injeksi, tonisitas produk dan bentuk fisik dari

5
produk. Persyaratan pH sebaiknya diperhatikan, karena masalah iritasi,
tetapi dapat dibuat pH antara 3-5 kalau bentuk suspensi ukuran partikel
kurang dari 50 mikron.
3. Pemberian intravena
Penyuntikan langsung ke dalam pembuluh darah vena untuk
mendapatkan efek segera. Dari segi kefarmasian injeksi IV ini boleh
dikata merupakan pilihan untuk injeksi yang bila diberikan secara
intrakutan atau intramuskulermengiritasi karena pH dan tonisitas terlalu
jauh dari kondisi fisiologis. Kelemahan cara ini adalah karena kerjanya
cepat, maka pemberian antidotum mungkin terlambat.
Volume pemberian dapat dimulai Dari 1 ml hingga 100 ml,
bahkan untuk infus dapat lebih besar dari 100 ml. Kecepatan penyuntikan
sampai 5 ml diberikan 1 ml/10 detik, sedangkan untuk di atas 5 ml
kecepatannya 1 ml/20 detik. Intravena hanya terbatas untuk pemberian
larutan air, kalau merupakan bentuk emulsi harus memenuhi ukuran
partikel tertentu. Kalau dapay diusahakan pH dan tonisitas sesuai dengan
keadaan fisiologis.
4. Pemberian intrathekal-intraspinal
Penyuntikan langsung ke dalam cairan serebrospinal pada
beberapa tempat. Cara ini berbeda dengan cara spinalanastesi. Kedua
pemberian ini mensyaratkan sediaan dengan kemurniaannya yang sangat
tinggi, karena dearah ini ada barier (sawar) darah sehingga daerahnya
tertutup.
Sediaan intraspinalanastesi biasanya dibuat hiperbarik yaitu
cairannya mempunyai tekanan barik lebih tinggi dari tekanan
barometer. Cairan sediaan akan bergerak turun karena gravitasi, oleh
sebab itu harus pada posisi pasien tegak.
5. Intraperitoneal
Penyuntikan langsung ke dalam rongga perut, dimana obat secara cepat
diabsorbsi. Sediaan intraperitoneal dapat juga diberikan secara intraspinal,
im,sc, dan intradermal

6
6. Intradermal
Cara penyuntikan melalui lapisan kulit superficial, tetapi volume
pemberian lebih kecil dan sc, absorbsinya sangat lambat sehingga onset
yang dapat dicapai sangat lambat.
7. Intratekal
Digunakan khusus untuk bahan obat yang akan berefek pada cairan
serebrospinal. Digunakan untuk infeksi ssp seperti meningitis, juga untuk
anestesi spinal. Intratekal umumnya diinjeksikan secara langsung pada
lumbarspinal atau ventrikel sehingga sediaan dapat berpenetrasi masuk ke
dalam daerah yang berkenaan langsung pada SSP.

II.4 Keuntungan & Kerugian (Anief, 2000)


1. Keuntungan :
a. Menghindari obat dirusak atau menjadi inaktif dan saluran Gastro
intestinal (GI)
b. Bila obat sedikit diabsorpsi dalam saluran gastro intestinal hingga obat
tidak cukup untuk meninggalkan respon.
c. Dikehendaki efek obat yang cepat dalam keadaan gawat
d. Diperoleh kadar obat yang ditentukan krean tidak ada obat atau sedikit
sekali dosis obat yang berkurang secara intramuscular atau subcutan
secara intravena.
e. Dapat diberikan pada pasien yang sulit menelan atau tidak suka diberi
obat melalui mulut.
2. Kerugian :
a. Efetk toksisnya sulit sekali dinetralkan bila terjadi kesalahan
pemberian obat.
b. Karena dikehendaki steril maka sediaan injeksi lebih mahal dari pada
obat yang diberikan melalui mulut.

7
II.5 Biotransformasi Obat
II.5.1 Fase Farmasetik
Fase ini meliputi waktu mulai penggunaan obat melalui
parenteral (intravena, intramuscular, intradermal, subcutan) hinnga
pelepasan zat aktifnya kedalam aliran darah.
II.5.2 Farmakokinetik
A. Absorpsi
Obat dapat masuk ke dalam aliran darah dengan dua macam
cara, yaitu cara langsung (intravaskuler = iv), misalnya disuntikkan
intravena dan cara tidak langsung (ekstravaskuler = ev), misalnya
melalui mulut (peroral) atau disuntikkan intramuskular. Pada
cara tidak langsung obat mengalami peristiwa absorspi terlebih
dahulu, yaitu perpindahan obat dari tempat pemberian (aplikasi) ke
dalam aliran darah (sirkulasi sistemik).
Di dalam darah, kebanyakan obat mengalami
pengikatan secara reveribel dengan komponen-komponen darah
terutama albumin. Dengan demikian di dalam darah obat terdapat
dalam dua bentuk, yaitu bentuk bebas dan bentuk terikat.
Bentuk terikat karena molekulnya besar, tidak bisa menembus
membran, tetap tinggal dalam ruang vaskuler; sedangkan bentuk
bebas akan menembus dinding vaskuler dan masuk ke dalam
jaringan-jaringan dan cairan tubuh lainnya.
1. Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke
dalam vena, ―onset of action‖ cepat, efisien, bioavailabilitas 100
%, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan
dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat
yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek)
2. Intramuskular (IM) ―Onset of action‖ bervariasi, berupa
larutan dalam air yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa
larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi,
kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat

8
tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi:
semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi
3. Subkutan (SC) ―Onset of action‖ lebih cepat daripada sediaan
suspensi, determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas
permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi
pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama,
obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase,
suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks
jaringan
4. Intratekal berkemampuan untuk mempercepat efek obat
setempat pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti
pengobatan infeksi SSP yang akut
5. Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbi ialah : (Anif, 2012)
a. Kelarutan obat
b. Kemampuan obat difusi melintasi membrane sel
c. Kadar obat
d. Sirkulasi darah pada tempat absorpsi
e. Luas permukaan kontak obat
f. Bentuk sediaan obat
g. Rute penggunaan obat
B. Distribusi
Peristiwa penyebaran ini disebut distribusi, yaitu
perpindahan obat dari darah ke dalam cairan tubuh lainnya (limfa
dan cairan ekstravaskuler), jaringan serta organ-organ. Dalam
jaringan, obat terikat secara reversibel dengan komponen-
komponen jaringan, misalnya protein dan lemak jaringan. Jika
dalam distribusi ini, obat dapat mencapai tempat kerjanya, maka
obat itu akan bekerja dan kemudian menimbulkan efek yang
sering disebut efek farmakologik atau respon biologik. Efek ini
dapat terjadi sebagai akibat interaksi antara obat dan reseptornya.

9
Obat + reseptor ——- kompleks ——- EFEK
Yang dimaksud dengan kerja obat ialah perubahan kondisi yang
dapat menimbulkan efek, sedangkan efek ialah perubahan fungsi
struktur atau proses sebagai akibat kerja obat. Efek obat pada
hakekatnya merupakan perubahan fungsi secara kuantitatif (bukan
kualitatif) yang dapat berupa kontraksi otor, sekresi oleh kelenjar,
pelepasan hormon, perubahan dalam aktivitas saraf, perubahan
dalam kecepatan pembelahan sel, atau kematian sel.
Didalam organ tertentu (misalnya hati), obat dapat
mengalami perubahan kimiawi menjadi senyawa lain. Peristiwa ini
disebut biotransformasi dan senyawa hasil biotransformasi disebut
metabolit. Jika dibandingkan dengan senyawa induk atau asalnya
(parent substance) aktivitas farmakologik metabolit dapat berbeda
secara kuantitatif atau kualitatif. Biotransformasi di dalam hati ini
dapat terjadi setelah obat diabsorpsi dari saluran cerna sebelum
mengalami distribusi ke seluruh tubuh. Peristiwa ini disebut efek
lintas pertama (first-pass effect).
C. Ekskresi
Organ terpenting untuk ekskresi adalah ginjal. Obat
diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk
metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif
meruoakan car eliminasi obat melalui ginjal melibat 3 proses, yakni
filtrasi glomelurus, sekresi aktif ditubulus proksimal dan reabsorbsi
pasif di sepanjang tubulus. fungsi ginjal kematangan pada usia 6-12
bulan, dan setalah dewasa menurun 1 % per tahun.
Filtrasi glomerulus menghasilkan ultrafiltra. Yakni plasma
minus protein, jadi semua obat bebas akan keluar dalam ultra filtrate
sedsangkan yang terikata protein tetap tinggal dalam darah sekresi
aktif dari dalam darah kelumen tubulus proksimal terjadi melalui
transporter membran P-glokoprotein (P-gp) dan MRP (multidrug-

10
resistance protein) yang terdapat dimembran sel epitel dengan
selektivitas berbeda yakni MRP untuk anion organic dan konyugat.
Reabsorbsi pasif terjadi disepanjang tubulus untuk bentuk
nonion obat yang larut lemak. Oleh karena derajat ionisasi tergantung
pada pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk mempercepat
ekskresi ginjal pada keracunan suata obat asam atau obat basa. Obat
asam relative kuat (Pka  2 ) dan obat basa yang relatif kuat ( PKa 
12, missal guanetidin) terionisasi sempurna pada pH ekstrim urin
akibat asidifikasi dan alkalinisasi paksa (4,5 – 7,5)
Ekskresi pada ginjal akan berkuarang jika terdapat gangguan
fungsi ginjal lain halnya dengan pengurangan fungsi hati yang tidak
dapat dihitug, pengurangan fungsi ginjal dapat dihitung berdasarkan
pengurangan klirens kreatinin. Dengan demikian, pengurangan dosis
obat pada gangguan fungsi ginjal dapat dihitung.
Ekskresi obat yang kedua penting adalah empedu kedalam
ususu dan keluar bersama feses. Transpoter mebran P-gp dan MPR
terdapat di membrane kanalikulis sel hati dan membrane sekresii aktif
obat-oat dan metabolit kedalam empedu dengan selektivitas berbeda,
yakni MPR untuk untuk anion organic dan konyugat (glukoronat dan
konyugat lain), dan P-gp untuk kation organic, steroid kolestrol dan
garam empedu. P-gp dan MPR terdapat dimembransel usus maka
sekresi langsung obat dan metabolit dari darah kelumen usus juga
terjadi.
Obat dan metabolit yang larut dalam lemak dapat
direabsorbsi kembali kedalam tubuh dari lumen usus. Metabolit dalam
bentuk glukoronat dapat dipecah dulu oleh enzim glukoronidase yang
dapat dihasilakan oleh flora usus menjadi bentuk obata awalnya yang
mudah diabsorbsi kembali. Akan tetapi, bentuk konyugat juga dapat
langsung diabsorbsi melalui transpoter membrane OATP di dinding
usus, dan baru dipecah dalam darah oleh enzim esterase. Siklus

11
enterohepatik ini dapat memperpanjang efek obat, misalnya estrogen
dalam kontraseptif oral.
Ekresi pada paru terutama untuk eliminasi gas anestetik umum.

II.6 Bioavailabilitas dan bioekuivalensi


Bioavailabilitas menunjukan suatu pengukuran laju dan jumlah
bahan aktif atau bagian aktif yang diabsorbsi dari suatu produk obat dan
tersedia pada site aksi. Untuk produk obat yang tidak ditujukan diabsopsi
kedalam aliran darah, bioavailabilitas dapat ditetapkan dengan pengukuran
yang ditujukan untuk mencermikan laju dan jumlah bahan aktif atau bagian
aktif tersedia pada site aksi.
Bioekuivalensi produk obat menggambarkan produk ekuivalensi
farmasetik atau alternative farmasetik yang menunjukan bioavailabilitas
sebanding bila diteliti dibawah kondisi percobaan yang sama. Untuk obat-
obat yang diabsorpsi sitemik, obat uji (generic) dan pembanding (nama
dagang) dianggap bioekuivalen jika :
(1) Laju dan jumlah absorpsi obat uji tidak menunjukan suatu perbedaan
yang bermakna dalam laju dan jumlah absorpsi dari obat pembanding
bila diberikan molar dosis bahan terapeutik sama, dibawah kondisi
percobaan sama, baik dalam dosis tunggal atau dosis ganda;
(2) Jumlah absorpsi obat uji tidak berbeda secara bermakna dari jumlah
absorpsi pembanding jika diberikan pada molar dosis bahan terapeutik
yang sama dibawah kondisi percobaan yang sama baik dalam dosis
tunggal atau dosis ganda dan perbedaan dari obat pembanding dalam laju
absorpsi obat disengaja, dicermikan pada pelabelan yang diusulkan, tidak
penting untuk pencapaian efektifitas konsentrasi obat dalam tubuh dalam
penggunaan kronis, dan dianggap tidak bermakna secara medis.

12
II.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Bioavailibilitas
1. Sifat fisikokimia obat. Sifat fisika dan kimia partikel obat
berpengaruh pada kinetika pelarutan. Sifat tersebut terdiri dari, luas
permukaan, bentuk geometrik partikel, derajat kelarutan obat dalam
air.
1. Kelarutan, pH dan absorpsi obat.
Profil pH-Kelarutan merupakan gambaran dari kelarutan obat
pada berbagai pH fisiologik. Informasi tersebut digunakan
untuk rancangan formulasi karena sifat pH lingkungan dari
saluran cerna berbeda, dari bersifat asam dalam lambung
sampai bersifat alkali dalam usus halus.
2. Stabilitas, pH dan absorpsi obat.
Profil pH-Stabilitas merupakan gambaran dari tetapan laju
reaksi vs pH. Jika peruraian obat terjadi baik melaui katalis
asam/basa maka dapat dibuat perkiraan untuk kerusakan obat
dalam saluran cerna. Dalam suatu media yang bersifat asam
(lambung) peruraian terjadi cepat, sedangkan pada pH
netral/alkali obat relatif stabil.
3. Ukuran partikel dan absorpsi obat.
Ukuran partikel yang makin kecil mengakibatkan kenaikan
keseluruhan luas permukaan partikel, memperbesar penetrasi
air kedalam partikel, dan menaikkan laju pelarutan.
2. Faktor formulasi yang mempengaruhi pelarutan obat, dimana
adanya bahan tambahan (bahan penyuspensi, surfaktan) yang
digunakan pada formulasi obat dapat berinteraksi secara langsung
dengan obat membentuk kompleks yang larut/tidak larut air. Untuk
merancang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif
dalam bentuk yang paling banyak berada dalam sistemik, farmasis
harus mempertimbangkan: (1) jenis produk obat; (2) sifat bahan
tambahan dalam produk obat; (3) sifat fisikokimia obat itu sendiri
(Shargel dan Yu, 2005).

13
II. Evaluasi
Tahap Uji:
1. Menentukan waktu aksi yang diharapkan
2. Memilih pembawa yang dapat memberikan hasil yang sesuai
harapan.
3. Evaluasi in vivo : Penentuan kadar obat didalam darah hewan dan
manusia.
4. Evaluasi sediaan parenteral:
a. Potensi/Kadar
Penentuan kadar dilakukan dengan pektoskopi UV, HPLC,
Spekstrokopi IR.
b. pH
Adanya perubahan pH mengindikasikan telah terjadi pengraian
obat atau interaksi obat dengan wadah.
c. Warna
Perubahan warna umumnya terjadi pada sediaan parenteral yang
disimpan pada suhu tinggi ( >40oC). Suhu tinggi menyebabkan
penguraian.
d. Kekeruhan
Alat yang dipakai adalah Tyndall, karena larutan dapat
menyerap dan memantulkan sinar. Idealnya larutan parenteral
dapat melewatkan 92-97% pada wakt dibat dan tidak menurun
menjadi 70% setelah 3-5 tahun. Terjadinya kekeruhan dapat
disebabkan oleh benda asing, terjadinya pengendapan, atau
pertumbuhan mikroorganisme.
e. Bau
Pemeriksaan bau dilakukan secara periodic terutama untuk
sediaan yang mengandung sulfur atau antioksidan.
f. Toksisitas
Dilakukan ji LD 50 atau LD 0 pada sediaan parenteral selama
penyimpanan.

14
II.7 Metode uji bioekivalensi
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam penentuan uji
BE. Urutan berdasarkan prioritas dari pilihan utama hingga terakhir
ditinjau dari tingkat akurasi, sensitivitas, dan reprodusibilitas, metode
tersebut adalah:
1. Uji farmakokinetik (PK)
2. Uji farmakodinamik (PD)
3. Uji klinis
4. Uji in vitro
1. Uji farmakokinetik
Sejauh ini, uji perbandingan farmakokinetik merupakan pilihan
utama dan paling digunakan untuk produk obat yang diserap sistemik.
Sedangkan uji perbandingan farmakodinamik dan klinis lebih umum
digunakan untuk produk obat yang bekerja lokal.
2. Uji farmakodinamik
Uji PD tidak direkomendasikan selama obat diserap ke
sirkulasi sistemik dan pendekatan PK dapat digunakan untuk penilaian
BE. Hal ini disebabkan variabilitas pengukuran PD selalu lebih besar
daripada PK. Selain itu, seringkali terjadi efek plasebo yang dapat
makin memperburuk variabilitas dan memperumit disain eksperimen.
Potensi munculnya efek plasebo harus dapat diantisipasi sebelumnya
dalam disain penelitian dengan menambahkan fasa ketiga
menggunakan plasebo dalam pengujian (WHO, 2006).
Meskipun demikian, dalam kondisi pendekatan PK tidak dapat
dilakukan, maka metode PD tervalidasi yang sesuai dapat digunakan
untuk uji BE (FDA, 2003). Kondisi khusus ini dapat ditemukan pada
produk obat yang bekerja lokal dan beberapa produk obat yang
bekerja sistemik tetapi kadarnya terlalu rendah untuk diukur dari
cairan biologis atau adanya masalah keamanan jika digunakan
pendekatan farmakokinetik untuk penilaian BE. Untuk produk yang
bekerja lokal, alasan lain tidak menggunakan pendekatan PK adalah

15
karena keberadaan obat dalam sirkulasi sistemik setelah pemberian
produk tidak menggambarkan ketersediaan obat di lokasi kerjanya
(FDA, 2003b).
3. Uji klinis
Jika pendekatan PK dan PD tidak memungkinkan, maka
perbandingan uji klinis dapat dilakukan untuk penentuan BE. Namun,
metode ini dinilai tidak sensitif sehingga sebaiknya dihindari jika ada
pengganti yang lebih baik. Jumlah subyek yang sangat besar
diperlukan untuk mendapatkan power statistik yang memadai. Sebagai
contoh, diperlukan 8600 pasien untuk mendapatkan power statistik
yang memadai untuk mendeteksi respon perbaikan 20% dari obat uji
dibandingkan dengan plasebo. Contoh lain, diperlukan 2600 pasien
infark miokardial untuk dapat menunjukkan penurunan resiko sebesar
16%. Perbandingan dua formulasi untuk uji BE berdasarkan titik akhir
klinis akan memerlukan jumlah subyek yang lebih besar, tergantung
pada variabilitas parameter sasaran dan rentang penerimaan (WHO,
2006).

II.8. Disain studi BE


Untuk perbandingan dua formulasi, disain yang
direkomendasikan adalah randomized, 2-periods, 2-sequences, cross
over design. Antar-perlakukan harus dipisahkan oleh periode wash-
out, yang memastikan bahwa kadar obat berada di bawah limit deteksi
pada semua subyek, sebelum dilakukan periode kedua. Umumnya,
untuk mencapai kadar obat hingga di bawah kemampuan deteksi alat
itu diperlukan waktu 5 kali waktu paruh atau lebih (EMA, 2010).
Periode wash-out minimal tujuh hari (WHO, 2006a).
Sebagai alternatif, untuk kondisi tertentu dapat digunakan,
yakni (1) disain paralel, untuk obat dengan waktu paruh sangat
panjang; dan (2) disain replikat, untuk obat dengan variasi PK yang
tinggi. Disain replikat crossover dapat digunakan untuk estimasi

16
variabilitas intrasubyek (within-subject) dari produk uji dan/atau
produk referensi, menggunakan replikasi parsial (3-periode) atau
penuh (4-periode). Jumlah sampel yang diperlukan untuk replikasi
parsial lebih banyak daripada replikasi penuh untuk bisa mendapatkan
power statistik yang setara untuk penetapan BE (FDA, 2001). Dalam
hal jumlah subyek, disain replikat memiliki keuntungan memerlukan
jumlah subyek yang lebih kecil dibandingkan disain 2 periode untuk
mendapatkan power statistik yang sama (FDA. 2003a).
Contoh penerapan disain replikat dalam pedoman FDA
adalah uji BE untuk progesteron (FDA, 2011b) dan warfarin natrium
(FDA, 2012c).
1. Obat dengan waktu paruh panjang
Sebagaimana disebutkan di atas, obat dengan waktu paruh
panjang (≥24 jam), dapat digunakan disain paralel sebagia
alternatif. Tetapi, jika disain crossover lebih dikehendaki untuk
digunakan, selama obat menunjukkan variabilitas intrasubyek
rendah dalam distribusi dan klirens, maka AUC yang dipotong
pada 72 jam (AUC0-72 jam) dapat digunakan sebagai pengganti
AUC0-t atau AUC0-∞. Sebaliknya, untuk obat yang menunjukkan
variabilitas intrasubyek yang tinggi dalam distribusi dan/atau
klirens, maka penerapan AUC0-72 jam tidak diperbolehkan (FDA,
2003a).
2. Uji dosis tunggal vs dosis ganda
FDA lebih merekomendasikan uji PK dosis tunggal
(single-dose) dibandingkan uji dosis ganda (multiple-dose), baik
untuk produk obat lepas-segera maupun lepas-termodifikasi dalam
rangka uji BE karena umumnya lebih sensitif untuk digunakan
dalam menilai pelepasan bahan obat dari produk obat ke sirkulasi
sistemik (FDA, 2003).
Meskipun demikian, dalam beberapa kasus uji dosis ganda
atau uji keadaan tunak (steady state) dapat digunakan. Contohnya,

17
karena masalah keamanan maka uji BE untuk klozapin tablet
dilakukan terhadap pasien yang sedang dalam masa perawatan
dengan menggunakan obat yang sama. Pasien tersebut sedang
menerima dosis harian yang tetap dengan dosis yang sama dalam
interval 12 jam. Pasien yang mendapatkan dosis lebih tinggi dari
100 mg dalam interval 12 jam juga masih dapat diikutkan dalam
pengujian dengan menggunakan dosis yang sebelumnya sudah
digunakan. Berdasarkan jadwal acak, pasien dalam jumlah yang
sama menerima produk uji dan produk referensi, dalam dosis yang
sama, sebelum pengujian setiap 12 jam selama 10 hari. Setelah itu,
produk yang diberikan kepada pasien dalam ditukar untuk 10 hari
periode kedua. Tidak ada periode washout di antara kedua periode
tersebut. Setelah uji selesai, pasien dapat terus melanjutkan
terapinya menggunakan produk klozapin yang diresepkan
dokternya (FDA, 2005).
Situasi yang lain yang memungkinkan penerapan uji dosis
ganda adalah:
 Obat menunjukkan kinetik non-liear pada kondisi tunak
(misalnya, metabolisme yang dapat jenuh, sekresi aktif)
 Dalam kondisi sensitifitas pengujian sangat rendah untuk bisa
memeriksa profil PK hanya dari dosis tunggal
 Bentuk sediaan lepas lambat dengan kecenderungan akumulasi
(sebagai tambahan untuk uji dosis tunggal).
II.7 Parameter bioavailabilitas
Pada studi bioavailabilitas (BA), bentuk dan luas area di bawah
kurva kadar plasma terhadap waktu, serta profil ekskresi ginjal kumulatif
dan kecepatan ekskresi digunakan untuk menilai jumlah dan kecepatan
absorpsi.
1. Parameter bioavailabilitas dari sampel darah
a. Untuk studi dosis tunggal

18
- AUC t = Area di bawah kurva kadar obat (atau metabolit) dalam
plasma (atau serum atau darah) terhadap waktu dari waktu
0 sampai waktu terakhir kadar obat diukurdihitung
trapezoid

- AUCoo = AUC dari waktu 0 sampai waktu tidak terhingga =


AUCt + Ct / ke menggambarkan jumlah obat yang
bioavailabel
- Cmax = kadar puncak (maksimal) obat (atau metabolit) dalam
plasma (atau serum atau darah) Yang teramati.
- tmax = waktu sejak pemberian obat sampai dicapai
Cmax
- t1/2 = waktu paruh obat (atau metabolit ) dalam
plasma ( serum atau darah )
AUCoo dan AUC max merupakan parameter yang paling relevan
untuk penilaian BE.AUC paling dapat di percaya untuk
menggambarkan besarnya absorpsi (jumlah obat yang
bioavailabel)
b. Untuk studi kadar tunak :
- AUCt = AUC selama satu interval dosis (t) pada keadaan Lunak.
- Cmin = kadar minimal obat (atau metabolit) dalam plasma (
atau serum atau darah ) yakni kadar pada akhir interval
dosis.
- Cmax = kadar maksimal obat dalam plasma yang teramati.
- C av = kadar rata-rata selama satu interval dosis.
- Fluktuasi = ( Cmax-Cmin )/Cav
- Swing = ( Cmax-Cmin)/Cmin
2. Parameter bioavailabilitas dari sampel urin
a. Untuk studi dosis tunggal

19
- A€, = jumlah kumulatif obat utuh (atau metabolit) yang
dikeluarkan atau ditemukan dalam urin dari waktu
0 sampai waktu terakhir kadar diukur
-Ae = Ae dari waktu 0 sampai waktu tidak terhingga, diperoleh
dengan cara ekstrapolasi
= jumlah obat maksimal yang diekskresi dalam urin
sebanding dengan jumlah obat yang bioavailabel
-dAe/d t = kecepatan ekskresi obat dalam urin
- (dAe/dt)max. = kecepatan maksimal ekskresi obat dalam urin
- terjadi pada waktu t*., (plasma) dan besarnya sebanding dengan
C max (plasma), sehingga besarnya bergantung pada jumlah dan
kecepatan absorpsi.
Ae dan (dAe/d0) max merupakan parameter
paling relevan untuk penilaian BE. Ae, paling dapat
dipercaya untuk menggambarkan' besarnya absorpsi (jumlah obat
yang bioavailabel).
b, Untuk studi kadar tunak
-A€.= Ae selama satu interval dosis (t)
pada keadaan tunak.
Analisis data
Tujuan utama penilaian bioekivalensi adalah untuk menghitung perbedaan
bioavailabilitas antara produk uji dan produk pembanding,
dan untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
bermakna secara klinik. Jika pada to ditemukan obat dengan kadar
≤5% Cmax, maka data dari subyek ini dapat dimasukkan dalam analisis
tanpA penyesuaian.Tetapi jika Co ini > 5% Cmax maka subyek ini harus
dikeluarkan dari analisis.
Jika subyek muntah pada atau sebelum 2 x median tmax, pada studi BE
untuk produk lepas cepat, maka data subyek ini harus dikeluarkan dari

20
analisis. Pada studi BE untuk produk lepas lambat, data subyek yang.
muntah kapan saja harus dikeluarkan.
Observasi yang merupakan outliers tidak boleh dibuang jika tidak
ada alasan yang kuat bahwa telah terjadi kesalahan teknis. Analisis data
harus dilakukan dengan dan tanpa nilai- nilai tersebut dan harus dikaji
dampaknya terhadap kesimpulan studi, Harus dicari penjelasan medis
atau farmakokinetik untuk
observasi demikian.
1. Analisis statistik
a, Dari data darah
- Parameter bioavailabilitas. yang dibandinqkan
untuk penilaian bioekivalensi adalah AUC, Cmax dan tmax
- Cara menghitung AUC0-t ; AUC0-∞ , t1/2
- Data yang bergantung pada kadar yakni
AUC dan Cmax, harus ditransformasi logaritmik (ln) terlebih
dulu sebelum dilakukan analisis statistik karena kinetik obat
mengikuti kinetik first order sehingga dalam skala logaritmik akan
diperoleh distribusi yang normal dan varians yang homogen.
Selanjutnya nilai- nilai ln AUC ke-2 produk dibandingkan
menggnakan analisis varians (ANOVA) untuk desain menyilang 2-
way yang memperhitungkan sumber-sumber variasi berikut; produk
obat yang dibandingkan (Test dan Reference), periode pemberian
obat (I dan II). Demikian juga nilai-nilai ln Cmax ke-2 produk
dibandingkan dengan cara yang sama

21
Rasio rata-rata geometrik T/R = anti ln difference x 100o/o

- Untuk tmax biasanya hanya dilakukan


statistik deskriptif. Jika perlu dibandingkan,
digunakan statistik non-parametrik pada data
yang asli (tidak ditransformasi), dengan α =
5% ;
- Untuk ke-3 parameter tersebut di atas, selain dihitung
90% confidence intervals (90% CI) untuk perbandingan ke-2
produk, juga dihitung statistik ringkasan seperti nilai rata-rata

22
arithmetic & geometrik, untuk AUC dan Cmax) atau median
(untuk tmax), serta nilai-nilai minimum dan maksimum;
- Untuk parameter-parameter lainnya seperti Cmin,
Fluktuasi, t1/2, dsb., berlaku pertimbangan- pertimbangan
yang sama untuk menggunakan data yang ditransformasi
logaritmik (ln) atau yang tidak ditransformasi.
b. Dari data urin
- Parameter yang dibandingkan adalah Ae dan

23
BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan
1. Sediaan parenteral yaitu sediaan yang digunakan tanpa melalui mulut atau
dapat dikatakan obat dimasukkan de dalam tubuh selain saluran cerna
(langsung ke pembuluh darah) sehingga memperoleh efek yang cepat dan
langsung sampai sasaran.
2. Injeksi dan infus termasuk semua bentuk obat yang digunakan secara
parentral.
3. Sediaan parental dibagi menjadi 2 macam yaitu : sediaan parenteral
volume kecil dan sediaan parenteral volume besar
4. Faktor fisiko kimia pembuatan sediaan parenteral kelarutan, pH,
pembawa, cahaya/suhu dan faktor kemasan/ wadah
5. Persyaratan sediaan parenteral terdiri atas : sesuai antara kandungan
bahan obat yang ada didalam sediaan dengan pernyataan tertulis pada
etiket dan tidak terjadi pengurangan kualitas selama penyimpanan akibat
kerusakan obat secara kimiawi dan sebagainya, penggunaan wadah yang
cocok, sehingga tidak hanya memungkinkan sediaan tetap steril,
tersatukan tanpa terjadi reaksi, bebas kuman, bebas pirogen, isotonis,
isohidris dan bebas partikel melayang
6. Komposisi sediaan parenteral terdiri atas bahan aktif, bahan tambahan
dan pembawa

24
DAFTAR PUSTAKA

Ditjen POM, 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan


Repblik Indonesia.
Shargel, Leon. et all, Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics, Fifth
edition, Mc.Graw Hill, Singapore, 2005
Anief. Moh. 2000. Farmasetika. Gajah Mada University Press : Yogyakarta
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi

Edisi 5. Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI.

25

Anda mungkin juga menyukai