PENDAHULUAN
II.1 DEFENISI
Menurut WHO yang dituangkan dalam Panduan Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2010, Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) atau penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) didefenisikan sebagai
penyakit yang dikarakterisasi oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak
reversibel sepenuhnya. Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan
berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas
yang berbahaya. Dua gangguan yang terjadi pada PPOK adalah bronkitis kronis
atau emfisema.
II.2 EPIDEMIOLOGI
Menurut data Sukernas tahun 2001, penyakit pernafasan (termasuk PPOK)
merupakan penyebab kematian ke 2 di Indonesia. WHO memperkirakan pada tahun
2020 prevalensi PPOK akan terus meningkat dari urutan 6 menjadi peringkat ke-3 di
dunia dan dari peringkat ke-6 menjadi peringkat ke-3 penyebab kematian tersering.
Prevalensi PPOK meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalensi ini juga
lebih tinggi pada pria daripada wanita. Prevalensi PPOK lebih tinggi pada negara-
negara di mana merokok merupakan gaya hidup, yang menunjukkan bahwa rokok
merupakan faktor risiko utama, dimana angka kesakitannya meningkat dengan usia
dan lebih besar pada pria daripada wanita. Kematian akibat PPOK sangat rendah pada
pasien usia di bawah 45 tahun, dan meningkat dengan bertambahnya usia.
II.3 ETIOLOGI
Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang
dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor
paparan lingkungan antara lain adalah :
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko 30
kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan
penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan
mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang
dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok yang terakhir saat PPOK
berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok.
Kurang lebih 10 % orang yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK.
Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko
menderita PPOK.
b. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik
yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu
gandum, toluene diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar
daripada yang bekerja di tempat selain yang disebutkan di atas.
c. Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk
gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah
seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, dll, maupun polusoi dari dalam
rumah misalnya asap dapur.
d. Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu
pemicu inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok.
Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang
dapat diukur dari peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi,
dan percepatan penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko
kejadian PPOK.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain adalah :
1. Usia
Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK. Pada pasien
yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita
gangguan genetik berupa defisiensi α1-antitripsin. Namun kejadian ini hanya
dialami <1% pasien PPOK.
2. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait
dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan peningkatan
prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang
merokok.
3. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK,
misalnya defisiensi Immunoglobulin A (IgA/ hypogammaglubulin) atau infeksi
pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Orang yang pertumbuhan
parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko
lebih besar untuk mengalami PPOK.
4. Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1-antitripsin (AAT)
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan oleh
hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif karena adanya
ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif.
II.4 PATOFISIOLOGI
Proses potogenesis PPOK
Keterangan gambar:
Asap rokok dan polusi udara dapat menyebabkan inflamasi paru-paru. Inflamasi
menyebabkan rekrutmen neutrofil dan makrofag ke tempat inflamasi yang akan
melepaskan enzim proteolitik (elastase, kolagenase). Pada orang normal, kerja
enzim ini akan dihambat oleh α1-antitripsin, namun pada kondisi dimana terjadi
defisiensi α1-antitripsin, enzim proteolitik akan menyebabkan kerusakan pada
alveous menyebabkan emfisema.
II.5 PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Diagnosis PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien kronis, produksi
dahak atau dispnea dan yang memiliki faktor risiko penyakit ini. Adanya keterbatasan
aliran udara dapat dijelaskan lebih lanjut dengan spirometri. Spirometri merupakan
penilaian komprehensif dari kapasitas dan volume paru. Spirometri yang
dikombinasikan dengan pemeriksaan fisik dapat meningkatkan akurasi diagnosis
PPOK. Spirometri juga digunakan untuk menentukan tingkat keparahan penyakit,
bersama dengan penilaian gejala dan adanya komplikasi. Keuntungan utama dari
spirometri adalah dapat mengidentifikasi individu yang memiliki kemampuan
farmakoterapi untuk mengurangi eksaserbasi.
Prosedur pengujian reversibilitas:
1. Persiapan
Pengujian harus dilakukan ketika pasien secara klinis stabil dan bebas dari
infeksi pernafasan.Pasien tidak diberikan inhalasi bronkodilator short-acting 6
jam sebelumnya, long-acting β-agonis 12 jam sebelumnya, atau teofilin SR 24
jam sebelumnya.
2. Spirometri
FEV1 harus diukur sebelum diberikan bronkodilator. Bronkodilator dapat
diberikan dengan metered-dose inhaler (MDI) atau nebulisasi. Dosis umum
biasanya 400 mcg β-agonis, 160 mcg antikolinergik, atau kombinasi keduanya.
FEV1 dapat diukur 10-15 menit setelah pemberian β-agonis atau 30-45 menit
setelah kombinasi diberikan.
3. Hasil
Peningkatan FEV1 yang lebih besar dari 200 ml dan 12% di atas
prebronchodilator FEV1 dianggap signifikan.
Tabel 1. Tingkat Keparahan PPOK Berdasarkan Nilai FEV1 dan Gejala
Menurut GOLD 2010
Tingkat Nila FEV1 dan Gejala
FEV1/FVC < 70% FEV1 ≥ 80% dan umumnya, tapi tidak
I selalu, ada gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap
Ringan ini, pasien biasanya bahkan belum merasa bahwa paru-parunya
bermasalah.
II FEV1/FVC < 70%; 50%< FEV1 < 80%, gejala biasanya mulai
Sedang progresif/memburuk, dengan nafas pendek-pendek.
FEV1/FVC < 70%; 30%< FEV1 < 50%. Terjadi eksaserbasi
III berulang yang mulai mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pada
Berat tahap ini pasien mulai mencari pengobatan karena mulai
dirasakan sesak nafas atau serangan penyakit.
FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50% plus kegagalan
respirasi kronis. Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika
IV walaupun FEV1 < 30%, tapi pasien mengalami kegagalan
Sangat Berat pernafasan atau gagal jantung kanan atau cor pulmonale . Pada
tahap ini, kualitas hidup sangat terganggu dan serangan
mungkin mengancam jiwa.
50-
Beclomethasone 400(MDI&DPI) 0,2-0,4
0,20, 0,25,
Budenosid 100,200,400(DPI) 0,5
50-500(MDI
Futicason &DPI)
Triamcinolone 100(MDI) 40 40
Kombinasi β2 kerja panjang plus glukortikosteroid dalam satu inhaler
Formoterol/Bud
enoside 4,5/160; 9/320 (DPI)
Salmoterol/Fluti 50/100,250,500(DPI)
casone 25/50,125,250(MDI)
Sistemik Glukortikosteroid
Prednisone 5-60 mg(Pil)
Methy-
Prednisone 4, 8 , 16 mg (Pil)
Keterangan: MDI = Metered Dose Inhaler; DPI = Dose Per Inhaler
2) Kortikosteroid
Secara teori, kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai
antiinflamasi dan mempunyai keuntungan pada penanganan PPOK yaitu:
mereduksi permeabilitas kapiler untuk mengurangi mukus, menghambat pelepasan
enzim proteolitik dari leukosit, dan menghambat prostaglandin.
3) Terapi Oksigen jangka panjang (long term)
Penggunaan oksigen berkesinambungan (> 15 jam sehari) dapat
meningkatkan harapan hidup bagi pasien-pasien yang mengalami kegagalan
respirasi kronis, dan memperbaiki tekanan arteri pulmonar, polisitemia
(hematokrit > 55%), mekanik paru, dan status mental.
Terapi oksigen sebaiknya diberikan pada pasien PPOK dengan tingkat
keparahan IV (sangat berat) jika:
PaO2 ≤ 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤ 88%, dengan atau tanpa
hiperkapnia, atau
PaO2 antara 55 mmHg – 60 mmHg, atau SaO2 89%, tetapi ada tanda
hipertensi pulmonar, edema perifer yang menunjukkan adanya gagal jantung
kongestif, atau polisitemia.
4) Antibiotik
Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, baik infeksi
virus atau bakteri. GOLD pada tahun 2010 merekomendasikan penggunaan
antibiotika pada pasien-pasien yang:
Dengan eksaserbasi akut dengan 3 tanda utama yaitu: peningkatan dyspnea
(sesak nafas), peningkatan volume sputum, dan peningkatan purulensi
sputum, atau
Dengan eksaserbasi akut dengan 2 tanda utama, jika peningkatan purulensi
sputum merupakan salah satunya, atau
Dengan eksaserbasi parah yang membutuhkan ventilasi mekanik, baik
invasif maupun non-invasif.
Beberapa bakteri yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus pneumonia,
Haemophilus parainfluenzae, dan Moraxella catarrhalis.
Tabel 2. Terapi antibiotika yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut
PPOK
Karakteristik pasien Patogen penyebab Terapi yang
yang mungkin direkomendasikan
· Eksaserbasi tanpa S pneumoniae, H. Makrolid (azitromisin,
komplikasi < 4 Influensa, H. klaritromisin),
eksaserbasi setahun Tidak Paraenfluenzae, dan sefalosporin generasi 2
ada penyakit penyerta M. catarrhalis atau 3, doksisiklin
FEV1 > 50% umumnya tidak resisten
Eksaserbasi kompleks H. Influensa, M. Amoksisilin/klavulanat,
Umur > 65 th, Catarrhalis, S Fluorokuinolon
4 eksaserbasi pertahun pneumoniae penghasil (levofroksasin,
FEV1 < 50% tapi > 35% betalaktamase, gatiflokasin,
Enterobacteraceae (K. moksifloksasin),
Pneumoniae, E. coli, Sefalosporin generasi 2
Proteus, Enterobacter, dan 3
dll)
Eksaserbasi kompleks Seperti di atas, ditambah Fluorokuinolo
dengan risiko P. P. aeruginosa (levofroksasin,
aeruginosa gatiflokasin,
moksifloksasin), terapi IV
jika perlu : sefalosporin
generasi 3 atau 4
5. Imunisasi
Vaksin influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian akibat
PPOK sampai 50%. Vaksin influenza direkomendasikan bagi pasien PPOK usia
lanjut karena cukup efektif dalam mencegah eksaserbasi akut PPOK. Pasien PPOK
sebaiknya menerima satu atau dua kali vaksin pneumococcal dan vaksinasi influenza
per tahun untuk mengurangi insiden pneumonia. Bila pasien terpapar pada influenza
sebelum divaksinasi, maka dapat digunakan obat antivirus amantadin dan
rimantadin.
6. Mukolitik
Penggunaan mukolitik seperti ambroksol, karbosistein, dan gliserol teriodinasi
telah diteliti pada sejumlah studi dan menunjukkan hasil yang kontroversial.
Meskipun mungkin penggunaannya memberikan manfaat bagi sebagian pasien, tetapi
secara keseluruhan manfaatnya sangat kecil. Karena itu, menurut GOLD 2010,
penggunaannya tidak direkomendasikan berdasarkan bukti-bukti klinis yang ada.
7. Terapi Pengganti AAT (alpha anti trypsine)
Pada pasien dengan defisiensi AAT secara herediter, selain dengan mengurangi
faktor risiko dan terapi simptomatik menggunakan bronkodilator, dapat ditambahkan
terapi penggantian AAT (AAT replacement therapy). Terapi ini terdiri dari infus AAT
secara rutin (mingguan) untuk memelihara kadar AAT plasma di atas 10 mikromolar.
Regimen dosis yang direkomendasikan adalah 60 mg/kg yang diberikan secara
intravena sekali seminggu dengan kecepatan 0.08 mL/kg per menit, disesuaikan
dengan toleransi pasien. Saat ini, contoh produk yang tersedia adalah Prolastin,
Aralast, dan Zemaira.
Terapi Pada Komplikasi PPOK : Cor Pulmonale
Pada keadaaan PPOK berat (tahap IV), pasien seringkali mengalami
komplikasi akibat hipoksemia yang berkepanjangan, yaitu terjadinya vasokonstriksi
kronis pada arteri pulmonary yang menyebabkan terjadinya gagal jantung kanan
atau cor pulmonale. Selain PPOK-nya harus ditangani secara tersendiri, cor
pulmonale juga perlu mendapat penanganan agar tidak membawa akibat fatal berupa
kematian. Di bawah ini dipaparkan beberapa obat yang dapat dipakai dalam
pengatasan cor pulmonale.
a. Terapi Oksigen
Terapi oksigen sangat penting pada pasien PPOK terutama bila diberikan secara
terus-menerus. Pada komplikasi cor pulmonale, tekanan parsial oksigen (PaO2)
cenderung berada di bawah 55 mmHg dan bisa makin menurun dengan kegiatan fisik
atau selama istirahat. Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi paru akibat
hipoksemia, sehingga kemudian meningkatkan curah jantung, dan mengurangi
vasokonstriksi simpatis serta mengurangi hipoksemia jaringan, dan meningkatkan
perfusi ginjal.
b. Diuretik
Diuretik digunakan dalam terapi cor pulmonale, terutama jika volume pengisian
ventrikel kanan meningkat tajam, dan juga pada pengelolaan edema yang terjadi.
Obat diuretik dapat memperbaiki fungsi kedua belah ventrikel, kiri dan kanan, tetapi
diuretik dapat menghasilkan efek samping hemodinamik jika tidak digunakan secara
hati-hati.
c. Vasodilator
Obat vasodilator telah disarankan pada penatalaksanaan jangka panjang pada cor
pulmonale kronis dengan hasil sedang. Golongan penghambat kanal kalsium,
terutama nifedipin oral bentuk sustained-release dan diltiazem, dapat mengurangu
tekanan pulmonar, walaupun obat-obat ini nampaknya lebih efektif pada hipertensi
pulmonar primer daripada sekunder.
d. Glikosida jantung
Penggunaan glikosida jantung seperti digoksin pada pasien cor pulmonale masih
kontroversial, dan manfaatnya tidak sebesar seperti pada penatalaksanaan gagal
jantung kiri. Namun demikian, penelitian telah membuktikan bahwa digitalis
memiliki efek sedang pada cor pulmonale. Obat ini harus dipakai dengan hati-hati,
dan tidak boleh digunakan selama fase akut karena dapat meningkatkan risiko
terjadinya aritmia jantung.
e. Teofilin
Selain memiliki efek bronkodilatasi, teofilin dilaporkan dapat mengurangi
vasokonstriksi paru dan tekanan arteri pulmonary secara akut pada pasien PPOK
dengan cor pulmonale. Teofilin memiliki efek inotropik yang lemah, sehingga dapat
meningkatkan ejeksi ventrikel kiri dan kanan. Teofilin dosis rendah juga dilaporkan
dapat memberikan efek antiinflamasi sehingga dapat mengontrol penyakit paru
seperti PPOK.
Terapi non-farmakologis
a) Berhenti merokok adalah strategi yang paling efektif untuk mengurangi risiko
PPOK dan satu-satunya intervensi yang terbukti mempengaruhi penurunan FEV1
jangka panjang dan memperlambat perkembangan PPOK.
b) Program rehabilitasi paru termasuk latihan bersama dengan
berhenti merokok, latihan pernapasan, pengobatan medis yang optimal, dukungan
psikososial, dan pendidikan kesehatan. Tambahan oksigen, dukungan nutrisi, dan
perawatan psychoeducational (misalnya, relaksasi) adalah tambahan penting yang
berarti dalam program rehabilitasi paru.
c) Vaksinasi tahunan dengan vaksin intramuskular influenza tidak aktif yang
direkomendasikan.
d) Satu dosis vaksin pneumokokus polivalen diindikasikan untuk pasien
pada setiap usia dengan PPOK; vaksinasi ulang dianjurkan bagi pasien yang lebih tua
dari 65 tahun jika vaksinasi pertama adalah lebih dari 5 tahun sebelumnya dan pasien
lebih muda dari 65 tahun.
e) Terapi oksigen jangka panjang. Penggunaan terapi oksigen dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien PPOK dengan hipoksemia kronis.
MONITORING DAN EVALUASI HASIL TERAPI
Pada PPOK stabil kronis, perlu dilakukan tes fungsi paru secara periodik
untuk mengetahui pengaruh perubahan terapi atau penghentian suatu terapi. Selain itu
juga perlu dipantau skor dispnea, kualitas hidup, frekuensi eksaserbasi, termasuk
jumlah masuk RS karena PPOK. Sedangkan untuk eksaserbasi akut, perlu dilakukan
evaluasi terhadap hitung leukosit, tanda vital, rontgen dada, dan perubahan dalam
frekuensi dispnea, volume sputum, dan purulensi sputum selama terapi eksaserbasi
berlangsung. Pada eksaserbasi yang lebih berat, analisa saturasi dan gas darah harus
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Koda-Kimbal, Mary anne. et al, 2009, Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs, Ninth
Edition, Lippincott William & Wilkins, Baltimore.
Sukandar, Ellin Yulinah. et al, 2008,ISO Farnakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta.