Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH SISTEM PENGHANTARAN OBAT

PARENTERAL

OLEH :

INTANIA PERTIWI (19013003)

KELAS :
2017 A

DOSEN PEMBIMBING :

HENNI ROSAINI, S.Si, M.FARM

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI (STIFARM)

PADANG
2020
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan puji dan syukur kepada
ALLAH SWT atas rahmat, nikmat serta karunia yang dilimpahkan-Nya dan shalawat
beriring salam juga penulis haturkan kepada Nabi muhammad SAW, yang telah
membawa sinar dan ilmu pengetahuan kepada umat manusia. Berkat itulah pada
akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tugas tentang “SISTEM PENGHANTARAN
OBAT PARENTERAL”.
Dalam penulisan tugas ini, penulis tidak terlepas dari bahan bacaan baik dari
artikel dan jurnal. Dengan penuh rasa semangat dan penuh rasa iklas pada akhirnya
penulis dapat menyelesaikan tugas yang di berikan oleh dosen penulis. Makalah ini
masih jauh dari kata sempuran, penulis harapkan terkhususnya bapak/ibu dosen dapat
menilai dan memberikan masukan untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat sebagai acuan pembelajaran serta sebagai bahan
bacaan.

Padang, 12 April 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan farmasi di Indonesia sudah dimulai semenjak zaman Belanda,
sehingga teknologi steril sebagai salah satu bagian dari ilmu farmasi mengalami
dinamika yang begitu cepat. Teknologi Steril merupakan ilmu yang mempelajari
tentang bagaimana membuat suatu sediaan (Injeksi volume kecil, Injeksi volume
besar, Infus, Tetes Mata dan Salep Mata) yang steril, mutlak bebas dari jasad renik,
patogen, atau non patogen, vegetatif atau non vegetatif (tidak ada jasad renik yang
hidup dalam suatu sediaan). Teknologi steril berhubungan dengan proses sterilisasi
yang berarti proses mematikan jasad renik (kalor, radiasi, zat kimia) agar diperoleh
kondisi steril. Tentunya di setiap fakultas mendapatkan mata kuliah tersebut, karena
teknologi steril berperan penting dan menjadi mata kuliah pokok farmasi.
Penghantaran obat merupakan proses yang secara terintegrasi terdiri atas bentuk
sediaan dan juga rute distribusi obat.. Obat dilindungi paten teknologi yang mengubah
profil pelepasan obat, penyerapan, distribusi dan eliminasi untuk kepentingan produk
memperbaiki kemanjuran dan keselamatan, serta kenyamanan dan kepatuhan pasien. 
Penghantaran obat menyangkut prosedur atau tindakan transportasi senyawa
farmaseutika pada tubuh untuk mencapai efek terapi. Rute distribusi parenteral
merupakan secara umum bentuk penghantaran obat. Dengan seiring waktu, sejumlah
kemajuan teknologi telah dibuat dalam pemberian obat parenteral yang mengarah ke
pengembangan sistem yang canggih sehingga memungkinkan penargetan obat dan
pelepasan obat parenteral berkelanjutan.
Tujuan awal pemberian sediaan parenteral adalah agar obat dapat bekerja secara
cepat dan langsung karena obat langsung berada dalam darah. Sediaan parenteral
terdiri dari larutan dan suspensi. Pada prinsipnya dalam suspensi obat dibalut, atau
disalut dalam partikel kecil (nanopartikel, mikrokapsul, mikrosfer, liposom). Obat
dapat dilepas dari partikel kecil menurut berbagai cara tergantung pada pembawa
yang digunakan.
Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini diberikan melalui
beberapa rute pemberian yaitu intravena, intraspinal, intramuskuler, subkutis dan
intradermal. Apabila injeksi diberikan melalui rute intramuscular, seluruh obat akan
berada di tempat itu. Dari tempat suntikan itu obat akan masuk ke pembuluh darah di
sekitarnya secara difusi pasif, baru masuk ke dalam sirkulasi. Cara ini sesuai untuk
bahan obat , baik yang bersifat lipofilik maupun yang hidrofilik. Kedua bahan obat itu
dapat diterima dalam jaringan otot baik secara fisis maupun secara kimia. bahkan
bentuk sediaan larutan, suspensi, atau emulsi juga dapat diterima lewat intramskuler,
begitu juga pembawanya bukan hanya air melainkan yang non air juga dapat. Hanya
saja apabila berupa larutan air harus diperhatikan pH larutan tersebut. 
Istilah parenteral berasal dari kata Yunani para dan enteron yang berari disamping
atau lain dari usus. Sediaan ini diberikan dengan cara menyuntikkan obat di bawah
atau melalui satu atau lebih lapisan kulit atau membrane mukosa. Karena rute ini
disekitar daerah pertahanan yang sangat tinggi dari tubuh, yaitu kulit dan
selaput/membrane mukosa, maka kemurniaan yang sangat tinggi dari sediaan harus
diperhatikan. Yang dimaksud dengan kemurnian yang tinggi itu antara lain harus
steril.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah:

1. Bagaimana sejarah sediaan parenteral?


2. Apa definisi sediaan parenteral?
3. Bagaimana pembagian dan cara penggunaan masing-masing?
4. Apa saja syarat-syarat sediaan parenteral?
5. Bagaimanakah bentuk sediaan parenteral konvensional?
6. Apa alasan dan tujuan pengembangan sediaan parenteral?
7. Bagaimana bentuk sediaan parenteral yang dimodifikasi?
8. Apa saja keuntungan dan kelemahan bentuk konvesional dan modifikasi?
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui sejarah sediaan parenteral
2. Untuk mengetahui definisi sediaan parenteral
3. Untuk mengetahui pembagian dan cara penggunaan masing-masing
4. Untuk mengetahui syarat-syarat sediaan parenteral
5. Untuk mengetahui bentuk sediaan parenteral konvensional
6. Untuk mengetahui alasan dan tujuan pengembangan sediaan parenteral
7. Untuk mengetahui bentuk sediaan parenteral yang dimodifikasi
8. Untuk mengetahui keuntungan dan kelemahan bentuk konvesional dan
modifikasi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Sediaan Parenteral
Dari gigitan insek (nyamuk) dan gigitan ular dapat memasukan racun kedalam
tubuh manusia melalui perobekan (pembentukan lubang kecil) pada kulit. Th.1616
William Harvey (dokter ahli fisiologi Inggris) mendiskripsikan tentang sirkulasi darah
dlm tubuh manusia, sistem pemberian obat dengan cara penyuntikan secara bertahap
berkembang, kematian akibat gigitan ular beracun terjadi karena racun diabsorbsi
melalui vena dan disirkulasikan ke seluruh tubuh.
Tahun 1665, Sir Christoper Wren berhasil menidurkan anjing dengan
menyuntikkan opium melalui vena kaki belakang dengan bantuan jarum (dari bulu
angsa,quill) yang disambungkan pada kantong kemih (blandder) hewan dilanjutkan ke
manusia dengan menginjeksi opium kegagalan menjadi konsep terapi secara
parenteral. Abad ke-18, Edwar Jenner menggunakan pemberian secara Intradremal
untuk metode vaksinasi terhadap cacar (smallpox).
Tahun 1836, Lafarque seorang ahli bedah Perancis, merobek kulit dengan pisau
bedah kecil yang telah direndam dalam larutan morfin untuk pengobatan neuralgia.
Tahun 1844, Francis Ryud melarutkan morfin didalam kreosot dan memasukkan
dibawah kulit. Sir Alexander Wood dari edinburgh menggunakan alat untuk
menyuntikkan morfin melalui kulit, dan mendiskripsikan sebagai “subcutaneous”.
Pasteur dan Lister teknik aseptik.
Tahun 1880, Pembuatan larutan injeksi dari tablet triturasi pada saat akan
disuntikkan. Stanislaus Limousin mengembangkan kontener (ampoule). Tahun 1923,
Florence Seibert membuktikan bahwa reaksi piretik berasal dari air yang digunakan
untuk pembuatan larutan, karena air tidak didestilasi dan disimpan secara baik serta
mengandung pirogen yang mirip hasil metabolisme mikroorganisme.
2.2 Definisi Sediaan Parenteral
Kata parenteral berasal dari dua kata '' Para '' dan '' enteron '' berarti menghindari
usus. Menurut USP 24 / NF19 parenteral dapat didefinisikan sebagai persiapan yang
dimaksudkan untuk injeksi melalui kulit atau jaringan batas eksternal lainnya,
daripada melalui saluran pencernaan, sehingga zat aktif dapat diberikan langsung ke
pembuluh darah, organ ataupun jaringan (Gulati, 2011).
Sediaan parenteral bisa didefinisikan sebagai obat steril, larutan, atau suspensi
yang dikemas dengan cara yang sesuai untuk pemberian melalui suntikan
hiperdermis, baik dalam bentuk siap pakai maupun bentuk yang perlu ditambahkan
pelarut yang sesuai atau agen pensuspensi. Klasifikasi sediaan injeksi sebagai berikut
(Rawa, 2013):

1. Larutan sejati dengan pembawa air.


2. Larutan sejati dengan pembawa minyak.
3. Larutan sejati dengan pembawa campuran.
4. Suspensi steril dengan pembawa air.
5. Suspensi steril dengan pembawa minyak.
6. Emulsi steril.
7. Serbuk kering dilarutkan dengan air.
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang
harus dilarutkan atau disespensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikan
dengancara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selput lendir.
Injeksi diracik dengan melarutkan, mengelmusikan atau mensuspensikan sejumlah
obat dalam sejumlah pelarut atau dengan mengisikan sejumlah obat ke dalam wadah
dosis tunggal atau wadah dosisganda.
2.3 Pembagian dan Cara Penggunaan Masing-Masing
Sediaan parental dibagi menjadi 2 macam yaitu :

1. Sediaan Parenteral Volume Kecil


Sediaan parenteral volume kecil diartikan sebagai obat steril yang dikemas dalam
wadah di bawah 100 ml.
Kategori sediaan parenteral volume kecil :
a. Produk Farmaseutikal yang terdiri dari bahan kimia organik dan anorganik
dalam larutan, suspensi, emulsi, produk freezedried atau sebagai serbuk steril.
b. Produk Biologi yang disiapkan dari sumber biologi meliputi vaksin,
toksoid, ekstrak biologi.
c. Zat pendiagnosa seperti media kontras sinar x.
d. Produk radiofarmasi untuk deteksi dan diagnosis.
e. Produk gigi seperti anestetik lokal.f. Produk bioteknologi.
f. Produk liposom dan lipid.

2. Sediaan Parenteral Volume Besar


a. Sediaan cair steril yang mengandung obat yang dikemas dalam wadah 100 ml
atau lebih dan ditujukan untuk manusia.
b. Tujuan Penggunaan
c. Bila tubuh kekurangan air, elektrolit dan karbohidrat maka kebutuhan
tersebut harus cepat diganti.
d. Pemberian infus memiliki keuntungan karena tidak harus menyuntik pasien
berulangkali.
e. Mudah mengatur keseimbangan keasam dan kebasaan obat dalam darah.
f. Sebagai penambah nutrisi bagi paseien yang tidak dapat makan secara oral.
g. Berfungsi sebagai dialisa pada pasien gagal ginjal.

Pemberian obat melalui parenteral dapat terbagi menjadi beberapa cara. Rute
pemberian sedian parenteral atau injeksi dimuat dalam beberapa pustaka, antara lain
Farmakope Indonesia, Formularium Nasional kedua pustaka tersebut di dalam antara
kurung dan lain sebagainya. Pengetahuan tentang rute pemebrian ini bukan
dimaksudkan agar dapat menyuntikkan dengan benar, tetapi untuk farmasis lebih
ditekankan pada persyaratan produk ditinjau secara farmasis.
Persyaratan farmasetik yang dimaksud antara lain pemilihan wadah dengan
ukuran yangtepat, penentuan pH, pemilihan bahan pengawet dan penetapan tonisitas.
Untuk jelasnya dapat diikuti uraian masing-masing rute pemberian injeksi.
2.3.1 Pemberian Subkutis (Subkutan)
Lapisan ini letaknya persis dibawah kulit, yaitu lapisan lemak (lipoid) yang dapat
digunakan untuk pemberian obat antara lain vaksin, insulin, skopolamin, dan
epinefrin atau obatlainnya. Injeksi subkutis biasanya diberikan dengan volume sampai
2 ml (PTM membatasitak boleh lebih dari 1 ml) jarum suntik yang digunakan yang
panjangnya samapi ½ sampai 1inci (1 inchi = 2,35 cm)
Cara formulasinya harus hati-hati untuk meyakinkan bahwa sediaan (produk)
mendekati kondisi faal dalam hal pH dan isotonis. FN (1978) mensyaratkan
larutannya isotoni dan dapat ditambahkan bahan vasokontriktor seperti Epinefrin
untuk molekulisasi obat (efek obat).
Cara pemberian subkutis lebih lambat apabila dibandingkan cara intramuskuler
atauintravena. Namun apabila cara intravena volume besar tidak dimungkinkan cara
ini seringkali digunakan untuk pemberian elektrolit atau larutan infuse i.v sejenisnya.
Cara ini disebut hipodermoklisis, dalam hal ini vena sulit ditemukan. Karena pasti
terjadi iritasi makapemberiannya harus hati-hati. Cara ini dapat dimanfaatkan untuk
pemberian dalam jumlah 250 ml sampai 1 liter.
Cara dan daerah tempat penyuntikan digambarkan di bawah ini:

(Gambar Cara Pemberian Subkutan)


Injeksi subcutan diberikan dengan menusuk area dibawah kulit yaitu pada
jaringan konektif atau lemak dibawah dermis. Daerah yang lazim untuk injeksi
subcutan adalah lengan atas bagian luar, paha bagian depan, perut, area
skapula,ventrogluteal, dan dorso gluteal. Jangan memberikan injeksi pada daerah
yang nyeri, merah,pruritis, atau edema. Pada pemberian injeksi sub cutan jangka
lama,perlu direncanakan untuk diberikan secara rotasi pada area yang berbeda.
2.3.2 Pemberian Intramuskuler

(Gambar Cara Pemberian Intramuskuler)


Intramuskuler artinya diantara jaringan otot. Cara ini kecepatan absorbsinya
terhitung nomor 2 sesudah intravena. Jarum suntik ditusukkan langsung pada serabut
otot yang letaknya dibawah lapisan subkutis. Penyuntikan dapat di pinggul, lengan
bagian atas. Volume injeksi1 samapi 3 ml dengan batas sampai 10 ml (PTM—volume
injeksi tetap dijaga kecil, biasanyatidak lebih dari 2 ml, jarum suntik digunakan 1
samai 1 ½ inci. Problem klinik yang biasaterjadi adalah kerusakan otot atau syaraf,
terutama apabila ada kesalahan dalam teknikpemberian (ini penting bagi praktisi yang
berhak menyuntik). Yang perlu diperhatikan bagi Farmasis anatara lain bentuk
sediaan yang dapat diberikan intramuskuler, yaitu bentuklarutan emulsi tipe m/a atau
a/m, suspensi dalam minyak atau suspensi baru dari puder steril.
Pemberian intramuskuler memberikan efek ―depot‖ (lepas lambat), puncak
konsentrasi dalamdarah dicapai setelah 1-2 jam. Faktor yang mempengaruhi
pelepasan obat dari jaringan otot(im) anatar lain : rheologi produk, konsentrasi dan
ukuran partikel obat dalam pembawa,bahan pembawa, volume injeksi, tonisitas
produk dan bentuk fisik dari produk. Persyaratan pH sebaiknya diperhatikan, karena
masalah iritasi, tetapi dapat dibuat pH antara 3-5 kalaubentuk suspensi ukuran partikel
kurang dari 50 mikron.
2.3.3 Pemberian Intravena

(Gambar Cara Pemberian Intravena)


Merupakan penyuntikan langsung ke dalam pembuluh darah vena untuk
mendapatkan efek segera. Dari segi kefarmasian injeksi IV ini boleh dikatakan
merupakan pilihan untuk injeksi yang bila diberikan secara intrakutan atau
intramuskuler mengiritasi karena pH dan tonisitas terlalujauh dari kondisi fisiologis.
Kelemahan cara ini adalah karena kerjanya cepat, maka pemberian antidotum
mungkin terlambat. Volume pemberian dapat dimulai Dari 1 ml hingga 100 ml,
bahkan untuk infus dapat lebih besar dari 100 ml. Kecepatan penyuntikan samapi 5ml
diberikan 1 ml/10 detik, sedangkan untuk di atas 5 ml kecepatannya 1 ml/20 detik.
Intravena hanya terbatas untuk pemberian larutan air, kalau merupakan bentuk emulsi
harus memenuhi ukuran partikel tertentu. Kalau dapat diusahakan pH dan tonisitas
sesuai dengan keadaan fisiologis.
Pemberian obat ini dapat dilakukan langsung pada vena atau pada pasien yang
dipasang infus, obat dapat diberikan melalui botol infus atau melalui karet pada
selang infus tempat penyuntikan yaitu pada vena yang dangkal dan dekat dengan
tulang, misalnya :

a. Pada lengan(vena mediana cubiti/vena cephalica)


b. Pada tungkai(vena saphenosus)
c. Pada leher(vena jugularis) khusus pada anak
d. Pada kepala (vena frontalis,atau vena temporalis) khusus pada anak

2.3.4 Pemberian Intrathekal-Intraspinal


Merupakan penyuntikan langsung ke dalam cairan serebrospinal pada beberapa
temapat. Cara ini berbeda dengan cara spinal anastesi. Kedua pemberian ini
mensyaratkan sediaan dengan kemurniaannya yang sangat tinggi, karena dearah ini
ada barier (sawar) darah sehinggadaerahnya tertutup. Sediaan intraspinal anastesi
biasanya dibuat hiperbarik yaitu cairannya mempunyai tekanan barik lebih tinggi dari
tekanan barometer. Cairan sediaan akan bergerak turun karenagravitasi, oleh sebab itu
harus pada posisi pasien tegak.
2.3.5 Pemberian Intraperitoneal

(Gambar Cara Pemberian Intravena)


Merupakan penyuntikan langsung ke dalam rongga perut, dimana obat secara
cepat diabsorbsi. Sediaan intraperitoneal dapat juga diberikan secara intraspinal,
im,sc, dan intradermal.
Metode penayangan cairan dan obat-obatan langsung ke rongga perut melalui
tabung tipis. Rutenya dalam rongga peritoneum. Pemberian obat intraperitoneal
adalah metode pemberian obat melalui suntikan atau infus zat ke dalam peritoneum,
di mana ia diserap oleh lapisan. Zat ini tunduk pertama melalui hati. Pemberian
intraperitoneal merupakan salah satu rute parenteral yang paling sering digunakan
pada hewan pengerat.
2.3.6 Pemberian Intradermal

(Gambar Cara Pemberian Intradermal)


Cara penyuntikan melalui lapisan kulit superficial, tetapi volume pemberian lebih
kecil dan absorbsinya sangat lambat sehingga onset yang dapat dicapai sangat lambat.

2.3.7 Pemberian Intratekal


(Gambar Cara Pemberian Intratekal)
Digunakan khusus untuk bahan obat yang akan berefek pada cairan serebrospinal.
Digunakanuntuk infeksi ssp seperti meningitis, juga untuk anestesi spinal. Intratekal
umumnyadiinjeksikan secara langsung pada lumbar spinal atau ventrikel sehingga
sediaan dapatberpenetrasi masuk ke dalam daerah yang berkenaan langsung pada
SSP.
Pemberian obat ini secara langsung ke ruang subarachnoid tulang belakang dalam
cairan serebrospinal, pada setiap tingkat sumbu serebrospinal, termasuk injeksi ke
dalam ventrikel serebral, dalam rangka untuk memotong penghalang darah-otak dan
mencapai lokal, efek yang cepat pada meninges atau sumbu serebrospinal.
Administrasi dalam cairan serebrospinal pada setiap tingkat sumbu serebrospinal,
termasuk injeksi ke dalam ventrikel serebral.
2.4 Syarat-Syarat Sediaan Parenteral
Adapun syarat-syarat dari sediaan parenteral terdiri dari :
1. Sesuai antara kandungan bahan obat yang ada didalam sediaan dengan pernyataan
tertulis pada etiket dan tidak terjadi pengurangan kualitasselama penyimpanan
akibat kerusakan obat secara kimiawi dan sebagainya.
2. Penggunaan wadah yang cocok, sehingga tidak hanya memungkinkan sediaan
tetap steril , tetapi juga mencegah terjadinya ineraksi antara bahan obat dengan
material dinding wadah.
3. Tersatukan tanpa terjadi reaksi.
4. Bebas kuman.
5. Bebas Pirogen, hal ini harus diperhatikan terutama pada pemberian injeksi dengan
volume besar, yaitu lebih dari 10 ml untuk satu kali dosis pemberian. Injeksi
yang mengandung pirogen dapat menimbulkan demam (Voight, 1995).
6. Isotonis, artinya mempunyai tekanan osmosa yang sama dengan tekanan
osmosa darah dan cairan tubuh yang lain, yaitu sebanding dengan tekanan
osmosa larutan natrium klorida 0,9 %. Penyuntikan larutan yang tidak
isotonis ke dalam tubuh dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Bila
larutan yang disuntikkan hipotonis (mempunyai tekanan osmosa yang lebih
kecil) terhadap cairan tubuh, maka air akan diserap masuk ke dalam sel-sel
tubuh yang akhirnya mengembang dan dapat pecah. Pada penyuntikan larutan
yang hipertonis (mempunyai tekanan osmosa yang lebih besar) terhadap
cairan-cairan tubuh, air dalam sel akan ditarik keluar, yang mengakibatkan
mengerutnya sel. Meskipun demikian, tubuh masih dapat mengimbangi
penyimpangan-penyimpangan dari isotonis ini hingga 10%. Umumnya larutan
yang hipertonis dapat ditahan tubuh dengan lebih baik daripada larutan yang
hipotonis. Zat-zat pembantu yang banyak digunakan untuk membuat larutan
isotonis adalah natrium klorida dan glukosa.
7. Isohidris, artinya pH larutan injeksi sama dengan pH darah dan cairan tubuh
lain, yaitu pH 7,4. Hal ini dimaksudkan agar bila diinjeksikan ke badan tidak
terasa sakit dan penyerapan obat dapat maksimal.
8. Bebas partikel melayang
2.5 Bentuk Sediaan Parenteral Konvensional
Bentuk sediaan parental konvesional yaitu sediaan steril dalam bentuk suspensi,
emulsi, larutan ataupun serbuk. Misanya seperti:
1. Obat larutan atau emulsi yang sesuai untuk obat suntik, memakai judul
“_______ injection.”
(Contoh: Insulin Injection)
2. Bubuk kering atau larutan pekat, tidak mengandung dapar, pengencer atau zat
tambahan lain dan bila ditambah pelarut lain yang sesuai memberikan larutan
yang mememenuhi semua aspek persyaratan untuk obat suntik, dan ini
dibedakan dengan judul: “Sterile ________”
(Contoh: Sterile Ampicillin Sodium)
3. Sediaan-sediaan seperti dijelaskan di nomor 2 kecuali bahwa mereka
mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau zat penambah lain, dan
dibedakan dengan judul: “________for injection”
(Contoh: Methicillin Sodium for Injection)
4. Padatan yang disuspensikan di dalam media cair yang sesuai dan tidak untuk
disuntikkan intravena atau ke dalam ruang spinal, dibedakan dengan judul:
“Sterile_________ Suspension”
(Contoh: Sterile Cortisol Suspension)
5. Padatan kering, yang bila ditambahkan pembawa yang sesuai menghasilkan
sediaan yang memenuhi semua aspek persyaratan untuk Sterile Suspension dan
yang dibedakan dengan judul “Sterile ________ for Suspension” (contoh: Sterile
Ampicillin for Suspension) (Ansel, 1989).
2.6 Alasan Dan Tujuan Pengembangan Sediaan Parenteral
Alasan dari pengembangan sediaan parenteral yaitu agar obat dapat bekerja
secara cepat dan langsung karena obat langsung berada dalam darah. Sedangkan
tujuan dari pengembangan sediaan parenteral :
1. Untuk menjamin penyampaian obat yang masih belum banyak diketahui sifat
sifatnya ke dalam suatu jaringan yang sakit atau daerah target dalam tubuh dalam
kadar yang cukup, khususnya jika diamisipasi bahwa senyawa obat yang
bersangkutan sulit mencapai sasaran tersebut jika diberikan melalui rule yang
lain.
2. Untuk memungkinkan pengendalian langsung terhadap beberapa parameter
farmakologi tenentu, seperti waktu tunda, kadar puncak dalam darah. kadar
dalam jaringan, dll. Contoh: pemberian obat secara i.v untuk mendapatkan efek
yang segera.
3. Untuk menjamin dosis dan kepatuhan terhadap obat. khususnya untuk penderita
rawat jalan.
4. Untuk mendapatkan efek obat yang tidak mungkin dicapai melalui rute lain,
mungkin karena obat tidak dapat diabsorbsi atau rusak oleh asam lambung atau
enzim jika diberikan secara oral.
5. Untuk memberikan obat pada keadaan rute lain yang lebih disukai tidak
memungkinkan, misalnya pada penderita yang saluran cema bagian atasnya
sudah tidak ada karena dioperasi.
6. Untuk menghasilkan efek secara lokal jika diinginkan untuk mencegah atau
meminimalkan efek/reaksi toksik sistemik. Contoh: pemberian metotreksat secara
injeksi intratekal pada penderita leukemia.
7. Untuk pemberian obat pada penderita yang Iidak sadarkan diri atau tidak dapat
bekerja sama (gila). Contoh: pemberian obat penenang pada orang gila.
8. Untuk memperbaiki dengan cepat cairan tubuh atau ketidak seimbangan elektrolit
atau untuk mensuplai kebutuhan nutrisi.
9. Untuk mendapatkan efek lokal yang diinginkan. misalnya anestesi lokal pada
pencabutan gigi.
2.7 Bentuk Sediaan Parenteral yang Dimodifikasi
a. Penghantaran insulin :
Transfersome dapat digunakan untuk menghantarkan obat berbobot molekul
besar seperti insulin. Insulin umumnya diberikan melalui rute subkutan, dimana
hal ini biasanya tidak terlalu menyenangkan bagi pasien. Enkapsulasi insulin ke
dalam transfersome (transfersulin) dapat mengatasi maslah ini. Transfer insulin
yang diaplikasikan ke kulit dapat menunjukkan efek hiplogikemik setelah 90
sampai 180 menit, tergantung dari komposisi pembawa spesifiknya.
b. Penghantaran protein dan peptida
Protein dan peptida umumnya mempunyai bobot molekul yang besar dan bersifat
hidrofilik sehingga sulit sekali untuk bisa berpenetrasi kedalam sirkulasi sistemik,
ketika diberikan secara oral akan terdegrasi di dalam saluran gastro-
intestinal.Oleh karena itu peptida dan protein sering diberikan melalui injeksi.
Banyak pendekatan dikembangkan untuk memperbaiki masalah tersebut.
Bioavailabilitas dari transfersome mirip dengan yang dihasilkan dari injeksi
subkutan. Serum albumin manusia atau gap junction protein yang dienkapsulasi
ke dalam transfersom menunjukkan keefektifan dalam menghasilkan respon imun
ketika dihantarkan melalui rute transdermal.
c. Penghantaran NSAID
NSAID umumnya memiliki efek samping pada saluran gastro-intestinal. Selain
itu ketika diberikan per oral, data farmakokinetik menunjukkan absorbsi natrium
Diklofenak 100%, tetapi karena metabolisme lintas pertama, hanya 50 % dosis
yang terabsorbsi secara sistemik . Untuk mengatasi masalah ini dikembangkan
sistem penghantaran transfersome. Selain Diklofenak, studi ini juga dilakukan
pada Ketotifen. Ketoprofen di dalam transfersome mendapatkan persetujuan
untuk diedarkan di pasar oleh Swiss Regulatory agency (Swiss Medic) pada tahun
2007, merk dagang dari Ketoprofen tersebut adalah Diractin.
d. Penghantaran untuk obat herbal
Ekstrak kurkumin yang dimasukkan ke dalam transfersome dan dibuat sediaan
krim memiliki efikasi yang lebih tinggi dibandingkan kurkumin yang dimasukkan
ke dalam liposom konvensional ataupun etosom. Ekstrak kurkuma yang
dimasukkan ke dalam vesikel nano akan memperbaiki penetrasi ke dalam kulit
dimana akan dihasilkan perbaikan pada kulit seperti hidrasi kulit dan kandungan
sebum yang meningkat. Ekstrak Punica granatum juga menunjukkan efek
fotoprotektif yang lebih baik bila dibandingkan dengan krim konvensional. Efek
fotoprotektif juga dilakukan dengan studi biokimia. Karakteristik kulit seperti
viskoelastisitas, hidrasi kulit, kandungan sebum dapat diperbaiki.
e. Pengembangan kurkumin dan andrografolida untuk sediaan parenteral (Lifie &
Melindah, 2020)
Beberapa senyawa aktif yang berasal dari tanaman telah dilaporkan berpotensi
untuk dikembangkan sistem pemberiannyasecara parenteral untuk meningkatkan
sistem penghantaran. Dua senyawa aktif tersebutadalah kurkumin dan
andrografolida.Kurkumin merupakan senyawa aktif yangulasan pembahasan
pengembangannya dapatdiberikan melalui intravena (IV),intramuscular (IM),
subkutan (SC), dan Intradermal (ID) sedangkan untuk senyawaAndrografolida
dapat diformulasikan untukpemberian melalui intravena(IV),intramuskular (IM),
dan subkutan (SC).
2.8 Keuntungan Dan Kelemahan Bentuk Konvesional dan Modifikasi
Keuntungan dan kelemahan dari bentuk sediaan ini konvensional yaitu:
1. Keuntungan
a. Bisa untuk pasien yang tidak sadar,
b. Sering muntah dan tidak kooperatif,
c. Tidak dapat untuk obat yang mengiritasi lambung,
d. Dapat menghindari kerusakan obat di saluran cerna dan hati, bekerja cepat dan
dosis ekonomis.
2. Kelemahan
a. Sediaan parenteral mempunyai dosis yang harus ditentukan lebih teliti waktu dan
cara pemberian harus diberikan oleh tenaga yang sudah terlatih.
b. Bila obat diberikan secara parenteral maka sulit dikembalikan efek fisiologisnya
c. Sediaan parenteral merupakan sediaan mahal karena preparasi dan pembuatan
secara khusus seperti menggnakan kemasan yang khusus dengan dosis yang
sudah diatur sesuai kebutuhan
d. Terapi parenteral akan meniulkan komplikasi dari beberapa penyakit seperti
infeksi jamur, bakteri sehingga interaksinya tidak bisa dikendalikan
e. Kemajuan dalam manufaktur atau pabrikasi atau kemasan menimbulkan beberapa
masalah dalam sterilitas, partikulasi, pirogenitas, sterilisasi dll.
BAB III
PENUTUP
2.1Kesimpulan
Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini diberikan melalui
beberapa rutepemberian yaitu intravena, intraspinal, intramuskuler, subkutis dan
intradermal. Apabila injeksidiberikan melalui rute intramuscular, seluruh obat akan
berada di tempat itu. Dari tempatsuntikan itu obat akan masuk ke pembuluh darah di
sekitarnya secara difusi pasif, baru masuk kedalam sirkulasi.
3.2 Saran
Penulis sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan karena memiliki
keterbatasan-keterbatasan yang tidak dapat dipungkiri, untuk itu diharapkan kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C. 1989. Buku Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi ke-4. Jakarta:
UI Press. Hal. 399-407
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1978. Formularium Nasional, edisi 2.
Jakarta: DEPKES
Gulati, N & Gupta, H. 2011. Parenteral Drug Delivery. Joernal Recent Patents on
Drug Delivery & Formulation. Vol :5(2) 133-145
Lifie,K.,R.,M & Melindah, E. 2020. Pengembangan Kurkumin Dan Andrografolida
Untuksediaan Parenteral. Jurnal Ilmiah Farmasi. Vol. 9(1) ISSN 2302 - 2493
Rawa S. 2013. Hydrocortisone Micro Emulsions for Parenteral Drug Delivery.
American Journal of Pharmacy & Health Research, SND College of Pharmacy,
Yeola, Nashik. Vol 1( 4) ISSN : 2321–3647
Voigt, R., 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Diterjemahkan oleh
Soendani N. S. Yogyakarta : UGM Press

Anda mungkin juga menyukai