DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
S1 FARMASI III A
i
KATA PENGANTAR
Puji beserta syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan dan rahmat-Nya kepada kami sehingga kami bisa
menyelesaikan Makalah Biofarmasetika dan Farmakokinetik yang berjudul “Rute
Obat Parenteral dan Transmukosal” ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam
semoga tercurahkan kepada Nabi besar yakni Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga dan sahabatnya.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam penyusunan makalah ini secara umumnya dan kepada dosen
Mata Kuliah Biofarmasetika dan Farmakokinetik, yakni bapak apt. Akhyasin,
M.Farm.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan
karena penulis masih dalam tahap pembelajaran. Namun, kami tetap berharap agar
tugas ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Kritik dan saran dari penulisan makalah ini sangat kami harapkan untuk
perbaikan dan penyempurnaan pada makalah kami berikutnya. Untuk itu kami
ucapkan terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
1. Cover Depan i
2. Kata pengantar ii
3. Daftar isi iii
4. BAB I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan masalah 1
5. BAB II Pembahasan 2
A. Peninjauan tentang bahan nutrasetikal yang berkhasiat 2
a. Kandungan yang berkhasiat dan manfaat dalam daun sirih merah.2
b. Sifat kimia dan fisika flavonoid 2
c. Uji klinik pada daun sirih merah 3
B. Peninjauan tentang penyakit Diabetes Mellitus 7
a. Patofisiologi dari penyakit Diabetes Mellitus 7
b. Faktor resiko dari penyakit Diabetes Mellitus 8
c. Prevelensi dari penyakit Diabetes Mellitus 8
d. Data klinis dari penyakit Diabetes Mellitus 8
C. Parameter evaluasi fisikokimia sediaan 9
6. BAB III Penutup 10
A. Kesimpulan 10
7. DAFTAR PUSTAKA 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Sediaan steril merupakan salah satu bentuk sediaaan farmasi yang banyak dipakai,
terutama saat pasien dirawat di rumah sakit. Sediaan yang termasuk sediaan steril yaitu
parenteral yakni sediaan obat suntik bervolume kecil atau besar, cairan irigasi yang
dimaksudkan untuk merendam luka atau lubang operasi, larutan dialisa dan sediaan biologis
seperti vaksin, toksoid, antitoksin, produk penambah darah dan sebagainya. Sterilitas sangat
penting karena cairan tersebut langsung berhubungan dengan cairan dan jaringan tubuh yang
merupakan tempat infeksi dapat terjadi dengan mudah (Ansel, 1989).
Pada umumnya pemberian dengan cara parenteral dilakukan bila diinginkan kerja obat
yang cepat seperti pada keadaan gawat, bila penderita tidak dapat diajak bekerja sama dengan
baik, tidak sadar, tidak dapat atau tidak tahan menerima pengobatan melalui mulut (oral) atau
bila obat itu sendiri tidak efektif dengan cara pemberian lain. Sediaan ini diberikan melalui
beberapa rute pemberian yaitu intravena, intraspinal, intramuskuler, subkutis dan intradermal.
Sediaan parenteral diberikan dengan cara menyuntikkan obat di bawah atau melalui
satu atau lebih lapisan kulit atau membran mukosa karena rute disekitar daerah pertahanan
yang sangat tinggi dari tubuh, yaitu kulit dan selaput atau membran mukosa, maka
kemurniaan yang sangat tinggi dari sediaan harus diperhatikan. Apabila injeksi diberikan
melalui rute intramuscular, seluruh obat akan berada di tempat itu. Dari tempat suntikan itu
obat akan masuk ke pembuluh darah disekitarnya secara difusi pasif, kemudian masuk ke
dalam sirkulasi. Cara ini sesuai untuk bahan obat, baik yang bersifat lipofilik maupun yang
hidrofilik. Kedua bahan obat itu dapat diterima dalam jaringan otot baik secara fisis maupun
secara kimia. Bahkan bentuk sediaan larutan, suspensi, atau emulsi juga dapat diterima lewat
intramskuler, begitu juga pembawanya bukan hanya air melainkan yang non air juga dapat.
Hanya saja apabila berupa larutan air harus diperhatikan pH larutan tersebut (Agoes, 2009).
Obat suntik hingga volume 100 ml disebut sediaan parenteral volume kecil, sedangkan
apabila lebih dari 100 mL disebut sediaan parenteral volume besar atau yang biasa diberikan
secara intervena (Ansel, 2005). Produk parenteral, selain diusahakan harus steril juga tidak
boleh mengandung partikel yang memberikan reaksi pada pemberian juga diusahakan tidak
4
mengandung bahan pirogenik. Bebas dari mikroba (steril) dapat dilakukan dengan cara
sterilisasi dengan pemanasan pada wadah akhir, namun ada bahan yang tidak tahan terhadap
pemanasan. Untuk itu dapat dilakukan teknik aseptic.
Obat dapat diberikan kepada pasien melalui sejumlah rute pemberian yang berbeda.
Rute pemberian obat dapat dilakukan secara peroral, parenteral, topikal, rektal, intranasal,
intraokular, konjungtival, intrarespiratori, vaginal, uretral (Ansel, 1985). Rute pemberian obat
secara peroral adalah rute yang paling disukai, karena rute pemberian ini mudah untuk
digunakan, menjamin kepatuhan pasien, batasan untuk sterilitas kecil dan desain dosis bentuk
sediaan lebih fleksibel (Thapa et al., 2005).
Akan tetapi rute pemberian obat secara oral memiliki kelemahan, yaitu obat yang
diberikan secara per oral akan mengalami metabolisme lintas pertama di hati dan degaradasi
enzimatik dalam saluran cerna. Sehingga pemberian obat secara transmukosa dipilih untuk
mengatasi kelemahan dari sediaan oral tersebut. Rute pemberian obat secara transmukosa
(diantaranya pada lapisan mukosa hidung, rektal, vagina, mata, dan rongga mulut) memiliki
keuntungan yang berbeda terhadap pemberian secara oral dalam hal efek sistemik yang
dihasilkannya (Shojaei, 1998).
5
1.3. Tujuan
1. Mengetahui definisi dari sediaan parenteral
2. Mengetahui rute-rute pemberian injeksi
3. Mengetahui macam-macam sediaan parenteral
4. Mengetahui keuntungan dan kerugian sediaan parenteral
5. Mengetahui tujuan pemberian obat sediaan parenteral
6. Mengetahui anatomi mukosa mulut
7. Memahami sistem penghantaran obat secara transmukosa oral
8. Mengetahui faktor yang dapat mempengaruhi penghantaran obat secara transmukosa oral
9. Mengetahui dan memahami formulasi dan pengembangan obat dengan sistem
penghantaran transmukosa oral
10. Mengetahui keuntungan dan kerugian dari sistem penghantaran
transmukosa oral.
6
BAB II
PEMBAHASAN
Parenteral berasal dari bahasa Yunani, para dan enteron yang berarti “di luar usus
halus” dan merupakan rute pemberian lain dari rute oral. Istilah parenteral seperti yang umum
digunakan menunjukan pemberian lewat suntikan seperti berbagai sediaan yang diberikan
lewat suntikan (Ansel, 1989). Pemberian obat secara parenteral lazimnya dipilih bila
diinginkan efek yang cepat, kuat dan lengkap atau untuk obat yang merangsang atau dirusak
oleh getah lambung (hormon), atau tidak diresorpsi usus (streptomisin). Begitu pula pada
pasien yang tidak sadar atau tidak mau bekerja sama (Tjay Tan Hoan dan Rahardja Kirana,
2015 : Hal 13).
Sediaan parenteral adalah bentuk sediaan yang digunakan untuk injeksi atau sediaan
untuk infus. Injeksi adalah pemakaian dengan cara menyemprotkan larutan atau suspensi ke
dalam tubuh untuk tujuan terapeutik atau diagnostik. Injeksi dapat dilakukan langsung ke
dalam alairan darah, ke dalam jaringan atau organ. Asal kata injeksi dari injectio yang berarti
“memasukan ke dalam”, sedangkan infusio berarti “penuangan ke dalam” (Lukas, 2006).
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, suspensi atau emulsi atau serbuk yang
harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikan dengan
cara merobek jaringan ke dalam kulit atau selaput lendir. Infus intravena adalah sediaan steril
berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah,
disuntikan langsung ke dalam vena dalam volume relatif banyak (Depkes R.I, 1979).
Dalam Farmakope Indonesia Ed. IV (Depkes R.I, 1995), yang dimaksud dengan
larutan parenteral volume besar adalah injeksi dosis tunggal untuk intravena dan dikemas
dalam wadah bertanda lebih dari100 ml. Injeksi volume kecil adalah injeksi yang dikemas
dalam wadah bertanda volume 100 ml atau kurang.
8
2. Intramuskular (i.m)
a. Disuntikan ke dalam jaringan otot, bagian tidak memiliki banyak pembuluh dan saraf,
umumnya di otot pantat atau paha.
9
b. Volume sediaan umumnya 2 ml.
c. Sediaan berupa larutan, suspensi atau emulsi. Jaringan otot mentoleransi minyak
dan partikel yang tersuspensi dengan baik di dalam minyak, sehingga jaringan otot
merupakan rute yang cocok untuk minyak dan suspensi dalam minyak. Bentuk larutan
sebaiknya isotonis.
d. Onset (mula kerja) bervariasi tergantung besar kecilnya partikel.
e. Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta mudah terakumulasi. Pemberian obat ke
dalam jaringan otot akan menghasilkan pengumpulan produk pada tempat injeksi.
Dari depo ini, obat dilepaskan pada suatu laju yang sebagian besar ditentukan oleh
karakteristik formula tersebut. Larutan dalam air lebih cepat diabsorpsi daripada
minyak. (Lukas, 2006; Lachman dkk, 1994).
f. Obat yang terlarut bekerja dalam waktu 10-30 menit, tujuannya untuk memperlambat
resorpsi atau memperpanjang kerja obat, sering kali digunakan larutan atau suspensi
dalam minyak, misalnya suspensi penisilin dan hormon kelamin (Tjay Tan Hoan dan
Rahardja Kirana, 2015 : hal 13).
3. Intravena (i.v)
a. Disuntikan ke dalam pembuluh darah.
10
b. Volume relatif lebih besar. Volume kecil (< 5 ml) sebaiknya isotonis dan isohidri,
sedangkan volume besar (infus) harus isotonis dan isohidris.
c. Tidak melalui fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset (mula kerja)
segera, bioavaibilitas 100% (Lukas, 2006).
d. Menghasilkan efek tercepat dalam waktu 18 detik untuk satu peredaran darah, obat
sudah tersebar ke seluruh jaringan. Cara ini digunakan untuk mencapai pentakaran
yang tepat, atau untuk efek yang sangat cepat dan kuat.
e. Tidak berlaku untuk obat yang tidak larut dalam air atau menimbulkan endapan dengan
protein atau butiran darah (Tjay Tan Hoan dan Rahardja Kirana, 2015 : hal 13).
Bahaya injeksi iv adalah dapat mengakibatkan terganggunya zat-zat koloida darah
dengan reaksi hebat, karena benda asing langsung dimasukkan ke dalam sirkulasi darah,
misalnya tekanan darah mendadak turun dan timbulnya shock. Bahaya ini lebih besar bila
injeksi dilakukan terlalu cepat, sehingga kadar obat setempat dalam darah meningkat terlalu
cepat. Oleh karena itu,setiap injeksi iv. sebaiknya dilakukan dengan sangat perlahan, antara 50
dan 70 detik (Tjay Tan Hoan dan Rahardja Kirana, 2015 : hal 13).
a. Intraspinal.
Intraspinal disuntikan ke dalam sumsum tulang belakang. Larutan harus isotonik
dan isohidris, karena sirkulasi dari cairan serebrospinal lambat dan gangguan
tekanan osmotik dengan cepat menyebabkan sakit kepala dan muntah (Lukas,
2006; Lachman dkk, 1994).
b. Peritoneal (i.p).
Peritoneal (i.p) yaitu kateter dimasukan dalam perut dengan operasi untuk
memasukan cairan steril dialisis. Larutan harus hipertonis, zat aktif diabsorpsi dengan
cepat dan volume diberikan dalam jumlah besar (1 atau 2 Liter) (Lukas, 2006).
c. Intraartikular.
Intraartikular yaitu disuntikan ke dalam sendi, larutan isotonis dan isohidris
(Lukas, 2006)
d. Intradermal/intrakutan (i.c)
11
Intradermal/intrakutan disuntikan ke dalam kulit. Umumnya diberikan untuk tujuan
diagnostik, desensitasi (alergi) atau imunisasi, larutan sebaiknya isotonis dan isohidris
karena larutan yang nonisotonik dapat memberikan tanda - tanda iritasi palsu
(Lukas, 2006; Lachman dkk, 1994)
e. Intralumbal (antara ruas tulang belakang),
f. Itraperitoneal (ke dalam ruang selaput perut),
g. Intrapleural (ke dalam selaput paru-paru),
h. Intrakardial (jantung)
i. Intra-artikuler (ke celah-celah sendi).
F. Anatomi
13
Fungsi dari sistem pencernaan yaitu untuk menghancurkan molekul yang
diperoleh dari makanan menjadi ukuran yang lebih kecil untuk diabsorbsi di darah
atau limfa. Proses ini dibagi menjadi lima fase utama, dibagi dalam beberapa
wilayah sistem pencernaan, antara lain :
Secara mikroskopis atau histologis, dinding saluran cerna terdiri dari empat
lapisan, yaitu:
1. Tunika mukosa, terdiri dari lapisan epitel yang membatasi lumen saluran cerna,
lamina propria, dan tunika muskularis mukosa yang memisahkan mukosa
dengan submukosa. Berbagai segmen saluran cerna memiliki bentuk epitel yang
berlainan, tergantung pada fungsinya masing-masing. Pada umumnya, sel epitel
memiliki banyak fungsi, yaitu absorbsi (pertukaran air, elektrolit, serta nutrien),
sekresi enzim, serta sebagai barier yang banyak mengandung sel imun. Lamina
propria merupakan lapisan dibawah lapisan epitel yang banyak mengandung
saluran limfa, pembuluh darah, dan ujung-ujung saraf aferen maupun eferen.
2. Lapisan submukosa yang terdiri dari jaringan ikat elastis serta pembuluh darah
dan limfa. Pada lapisan ini, juga terdapat pleksus saraf Meissner yang berfungsi
untuk mempersarafi lapisan epitel dan mukularis mukosa.
3. Tunika muskularis yang tersusun dari jaringan otot polos sirkuler dan
longitudinal. Di antara lapisan otot sirkuler dan longitudinal usus halus, terdapat
kumpulan sel ganglion yang disebut dengan plexus Auerbach’s
4. Tunika serosa, yaitu jaringan ikat terluar yang menghasilkan cairan serous.
Meskipun memiliki struktur umum yang serupa, masing-masing segmen
saluran cerna memiliki karakteristik histologis tersendiri sesuai dengan fungsinya
14
pada proses digestif, yaitu fungsi motilitas (pergerakan makanan melalui traktus
digestifus), sekresi (pelepasan zat tertentu untuk membantu proses pencernaan
makanan), digesti (pemecahan makanan secara fisik maupun kimia), atau absorpsi
(pemindahan berbagai zat ke lingkungan dalam tubuh). Pada bagian selanjutnya,
akan dijelaskan mengenai fisiologi digesti secara umum dan struktur serta proses
spesifik yang berlangsung pada masing- masing segmen saluran cerna (Juffrie, M.,
2018
Mulut
Melembabkan
Antibodi
Saraf sensoris yang menerima rangsang dari luar melalui bibir dan l idah
Reseptor piala pengecap pada papil lidah (reseptor rasa manis, asam,
pahit, asin), rasa terhadap air (haus)
Refleks seperti menelan, muntah, mual, salivasi diawa1ali oleh rese ptor
pada mukosa mulut.
15
3. Fungsi sekresi dilakukan oleh kelenjar liur :
Kelenjar liur mayor terletak jauh dari permukaan mukosa dengan duktus
yang panjang
1. Lapisan Epitel
a. Stratum basal
b. Stratum Spinosum
c. Stratum Granulosum
d. Stratum Korneum
• parotid
• sublingual
• submandibular
18
dalam penghantaran bukal yang sukses, yang lebih ditekankan adalah
penggunaan mukoadhesif polimer dalam formulasi sistem penghantaran
bukal (Aungst, 1998). Matriks yang biasa digunakan pada sediaan bukal
patch mukoadhesif antara lain CMC-Na, Methocel dan Chitosan. CMC-Na
digunakan sebagai matriks karena memiliki kekuatan mukoadhesif yang
tinggi (Roy et al., 2010). Selain itu CMC-Na biasa digunakan utntuk
melindungi perlekatan produk dengan jaringan tubuh dari kerusakan (Rowe
et al., 2006). Ada 3 tipe peghantaran bukal mukoadhesif yaitu sebagai
berikut :
Tipe I merupakan sistem single layer dimana pelepasan obat ke semua
arah. Pelepasan obat akibat sediaan yang mengembang
19
Tipe II merupakan sistem double layer dengan ditambahkan backing
membrane dibagian atas dari patch tersebut untuk menghindari
kehilangan obat dari bagian atas sediaan menuju rongga mulut.
Tipe III merupakan sistem yang memberikan pelepasan obat secara tidak
langsung. Seluruh permukaan pada sediaan dilapisi dengan impermeable
backing layer kecuali sisi yang kontak dengan bukal mukosa ( Kaul et al,
2011).
A. Mekanisme Mukoadhesi
B. Patch Bukal
21
Tipe Patch
1. Pelepasan multi-arah
22
Tingkat pelepasan obat dapat dikendalikan dengan menggunakan :
Area Patch
Patch hydmtion
25
D. Rute Bukal
1. Bukal Proklorperazin
26
Onset akut efek anti-anginal dengan nitrogliserin sublingual
terjadi dalam waktu 2 menit, tetapi efeknya berumur pendek,
Bentuk dosis cepat larut Zydis adalah bentuk dosis oral baru yang terdiri
dari wafer berpori beku-kering yang mengandung zat obat dan eksipien yang
larut cepat lainnya. Porositas yang tinggi dari sistem berarti ia larut secara
instan di lidah dan tidak membutuhkan air untuk membantu menelan.
Sejumlah produk saat ini tersedia yang menggunakan teknologi Zydis
termasuk Dimetapp Quick Dissolving Tablets, Feldene Melt dan Pepdine.
Obat ini kemudian basah dengan saliva untuk penyerapan selanjutnya di
saluran pencernaan. Kenyamanan dan penerimaan formulasi Zydis
membuatnya sangat cocok untuk pasien yang merasa sulit atau tidak nyaman
untuk menelan bentuk sediaan padat.
Molekul obat diserap oleh difusi pasif ketika obat dalam bentuk
tak terion dalam saliva. Proses absorpsi obat dari saliva melalui lapisan
ganda lipid dari selaput mukus langsung ke sirkulasi sistemik. Lipid yang
ada di mukus membran sublingual bertindak sebagai penghalang utama
untuk permeabilitas obat hidrofilik.
28
baik polar atau non-polar. Molekul polar bersilangan
melalui saluran ionik di ruang antar sel epitel, atau pori-
pori berair yang ada di sel epitel sedangkan molekul non-
polar lewat melalui daerah lipid epitel.
B. Rute Sublingual
29
Tablet sublingual terdiri dari eksipien terlarut (laktosa,
manitol, sukrosa) untuk mencapai disolusi cepat dan
membantu timbulnya aksi obat dengan cepat. Namun, waktu
yang diperlukan untuk larut bisa bervariasi dan lama,
khususnya pada mulut kering. Selain itu, tablet memiliki
masalah stabilitas dan harus sangat berhati-hati terhadap
paparan panas, cahaya, kelembaban, dan bahan kemasan
yang tidak sesuai, yang menyebabkan persyaratan agar
tablet dibuang 8 minggu setelah dibuka. Formulasi aerosol
lipid dari nitrogliserin juga tersedia, yang jauh lebih stabil
daripada tablet, dengan umur simpan yang lama (3 tahun).
Disemprotkan langsung ke lidah, membantu meringankan
nyeri angina dalam waktu 2 menit dengan durasi efek hingga
30 menit. Namun, telah ditunjukkan bahwa penggunaan
berbagai aerosol dapat mempengaruhi ketersediaan hayati
obat dan memiliki implikasi terapeutik yang penting.
30
dalam bentuk erosi massal atau permukaan erosi. Kemajuan dalam
pengiriman obat transmukosa oral berfokus pada pengembangan
sistem pengiriman obat yang tidak hanya mencapai tujuan terapi
pengiriman tetapi juga mengatasi kondisi lingkungan yang tidak
menguntungkan yang terdapat dalam rongga mulut.
1. Larutan encer
31
kendaraan untuk pengiriman obat untuk pengobatan gangguan
lokal, termasuk disfungsi motilitas, infeksi jamur. Suspense
Natrium alginate i sebagai cairan bioadhesif baru menunjukkan
bahwa permukaan esofagus dapat dilapisi untuk melindungi
terhadap refluks dan dapat memberikan terapi agen ke mukosa
yang rusak.
32
mengandung campuran obat dengan bioadhesif dan matriks
berlapis-lapis, terdiri dari dua atau lebih lapisan polimer dengan
atau tanpa bahan farmasi aktif. Pelepasan dari tablet dapat
dikontrol dengan melapisi permukaan tablet dengan polimer
kedap air untuk mencapai pelepasan searah atau dua arah.
Meskipun populer, ada batasan tertentu pada bentuk sediaan
padat, seperti waktu tinggal pendek, menelan yang tidak
disengaja, dan penerimaan pasien. Banyak obat telah
dimasukkan ke dalam bentuk sediaan padat mukosa oral dan
tersedia secara komersil, seperti Nicorette (tablet hisap nicotin),
Fentora (tablet buccal fentanyl), Actiq (tablet hisap fentanyl),
dan Striant (tablet extended release buccal testosterone).
1. Patch
33
Pacth dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
34
oral ke dalam sirkulasi sistemik. Semprotan yang dihasilkan
berupa tetesan halus dengan ukuran optimal untuk diabsopsi
di mukosa bukal tetapi terlalu besar untuk diabsopsi di paru-
paru. Generex Bioteknologi telah membagi teknologi
penghantaran obat aerosol-bukal disebut dengan RapidMist.
Teknologi ini terdiri dari formulasi eksklusif yang terdiri
dari campuran obat, peningkat absorpsi, dan eksipien dan
merupakan alat untuk mengirimkan obat secara akurat,
andal, dan aman. Kelebihan formulasi aerosol adalah bahwa
dosis unit yang seragam dapat diberikan melalui semprotan
pompa, sehingga meningkatkan profil keamanan obat-
obatan tertentu dengan menurunkan dosis, dan kemampuan
untuk memberikan obat tanpa air.
35
mengandung prednisolon asetat, rifamycin, dengan
parachlorophenol dan iodoform diuji untuk
penyembuhan yang lebih baik setelah pencabutan gigi
pada pasien yang positif HIV.
3. Permen karet
36
selama periode waktu yang panjang dan potensi untuk
meningkatkan variabilitas dalam hal pelepasan dan
retensi waktu obat. Namun, perlu dikunyah terus
menerus untuk melepaskan obat sehingga tidak cocok
untuk pasien geriatri. Banyak keterbatasan yang sama
dari formulasi padat lainnya karena ini juga merupakan
sistem terbuka.
37
Fungsi utama dari epitelium oral adalah untuk memberikan
barrier yang aman dan melindungi rongga mulut terhadap luka.
Peran pelindung disini mengartikan bahwa pada epitelium oral juga
terdapat sebuah barrier yang cukup besar untuk penghantaran obat
sistemik. Faktor fisiologi yang mempengaruhi bioavailabilitas
transmukosa oral, meliputi: (Anya et al., 2001)
38
580 mikro meter (Bhati et al., 2012). Sehingga permeabilitas
obat sublingual lebih tinggi yang mengakibatkan onset kerja
cepat dan cocok digunakan untuk obat immediate release
(Narang et al., 2011).
1. Ketebalan epitelium
2. Suplai darah
3. Aktivitas metabolisme
39
transmukosa oral sangat menarik untuk penghantaran obat-
obatan yang tidak stabil secara enzimatik seperti peptida
terapeutik dan protein.
40
dapat hanyut dalam saliva dan secara tidak sengaja
dapat tertelan;
6. Perbedaan spesies
41
Tikus mengandung epitelium keratin yang sangat
tinggi, dengan demikian sangat tidak cocok sebagai model
hewan ketika melakukan uji penghantaran obat bukal.
Model hewan yang cocok untuk mempelajari penghantaran
obat mukosa oral termasuk babi dan anjing, karena mukosa
oral mereka sangat mirip dengan manusia, baik dalam
morfologi dan karakteristik permeabilitas .
a. Rute paracellular
42
pada sel epitel dari rongga mulut mengandung bahan
lipid, diendapkan dari granul lapisan membran.
Bagian lipid (tergantung, seperti biasa, pada sifat
fisikokimia) mungkin dapat menembus melalui
lingkungan lipid antara sel, sehingga diserap melalui
rute paracellular.
b. Rute transelular
- Proses endositik
43
penyerapan sistemik, khususnya untuk obat-
obatan dengan berat molekul tinggi yang
umumnya dianggap melintasi sel epitel secara
endositik, penelitian di masa depan akan
cenderung berfokus pada upaya untuk lebih
memahami proses ini.
44
juga dapat mempengaruhi berat molekul, kelenturan, kapasitas ikatan
hidrogen, ikatan silang, muatan, konsentrasi, hidrasi (pengembangan).
1. Polimer sintetik
1. Polimer Hidrofilik
45
akrilat), karagenan, natrium alginat, dan guar gum.
3. Polimer termoplastik
46
merupakan polimer mukoadesif yang memiliki daya lekat
yang kuat pada mukosa (Kibbe, 2000; Chary, Vani, and Rao,
1999).
47
Tabel 1. Polimer-polimer dalam Obat Oral
Transmukosal.
48
membuat adanya penurunan dosis yang signifikan dan
nantinya akan terkait pada efek samping dosis.
49
membran, dan obat yang diabsorbsi di mulut tidak melewati metabolisme
lintas pertama hepar
Alternatif mekanisme untuk peningkatan permeasi melibatkan
peningkatan permeasi transelular obat, dengan cara mengganggu struktur
membran sel. Seperti direview oleh Swenson dan Curatolo, surfaktan dapat
bertindak sebagai peningkat permeabilitas dengan mempartisi ke dalam
membran sel epitel dan mengganggu pengemasan lipid membran, membentuk
cacat struktural yang mengurangi integritas membran. Surfaktan juga dapat
mengekstraksi protein dari membran sel. Agen yang mengubah permeabilitas
membran sel dengan cara yang mengganggu gradien ion ekstraseluler-
intraseluler normal dapat bersifat sitotoksik, karena berbagai fungsi seluler
bergantung pada mempertahankan gradien ion transmembran. Masalah
penting kemudian adalah apakah permeabilisasi bersifat sementara, dan jika
sitotoksisitas terjadi, apakah jaringan dapat dengan mudah meremajakan area
di mana sitotoksisitas telah terjadi.
Selain itu, sitotoksisitas berhubungan dengan paparan enhancer terkait
secara struktural, natrium laurat, berkurang dengan adanya asam amino taurin
dan L-glutamin. Sitotoksisitas terlihat dengan paparan natrium laurat
dikaitkan dengan peningkatan kalsium intraseluler yang mengakibatkan
apoptosis, dan efek ini berkurang oleh asam amino. Studi- studi ini adalah
contoh yang menggambarkan mengapa penting untuk memahami mekanisme
perubahan penyerapan dan bagaimana informasi ini dapat digunakan untuk
mengoptimalkan keamanan dan efikasi.
Mekanisme untuk meningkatkan permeabilitas membran bukal dan
sublingual mirip dengan mekanisme absorbsi kulit, sebagaimana dirangkum
dalam konsep LPP (lipid– protein–partitioning). Namun, juga telah disebutkan
bahwa lipid mukosa bukal secara kimia dan struktural berbeda dari stratum
corneum, dan mekanisme penambah permeasi tertentu dapat berbeda antara
kulit dan mukosa bukal.
50
J. Keuntungan dan Kerugian dari Penghantaran Obat Transmukosa Oral
Penghantaran obat transmukosa oral memiliki beberapa keuntungan, namun juga
kerugian, sebagai sistem penghantaran obat, tergantung pada sifat obat yang
dihantarkan. Berikut merupakan keuntungan dan kerugian dari penghantaran obat
transmukosa oral (Anya et al, 2001):
1. Keuntungan
Keuntungan dari penghantaran obat transmukosa oral sebagai berikut:
a. Luas permukaan relatif besar
Rongga mulut menawarkan area permukaan yang relatif besar (total area
rongga bukal sekitar 100 cm2) untuk penyerapan obat.
b. Aksesibilitas
Rongga mulut memberikan permukaan yang sangat mudah untuk
penghantaran obat, baik untuk aplikasi dan penghapusan sistem
penghantaran obat. Aksesibilitas ini meniadakan perlunya alat
penghantaran kompleks untuk memungkinkan obat mencapai lokasi
penyerapannya. Dengan demikian alat untuk penghantaran oral lebih
sederhana dalam desain daripada yang dimaksudkan untuk memberikan
obat, misalnya, ke daerah alveolar paru-paru.
c. Kemudahan penggunaan
Alat trasmukosa oral, seperti semprotan, tablet atau patch, juga
sederhana/mudah untuk digunakan oleh pasien dan mungkin diharapkan
lebih dapat diterima oleh pasien daripada penggunaan pessary atau
supositoria masing-masing untuk rute penghantaran intravaginal dan rektal.
d. Suplai darah yang kaya
Permukaan mukosa mulut yang sangat vaskular memastikan penyerapan
dan onset aksi yang cepat, serta pemeliharaan sink conditions. Secara
khusus, rute sublingual ditandai oleh onset aksi yang cepat. Rongga bukal
menawarkan keuntungan gabungan dari onset aksi yang relatif cepat,
dengan potensi penghantaran berkelanjutan selama beberapa jam.
51
e. Aktivitas metabolisme rendah
Aktivitas metabolisme rongga mulut dianggap lebih rendah dari pada
saluran GI, membuat rute ini menjadi alternatif yang menarik untuk
penghantaran oral obat labil secara enzimatik seperti peptida terapeutik dan
protein. Selanjutnya, rute ini menghindari efek first pass dari degradasi di
dinding usus atau hati, sebelum obat mencapai sirkulasi sistemik.
f. Variabilitas rendah
Rute ini memiliki variabilitas yang lebih sedikit daripada, misalnya, rute
oral, di mana faktor-faktor seperti motilitas usus, keberadaan makanan dan
pH ekstrem bergabung untuk membuat penghantaran obat oral sangat
bervariasi. Namun, faktor-faktor seperti aliran saliva dan keadaan penyakit
tertentu dapat berkontribusi pada tingkat variabilitas yang terkait dengan
rute ini.
g. Kuat
Mukosa mulut secara rutin terpapar banyak senyawa asing yang berbeda
dan relatif kuat dan kurang rentan terhadap iritasi daripada, misalnya,
mukosa hidung.
h. Retensi berkepanjangan
Retensi obat yang berkepanjangan dimungkinkan di dalam rongga bukal,
jika sistem penghantaran yang tepat digunakan. Hal ini memungkinkan
penurunan frekuensi pemberian dosis.
i. Alternatif usus
Rongga bukal adalah alternatif yang berguna untuk rute usus untuk
penyerapan obat dalam situasi di mana rute gastrointestinal tidak
memungkinkan. Contohnya meliputi:
- pasien dengan mual dan muntah;
- pasien dengan kesulitan menelan;
- obat-obatan yang menyebabkan iritasi lambung;
- obat-obatan yang tidak stabil dalam cairan gastrointestinal;
52
- obat-obatan yang mengalami efek first-pass yang luas di dinding usus
atau hati.
53
peptida dan protein kurang dari pada saluran GI, harus diakui
bahwa mukosa dan sekresi mulut memang memiliki
kemampuan untuk mendegradasi obat dan langkah-langkah
mungkin diperlukan untuk mengatasi hal ini.
4) Clearance mucus dan saliva
7) Komersial
54
masalah ini dapat berkontribusi pada keterlambatan yang
signifikan dalam pengembangan dan pemasaran sistem
penghantaran baru dan juga dapat membuat sistem ini relatif
mahal.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
55
DAFTAR PUSTAKA
Anya M.Hillery et al. 2001. Drug Delivery and Targetting. London : British
Library Cataloguing in Publication Data
Chary, R. B., Vani, G., Rao, Y. M., 1999, In vitro and In vivo Adhesion
testing of Muchoadhesive Drug Delivery Systems, Entrez Pubmed.
Derle, D., Joshi, O., Pawar, A., Patel., J. And Jagadale, A., 2009,
Formulation and Evaluation of Buccoadhesive Bi-Layer Tablet of
Propranolol Hydrochloride, International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences
56
Dhawan, S., Singla, A.K., and Sinha, V.R. 2004. Evaluation of
mucoadhesive properties of chitosan microsphere prepared by
different method, AAPS.
Tjay Tan Hoan dan Rahardja Kirana. 2015.”Obat – obat penting edisi ke 7”.
Hal 13-14. PT Gramedia, Jakarta.
57