Di susun oleh :
Kelompok 1
i
DAFTAR ISI
Halaman
COVER ..........................................................................................................
A. Pengertian ....................................................................................... 3
B. Jenis Sediaan Parenteral .................................................................. 3
C. Persyaratan Sediaan Parenteral ........................................................ 5
D. Rute pemberian ............................................................................... 5
E. Keuntungan dan kerugian .............................................................. 8
F. Biotransformasi Obat ....................................................................... 9
G. Faktor yang mempengaruhi biotransformasi ................................... 11
H. Evaluasi Biofarmasetika .................................................................. 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini diberikan melalui
beberapa rute pemberian yaitu intravena, intraspinal, intramuskuler, subkutis dan
intradermal. Apabila injeksi diberikan melalui rute intramuscular, seluruh obat
akan berada di tempat itu. Dari tempat suntikan itu obat akan masuk ke pembuluh
darah di sekitarnya secara difusi pasif, baru masuk ke dalam sirkulasi. Cara ini
sesuai utuk bahan obat , baik yang bersifat lipofilik maupun yang hidrofilik. Kedua
bahan obat itu dapat diterima dalam jaringan otot baik secara fisis maupun secara
kimia. Bahkan bentuk sediaan larutan, suspensi, atau emulsi juga dapat diterima
lewat intramuskuler, begitu juga pembawanya bukan hanya air melainkan yang
non air juga dapat. Hanya saja apabila berupa larutan air harus diperhatikan pH
larutan tersebut.
Obat suntik hingga volume 100 ml disebut sediaan parenteral volume kecil
sedangkan apabila lebih dari itu disebut sediaan parenteral volume besar, yang
biasa diberikan secara intravena. Produk parenteral, selain diusahakan harus steril
juga tidak boleh mengandung partikel yang memberikan reaksi pada pemberian
juga diusahakan tidak mengandung bahan pirogenik. Bebas dari mikroba (steril)
dapat dilakukan dengan cara sterilisasi dengan pemanasan pada wadah akhir,
namun harus diingat bahwa ada bahan yang tidak tahan terhadap pemanasan.
Untuk itu dapat dilakukan teknik aseptic.
1
demam atau pirogen ini disebabkan oleh adanya fragmen dinding sel bakteri yang
disebut “endotoksin”. Adanya endotoksin yang ditandai dengan reaksi demam itu
merupakan pertanda bahwa selama proses produksi terjadi kontaminasi mikroba
pada produk. Oleh sebab itu dalam proses produksi sediaan parenteral diisyaratkan
hal-hal sebagai berikut:
1. Personil yang bekerja pada bagian produk steril harus memiliki moral dan etik
professional yang tinggi.
2. Setiap personil mendapat latihan tentang sediaan steril secara lengkap.
3. Memiliki teknik spesialisasi untuk memproduksi sediaan steril.
4. Bahan yang digunakan harus bermutu tinggi.
5. Kestabilan dan kemanjuran produk harus terjamin.
6. Program pengontrolan (quality control) harus baik untuk memastikan mutu
produk dan harus memenuhi keabsahan prosedur produksi.
B. TUJUAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mempelajari biotransformasi obat melalui sediaan parenteral.
2. Untuk memberikan pengetahuan kepada para mahasiswa/i tentang berbagai
tipe sediaan yang digunakan melalui sediaan parenteral.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Sediaan parenteral adalah sediaan yang digunakan tanpa melalui mulut atau dapat
dikatakan obat dimasukkan ke dalam tubuh selain saluran cerna (langsung ke
pembuluh darah) sehingga memperoleh efek yang cepat dan langsung sampai
sasaran. Misal suntikan atau insulin.
Injeksi dan infus termasuk semua bentuk obat yang digunakan secara parenteral.
Injeksi dapat berupa larutan, suspensi, atau emulsi. Apabila obatnya tidak stabil
dalam cairan, maka dibuat dalam bentuk sediaan kering. Apabila mau dipakai baru
ditambahkan aqua steril untuk memperoleh larutan atau suspensi injeksi.
3
e. Produk gigi seperti anestetik lokal.
f. Produk bioteknologi.
g. Produk liposom dan lipid.
Tujuan Penggunaan
a. Bila tubuh kekurangan air, elektrolit dan karbohidrat maka kebutuhan
tersebut harus cepat diganti.
b. Pemberian infus memiliki keuntungan karena tidak harus menyuntik
pasien berulangkali.
c. Mudah mengatur keseimbangan keasam dan kebasaan obat dalam darah.
d. Sebagai penambah nutrisi bagi paseien yang tidak dapat makan secara oral.
e. Berfungsi sebagai dialisa pada pasien gagal ginjal.
4
C. Persyaratan Sediaan Parenteral
1. Sesuai antara kandungan bahan obat yang ada didalam sediaan dengan
pernyataan tertulis pada etiket dan tidak terjadi pengurangan kualitas selama
penyimpanan akibat kerusakan obat secara kimiawi dan sebagainya.
2. Penggunaan wadah yang cocok, sehingga tidak hanya memungkinkan sediaan
tetap steril , tetapi juga mencegah terjadinya ineraksi antara bahn obat dengan
material dinding wadah.
3. Tersatukan tanpa terjadi reaksi.
4. Bebas kuman.
5. Bebas Pirogen.
6. Isotonis.
7. Isohidris.
8. Bebas partikel melayang
D. Rute Pemberian
Rute pemberian sedian parenteral atau injeksi dimuat dalam beberapa pustaka,
antara lain Farmakope Indonesia, Formularium Nasional kedua pustaka tersebut di
dalam antara kurung dan lain sebagainya. Pengetahuan tentang rute pemeberian
ini bukan dimaksudkan agar dapat menyuntikkan dengan benar, tetapi untuk
farmasis lebih ditekankan pada persyaratan produk ditinjau secara farmasis
Persyaratan farmasetik yang dimaksud antara lain pemilihan wadah dengan ukuran
yang tepat, penentuan pH, pemilihan bahan pengawet dan penetapan tonisitas.
Untuk jelasnya dapat diikuti uraian masing-masing rute pemberian injeksi.
1. Pemberian Subkutis (Subkutan)
Lapisan ini letaknya persis dibawah kulit, yaitu lapisan lemak (lipoid) yang
dapat digunakan untuk pemberian obat antara lain vaksin, insulin, skopolamin,
dan epinefrin atau obat lainnya. Injeksi subkutis biasanya diberikan dengan
5
volume samapi 2 ml (PTM membatasi tak boleh lebih dari 1 ml) jarum suntik
yang digunakan yang panjangnya samapi ½ sampai 1 inci (1 inchi = 2,35 cm).
2. Pemberian intramuskuler
Intramuskuler artinya diantara jaringan otot. Cara ini keceparan absorbsinya
terhitung nomor 2 sesudah intravena. Jarum suntik ditusukkan langsung pada
serabut otot yang letaknya dibawah lapisan subkutis. Penyuntikan dapat di
pinggul, lengan bagian atas. Volume injeksi 1 samapi 3 ml dengan batas
sampai 10 ml (PTM—volume injeksi tetap dijaga kecil, biasanya tidak lebih
dari 2 ml, jarum suntik digunakan 1 samai 1 ½ inci. Problem klinik yang biasa
terjadi adalah kerusakan otot atau syaraf, terutama apabila ada kesalahan dalam
teknik pemberian (ini penting bagi praktisi yang berhak menyuntik). Yang
perlu diperhatikan bagi Farmasis anatara lain bentuk sediaan yang dapat
diberikan intramuskuler, yaitu bentuk larutan emulsi tipe m/a atau a/m,
suspensi dalam minyak atau suspensi baru dari puder steril.
6
Pemberian intramuskuler memberikan efek “depot” (lepas lambat), puncak
konsentrasi dalam darah dicapai setelah 1-2 jam. Faktor yang mempengaruhi
pelepasan obat dari jaringan otot (im) anatar lain : rheologi produk, konsentrasi
dan ukuran partikel obat dalam pembawa, bahan pembawa, volume injeksi,
tonisitas produk dan bentuk fisik dari produk. Persyaratan pH sebaiknya
diperhatikan, karena masalah iritasi, tetapi dapat dibuat pH antara 3-5 kalau
bentuk suspensi ukuran partikel kurang dari 50 mikron.
3. Pemberian intravena
Penyuntikan langsung ke dalam pembuluh darah vena untuk mendapatkan efek
segera. Dari segi kefarmasian injeksi IV ini boleh dikata merupakan pilihan
untuk injeksi yang bila diberikan secara intrakutan atau intramuskuler
mengiritasi karena pH dan tonisitas terlalu jauh dari kondisi fisiologis.
Kelemahan cara ini adalah karena kerjanya cepat, maka pemberian antidotum
mungkin terlambat.
Volume pemberian dapat dimulai Dari 1 ml hingga 100 ml, bahkan untuk infus
dapat lebih besar dari 100 ml. Kecepatan penyuntikan sampai 5 ml diberikan
1 ml/10 detik, sedangkan untuk di atas 5 ml kecepatannya 1 ml/20 detik.
Intravena hanya terbatas untuk pemberian larutan air, kalau merupakan bentuk
emulsi harus memenuhi ukuran partikel tertentu. Kalau dapay diusahakan pH
dan tonisitas sesuai dengan keadaan fisiologis.
4. Pemberian intrathekal-intraspinal
Penyuntikan langsung ke dalam cairan serebrospinal pada beberapa tempat.
Cara ini berbeda dengan cara spinal anastesi. Kedua pemberian ini
mensyaratkan sediaan dengan kemurniaannya yang sangat tinggi, karena
dearah ini ada barier (sawar) darah sehingga daerahnya tertutup.
7
Sediaan intraspinal anastesi biasanya dibuat hiperbarik yaitu cairannya
mempunyai tekanan barik lebih tinggi dari tekanan barometer. Cairan sediaan
akan bergerak turun karena gravitasi, oleh sebab itu harus pada posisi pasien
tegak.
5. Intraperitoneal
Penyuntikan langsung ke dalam rongga perut, dimana obat secara cepat
diabsorbsi. Sediaan intraperitoneal dapat juga diberikan secara intraspinal,
im,sc, dan intradermal
6. Intradermal
Cara penyuntikan melalui lapisan kulit superficial, tetapi volume pemberian
lebih kecil dan sc, absorbsinya sangat lambat sehingga onset yang dapat
dicapai sangat lambat.
7. Intratekal
Digunakan khusus untuk bahan obat yang akan berefek pada cairan
serebrospinal. Digunakan untuk infeksi ssp seperti meningitis, juga untuk
anestesi spinal. Intratekal umumnya diinjeksikan secara langsung pada lumbar
spinal atau ventrikel sehingga sediaan dapat berpenetrasi masuk ke dalam
daerah yang berkenaan langsung pada SSP.
8
2. Kerugian :
a. Pemberian sediaan parenteral harus dilakukan oleh personal yang terlatih
dan membutuuhkan waktu pemberian yang lebih lama.
b. Pemberian obat secara parenteral sangat berkaitan dengan ketentuan
prosedur aseptic rasa nyeri pada lokasi penyuntikan yang tidak selalu dapat
dihindari.
c. Bila obat telah diberikan secara parenteral, sukar sekali untuk
menghilangkan/merubah efek fisiologisnya karena obat telah berada dalam
sirkulasi sistemik.
d. Harganya relatif lebih mahal, karena persyaratan manufaktur dan
pegemasan.
e. Masalah lain dapat timbul pada pemberian obat secara parenteral dan
interaksi obat secara parenteral seperti septisema, infeksi jamur,
inkompatibilitas karena pencampuran sediaan parenteral dan interaksi obat.
f. Persyaratan sediaan parenteral tentang sterilitas, bebas dari partikulat,
bebas dari pirogen, dan stabilitas parenteral harus oleh semua personel
yang terlihat.
F. Biotransformasi Obat
Untuk mendapatkan respon, obat harus dipecah terlebih dahulu menjadi molekul
kecil. Misalnya dengan disolusi dan disintegrasi. Dalam fase ini, yang penting
adalah ketersediaan farmasi dari zat aktifnya, yaitu obat siap untuk diabsorbsi.
9
1. Absorbsi
Obat, untuk dapat menimbulkan aksi dan menghasilkan efek, terlebih dahulu
harus diabsorbsi. Proses absorbsi meliputi masuknya obat hingga sampai ke
aliran darah.
a. Intravena tidak mengalami tahap absorbsi. Obat langsung dimasukkan ke
pembuluh darah sehingga kadar obat didalam darah diperoleh dengan
cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons
penderita. Injeksi larutan obat secara langsung ke aliran darah memberikan
prediksi respon farmakologik yang lebih baik.
Kerugiannya adalah obat yang sudah diberikan tidak dapat ditarik kembali,
sehingga efek toksik lebih mudah terjadi. Jika penderita alergi akan lebih
terjadi. Pemberian intravena harus dilakukan perlahan-lahan sambil
mengawasi respons penderita.
c. Pada daerah subcutan hanya boleh dilakukan untuk obat yang tidak iritatif
terhadap jaringan. Absorbsi biasanya berjalan lambat dan konstan,
sehingga efeknya bertahan lebih lama. Absorbsi menjadi lebih lambat jika
diberikan dalam bentuk padat yang ditanamkan dibawah kulit atau dalam
10
bentuk suspensi. Pemberian obat bersama dengan vasokonstriktor juga
dapat memperlambat absorbsinya.
Intramuscular dan Subcutan, absorbsi pada kedua injeksi ini akan lebih
cepat jika diberikan dalam bentuk cairan. Kecepatan absorbsinya
tergantung pada vaskularisasi di wilayah tubuh yang diinjeksi. Faktor
lainnya yang mempengaruhi adalah konsentrasi obat, derajat ionisasi dan
bentuk lipid nonion, serta wilayah injeksi.
11
kadang-kadang ada perbedaan yang cukup besar pada reaksi
metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan galur
terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan yaitu pada tipe
reaksi metabolik atau perbedaan kualitatif dan pada kecepatan
metabolismenya atau perbedaan kuantitatif (Siswandono dan
Soekardjo,2000).
b. Faktor Genetik
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-
kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa
faktor genetik atau keturunan berperan terhadap kecepatan metabolisme
obat (Siswandono dan Soekardjo,2000).
c. Perbedaan umur
Pada usia tua, metabolisme obat oleh hati mungkin menurun, tapi
biasanya yang lebih penting adalah menurunnya fungsi ginjal. Pada usia
65 tahun, laju filtrasi Glomerulus (LFG) menurun sampai 30% dan tiap
1 tahun berikutnya menurun lagi 1-2% (sebagai akibat hilangnya sel dan
penurunan aliran darah ginjal). Oleh karena itu ,orang lanjut usia
membutuhkan beberapa obat dengan dosis lebih kecil daripada orang
muda (Neal,2005).
12
3. Faktor Farmakologi
Meliputi inhibisi enzim oleh inhibitor dan induksi enzim oleh induktor.
Kenaikan aktivitas enzim menyebabkan lebih cepatnya metabolisme
(deaktivasi obat). Akibatnya, kadar dalam plasma berkurang dan
memperpendek waktu paro obat. Karena itu intensitas dan efek
farmakologinya berkurang dan sebaliknya.
4. Faktor Patologi
Menyangkut jenis dan kondisi penyakit. Contohnya pada penderita stroke,
pemberian fenobarbital bersama dengan warfarin secara agonis akan
mengurangi efek anti koagulasinya (sehingga sumbatan pembuluh darah
dapat dibuka). Demikian pula simetidin (antagonis reseptor H2) akan
menghambat aktivitas sitokrom P-450 dalam memetabolisme obat-obat
lain.
5. Faktor Makanan
Adanya konsumsi alkohol, rokok, dan protein. Makanan panggang arang
dan sayur mayur cruciferous diketahui menginduksi enzim CYP1A, sedang
jus buah anggur diketahui menghambat metabolisme oleh CYP3A terhadap
substrat obat yang diberikan secara bersamaan.
6. Faktor Lingkungan
Adanya insektisida dan logam-logam berat. Perokok sigaret
memetabolisme beberapa obat lebih cepat daripada yang tidak merokok,
karena terjadi induksi enzim. Perbedaan yang demikian mempersulit
penentuan dosis yang efektif dan aman dari obat-obat yang mempunyai
indeks terapi sempit.
13
7. Induksi Enzim
Banyak obat mampu menaikkan kapasitas metabolismenya sendiri dengan
induksi enzim (menaikkan kapasitas biosintesis enzim). Induktor dapat
dibedakan menjadi dua menurut enzim yang di induksinya,antara lain:
a. Jenis fenobarbital
b. Jenis metilkolantrena
H. Evaluasi biofarmasetik
Tahapan Uji:
1. Menentukan waktu aksi yang diharapkan
2. Memilih pembawa yang dapat memberikan hasil yang sesuai harapan
14
3. Evaluasi in vivo: penentuan kadar obat di dalam darah hewan dan manusia.
4. Evaluasi Sediaan Parenteral
a. Potensi/Kadar
Penentuan kadar dilakukan dengan pektoskopi UV, HPLC, Spektroskopi
IR.
b. Ph
Adanya perubahan pH mengindikasikan telah terjadi penguraian obat atau
interaksi obat dengan wadah.
c. Warna
Perubahan warna umumnya terjadi pada sediaan parenteral yang disimpan
pada suhu tinggi (> 40 0C). Suhu tinggi menyebabkan penguraian.
d. Kekeruhan
Alat yang dipakai adalah Tyndall, karena larutan dapat menyerap dan
memantulkan sinar. Idealnya larutan parenteral dapat melewatkan 92-97%
pada waktu dibuat dan tidak turun menjadi 70% setelah 3-5
tahun.Terjadinya kekeruhan dapat disebabkan oleh : benda asing,
terjadinya pengendapan atau pertumbuhan mikroorganisme.
e. Bau Pemeriksaan bau dilakukan secara periodik terutama untuk sediaan
yang mengandung sulfur atau anti oksidan.
f. Toksisistas
Lakukan uji LD 50 atau LD 0 pada sediaan parenteral selama
penyimpanan.
g. Evaluasi Wadah
h. Keseragaman bobot
i. Keseragaman volume
15
DAFTAR PUSTAKA
Shargel, L. Dan Andrew B.C.Yu. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya: Airlangga University Press.
16