Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MAKALAH BIOFARMASETIKA

BIOFARMASETIKA PADA SEDIAAN PARENTERAL

Disusun Oleh:
Alfira Anggita Mutiara Kesuma
Bagas Budi
Hanun Nada Nisrina Fauziyah
Noviary Nurmutmainah

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


STIKES MUHAMMADIYAH WONOSOBO
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Biofarmasetika Pada Sediaan Parenteral”. Penulisan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Biofarmasetika, serta untuk menambah wawasan
tentang pengetahuan biofarmasi sediaan obat melalui rute parenteral.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari penulisan ini, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi terciptanya
makalah ini menjadi lebih baik. Semoga makalah ini dapat menjadi manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi farmasi.

Wonosobo, 16 Mei 2021

Tim Penulis
Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................... i


Daftar Isi.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1. Latar Belakang .............................................................................................. 1
2. Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
3. Tujuan Masalah ............................................................................................. 2
BAB II PEMAHASAN ....................................................................................... 3
1. Sediaan Parenteral ......................................................................................... 3
2. Jenis-jenis Sediaan Parenteral ....................................................................... 5
3. Jalur Pemberian Sediaan Parenteral .............................................................. 6
4. Formulasi dan Teknologi Pembuatan............................................................ 9
5. Pengaruh Bentuk Sediaan Terhadap Ketersediaan Hayati Sediaan Parenteral
..................................................................................................................... 10
6. Farmakokinetika Sediaan Parenteral ........................................................... 11
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 16
1. Kesimpulan ................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Sediaan obat parenteral merupakan salah bentuk sediaan farmasi yang banyak
digunakan, terutama di puskesmas dan rumah sakit, biasanya pada pasien rawat
inap. Sediaan parenteral merupakan salah satu produk steril yakni sediaan dalam
bentuk terbagi-bagi yang bebas dari mikroorganisme hidup (Lachman &
Lieberman, 1994).
Sediaan parenteral memiliki beberapa rute pemberian yaitu intravena,
intramuskular, omtradermal, dan lain-lain. Mengingat kerja obat parenteral yang
cepat membuat sediaan ini sangat membantu pada saat keadaan gwat, pasien tidak
dapat bekerja sama dengan baik, tidak sadar, tidak dapat menerima obat secara
oral/mulut, atau bila obat tidak efektif dengan cara pemberian lain (Maharani,
2014).
Sediaan parenteral yang diberikan secara penyuntikan intravena, subkutan, dan
intramuskular merupakan rute pemberian obat yang kritis jika dibandingkan dengan
pemberian obat secara oral. Injeksi adalah pemakaian dengan cara menyemprotkan
larutan atau suspensi ke dalam tubuh untuk tujuan terapeutik atau diagnostik.
Injeksi dapat dilakukan langsung ke dalam alairan darah, ke dalam jaringan atau
organ. Semakin meningkatnya perkembangan ilmu bioteknologi telah
meningkatkan pula jumlah obat yang diproduksi secara bioteknologi. Penyuntikan
obat diperlukan, baik untuk respon terapeutik yang cepat maupun untuk obat yang
tidak tersedia untuk rute non-injeksi.

2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan sediaan parenteral dan contoh-contoh nya?
b. Apa saja rute dan tujuan pemberian secara parenteral ?
c. Apa saja yang berpengaruh terhadap biofarmasetika dan bioavailabilitas
sediaan parenteral?

1
3. Tujuan Masalah
a. Menjelaskan hal-hal terkait sediaan parenteral dan contoh-contohnya.
b. Menjelaskan macam-macam rute dan tujuan pemberian secara parenteral.
c. Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap biofarmasetika dan
bioavailabilitas sediaan parenteral.
d. Menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan dan cara pemberiannya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Sediaan Parenteral
Sediaan parenteral merupakan sediaan yang diberikan tidak melalui jalur enteral
(saluran cerna). Istilah parenteral berasal dari kata Yunani para dan enteron yang
berarti disamping atau lain dari usus. Sediaan ini diberikan dengan cara
menyuntikkan obat di bawah atau melalui satu atau lebih lapisan kulit atau
membran mukosa. Karena rute ini disekitar daerah pertahanan yang sangat tinggi
dari tubuh, yaitu kulit dan selaput/membran mukosa, maka sediaan tersebut harus
bebas dari kontaminasi mikroba, dari komponen toksis, dan tingkat kemurniaan
yang sangat tinggi. Yang dimaksud dengan kemurnian yang tinggi itu antara lain
harus steril. Semua komponen dan proses yang terlibat dalam penyediaan produk
ini harus dipilih dan dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi,
apakah fisik, kimia, atau mikrobiologis.
Sediaan parenteral merupakan sediaan steril yang diberikan melalui beberapa
rute pemberian yaitu intravena, intraspinal, intramuskuler, subkutan dan
intradermal. Apabila injeksi diberikan melalui rute intramuskular, seluruh obat akan
berada di tempat itu. Dari tempat suntikan itu obat akan masuk ke pembuluh darah
disekitarnya secara difusi pasif, baru masuk ke dalam sirkulasi. Cara ini sesuai
untuk bahan obat, baik yang bersifat lipofilik maupun yang hidrofilik. Kedua bahan
obat itu dapat diterima dalam jaringan otot baik secara fisis maupun secara kimia.
Bentuk sediaan larutan, suspensi, atau emulsi juga dapat diterima lewat
intramukuler, begitu juga pembawanya bukan air, seperti pelarut campur atau
minyak.
Produk parenteral, selain diusahakan harus steril juga tidak boleh mengandung
partikel yang memberikan reaksi pada pemberian juga diusahakan tidak
mengandung bahan pirogenik. Bebas dari mikroba (steril) dapat dilakukan dengan
cara sterilisasi dengan pemanasan pada wadah akhir, namun harus diingat bahwa
ada bahan yang tidak tahan terhadap pemanasan. Untuk itu dapat dilakukan teknik
aseptik. Larutan yang mengandung bakteri gram positif-negatif dapat saja

3
memberikan reaksi demam atau pirogenik walaupun larutan injeksi tersebut steril.
Reaksi demam atau pirogen ini disebabkan oleh adanya fragmen dinding sel bakteri
yang disebut endotoksin. Adanya endotoksin yang ditandai dengan reaksi demam
itu merupakan pertanda bahwa selama proses produksi terjadi kontaminasi mikroba
pada produk.
Dalam penyiapan sediaan parenteral secara aseptis diperlukan beberapa faktor
pendukung diantaranya adalah sumber daya manusia (SDM), fasilitas ruangan
(ruang bersih), dan peralatan (kabinet LAF (Laminar Air Flow)).

A. Kelebihan
1) Obat mencapai onset (mula kerja) dan efek terapi yang cepat
2) Biovaibilitas sempurna atau hampir sempurna, sehingga obat dengan
bioavailibilitas rendah dapat diberikan dengan secara parentral
3) Efek obat dan kadar obat dalam darah lebih mudah diramalkan dengan pasti
4) Dapat untuk obat yang rusak /tidak diabsobsi dalam sistem saluran cerna,
contoh: insulin (protein drug)
5) Kerusakan obat dalam saluran pencernaan dapat dihindarkan, serta tidak
melalui first pass effect
6) Obat dapat diberikan kepada penderita yang sakit keras atau yang sedang
dalam keadaan koma

B. Kekurangan
1) Dapat menimbulkan rasa nyeri/sakit pada saat disuntik, apalagi bila
pemberiannya berulang
2) Bila obat sudah masuk ke dalam tubuh pasien, maka sulit untuk ditarik
kembali atau dikeluarkan
3) Obat hanya dapat diberikan kepada pasien di rumah sakit, atau di tempat
praktek dokter dan hanya dilakukan oleh perawat yang berpengalaman
Memberikan efek psikologis pada pasien yang takut disuntik
4) Bila terjadi kekeliruan pada saat pemberian, maka hampir tidak dapat
diperbaiki terutama setelah pemberian intravena

4
2. Jenis-jenis Sediaan Parenteral
Menurut definisi dalam Farmakope edisi IV, tahun 1995, sediaan steril untuk
kegunaan parenteral digolongkan menjadi 5 jenis yang berbeda, yaitu :
A. Obat, larutan, ataua emulsi yang digunakan untuk injeksi ditandai dengan nama
“Injeksi......”.
Misalnya : Injeksi Insulin, Injeksi Vitamin C
B. Sediaan padat kering atau cairan pekat yang tidak mengandung dapar,
pengencer, atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelaaaha
penambahan pelarut yang memenuhi persyaratan injeksi. Dapat dibedakan dari
nama bentuknya “.......steril”.
Misalnya : Ampicillin Sodium steril, Inj. Dehidrostreptomisin Sulfat Steril
C. Sediaan seperti pada no 2, tetapi mengandung satu ataun lebih dapar,
pengencwer, atau bahan tambahan lain dana dapat dibedakan dari nama
bentuknya “ ......untuk injeksi”.
Misalnya : Methicillin sodium untuk injeksi, Inj. Penicillin Oil untuk Injeksi.
D. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak
disuntikkan secara intravena atauke dalam saluran spinal. Kita dapat
membedakan dari nama bentuknya “.....suspensi steril”.
Misalnya : Cortison Suspensi Steril, Inj. Suspensi Hidrokortison Asetat Steril
E. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan
yang memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan
pembawa yang sesuai, dapat dibedakan dari nama bentuknya. “.....steril untuk
suspensi”.
Misalnya : Ampicillin steril untuk injeksi, Inj. Prokain Penisilin G steril untuk
suspensi
(Murtini, 2016 : 148)

5
Sedangkan secara umum sediaan parental dibagi menjadi 2 macam yaitu :
A. Sediaan Parenteral Volume Kecil
Sediaan parenteral volume kecil diartikan sebagai obat steril yang dikemas
dalam wadah di bawah 100 ml.
B. Sediaan Parenteral Volume Besar
Sediaan cair steril yang mengandung obat yang dikemas dalam wadah 100 ml
atau lebih dan ditujukan untuk manusia.
(Murtini, 2016 : 149)

3. Jalur Pemberian Sediaan Parenteral


Menurut Anief, tahun 2006, halaman 190-192 jalur pemberiaan sediaan
parenteral dapat melalui beberapa cara yaitu:
A. Injeksi intra kutan atau intra dermal (i.k/i.c)
Dimasukkan kedalam kulit yang sebenarnya, digunakan untuk diagnosis.
Biasanya berupa larutan/suspensi dalam air, voume yang disuntikkan antara
0,1 – 0,2 ml, berupa larutan atau suspense dalam air. Dan biasanya yang
digunakan adalah ekstrak alergenik.
B. Injeksi subkutan atau hipodermik (s.k/s.c)
Umumnya larutan bersifat isotonis, pH netral dan bersifat depo ( absorpsinya
lambat). Disuntikkan ke dalam jaringan dibawah kulit ke dalam “alveola”,
volume yang di suntikkan tidak lebih dari 1 ml, dengan mula-mula kulit diusap
dengan cairan disinfektan (etanol 70%).
Cara formulasinya harus hati-hati untuk meyakinkan bahwa sediaan (produk)
mendekati kondisi faal dalam hal pH yang sebaiknya netral dan isotonis,
dimaksudkan untuk mengurangi iritasi jaringan dan mencegah kemungkinan
terjadi nekrosis. Syarat larutannya harus isotonis dan dapat ditambahkan bahan
vasokontriktor seperti Epinefrin untuk molekulisasi obat (efek obat).
Cara pemberian subkutan lebih lambat apabila dibandingkan cara intramuskuler
atau intravena. Namun apabila cara intravena volume besar tidak dimungkinkan
cara ini seringkali digunakan untuk pemberian elektrolit atau larutan infuse i.v
sejenisnya. Cara ini disebut hipodermoklisis, dalam hal ini vena sulit

6
ditemukan. Karena pasti terjadi iritasi maka pemberiannya harus hati-hati. Cara
ini dpata dimanfaatkan untuk pemberian dalam jumlah 250 ml sampai 1 liter.
C. Injeksi intramuscular (i.m)
Merupakan larutan atau suspensi dalam air atau minyak atau emulsi. Yang
berupa larutan dapat diserap dengan cepat, yang berupa emulsi atau suspensi
diserap lambat dengan maksud untuk mendapatkan efek yang lama.
Disuntikkan masuk kedalam atau diantara lapisan jaringan atau otot. Volume
penyuntikan sedapat mungkin tidak lebih dari 4 ml dan injeksi disuntikkan
perlahan – lahan untuk mencegah rasa sakit. Ke dalam otot dada dapat
disuntikkan sapai 200 ml, sedang otot lain volume yang disuntikkan lebih kecil.
Yang perlu diperhatikan bagi Farmasis anatara lain bentuk sediaan yang dapat
diberikan dengan cara intramuskular, yaitu bentuk larutan emulsi tipe m/a atau
a/m, suspensi dalam minyak atau suspensi baru dari puder steril. Pemberian
intramuskular memberikan efek ―depot (lepas lambat), puncak konsentrasi
dalam darah dicapai setelah 1-2 jam. Faktor yang mempengaruhi pelepasan obat
dari jaringan otot (im) anatar lain : rheologi produk, konsentrasi dan ukuran
partikel obat dalam pembawa, bahan pembawa, volume injeksi, tonisitas produk
dan bentuk fisik dari produk. Persyaratan pH sebaiknya diperhatikan, karena
masalah iritasi, tetapi dapat dibuat pH antara 3-5 kalau bentuk suspensi ukuran
partikel kurang dari 50 mikron.
D. Injeksi intravena (i.v)
Disuntikkan langsung kepembuluh darah vena. Bentuknya berupa larutan,
sedangkan bentuk suspense atau emulsi tidak boleh diberikan melalui rute ini,
sebab akan menyumbat pembuluh darah vena yang bersangkutan. Injeksi dibuat
isotonis, tetapi jika terpaksa dapat sedikit hipertonis (disuntikkan secara lambat
atau perlahan – lahan untuk tidak memengaruhi sel darh) volume antara 1-10
ml. Injeksi intravena yang diberikan dalam dosis tungal dengan volume lebih
dari 10ml disebut infuse intraveena/infuse/infundabilia. Infuse harus bebas
pathogen, tidak boleh mengandung bakterisida, jernih, dan isotonis.

7
E. Injeksi intra artesium (i.a)
Disuntikkan kedalam pembuluh darah arteri/perufer/tepi, volume antara 1-10
ml, tidak boleh mengandung bakterisida.
F. Injeksi intrakordal/intrakardiak (i.k.d)
Berupa larutan hanya digunakan untuk keadaan gawat, dan disuntikkan ke
dalam otot jantung atau ventrikulus. Injeksi intraarterium tidak boleh
mengandung bakterisida.
G. Injeksi intratekal (i.t), Intraspinal, Intradural
Berupa larutan harus isotonus, sebab sirkulasi cairan cerebropintal adalah
lambat, meskipun larutan anestetika sumsum tulang belakang sering hipertonus.
Larutan harus benar-benar steril, bersih sebab jaringan syaraf daerah anatomi
sangat peka. Disuntikkan langsung kedalam saluran sumsum tulang belakang
didasar otak ( antara 3 - 4 atau 5 – 6 lumbar vertebrata) tempat terdapatnya
cairan cerebrospinal.
H. Intra artikular
Disuntikkan ke dalam cairan sendi di dalam rongga sendi, bentuknya suspense
atu larutan dalam air.
I. Injeksi subkonjungtiva
Disuntikkan ke dalam selaput lendir dibawah mata. Berupa suspense atau
larutan, tidak lebih dari 1 ml.
J. Injeksi intrabursa
Disuntikkan ke dalam bursa subcromilis atau bursa olecranon dalam bentuk
larutan suspense dalam air.
K. Injeksi intraperitonial (i,p)
Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapan berlangsung cepat,
namun bahaya infeksi besar.
L. Injeksi peridural (p,d), ekstradural
Disuntikkan ke dalam ruang epidural, terletak di atas durameter, lapisan
penutup terluar dari otak dan sumsum tulang belakang

8
4. Formulasi dan Teknologi Pembuatan
Formulasi suatu produk sediaan parenteral meliputi kombinasi dari satu atau
lebih bahan dengan zat obat untuk menambahkan kenyamanan, kemampuan
penerimaan, atau kefektifan produk tersebut. Zat terapetis suatu senyawa kimia
yang mudah mengalami karakteristik reaksi kimia dan fisika dari golongan senyawa
dimana zat tersebut termasuk didalamnya. Oleh karena itu harus dibuat penilaian
hati-hati untuk setiap kombinasi dua bahan atau lebih untuk memastikan apakah
terjadi interaksi merugikan atau tidak dan jika terjadi, cara untuk memodifikasi
formulasi sehingga reaksi dapat dihilangkan atau dikurangi. Jumlah keterangan
yang tersedia untuk pembuat formulasi sehubungan dengan sifat fisika dan kimia
dari suatu zat terapetis, keterangan sehubungan dengan sifat dasar harus diperoleh,
termasuk bobot molekul, kelarutan, kemurnian, sifat koligatif dan reaktifitas kimia.
Jadi dalam formulasi sediaan injeksi dapat dirinci sebagi berikut:
A. Zat Aktif (active ingredients)
B. Zat Pembawa/Pelarut
C. Zat pembawa berair atau zat pembawa tidak berair
D. Zat Tambahan (nonactive ingredients/excipients) Umumnya selain
mengandung zat aktif, juga mengandung zat tambahan seperti antibakteri,
pengisotonis, antioksidan, dan pendapar.

Menurut Anief (2006), suatu sediaan obat dapat digunakan secara parentral jika
memenuhi persyaratan sebagai berikut
A. Aman, tidak boleh menyebabkan iritasi jaringan atau efek toksik
B. Harus jernih, tidak boleh terdapat partikel padat kecuali jika dinyatakan sebagai
sediaan suspensi
C. Tidak berwarna, kecuali jika obatnya memang berwarna
D. Sedapat mungkin isohodris, dimaksudkan agar ketika diinjeksikan k badan
tidak terasa sakit dan penyerapan obat dapat optimal
E. Harus steril
F. Bebas pirogen

9
5. Pengaruh Bentuk Sediaan Terhadap Ketersediaan Hayati Sediaan
Parenteral
Urutan sediaan yang paling cepat tersedia dalam sirkulasi darah hingga yang
paling lambat, dapat dituliskan mulai dari Larutan dalam air, suspensi dalam air,
larutan dalam minyak, emulsi minyak dalam air, emulsi air dalam minyak, dan
terakhir suspensi dalam minyak.
A. Larutan dalam Air
Penambahan bahan makromolekul yang larut-air ke dalam laarutan dengan
pelarut air dapat memperlama waktu aksi zat aktif yang terkandung.
Polivinilpirolidon memperlama aksi insulin, dan gonadotropin korionat. Efek
yang sama juga terjadi pada gelatin dan karboksimetilsellulosa. Makromolekul
tersebut dapat pengaruh meningkatnya kekentalan cairan difusi yang
selanjutnya akan menghambat laju perpindahan zat aktif ke cairan interstisiel,
baik dengan membentuk kompleks yang sukar larut hingga sukar diserap
maupun dengan menghambat metabolisme senyawa oleh enzim proteolitik.
B. Suspensi dalam Air
Penyuntikan suspensi dalam air dapat memperlama aksi obat, dan aksi ini
tergantung pada ukuran partikelnya. Perpanjangan waktu-aksi dapat
ditingkatkan dengan bertambahnya diameter partikel sampai 100 µm, karena
pemakaian partikel berukuran yang lebih besar akan menyulitkan penyuntikan
dan menimbulkan rasa sakit. Penambahan makromolekul yang larut-air ke
dalam suspensi tersebut akan menambah waktu-aksi; hal ini terutama
didasarkan atas sifat reologinya yaitu untuk meningkatkan stabilitas sediaan (
koloida protektor). Polimer yang paling sering digunakan adalah metilsellulosa,
natrium karboksimetilsellulosa, natrium alginat, gelatin dan dekstran. Senyawa-
senyawa tersebut mengubah ketersediaan hayati zat aktif dengan cara
meningkatkan kekentalkan sediaan. Peningkatan kekentalan ini lebih disukai
karena menampakkan karakter tiksotropi yang memudahkan penyuntikan,
dengan demikian suspensi menjadi lebih cair bila ia mengalami geseran seperti
saat pengocokan flakon, dengan demikian sediaan dapat melewati jarum suntik

10
lebih mudah, dan selanjutnya molekulnya akan menyusun diri dan saat berhenti
pada tempat penyuntikan sifat utamanya kembali lagi.
C. Larutan dan Suspensi dalam Minyak
Pelepasan zat aktif dari larutan atau suspensi dalam pembawa minyak jauh lebih
sulit dibandingkan dengan pembawa air. Efek ini lebih dipertegas bila
kekentalan larutan sediaan bertambah, misalnya oleh adanya sabun alkali tanah
(aluminium stearat), dan hal ini telah dibuktikan pada penisilin. Aluminium
oleat, aluminium monopalmitat, kalsium dan magnesium stearat mempunyai
efek yang sama. Pengamatan yang sama juga terlihat pada berbagai alkilen atau
aluminium aralkilfosfat yang mempunyai 6-18 atom karbon, metilsellulose dan
pektin.

6. Farmakokinetika Sediaan Parenteral


Farmakokinetika berarti berhubungan dengan nasib obat dalam tubuh, yang
mencakup proses ADME (absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi/eliminasi).
Deskripsi distribusi dan eliminasi obat sering disebut disposisi obat. Berikut
farmakokinetika sediaan parenteral:
A. Absorpsi obat parenteral
Obat yang diberikan secara ekstravaskular (i.m, s.c) akan mengalami absorpsi
dan obat yang diberikan secara intravaskular (i.v) tidak mengalami absorpsi.
Molekul obat diabsorpsi dalam bentuk bebas (tidak terikat dengan zat lain) dan
utuh ke dalam darah atau peredaran sistemik. Umumnya, obat baru memberikan
efek terapi bila kalau mencapai kadar minimal tertentu dalam darah (MEC =
minimum effective concentration). Selama kadar obat masih dalam darah masih
berada di atas MEC, obat akan memberikan efek farmakologis. Setelah ekskresi
berlanjut dan kadar obat turun di bawah MEC. Kecepatan absorpsi
mempengaruhi cepat atau lambatnya obat mencapai kadar MEC, yang
merupakan onset atau mula kerja obat dan waktu obat (tmax) mencapai kadar
maksimum (puncak) dalam darah (Cmax). Selanjutnya obat berangsur-angsur
akan dieliminasi dengan cara diekskresikan atau biotransformasi atau
keduanya. Lama kerja obat (durasi) atau obat memberikan respon terapi yang

11
dikehendaki adalah kadar obat tersebut dalam darah berada di atas MEC. Untuk
menjamin efektivitas klinik, maka perlu dipertahankan konsentrasi obat dalam
darah tetap dalam dosis yang cukup, misalnya pemberian antibiotika,
sitostatika, hormon dan sebagainya. Oleh karena itu dalam praktek sehari-hari
ditemukan pemberian berulang misalnya 2 kali atau 3 kali sehari
 Faktor Fisiologi yang dapat mempengaruhi absorbsi zat aktif sediaan
parenteral untuk tersedia pada sirkulasi darah (bioavailabilitas):
1) Jumlah dan kecepatan sistem vaskularisasi, serta permeabilitas kapiler
darah
2) Aliran Darah dari Bagian Tubuh atau Area yang diinjeksikan: Aliran
darah merupakan suatu pertimbangan penting dalam menentukan
seberapa cepat dan seberapa banyak obat mencapai reseptor.
3) Kepadatan dan kondisi jaringan tempat injeksi: Laju difusi zat aktif
tergantung pada kepadatan jaringan di tempat penyuntikan. Hal ini
sangat heterogen dan sulit untuk ditentukan, kadang-kadang hal tersebut
dapat dikurangi dengan menambahkan suatu hyaluronidase, yaitu suatu
enzim penghidrolisis senyawa dasar ke dalam larutan injeksi.
Penyerapan zat aktif yang disuntikkan dalam bentuk larutan-air hanya
terjadi secara difusi molekuler di dalam elemen konjugatif dan jaringan
interstisial yang dimulai dari tahap pelepasan zat aktif dari pembawa,
yang dalam hal tertentu tahap tersebut ditiadakan oleh bahan pembawa
yang diberikan secara suntikan, faktor fisiologik bukan satu-satunya
faktor yang mempengaruhi proses penyerapan pelepasan zat aktif dari
sediaan, namun dapat menjadi faktor yang penting.
4) Suhu tubuh
5) Senyawa Vasoaktif: Senyawa vasodilator dapat meningkatkan
penyerapan zat aktif tersebut oleh pembuluh darah, sedangkan
vasokonstriktor akan menghambat penyerapannya.
6) Perbedaan Spesies dan Galur: Dalam proses metabolisme obat,
perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur kemungkinan sama
atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang ada perbedaan yang cukup

12
besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan
spesies dan galur terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan
yaitu pada tipe reaksi metabolik atau perbedaan kualitatif dan pada
kecepatan metabolismenya atau perbedaan kuantitatif (Siswandono dan
Soekardjo, 2000).
7) Faktor Genetik: Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah
obat kadang-kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan berperan terhadap
kecepatan metabolisme obat (Siswandono dan Soekardjo,2000).
8) Perbedaan umur Pada usia tua, metabolisme obat oleh hati mungkin
menurun, tapi biasanya yang lebih penting adalah menurunnya fungsi
ginjal. Pada usia 65 tahun, laju filtrasi Glomerulus (LFG) menurun
sampai 30% dan tiap 1 tahun berikutnya menurun lagi 1-2% (sebagai
akibat hilangnya sel dan penurunan aliran darah ginjal). Oleh karena itu
,orang lanjut usia membutuhkan beberapa obat dengan dosis lebih kecil
daripada orang muda (Neal, 2005).
9) Perbedaan Jenis Kelamin: Pada beberapa spesies binatang menunjukkan
ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan metabolisme obat. Pada
manusia baru sedikit yang diketahui tentang adanya pengaruh perbedaan
jenis kelamin terhadap metabolisme obat. Contoh: nikotin dan asetosal
dimetabolisme secara berbeda pada pria dan wanita.
10) Faktor Patologi: Menyangkut jenis dan kondisi penyakit.
11) Faktor Makanan: Adanya konsumsi alkohol, rokok, dan protein.
Makanan panggang arang dan sayur mayur cruciferous diketahui
menginduksi enzim CYP1A, sedang jus buah anggur diketahui
menghambat metabolisme oleh CYP3A terhadap substrat obat yang
diberikan secara bersamaan.
12) Induksi Enzim: Banyak obat mampu menaikkan kapasitas
metabolismenya sendiri dengan induksi enzim (menaikkan kapasitas
biosintesis enzim).

13
 Faktor Fisikokimia yang dapat mempengaruhi absorbsi zat aktif sediaan
parenteral untuk tersedia pada sirkulasi darah (bioavailabilitas):
1) Kelarutan Profil pH-kelarutan merupakan suatu gambaran dari
kelarutan obat pada berbagai pH fisiologis. Kelarutan dapat diperbaiki
dengan penambahan suatu bahan tambahan yang bersifat asam atau
basa.
2) Ukuran Partikel: Melalui pengecilan ukuran partikel, luas permukaan
efektif suatu obat meningkat sangat besar. Ukuran partikel yang makin
kecil mengakibatkan kenaikan keseluruhan luas permukaan partikel,
memperbesar penetrasi air ke dalam partikel, dan menaikkan laju
pelarutan.
3) Pengendapan zat aktif pada tempat penyuntikan: Dikarenakan pengaruh
perbedaan pH antara pembawa dan cairan biologik, atau karena
pengaruh pengenceran sediaan oleh cairan interstisial. Pengendapan
juga dapat memperpanjang aksi zat aktif.
4) Difusi zat aktif difusi zat aktif: Dimana dipengaruhi oleh Gradien
konsentrasi, Koefisien Partisi, Derajat ionisasi, makin kecil makin
mudah diabsorbsi, Ikatan dengan senyawa makromolekul/Protein,
Osmolaritas, Volume injeksi Kecepatan difusi berbanding terbalik
dengan volume injeksi (untuk dosis yang sama/tetap)

B. Distribusi obat parenteral


Pada pemberian secara i.v molekul obat langsung masuk ke dalam peredaran
darah. Bila pemberian secara i.m atau s.c, molekul obat bercampur dengan
cairan tubuh atau jaringan, lalu masuk ke dalam peredaran darah dan kemudian
didistribusikan ke jaringan tempat obat bekerja.
Tubuh manusia terdiri atas berbagai struktur jaringan dengan perbedaan
karakteristik lipofilik. Perbedaan sifat dan struktur jaringan menyebabkan
konsentrasi obat tidak sama dalam jaringan tubuh. Maka, karakteristik distribusi
obat, erat kaitannya dengan respon farmakologi.

14
C. Metabolisme obat parenteral
Proses metabolisme obat di dalam tubuh melibatkan proses biotransformasi
obat secara kimiawi, hal ini terjadi dalam lingkungan biologis. Sebagian besar
reaksi metabolisme merubah obat menjadi bentuk metabolit yang lebih larut
dalam air daan siap dieksresikan melalui ginjal. Tempat utama metabolisme
obat parenteral adalah di hati, namun dapat terjadi di ginjal dan jaringan otot.
Faktorfaktor yang mempengaruhi kecepatan metabolisme obat yaitu faktor
genetik, umur, lingkungan dan penyakit yang diderita.

D. Eksresi Obat Parenteral


Eksresi obat dan metabolitnya merupakan tahapan terakhir dari aktivitas serta
keberadaan obat dalam tubuh. Molekul obat yang masuk ke dalam tubuh
dikeluarkan melalui beberapa saluran. Obat akan diekskresikan dari tubuh
bersama dengan berbagai cairan tubuh melalui beberapa perjalanan. Ginjal
merupakan organ utama untuk mengeliminasi obat bersama urin. Organ lain
yang dapat mengeksresikan obat yaitu : empedu, paru, air ludah, ASI dan kulit.

15
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Sediaan parenteral merupakan sediaan yang diberikan tidak melalui jalur enteral
(saluran cerna) dan merupakan sediaan steril. Terdapat beberapa rute yang dapat
digunakan scara parenteral meliputi intradermal, subkutan, intramuskular,
intravena, intraarterial, dan rute lain, namun umumnya obat dimasukkan melalui
intravena, intramuskular, intradermal, atau subkutan.
Dalam membuat produk parenteral diperlukan formulasi suatu produk sediaan
parenteral meliputi kombinasi dari satu atau lebih bahan dengan zat obat untuk
menambahkan kenyamanan, dan keefektifan produk tersebut.
Ketersediaan sediaan parenteral dipengaruhi beberapa farktor seperti rute
pemberian, bentuk sediaan, faktor fisiologis pasien, serta faktor fisikokimia zat
aktif.

16
DAFTAR PUSTAKA

Aisya et all. (2017). Biofarmasetika Sediaan Parental. Makalah. Jakarta : Fakultas


Farmasi Universitas Pancasila
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta.
Maharani, L., Astuti, A. W., & Achmad, A. (2014). Kompatibilitas Pencampuran
Sediaan Parenteral di Bangsal Bedah Saraf RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo. Indonesian Journal of Clinical Pharmacy, 3(1), 1-9. Doi :
https://www.academia.edu/download/57917550/71-118-1-SM_3.pdf
Mansauda, K., & Rumondor, E. M. (2020). Pengembangan Kurkumin dan
Andrografolida Untuk Sediaan Parenteral. Pharmacon, 9(1), 131-141. Doi :
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/pharmacon/article/view/27419
Moh. Anief. (2016). Ilmu Meracik Obat. Jakarta : Gadjah Mada Univrsity Press
Suprapti, B. (2012). Biofarmasetika & Farmakokinetika Terapan, Edisi ke 5. Doi :
http://repository.unair.ac.id/101182/

iii

Anda mungkin juga menyukai