Anda di halaman 1dari 6

Takziyah Cinta

MI’RAJ SANG GURU TADABBUR

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Di awal malam kami para sastrawan Yogya dalam acara “SastraLiman” yang
diselenggarakan bulanan rutin oleh Majalah “Sabana” mengaji Surat Al-Hasyr
dan berdoa memohon kepada Allah agar meneguhkan apa yang terbaik
untuk satu-satunya orang di muka bumi yang saya sebut dan resmi saya akui
sebagai Guru saya. Umbu Landu Paranggi.

1
Menjelang penghujung malam sebelum pukul 03.00 fajar hari, Allah Swt
mengambilnya di RS Bali Mandara, sesudah tiga hari sebelumnya ia tidak
makan apapun sampai dua hari kemudian harus di-ICU-kan di Rumah Sakit.
Umbu menghadap Allah dalam keadaan berpuasa dari dunia, sebagaimana
hampir seluruh usianya ia jalani dengan lelaku puasa atas berbagai tipuan
kemewahan keduniaan, dengan kadar dan bentuk yang saya belum pernah
menyaksikannya pada siapapun lainnya.

Innahu lillahi wa innahu ilaihi roji’un. Kalimat itu saya tambahi akhiran “hu”
karena saya memerlukan catatan setandas-tandasnya tentang kepergian
hamba Allah yang amat sangat berjasa memproses pematangan hidup saya
di usia remaja pada era 1970-an. Juga untuk mempersaksikan bahwa yang
pulang kembali ke haribaan Allah Swt adalah insyaallah yang dulu demikian
juga Allah menghadirkannya.

Rasulullah Muhammad Saw menyebarkan pernyataan:

َ‫ﻟِﻔْﻄﺮة‬6‫ ا‬41‫ﻟُﺪ َﻋ‬1‫ﻟْﻮد ُﻳْﻮ‬%‫ﱡﻞ َﻣْﻮ‬$%


ِ ٍ
“Setiap hamba dilahirkan dalam fithrahnya”.

Ada anak kalimat berikutnya yang saya ragu-ragu apakah Rasulullah Saw
benar mengucapkannya. Sebab agak sukar saya nalar bahwa Rasulullah yang
diutus untuk seluruh ummat manusia itu bisa “berpikir administratif” dan
memfokuskan pandangannya atas manusia berdasarkan identitas formalnya,
bukan esensi rohaniahnya atau substansi akhlaknya. Meskipun saya tidak
menafikan atau menegasikan bahwa syahadatain menisbahkan identitas
formal keagamaan seseorang.

‫ﱢ‬ َُ ْ1 َ ‫ﱢ‬ َ ُ ْ 1 َ ‫َ َ ُ َُ ﱢ‬1َ


َ
‫اِﻧﻪ‬L‫ﻤﺠﺴﺎِﻧِﻪ أو ﻳﻨ‬F ‫ِﻓﺄﺑﻮاە ﻳﻬﻮداِﻧِﻪ أو‬
“Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”

Tentu tulisan takziyah ini bukan bermaksud membuka diskusi atau


perdebatan tentang hal itu. Tetapi karena yang saya takziyahi adalah

2
kepulangan Umbu, maka saya juga wajib menjaga “kemurnian” menurut
kadar berpikir saya.

Sedemikian “fithriyah”nya Umbu sehingga tidak seserpih pun saya pernah


mengenal kecenderungan institusionalnya. Bahkan ketika seluruh seniman
Indonesia menyebutnya “berprofesi” Penyair, saya sendiri tidak melihatnya
demikian. Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim, penyair kok profesi: sedemikian
sembrononya manusia modern dengan yang mereka sangka ilmu dalam jiwa
mereka. Bahkan Umbu tidak pernah menerbitkan satu buku pun kumpulan
puisi. Andaikanpun kita mengakuinya sebagai penyair, semua tahu ia bukan
penyair sebagaimana Chairil Anwar, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri atau
Taufiq Ismail.

Narasi utama Umbu kepada saya dan ratusan muridnya di Yogya maupun di
Bali adalah “kehidupan puisi”. Bukan “puisi kehidupan”, di mana kehidupan
memuat nuansa-nuansa puisi. Melainkan kehidupan ini sendiri adalah puisi.
Semua ciptaan Allah adalah puisi. Adalah poetika. Adalah inti keindahan.
Bahkan seluruh isi Kitab Suci adalah puisi.

Apakah seseorang harus mengetahui, mengenali, mendalami, dan


mengalami apa itu puisi, supaya ia merasakan bahwa ayat-ayat Allah adalah
puisi? Itulah yang dirasukkan Umbu ke dalam jiwa saya. Kehidupan ini sendiri
adalah puisi. Agama justru adalah alat atau metode agar dilatihkan oleh hati
dan jiwa manusia untuk mengenali “kehidupan puisi”. Apa yang tidak indah
dari segala sesuatu mengenai Allah? Yang mana yang bukan puisi dari apa
saja pun yang ditakdirkan, dilakukan, dikehendaki, diperintahkan oleh Allah
kepada hamba-hamba-Nya?

Itu problem besar bagi semua pemeluk Agama di seluruh muka bumi. Karena
yang diinformasikan dan dibelajarkan kepada mereka tentang Agama adalah
kebenaran dan kebaikan, tetapi tanpa keindahan. Kebenaran dan kebaikan
yang ditanamkan di akal manusia, tanpa ditemani atau diperjodohkan atau
diakarkan dengan atau oleh keindahan, akan cenderung menjadi bahan
konflik, pertentangan, permusuhan dan perang, sebagaimana kita alami
berabad-abad lamanya.

Rendra bikin pentas drama puitis atau teater mini kata yang berjudul “Bib
Bop”, “Rambate Rate Rata”. Dan semua orang mendramatisasikannya
3
sedemikian rupa, tanpa ingat bahwa Allah sudah merintisnya dengan firman
“Alif Lam Mim”, “Alif Lam Ro`”, “Kaf Ha Ya ‘Ain Shad” atau bahkan hanya
satu huruf: “Nun”.

Semua ahli tafsir mengatakan “hanya Allah yang mengetahui maknanya”.


Tanpa mereka menginformasikan manthiq “Kalau memang hanya Allah yang
paham, kalau memang manusia tidak mungkin mengerti maknanya, kenapa
huruf-huruf itu difirmankan kepada manusia?”

Jawabannya adalah: puisi. Dan untuk sampai ke situ, tidak ada jalan tafsir.
Yang ada adalah jalan “tadabbur” sebagaimana yang dirintiskan di
masyarakat Maiyah. Di Qur`an hanya ada anjuran atau perintah Allah untuk
memikirkan ayat-Nya, “afala tatafakkarun”, “afala tatadzakkarun”. Tetapi
tidak ada perintah langsung untuk menafsirkan, meskipun memikirkan bisa
diasosiasikan sebagai menafsirkan.

Sedangkan secara sangat jelas Allah menagih manusia:

‫ب أَۡﻗَﻔﺎﻟَُﮭۤﺎ‬
ٍ ‫أَﻓََﻼ َﯾَﺘَﺪﺑﱠُﺮوَن ٱۡﻟﻘُۡﺮَءاَن أَ ۡم َﻋَﻠٰﻰ ﻗُﻠُﻮ‬
“Apakah mereka tidak mentadabburi al-Qur’an, atau hati mereka terkunci”

Umbu adalah Guru Tadabbur saya. Umbu adalah pemegang cambuk yang
mencambuki punggung kehidupan saya sampai saya menemukan puisi
sebagai ujung dari tadabbur kehidupan, sehingga narasi utamanya adalah
“kehidupan puisi”. Umbu adalah manusia hati, bukan manusia akal pikiran
yang rewel dan ruwet atau bahkan meruwet-ruwetkan diri sebagaimana
orang-orang sekolahan di abad ini.

Apakah Umbu mengenal atau bahkan mengerti kosakata “tadabbur”?


Apakah Umbu di Malioboro Yogya dan Lembah Pujian Denpasar pernah
membuka Kelas Tadabbur dan mengajari murid-muridnya mentadabburi
kehidupan?

Itu adalah pertanyaan akademis. Puisi memprihatini, meskipun tidak sampai


mentertawakan pertanyaan itu. Mereka menyangka Umbu pernah
memberikan kursus penulisan puisi, karena faktanya dia mengasuh rubrik

4
puisi di “Pelopor Yogya” dan “Bali Post”. Tetapi tidak. Sama sekali tidak. Ia
hanya setia menemani anak-anaknya sebagai manusia.

Ia tekun mendalami proses kejiwaan murid-muridnya. Ia jeli dan teliti


melakukan “nahi munkar” ketika ada di antara anak-anak asuhnya mengalami
kesesatan jiwa terutama kesombongan mental dan kekaburan proses
rohaniahnya. Sebab Umbu menemani murid-muridnya itu di tengah
peradaban manusia modern yang penuh kesesatan jiwa. Yang sok, keminter
dan kemlinthi. Umbu bisa berjalan kaki puluhan kilometer dari Malioboro ke
rumah anaknya di suatu kampung pelosok, kalau menjumpai satu kata atau
pilihan koordinat poetika yang menurut dia dialami oleh anaknya itu.

Kalau Umbu adalah guru tadabbur, apakah ia seorang Muslim? Saya


kemukakan dua hal. Pertama, model pendidikan Umbu kepada remaja dan
masa muda saya itulah yang menghembuskan angin energi batin ke dalam
mesin jiwa saya untuk membangun tradisi tadabbur. Kedua, apakah
pertanyaan “apa dia Muslim” itu Anda ajukan juga kepada Abu Thalib,
paman Rasulullah Muhammad?

Abu Thalib diprotes oleh para pembesar Mekah dan didesak agar
mempengaruhi Nabi Muhammad untuk menghentikan gerakan dakwahnya.
Bahkan menawarkan kepada Muhammad, melalui pamannya itu, sejumlah
harta benda untuk “menyogok” Muhammad. Dan Kanjeng Nabi menjawab:

‫ َواْﻟَﻘَﻣَر ﻓِﻲ ِﺷَﻣﺎِﻟﻲ‬، ‫س ﻓِﻲ َﯾِﻣﯾِﻧﻲ‬ َ ‫ﺿﻌُوا اﻟﺷﱠْﻣ‬ َ ‫ َﻟْو َو‬، ‫ﻋِّم‬
َ ‫ِ َﯾﺎ‬$‫َواﱠ‬
ْ ُ‫ َﺣﺗ ﱠﻰ ﯾ‬، ُ ‫ﻋَﻠﻰ أَْن أَْﺗُرَك َھذَا اﻷ َْﻣَر َﻣﺎ ﺗََرْﻛﺗ ُﮫ‬
‫ أَْو أَْھِﻠَك ﻓِﯾﮫ‬، ُ$‫ظِﮭَره ُ اﱠ‬ َ ِ
"Wahai Pamanku, Demi Allah, kalau pun matahari diletakkan di tangan
kananku dan rembulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan perintah
Allah ini, takkan sesaat pun aku meninggalkannya. Sampai kelak Allah
memenangkannya atau aku binasa”.

Abu Thalib pasang badan sepenuh-penuhnya untuk membentengi


keponakannya dari ancaman para penguasa Mekah. Abu Thalib
mempertaruhkan hidup dan nyawanya untuk melindungi Muhammad. Abu
Thalib mateg aji “tohpati” untuk menjamin kelancaran perjuangan Kanjeng

5
Nabi, dan itu melebihi jumlah perjuangan kita semua di dalam menegakkan
Islam. Lantas kita dengan pongah dan “gemmedhe” menuduh Abu Thalib
bukan seorang Muslim. Hanya karena tidak ada “berita acara” bahwa beliau
pernah mengucapkan Syahadatain. Seakan-akan kita punya pasukan Jin dan
Malaikat sebagaimana Nabi Sulaiman yang kita bawai Smartphone untuk
meneliti dan merekam syahadatnya Abu Thalib dan Umbu Landu Paranggi.

Sampai usia hampir 68 tahun sekarang ini, belum pernah saya menjumpai
manusia yang sangat menikmati setiap kata dan segala narasi saya tentang
Islam, iman, taqwa, tawakkal, sabar dan shalat, melebihi Umbu menikmatinya
dengan sumringah pancaran cahaya wajahnya. Tolong jangan siapapun masih
menuntut Umbu aktif sebagai anggota Takmir Masjid, menjadi anggota
Muhammadiyah atau NU Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Apalagi meminta
pembuktian keIslamannya dengan menguji apakah dia bisa memimpin
Yasinan atau Tahlilan.***

Yogyakarta, 6 April 2021

Anda mungkin juga menyukai