Anda di halaman 1dari 15

Keteladanan Rasulullah

Manusia biasanya tidak terpengaruh oleh prinsip-prinsip yang tidakbisa


dilaksanakan secara praktis. Quran adalah kitab yang hidup, namun kaum muslimin masa
kini tidak memiliki sedikit pun karakter yang dicontohkan rasulullah. Ini bukan berarti
bahwa Quran telah kehilangan tenaga revolusionernya. Tenaga itu ada dan akan ada
selamanya. Bedanya, kini kita tidak memiliki keberuntungan dengan kehadiran dan
bimbingan Sang Guru Agung, yang setiap detik kehidupannya adalah penjelmaan Quran.
Quran sendiri menegaskan:
Kamilah yang mengutus seorang rasul dari kaum yang ummi, yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat Kami, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka ilmu serta
kebijaksanaan. Sungguh, sebelumnya mereka dalam keadaan sangat ‘bodoh’.
Bila ingin merontokkan kebodohan, kita harus menjadikan kehidupan dan ajaran
Rasulullah sebagai pedoman. Allah menegaskan:

Sungguh kehidupan Rasulullah adalah model kehidupan yang terbaik. Banyak


khatib di dunia yang berkhotbah dengan baik. Mereka menyampaikan ajaran-ajaran yang
sangat indah. Namun sedikit sekali di antara mereka yang mampu tampil sebagai Pribadi
yang layak diteladani dalam pelaksanaan ajaran mereka. Sebaliknya yang membuat
Rasulullah menjadi istimewa justru kepatuhannya yang sempurna atas ajaran-ajaran yang
disampaikannya. Ia mengajrkan agar orang melakukan shalat lima kali sehari, tapi ia
sendiri shalat delapan kali. Selain melakukan shalat yang lima kali itu, ia laksanakan shalat
setelah matahari naik (dhuha) pada siang hari. Malam harinya ia bertahajud. Para
sahabatnya mengatakan bahwa ketika ia shalat detak jantungnya terdengar seperti air
mendidih, dan air matanya jatuh bercucuran. Malam hari ia bahkan melakukan shalat
sampai kakinya bengkak. Air matanya bercucuran seperti rantai yang saling bersambung.
Karena itu Aisyah pun pernah menegurnya, “Ya Rasulullah, bukankah anda sudah
tidak mempunyai dosa lagi? Mengapa anda bersusah-payah melakukan shalat seperti itu?”
Rasulullah menjawab, “O Aisyah, tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?”
Ia menyuruh umatnya berpuasa sebulan dalam setahun, tapi bagi dirinya sendiri tak
ada bulan dan minggu yang dilaluinya tanpa diisinya dengan puasa. Dalam seminggu ia
sering berpuasa tiga hari berturut-turut. Para sahabatnya pun bertanya, “Ya Rasul,
haruskah kami mengikuti perbuatan anda ini?” Sang Rasul menjawab, “Jangan! Kalian tak
dapat mengikuti caraku, karena Tuhan memberiku makan secara rahasia.”

Ia mengajarkan pengendalian nafsu dan kesenangan. Kendati sebagai penguasa


Arabia, ia tidur di atas tikar pandan yang kasar, sehingga menimbulkan bepas pada
tubuhnya ketika ia bangun. Para sahabatnya berkata, “Ya Rasulullah, bila anda ijinkan,
kami akan sediakan tempat tidur yang layak bagi anda.” Rasulullah menjawab, “Kenapa
aku harus memusingkan masalah duniawi itu? Aku hanyaibarat seorang pengembara yang
sedang beristirahat di bawah pohon, yang kemudian akan meneruskan perjalanannya.”

Kemiskinan dan kesederhanaan memang tidak asing bagi dunia, tapi jarang putri
seorang rasul datang menemui ayahnya sambil memperlihatkan luka-luka di tangannya
seraya mengatakan, ”Ayah, lihatlah, tanganku rusak karena penggilingan gandum.
Ijinkahlah aku memiliki seorang pembantu.” Sang Rasul menjawab, “Fatimah, kamu tidak
boleh memiliki pembantu. Pembantu hanya pantas bagi para janda dan orang miskin
Madinah.”
Putri raja manakah yang rela menggiling gandum dengan tangannya sendiri sambil
terus menghafal Quran?
Siapakah yang rela menolak kekayaan, emas dan perak, dan memilih kehidupan
yang penuh pengekangan hawa nafsu, dan menjauhi kelezatan makanan dan meinuman?
Sang Rasul menuturkan bahwa dihadapan bentangan tanah Makkah yang berbatu dan
gersang Allah pernah menawarkan untuk mengubah semua itu menjadi emas. Namun sang
Rasul menjawab, ”Tuhanku, yang kuinginkan hanyalah kenyang satu hari dan lapar satu
hari. Ketika lapar, aku akan mengingatMu dan menangis di hadapanMu. Ketika kenyang,
aku akan memuji, memuja, dan bersyukur kepadaMu.”

Ketika sang Rasul mengajarkan kewajiban menuntut ilmu, sampai ia menegaskan


bahwa ilmu boleh dituntut walau ke negeri Cina, ia menunjukkan penghargaannya yang
tinggi terhadap ilmu. Pada masa-masa awal kerasulannya, setiap usai menerima wahyu ia
selalu bersusah-payah mempelajarinya, sampai ia nampak seolah-olah sudah muak pada
kehidupan. Sebagai bukti, Quran memberikan gambaran:

Jangan pacu lidahmu agar kamu cepat menguasai Quran; (karena) sebenarnya kamu
harus mengikuti petunjuk Kami, baik dalam menghimpun maupun dalam mengkajinya.
Apabila telah Kami terangkan bagaimana mengkajinya, maka patuhilah. Setelah itu,
sungguh akan Kami ajarkan maknanya seterang-terangnya

Sebagai pelaksana dari konsep beriman kepada Allah lalu iringi dengan istiqamah
(keteguhan dalam iman itu), sang Rasul memperlihatkan keperkasaan karakter yang
mampu mengatasi sakit karena dihujani batu. Ia bertahan menangung hinaan dan ejekan,
dan dengan berani menghadapi kesulitan hidup karena pemboikotan. Bahkan ketika darah
mengucur dari kepalanya yang terluka, pendiriannya tak pernah goyah, dan tekadnya
tetap membaja. Ia tidak mengadu kepada Allah, tapi anya berdoa:
Ya Allah, beri petunjuk kaumku, karena mereka itu tidak mengetahui (missiku).
***

Bila yang dimaksud penulis ini adalah surat Al-Jum’ah ayat 2, maka terjemahannya
adalah: Dialah (bukan Kami) yang menampilkan bagi kaum yang ummi seorang rasul dari
kaum itu sendiri, yang membacakan bagi mereka ayat-ayatNya, yang mensucikan mereka,
yaitu dengan mengajarkan kitab yang berisi hukum (kebijaksanaan), karena
sesungguhnya sebelum itu (= sebelum diutus rasul) mereka dalam keadaan yang benar-
benar sesat (tak kenal hukum). (AH)
Cerita ini perlu diusut kebenarannya; karena bila benar Allah memberi Rasulullah
makan secara rahasia, bukahkan itu berarti bahwa ia tidak berpuasa? Selain itu, cerita ini
bertolak belakang dengan ayat yang menyatakan bahwa Rasulullah adalah orang yang
harus diteladani, dan bahwa ia adalah manusia biasa seperti kita, yang makan dan minum
seperti biasa, yaitu dengan melakukan usaha, bukan diberi makan oleh Allah. Bila benar
Allah memberinya makan secara rahasia, mengapa pula ia pernah mengganjal perutnya
dengan batu untuk menahan lapar? (AH)
Pada masa itu kegiatan menghafal Quran demikian memasyarakat, sehingga hampir
segala keiatan sehari-hari selalu mereka selingi dengan menghafal Quran. Catatan ayat-ayat
Quran selalu mereka bawa, yang selalu mereka buka setiap ada kesempatan. Mereka juga
meletakkan tulisan berisi ayat-ayat Quran di tempat-tempat tertentu yang membuatnya
sering terlihat dan terbaca. Dengan demikian Quran menjadi akrab dengan mereka. Tapi
selanjutnya kegiatan semacam ini menjadi langka, sehingga Quran pun menjadi asing
dalam kehidupan umat Islam. (AH)
Teladan Rasulullah Menyikapi Fitnah dan Ujian
Dalam Dakwah dan Jihad

Bismillahirohmanirrohim…
Perjalanan Dakwah dan Jihad adalah perjalanan hidup orang-orang mulia dan
terpuji sepanjang sejarah. Itulah perjalanan para Nabi, Rasul Allah dan orang-orang Shalih.
Satu perjalanan yang tidak menawarkan arama harum dari minyak kasturi, kilauan intan-
mutiara dan emas berlian yang bercahaya, sebaliknya dipenuhi onak dan duri, batu dan
kerikil, tanah pejal mendaki dan berkelok. Hampir tidak ada yang ingin mengikuti dan
menempuhnya kecuali hamba-hamba-Nya yang diberi Rahmat dan Barakah. Teror dan
berbagai ancaman ditimpakan kepada para Rasul Allah Swt, para Sahabat-sahabat dan
Orang-orang Shalih dari para Ulama’ dan Para Mujahid sesudah para Sahabat, tidak ada
yang terlepas dari kezaliman, siksaan, pembantaian dan pembunuhan. Perhatikanlah firman
Allah Swt berikut:

1) Nabi Nuh As telah di ancam rajam.


“Mereka berkata: “Sungguh jika kamu tidak (mau) berhenti Hai Nuh, niscaya benar-benar
kamu akan Termasuk orang-orang yang dirajam.” (QS As Syua’ara, 26:116)
2) Nabi Luth As diancam untuk diusir.
“Mereka menjawab: “Hai Luth, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar
kamu Termasuk orang-orang yang diusir.” (QS. As Syua’ara, 26:167)
3) Nabi Ibrahim As diancam untuk dibakar.
“Mereka berkata: “Bakarlah Dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar
hendak bertindak.” Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi
keselamatanlah bagi Ibrahim.”(QS. Al Anbiya’, 21:68-69)
4) Nabi Yusuf As diancam untuk dipenjara.

“Wanita itu berkata: “Itulah Dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya,
dan Sesungguhnya aku telah menggoda Dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan
tetapi Dia menolak. dan Sesungguhnya jika Dia tidak mentaati apa yang aku perintahkan
kepadanya, niscaya Dia akan dipenjarakan dan Dia akan Termasuk golongan orang-orang
yang hina.” Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi
ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka,
tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku Termasuk
orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf, 21:32-33)

5) Nabi Musa As diancam penjara dan bunuh.


Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain Aku, benar-benar aku
akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” (QS. As Syua’ara, 26:29)
“Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh
Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena Sesungguhnya aku khawatir
Dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” Dan Musa
berkata: “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari Setiap orang
yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab.” (QS. Al Mukmin,
40:26-27)

6) Para Nabi diancam untuk diusir dan dirajam.


“Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka: “Kami sungguh-sungguh akan
mengusir kamu dari negeri Kami atau kamu kembali kepada agama kami”. Maka Tuhan
mewahyukan kepada mereka: “Kami pasti akan membinasakan orang- orang yang zalim
itu, dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. yang
demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan
yang takut kepada ancaman-Ku.” (QS. Ibrahim, 14:13-14)
Mereka menjawab: “Sesungguhnya Kami bernasib malang karena kamu, Sesungguhnya
jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya Kami akan merajam kamu dan kamu
pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.” (QS Yasin, 36:18)
7) Adapun Nabi Muhammad Saw dihina dan dikatakan sebagai seorang penyair gila.
“Dan mereka berkata: “Apakah Sesungguhnya Kami harus meninggalkan sembahan-
sembahan Kami karena seorang penyair gila?.” (QS. As Shaffat 37:36)
Dan beliau diancam untuk; ditangkap, dipenjara, diusir dan dibunuh,
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu
untuk menngkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka
memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah Sebaik-baik
pembalas tipu daya.” (QS. Al Anfal, 8:30)

Dan pernah juga Rasulullah Saw difitnah dalam keluarganya, isterinya yang sangat
dicintainya Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq, Aisyah Ra yang terkenal dengan HADITUL
IFIK (Berita Bohong). Dan hal ini merupakan suatu bentuk yang akan terus berulang pada
setiap generasi, dimana sasaran utama dari tuduhan itu sebenarnya diarahkan kepada
pemimpin dengan tujuan hendak menghancurkan kepercayaan para pendukung beliau
terhadap kepemimpinan tersebut.

Itulah tradisi yang selalu berulang disepanjang sejarah, bila kekuatan fisik tidak
mampu membunuh karakter pimpinan, maka di hadapan musuh tidak ada lagi jalan yang
bisa ditempuhnya selain perang psikologis terhadap kepemimpinan tersebut, dengan cara
menghancurkannya lewat perang seperti ini. Karena itu, di sini ditampilkan kisah
keteladanan ini (HADITUL IFIK) supaya para Da’i dan Mujahid serta para pendukungnya
tidak mudah lemah dalam menghadapi segala ujian dan fitnah yang menimpanya, karena
musuh selalu menggunakan isu seperti ini, sebagai perang isu yang disebarluaskan oleh
musuh dikalangan barisan Islam untuk menghancurkan pimpinan.
Yang terpenting diingat dalam peristiwa ini adalah bahwa berita bohong itu
sebagaimana yang telah jelas bersumber dari kaum munafik di bawah bendera pimpinan
mereka, Abdullah bin ubay bin Salul. Ketika berita bohong itu masih beredar di kalangan
orang-orang munafik, memang tidak ada bahaya apa pun yang bisa mereka timbulkan.
Akan tetapi, ketika berita itu sudah masuk ke dalam lingkungan kaum Muslimin, dengan
segera berita itu menyebar bagai api membakar jerami. Barulah saat itu tampak betapa
besar bahaya keberadaan kaum munafik di tengah umat Islam.

Nash Al Qur’an sendiri, ketika menceritakan peristiwa ini, ternyata lebih banyak
mengarahkan tegurannya terhadap kaum Muslimin daripada kepada kaum munafik.
Agaknya Al-Qur’an hendak memberi pendidikan terhadap kaum Mukminin yang benar-
benar beriman, tapi masih dapat dipengaruhi oleh berita bohong ini dan masih mau
menerima pembicaraan orang yang menyangka-nyangka tanpa bukti.
Adapun pelajaran-pelajaran terpenting yang dapat dikemukakan dalam kaitannya dengan
berita bohong ini, ialah sebagai berikut.

Pertama, menghindari tuduhan yang masih bersifat prasangka adalah kewajiban


pokok yang wajib ditunaikan kaum muslimin. Mereka -terutama para pemimpin- juga harus
menyadari bahwa prasangka seperti itu menjadi pusat perhatian lawan maupun kawan.
Karena itu, sedapat mungkin agar dapat menghindari tempat-tempat dan hal apa pun yang
bisa menimbulkan prasangka buruk.

Kedua, jangan menerima isu begitu saja, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala
dalam al Qur’anul Karim,
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita
bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah di
sisi Allah adalah pendusta.” (QS. An Nur, 24:13)

Berita apa pun yang tidak diperkuat dengan bukti, harus ditolak oleh setiap Muslim.
Hendaklah pula dia menyadari bahwa menceritakan isu kepada orang lain dan menularkan
berita yang tidak diperkuat dengan bukti akan mengubah statusnya menjadi pendusta. Ini
adalah ketetapan Al Qur’an terhadap manusia-manusia semacam itu mereka adalah
pendusta di sisi Allah, sekalipun orang itu sebenarnya bukanlah yang mengada-ngada berita
tersebut dan sekalipun dia sekedar menukilkan dengan sejujurnya apa yang sebenarnya dia
dengar dari seseorang, namun dia di sisi Allah tetap tergolong para pendusta.

Ketiga, untuk menimbang secara cermat dalam menilai benar-tidaknya suatu isu,
bandingkanlah pribadi orang yang diisukan itu dengan diri anda sendiri. Dengan demikian,
pastilah Anda akan tetap memercayai teman Anda itu seperti halnya memercayai diri Anda
sendiri. Cara menimbang seperti itu diakui dan dipuji oleh Al Qur’anul Karim, yaitu
berkenaan dengan suatu perbincangan antara Abu Ayyub Al Anshari dengan istrinya,
Ummu Ayub Ra. Wanita itu berkata,
”Tidaklah kamu mendengar apa yang dikatakan orang mengenai Aisyah?”
“Ya, tapi itu bohong,” jawab si suami, “Apakah kamu melakukannya juga, hai ummu
Ayyub?”
“Tidak, demi Allah,”kata si istri, “Mengapa aku harus meniru orang-orang itu?”
“Abu Ayyub menegaskan, “Demi Allah, Aisyah itu lebih baik darimu.” (Ibnu Hisyam, (As
Sirah An Nabawiyah, II/303).

Semoga saudaraku, yang masih juga menyebarluaskan isu mengenai temannya atau
pemimpinnya, kiranya mau menghitung-hitung barang sedikit, benarkah temannya atau
pemimpinnya itu lebih jelek perhatiannya terhadap agama ketimbang dirinya dan benarkah
keduanya lebih rapuh kepatuhannya kepada agama dan lebih rendah budinya ketimbang
dirinya? Andaikan menimbang diri seperti itu dia lakukan pastilah prasangka buruk itu akan
musnah dari pikirannya dan robohlah kabar bohong itu sampai ke akar-akarnya.

Keempat, jangan sekali-kali membiarkan hawa nafsu ikut campur dan berperan
dalam menyelesaikan soal tersebarnya kabar bohong.
Di sini, ada dua contoh yang saling berlawanan berkenaan dengan berita bohong
tersebut di atas. Yang satu lebih suka memperturutkan hawa nafsu, sedangkan yang lain
tidak. Dua contoh itu ditampilkan oleh dua wanita Muslimat bersaudara kandung. Yang
pertama ialah Zainab binti Jahsy Ra, salah seorang istri Rasulullah Saw dan yang kedua
ialah Hamnah binti Jahsy Ra.

Al Muqrizi telah meriwayatkan dari Zainab tentang dialog yang dilakukannya


dengan Rasulullah Saw, di mana istri yang baik budi itu mengatakan kepada suaminya,
“Terpeliharalah kiranya pendengaranku dan penglihatanku. Aku tidak melihat pada Aisyah
kecuali yang baik-baik saja. Demi Allah, aku tak pernah mengajaknya bicara dan aku
memang benar-benar mendiamkannya, tetapi aku hanya mengatakan yang benar.” (Al
Muqrizi, Imta’ul Asma’ 1/208).
Jika seorang ‘madu’ sedemikian hebatnya mampu menahan hawa nafsunya untuk tidak
ikut-ikut menyebarkan isu, itu menunjukkan betapa tinggi derajat keluhuran budi yang telah
dicapai oleh wanita Muslimat ini. Kemudian menyatakan bahwa Zainab sama sekali tidak
terlibat dalam menyebarkan berita bohong ini. Dalam suatu pembicaraan, Aisyah Ra.
Bahkan pernah mengatakan, “Tidak seorang pun yang menyaingiku di sisi Rasulullah Saw
selain Zainab binti jahsy.”

Dengan pernyataan ini, agaknya Aisyah menempatkan Zainab pada posisinya secara
tepat dalam persaingannya dengan dirinya sebagai sesama istri Rasulullah Saw. Namun
demikian, dia tidak berkeberatan untuk memuji madunya itu berkenaan dengan kasus berita
bohong tersebut. Aisyah mengatakan, “Adapun Zainab benar-benar dipelihara Allah, berkat
kepatuhannya kepada agamanya. Dia tidak berkata apa-apa.”

Lain halnya dengan sikap kedua yang ditunjukkan oleh Hammah, saudara
perempuan kandung Zainab. Dia justru ikut menyebarluaskan berita bohong itu dari rumah
ke rumah, seolah-olah tak ada halangan apa pun di depan matanya, meski semua itu
sebenarnya dia lakukan demi membela posisi Zainab di sisi Rasulullah Saw. Sampai-
sampai Aisyahsberkata, menanggapi perbuatan saudara madunya itu, “Adapun saudara
perempuan Zainab, Hammah, dia menyebarkan berita bohong itu seluas-luasnya. Dia
melawan aku demi saudaranya. Tapi gara-gara itu, dia celaka.”

Bagaimanapun, kita kagum sekali kepada Aisyah Ra. Karena ternyata dia mampu
membedakan antara dua sikap yang berbeda dari kedua wanita bersaudara kandung itu dan
sama sekali tidak menimpakan kepada Zainab kesalahan yang dilakukan saudaranya itu.

Kelima, beban terberat dalam mengahdapi haditsul-ifki adalah sikap yang mesti
diambil oleh orang yang diisukan.

Adapun manhaj yang harus menjadi pegangan dalam hal ini ialah janganlah
membalas berita bohong dengan berita bohong yang lain dan janganlah membalas isu yang
dusta dengan isu lain yang serupa. Hendaklah pula orang yang diisukan itu mampu
menahan diri. Maksudnya, jangan membiarkan lidahnya berbicara yang melanggar
kehormatan orang lain, sekalipun orang lain itu telah menganiaya dirinya, sampai
terbukti dirinya benar dan tidak bersalah. Inilah sikap yang sangat penting, yang kita
serukan kepada siapa pun yang sedang terkena isu.
Sekarang, baiklah kita perhatikan teladan yang baik yang telah dicontohkan oleh
tiga contoh yang terlanggar kehormatannya dalam kasus haditsul ifki tersebut di atas.

Muhammad Rasulullah Saw, junjungan seluruh umat manusia, yang diwaktu itu
beliau juga berstatus sebagai panglima, kepada Negara, dan pemegang kekuasaan. Dengan
hanya satu isyarat saja dari beliau, sebenarnya dapat saja melayang nyawa siapa pun yang
berani mempecundangi kehormatan beliau. Namun demikian, dalam mengahdapi masalah
ini -setelah bermusyawarah dengan para sahabatnya yang terkemuka- beliau hanya
berpidato di hadapan kaum muslimin di atas mimbar seraya berpesan, setelah memuji Allah
dan menyanjung-Nya, “Hai sekalian manusia, mengapa ada orang-orang yang menyakitiku
mengenai keluargaku dan mengatakan yang tidak benar mengenai mereka. Demi Allah, aku
lihat keluargaku baik-baik saja. Orang-orang itupun mengatakan pula hal yang serupa
terhadap seorang lelaki, yang demi Allah, aku lihat dia pun baik-baik saja dan dia tak
pernah masuk ke salah satu rumah di antara rumah-rumah (keluarga)ku kecuali
bersamaku.”

Begitu pula terjadi suatu krisis hubungan antara dua kelompok, Aus dan Khajraj,
berkenaan dengan berita bohong ini, Rasulullah Saw tak lebih hanya menjadi penengah,
sekalipun salah satu pihak menyatakan pembelaannya terhadap orang-orang yang terlibat
dalam mencaci maki Aisyah s. Sedang yang lain menyerangnya dengan berbagai tuduhan.
Walaupun demikian, beliau hanya meredakan emosi masing-masing dan tidak berpihak
kepada siapapun karena beliau tidak memiliki bukti-bukti untuk membantah pihak yang
menuduh. Walaupun ketika Shafwan Ra. Melampiasakan kekesalannya yang amat sangat
dalam membela dirinya, lalu dipukulnya Hasan bin Tsabit atas tuduhannya, Rasulullah Saw
tetap tidak mendorongnya atau pun memberinya semangat untuk meneruskan tindakannya
itu selagi belum ada bukti, padahal beliau tengah berupaya membersihkan segala tuduhan
atas diri orang yang paling ia cintai, Aisyah ra.

Pada waktu itu, Hassan maupun Shafwan telah hadir di hadapan Rasulullah Saw.
Marilah kita perhatikan pengadilan yang tenang itu terhadap dua orang prajurit yang telah
bertindak melampaui batas.

Shafwan Ibnul Mu’athal berkata, “Ya Rasul Allah, dia telah menyakiti hatiku dan
mengejekku, lalu aku marah sampai aku memukulnya.”
Bersabdalah Rasulullah Saw kepada Hassan, “Bersikap baiklah kamu hai Hassan, Tegakah
kamu menjelek-jelekkan kaumku, padahal Allah telah menunjuki mereka kepada Islam?”
Beliau lalu menasehatinya pula seraya bersabda, “Berbuat baiklah kamu, hai Hassan,
mengenai pukulan yang telah menimpa dirimu.”

Hassan pun menerima nasihat beliau, lalu dia serahkan diyat (denda) atas pukulan
itu kepada beliau, seraya berkata, “Diyat-nya untukmu wahai Rasul Allah.”
Menurut riwayat Ibnu Ishak, “Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Ibrahim bahwa
Rasulullah Saw kemudian memberi Hassan sebidang tanah sebagai pengganti dari diyatnya
itu dan ditambahnya pula dengan seorang budak wanita mesir bernama Sirin. Wanita itu
dikemudian hari melahirkan untuknya seorang anak bernama Abdurrahman bin
Hassan.” (Ibnu Hisyam, II/305-306)

Demikian pukulan yang di lakukan Shafwan terhadap Hassan telah dibayar dengan
sebidang tanah dan seorang budak wanita. Rasulullah-lah yang membayarnya kepada
Hassan bin Tsabit, setelah dia menyatakan memberi maaf kepada Shafwan Ibnu
Mu’aththal, padahal orang yang diberi itu tadinya telah mengubah sya’ir yang berisi
tuduhan terhadap istri beliau sendiri dan dengan sya’irnya itu ia pergi ke mana-mana
menyebarluaskan isu itu tanpa henti.

Abu Bakar Ra dan istrinya, Ummu Ruman. Mereka berdua telah mendapat
cobaan luar biasa yang tak pernah menimpa seorang Muslim lainnya. Walau demikian,
yang dikatakan oleh ibu yang penyabar itu, yang telah dipecundangi kehormatannya,
dikecam dan dihina, tak lebih dari, “Anakku, tenangkan dirimu. Demi Allah, seorang
wanita cantik menjadi istri seorang lelaki yang mencintainya, sedangkan madunya pun
banyak, jarang sekali yang luput dari omongan-omongan yang di lontarkan oleh madu-
madunya maupun oleh orang lain.”

Adapun Abu Bakar Ra tak bisa berbicara apa-apa selain, “Saya tak pernah melihat
satupun keluarga di kalangan bangsa Arab yang mengalami cobaan seperti yang dialami
keluarga Abu bakar. Demi Allah, omongan-omongan ini tak pernah di ucapkan orang
terhadap kami di zaman Jahiliyah, di kala kami tidak menyembah Allah. Tetapi, di masa
Islam, justru kami mengalaminya!”

Aisyah, yang tak henti-hentinya menangis sehingga dia yakin tangis itu akan
menghentikan detak jantungnya. Ketika dia berhadapan dengan Rasulullah Saw dan
beliaupun menanyakan kepadanya mengenai berita itu, dan dia hanya mengatakan,
“Sesungguhnya aku, demi Allah, telah tahu betul bahwa tuan-tuan telah mendengar berita
ini, lalu hati tuan tuan-tuan termakan olehnya lalu mempercayainya. Jadi, kalaupun aku
katakan kepada tuan-tuan bahwa aku tidak bersalah, tuan-tuan takkan mempercayaiku.
Kalau pun aku mengakui kepada tuan-tuan tentang sesuatu, yang Allah pasti tahu aku
bersih darinya, barulah tuan-tuan akan mempercayaiku. Sesungguhnya aku, demi Allah,
tidak mendapatkan suatu teladan untuk diriku selain ayah nabi Yusuf ketika dia berkata,
“….maka kesabaran baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah di mohon pertolongan-
Nya terhadap apa yang kamu sekalian ceritakan. (QS. Yusuf : 18).
Sungguh, itulah sikap yang tiada taranya dalam sejarah dari sebuah keluarga paling
suci di muka bumi ini. Mereka dipecundangi kehormatan dan kemuliaanya, namun tidak
seorang pun dari mereka yang keluar batas dan tidak terlontar sepatah kata pun dari mereka
yang meninggung perasaan orang lain, bahkan masing-masing tetap mampu mengendalikan
urat sarafnya.

Adapun yang keluar batas hanyalah Shafwan Ibnu Mu’aththal Ra. Saking kesalnya,
dia pukul Hassan dengan pedangnya dan hampir saja ketelanjurannya mengakibatkan
perisyiwa besar seandainya tidak segera dilerai oleh Rasulullah Saw.
Demikianlah adab Islam yang luhur terhadap orang-orang yang menyebarluaskan isu yang
keliru dan berita bohong.

Keenam, sikap terakhir yang dapat kita simpulkan dari peristiwa haditsul-ifki ialah
menghukum orang-orang yang terpedaya yang terlibat dalam menyebarkan fitnah. Dengan
demikian, berarti tidak cukup dengan pernyataan bahwa si tertuduh tidak bersalah dan tidak
cukup dengan sekadar sang pemimpin menolak segala perkataan buruk yang dilontarkan
kepada pihak yang terkena fitnah, lalu habis perkara. Harus ada hukuman tegas yang
dilaksanakan di tengah masyarakat muslim terhadap siapa pun yang menyebarkan isu,
setelah dilakukan pemeriksaan secermat-cermatnya.

Akan tetapi, kenyataan yang terjadi sekarang, gerakan Islam malah membiarkan
begitu saja si penyebar isu dan berita bohong. Karenanya, masyarakat tak habis-habisnya
digoncang oleh berbagai macam fitnah.
Sebagai contoh, cukuplah kita sampaikan bahwa hukum Islam terhadap tiga tokoh
penyebar berita bohong tersebut, Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hammah
binti Jahsy, ialah dijatuhkannya hukuman had al-qadzaf kepada mereka, yakni didera
delapan puluh kali, sekalipun ada sebagian riwayat yang menyatakan bahwa jenis hukuman
ini baru diterapkan sesudah itu. Jadi, tidak dilaksanakan terhadap ketiga orang itu. Hal ini
karena mereka melakukan tuduhan sebelum turunnya ayat mengenai hukuman-hukuman
had.

Peristiwa seperti ini justru terjadi pada periode da’wah ini karena sejarah da’wah
sebelumnya memang tak pernah menyaksikan terjadinya peristiwa yang serupa di kalangan
masyarakat Islam sendiri. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa terjadinya isu biasanya pada
saat lemahnya bangunan internal dan pada saat ada kesiapan untuk menerima isu.
Sebaliknya, di kala umat sibuk dengan perjuangan dan peperangan menghadapi musuh,
jarang sekali isu dapat memengaruhi jiwa mereka.

Dari pelajaran diatas cukuplah bagi kaum Muslimin dan Muslimah yang baru
bergabung dalam perjuangan ini menjadikannya sebagai teladan hidup yang paling
berharga.Semoga keberkatan untuk kita.
Wallahu’alam…

Anda mungkin juga menyukai