Anda di halaman 1dari 4

Ir. H.

Achmad Badawi Rifa’i


Jum’at, 6 November 2020

Ayat tadi memberikan penjelasan pada kita bahwa Allah SWT telah mengutus
seorang rasul dan dijelaskan dalam ayat itu adalah rasul yang diangkat dari kaumnya,
kaum itu. Telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, kemudian
mempunyai sifat “ra’uf” dan “rahim”, pnyantun dan penyayang. Oleh karennaya, kita
harus tahu bahwa Rasulullah adalah orang yang memang sejak lahir sudah ditetapkan
oleh Allah sbg orang yg mulia, karena dia diberikan/ditanamkan dua sifat tadi.

Kemudian sifat itu sudah ditanamkan sejak sebelum diangkat jadi rasul.
Dengan demikian, Rasulullah diatas rata-rata seseoang untuk memberikan kasih
sayang kpd manusia. Tentu ini tidak lepas dari doa nabi Ibrahim dalam Al-Baqarah,
“Ya Allah ya tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kaumnya”, dan Allah
SWT mengabulkan doa Ibrahim itu, sehingga dari bangsa Arab diutuslah seorang
Rasul pada akhir zaman. Hakikatnya, ia diutus bukan hanya untuk kaum Arab saja,
tapi untuk seluruh umat yang ada di jagat raya.

Dua sifat yang disampaikan dalam ayat ini memberi panduan pada kita,
bahwasanya sifat itu (penyantun dan penyayang) telah kita ketahui dari berbagai
macam cerita, dari berbagai macam peristiwa. Misal, ketika Ja’far bin Abdul Muthabil
gugur di dalam peperangan yang ada di Yordan, yakni Perang Mu’tah (antara muslim
dengan kaum Katolik Roma). Kalau di Yordan, kita bisa menemukan makan Zaid bin
Haritsah, Ja’far bin Abdul Muthalib, dan Abdullah bin Rawahah. Ketika Nabi
mendengar para syuhada ini gugur, serta merta Rasulullah mengunjungu keluarganya
dengan membawa berbagai makanan, pakaian, dan bahkan dibawa ke tukang cukur
untuk dibersihkan rambutnya, digendong, dan dibesarkan dengan kasih sayang.
Bertahun-tahun kemudian, mereka telah dwasa dan menjadi orang sukses. Mereka
menceritakan pada masyarakat bahwa kasih sayang Rasulullah mereka rasakan
melebihi kasih sayang orangtua nya.

Dalam kejadian lain, orang-orang Thaif sangat menolak dan membnci


Rasulullah, sehingga mereka melempari Rasulullah dan mencederai serta mengusir
Rasulullah, sampai Rasulullah terluka. Lalu, Jibril datang dan menawarkan Rasulullah
agar mengangkat bukitbukit disana untuk ditimpakan pada mereka, namun Rasulullah
menolak dan berkata biarkanlah mereka, karena mereka belum tahu. Mungkin bukan
level mereka dan bukan zaman mereka, akan tetapi siapa tahu anak cucunya bisa
mengikuti risalah yang Rasulullah bawa. Demikian mulianya Rasulullah dalam
menghadapi musuh yang nyata memusuhi, namun nabi masih tetap menerima dan
bersabar.

Barangkali, ayat yang tadi dibacakan dari At-Taubah : 128 bisa kita sarikan,
ada poin-poin penting disana. Pertama, “’aziizun ma ‘anidtum”. Rasulullah merasakan
penderitaan ummatnya, nabi merasakan itu. Kalau seandainya ummat Rasulullah
mendapat sakit, maka Rasulullah merasakan sakit pula. Begitu juga bila mendapat
kezaliman dari musuh-musuh Islam, maka Rasulullah merasakan itu juga. Ketika
ummatnya mengalami hal berat dalam hidupnya dan di pundaknya tidak sanggup
memikul beban hidupnya, dan Rasulullah juga merasakan itu. Kemudian, yang
diharapkan Nabi adalah mereka bisa menjadi orang-orang yan mulia kelak di sisi Allah
SWT. Yang paling ekstrim, ketika Rasulullah mengahadapi kesakitan yang luara biasa
saat sakaratul maut, dalam jiwa dan pikirannya, ia memohon pada Allah, “Timpakan
seluruh sakit sakaratul maut ummatku padaku, agar mereka tidak merasakaan apa-
apa saat mengahadpi sakaratul mautnya”. Itulah, sesungguhnya apa yang diderita
nabi adalah bagian dari derita-derita ummatnya dan derita manusia yang ia berikan
kasih sayang pada mereka.

Maka, pantaslah kita sebagai ummatnya merenungkan peristiwa-peristiwa


yang dmeikian, agar tumbuh rasa cinta pada Rasulullah SAW adlam hati kita. Dengan
pengorbanan yang diderita, pengorbanan yang sudah disiapkan Nabi SAW.

Kedua, kita juga, “hariitun ‘alaikum”. Rasulullah sangat ingin (sangat-sangat


ingin) bahwasanya ummatnya itu menjadi ummat yang selamat dan mulia, baik di
dunia dan akhirat. Menjadi manusia yan harum namanya, harum amalnya, lalu mereka
akan mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT. Jadi, keinginan nabi dalam
menyampaikan risalah ketauhidan Allah tentu berkaitan dengan tugasnya sebagai
rasul. Bila dilihat dari dasar-dasar sifatnya, Rasulullah punya harapan juga,
bahwasanya ummatnya, orang-orang yang mengikuti risalahnya selalu mendapat
kemuliaan dan kemudahan, juga nilai-nilai kehidupan yang tinggi agar diselamatkan
Allah SWT di dunia dan akhirat.
Ketiga, “bil mukminiina rauufun rahiim”. Rasulullah mempunyai sifat penyantun.
Penyantun adalah dia memberi kasih sayang dan apabila orang yang diberikan kasih
mendapat problem, Rasulullah memberikan solusinya. Betapa banyak sahabat yang
punya masalah, pada waktu itu selalu diberi solusi oleh Rasulullah, karena
mempunyai sifat penyantun, dan selalu bersedia membantu ummatnya. Mirip seperti
orang yang bekerja di berbagai instansi pelayanan masyarakat saat mengangkat
telepon, yang mengungkapkan “apa yang bisa saya bantu?”. Apakah ia mencontoh
Rasulullah, atau hanya mengatakan saja agar diberikan cap sebagai karyawan yang
ramah untuk membuktikan bahwa ia memiliki kompetensi yang baik. Setelah kita tahu
ayat ini, maka frasa apa yang bisa saya bantu adalah satu dari sifat rauf Rasulullah
untuk membantu menyelesaikan masalah.

“Rahim” dicerminkan oleh Rasulullah saat mencintai ummat, sahabt, keluarga,


Allah SWT. Secara ekstrim, ketika beliau akan wafat, maka dia panggil, dan
ungkapkan siapa yang dicintainya, yakni ummatnya. 1000x kali kita mendengar
peristiwa kematian Rasulullah, 1000x juga kita akan menangis.

Saya ingin bercerita, ada seorang jamaah umrah bareng bersama saya. Ketika
landing di Madinah dan setelah selesai melaksanakan pengurusan administarsi,
ketika tiba di hotel, dia bertanya “Kapan kita akan ziarah ke makam rasul?”, lalu
ditetapkan waktunya oleh kami. Saat setelah masuk masjid Nabawi dan berziarah,
sekitar 75% mereka menagis ketika mengucapkan “Assalaamu’alaika yaa Nabiyya
Allah, yaa Shafwatullah, yaa Rasulullaah”. Mereka bercucuran air mata, karena
bersyukur telah ditetapkan hadir di hadapan Rasulullah. Ada juga yang menangis
karena rindu dan sudah mempelajari semua peristiwa dan akhlak Rasulullah SAW.
Tapi ada satu orang datang kepada saya, kenapa beliau tidak bisa menangis seperti
mereka, kenapa tidak tersentuh hati beliau untuk menangis?.

Pada ba’da isya’, saya bawa orang itu untuk hadir di depan teras Rasulullah,
dimana teras itu biasa dipakai Rasulullah untuk menerima tamu dan keluhan-keluhan
ummatnya, untuk memberikan perintah dakwah dan perang pada sahabatnya, para
Ashhaabus shafwah, yang tiap hari menghapal al-Qur’an. Mereka akan berangkat
untuk perang ketika nabi memerintahkan untuk berperang. Saat itu pula, saatsaya
sampaikan ayat untuk dibaca berulang-ulang, lalu direnungi dan diresapi. Saat itu juga,
saat jam dua malam, dia mennagis tak henti-henti sampai subuh karena tahu, betapa
saat dia hadir disana, ada kaitannya dengan apa yang Allah sampaikan dalam ayat
tadi. “…merasakan apa yang diderita oleh hambanya”, lalu kemudian Rasulullah
selalu bersedia untuk memberi solusi dan kasih sayang, dan kasih sayang itu
dirasakan bahwa itu adalah kasih sayang yang Rasulullah berikan. Bagaimana kita
bisa mengucapkan selawat bila tidak ada rasa yang dirasakan bahwa Rasulullah telah
memancarkan kasih sayang kepada kita tanpa batas, walaupun beliau sudah wafat
sejak lama.

Ketika diperintahkan shalat, Rasulullah mengajarkan detail bagaimana sholat


itu. Lalu, bagaimana kita harus hidup di masyarakat heterogen harus memberikan
toleransi. Maka, tidak ada habis-habisnya bila kita kupa untuk membahas kasih
sayang Rasulullah.

Oleh karenanya, kita bersyukur pada Allah bahwa Allah sudah memberi
hidayah dan karunia pada kita, sehingga kalimah syahadat sudah berada dalam dada
kita, dan mudah-mudahan dengan doa kita, rabbanaa laa tuzig quluubana ba’da idz
hadaitanaa wahablanaa min ladunka rahmah, innaka anta al-wahhab, selalu
berdoa agar keimanan yang ditetapkan pada kita menjadi kekal hingga kita
menghadap pada Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai