Ayat tadi memberikan penjelasan pada kita bahwa Allah SWT telah mengutus
seorang rasul dan dijelaskan dalam ayat itu adalah rasul yang diangkat dari kaumnya,
kaum itu. Telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, kemudian
mempunyai sifat “ra’uf” dan “rahim”, pnyantun dan penyayang. Oleh karennaya, kita
harus tahu bahwa Rasulullah adalah orang yang memang sejak lahir sudah ditetapkan
oleh Allah sbg orang yg mulia, karena dia diberikan/ditanamkan dua sifat tadi.
Kemudian sifat itu sudah ditanamkan sejak sebelum diangkat jadi rasul.
Dengan demikian, Rasulullah diatas rata-rata seseoang untuk memberikan kasih
sayang kpd manusia. Tentu ini tidak lepas dari doa nabi Ibrahim dalam Al-Baqarah,
“Ya Allah ya tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kaumnya”, dan Allah
SWT mengabulkan doa Ibrahim itu, sehingga dari bangsa Arab diutuslah seorang
Rasul pada akhir zaman. Hakikatnya, ia diutus bukan hanya untuk kaum Arab saja,
tapi untuk seluruh umat yang ada di jagat raya.
Dua sifat yang disampaikan dalam ayat ini memberi panduan pada kita,
bahwasanya sifat itu (penyantun dan penyayang) telah kita ketahui dari berbagai
macam cerita, dari berbagai macam peristiwa. Misal, ketika Ja’far bin Abdul Muthabil
gugur di dalam peperangan yang ada di Yordan, yakni Perang Mu’tah (antara muslim
dengan kaum Katolik Roma). Kalau di Yordan, kita bisa menemukan makan Zaid bin
Haritsah, Ja’far bin Abdul Muthalib, dan Abdullah bin Rawahah. Ketika Nabi
mendengar para syuhada ini gugur, serta merta Rasulullah mengunjungu keluarganya
dengan membawa berbagai makanan, pakaian, dan bahkan dibawa ke tukang cukur
untuk dibersihkan rambutnya, digendong, dan dibesarkan dengan kasih sayang.
Bertahun-tahun kemudian, mereka telah dwasa dan menjadi orang sukses. Mereka
menceritakan pada masyarakat bahwa kasih sayang Rasulullah mereka rasakan
melebihi kasih sayang orangtua nya.
Barangkali, ayat yang tadi dibacakan dari At-Taubah : 128 bisa kita sarikan,
ada poin-poin penting disana. Pertama, “’aziizun ma ‘anidtum”. Rasulullah merasakan
penderitaan ummatnya, nabi merasakan itu. Kalau seandainya ummat Rasulullah
mendapat sakit, maka Rasulullah merasakan sakit pula. Begitu juga bila mendapat
kezaliman dari musuh-musuh Islam, maka Rasulullah merasakan itu juga. Ketika
ummatnya mengalami hal berat dalam hidupnya dan di pundaknya tidak sanggup
memikul beban hidupnya, dan Rasulullah juga merasakan itu. Kemudian, yang
diharapkan Nabi adalah mereka bisa menjadi orang-orang yan mulia kelak di sisi Allah
SWT. Yang paling ekstrim, ketika Rasulullah mengahadapi kesakitan yang luara biasa
saat sakaratul maut, dalam jiwa dan pikirannya, ia memohon pada Allah, “Timpakan
seluruh sakit sakaratul maut ummatku padaku, agar mereka tidak merasakaan apa-
apa saat mengahadpi sakaratul mautnya”. Itulah, sesungguhnya apa yang diderita
nabi adalah bagian dari derita-derita ummatnya dan derita manusia yang ia berikan
kasih sayang pada mereka.
Saya ingin bercerita, ada seorang jamaah umrah bareng bersama saya. Ketika
landing di Madinah dan setelah selesai melaksanakan pengurusan administarsi,
ketika tiba di hotel, dia bertanya “Kapan kita akan ziarah ke makam rasul?”, lalu
ditetapkan waktunya oleh kami. Saat setelah masuk masjid Nabawi dan berziarah,
sekitar 75% mereka menagis ketika mengucapkan “Assalaamu’alaika yaa Nabiyya
Allah, yaa Shafwatullah, yaa Rasulullaah”. Mereka bercucuran air mata, karena
bersyukur telah ditetapkan hadir di hadapan Rasulullah. Ada juga yang menangis
karena rindu dan sudah mempelajari semua peristiwa dan akhlak Rasulullah SAW.
Tapi ada satu orang datang kepada saya, kenapa beliau tidak bisa menangis seperti
mereka, kenapa tidak tersentuh hati beliau untuk menangis?.
Pada ba’da isya’, saya bawa orang itu untuk hadir di depan teras Rasulullah,
dimana teras itu biasa dipakai Rasulullah untuk menerima tamu dan keluhan-keluhan
ummatnya, untuk memberikan perintah dakwah dan perang pada sahabatnya, para
Ashhaabus shafwah, yang tiap hari menghapal al-Qur’an. Mereka akan berangkat
untuk perang ketika nabi memerintahkan untuk berperang. Saat itu pula, saatsaya
sampaikan ayat untuk dibaca berulang-ulang, lalu direnungi dan diresapi. Saat itu juga,
saat jam dua malam, dia mennagis tak henti-henti sampai subuh karena tahu, betapa
saat dia hadir disana, ada kaitannya dengan apa yang Allah sampaikan dalam ayat
tadi. “…merasakan apa yang diderita oleh hambanya”, lalu kemudian Rasulullah
selalu bersedia untuk memberi solusi dan kasih sayang, dan kasih sayang itu
dirasakan bahwa itu adalah kasih sayang yang Rasulullah berikan. Bagaimana kita
bisa mengucapkan selawat bila tidak ada rasa yang dirasakan bahwa Rasulullah telah
memancarkan kasih sayang kepada kita tanpa batas, walaupun beliau sudah wafat
sejak lama.
Oleh karenanya, kita bersyukur pada Allah bahwa Allah sudah memberi
hidayah dan karunia pada kita, sehingga kalimah syahadat sudah berada dalam dada
kita, dan mudah-mudahan dengan doa kita, rabbanaa laa tuzig quluubana ba’da idz
hadaitanaa wahablanaa min ladunka rahmah, innaka anta al-wahhab, selalu
berdoa agar keimanan yang ditetapkan pada kita menjadi kekal hingga kita
menghadap pada Allah SWT.