http://www.geocities.com/sus_tuntang/hakikat_tasawuf.doc
http://www.geocities.com/sus_tuntang/paradigma_dan_masa_depan_islam.rtf
Bagian ke-1
Jika kita melihat di toko-toko buku, semakin hari semakin banyak buku
tasawuf yang dipajang. Buku-buku tasawuf itu meliputi tulisan orang
Indonesia, maupun terjemahan dari buku-buku tasawuf yang
berbahasa asing, khususnya terjemahan dari bahasa Arab. Dan
sekarang bisa kita jumpai buku-buku tasawuf yang ditulis pada masa
700 ? 1000 tahun yang lalu.
2. Surat Al Baqarah/2:115,
Wa lil-laahi l-masyriqu wa l-maghribu fa ainamaa tuwalluu fatsamma
wajhullaahi innallaaha waasi-‘un ‘aliim.
“Dan kepunyaan Allah Dunia Timur dan Barat itu. Karena itu, kemana
saja kamu menghadap, di situlah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Luas dan Maha Mengetahui.”
4. Surat Qaaf/50:16,
Wa laqad khalaqna l-insaana wa na‘lamu maa tuwaswisu bihi nafsuhu
wa nahnu aqrabu ilaihi min habli l-wariid.
“Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui
apa yang dibisikkan oleh jiwanya. Kami lebih dekat kepadanya
daripada urat lehernya.”
Untuk bagian pertama ini, kita cukup mengupas dan mengulas enam
ayat lebih dulu. Enam ayat inilah yang dijadikan landasan awal dalam
hidup bertasawuf. Jika diumpamakan orang naik tangga, maka harus
melalui tangga dasar yang kokoh. Dengan fondamen yang kokoh inilah
para ahli tasawuf mengembangkan Agama Islam. Dan dari sejarah
diketahui bahwa perintis Islam di seantero jagat adalah para sufi,
orang-orang tasawuf. Mereka inilah yang memperkenalkan Islam
dengan hikmat dan pelajaran yang baik.
Jika kita memahami landasan pada ayat pertama, maka harapan orang
bertasawuf adalah ‘mahabbah’ atau jatuh cinta kepada Allah. Tentu
saja untuk mencintai Allah Yang Maha Gaib itu, manusia harus
mempunyai pedoman. Dan yang menjadi pedoman itu adalah “ittiba‘”
atau mengikuti Rasul. Ketika Rasul hadir secara fisik di tengah-tengah
umat, maka mengikuti Rasul berarti secara langsung mematuhi
perintah dan larangannya secara aktual. Namun, setelah secara fisik
beliau tidak ada di tengah-tengah umat, beberapa sahabat berusaha
untuk mengajarkan Islam sebagaimana yang diteladankan oleh Rasul.
Abu Bakar tampil sebagai seorang khalifah yang sederhana. Harta-
bendanya didermakan untuk kepentingan umat. Dia tidak menyisakan
kekayaan materi untuk dirinya. Ketika dia dibaiat sebagai khalifah,
dengan sederhana dia mengucapkan, “Taatilah saya selama saya
menaati Allah dan Rasul-Nya. Dan bila tidak taat, maka tak ada
keharusan bagi kalian untuk menaatiku.” Suatu pidato pengukuhan
yang pendek, tetapi tegas. Mungkin setelah itu tak ada keberanian
bagi seorang penguasa mengucapkan demikian. Bahkan kalimat yang
pertamanya adalah, “Saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian,
tetapi saya bukanlah orang yang terbaik di antara kalian.” Juga suka
mengganjal perutnya jika kelaparan, sebagaimana yang diteladankan
Nabi. Dia lebih suka memilih demikian daripada makan makanan yang
tidak tahu halal dan haramnya.
Dengan fundamen yang kokoh itu, layaklah sebagai hamba kita diseru
untuk senantiasa berzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya, dan
bertasbih dari pagi hingga petang. Dengan lain kata, berzikir kepada
Allah yang mengiringi aktivitas kita sepanjang hari. Hal ini
dimaksudkan agar nurani kita semakin tajam dalam hidup ini.
Sehingga kita bisa keluar dari kegelapan hidup ini menuju daerah
kehidupan yang terang, yang bercahaya, yang transparan. Jika hidup
ini bisa kita jalani dengan Ajaran yang mulia ini niscaya kita tidak
timbul saling curiga dalam kehidupan bersama, bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Berzikir untuk selalu ingat Yang dicintai,
yaitu Allah. Bertasbih adalah tindakan untuk menjauhkan diri dari
segala sifat yang tidak terpuji. Tindakan untuk menjauhkan diri dari
segala yang tidak patut dilakukan sebagai kekasih Allah. Jadi,
bertasbih alias memahasucikan Tuhan, bukanlah cuma mengucap
“subhaanallah”. Tetapi ia merupakan perbuatan yang nyata-nyata
untuk menjauhkan segala sifat yang tidak patut diatributkan kepada
Tuhan. “Subhaana rabbika ammaa yaashifuun,” Mahasuci Tuhan
engkau dari apa yang mereka sifatkan.
Bagian ke-2
Banyak sekali perbuatan agamis kita ini juga hasil dari taklid ketika
kita masih kecil atau ketika kita bersentuhan pertama kali dengan
ajaran-ajaran agama. Kalau toh sekarang ini kita mengaji Al-Quran dan
Al-Hadis, lebih banyak ayat-ayat itu sebagai pembenaran atau
“justifikasi” bagi kepercayaan atau perbuatan yang telah kita lakukan.
Sebaliknya, kita ini jarang sekali yang menelaah Al Quran dan Al Hadis
untuk melahirkan suatu produk yang berupa perbuatan etika (sopan-
santun), estetika (keindahan), dan spiritual (semangat hidup) yang
unggul. Semenjak mandegnya kemunculan tokoh-tokoh besar Islam
1.000 tahun yang lalu, praktis umat Islam hanya bertaklid kepada
mereka.
Perbedaan-perbedaan yang muncul dari sikap taklid ini tidak
menghasilkan rahmat bagi umat Islam. Bahkan sering perbedaan ini
menjadi bencana atau mala petaka bagi umat. Mengapa demikian?
Karena perbedaan itu tidak tumbuh dari pencarian. Perbedaan yang
tumbuh dari peniruan, akan melahirkan “claim-claim” kebenaran.
Banyak orang yang beranggapan bahwa apa yang ditirunya (bukan
diikutinya, sekali lagi bukan diikutinya) sebagai yang paling benar.
Akhirnya, orang berebut benar sendiri. Orang lain yang tidak sepaham
atau seperti apa yang ditirunya dianggap berada dalam jalan yang
salah. Ia merasa telah berada di atas dalil yang benar; padahal dalil
tadi hanyalah intepretasi atau paham mursyid, gurunya.
Surat Al Baqarah/2:269,
Kedua ayat tersebut, yaitu 3:31 dan 2:269 merupakan ayat yang
saling melengkapi untuk memahami tasawuf. Pada 3:31 yang
ditekankan adalah kecintaan atau “mahabbah” dari Allah kepada
hamba-Nya yang sungguh-sungguh mencintai-Nya. Jika Allah
mencintai hamba-Nya maka ditutupinya semua dosa hamba-Nya. Jika
Allah menutupi segala dosa hamba-Nya tidak berarti dosa itu dihapus
seperti kita menghapus papan tulis yang kotor, tetapi hamba tersebut
menerima hikmah dari ssi-Nya. Dengan hikmah tersebut hamba dapat
bertindak atau beramal yang mendatangkan keuntungan yang besar.
Sehingga dosa atau kerugian yang ada itu tertutupi atau terlunasi.
Jika ujung ayat 3:31 berbunyi “Allah Maha Pengampun dan Maha
Penyayang”, maka ujung ayat 2:269 adalah “Tak ada yang dapat
memahami pelajaran atau ayat-ayat Tuhan, kecuali kaum albab. Kaum
albab adalah mereka yang mampu menyatukan dada dan kepala, hati
dan otak, atau perasaan dan nalarnya. Karena itu mereka layak
menerima hikmah. Sedangkan pengampun dan penyayang adalah
sifat asli Tuhan. Artinya, Tuhan senantiasa merespon hamba-Nya yang
betul-betul memohon ampun dan kasih-sayang-Nya, yang dalam ayat
di atas disebutkan sebagai “mencintai Tuhan” yang dibuktikan dengan
cara berittiba‘ atau mengikuti Rasul s.a.w.
Allah adalah Allah! Allah bukanlah Taurat, Zabur, Injil, atau Al Quran.
Semua kitab suci hanyalah sebagian kecil dari kalam-Nya. Seandainya
lautan itu dijadikan tinta dan pohon-pohon di muka bumi ini dijadikan
pena, maka telah keringlah tinta itu sebelum habis kalam Tuhan.
Kalam-Nya yang ditulis dalam kitab-kitab itu hanyalah miniatur dari
kebenaran Ilahi. Karena kitab suci itu miniatur dari kalam-Nya maka
diperlukan pemahaman pesan-pesan-Nya. Kalau hanya sekadar
membaca kulitnya, selamanya tak akan pernah mengerti isi kitab suci
tersebut.
Bagian ke-3
Perhatikan QS 84:6-9,
“Hai manusia sesungguhnya engkau telah berusaha sungguh-sungguh
menuju Tuhan engkau, dan engkau niscaya menemui-Nya. Dan orang
yang menerima rekaman pada tangan kanannya, maka ia
mendapatkan penilaian yang baik. Dan ia akan kembali kepada
keluarganya dengan gembira.”
Jika demikian, untuk apa kita belajar tasawuf bila kodrat dan irodat
dan kapabilitas manusia itu berbeda-beda? Di bagian depan telah
disampaikan bahwa belajar tasawuf itu untuk menjadi hamba-hamba
yang mencintai dan dicintai Tuhan. Dengan kata lain untuk bisa
kembali dan bertemu dengan-Nya. Dan jalan kembali untuk bertemu
dengan Tuhan itu bisa kita peroleh bila kita menjadi manusia yang arif
dalam hidup ini. Dan, orang yang arif itu adalah orang-orang yang
memperoleh hikmah atau kesadaran. Seberapa besar hikmah yang
diterima, itulah yang menempatkan orang-orang itu dalam tingkatan
shalihin, syuhada’, shiddiqin, dan para nabi. Tentu saja hikmah yang
diterima syuhada’ lebih besar daripada yang diterima shalihin,
shiddiqin lebih besar dari syuhada’ dan hikmah terbesar yang diterima
para nabi dan ahli warisnya.
Orang yang juga tergolong mati syahid adalah orang yang mati akibat
melahirkan. Ya, melahirkan adalah kesediaan untuk melakukan kodrat
dari Tuhan. Yang menciptakan kodrat adalah Tuhan, dan yang
menerima kodrat adalah wanita. Menurut ilmu ekonomi, besarnya
keuntungan tergantung dengan besarnya risiko. Orang yang hanya
mau menerima keuntungan kecil, risiko yang mungkin ditimbulkannya
juga kecil. Kalau mau mendapat keuntungan yang besar, maka harus
siap dengan risiko yang besar. Nah, kesyahidan adalah imbalan dari
risiko kematian akibat melahirkan.
Syuhada’ tidak hanya bagi mereka yang mati karena gugur di medan
perang, terserang penyakit yang mematikan, kecelakaan maupun
akibat melahirkan. Dari ketujuh macam orang yang mati syahid adalah
orang yang meninggal “di jalan Allah”. Meninggal di jalan Allah
mempunyai pengertian yang luas. Siapa saja yang konsisten berbakti
kepada Tuhan hingga meninggalnya, adalah orang tergolong
syuhada’. Wartawan yang menyam-paikan kebenaran yang
seharusnya disampaikan kepada khalayak ramai, terus dijahati hingga
meninggal, adalah syuhada’. Orang yang berani menasihati penguasa
yang zalim, dan terbunuh, juga syuhada’. Dan banyak lagi yang tidak
disebutkan di sini.
Wajar bila kita bertemu Tuhan itu tampil dengan berseri-seri yang
alami. Keberserian itu muncul dari dalam diri yang senantiasa
mendabakan-Nya. Tidak dibuat-buat atau direkayasa. Seperti
terpancarnya sinar dari sumber cahaya. Kita tidak perlu
membayangkan jauh-jauh, cukup kita lihat orang yang bertemu
dengan orang yang sangat dicintainya. Karena itu bertemu dengan
yang dicintai itu merupakan kenikmatan yang luar biasa. Dan minimal
orang harus bisa bertemu di tangga shalihin. Memang, semakin atas
tangga tempat pertemuan hamba dan Tuhan, semakin nyata dan
nikmat. Namun, manusia toh harus berjuang untuk mendaki ke tangga
yang tertinggi. Di maqam itulah tabir antara hamba dan Tuhan sudah
lenyap. Hilang segala keraguan dan mantab hati memandangnya!
Bagian ke-4
Nah, tubuh atau fisik kita sebenarnya hanyalah “kendaraan” atau “alat
transpor” bagi “Diri Sejati” kita, “hidup” kita, atau “sukma” kita. Saya
sengaja tidak menggunakan kata “aku” untuk menghindari
kesalahpahaman dengan “ego” atau ananiyah, keakuan. Jadi, untuk
selanjutnya diri sejati yang ada pada masing-masing diri kita, saya
singkat dengan “DS”. Ya, dialah penunggang kereta yang bernama
badan jasmani ini. Dialah yang disebut “sang hidup”. Baju yang
digunakan DS ini namanya “nafs” atau jiwa. Dan, DS ini roh adanya.
Karena itu, manusia yang hidup ini sebenarnya terdiri dari komponen
yang bersifat fisik (corpus, badan), nafsani (animae, jiwa atau nyawa),
dan rohani (spiri-tus, semangat atau roh).
Fisik, jiwa dan roh adalah kelengkapan bagi DS untuk menjalani hidup
ini. Jika jiwa putus hubungan dengan fisik, maka manusia disebut mati.
Dari komponen badan, jiwa dan roh, maka jiwa adalah tali
penghubungnya. Jiwa yang dalam bahasa Arabnya “nafs” berasal dari
kata kerja “na-fu-sa” yang berarti menginginkan, berhasrat, atau
bernapas. Artinya, jiwalah yang menyebabkan badan jasmani ini
menjadi hidup. Dan jiwa pula yang membuat manusia bisa merasa
duka dan suka. Bila jiwa ini putus hubungan dengan jasmani karena
jasad tersebut tak dapat dioperasikan lagi maka matilah badan.
Dengan kata lain, “jiwa mengalami mati”. Dalam cacah penduduk
dikatakan bahwa di lingkungan itu tinggal sekian jiwa. Bila ada
kecelakaan yang menyebabkan kematian dikatakan “kecelakaan itu
menyebabkan terenggutnya sekian jiwa” atau “sekian jiwa
melayang”. Jadi, peranan jiwa bagi DS sangat penting.
Lalu, dimana fungsi roh bagi DS dalam kehidupan? Di dalam Al Quran
Surat Al Israa’/17:85 dinyatakan, “Mereka bertanya kepada engkau
tentang roh. Katakan, ‘Roh itu amar (kehendak) Tuhanku. Kamu
tidaklah diberi ilmu (tentang roh) kecuali sedikit’.” Banyak orang yang
menerjemahkan ayat tersebut dengan “roh itu urusan Tuhanku”.
Dengan terjemahan tersebut, pintu pemahaman roh telah mereka
tutup. Akibatnya, dunia ilmu pengetahuan kita semakin tertinggal. Roh
berasal dari kata dasar Arab “ra-wa-ha”, artinya mengipasi,
menyegarkan kembali, menghidupkan hati, atau membangkitkan
semangat. Kata yang seakar kata dengan roh adalah “riyah” atau
angin, “raahah” atau senang, nyaman, atau rekreasi, dan “rauhah”
atau perjalanan. Kata “rawaah” berarti pergi atau keberangkatan.
Minuman anggur dalam bahasa Arabnya adalah “raah”. Dan, istirahat
dalam bahasa kita juga berasal dari akar kata yang sama dengan roh.
Kata roh dalam Al Quran selalu dinyatakan dalam bentuk tunggal. Roh
merupakan perlengkapan bagi DS untuk mengembangkan dirinya.
Dengan rohnya manusia bisa meningkatkan dan membedakan dirinya
dari dunia hewan. Dengan roh manusia dapat memberdayakan
akalnya atau “al-qalam” yang ada di dalam dirinya. Perlu diketahui
bahwa dengan al-qalam Tuhan mengajari manusia dari apa-apa yang
belum diketahuinya. Lihat kembali Surat al-‘Alaq/96: 4 ? 5. Nah, DS
yang terampil mempergunakan al-qalam inilah yang dalam Tasawuf
Jawa disebut “Guru Sejati” atau “Sukma Sejati”. Pada tahap inilah
manusia bisa menorehkan keindahan dan kemajuan di bumi ini.
Dengan GS-nya manusia mampu membuahkan “ilmu” yang tidak
diajarkan oleh manusia sebelumnya. Dari manakah ilmu itu? Tentu
saja langsung dari Tuhan. Inilah yang difirmankan dalam Surat al-
Kahfi/18:65, “Kami telah memberikan rahmat kepadanya dan
mengajarkan suatu ilmu dari sisi Kami.” Juga dinyatakan dalam Surat
al-Baqarah/2: 282, “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah
mengajarmu. Dan Allah itu Maha Mengetahui segala sesuatu.” Dengan
demikian, Allah mengajar DS dengan al-qalam sehingga DS menjadi
GS bagi dirinya.
Mari kita ingat lagi ajaran yang telah diberikan pada bagian
sebelumnya. Ajaran tasawuf membawa manusia untuk bisa
mendapatkan hikmah dalam kehidupan ini. Telah dijelaskan bahwa
hikmah itu tak ada kampus atau sekolahannya. Pengajar hikmah
adalah Tuhan Yang Mahaesa! Tuhan mengajar manusia (DS-nya)
dengan al-qalam. DS yang mendapat ilmu dari sisi Tuhan, akhirnya
menjadi guru bagi dirinya. Guru yang ada di dalam diri manusia itulah
sebenarnya guru yang waskita, yang betul-betul awas. Sehingga dia
disebut sebagai “Guru Sejati”. Jika nurani manusia bekerja maka
sesungguhnya yang bekerja adalah GS-nya. Menurut filsafat,
pengetahuan yang sejati pun lahir dari dalam DS seseorang. Jika DS
seseorang tertutup atau tak bekerja, maka orang itu tak akan mampu
menghasilkan ilmu baru. Bila DS seseorang tak bekerja, maka
maksimal ilmu yang didapat oleh orang tersebut adalah sebanyak
yang diajarkan oleh gurunya. Iptek yang dihasilkan oleh orang yang
terdidik adalah “inovasi”, bukan penemuan atau “invention”. Tanpa
penemuan listrik, dunia ini tetap diterangi lampu minyak. Orang naik
haji dari Indonesia masih tetap membutuhkan waktu 3 bulan
perjalanan.
Memang sekarang ini kita masih jauh dari kehidupan shalihin ini. Kita
masih disi-bukkan oleh kepentingan diri-sendiri. Inilah sebenarnya
yang merupakan wujud dari ego manusia! Manusia tidak mencoba
meniti ke dalam dirinya. Tetapi, ia malah memperturut-kan dorongan
egonya, hanya mau memenangkan kepentingannya. Roh yang
fungsinya untuk menghidupkan hati, tersekat oleh ego manusia.
Manusia yang mestinya mengetuk pintu hatinya, masuk menemuinya
DS-nya, dan bertemu Allah; malah lari tunggang langgang seperti
“dracula” yang takut cahaya matahari. Lari dari jalan yang benar akan
menghadapi risiko yang berat. Inilah sistem kerja semesta! Karena itu
dalam ujung ayat tersebut diperingatkan bahwa “pembalasan dari
Allah itu amat keras”.
Makanan dan minuman harus dipilih yang sehat. Badan harus bersih
dari najis atau kotoran. Kemudian, makanan pun harus dimakan
secara teratur waktu dan banyaknya. Dalam Islam ada syariat yang
mengatur waktu dan banyaknya makanan yang dikonsumsi dalam
setiap tahunnya. Inilah yang dinamakan puasa! Zakat dalam
pengertian sedekah, yaitu mengeluarkan sebagian kekayaan untuk
orang lain yang perlu dibantu, juga merupakan syariat untuk
membersihkan kehidupan lahiriah seseorang. Oleh karena itu, dalam
tasawuf Jawa, pengamalan ibadah yang ragawi ini disebut “Sembah
Raga”. Suatu pengabdian yang harus ditampilkan secara ragawi.
Kita lihat bahwa ajaran Islam ketika di Mekah bersifat panduan moral
yang universal. Syariat belum diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Solidaritas umat belum terbentuk. Keperkasaan badan
jasmani umat belum dibina dan dilatih. Tetapi, setelah umat Islam
hijrah ke Madinah, dan tetap dikejar-kejar dan ditekan, maka
solidaritas umat perlu digalang, kesatuan perlu dibina, dan
keperkasaan perlu dibentuk.
Karena itu setelah masuk Madinah, perlahan-lahan syariat diterapkan
bagi umat Islam. Yang pertama kali diberlakukan adalah salat wajib,
kemudian puasa Ramadhan pada tahun ke-2 Hijrah, salat Jumat pada
tahun ke-5, haji pada tahun ke-8 dan disusul zakat. Jadi, jelas bahwa
syariat adalah konsep untuk membangun kesehatan umat. Sedangkan
dari tinjauan pribadi, syariat adalah ajaran yang bersifat “zikir”.
“Fadzakkir, lasta alaihim bi mushaithir”, berilah ajaran mereka itu
(Muhammad), dan engkau bukannya orang yang ditugaskan untuk
menguasai mereka.
Bagian ke-5
Ketika beliau di Madinah, bangunan umat Islam yang baru berdiri ini
mengalami gempuran dari pihak Kafir Qureisy dari Mekah. Nabi
mampu menyatukan orang Arab Madinah dari klan Aus dan Khajrad
yang senantiasa bertikai, yang digambarkan di dalam Al Quran
sebagai orang-orang yang berada di tepi neraka. Di Madinah pada
waktu itu hidup orang-orang non-Arab yang berkitab (Yahudi, dan
Nasrani dari salah satu sekte agama Kristen). Bahkan orang Yahudi
dapat dikatakan sudah mantap hidup di sana. Semula ajaran Islam ini
disampaikan kepada suku-suku Arab yang tinggal di Madinah dan
sekitarnya. Kemungkinan timbulnya konflik antara mereka dan orang-
orang Islam telah dicermati oleh beliau. Dalam keadaan demikian ini
tentu saja Nabi memberi peringatan kepada semua pihak yang hidup
di Madinah, agar masing-masing pihak bisa menjaga hak-haknya dan
saling melindungi tanpa memperhatikan agamanya. Ajaran ini
dirangkum dalam “Piagam Madinah”.
Jadi, pada mulanya kekafiran itu hanya terbatas bagi mereka yang
melakukan kerusakan di bumi atau mereka yang mengingkari
kebenaran. Selanjutnya kekafiran itu juga diatributkan bagi pemeluk
agama lain yang tidak mau mengerti terhadap hak-hak yang dimiliki
oleh umat Islam. Hal ini bisa dibaca pada surat al-Bayyinah/98:1-7.
Kesimpulannya, orang kafir adalah orang yang mengingkari kebenaran
dan melakukan kerusakan di bumi. Tak peduli agama apa dia.
Ingat, rahmat Tuhan itu akan hinggap pada orang-orang yang berbuat
ihsan. Suatu perbuatan yang tumbuh dari hati yang murni. Suatu
perbuatan yang tidak distimulasi oleh keinginan yang melanggar
batas. Perbuatan yang tidak dilandasi oleh dorongan untuk
mengeksploitasi bumi. Hanya sebatas yang diperlukan! Hanya
mengambil manfaat untuk kehidupan. Bukan untuk kemubaziran atau
pemborosan dalam hidup ini. Memang hal ini tampak seperti
bertentangan terhadap prinsip “pemasaran”. Tetapi sebenarnya kita
ini diingatkan agar menjaga kesejahteraan alam ini demi anak-cucu
dan kemanusiaan kita. Apalah artinya kita sekarang hidup
bergelimang harta, tetapi di masa depan kita menga-lami ketekoran
hidup. Karena energi semesta sudah kita hutang sekarang ini,
sehingga di masa depan kita tekor karena harus membayarnya.
Di bab yang lalu telah diterangkan bahwa syariat itu untuk menjaga
kesehatan dan kesejahteraan manusia lahir dan batin. Syariat atau
sembah raga ini meliputi pelayanan di antara sesama dan pelatihan
pribadi dalam berhubungan dengan Tuhan. Dengan kata lain, sembah
raga itu ada yang berwujud pelayanan riil di antara sesama manusia,
dan ada pula yang berupa pelatihan diri untuk penyatuan diri dengan
Yang Mahaesa. Jangan salah paham lho! Dari segi aspek realitas, kita
itu senantiasa bersama dan berada di dalam Tuhan. “Dan Dia
senantiasa bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS 57:4). Nah,
penyatuan diri adalah upaya untuk kembali kepada Tuhan, wa inna
ilaihi raji-‘un.
Lalu harus dipecahkan dengan cara apa? Di sinilah kita dituntut untuk
meningkatkan kualitas sembah atau ibadat kita. Kita tak boleh
mandeg atau cuma berhenti di syariat. Kita harus memahami sumber
kemiskinan yang lebih dalam. Kita tidak cukup hanya melihat
kemiskinan dari segi tidak adanya pekerjaan, lemahnya ketrampilan,
atau rendahnya pen-didikan. Kemiskinan harus dilihat dari sumbernya
yang lebih dalam, yaitu kemiskinan budi pekerti atau akhlak. Ya,
kemiskinan di tingkat ihsan atau jiwa. Jika di dalam umat ini ter-lalu
banyak orang yang miskin jiwanya, maka jangan heran bila timbul
kemiskinan lahiriah yang luar biasa. Jadi, perintah untuk tidak hidup
boros atau kikir adalah untuk menanggu-langi terjadinya kemiskinan.
Ihsan adalah tahap yang lebih tinggi dari Islam dan Iman. Ihsan ada di
wilayah sembah jiwa. Suatu wilayah di tahap akhir sebelum memasuki
tahap sembah rasa. Bila di tahap syariat orang harus bisa
menampilkan kesejahteraan ragawi, di tahap tarekat atau sembah
cipta manusia harus bisa hidup dalam kedamaian hati. Kenikmatan
yang diperoleh tidak lagi pada banyaknya harta benda. Kemudian
masuk ke tahap sembah jiwa atau dunia ihsan, dunia ketulusan hati.
Memasuki alam kesadaran untuk duduk bersimpuh di hadirat Ilahi.
Kenikmatan yang diperoleh berupa kesempurnaan diri. Di tahap ini
manusia mulai mampu menimbang hakikat yang terjadi.
Bagian ke-6
Wujud alam ini memang dualisme karena itu ada mizan, ada neraca
alias ada ukuran pada setiap benda atau wujud ini. Batas-batas itu
tetap harus dijaga. Batas-batas itu tidak boleh dilampaui. Dalam arti,
tak boleh dilebihi maupun dikurangi sehingga batasnya ambruk. Kita
bisa membayangkan, bila manusia yang menghuni bumi ini berlebihan
pria atau wanitanya. Bukan kedamaian yang kita rasakan. Tetapi
bencana!
Pada tahap awal cara untuk mengenal batas-batas itu dengan syariat.
Cara yang mudah yang bisa dikenali oleh setiap orang. Karena itu kata
syariat dapat diartikan sebagai jalan umum, jalan yang bisa dilewati
oleh siapa saja. Jadi, syariat bisa ditempuh tanpa perlu kepandaian
secara khusus. Bila kita makan dan sudah terasa kenyang, ya kita
hentikan. Dan bila sudah terasa lapar, kita sebaiknya makan. Inilah
syariat! Karena itu dalam surat Al Maidah/5:6 disebutkan, “Ma yuridu
llahu liyaj-‘ala ‘alaikum min harajin walakin yuridu liyuthahhirakum wa
liyutimma ni ‘matahu ‘alaikum la-‘allakum tasykurun.” Allah tidak
bermaksud menjadikan kesulitan bagimu, tetapi Dia berkehendak
untuk membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu
agar kamu menjadi orang-orang yang bersyukur.
Jika kita perhatikan aturan sedekah ini, disamping ada pihak yang
berkewajiban mengeluarkan sedekah, ada pula pihak-pihak yang
berhak menerima sedekah tersebut. Surat At Taubah:60 yang
diwahyukan pada 9 H, menjelaskan tentang orang-orang yang berhak
menerima sedekah. Yaitu, orang fakir, orang miskin, fungsionaris
sedekah, mu-allafah, hamba sahaya, orang yang berhutang, orang
yang ada di jalan Tuhan, dan orang yang ada dalam perjalanan.
Jadi, Yusuf Ali tetap mengacu pada makna sedekah seperti yang
diungkapkan pada ayat-ayat Makiyah, yaitu untuk mereka yang hidup
dalam keadaan fakir-miskin. Bila di Mekah belum ada ‘amilin atau
fungsionaris sedekah, maka di Madinah sedekah itu harus dipungut
dan dimanajemeni dengan baik. Waktu itu yang tergolong manusia
fakir-miskin adalah muallafah [orang yang membutuhkan bantuan
dalam menegakkan kebenaran agama], hamba sahaya (tidak mampu
memerdekakan dirinya bila tidak ditolong), orang yang hidupnya
dalam kebangkrutan atau tergantung pada hutang, fi sabilil-Lah
[mereka yang membangun kebajikan seperti pasukan keamanan dan
ketertiban, membangun rumah-rumah ibadah, sekolah, rumah sakit
dll], dan ibnu sabil [yaitu mereka yang menempuh perjalanan untuk
kebajikan seperti mencari ilmu, spionase, peneliti dls].
Sampai bagian ke-6 ini tasawuf kita ini masih membahas tahap
syariat. Suatu tahap dini dalam menjalani kehidupan yang religius,
hidup beragama. Suatu tahap awal untuk mengenal batas-batas
perilaku manusia. Kata “syariat” pada mulanya mempunyai arti “jalan
menuju sumber air”. Jelas bahwa syariat bukanlah bagian “yang ada”
di dalam diri manusia. Syariat adalah aturan yang datangnya dari luar
diri manusia! Ia adalah jalan ke sumber air. Fungsinya, dengan
demikian, untuk menjadi rambu-rambu agar aktivitas “yang ada” di
dalam diri manusia itu tidak melampaui batas-batas, tidak melanggar
neraca atau keseimbangan yang telah ditetapkan Tuhan.
Oleh karena syariat itu datangnya dari luar diri manusia, maka bentuk
syariat itu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan zamannya. Dengan
demikian, wajar bila tiap-tiap agama mempunyai bentuk syariatnya
sendiri. Inilah yang ditegaskan dalam Surat Al-Maidah/5:48, “li kulli
[ummatin] ja-‘alna minkum syir-‘atan wa minhajan.” Bagi setiap umat
telah Kami jadikan syariat dan tata-caranya. Perhatikan bunyi ayat
tersebut! Di situ dinyatakan bahwa “Kami telah menjadikan”, bukan
Aku telah menciptakan. Dijadikan artinya dibuat dari sesuatu yang
telah ada. Sedangkan “Kami” artinya Tuhan menyertakan sesuatu
untuk menjadikan suatu syariat. Apa sesuatu itu? Semua keadaan
yang meliputi kebangkitan suatu umat pada geografi dan kurun waktu
tertentu. Karena itu, secara normatif syariat itu berkaitan dengan
rambu perintah, halal [yang dibolehkan], dan haram [yang terlarang].
Makna syariat perlu diperjelas dalam pelajaran ini, agar kita tidak
terjebak atau cuma macet di jalan. Apalah artinya kita sudah ada di
jalan yang benar, tetapi terjebak dalam kemacetan di jalan tersebut?
Sudah di jalan yang benar dalam menuju sumber air, tapi tidak sampai
di sumber air, belum lagi mengambil airnya. Kemacetan akan
mendorong orang untuk mengambil jalan pintas. Nah, begitulah
gambaran orang yang menjalani formalitas beragama saat ini. Banyak
orang yang terjebak dalam formalitas keagamaan. Agama tak lebih
dari identitas belaka. Makanya, banyak orang yang tampak sangat
agamis, tetapi budipekertinya tidak mencerminkan kehidupan agama
yang benar. Pemahaman terhadap syariat perlu ditingkatkan.
Makan dan minum pada manusia berbeda dengan yang ada pada
dunia hewan. Sejak lahir makan-minum pada hewan telah terkontrol
oleh dirinya secara otomatis. Hewan tidak perlu dilatih untuk
membatasi makan-minumnya. Tetapi manusia perlu dilatih dan dididik
untuk mengenal batas dalam makan-minum. Kalau tidak, manusia
akan terdorong makan-minum tanpa batas. Perilaku manusia akan
lebih buruk daripada hewan. Dan tentu saja, akan merusak kehidupan
manusia itu sendiri. Bukan hanya jumlahnya yang perlu dibatasi, tetapi
juga macam makan-minumnya. Nah, dalam agama yang membatasi
ini namanya “syariat”. Tentu saja batas-batas itu dipengaruhi oleh
budaya, geografis dan zamannya. Karena itu di atas disebutkan bahwa
“syariat” adalah bukan dari bagian “yang ada” pada diri manusia. Ia
ada di luar diri manusia dan berfungsi untuk membatasi gerak “yang
ada” agar tidak melampaui batas kehidupannya.
2:168, “Hai manusia, makanlah yang halal dan yang baik (thayyib)
apa-apa yang terdapat di bumi. Dan, janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu musuhmu
yang nyata.”
5:88, “Dan makanlah apa-apa yang halal dan yang baik yang telah
diberikan oleh Tuhan kepadamu. Dan, bertakwalah kepada Allah yang
kamu imani.”
Dalam tafsir Yusuf Ali, makanan yang thayyib adalah makanan yang
bersih, sehat, bergizi, dan lezat. Dengan demikian, makanan yang
thayyib adalah makanan yang halal dari segi zatnya. Sedangkan
makanan yang halal, belum tentu baik dari segi substansinya. Karena
kehalalan
berkaitan dengan hukum yang berlaku. Minuman kopi pada abad ke-
15 termasuk jenis makanan yang diharamkan [alias tidak halal] di
dunia Islam. Namun, akhirnya dihalalkan, sampai hari ini! Tetapi, kalau
seseorang memandang tidak thayyib, maka dia harus
meninggalkannya.
Bila kita mau memahami syariat itu dengan pikiran yang jernih,
ternyata syariat itu tidak diberikan oleh Tuhan dengan keharusan
dipegangi secara kaku. Seperti yang dinyatakan dengan tegas pada
2:173, bagi mereka yang terpaksa [idh-thurra] bukan karena ingin
menikmati kelezatannya [ghaira bagh] atau melebihi keperluannya
[la-‘ad], maka tak ada dosa baginya. Hal ini diperkuat oleh surat 5:3.
Dengan redaksi: “Barangsiapa terpaksa karena kelaparan, bukan
cenderung melakukan dosa [melanggar hukum], maka sesungguhnya
Allah itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” Jadi, bunyi ayat ini
begitu pribadi! Mengapa? Karena ayat ini mendidik kejujuran
seseorang dalam mengarungi hidup ini. Yang merasa lapar, yang
merasa terpaksa, yang mengetahui jika perbuatannya itu untuk
mempertahankan hidupnya, dan yang mengetahui berapa banyak
makanan yang diperlukan agar ia tidak merasa lapar adalah orang
yang bersangkutan. Orang lain tidak boleh menajiskan!
Syariat dijadikan oleh Tuhan dalam wujud yang indah. Namun, berkali-
kali dalam sejarah, manusia telah salah dalam menempatkan syariat.
Syariat yang seharusnya dipakai sebagai alat atau wahana ke suatu
tujuan, ternyata dijadikan tujuan itu sendiri! Padahal tujuan yang sejati
adalah Tuhan. Bilamana syariat telah menjadi tujuan, maka yang
tampak menonjol adalah formalisme keagamaan. Bukan ilmu yang
dicari, tetapi ijazah! Segala sesuatu bila sudah jatuh ke dalam
formalisme, maka tak akan ada lagi “kemerdekaan”. Yang ada
hanyalah kolonial atau pemasungan kehidupan. Syariat tidak lagi
sebagai alat, tetapi penjara! Inilah yang menyebabkan penampilan
lahiriah umat Islam sekarang ini tampak sangat religius, tetapi
sebenarnya telah kehilangan religiusitasnya.
Nah, dengan memahami syariat secara proporsional, dengan
melihatnya sebagaimana adanya, maka kita bisa melanjutkan
perjalanan tasawuf kita. Kita tidak lagi terjebak di tengah kemacetan
syariat, tetapi kita bisa berjalan secara wajar untuk kembali kepada
Tuhan. Tasawuf berikutnya, yaitu yang ke-7, akan dibahas makna
kembali kepada Tuhan. Insya Allah minggu depan. Wa billahit taufiq
wal hidayah.
Bagian ke-7
Dari syariat ke tarekat tidaklah terputus begitu saja. Kedua jalan ini
bersam-bungan, dari jalan yang lebar kemudian menuju jalan yang
lebih sempit. From the road of life to the path of life. Dari jalan di luar
diri menuju jalan di dalam diri. Dari jalan raya masuk ke gang di mana
rumah “DS” berada. Yaa, sebenarnya kita ini seperti orang-orang yang
hendak pulang ke masing-masing rumahnya. Karena rumah itu ada di
dalam RW yang sama, maka mula-mula kita berjalan di atas jalan raya
yang sama, dan selanjutnya berpisah menuju gang-gang yang
berbeda, akhirnya masuk ke rumahnya sendiri-sendiri. Di rumah itulah
Allah menyambut manusia secara perorangan. Seperti yang
dinyatakan dalam surat Maryam/19 : 93, 95,
93. Sungguh setiap diri, baik yang ada di langit maupun di bumi, akan
datang kepada Yang Maha Pemurah sebagai seorang hamba.
Orang yang mampu melihat hakikat dirinya disebut “insan kamil” alias
manusia sempurna. Manusia yang merupakan wujud dari
makrokosmos dan mikrokosmos. Dia adalah miniatur dari Yang Haq,
wujud mini dari Tuhan Yang Mahaesa. Nah, perjalanan kita untuk
menjadi miniatur-Nya adalah perjalanan kembali kepada-Nya. Orang
yang sadar bahwa dirinya dalam hidup ini sesungguhnya kembali
kepada Tuhan, adalah orang yang sadar bahwa dirinya menyongsong
“yaum al-qiyamah”. Banyak orang yang mengira bahwa kebangkitan
itu terjadi setelah hancur-leburnya bumi atau semesta alam. Lalu,
timbullah ilusi dan khayalan tentang kiamat. Akhirnya, muncullah
perilaku yang aneh-aneh. Terjebak di perjalanan! Formalisme!
16:77, Dan bagi Allah Yang Mahagaib di langit dan di bumi, peristiwa
kiamat itu akan datang dalam sekejap penglihatan atau lebih cepat.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Datangnya kiamat itu sekejap mata atau lebih cepat. Dan datangnya
pun boleh jadi sudah dekat. Pernyataan surat 42:17 ini bukanlah
sekadar kemungkinan, tetapi betul-betul kenyataan bagi yang
mengetahuinya. Tuhan tidaklah membuat puisi, tapi memberikan
informasi kepada manusia. Orang yang tidak beriman meminta kiamat
itu disegerakan, karena mereka tidak mengetahuinya. Bagaimana
dapat disegerakan, wong mereka itu tidak mengetahuinya?
Bagaimana bisa diperbantahkan wong mereka itu tidak
mengetahuinya. Berbantah atau bertikai masalah datangnya kiamat
adalah mubazir, dan bahkan menyesatkan kita. Hari kiamat harus kita
alami untuk bisa menemui-Nya. Bukankah cepat atau lambat kita pasti
menemui-Nya.
Tobat.
Wara’.
Mengamalkan Zikir
Mulai saat ini marilah kita praktikkan tarekat ini, dengan zikir berbuat
dan zikir bertindak. Jangan ada target dulu. Lebih baik kita merasa
berlatih dulu
Bagian ke-8
Dari segi syareat seseorang yang shalat dianggap sah bila ia telah
bersih dari hadas [yang kecil dengan wudhu, dan yang besar dengan
mandi], dan mencari tempat yang bersih untuk shalat, lalu dilakukan
sesuai dengan syarat dan tertib rukunnya. Bereess! Upacara telah
dikerjakan. Lho, kok dianggap upacara, itukan perintah Tuhan? Shalat
hanyalah sebuah upacara jika yang dipenuhi formalitas lahiriahnya.
Yang di-tuntut dalam kehidupan beragama tentu bukan sekadar
upacaranya. Tetapi, tujuan dari shalat! Apa tujuan shalat? Apa tujuan
puasa, zakat dan haji?
20:14 Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, dan tidak ada Tuhan kecuali
Aku. Beribadahlah kepada-Ku dan dirikanlah shalat untuk berzikir
kepada-Ku.
Dari kedua ayat tersebut dapat diketahui dengan pasti tujuan shalat.
Tujuan utama shalat adalah “berzikir” kepada Tuhan. Dan, efek
berikutnya adalah terjauhkan dari perbuatan fahsya’ dan mungkar.
Karena efek dari zikir itu menjauhkan pelakunya dari perbuatan
fahsya’ dan mungkar, maka nilai zikir itu lebih besar dari ibadah
lainnya. Apalagi zikir tersebut dilakukan dalam shalat. Fahsya’ adalah
segala jenis perbuatan yang tidak normal, yang dibenci masyarakat,
kekejaman, dan yang menjijikkan. Sedang perbuatan mungkar adalah
perbuatan yang ditolak atau dilarang oleh masyarakat. Jadi, tujuan
akhir shalat adalah mencegah perbuatan fahsya’ dan mungkar bagi
penegaknya. Shalat bukan untuk membebaskan diri dari kewajiban.
Orang tak akan mengerti arti sebuah kekayaan bila ia tak pernah
menghayati arti sebuah kemiskinan. Tidak perlu harus jatuh miskin
dulu! Tetapi menghayati dalam batin kita bahwa sesungguhnya kita ini
miskin. Wong ketika kita lahir tak ada yang membawa perhiasan.
Orang tak akan mengerti makna kepandaian bagi kesejahteraan bila ia
tak pernah menghayati makna kebodohan. Seandainya generasi
Jepang sekarang tidak menghayati rasanya suatu bangsa yang dibom
atom, tentu mereka akan tetap melakukan penindasan dan
penghancuran negara-negara sekelilingnya yang dipandang lemah.
Jika makna-makna yang negatif [seperti jahat, miskin, bodoh, dan
lemah] itu telah hilang dari mereka, maka mereka pun akan
mengalami hal yang sama seperti yang melanda negeri kita ini.
Nah, tarekat adalah cara untuk melihat diri kita sendiri. Karena itu
tarekat disebut sebagai meniti jalan ke dalam diri. Tanpa mengenal
diri kita sendiri, niscaya kita tak akan pernah bisa mengerti orang lain.
Malah orang lain kita paksa seperti diri kita! Kita nyinyir bila melihat
orang lain tidak melakukan ibadah seperti yang kita lakukan. Kita
memandang orang lain tidak mengikuti sunah Rasul, bila mereka tidak
segolongan dengan kita. Bahkan orang lain yang sudah mendalami Al
Quran dan Hadis, dipandang belum berilmu bila tidak belajar
seperguruan dengan kita. Kepicikan timbul karena tak pernah mau
melihat kepada dirinya sendiri.
Pada bagian yang lalu telah dijelaskan bahwa tahap awal dalam
tarekat adalah dekondisioning, atau “takhalli”, yaitu tahap
pembersihan batin. Kepercayaan yang telah membelenggu, harus
dirantas. Lho, bagaimana ini, hidup beragama kan harus ditopang
dengan kepercayaan? Ha, jangan salah mengerti! Yang harus dirantas
adalah keperca-yaan yang membelenggu. Kepercayaan semacam ini
beretengger di dalam diri kita dari hasil meniru, yaa... meniru seperti
anak kecil. Mungkin meniru dari lingkungannya, atau meniru dari
teman yang mengajaknya. Lain halnya dengan pembersihan batin.
Dengan tobat dan wara’ kita telah melangkah pada kehidupan yang
bersih lahir dan batin. Dengan kondisi batin yang bersih, tumbuhlah
kepercayaan asli yang tumbuh dari dalam. Bukan kepercayaan hasil
meniru.
Hal ini penting sekali untuk dipahami! Iman (kepercayaan) yang benar
adalah yang tumbuh dari dalam hati. Bukan iman yang tumbuh karena
diyakinkan oleh orang lain. Jadi, peran guru-guru agama, ustadz-
ustadz, dan ulama adalah memberikan jalan bagi sang pengembara.
Mereka menjadi pemandu jalan, pembawa obor bagi orang-orang yang
ingin kembali kepada Ilahi. Tugas guru dan ulama bukanlah membuat
mereka menjadi robot hidup. Guru dan ulama adalah orang yang
menunjukkan jalan dan memberikan keteladanan. Mereka bukan untuk
ditiru [to be imitated] tetapi untuk diikuti [to be followed]. Dengan
pemahaman ini bukan orang lain yang mengantarkan kita ke tujuan
hidup, tetapi kita sendiri yang berusaha ke sana.
Jadi, jelas sekali bahwa Rasul saja tugas mulianya adalah untuk
menyampaikan ajaran keselamatan. Apalagi ustadz atau ulama!
Fungsi Rasul bukan untuk menyelamat-kan tetapi memberikan
petunjuk ke arah keselamatan. Karena itu yang bisa diberi ajaran
adalah mereka yang awas terhadap kehadiran Tuhannya, tanpa
melihat Wujud-Nya. Bila tidak awas, ya sulit untuk dapat menerima
kebenaran ajaran beliau. Itulah sebabnya saya berkali-kali
menekankan kata “mengikuti Rasul” dan “bukan meniru Rasul”.
Mengikuti memerlukan keawasan, sedangkan meniru cuma
mencontoh, atau dalam bahasa sekarang mencontek Rasul. Apa
unggulnya mencontek? Dan dalam ayat itu diringi pula dengan kalimat
“mendirikan shalat” dan bukan mengerjakan shalat. Memang sekarang
ini jadi kabur antara “mendirikan” dan “mengerjakan”. Karena
kepentingan guru-guru agama sebatas formalitas, yaitu mengerjakan.
Mendirikan shalat berarti membangun shalat, suatu bangunan yang di
dalamnya terletak zikir kepada Tuhan. Suatu syareat yang di
dalamnya terkandung tarekat!
Sabar. Lebih dari lima puluh kata ‘sabar’ dalam berbagai bentuknya
terdapat di dalam Al Quran. Dan kata ini tidak bermakna tunggal
seperti kata ‘sabar’ dalam bahasa Indonesia. Jika kita lihat kamus
Indonesia, kata sabar berarti tidak pemarah, tahan menderita,
menerima saja, dan tidak tergopoh-gopoh dalam bekerja. Hal ini lain
dengan yang diungkap dalam Al Quran.
Jadi, kita tak perlu meringkas dan menyimpulkan kata sabar yang
banyak di dalam Al Quran itu. Tetapi, yang jelas sabar merupakan
tindakan hati. Dan, tindakan hati ini tidak terlihat oleh orang lain. Efek
dari tidak sabar yang bisa dilihat oleh orang lain, seperti mudah
emosional, gampang marah, mudah ketakutan, panik, tergesa-gesa,
dan tak tahan menderita. Untuk bisa hidup sabar, kita harus senantisa
introspeksi, awas, berhati-hati, cermat, tekun dan rajin. Dan, yang
sangat penting bagi pijakan sabar adalah “hati yang tenang”.
Mengapa hati yang tenang diperlukan untuk membangun kesabaran?
Karena dengan hati yang tenang manusia bisa mengontrol perbuatan
dan tindakannya. Dan, agar hati bisa menjadi tenang, kita harus
berzikir [Jawa, semedi]. Kata semedi sendiri berasal dari kata
Sanskerta “Samadhi” yaitu sam + Adhi yang terjemahannya dengan +
Tuhan. Jadi, bersemedi artinya menyatukan diri dengan Tuhan. Tentu
saja bukan persatuan fisik karena fisik alam semesta ini ada di dalam
Tuhan. Tuhan meliputi segala sesuatu [wa kana llahu bi kulli syai-in
muh?tha, 4:126]. Dan pada ayat 41:54 disebutkan sebagai berikut.
Bagian ke-9
Pada tasawuf bagian ke-8 kita telah sampai pada ajaran “sabar”. Kita
telah masuk ke dalam wilayah “kondisioning” atau “tahalli”.
Ketercelaan ditinggalkan, keterpujian diraih. Dengan sabar, kita
mengkondisikan diri kita ke dalam perbuatan-perbuatan yang terpuji.
Tentu saja perbuatan terpuji lahir bila kita telah meninggalkan yang
tercela. Yang termasuk sifat terpuji adalah semua sifa yang positif dan
memberikan keuntungan baik bagi diri-sendiri maupun orang lain,
seperti adil, kasih, sayang, lemah lembut, berani, tegas, bijak,
menolong, membantu kebaikan, dapat dipercaya, memperbanyak
persaudaraan, menyelamatkan jiwa, menutupi aib keluarga, saudara
dan teman-temannya, dan lain-lain.
Setelah kita bongkar sifat-sifat tercela kita, kita cuci dengan zikir jahar
[lahir], maka kita kondisikan batin kita dengan perbuatan-perbuatan
terpuji. Mengkondisikan perbuatan terpuji harus dilandasi kesabaran
[lihat kembali makna sabar pada bag. ke-8]. Ingat, sabar bukan
‘menerima kalah’. Tetapi, kita mempunyai daya tahan untuk berbuat
atau bertindak. Marilah kita uraikan segala sifat terpuji tersebut.
Adil. Kalau kita lihat di kamus Arab, kata ‘adil’ berarti memperlakukan
setiap orang tanpa diskriminasi. Dalam ‘adil’ terkandung makna ‘jujur’
dan ‘fair’. Kata fair sendiri berarti “sesuai dengan aturan”. Terkandung
dalam kata ‘adil’ adalah perlakuan yang proporsional. Contohnya
begini, jika ada orangtua yang memperlakukan tiga orang anaknya
[yang berumur 7, 5 dan 3 tahun], tentu orangtua tersebut harus
memperlakukan mereka secara proporsional [sesuai dengan
kebutuhannya].
Sikap adil ini akan bisa tumbuh pada diri kita bila kita sudah tidak
mementingkan diri-sendiri dan pilih-kasih. Sifat tercela harus
dihilangkan dulu. Lalu, dengan berpijak pada kesabaran kita
menegakkan keadilan. Adil adalah sokoguru bagi ketakwaan. Ya, tanpa
keadilan kita sukar untuk dapat menegakkan kebenaran. Untuk itu
marilah kita simak QS 5:8 berikut ini.
Setelah batin dan pikiran bersih dari sifat tercela, baru bisa
dikondisikan untuk menerima sifat terpuji. Memang hal ini tidak mudah
dilakukan bila semata-mata diserahkan kepada masing-masing orang.
Pengkondisian harus dibantu dengan institusi atau penegakan hukum.
Manusia tidak boleh dibiarkan sekadar menjadi kerumunan massa,
seperti menonton sepak bola, pertunjukan musik dan lain-lain. Yang
timbul adalah rebutan. Akhirnya jatuh korban! Kekuasaan pun bila
dijadikan rebutan, akhirnya juga timbul korban yang lebih dahsyat.
Harus dikondisikan! Harus ada antre. Penonton harus sesuai dengan
banyaknya bangku. Yang haji pun harus ditertibkan. Sehingga tidak
terulang peristiwa Mina dan yang beberapa kali terjadi dalam
melempar jumrah. Yang menjadi elite pun harus melalui proses,
mengikuti prosedur, dan menaati aturan main. Pikiran yang
mendorong ke arah egoisme, harus di-sweeping lebih dulu. Sehingga
tidak terjadi manipulasi permainan.
Kalau dalam dunia politik, sabar berarti mampu menahan diri untuk
tidak berbuat curang atau manipulasi. Proses, prosedur dan aturan
main harus dipenuhi dengan lapang dada. Dalam pergaulan hidup,
sabar berarti saling menahan diri untuk tidak merugikan diri sendiri
dan orang lain. Dalam bekerja, sabar berarti memiliki dayatahan untuk
menyelesaikan dengan baik dan benar pekerjaannya. Dalam diri
pribadi, sabar berarti ulet dalam meniti tujuan; ada ketegasan untuk
memilih, ada keberanian untuk melaksanakan, dan ulet dalam
menyelesaikannya. Karena itu Tuhan memerintah manusia untuk
saling berpesan untuk hidup sabar.
Dari asas saling memberi ini lahirlah sikap saling menolong bagi
orang-orang yang beriman. Lho, apa bisa saling menolong bila ada
yang kuat dan ada yang lemah, ada yang kaya dan ada yang miskin.
Tentu saja bisa! Dunia ini memang dicipta “dua warna”. Ada miskin,
ada kaya. Ada lemah, ada kuat. Yang satu memiliki kelebihan dari
yang lain. Kalau sama kuatnya, tak akan ada yang mau diperintah. Jika
sama kayanya, tak akan ada yang mau menjadi buruh atau
pegawainya. Agar roda kehidupan berputar, harus ada yang menjadi
pasivis dan harus ada yang menjadi aktivis. Jika tak ada yang mau
menjadi perempuan, maka tamatlah kehidupan manusia di bumi ini.
Bagaimana jika perempuan semua [katakan teknik kloning sukses
implementasinya]? Apa yang terjadi? Perbuatan saling menolong dan
melindungi akan lenyap. Akhirnya, kehidupan manusia pun hancur!
Ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang pandai dan ada yang
bodoh. Hal ini dimaksudkan untuk saling memanfaatkan atau
mempergunakan. Jika tak ada yang lemah [posisinya], maka tak ada
yang mau menjadi buruh atau pegawai. Tak ada yang mau menjadi
prajurit. Tak ada yang mau menjadi murid. Tak ada yang mau menjadi
tukang batu, gembala, penjual kaki lima, sopir, dan tenaga kasar.
Dinyatakan dalam QS 43:32sebagai berikut.
Jika kita mau menelaah hadis-hadis Nabi, maka kita bisa ambil
hikmahnya. Hikmah itu menyatakan: Orang yang kuat di antaramu
bukannya yang mampu menaklukkan orang lain, tetapi orang yang
mampu menahan diri untuk tidak melakukan balas dendam, meskipun
kesempatan untuk itu ada. Orang yang kaya bukannya orang yang
berlimpah harta benda, tetapi orang yang tidak merasa kurang bila
memberi.
Penutup ayat 5:2 di atas adalah “Allah amat keras siksanya!”. Perlu
dipahami bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia
bukanlah penyiksa. Tapi mengapa diperingatkan bahwa siksa-Nya
amat keras? Perlu diketahui bahwa Allah mencipta alam ini dengan
segala aturan mainnya. Dan orang yang menjaga dirinya di atas
aturan permainan itu disebut “orang yang bertakwa”. Dapat
diumpamakan dengan orang yang berada di jalan raya. Semua pihak
harus mematuhi rambu dan marka yang ada di jalan itu. Jika keluar
dari rambu dan marka akan terjadi kecelakaan. Begitu juga bila
manusia tidak mau mematuhi aturan kehidupan di dunia ini. Ia bisa
jatuh ke dalam jurang, atau tabrakan. Malapetaka di alam ini sangat
dahsyat! Inilah yang diperingatkan oleh Tuhan, bahwa siksa-Nya
sangat keras. Karena hakikat semuanya ini adalah milik Tuhan. Jika
keluar dari rambu-rambu dan marka kehidupan, malapetaka yang
datang pun sebenarnya berasal [dari aturan main] dari Tuhan.
Orang yang dalam posisi lemah, tentu saja senang hatinya bila
mendapat bantuan, pertolongan, atau pemberian dari yang kuat.
Tetapi tatkala pertolongan itu diberikan dengan cara yang
menyakitkan, dengan cara yang kasar, disertai dengan perkataan
yang tidak enak didengar, dengan membangkit-bangkit, maka orang
yang diberi itu bisa bangkit penolakannya, atau kalau toh menerima,
terasa sakit hatinya. Arti pemberian itu menjadi hilang. Dalam QS
2:263 disebutkan, “Perkataan yang baik dan pemberian maaf itu lebih
baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan
perasaan si penerima. Sungguh Allah itu Maha Kaya dan Maha
Penyantun.” Nah, kesantunan pun tak lepas dari kesabaran. Dan,
kesabaran itu harus dikon-disikan dalam hidup ini. Jika untuk
“dekondisioning” kita lakukan dengan zikir jahar. Maka untuk
kondisioning [pengkondisian] kita lakukan dengan zikir kalbu.
Membaca kalimat thayyibah setiap waktu subuh. Ada kedisiplinan
bangun setiap subuh. Zikir cukup diucapkan di dalam hati!
Bagian ke-10
Seperti yang dijelaskan semula bahwa “sabar” yang kita tuju dalam
tasawuf bukan sifat sabar tetapi maqam, tingkat atau stasiun sabar.
Untuk masuk ke dalam maqam ini, kita sudah mendaki tiga tangga
sebelumnya, yaitu tangga takwa dasar, tobat dan wara’. Tiga tangga
sebelumnya untuk menghilangkan atau “dekondisioning” terhadap
segala sifat yang tercela. Sedangkan maqam sabar ini untuk
mengkondisikan kepada segala sifat yang terpuji, seperti keadilan,
kasih-sayang dan kelembutan [diuraikan pada bagian ke-9]. Dan
berikutnya untuk membangun kecerdasan.
Sejak tahun 1990-an para pakar psikologi Barat mencoba menggali
hubungan antara sabar dan kecerdasan. Akhirnya, ditemukanlah
rumus kecerdasan baru, yang disebut ‘kecerdasan emosi’, yang
dipelopori oleh Daniel Goleman, seorang doktor Psikologi dari Havard
University yang bekerja pada The New York Time. Kecerdasan emosi
[Emotional Intelligence] menentukan potensi seseorang untuk
mempelajari ketrampilan-ketrampilan praktis yang didasarkan pada
kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan
dalam membina hubungan dengan orang lain. Artinya, meskipun
seseorang telah memiliki IQ yang tinggi, tetapi bila kecerdasan
emosinya rendah, dia tetap akan mengalami hambatan dalam
pergaulan hidup [informal maupun formal (dalam bisnis, pekerjaan,
dan politik)].
Kecerdasan otak bekerja pada bagian otak kiri, yang bersifat sadar,
rasional dan logis [linear]. Jadi, kerjanya otak kiri ini matematis,
berpikir seri. Tentu saja tidaklah keliru berpikir matematis. Fungsi otak
kiri ini untuk mengerjakan segala tugas yang bersifat rasional dan
jelas. Seperti komputer, ia diperintah untuk melakukan pekerjaan yang
jelas, yang dikenal programnya. Ia sekadar memproses! Keunggulan
dari penggunaan otak kiri adalah akurat, tepat, dan dapat dipercaya.
Karena yang dapat dikerjakan oleh otak kiri adalah semua objek yang
dapat diperbandingkan, dianalisis, dan dikalkulasi secara matematis.
Ia selalu dalam keadaan on atau off.
Dalam Al Quran surat ke-103 [surat yang turun pada tahun pertama
kenabian], merupakan landasan bagi pengintegrasian kecerdasan
otak, emosi, dan spiritual [untuk kecerdasan spiritual akan dibahas
pada kajian lebih lanjut]. Marilah kita simak surat yang pendek ini.
Sejenak kita mengingat kembali kepada pelajaran tafsir surat ini yang
telah saya berikan. Tuhan bersumpah dengan menggunakan waktu
asar. Kata ‘ashara mempunyai arti memeras. Pada saat asar itulah,
pada waktu itu, manusia berharap memperoleh nafkah hidupnya atau
rezeki yang dikais sejak pagi. Namun demikian, manusia tetap disebut
dalam kondisi berisiko [rugi].
Yang tidak dalam posisi rugi adalah mereka yang beriman dan
beramal saleh. Iman dan amal saleh [imas] pada surat-surat
berikutnya, dapat dikatakan, selalu bergandengan. Ini tidak berarti
pada ayat-ayat berikutnya tidak diperlukan hidup yang hak dan hidup
sabar. Kedua jenis tindakan ini bersifat implisit pada imas. Sebagai
gantinya, dinyatakan secara eksplisit kata sabar dan Allah beserta
orang-orang yang sabar [Inna l-Laha ma-‘a sh-shabir?n] di empat ayat
[2:153, 249, 3:146, 8:46 dan66]. Jadi, tegas sekali bahwa Allah yang
mem-‘back up’ orang-orang yang sabar. Itulah sebabnya sabar disebut
sebagai maqam, posisi, spiritual.
Agar tidak terjebak kerugian, maka harus ada upaya ‘saling berwasiat’
untuk hidup yang benar. Pada tindakan ini, sebenarnya sudah
melibatkan kecerdasan yang lainnya, yaitu kecerdasan spiritual
[spiritual quotient]. Meskipun harus memberdayakan kecerdasan
spiritual, tetapi semua tindakan tadi harus diikat dengan kesabaran.
Dan di balik kesabaran itulah berdiri tegak kekuatan Allah. Dengan
demikian, sabar merupakan landasan bagi peningkatan kecerdasan.
Dan, kecerdasan adalah kemampuan untuk memahami, menalar, dan
belajar beradaptasi terhadap situasi yang baru. Orang yang memiliki
EQ tinggi [tingkat kesabarannya tinggi] akan dengan mudah
mengatasi problema dalam kehidupan ini. Perlu diperhatikan kembali,
berwasiat tidaklah sama dengan berpesan. Saling ber-wasiat tidak
sama degan saling berpesan. Berwasiat berarti ada tindakan untuk
memberikan wasiat. Dalam saling berwasiat ada rasa saling memiliki!
Dalam hidup bersama setiap orang harus saling menjaga kebenaran
dan kesabaran. Artinya jika kita berbuat benar, jujur, adil, maka orang
lain pun harus demikian. Bukan yang satu antre dan yang lain
menyerobot, yang satu jujur dan yang lain mereka yasa. Kalau yang
satu jujur dan adil dan yang bohong dan aniaya, maka hal ini akan
menyebabkan yang jujur dan adil tadi kehilangan kesabaran. Akhirnya,
kacau-balau lagi. Karena itu kebenaran [kejujuran dan keadilan] dan
kesabaran saling diwasiatkan.
“Mahaththu l-khubr”
Dalam hidup ini seringkali terjadi keberadaan kita ini pada situasi yang
lemah. Kita dalam posisi sebagai manusia kalahan. Sebagai manusia
yang terekploitasi. Bila kita tidak dapat mengatasi situasi ini maka hal
ini bisa menyebabkan kita ‘stres’. Tak perduli dengan jabatan kita.
Kalau tekanan dari luar diri kita ini lebih kuat daripada energi yang kita
punyai, maka kita dalam posisi tertekan. Bila kita tak mampu menahan
tekanan itu, ya timbullah stres.
Jadi, stres itu bisa timbul karena tekanan dari pekerjaan, atasan,
tetangga, rumah tangga, hubungan bisnis, kelompok/golongan lain
dan sebagainya. Manusia berusaha menjauhi konflik atau pertikaian,
karena konflik bisa membebani kehidupan. Manusia berusaha hidup
damai karena ia tidak ingin menumpuk permasalahan. Oleh karena
manusia itu berhubungan dengan manusia lain, maka sering
permasalahan itu tidak dapat dihindarkan. Seperti yang sudah
dijelaskan di atas, manusia berhubungan dengan sesamanya.
Meskipun kita sudah berusaha menahan diri, mungkin saja orang lain
tetap menekan kita. Kalau kita biarkan tekanan itu, boleh jadi semakin
besar tekanannya. Lalu, apa yang harus diperbuat?
Tak ada Mahaguru ahli di dunia ini kecuali Tuhan. Dan, pengajaran
yang tepat hanya dari Dia sendiri datangnya. Lalu, di mana peran
guru-guru atau ulama? Mereka adalah orang-orang yang membantu
kita agar kita bisa memahami dasar-dasar praktik kehidupan. Mereka
hanyalah memberikan arah kemana kita harus melangkah. Dengan
sabar, akhirnya Tuhan sendiri yang menggandeng tangan dan
menuntun kita. Dia sendiri yang memberikan jalan sehingga kita tahu
kemana kita melanjutkan perjalanan dalam hidup ini. Inna l-Laha ma-‘a
sh-shabirin, Tuhan beserta orang-orang yang sabar. Sabar adalah
landasan bagi pertolongan dari Tuhan!
Orang yang sabar tahan godaan
Bagian ke-11
Dalam hidup ini kita melihat orang yang lemah semangat. Orang yang
lemah semangat adalah orang yang lemah daya juangnya. Orang itu
tak mau lagi melanjutkan usahanya. Dia merasa tak akan bisa
mendapatkan yang diinginkannya. Kadang kita juga mengetahui orang
yang berlemah hati, mudah menyerah dalam menghadapi tantangan
dalam hidup ini. Orang yang lemah hati tidak tabah dalam
menghadapi tekanan hidup. Lemah semangat tidak ada hubungannya
dengan lemah hati. Tetapi, keduanya bisa menyatu pada diri
seseorang. Nah, sabar adalah oposisi dari kedua sifat tersebut.
Jadi, orang yang memiliki kesabaran yang tinggi, adalah orang yang
tidak lemah semangat dan tidak pula berlemah hati. Dengan kata lain,
orang yang sabar adalah orang optimistik. Dia yakin apa yang sudah
direncanakannya dengan matang itu akan diperoleh hasilnya. Orang
yang sabar adalah orang yang telah menyiapkan pekerjaannya dengan
baik. Prinsip manajemen, seperti perencanaan, pengorganisasian, aksi
dan pengendalian dilakukan dengan baik. Tak ada alasan untuk lemah
hati maupun lemah semangat. Usaha lahiriah ditopangnya dengan
doa: Ya Tuhan, teguhkan hati kami dan jadikan kami sabar dalam
menghadapinya.
Ya, tapi itu kan mudah diomongkan! Lha, kenyataannya kan sulit
dilakukan. Mari kita lihat lagi landasan untuk sampai di stasiun sabar.
Bukankah kita telah melewati stasiun takwa dasar [berupaya
meninggalkan perilaku hidup yang tak benar], stasiun tobat [kembali
ke hal-hal yang benar], dan wara’ [sengaja memilih sesuatu yang
benar]. Pada stasiun yang pertama itu, kita sudah berusaha
meninggalkan hal-hal yang tak benar. Umumnya kita bisa lulus
distasiun ini. Wujudnya, ya, kita mencari nafkah secara halal ini.
Mungkin saja ada kesalahan dan keburukan yang kita lakukan, tapi itu
bukan merupakan ‘cap’ bagi kehidupan kita umumnya! Pada
umumnya, manusia itu berusaha menjaga keselamatan hidupnya.
Mereka berada di landasan ketakwaan! Kemudian, sebagian dari
manusia di stasiun pertama ini melanjutkan perjalanannya ke stasiun
tobat. Satu langkah lebih jauh.
Siapakah mereka yang tidak patah semangat, tidak lemah hati dan
tidak berbudi rendah itu? Kalau zaman dulu, mereka itu adalah orang-
orang yang memahami ketuhan-an dan menyertai para nabi dalam
perjuangannya.
3:146 Dan berapa banyak nabi yang bertempur, yang disertai banyak
‘ribbi’. Mereka tak berlemah hati terhadap apa yang mereka di jalan
Allah, dan mereka pun tak lemah semangat mereka, dan tidak pula
rendah budinya. Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.
Jika kita mau membaca satu ayat sebelumnya, di situ kita membaca
pernyataan Tuhan. Di situ dinyatakan, “Dan sesuatu yang berjiwa tak
akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah
ditentukan. Dan barangsiapa menghendaki ganjaran dunia, Kami
memberikan kepadanya, dan yang menghendaki ganjaran akhirat
niscaya Kami berikan kepadanya. Dan Kami akan mengganjar mereka
yang bersyukur.” Untuk menopang keteguhan hati kita, agar kita
dapat bersabar, kita harus meyakini bahwa semua yang bernyawa
pasti mati. Semua yang bernyawa pasti mati! Ini landasan kita. Kita
resapkan dulu ke dalam batin kita.
Ternyata, makhluk yang bernafas itu mati dengan izin Tuhan. Masih
ingat kan arti kata “izin Tuhan”. Kata ini tidak bermakna seperti ‘kita
mengizinkan’. Kata izin yang kita pergunakan sebenarnya
mengandung ‘sikap otoriter kita’ kepada yang kita izini. Izin Tuhan
tidak bermakna demikian. Dalam izin Tuhan terkandung “kitaban mu-
ajjala” yaitu hukum alam yang telah ditetapkan-Nya. Suatu hukum
yang objektif dan rasional. Jadi, bila ada orang yang ditusuk pisau [dan
energi yang disertakan pada pisau tusuk itu lebih besar daripada
orang yang ditusuk] maka tertusuklah orang itu. Lho, kita kan
menyaksikan di tv bahwa ada orang ditusuk pisau tidak mempan!
Tidak mempan karena energi pada pisau itu lebih sedikit daripada
yang ditusuk. Dalam aras objektif, semua itu hanya permainan energi.
Tak perlu heran!
Pada ayat 146 disebutkan bahwa banyak nabi yang bertempur yang
disertai para “ribbi”. Kata ‘ribbi’ ini biasa diterjemahkan dengan
‘orang-orang yang menyembah Tuhan’. Tentu saja terjemahan
demikian ini lemah. Terjemahan ini dapat diartikan, orang-orang yang
bertempur melawan para nabi bukanlah orang yang menyembah
Tuhan. Orang-orang yang bersama nabi pasti orang yang menyembah
Tuhan. Nyatanya tidak demikian! Di era Nabi Saw, orang-orang kafir
yang mengikat perjanjian damai bersama Nabi, bertempur bersama
Nabi. Dan, sekarang ini pun bisa kita saksikan bahwa sangat banyak
manusia penyembah Tuhan yang lemah hatinya. Jangankan untuk
bertempur melawan musuh fisiknya, untuk menghadapi tekanan
hidupnya sendiri saja tidak berdaya, sehingga hidup terombang-
ambing.
Lalu, apa arti kata ribbi? Ribbi adalah mereka yang memahami makna
ketuhanan. Atau, ribbi adalah manusia yang saleh [tindakannya
bermanfaat/berguna bagi diri dan lingkungannya]. Orang-orang
demikianlah yang menyertai para nabi dalam pertempuran di
zamanya. Karena mereka faham betul asas manfaat yang mereka
lakukan, maka mereka itu tak gentar, tak lemah hati, tak lemah
semangat dalam menghadapi pertem-puran. Para ribbi ini pun tidak
berbudi rendah [lari dari pertempuran].
Para ribbi inilah yang di ayat 3:146 itu dinamakan orang-orang yang
sabar. Bukan semua pengikut nabi yang menyertai dalam
pertempuran disebut ribbi. Tetapi para nabi dalam pertempuran
disertai banyak ribbi. Orang-orang ini tak gentar, tidak lemah hati, dan
tidak pengecut dalam pertempuran. Sifat yang dimiliki para ribbi ini
adalah sifat orang-orang yang sabar. Dan ayat ini turun setelah perang
Uhud, di mana pada waktu itu pasukan Nabi mengalami kekalahan
karena ada kelompok pasukan yang terpancing harta rampasan
perang. Jadi, ayat ini memperkokoh perjuangan para ribbi pada
perang-perang yang terjadi sesudahnya.
Bila kita perhatikan ayat 3:148, maka orang-orang yang sabar ini juga
disebut sebagai orang-orang yang berbuat kebajikan [muhsinin]. Dan
di ayat ini dinyatakan bahwa Tuhan mencintai orang-orang muhsin ini.
Dan, muhsin berasal dari kata yang sama dengan ‘ihsan’. Maka orang-
orang muhsin adalah orang-orang yang senantiasa sadar terhadap
dirinya, yang dalam bahasa hadis, adalah orang yang beribadah dan
merasa ibadahnya itu senantiasa dalam pengawasan Tuhan. Jika
ditarik suatu garis dari ayat 145 hingga 148, dapat disimpulkan bahwa
orang yang sabar adalah orang yang bersyukur, dan karena itu dia
juga disebut orang yang berbuat kebajikan. Jadi, jelas bahwa orang
yang sabar bukan orang yang pasif. Bukan orang yang sekadar
menerima suatu tekanan atau ketidakberdayaan.
Jadi, pada akhirnya, orang yang sabar adalah orang yang bekerja
berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan Tuhan. Demikian,
pembahasan bab sabar yang telah saya uraikan dari bab ke-8 kajian
tasawuf ini.
Bagian ke-12
[Zuhud]
Kata zuhud seolah sudah berkonotasi hidup anti-dunia. Hal ini terjadi
karena pada masa penjajahan atau pergolakan, banyak ulama yang
mengasingkan diri di daerah terpencil. Ulama-ulama ini hidup dengan
para muridnya atau santrinya di daerah yang terpencil yang tidak
terjangkau penjajah atau terimbas pergolakan. Mereka memang
menarik diri dari kehidupan semacam itu.
Kalau kita ingin tahu siapa tokoh zuhud di dunia ini, ya Nabi
Muhammad Saw. Beliau bukan hanya mengajarkan agama tetapi juga
menegakkan kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara
dengan gigih. Beliau tegakkan sistem perekonomian yang adil.
Sasarannya adalah “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”, suatu
negara yang penuh kebajikan dan Tuhan melindunginya (QS 34:15).
Umumnya ayat tersebut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia,
“negeri yang baik dan Tuhan Maha Pengampun”. Sebenarnya suatu
terjemahan yang kurang sambung. Karena kalimat yang depan
menunjukkan keadaan negara sedang kalimat sambungannya
merupakan sifat Tuhan. Hal ini disebabkan penterjemah kaku dengan
arti kata “ghafur”, yang selama ini diartikan pengampun. Padahal
kalau mau mengembalikan kata tersebut kepada bentuk akarnya
‘gha-fa-ra’, maka salah satu artinya adalah melindungi.
14:32 Allah yang menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air
dari langit, lalu dengan air itu ditumbuhkan pohon buah-buahan
sebagai rezeki bagi kamu. Dan Dia menjadikan kapal sebagai wahana
bagimu
di laut berdasarkan amar [ketetapan]-Nya. Dia juga menjadikan
sungai-sungai itu sebagai pra-sarana dan sarana bagimu.
Jadi, sebagian besar sahabat Nabi memahami apa arti dunia seisinya
ini. Semua ini adalah prasarana dan sarana untuk memenuhi
keperluan hidup manusia. Semua ini diperlukan manusia untuk
melanjutkan perjalanan hidupnya. Kemana? Kembali kepada Tuhan,
wa ilaihi raji-un. Yaitu, kembali ke orde atau tatanan hidup yang benar
yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Hidup seperti apa itu? Ya, hidup
yang saling mengasihi, saling menyayangi, saling menolong, saling
melayani dalam situasi penuh kedamaian. Ya, Allah adalah As-Salam,
Allahumma antas-salam, ya.. Allah sejatinya Engkaulah Kedamaian itu.
Selain dunia ini sebagai prasarana dan sarana bagi manusia untuk
melanjutkan perjalanan hidupnya, sifat dunia ini sementara. Nah, agar
kita tidak terbelenggu oleh dunia, maka kita harus betul-betul
menyadari kesementaraan dunia. Orang Barat maju karena tokoh-
tokohnya [ilmuwan, politikus, pengusaha, dan elite bangsa]
menghayati kesementaraan dunia ini. Lho, apa tidak terbalik? Tentu
saja tidak! Justru orang-orang yang memperebutkan harta-benda dan
kekuasaan itu terbelenggu oleh bawah sadarnya, bahwa dunia ini
kenyataan satu-satunya. Mereka merasa bahwa hanya dunia
[tegasnya bumi] ini realitas itu. Kalau mereka itu ditanya, apakah
dunia ini akan berakhir dan ada realitas lain yang disebut akhirat?
Dengan segera mereka menjawab, pasti! Ini bukan karena mereka
sadar, tetapi ungkapan bawah-sadar mereka.
Soekarno pun setelah lulus dari ITB 1926 sebagai seorang insinyur,
dengan mudah dapat mencari pekerjaan yang berpenghasilan sangat
besar. Hatta yang lulus dan sebagai sarjana ekonomi tamatan Belanda
[kuliah di Belanda], bisa bekerja di dunia internasional yang
memberikan imbalan berlimpah. Tetapi mereka rela meninggalkan
statusnya. Demi Indonesia merdeka, mereka rela dipenjara Belanda.
Memang dalam perjalanannya seorang zahid bisa kandas bila
lingkungan tidak berubah. Dengan kata lain, tidak banyak tokoh yang
muncul untuk mendukungnya. Bahkan yang muncul itu di sekitar
tokoh itu adalah orang-orang yang ‘vested interest’, yang meiliki cita-
cita untuk kepentingannya sendiri atau golongannya.
Jika kita masih tergiur oleh kenikmatan sementara, kita tak akan
mampu menjadi ilmuwan yang ulung, peneliti yang tangguh,
pemerintah yang adil, elite yang memen-tingkan rakyat, dan
pengusaha yang dermawan. Tanpa zuhud, perusahaan hanya menjadi
tempat pemerasan terhadap karyawan yang lemah. Tanpa zuhud,
negara adalah wilayah eksploitasi kalangan elite terhadap masyarakat
bawah. Kezaliman merajalela yang dibungkus agama. Kezaliman yang
dibungkus agama, dikemas dengan ayat-ayat Tuhan inilah yang
hendak dilenyapkan Islam. Karena itu Islam mengajarkan konsep
ketakwaan, tobat, wara’, sabar, dan zuhud.
Zuhud adalah sebuah maqam yang lebih tinggi dari sabar. Karena
tanpa kesabaran seseorang tak akan mampu menjalani hidup zuhud.
Tidak dapat menjadi seorang zahid. Zuhud adalah maqam. Jadi, sikap
zuhud melekat pada berbagai macam profesi. Seorang peneliti yang
zuhud, berarti orang yang sungguh-sungguh melaksanakan pekerjaan
penelitian hingga bisa menguak rahasia alam. Hingga ia mampu
membuat teknologi baru yang lebih unggul untuk kehidupan manusia
di bumi ini. Seorang pengajar yang zuhud adalah orang yang sungguh-
sungguh mendidik muridnya sehingga lahirlah para murid yang
unggul.
Tapi itu semua harus didukung oleh kalangan pemerintah yang zuhud
pula. Mereka harus menyediakan prasarana dan sarana bagi kegiatan
profesinya. Pemerintah yang zuhud harus didukung oleh pengusaha
dan kalangan profesional yang zuhud pula. Yaitu, dengan membayar
pajak yang proporsional menurut kekayaannya. Nah, pada intinya,
kemakmuran dan keadilan suatu negara bisa dicapai bila sebagian
besar tokoh di segenap profesi berlaku zuhud.
Suatu gambaran kehidupan yang bagus sekali. Hidup [urip], live, nafs,
dalam kemunculannya di bumi ini digambarkan bagaikan ‘air’.
Perhatikan diri kita, hidup kita merupakan sesekor sperma [setetes
sperma] yang bergabung dengan sel telur di rahim ibu. Tetesan
sperma itu ada yang terserap telur dalam rahim dan akhirnya tumbuh
menjadi jabang bayi, dan ada yang tidak. Di ayat itu digambarkan air
yang turun di bumi, dan ada yang diserap oleh tumbuhan.
Dengan proses itu bumi menjadi subur. Diri kita pun tidak sendirian.
Kita hidup bersama di suatu tempat. Dan kita menyangka bisa
menguasai tempat itu selamanya. Kita lupa ada ‘ketetapan’ atau
aturan main Tuhan yang telah digelar di alam semesta ini. Kita lupa
bahwa tanaman itu bisa mati oleh berbagai sebab, seperti terkena
banjir, angin topan, kekeringan, terserang hama-penyakit atau oleh
sebab-sebab lainnya. Kita pun lupa bahwa ada ‘ketetapan’ bahwa
jasmani kita ini bisa mati sewaktu-waktu oleh berbagai sebab. Kita
biasanya merasa akan mati bila sudah tua! Karena itu kita merasa bisa
menguasai kenikmatan hidup di dunia ini selamanya. Padahal, ketika
suatu bencana berat datang tiba-tiba, dan bisa menyebabkan
kematian, maka hilanglah kenyataan bahwa kita bisa menguasai
kenikmatan harta-benda dunia itu. Dalam kondisi demikian, kekuasaan
yang pernah kita miliki seolah-olah tidak pernah ada.
Jangankan sudah mati, masih hidup saja ketika manusia sudah tua-
renta, sudah tidak bisa lagi merasakan berbagai kenikmatan duniawi
yang pernah dirasakannya. Hanya kenikmatan batin yang tetap
melekat sampai mati. Orang yang bisa merasakan kenikmatan batin
tidak pernah merasakan kekecewaan atau kesesedihan dalam hidup
ini. Tidak kecewa atau sedih atas berkurangnya atau hilangnya
kenikmatan lahiriyah. Dia telah zuhud! Tidak keluar air liur atas
gebyarnya dunia.
Bagian ke-13
[Lanj. Zuhud]
Tahap awal dalam zuhud adalah mempunyai iman yang teguh! Ingat,
iman tidak sama dengan percaya. Meskipun dalam keimanan ada
unsur kepercayaan. Iman harus dilandasi oleh pengetahuan. Dan ini
merupakan tingkatan keimanan yang paling rendah. Keimanan yang
lebih tinggi harus dilandasi oleh pengalaman. Jadi, bukan iman karena
cuma tahu, tetapi karena mengalaminya. Dan, yang tertinggi adalah
iman karena makrifat, karena memahami hakikat sesuatu yang
dialaminya itu. Iman demikian juga dikenal sebagai “haqqu l-yaqin”.
Tak ada lagi selaput keraguan. Kebenarannya sudah tersingkap. Zuhud
yang demikian ini tentu saja jauh dari upaya mencari pujian atau
kekuasaan, meskipun mungkin saja keduanya didapat. Makin kokoh
keimanan seseorang, makin bersihlah motivasi hijrahnya.
Nah, marilah kita perhatikan ayat-ayat yang terkait dengan hijrah dan
jihad di atas. Pertama, yang perlu dipahami adalah kalimat ‘di jalan
Allah’. Suatu tindakan disebut berada di jalan Allah, bila tidak ada
motivasi duniawi atau mendahulukan atau mengutamakan
kepentingan diri-sendiri atau kelompok. Dalam bahasa sekulernya,
yang diutamakan adalah kepentingan ‘kemanusiaan’. Jadi, tindakan di
jalan Allah adalah tindakan yang bebas dari ambisi, dan berbagai
macam keuntungan duniawi.
Tentu saja bentuk dan sistem kehidupan sekarang ini tidak sama
dengan di zaman Rasul Saw. Kita sekarang ini hidup di negara yang
‘berdaulat’. Batas-batas daulat suatu negara di era globalisasi ini
sudah jelas, meskipun di beberapa negara masih ada sengketa
perbatasan. Hak-hak asasi manusia diserukan di mana-mana,
walaupun pada beberapa negara HAM masih merupakan pergulatan.
Dalam sistem ‘nation-state’, negara kebangsaan, hijrah secara fisik,
meninggalkan tempat tinggal lama menuju ke tempat tinggal yang
baru untuk membangun kemanusiaan sudah kecil kemungkinannya. Di
era informasi ini, hubungan antar negara semakin rumit. Aktivitas
kemanusiaan murni bisa dituduh sebagai kegiatan politik dan subversi.
Karena itu strategi jihad harus ditempatkan dalam hijrah pemikiran.
Kita tidak perlu lagi mencari suaka. Yang kita perlukan adalah berpikir
benar untuk bisa menegakkan kemanusiaan.
Sekarang ini perang fisik hanya jalan terakhir, bila sudah tidak
memungkinkan lagi menggunakan berbagai cara damai. Dan jangan
lupa, cita-cita yang agung adalah menciptakan perdamaian dan
kedamaian dalam hidup ini. Damai adalah salam, selamat, dan
sejahtera. Setiap individu hidup di dalam kesetaraan [hukum, sosial,
ekonomi, dan keamanan]. Itulah sebabnya orang yang zuhud
[beriman, berhijrah, dan berjihad] disebut sebagai orang yang
mendapat perlindungan, rezeki, dan kemenangan. Dan tentunya,
mereka yang memberikan tempat tinggal dan pertolongan, adalah
juga orang-orang zuhud, orang-orang beriman, yang sebenarnya.
Bagian ke-14
(lanj. Zuhud)
Pada posisi “sabar” kita mengisi hidup kita dengan perbuatan dan
tindakan bajik, kita kendalikan emosi kita, dan motivasi hidup kita kita
arahkan ke jalan yang benar, jalan yang dibentangkan oleh Tuhan
semesta alam. Jika jalan ini yang kita titi, maka kita disebut berjalan
menuju Allah. Dan bila kita sudah hidup dijalan-Nya maka kita disebut
berada di jalan Allah, fi sabili l-lah. Inilah tahap ‘tajalli’!
Cukup satu ayat dulu! Dan, mari kita kupas pelan-pelan ayat ini. Ayat
ini turun di Madinah setelah perjanjian Hudaibiyah [th 6H]. Pada bulan
Dzul Qa’dah (bulan ke-11) Nabi mengajak kabilah-kabilah yang bukan
Islam untuk bersama-sama menuju Mekah untuk berziarah dan
memuliakannya. Sejak sebelum kedatangan Islam, orang-orang Arab
biasa memuliakan Ka’bah. Mereka biasa lomba berpidato dan
menggantungkan puisi mereka di Ka’bah. Dengan mengajak orang-
orang Arab non-muslim menziarahi dan memuliakan Baitul Haram,
maka keragu-raguan orang Arab terhadap orang-orang muslim hilang.
Dan, dari awal jalur perdamaian lebih dipilih ketimbang peperangan.
Prinsip hidup berdampingan dan damai ditekankan sekali dalam
Piagam Madinah. Tata-cara damai inilah yang menyebabkan Islam
cepat sekali tersebar di Madinah.
“Orang-orang yang hidup di negara maju [tentu saja ada yang malas]
bekerja keras, bekerja dengan cermat, berusaha memenuhi komitmen
dalam masyarakat, membuat perjanjian yang melindungi dan
menguntungkan semua pihak, menegakkan hukum [bukan cuma
penegak hukumnya], dan semua aktivitas untuk menyongsong hari
depan yang baik adalah wujud untuk menyerukan perdamaian.”
Suatu hari pada tahun lalu, saya berpolemik tentang arti ajakan
perdamaian yang ada pada ayat 2:208 tersebut. Pada umumnya
[sekali lagi umumnya] terjemahan ayat tersebut adalah seruan
menjadi orang Islam yang secara total, sempurna. Inilah “main
stream”, arus utama dalam pemikiran Islam yang ada. Tetapi saya
menolaknya! Saya katakan bahwa ayat itu merupakan seruan untuk
memasuki ‘perdamaian’. Kebanyakan ulama, ayat itu hanya diambil
sepotong saja. Mereka tidak mau melihat kaitan ayat itu dengan
beberapa ayat sebelum dan sesudahnya. Akibatnya, ayat itu menjadi
hanya ditujukan kepada orang Islam [yang waktu itu tentunya ada di
Madinah]. Kata “orang-orang yang beriman” di situ menjadi sempit
artinya. Kata ini disamakan artinya dengan kata “mukmin” yang ada di
dalam Al Quran. Padahal dalam arti luas, kata tersebut bisa bermakna
‘mereka yang menerima deklarasi Madinah yang terdiri dari berbagai
suku dan pemeluk agama’.
Kata “kaffah” disebutkan lima kali dalam Al Quran, dan merujuk pada
makna ‘kuantitatif’, jumlah, bukan merujuk pada makna ‘kualitatif’
seperti dalam kata berislam secara totalitas. Lalu, saya tanyakan ‘apa
yang dimaksud dengan menjalankan Islam secara
menyeluruh/sempurna’, berapa persen Islam yang harus dikerjakan
karena perintah itu turun sebelum Islam sendiri selesai sebagai ajaran
yang sempurna [dalam arti kata wahyu belum turun seluruhnya]. Dan
kalau kita melihat berbagai ragam ajaran Islam yang ada sekarang,
Islam yang bagaimana yang disebut Islam totalitas itu. Tentu saja
jawaban dalam polemik itu menjadi berputar-putar seperti debat kusir
atau main kayu dalam permainan sepak bola.
Demikian penjelasan ‘zuhud’ lanjutan pada kajian kita hari ini. Kita
sambung zuhud di bagian pelajaran yang akan datang. Wa billahi t-
taufiq wa l-hidayah. Semoga Tuhan melimpahkan taufik dan petunjuk-
Nya kepada kita. Amin.
Bagian ke-15
[Lanj. Zuhud]
Jihad pemikiran itu menarik garis yang tegas antara dunia manusia
dari dunia binatang. Manusia harus berpikir untuk menemukan solusi
dalam hidupnya. Manusia harus berpikir untuk bisa hidup bersama
secara damai. Binatang hidup damai dengan binatang lainnya dengan
mengandalkan kekuatan [fisik]. Ia taklukkan binatang-binatang
lainnya, baru merasa hidup damai. Lalu, jika manusia tanpa
menggunakan pikirannya dalam hidup ini, apa bedanya dengan
binatang?
Ayat ini memberi tahu kita bahwa manusia tidak boleh mengkultuskan
manusia lainnya. Manusia harus diterima dan dihormati sebagai
manusia. Manusia tidak boleh dipandang sebagai malaikat, apalagi
Tuhan. Bahwa manusia yang satu punya kelebihan atas yang lainnya
adalah benar! Dan itu tidak perlu diingkari. Suatu kelompok atau
masyarakat mengangkat mereka yang memiliki kelebihan dari
kebanyakan anggotanya adalah hal yang wajar, dan perlu. Tetapi,
manusia tidak boleh didewakan, dipertuhan, atau sejenisnya.
Rusaknya tatanan pergaulan masyarakat itu karena adanya
pengkultusan terhadap orang-orang tertentu. Demokrasi tidak akan
terwujud di suatu masyarakat bila masih ada manusia di masyarakat
yang bersangkutan didewakan. Karena dasar dari demokrasi adalah
egaliter [persamaan] dan kebebasan [liberti]. Keduanya hanya ada
dalam perdamaian sejati! Untuk dapat mencapai perdamaian sejati
manusia harus terus berpikir. Dan berpikir itu adalah bagian dari
amalan manusia.
Lalu, apa sih yang disebut ‘berpikir’ itu? Bukankah banyak orang
mengatakan bahwa untuk menjalankan agama tidak perlu
menggunakan pikiran? Katanya, banyak hal dalam agama yang tidak
masuk akal. Atau, ada yang mendramatisasi bahwa akal ini tidak
masuk ke dalam wilayah agama!
Kalau kita mau membuka dan menyimak kamus, kita akan mengerti
bahwa salah satu makna dari ‘pikiran’ adalah akal. Dan seringkali
diucapkan secara bergandengan menjadi ‘akal pikiran’. Baik akal
maupun pikiran dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata Arab ‘aql’
dan ‘fikr’. Akal adalah kata benda Arab yang berasal dari kata kerja
aqala yang berarti mengikat. Sedangkan fikr berasal dari kata fakara
yang berarti merenungkan, merefleksikan, mempertimbangkan,
memperhatikan, dan menduga. Jadi, dengan pikirannya manusia dapat
memahami makna di balik yang kasat mata. Dengan pikirannya
manusia dapat memahami gejala alam. Tetapi dengan pikirannya pula
manusia dapat terjebak sejarah.
Kita tak perlu terjebak dalam definisi ‘apa itu akal [pikiran]’. Tetapi kita
tahu bahwa dengan akalnya manusia dapat mengingat objek-objek
diterima panca indra. Dengan akalnya manusia dapat mengetahui
sesuatu yang tidak dapat dimengerti hewan. Dengan akalnya manusia
dapat memahami hubungan antar objek yang diamatinya dan
menyimpulkannya. Dan bukan sekedar menyimpulkan seperti
komputer. Kesimpulan manusia bisa menembus dunia yang abstrak.
Manusia bisa menghasilkan pendapat atau ‘ide’, yang tentu saja
dibangun dari objek-objek yang diingatnya. Akal pikiran juga bisa
membangkitkan imajinasi. Yang dari sini timbullah seni [tari, pahat,
sastra, musik, rupa, olah raga, perang, kepemimpinan dll], dan
penciptaan teknologi. Tetapi dengan pikirannya pula manusia dapat
‘berprasangka’. Dengan berprasangka, sebenarnya manusia telah
menipu dirinya. Karena ia telah memastikan sesuatu yang tidak
diketahui-nya. Tentu saja kebanyakan prasangka itu meleset dari
kenyataannya.
Kerja pikiran itu bagaikan sebuah bola. Begitu digelindingkan bola itu
ingin terus menggelinding. Baru berhenti jika menabrak tanjakan atau
karena bergesekan dengan bidang yang dilewatinya. Pikiran juga
begitu! Mula-mula bayi dilahirkan tidak dapat berpikir. Lalu, orang-
orang di sekelilingnya mendorongnya, entah sengaja atau tidak, untuk
berpikir. Nah, begitu pikiran bekerja sulit pikiran itu berhenti. Bahkan
tatkala kita beristirahat pun pikiran tetap bekerja, yang menghasilkan
‘lamunan’. Ketika tidur pun pikiran bekerja, dan menghasilkan mimpi.
16:11 Dengan air itu Dia tumbuhkan bagimu tanaman zaitun, kurma,
anggur, dan berbagai macam buah-buahan. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah ayat bagi orang-orang yang berpikir.
Pada tahap dini ini manusia diajar untuk mengerti bahwa air hujan itu
diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Manusia belum dituntut untuk
memahami proses hujan itu sendiri. Manusia diberi tahu bahwa air
hujan yang jatuh di bumi ini sebagian dijadikan minuman oleh
manusia, sebagian lain diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Dan
dari tanaman yang tumbuh itu, ada yang bisa dipakai untuk
menggembalakan ternak. Ayat berikutnya menjelaskan bahwa dari air
hujan tersebut Tuhan menumbuhkan berbagai buah-buahan. Dengan
cara ini pikiran didorong dan dirangsang untuk bekerja secara
sistematik. Otak kiri diaktifkan lebih dulu!
Yang dibangun pada tahap dini ini adalah objektivitas. Manusia diajar
untuk dapat melihat sesuatu apa adanya. Bahasa dasar yang
berkembang pada manusia pada tahap ini adalah bahasa notasi.
Sifatnya masih konkret! Yang disebut hanyalah yang dapat ditangkap
oleh indra dalam ruang manusia berada. Cara ini didahulukan agar
manusia tidak terjebak dalam alam takhyul. Pelajaran matematika
pada tahap dasar adalah untuk melatih ketrampilan berpikir.
Tahap kedua adalah berzikir! Tahap ini adalah menyalakan fungsi otak
kanan yang sangat berperanan dalam mengendalikan emosi. Dengan
didahului oleh pelatihan pikiran, maka manusia tidak terjebak dalam
khayalan yang tanpa arah. Selanjutnya berzikir berfungsi untuk
mengendalikan pikiran dan perasaan. Pikiran tidak berkeliaran lagi.
Perasaan menjadi kalem, tenang, tidak agresif. Berzikir mendorong
manusia untuk dapat menerima bahwa di alam ini hanya ada satu
realitas puncak, hanya ada satu kebenaran. Berzikir itu melatih pikiran
kita bekerja yang terarah dan terfokus. Sifat menerima dalam berzikir
membuat perasaan tumbuh dengan tenang.
Pada tahap awal orang masih bisa berpikir dalam keadaan apa pun.
Tentu saja yang bisa dilakukan adalah berpikir pada tingkat yang
paling rendah. Orang yang terus gelisah, resah, gundah, merasa takut,
bingung dan sejenisnya tak mampu berpikir lebih tinggi. Karena itu
harus dilandasi dengan ‘zikir’. Dalam istilah sekarang, ‘berpikir dengan
tenang’ atau kepala dingin. Untuk itu gejolak batin harus diredakan!
Dengan hati yang tenteram, jalan ke depan akan terbuka lebar. Jalan
menuju ke kebenaran tampak semakin jelas. Dan, orang yang
berjuang untuk kembali kepada kebenaran itulah sebenarnya yang
disebut “orang beriman” dalam ayat tersebut. Jadi, orang beriman
bukanlah orang yang mengaku ‘beragama tertentu’. Jadi, iman
bukanlah percaya pada “katanya”. Orang beriman adalah orang yang
dapat menyaksikan kebenaran itu sendiri. Ingatlah kembali penjelasan
tentang ‘ilmu l-yaqin, ‘ainu l-yaqin dan haqqu l-yaqin yang telah
dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Bagian ke-16
Lanj. Zuhud]
Islam yang dibangun oleh Nabi sebagai kehidupan yang beretika sosial
dan individual dengan semangat demokrasi modern, akhirnya menjadi
agama yang penuh kejumudan, kekakuan, kebekuan, atau kebodohan.
Takhyul lama [pra-Islam] dibuang, tetapi didatangkan takhyul baru
berlimpah-limpah masuk ke dalam umat Islam. Takhyul baru ini malah
dibungkus dengan hadis-hadis atau ayat-ayat Al Quran. Dengan
takhyul baru ini sebagian besar umat menjadi terbelenggu. Lebih-lebih
takhyul ini diajarkan dan diwariskan dengan bingkai dogmatik. Agama
yang penuh pencerahan ini akhirnya menjadi agama primitif yang
penuh momok. Bahkan di dalam tasawuf pun tak lepas dari takhyul-
takhyul baru. Namun, saya tetap menggunakan tasawuf sebagai
sarana untuk membangun umat, karena warna takhyul itu tampak
jelas dalam dunia tasawuf daripada dalam dunia komunitas islam
lainnya. Mengapa demikian? Karena tasawuf ada di titik pusat
lingkaran agama.
Nah, mari kita telaah dengan jernih ayat-ayat tersebut! Yang pertama
ditegaskan bahwa sebagian besar manusia itu hanya menuruti
prasangka atau ‘zhan’. Kata zhan menunjukkan suatu klaim tanpa
bukti. Ayat 6:148 lebih jelas lagi kata zhan dipasangkan dengan
kebohongan atau dusta. Bohong berarti tidak mengungkapkan yang
sebenarnya! Bohong juga berarti menyembunyikan kebenaran.
Coba kita perhatikan hidup kita sendiri! Dalam sehari kita hidup
selama dua-puluh empat jam atau 1.440 menit. Jika 5% dari hidup ini
kita gunakan untuk berpikir, artinya tujuh-puluh dua menit atau 1,2
jam dalam sehari kita berpikir! Apa iya? Ternyata sebagian besar
waktu dalam hidup ini kita gunakan sebagai pengganti mesin. Kita
kerja mengikuti prosedur yang sudah ada, tanpa mikir lagi. Jadi, wajar
bila ada ungkapan ?yang menurut sebagian ulama, bukan ungkapan
tetapi hadis?berpikir satu jam nilainya lebih besar dari sembahyang
1000 rakaat [dalam teks lainnya disebut beribadah enam-puluh
tahun]. Wajar juga, jika kemauan sebagian besar manusia ini dituruti,
hidup bisa tersesat. Bagaimana tidak tersesat, wong kebanyakan
pandangan itu hasil prasangka! Hanya warisan dari generasi ke
generasi. Hal ini khususnya terjadi di masa ‘iptek’ belum berkembang,
atau di masyarakat yang sedang berkembang.
Di masyarakat yang sedang berkembang, banyak hal yang direkayasa.
Artinya sesuatu dibuat bukan berdasarkan hal-hal yang konkret.
Sesuatu dibuat hanya berdasar akal-akalan pikiran. Partai dan
organisasi dibuat bukan berlandaskan kenyataan dan untuk
kesejahteraan anggotanya. Tetapi, untuk memenuhi kepentingan
pribadi pengurus atau panitianya. Demi ambisi jajaran pimpinannya.
Lalu bagaimana mungkin bisa mencapai keberhasilan, wong
pendiriannya hasil prasangka dan rekayasa.
Jika semula ada kepercayaan bahwa bumi itu datar, maka manusia
diperintahkan untuk mempelajarinya, apakah betul kepercayaan itu.
Manusia harus mempelajari bagaimana bumi ini kok bisa dihuni,
bagaimana riwayatnya, dan lain-lain. Untuk apa itu semua? Ya, untuk
kesejahteraan manusia itu sendiri! Mengapa tidak Tuhan saja yang
membuat kitab ilmu pengetahuan itu lalu diserahkan kepada manusia?
Bukankah Tuhan itu Maha Kuasa? Bukankah dengan adanya kitab suci
‘IPTEK’, manusia tinggal mengikuti instruksi dan proses yang dibabar
di dalamnya, dan tidak perlu berprasangka? Nah, kita mulai menaiki
tangga untuk mengenal Tuhan, siapa sesungguhnya Dia. Kita akhirnya
mengerti mengapa perjalanan hidup ini berujung kepada pernyataan
“kembali kepada Allah”. Tetapi untuk dapat kembali ke Dia, kita harus
berpikir!
Bag. Ke-17
[Lanj. Zuhud]
“La ilaha illa l-lah”, tidak ada tuhan selain Allah. Inilah konsep pokok
yang diajarkan oleh Muhammad Saw. Yang pertama adalah negasi,
yaitu ‘tidak ada tuhan’, tidak ada yang menjadi tujuan akhir. Negasi ini
penting sekali dalam perjalanan hidup ini. Tanpa negasi, manusia akan
terbelenggu oleh berbagai ilah, atau tuhan-tuhan yang sudah menjadi
kepercayaan masyarakat. Selanjutnya, harus dilakukan ‘peneguhan’
atau konfirmasi, bahwa tujuan manusia adalah Allah. Tidak mungkin
hidup tanpa tujuan! Dan satu-satunya tujuan adalah “Yang Maha
Benar”, yaitu Allah. Yang Maha Benar tentunya cuma satu. Dia-lah
Allah atau Tuhan [tuhan dengan ‘T’ besar dalam ejaan bahasa
Indonesia].
Dalam berpikir pun harus didahului oleh ‘negasi’, agar kita dapat
menemukan yang benar. Yaitu, kita harus berpikir yang bebas dari
takhyul. Bila hidup kita masih terbelenggu takhyul maka kita tak akan
dapat menemukan kebenaran. Nah, dari tahapan berpikir, pada
pelajaran zuhud yang terakhir, kita sudah sampai ditangga
‘penalaran’. Dan setiap kali kita menapaki tangga ini harus
berpegangan pada ‘zikir kepada Allah’ atau dzikru l-lah. Jadi, berpikir
dan berzikir itu seperti ‘tangga’. Anak tangganya adalah berpikir, dan
ibu tangganya yang menjadi pegangan ketika menaiki anak tangga
adalah berzikir. Ini penting sekali diperhatikan! Sebab, setiap kali kita
menggunakan pikiran, bisikan takhyul itu
datang.
Lho, dari mana takhyul itu datang jika kita berpegang teguh pada asas
pikiran? Tentu saja dari dorongan emosi kita, dari batin kita, yang
disebut “hawa” dalam bahasa Arab, dan diindonesiakan menjadi ‘hawa
nafsu’. Hawa nafsu adalah dorongan batin yang sangat kuat untuk
bertindak tanpa dilandasi pikiran. Sedangkan ‘nafsu’ adalah dorongan
untuk meredakan ketegangan dalam diri. Hal ini penting untuk
diketahui agar kita bisa memahami arti masing-masing. HS [sexual
intercourse] adalah nafsu. Tetapi jika tindakan HS itu tanpa dilandasi
kebenaran [just do it], maka tindakan HS tersebut berarti hanya untuk
memenuhi hawa nafsu. Salah satu makna ‘hawa’ adalah jatuh. Maka
orang yang memenuhi hawa nafsunya berarti mendorong jatuh
dirinya. Banyak orang yang berbuat dengan memperturutkan hawa
nafsunya. Dan hal ini di dalam Al Quran disebut perbuatan syirik atau
musyrik [orangnya].
Nah, mari kita perhatikan ayat-ayat yang berkaitan dengan hawa
nafsu [baik ayat utuh maupun hanya bagian ayat yang dikutip].
4:135 Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar menegakkan keadilan, menjadi syuhada’-nya meskipun
terhadap dirimu sendiri, ibu-bapakmu, atau kerabatmu; baik ia kaya
atau miskin. Allah lebih [mempunyai hak] atas mereka. Maka
janganlah mengikuti hawa nafsu sehingga kamu berlaku tidak adil.
7:176 Dan bila Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan dia dengan
[ayat] itu. Tetapi, dia ingin menetap di bumi, dan memperturutkan
hawa nafsunya. Perumpamaannya bagaikan anjing, engkau halau atau
biar-kan, tetap menjulurkan lidahnya. Inilah perumpamaan orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Sampaikan kisah ini untuk mendorong
mereka mau berpikir.
18:28 ... Dan jangan engkau mengikuti orang yang telah Kami lalaikan
hatinya dari berzikir kepada Kami, dan dia [cuma] mengikuti hawa
nafsunya, dan selalu melampaui batas dalam urusannya.
28:50 ... Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah? Sesungguhnya
Allah tidak mem-berikan petunjuk kepada orang-orang zalim.
Nah, ada sembilan ayat tentang peranan hawa nafsu yang akan
dikupas dan diulas dalam pelajaran hari ini.
Lho, apa bisa orang awam diajak berpikir? Tentu saja bisa! Yang
penting setiap orang harus dirangsang dan didorong untuk
menggunakan pikirannya sesuai dengan kapasitas otaknya atau
kapabilitasnya. Seseorang tak perlu dibebani melebihi takaran
kemampuannya. Dan, yang paling pokok adalah umat harus
dibebaskan dari belenggu prasangka, takhyul, dan hawa nafsu. Inilah
modal dasar umat untuk berpikir! Dengan bebas dari ‘pth’ umat bisa
dituntun untuk melihat kebenaran. Dengan modal dasar itu umat bisa
dibawa maju, tidak jumud [mandek]. Dengan cara berpikir yang benar,
kesadaran bisa ditingkatkan. Perlu diperhatikan kembali bahwa
tingginya pengetahuan yang dicapai seseorang tak ada kaitannya
dengan kesadaran. Karena pengetahuan didapat dari luar, sedangkan
kesadaran diperoleh dari dalam diri seseorang itu sendiri. Kesadaran
berkaitan dengan keimanan. Sedangkan pengetahuan adalah tahap
awal bagi keimanan. Jadi, setinggi-tingginya pengetahuan tidaklah
sama dengan ‘ain atau telah mengalami sendiri. Tetapi pengetahuan
yang tinggi disertai pengalaman mengantarkan seseorang naik ke
tahap ‘haqq al-yaqin’.
Sekarang marilah kita perhatikan ayat 7:175-176. Apa saja yang ada
yang bisa kita tangkap dengan indera adalah ayat-ayat Tuhan. Ayat-
ayat yang kasat mata adalah pijakan bagi ayat-ayat kitabiyah. Tanpa
mengerti ayat-ayat kauniyah [kasat mata] sulit untuk dapat mengerti
kandungan ayat-ayat kitabiyah. Jika kita tidak menghayati arti sebuah
kemiskinan atau kekalahan, bagaimana kita bisa menegakkan
keadilan? Bila kita tidak mengerti hukum Tuhan yang digelar di alam
ini bagaimana kita bisa memutuskan kebenaran? Jika kita tidak
mengerti makna sebuah perjanjian, bagaimana kita dapat
menghormati kerja sama?
Jika berpikir itu menjadi fungsi pokok manusia, lalau dimana letaknya
intuisi dan wahyu bagi manusia? Lalu, apa artinya kita harus
meningkatkan di ke tingkat kesadaran "zero mind" atau "No-mind"?
Ingat, 'to mind' tidak sama dengan 'to think' apa lagi dengan 'to
contemplate' [merenungkan]. Pada pelajaran kali ini tidak dibahas dulu
perihal wahyu atau intuisi. Tetapi perlu diberikan gambaran agar
konsep 'berpikir' menjadi jelas. Para nabi bukanlah orang-orang yang
bodoh. Bahkan mereka adalah manusia-manusia yang sungguh-
sungguh merenungkan [berpikir mendalam] kebenaran di alam ini.
Mereka merenung agar bisa menemukan solusi dalam kehidupan di
dunia maupun di akhirat. Dan solusi itu untuk kesejahteraan manusia,
baik sebagai individu maupun komunitas.
Kajian kita kali ini merupakan bagian terakhir dari zuhud, dan bagian
ke-18 adalah "topik ridha". Semoga kita bisa berzuhud di tengah
kehidupan modern dan tanpa batas ini, tanpa harus mengasingkan diri
di gua-gua. Wa billahi t-taufiq wa l-hidayah.
Bagian ke-18
(Ridha)
Hari ini kita masuk ke dalam pembahasan “ridha”. Kata ridha sudah
diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “rela”. Yang artinya
berbuat atau bertindak dengan suka hati tanpa pamrih. Rela juga
berarti dengan kemauan sendiri dan tanpa paksaan. Nah, ‘ridha’
sebenarnya memiliki makna yang lebih dalam daripada ‘rela’. Dengan
kata lain, rela hanyalah bagian dari ‘ridha’. Walaupun dalam kamus
bahasa Indonesia, kata ridha disamakan dengan rela.
Ridha [yang di dalam kamus ditulis juga ‘ridlo’] adalah suatu maqam,
posisi, atau tingkatan dalam perjalanan spiritual (tasawuf). Mengapa
oleh pakar atau ahli tasawuf ‘ridha’ tidak ditempatkan pada tangga
pertama? Jika ridha menjadi tangga pertama, maka ia akan
berkonotasi ‘tindakan yang dilakukan karena kekalahan’. Ridha bukan
lagi sebagai perjuangan untuk mendaki dalam perjalanan spiritual,
tetapi berserah diri karena suatu paksaan. Karena itu, orang yang
ridha bukan orang yang berserah diri karena kekalahan, tetapi orang
yang menang dan berserah diri.
Konteks ridha tidak dapat dipisahkan dengan ‘kecintaan kepada Allah’.
Pada awal pelajaran tasawuf telah saya sampaikan makna dan
perwujudan cinta, yang bersandar pada ayat 3:31, “Katakan
[Muhammad] kepada mereka, ‘jika kalian benar-benar mencintai Allah,
ikutilah (beritibaklah) kepadaku, niscaya Allah mencintai kalian dan
menutupi dosa-dosa kalian. Sesungguhnya Allah itu Maha Pelindung
dan Maha Penyayang.’” Sudah saya jelaskan pula bahwa ‘mengikuti’
tidak sama dengan meniru atau taklid. Mengikuti berarti
memperhatikan keteladanan yang ditampilkan oleh Rasul saw lalu
diterapkan dalam kehidupan sehari. Bukan karena Rasul berjenggot
dan bergamis, terus kita pun ikut berjenggot dan bergamis. Kalau itu,
anak kecil pun dapat mengikutinya, tak perlu memahami ayat-ayat Al
Quran. Padahal banyak ayat di dalam Al Quran yang memerintahkan
kita untuk memperhatikan dan memahami ayat-ayat-Nya yang ada di
dalam kitab-kitab-Nya maupun yang kauniyah, yang digelar oleh
Tuhan di alam raya ini. Jadi, mengikuti Rasul tidak identik dengan
meniru beliau.
Seperti yang telah saya uraikan, seseorang tidak akan sabar terhadap
sesuatu jika dia tidak mengerti rancangan atau program yang
terkandung dalam sesuatu yang sedang dihadapinya itu. Sama halnya
dengan kehidupan kita ini. Bila kita tidak memahami bahwa dahulu
sebelum kita lahir ini sudah teken kontrak dengan Tuhan, kita pun tak
akan rela dengan ketetapan yang ada. Dan akhirnya, kita pun tak akan
sabar terhadap berbagai hal yang menimpa kita. Karena itu, disindir
oleh Tuhan, “jika begitu yaa biar-lah dia mencari Tuhan selain Aku”.
Lalu apa fitrah itu? Fitrah berasal dari kata “fa-tha-ra”, yang artinya
membuat sesuatu terjadi. Contohnya demikian, ada tepung terigu,
gula, telor, air, soda, lalu kita campur dan kita lakukan adukan dan
setelah dioven terbentuklah “roti”. Dengan bahan yang sama tetapi
dengan komposisi kandungan yang berbeda, terjadilah roti yang
berbeda. Nah, fitrah adalah sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh
komposisi bahan tadi. Dan bahan untuk penciptaan manusia tidak
berubah. Yaitu, fisiknya terdiri dari tanah, air, udara, api dan cahaya.
Kemudian dimasukkan nafs dan ruh kedalamnya. Nafs yang tekor
energi metafisiknya [akibat hutang sebelumnya] bersaksi untuk
memilih lahir di tengah-tengah keluarga miskin. Ingat, Tuhan tidak
pernah menzalimi hamba-Nya! Dan, hal ini sudah saya jelaskan pada
bagian sebelumnya.
Agar Anda tidak lupa, maka saya tampilkan kembali beberapa ayat
yang jelas-jelas menyatakan bahwa Allah tidak menzalimi manusia. 1)
Sesungguhnya Tuhan tidak berbuat zalim terhadap manusia sedikit
pun, tetapi manusialah yang berbuat zalim terhadap dirinya [QS
10:44]. 2) Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seorang pun
meskipun sebesar debu, dan jika ada kebaikan sebesar debu niscaya
Dia melipatganda-kan dan memberikan pahala yang besar dari sisi-
Nya [QS 4:40]. 3) Dan Tuhan engkau tidak menganiaya seorang
juapun [QS 18:49]. Jadi, jelas sekali yang menyebabkan seseorang itu
lahir dalam kehidupan yang penuh kesusahan itu berasal dari dirinya
sendiri. Justru Tuhan dengan kasih-Nya melipatgandakan kebaikan
yang dilakukan oleh manusia. Tuhan tak pernah korup terhadap
kebaikan manusia.
Lho, kalau kita pernah berbuat sebelum ini, mengapa kita tidak ingat?
Justru manusia tidak ingat itu Tuhan memberi kabar tentang hal ini di
7:172-173. Dan tentu saja, meyakini kebenaran ayat tersebut baru
pada tahap ‘ilmul-yaqin. Wong baru tahu karena membaca sendiri
ayatnya atau diberi tahu orang lain. Dan, penutup ayat itu pun
menyebutkan bahwa “sebagian besar manusia tidak mengetahui
[tentang landasan penciptaan yang benar itu]”. Kalau masih pada
tahap ‘ilmul-yaqin’, manusia sulit untuk bisa memasuki maqam ridha.
Nah, kita jangan mudah mengklaim bahwa apa yang terjadi pada kita
adalah takdir Tuhan. Padahal itu semua adalah our destiny, takdir kita
sendiri. Tuhan justru memfasilitasi kehidupan manusia, supaya ia
dapat hidup sejahtera. Itulah sebabnya, disebutkan bahwa “kebaikan
sebesar debu [zarah]” akan dilipatgandakan nilainya, dan mendapat
pahala yang besar. Dan, sistem inilah yang disebut fitrah itu! Jadi,
Tuhan tidak merugikan manusia walaupun sebesar debu. Tetapi, bila
ada kebaikan, nilainya dilipatgandakan 10 kali lipat hingga 700 kali,
tergantung kualitas perbuatannya.
Jika kita belum bisa menapaki keyakinan hingga puncaknya maka kita
masih mungkin mengalami hidup dalam kejiwaan yang terbelah. Di
satu sisi, kita yakin akan adanya kehidupan di masa depan. Di sisi lain,
kita berbuat zalim. Padahal Tuhan tidak akan mau menunjuki orang-
orang yang berbuat kezaliman. Bahkan, jika kita melihat keadaan
bangsa kita yang mudah diprovokasi, mudah terseret ke dalam krisis,
gampang ikutan dalam beraksi negatif; menunjukkan kurangnya
orang-orang kuat yang berada di maqam ridha. Padahal adanya elite-
elite di maqam ini kita dambakan sekali, sehingga mereka betul-betul
tanpa pamrih membangun negeri ini.
Bagian ke-19
[lanj. Ridha]
Ridha adalah buah dari pohon mahabbah, pohon cinta. Artinya, ridha
tak akan ada bila tidak didahului oleh rasa cinta. Orang yang mencintai
kekasihnya, ia akan rela melakukan dan memenuhi apa yang diminta
oleh sang kekasih. Tetapi, ridha bukanlah hasil dari cinta buta. Ia
adalah hasil dari suatu prestasi spiritual!
Nah, hidup ini ternyata menyongsong suatu misteri. Orang hidup ini
[hampir semuanya] antri memasuki dunia yang tidak diketahuinya,
dunia yang masih gelap! Jika orang beragama itu yakin akan masuk
surga [menurut keyakinan agamanya], terus terang itu hasil dari
keyakinan buta. Lho, hidup beragama kan mengikuti nabi dan rasul
[yang membawa agama], bagaimana mungkin dikatakan mengikuti
keyakinan buta? Nah, nah, di sini yang perlu diluruskan! Ketika nabi,
rasul atau utusan Tuhan itu masih hidup, maka benarlah pernyataan
“mengikuti nabi”. Tetapi setelah nabi atau rasulnya tidak lagi di
tengah-tengah umatnya, maka pemeluk suatu agama sebenarnya
mengikuti “katanya”. Agar tidak masuk dalam kategori “katanya”,
maka kita dituntut untuk mempelajari ajaran yang dibawa nabi itu
secara objektif rasional. Untuk menjadi pengikut seorang nabi, tidak
cukup hanya yakin, tetapi harus menelaah, merenungkan, dan
mencoba memahami makna yang terkandung di dalam ayat-ayat kitab
sucinya. Dan, ini baru tahap ilmu l-yaqin, suatu keyakinan berdasarkan
pengetahuan.
Marilah kita menelaah dua butir ayat di bawah ini, agar kita tidak
mudah saling klaim terhadap kebenaran agama.
Makanya, dalam kehidupan beragama ini kita dididik dan dilatih untuk
dapat meningkatkan kemampuan spiritual kita. Untuk apa? Agar kita
bisa lolos dari kegelapan di dunia yang akan datang. Ibadah tidak lagi
dilakukan untuk membangun identitas. Justru ibadah dilakukan untuk
berlatih, riyadhah, untuk meningkatkan kecerdasan kita [IQ, EQ dan
SQ]. Untuk apa kecerdasan perlu ditingkatkan? Ya, untuk memecahkan
persoalan hidup, baik hidup di dunia sekarang ini maupun dalam
kehidupan nanti! Kita tidak boleh spekulasi. Ingat, spekulasi itu
‘gambling’, judi, jauh dari kebenaran. Tanpa berbekal kecerdasan kita
tak akan mampu menjawab teka-teki kehidupan ini.
30:07 Mereka itu hanya mengetahui yang lahir dari kehidupan dunia
ini, tetapi mereka lalai tentang kehidupan akhirat.
Jika sekarang orang itu sudah buta batinnya, maka di alam akhirat
akan lebih buta lagi. Jika sekarang sudah bertindak bodoh dalam
kehidupan ini, maka di akhirat akan lebih bodoh lagi jadinya. Ia tidak
tahu lagi jalan mana yang harus ditempuh. Salat, haji, puasa dan zakat
tak ada artinya bila kekejian dan kemunkaran menjadi kebiasaannya.
Dunia dan akhirat adalah garis kontinum. Dunia dan akhirat bukan dua
hal yang terpisah. Tak ada dikotomi, yang ini buat kehidupan di dunia
dan yang ini buat yang di akhirat. Dikotomi ini yang membuat orang
hidup dengan kepribadian terbelah. Di satu sisi rajin ke rumah ibadah,
tetapi di sisi lain turut berkiprah dalam kemunkaran. Lalu ditimbang
sendiri bahwa ibadahnya lebih banyak daripada kemunkarannya. Ini
namanya spekulasi! Bukan tahu, tapi cuma prasangka.
Coba kita perhatikan kehidupan umat Islam di dunia sekarang ini.
Kemiskinan merajalela di mana-mana, tetapi orang pergi haji semakin
tahun menyebabkan Padang Arafah semakin tak mampu menampung.
Jurang antara si kaya dan si miskin di dunia Islam semakin lebar.
Kebekuan atau kejumudan dalam berpikir melanda umat Islam.
Anarkisme banyak terjadi di negara-negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Negara-negara Islam hanya menjadi
objek konsumerisme negara-negara maju. Mengapa hal ini terjadi?
Karena umat Islam lalai tentang kehidupan akhiratnya! Umat Islam
lalai terhadap masa depannya. Umat Islam hanya terpaku pada
kehidupan formal lahiriah. Syariat agama hanya dipahami secara
mentah.
Jika kita masih terjebak dikotomi dunia dan akhirat, maka jangan
harap kita bisa meraih maqam ridha. Bukankah kita ini adalah khalifah
di bumi? Bagaimana mungkin kita cuma menghargai ilmu-ilmu untuk
hidup di bumi ini sebagai kewajiban kifayah, atau kewajiban yang bisa
ditinggalkan bila sudah ada seseorang yang mengerjakannya? Lha
bagaimana kalau orang yang mengerjakan itu bodoh? Apa tidak
babak-belur kehidupan umat? Sedangkan ilmu-ilmu agama dihargai
sebagai fardhu ain, yaitu yang harus dilakukan oleh setiap orang.
Seolah-olah dengan belajar ilmu agama terus kita bisa masuk surga!
Dan dengan gampangnya ilmu-ilmu kealaman dinyatakan bukan ilmu
agama. Inilah dikotomi!
Sejak awal pelajaran tasawuf ini telah saya jelaskan bahwa Al Quran
adalah peta bagi perjalanan hidup. Ia merupakan lampu dalam
perjalanan hidup. Peta atau lampu tak ada gunanya jika kita tidak
membacanya dengan seksama. Meskipun petanya jelas, lampunya
terang, tetap tidak ada gunanya jika kita sendiri tidak mau menempuh
per-jalanan. Lihatlah kembali dalil “inna li l-lahi wa inna ilaihi raji-‘un”,
sesungguhnya kita ini berasal dari [atau, kepunyaan] Allah, dan
sesungguhnya kita ini kembali kepada-Nya. Lha, kalau kita tidak mau
ambil pusing dengan khitah kita dulu, kita tidak mau melakukan
perjalanan, ya apa kita bisa sampai yang dituju?
Lalu, apa hubungannya kita mencari ilmu dengan ridha? Ilmu adalah
cahaya bagi kita untuk berbuat atau bertindak. Ilmu adalah petunjuk
pelaksanaan [juklak] bagi kita untuk bekerja yang benar dalam hidup
ini. Supaya kita tidak bekerja secara ngawur atau sembarangan. Jika
kita ngawur dalam menjalankan pekerjaan, tidak akan membuahkan
hasil [seperti yang diharapkan]. Atau, kalau toh ada hasilnya, amat
jauh dari memadai. Karena itu kita mencari ilmu! Dan, itu harus
terintegrasikan dalam kehidupan beragama seperti yang dipesankan
pada ayat 9:122.
35:28 Demikian pula yang terjadi pada manusia, hewan melata, dan
binatang ternak, beraneka macam warna dan bentuknya.
Sesungguhnya yang betul-betul sadar [takut] terhadap Allah di antara
hamba-Nya adalah para orang yang berilmu. Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa dan Maha Melindungi.
Bagian ke-20,
[lanj. Ridha]
Sampai pada pelajaran ke-20 ini kita perlu ambil jeda dulu. Kita perlu
menyadari bahwa setiap pelajaran yang telah diberikan tidak boleh
dipisah-pisahkan. Pelajaran tasawuf seperti anak tangga, tangga yang
bawah merupakan landasan bagi tangga yang lebih atas. Karena itu
pelajaran pertama harus dibaca lagi dan dicermati, sehingga kita
dapat mengamalkan tasawuf dengan arif.
Jika kita sudah berjalan di atas jalan yang benar, maka kita akan
sampai pada tujuan yang benar. Tujuan yang benar, itulah Allah! Inna
li l-lahi wa inna ilaihi raji-‘un, “sesungguhnya kita ini berasal
[kepunyaan] Allah dan sesungguhnya kita kembali kepada-Nya”. Jadi,
jelas sekali bahwa cepat atau lambat kita pasti kembali kepada-Nya.
Dan kembali kepada-Nya tidak berarti kembali kepada “sosok” di
suatu tempat. Yang membutuhkan tempat itu bukan Allah. Ia cuma
makhluk seperti kita, meskipun mungkin jauh lebih hebat daripada
manusia.
Dalam kalangan sufi, kalimat tauhid “la ilaha illa l-lah”, tiada tuhan
keculai Allah diuraikan menjadi 3 ungkapan kalimat thayyibah.
Jadi, apa yang nyata saat ini sebenarnya sesaat lagi telah berubah,
tidak lagi persis sama dengan sesaat yang lalu. Karena itu, tiada yang
maujud, tiada yang betul-betul eksis di alam ini, kecuali Tuhan. Orang
Buddha menggambarkan alam ini seperti pikiran. Ia selalu datang dan
pergi! Ia tak kekal. Artinya, tak punya wujud yang kekal. Nah,
menapaki jalan tasawuf sebenarnya melangkah ke depan untuk
menemukan yang Maha Kekal, yang benar-benar Maujud.
Kedua, “la ma’buda illa l-lah”, tak ada yang patut diibadahi [diabdi]
kecuali Allah. Jadi, hidup yang sebenarnya itu cuma untuk mengabdi
kepada Tuhan. Karena itu, di Al Fatihah dinyatakan dengan tegas
‘hanya kepada Engkau kami mengabdi’. Dan, ayat ini dirangkai
dengan ‘dan hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan’. Lho,
kenyataannya kita ini saling menolong, jadi tidak benar dong jika
hanya kepada Tuhan kita minta pertolongan?
Petunjuk yang kita peroleh dari Al Fatihah adalah “kami” dan bukan
“aku”. Jadi, pengabdian kepada Allah itu ada dalam bentuk komunitas,
dan bukan sendirian. Islam mengajarkan bahwa pengabdian itu
bersifat ‘jamaah’ bukan perorangan. Lalu, apa yang dimaksud dengan
pengabdian kepada Allah? Ingat, makna mengabdi adalah melayani.
Mengabdi kepada Allah berarti melayani Allah. Jangan diartikan secara
harfiah! Karena hakikatnya Allah tidak membutuhkan apa-apa
[termasuk pelayanan] dari hamba-hamba-Nya. Yang memerlukan
pelayanan, ya kita-kita ini! Nah, agar kita bisa saling melayani, maka
kita harus mengerti aturan dan mekanisme yang telah dibangun oleh
Allah. Aturan dan mekanisme itu telah ditetapkan-Nya di alam raya ini.
Bukan aturan yang dihasilkan oleh hawa nafsu atau kepentingan
seseorang/sekelompok orang! Untuk itu marilah kita baca ayat-ayat di
bawah ini.
28:88 Dan jangan memohon [menyeru] ilah-ilah selain Allah. Tak ada
ilah selain Dia. Segala sesuatu bersifat binasa [fana] kecuali Wajah-
Nya. Hukum itu kepunyaan-Nya, dan kepada-Nya kamu semua
dikembalikan.
27 Dan Yang Kekal adalah Wajah Tuhan engkau. Tuhan yang memiliki
keperkasaan dan kemuliaan.
28:83 Itulah negeri akhirat! Kami menyediakan negeri akhirat itu bagi
orang-orang yang tidak berkehendak untuk menyombongkan diri
[arogan], dan tidak pula menghendaki kerusakan di bumi. Dan akibat
yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.
Ketiga, “la maqshuda illa l-lah”, tujuan itu hanyalah Allah. Jadi, tujuan,
aim at, intended, intensional bagi orang-orang mukmin adalah Allah.
Yang lain-lain itu adalah jembatan menuju Allah. Orang berbuat bajik
kepada orang lain, tolong-menolong dalam kebajikan, berkasih-sayang
sesama manusia, memberikan perlindungan kepada mereka yang
lemah, bertutur kata yang arif, dll, semuanya itu adalah jalan-jalan
menuju Allah. Karena tujuan akhir itu hanya kepada Allah maka kita
dilarang menjadi ilah selain-Nya. Apa artinya ini? Ya, kita jangan
menghakimi keimanan seseorang atau kita jangan memaksakan
kehendak dan pendapat kita.
Yang dicari adalah Allah. Tetapi Allah bukanlah obyek! Dia adalah
subyek yang meliputi segala sesuatu, omni present. Ya, Dia memang
hadir di mana-mana. Tetapi kita tak menyadari kehadiran-Nya. Karena
itu kita harus melatih diri untuk mencari-Nya. Untuk apa? Bukankah
berbuat baik [beramal saleh] sudah cukup? Mari kita tengok lagi
landasan hidup ini. Apa itu? Paduan iman dan amal saleh [imas]!
Dengan kata lain, iman dan amal saleh tak dapat dipisahkan. Ia
merupakan satu paket. Perbuatan boleh jadi baik, tetapi motif yang
melandasinya buruk. Orang Jawa memberikan contoh tentang
perbuatan bajik tapi motifnya buruk, yaitu “tulung menthung”.
Kelihatannya dia menolong seseorang, tetapi tujuannya untuk
menjatuhkan orang yang ditolongnya itu. Seperti orang yang
meminjami uang kepada seseorang, tetapi bunganya membuat orang
itu semakin miskin.
Begitu pula iman yang tidak pernah diwujudkan dalam bentuk amal
saleh, bukan iman namanya. Itu cuma kepercayaan! Iman tidak sama
dengan kepercayaan. Kata “iman” memiliki unsur yang sama dengan
“aman” dan “amin”. Yang diharapkan dari keimnan adalah rasa aman
di dalam diri. Dan puncak dari keimanan adalah menemukan Allah!
Buah dari haqqu l-yaqin adalah ma’rifatullah, mengenal Allah. Karena
itu, pernyataan sufi adalah “Engkau tujuanku, dan keridhaan
[kerelaan]-Mu yang aku cari”. Jadi, tujuan hidup itu sejalan dengan
“inna li l-lahi wa inna ilaihi raji-‘un”.
Inilah panggilan terhadap jiwa yang sudah damai, tenang. Ini bukan
panggilan sesudah kiamat nanti. Tetapi sekarang! Pencarian Tuhan
bukan setelah kita mati. Tetapi sekarang ini, ketika hayat masih
dikandung badan. Ingat, Al Quran adalah pelita bagi orang yang hidup
di dunia ini. Ia bukan petunjuk untuk hidup di akhirat nanti. Ia benar-
benar petunjuk untuk manusia yang hidup di dunia ini, dan
implikasinya di alam yang akan datang. Karena itu, jangan menunggu
di sapa atau dipanggil Tuhan nanti setelah mati. Kita harus temukan
Tuhan sekarang, di dunia ini. Anta maqshudi wa ridhaka mathlubi! Di
awal pelajaran ini telah dijelaskan bahwa “dengan berzikir hati
menjadi damai”. Bilamana hati kita telah damai, maka panggilan
Tuhan itu akan terdengar semakin nyaring. Panggilan untuk kembali
kepada-Nya dengan rela, dan akhirnya pun Tuhan merelai. Tuhan rela
agar yang dipanggil itu masuk ke dalam komunitas hamba-hamba-Nya
[jamaah pelayan-Nya]. Lalu, jiwa dituntun-Nya memasuki taman-Nya!
Taman yang penuh kedamaian dan kekekalan.
Nabi Isa as datang ke bumi bukan untuk dilayani, tetapi dia datang
untuk melayani. Muhammad saw datang dengan memproklamirkan
diri bahwa dia adalah hamba-Nya, ‘abduhu. Muhammadan ‘abduhu wa
rasuluh, Muhammad hamba dan pesuruh-Nya. Baik Isa maupun
Muhammad tidak segan untuk memproklamirkan dirinya sebagai
hamba, abdi, atau pelayan! Sekarang ini malahan kita tidak mau
menjadi abdi. Kita malah
berebut menjadi majikan ‘agama’. Kita ingin agama kita paksakan
untuk diterima oleh orang lain. Jadi, kita bukan datang untuk melayani
orang sehingga orang pada tertarik kepada agama kita. Tetapi orang
kita paksa untuk menerima syariat yang kita tawarkan. Kita lupa
bahwa “la ik-raha fi d-din”, tidak ada paksaan dalam agama [QS
2:256]. Agama memang bukan untuk dipaksakan. Agama adalah
nasihat, petuah. Agama adalah jalan yang benar! Sesuatu yang benar
itu jelas batasnya dengan yang salah. Karena itu agama tak perlu
dipaksakan.
Tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh telah jelas jalan yang
benar dari jalan kegelapan. Barangsiapa yang mengingkari ‘tagut’, dan
beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang teguh pada
tali yang kuat dan tak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui.
Sekali lagi, mari kita jadikan agama sebagai jalan, din, landasan untuk
hidup kita. Agama bukan Tuhan, dan bukan pula suku atau
kerangkeng kehidupan. Bila kita sudah mampu menempatkan agama
sebagai jalan, maka ikatan emosional dengan agama akan hilang.
Sehingga suatu peristiwa atau kejadian tidak dikaitkan dengan agama.
Misalnya, kejadian yang menimpa WTC dan Pentagon, jangan
dikaitkan dengan Islam. Itu semua akibat perseteruan antar manusia,
karena mereka yang ber-seteru itu belum ridha menjadi manusia,
hamba Tuhan. Kata arif dari Jawa, ‘manungsa iku manunggaling rasa’,
manusia itu bila dapat menyatukan rasa sama-sama sebagai manusia.
Sama-sama ridha sebagai manusia!
1. Cari waktu yang sepi, misalnya bangun pagi sebelum masuk subuh.
Mari kita perhatikan beberapa ayat yang berkaitan dengan nilai dunia
ini:
Ayat yang pertama, 3:185, adalah kaidah umum. Apa itu? Setiap diri
merasakan mati. Jika makna mati diperluas, termasuk juga tidur, maka
siapa yang masih memakai raga jasmani dunia ini pasti mengalami
kematian. Dan, suatu imbalan pasti dirasakan bila kesadaran kita ini
bangkit. Anak kecil [kurang dari 2 tahun] tidak terlalu mengerti makna
suatu imbalan. Kesadarannya belum bangkit. Lain dengan manusia
dewasa yang sehat lahir dan batin, kesempurnaan imbalan dari Tuhan
itu akan dirasakan. Jika hidup-nya penuh dengan keridhaan, maka
jauhlah dia dari neraka. Dekatlah dia dari surga. Imbalan surga itu
dirasakan di dalam dirinya. Ia menang! Ia realistis menempuhnya
hidupnya. Ia ridha, rela!
Dan, yang harus diingat, bila kita ingin hidup benar, maka datanglah
cemoohan justru dari orang-orang yang telah membaca kitab. Itulah
sebabnya mengapa di negara yang mayoritas penduduknya beragama
banyak sekali orang yang tidak berani menem-puh hidup benar. Tidak
kuat menghadapi cobaan harta-benda dan nafs! Korupsi meraja lela,
karena tidak tahan menghadapi cemoohan para pembaca kitab dan
orang-orang yang mengalami disorientasi dalam hidup ini. Agar tidak
tergoda dan tahan menghadapi caci maki, maka diperlukan kesabaran
dan ketakwaan. Dan, hal ini perlu keteguhan!
Pada ayat ketiga, ditegaskan bahwa hidup ini pun merupakan kondisi
saling me-nyombongkan, lomba banyak harta dan banyak anak.
Memang, setting ayat ini ketika manusia bangga bila banyak anak.
Kalau sekarang justru orang merasa enggan untuk mempunyai banyak
anak. Tetapi lomba banyak harta semakin meraja lela, khususnya di
Indonesia. Karena yang dijadikan perlombaan itu tentang banyaknya
harta, maka jangan heran bila korupsi yang berkecamuk.
“Lho, di tengah krisis ini kok orang-orang kaya tidak menjadi merana.
Bahkan mereka tampak jaya saja. Malah yang melarat yang tambah
menderita!” Tentu..., mereka tidak seperti tanaman. Tetapi, dalam
keadaan krisis yang melanda negeri kita ini mereka tampak “layu”.
Coba perhatikan wajah mereka di tv! Pandanglah wajahnya dengan
tenang, tanpa terbuai kekayaan mereka. Sorot matanya, cahaya yang
terpancar dari wajahnya, itu lho yang redup, layu!
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari permainan? Yang bisa kita
ambil sebagai pelajaran adalah “aturan main”. Aturan main itu lahir
dari kesepakatan, konvensi. Aturan itu berubah sesuai dengan
perubahan pengetahuan manusia-manusianya yang terlibat dalam
permainan itu. Aturan permainan sepak bola sekarang ini sudah pasti
sangat jauh berbeda dengan aturan ketika permainan ini baru
diciptakan.
Nah, marilah kita sadar bahwa kehidupan dunia ini ternyata hanyalah
permainan. Pemilik permainan itu Tuhan Yang Mahaesa. Karena itu,
mari kita ikuti permainan ini dengan sebaik-baiknya. Jangan dilanggar!
Jika demokrasi yang menjadi permainan kita, maka jangan cari-cari
dan curi-curi dalil agama untuk kepentingan golongan, atau
kepentingan pribadi dengan stempel agama.
Anda tak perlu memaksa pikiran Anda untuk mengerti hal-hal yang
belum bisa Anda jangkau. Yang wajar-wajar saja! Laluilah semampu
Anda. Jangan berandai-andai melampaui kemampuan Anda. Nanti
malah terjatuh. Yang perlu kita sadari sekarang ini adalah kita ini
sedang bermain sandiwara. Dan kita terpanggil untuk ambil peran
yang positif. Maka kepositifan peran kita itu kita tingkatkan. Hingga
timbul apresiasi. Bukan apresiasi dari pemain sandiwara lainnya, tetapi
apresiasi dari sang keberadaan. Dalam bahasa spiritualnya, kita
mendapat apresiasi dari Tuhan, Sang Sutradara Agung!
Akhirat juga sisi lain dari alam semesta. Bila dunia kita lihat sebagai
kenyatan lahiriah, maka sisi yang tersembunyi, yang batiniah itu juga
merupakan akhirat. Bila dunia itu adalah “kenyataan yang sekarang”
maka akhirat adalah keberadaan yang akan datang. Bila dunia
mewakili pengalaman hidup di bumi ini maka akhirat adalah sebuah
kehidupan di tempat lain.
Pada akhir pelajaran tentang ridha, disebutkan bahwa dunia ini adalah
perhiasan, permainan, dan sandiwara. Pada tahap ini pelaku sufi
sebenarnya sudah tumbuh suatu penghayatan. Dan, bukan masih
berada pada tahap awal, yaitu pada tataran objektif dan normatif. Jika
kita masih pada tingkat normatif, maka kita akan terjebak pada paham
jabariah. Suatu paham yang mendefinisikan bahwa hidup ini “jabbar”,
terpaksa. Dalam paham ini manusia tidak mempunyai kuasa apa-apa,
ia hanya berbuat sebagaimana yang ditetapkan di “lauhu l mahfuzh”,
kitab induk semesta.
Nah, ridha dan tawakal adalah tahap haqqu l-yaqin. Tahap tajalli.
Tahap manusia yang mewujudkan citra Ilahi. Manusia yang mengasihi
tetapi bukan karena meminta dikasihi. Manusia terhormat bukan
karena dihormati. Manusia kaya bukan karena melimpahnya materi.
Manusia cinta, sebagai manifestasi cinta Ilahi. Tajalli! Karena itu, teori
tasawuf hendaknya tidak dipahami sebagai teori semata-mata.
Penghayatan dan pengalaman ditingkatkan menjadi pemahaman.
Pada tahap awal orang beramal karena diberi tahu. Ada orang lain
yang melang-kah dengan benar, lalu diteorikan. Teori itu
disebarluaskan, untuk dipraktikkan bareng-bareng. Lahirlah manusia
kolektif. Ada aturan buat hidup bersama. Ada sentralisasi dan birokrasi
untuk kehidupan bersama. Penampilan individu amat lemah karena
kuatnya hidup kolektif. Sebaliknya, individu yang kuat, akan merajai
banyak manusia. Inilah ciri manusia di tahap takhalli, syariat. Individu
tidak kuasa mengatur dirinya, tetapi diatur oleh kekuatan dari luar
dirinya.
Pada tahap tawakal, yang sedang kita bahas ini, manusia tidak
memandang dirinya dan Tuhannya sebagai ‘dualisme’. Manusia tidak
lagi memandang dirinya dikuasai oleh faktor luar. Tuhan pun tidak lagi
dipandang ada “di luar sana”. Anda masih ingatkan dengan dalil “Dia
bersama kamu di mana saja kamu berada”. Dalam Hadis dinyatakan,
“langit dan bumi tak dapat menjangkau-Ku, tetapi hati seorang
mukmin dapat menjangkau-Ku.” Dia ada di dalam diri sekaligus di luar
diri. Bagi yang belum mukmin, Tuhan tidak ada di dalam diri sekaligus
tidak ada di luar diri.
Jadi, apa yang kita buat akan terwujud, maujud, bila kita membuatnya
berdasar-kan hukum Tuhan. Cangkok ginjal, cangkok jantung, dan
berbagai macam cangkok organ manusia terjadi mengikuti hukum
Tuhan. Nah, pelajaran apa yang bisa kita petik dari ayat pertama
tersebut?
Jadi, dalam tawakal, perlu juga keseimbangan alam ini dijaga. Coba
bayangkan kalau seekor singa membunuhi banyak hewan mangsa.
Maka keseimbangan alam akan terganggu. Nah, tawakal tidak
mengganggu alam, bahkan menjaga keseimbangan alam. Dan,
ternyata singa tersebut tidak pasif, tetapi sangat aktif dan betul-betul
mengikuti hukum alam. Menggantungkan diri kepada Tuhan ternyata
sangat aktif, dengan tepat sasaran. Dinamis dan keseimbangan
terjaga. Itulah tawakal!
Dulu doa bisa digunakan seperti yang disebut di atas, karena waktu itu
konsentrasi pikiran manusia dialirkan ke kalimat-kalimat doa. Bahkan
sihir, tenung, santet, dan bebagai macam kekuatan gelap, kekuatan
negatif adalah wujud dari doa. Tentu saja doa yang negatif. Doa untuk
kejahatan.
Ada perbedaan antara doa sebagai wahana tawakal dan doa untuk
kejahatan. Doa dalam tawakal berarti mengembalikan semua
kekuatan yang ada pada diri ini kepada yang empunya kekuatan, yaitu
Allah. ambil contoh, doa akan bepergian: “Bismillahi tawakaltu ‘ala
llahi, la haula wa la quwwata illa billah.” [Dengan nama Allah, aku
bertawakal kepada Allah, yang tiada daya dan kekuatan kecuali pada-
Nya]. Di sini ada kesadaran bahwa pemilik daya dan kekuatan itu
hanya Allah. sedangkan kita manusia ini hanya mendapatkan rahmat-
Nya. Dalam wujudnya, tentu saja doa tersebut diiringi dengan aktivitas
yang optimal dan benar.
Jika dalam usaha magis kekuatan itu hanya dimiliki oleh sedikit orang,
maka dalam usaha rasional kekuatan magisnya bisa didistribusikan ke
banyak orang. Kekuatan rasio bisa diajarkan secara terbuka dan
berkelas. Jika satu orang bertahun-tahun berpuasa dan berdoa mantra
untuk bisa terbang, maka dengan rasio seseorang bisa membuat kapal
terbang dan bisa mengangkut ratusan ribu orang dalam usia
ekonomisnya. Jika seseorang berpuasa dan berdoa mantra selama
bertahun-tahun untuk tidak mempan ditembus peluru, maka dengan
rasio manusia dapat belajar secara massal untuk membuat baju anti
peluru. Nah, di sini kekuatan doa mantra akhirnya dapat di-kalahkan
oleh kekuatan doa pikiran.
Umat secara umum salah mengerti. Dikiranya doa itu hanya tersusun
dari kalimat. Apa akibatnya? Perintah dalam Al Quran “ud-‘uni astajib
lakum” [berdoalah kepada-Ku niscaya Aku memperkenankanmu,” QS
40:60], akhirnya hanya menjadi retorika belaka. Padahal, orang yang
sungguh-sungguh berpikir untuk membuat atau menjadikan sesuatu
itu juga doa. Di tataran konkret sama! Bila ada doa mantra untuk
kebaikan atau untuk kejahatan, maka doa pikiran juga begitu.
Seperti yang telah saya terangkan pada pelajaran ‘ridha’ yang lalu,
perubahan yang terjadi di alam mengakibatkan terjadinya perubahan
aturan main. Jika di masyara-rakat yang mengalami perdagangan
barter tidak terjadi hutang-piutang, maka pada sistem perdagangan
terbuka timbullah hutang-piutang. Bila di dalam zaman datangnya
agama Islam ada hukum “bayi sepersusuan”, lalu sekarang bagaimana
dengan sistem donor susu ibu? Sekarang ada donor darah, cangkok
organ, bayi tabung, kloning, dan lain sebagainya. Ini semua membawa
perubahan pola berpikir manusia. Ahli hukum Islam pun akhirnya
pontang-panting dibuatnya. Dan, makin lama makin pontang-panting
dibuatnya, jika para pemikir Islam tidak mau memberdayakan
pikirannya untuk mengantisipasi dan melakukan peramalan [ilmiah]
kemungkinan yang terjadi di masa depan. Hal ini berbeda dengan Nabi
saw. Wahyu yang diturunkan kepada beliau ber-sifat ke depan
[futuristik]. Misalnya, pembagian waris bagi wanita, wanita bisa
menjadi saksi, wanita boleh berkiprah dalam kehidupan sosial,
penghapusan perbudakan, pene-gakan keadilan sosial, dan lain
sebagainya.
Dulu, orang bertawakal dilandasi kerja keras disertai doa mantra dan
dipasrahkan kepada Allah. Maka, sekarang orang bertawakal harus
dilandasi ketrampilan kerja, disiplin, dan disertai dengan berpikir
jenius. Jika dulu, orang berjamaah dalam salat, puasa, dan haji; maka,
sekarang orang bertawakal dengan pemberdayaan “teamwork”. Dan,
teamwork itu pun seperti kapal yang dilayarkan oleh Tuhan!
Pada ayat kedua, umat Islam diperingatkan. Umat agar menjaga diri
dari bencana yang tidak hanya menimpa kepada orang-orang zalim.
Jika dulu orang yang mengikuti Nuh, Luth, Ibrahim, Musa, Isa, dan Nabi
Muhammad langsung bisa lolos dari bencana, jika bencana datang.
Tetapi, umat Islam diperingatkan bahwa terjadinya perubahan di alam,
mengakibatkan bencana itu tidak pilih kasih. Karena itu umat harus
pandai-pandai bertawakal. Segala macam jenis kejeniusan harus
diberdayakan untuk mengantisipasi masa depan. Nah, hasilnya, apa
yang kita peroleh, itu yang harus kita terima dengan ridha. Tetapi,
tawakal sendiri harus merupakan jihad dan ijtihad yang maksimal.
Jihad bukan perang fisik! Walaupun in a certain extent, sampai pada
tingkat tertentu, fisik digunakan dalam pertempuran.
Kebaikan apapun yang kita lakukan datangnya dari Allah. Dan, apa
saja yang kita lakukan tak akan terjadi, kecuali dengan izin-Nya. Allah
memang pencipta diri dan apa yang kita kerjakan. Namun, inisiatif
tetap harus lahir dari kita. Kata orang sufi, “aku dan Dia sebenarnya
satu, walaupun aku bukan Dia dan Dia bukanlah aku.” Ingat, Hadis di
atas, langit, bumi dan seisinya tak mampu menjangkau-Ku, tapi hati
orang beriman [yang sudah aman] yang dapat menampung-Ku.
Bagian ke-23
[Tawakal]
Ayat diatas adalah bagian dari ayat 3:159. Pada ayat tersebut
dinyatakan bahwa budi pekerti Nabi sangat mulia. Dengan kasih-
sayang-Nya, Nabi senantiasa berlaku lemah lembut kepada semua
orang yang ada di sekelilingnya. Sikap yang lemah lembut terhadap
sesamanya itu wujud dari ketawakalan Nabi.
Ketika kita dalam posisi yang lemah, kita tak akan bisa melihat
kelemahan orang lain. Pijakan kita sangat lemah, yaitu
ketergantungan dan bukan ketawakalan. Karena itu tasawuf
mengajarkan fondasi yang kuat pada kesabaran dan ridha. Selama
masih dalam posisi yang lemah, kita harus memiliki emosi yang tegar
dan tahan terhadap tekanan-tekanan yang mereka lakukan. Kita tetap
ulet untuk mencari jalan keluar. Kita harus yakin bahwa keuletan itu
adalah sumber untuk mendapatkan kejayaan. Dan bila telah jaya,
jangan balas dendam [ganti menindas]. Justru kita harus menciptakan
nuansa kehidupan yang penuh damai. Inilah asas ketawakalan!
Jelas bahwa orang yang bertawakal itu orang yang tidak mau menang
sendiri. Meskipun dia berada di atas angin, dia dalam kedudukan yang
lebih kuat, dia tidak mau mengambil keuntungan dari kelemahan
orang lain. Justru dia menawarkan jalan keluar yang lebih baik bagi
sekutunya atau pihak-pihak yang berkaitan dengannya tetapi posisi-
nya lebih lemah. Dia yakin bahwa kebaikan yang diberikan itu tak akan
merugikan dirinya. Bahkan dia akan mendapatkan anugerah dengan
cara memberi. Bukan menda-patkan keuntungan dengan cara
meminta, melainkan dengan cara membari!
Tawakal adalah landasan pokok dalam kehidupan para nabi. Karena itu
seorang nabi siap menempuh hidupnya, meskipun seorang diri.
Seorang nabi membangun umat dengan dimulai dari dirinya sendiri. Ia
tidak menampilkan diri dengan mengikuti status quo, sistem yang ada.
Ia justru bangkit dan membangkitkan sistem yang baru. Tentu saja
tidak baru sama sekali. Tetapi memperbarui, merenovasi sistem yang
ada.
Nabi, yang berasal dari kata “naba”, berita, adalah orang yang
menerima berita. Ia menerima berita dari dunia ketuhanan. Pada saat
dia mengemban amanat yang diterimanya itu dan menyampaikannya
kepada masyarakat sekelilingnya, dia disebut rasul. Setiap umat ada
rasulnya.4) Dan, setiap rasul hadir di tengah-tengah umat untuk
menyeru kehidupan yang hanya berorientasi kepada Tuhan Yang Maha
Esa.5) Hidup yang menjauhi “thaghut”, segala jenis tindakan yang
melampaui batas. Masih ingatkan, bahwa semua yang tercipta di dunia
ini, termasuk diri kita, ada batas-batasnya, ada mizannya, ada
ketetapan-ketetapannya, ada kadarnya.
Ingat kita sudah ada di maqam tawakal! Mewakilkan diri kepada Tuhan
tidak berarti kita pasif total. Kita bukan jabbariyah [lihat bag. ke-22].
Tawakal itu bagaikan burung yang pagi-pagi meninggalkan sarangnya
dengan tembolok kosong, dan kembali pada sore hari ke sarangnya
dengan tembolok penuh. Nah, yang perlu dicermati adalah keberanian
untuk meninggalkan sarang dan keyakinan bahwa dengan cara itu kita
akan dapat mempertahankan hidup. Dalam bahasa Siti Jenar, kita
makan dan minum ini bukan untuk mempertahankan hidup. Tak ada
gunanya kerja keras untuk mempertahan-kan hidup, karena hidup
manusia di bumi ini tak bisa dipertahankan. Dengan makanan kita
seperti sekarang ini manusia tak akan dapat mempertahankan hidup.
Manusia pasti mengalami kematian.