Anda di halaman 1dari 42

Bertaubatlah Hingga Syetan Putus Asa

08.19.2010 by admin in Super Hikmah

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Anas RA disebutkan bahwa telah datang seorang laki-
laki kepada Rasulullah SAW. Dia lalu berkata, ”Ya, Rasulullah, sesungguhnya aku telah berbuat
dosa.” Nabi menjawab, ”Mintalah ampun kepada Allah.” Lelaki itu kembali berkata, ”Aku
bertobat, kemudian kembali berbuat dosa. ” Nabi bersabda, ”Setiap kali engkau berbuat dosa,
maka bertobatlah, hingga setan putus asa.” Lelaki itu berkata lagi, ”Ya, Nabi Allah, kalau begitu
dosa-dosaku menjadi banyak.” Maka, Nabi bersabda lagi, ”Ampunan Allah SWT lebih banyak
daripada dosa-dosamu.”

Hadis Nabi Muhammad SAW ini mengisyaratkan bahwa meminta ampunan kepada Allah SWT
selalu berkaitan dengan dosa dan salah. Meminta ampun sering kali dihubungkan dengan
bertobat kepada Allah SWT. Keduanya merupakan aktivitas keagamaan yang harus dilakukan
setiap manusia. Sebab, manusia adalah ciptaan Allah SWT yang secara fitrah dibekali dengan
sikap salah dan lupa.

Permintaan ampun tidak akan menuai hasil bila tidak disertai dengan bertobat kepada-Nya,dan
meminta maaf kepada orang yang dizalimi.

Tobat merupakan salah satu maqam di dalam dunia tasawuf. Bagi kalangan sufi, bertobat berarti
meninggalkan sesuatu yang tercela dan terlarang yang ditetapkan di dalam ajaran agama (Islam)
demi mencapai sesuatu yang terhormat, mulia, dan terpuji di sisi Allah SWT.

Bertobat adalah pengakuan dan penyesalan terhadap perbuatan alpa dan dosa. Ketika ditanya
tentang tobat, sufi Sahl Ibn ‘Abd Allah dan Al Junaid menjawab, ”Tobat ialah engkau tidak
mengingat dosamu.” Al-Junaid menjelaskan bahwa melupakan dosa berarti tidak lagi mengingat
dosa-dosa yang telah diperbuat yang melekat dalam hati.

Ada tiga syarat yang harus dipenuhi seseorang bila tobatnya ingin diterima Allah.

Pertama, menyesali diri, karena telah telanjur melakukan maksiat dan melanggar ketentuan-
ketentuan agama.
Kedua, menjauhkan dan meninggalkan diri dari semua maksiat kapan dan di mana saja berada.
Ketiga, berkemauan dan berjanji pada diri sendiri secara sungguh-sungguh untuk tidak
mengulangi kemaksiatan, karena menyadari bahwa perbuatan maksiat menghalangi hubungan
dia dengan Tuhannya dan dapat memutus
hubungan dengan sesamanya.

Terakhir, orang yang telah berbuat salah dan mau bertobat, harus meminta maaf kepada orang
yang dizalimi. Meminta dan memberi maaf merupakan dasar bagi terwujudnya ishlah. Dalam
konteks kehidupan sosial-politik masyarakat kita kini, pemaafan masih tetap relevan.
Dalam pengertian umum, pemaafan berarti ‘mengingat’ dan sekaligus memaafkan. Dalam Islam,
proses ini disebut sebagai muhasabah (introspeksi), yakni saling ‘menghitung’ atau
‘menimbang’ peristiwa-peristiwa pahit yang telah melukai pihak-pihak tertentu.

Melalui muhasabah, berbagai pihak melakukan perhitungan dan sekaligus penilaian moral
terhadap kejadian-kejadian yang pernah berlaku yang mungkin merugikan perorangan maupun
masyarakat luas.

Muhasabah(intropeksi) sangat dianjurkan oleh Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam


alqur’an Surat al-Hasyr ayat 18 :

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (alhasyr 18)

Pelaksanaannya tidak perlu menunggu akhir tahun atau bahkan bulan Ramadhan seperti
sekarang, namun hendaknya dilakukan setiap saat dan setiap detik agar kita mawas diri tentang
apa yang telah kita lakukan.

Paling tidak ada dua hal yang yang patut kita berintropeksi,

Pertama : perihal hubungan kita kepada Allah SWT (hablumminallah), bagaimanakah hubungan
kita dengan Sang Khalik, apakah kita sudah benar-benar melaksanakan apa yang menjadi
perintah-NYA dan meniggalkan larangan-NYA?, apakah kita telah menjadi hamba yang
bersyukur akan segala ni’mat-NYA?.

Kedua : Hubungan kita antar sesama makhluk (hablumminannas). Apakah kita sudah benar-
benar bergaul antar sesama dengan baik, saling menyangangi dan menghormati?  Apakah kita
sudah membantu dan menolong saudara-saudara kita yang tertimpa musibah?, Dan seterusnya.

Tentunya masing-masing kita tahu akan jawabannya, jadi hendaknya kita selalu menghidupkan
ruh muhasabah
(intropeksi) dalam diri kita masing-masing agar kita selalu berada dijalan yang di ridhoi Allah
SWT.

Marilah kita sama-sama selalu meminta ampunan  kepada sang pencipta semesta alam, ini agar
segala dosa-dosa kita yang telah kita perbuat di ampuni Nya. Dan meninggal kan apa-apa yang di
larang Allah SWT kepada ummat nya.(PV)

Sejarah Munculnya Tasawuf dan Sufi


Tasawuf (‫َص ُّوف‬ َ ‫ )ت‬diidentikkan dengan sikap berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’
terhadap dunia. Pelakunya disebut Shufi (selanjutnya ditulis Sufi menurut ejaan yang lazim, red)
(‫)صُوْ فِ ٌّي‬, dan jamaknya adalah Sufiyyah (ٌ‫)صُوْ فِيَّة‬. Istilah ini sesungguhnya tidak masyhur di ,
shahabat-shahabatnya, dan parajaman Rasulullah tabi’in. Sebagaimana dikatakan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah: “Adapun lafadz Sufiyyah bukanlah lafadz yang masyhur pada tiga abad
pertama Islam. Dan setelah masa itu, penyebutannya menjadi masyhur.” (Majmu’ Fatawa,
11/5)

Bashrah, sebuah kota di Irak, merupakan tempat kelahiran Tasawuf dan Sufi. Di mana sebagian
ahli ibadahnya mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud, dan wara’ terhadap dunia (dengan cara
yang belum pernah ), hinggadicontohkan oleh Rasulullah akhirnya memilih untuk mengenakan
ٌ ْ‫) صُو‬.
pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuf/‫ف‬

Meski kelompok ini tidak mewajibkan tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas
dasar inilah mereka disebut dengan “Sufi”, sebagai nisbat kepada Shuf ( ‫ف‬ ٌ ْ‫)صُو‬. Jadi, lafadz Sufi
bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang ada di jaman , karena nisbat kepadanyaRasulullah
adalah Shuffi (‫صفِّ ٌي‬
ُ ). Bukan pula nisbat kepada shaf terdepan di , karena nisbathadapan Allah
kepadanya adalah Shaffi (‫صفِّ ٌي‬
َ ).

Demikian juga bukan nisbat kepada makhluk pilihan Allah


‫هللا‬
ِ ِ ْ
‫ق‬RRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR
‫ل‬ َ‫خ‬ ْ
‫ن‬ ‫م‬ ُ
ِ َ ‫ة‬ ‫و‬‫ف‬ْ RRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR
‫ص‬َّ ‫ال‬
karena nisbat adalah Shafawi )‫ي‬ ٌّ ‫صفَ ِو‬
َ (‫ ز‬. Dan bukan pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr (salah
satu suku Arab) meski secara lafadz bisa dibenarkan. Namun secara makna sangatlah lemah,
karena antara suku tersebut dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama sekali.

Para ulama Bashrah yang mengalami masa kemunculan kelompok sufi, tidaklah tinggal diam.
Sebagaimana diriwayatkan Abu Asy-Syaikh Al-Ashbahani rahimahullah dengan sanadnya dari
Muhammad bin Sirin rahimahullah, bahwasanya telah sampai kepadanya berita tentang orang-
orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba. Maka beliau berkata:
“Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba
dengan alasan untuk meneladani Al-Masih bin Maryam! Maka petunjuk Nabi kita lebih kita
biasacintai, beliau mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan katun, dan yang selainnya.”
(Diringkas dari Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 5, 6, 16)

Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami rahimahullah berkata: “Demikianlah munculnya
jahiliah Tasawuf, dan dari kota inilah (Bashrah) ia tersebar.” (At-Tasawuf Min Shuwaril Jahiliah,
hal. 5)

Siapakah Peletak Ilmu Tasawuf?

Ibnu ‘Ajibah, seorang Sufi Fathimi, mengklaim bahwa peletak ilmu Tasawuf adalah Rasulullah
shalallohu’alaihi wassalam sendiri. Beliau shalallohu’alaihi wassalam, menurut Ibnu ‘Ajibah,
mendapatkannya dari Allah melalui wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu ‘Ajibah berbicara panjang
lebar tentang hal ini dengan sekian banyak bumbu keanehan dan kedustaan, yaitu: “Jibril
pertama kali turun kepada Rasulullah shalallohu’alaihi wassalam dengan membawa ilmu syariat.
Dan ketika ilmu itu telah mantap, maka turunlah ia untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu
hakikat. Beliau shalallohu’alaihi wassalam pun mengajarkan ilmu hakikat ini pada orang-orang
khusus saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah ‘Ali bin Abi Thalib  dan Al-
Hasan Al-Bashri rahimahullah menimba darinya.” (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal. 5
dinukil dari At-Tasawuf Min Shuwaril Jahiliyah, hal. 8)

Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami rahimahullah berkata: “Perkataan Ibnu ‘Ajibah
ini merupakan tuduhan keji lagi lancang terhadap Rasulullah shalallohu’alaihi wassalam. Dengan
kedustaan, ia telah menuduh bahwa beliau shalallohu’alaihi wassalam menyembunyikan
kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang
zindiq yang keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia
mampu. Karena Allah telah perintahkan Rasul-Nya shalallohu’alaihi wassalam untuk
menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya :

‫ك َوإِ ْن لَ ْم تَ ْف َعلْ فَ َما بَلَّ ْغتَ ِر َسالَتَه‬ َ ‫يَآ َءيُّهَا ال َّرسُو ُل بَلِّ ْغ َمآ أُ ْن ِز َل إِلَ ْي‬
َ ِّ‫ك ِمن َرب‬

“Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu. Dan jika engkau
tidak melakukannya, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (Al Maidah: 67)

Beliau juga berkata: “Adapun pengkhususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama,
maka ini merupakan pemikiran yang diwarisi orang-orang Sufi dari pemimpin-pemimpin mereka
(Syi’ah). Dan benar-benar ‘Ali bin Abi Thalib sendiri yang membantahnya, sebagaimana
diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullah dari hadits Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah . Ia
berkata: “Suatu saat aku pernah berada di sisi ‘Ali bin Abi Thalib . Maka datanglah seorang laki-
laki seraya berkata: ‘Apa yang pernah dirahasiakan oleh Nabi shalallohu’alaihi
wassalamkepadamu?’ Maka Ali pun marah lalu mengatakan: ‘Nabi shalallohu’alaihi wassalam
belum pernah merahasiakan sesuatu kepadaku yang tidak disampaikan kepada manusia! Hanya
saja beliau shalallohu’alaihi wassalam pernah memberitahukan kepadaku tentang empat
perkara.’ Abu Thufail berkata: ‘Apa empat perkara itu wahai Amirul Mukminin?’ Beliau
menjawab: ‘Rasulullah shalallohu’alaihi wassalam bersabda: “(Artinya) Allah melaknat
seseorang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang yang menyembelih untuk
selain Allah, Allah melaknat seorang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat
seorang yang mengubah tanda batas tanah’.” (At-Tasawuf Min Shuwaril Jahiliah, hal. 7-8)

Hakikat Tasawuf

danDari bahasan di atas, Tasawuf jelas bukan ajaran Rasulullah bukan . Lalu dari
manakahpula ilmu warisan dari ‘Ali bin Abi Thalib ajaran Tasawuf ini?
Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Ketika kita telusuri ajaran Sufi periode
pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun
yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka kita dapati sangat berbeda
dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini
di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad shalallohu’alaihi wassalam, dan para
shahabatnya yang mulia lagi baik, yang mereka adalah makhluk-makhluk pilihan Allah di alam
semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari
kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.” (At-Tasawuf Al-
Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28)
Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Wakil rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan
tipu daya setan yang paling tercela lagi hina untuk menggiring hamba-hamba Allah di dalam
memerangi Allah dan Rasul-Nya shalallohu’alaihi wassalam. Sesungguhnya ia (Tasawuf)
merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng
bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya!
Niscaya engkau akan mendapati di dalamnya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah,
Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme
Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tasawuf, hal. 19)2

Keterangan para ulama di atas menunjukkan bahwasanya ajaran Tasawuf bukanlah dari Islam.
Bahkan ajaran ini merupakan kumpulan dari ajaran-ajaran sesat yang berusaha disusupkan ke
tengah-tengah umat untuk menjauhkan mereka dari agama Islam yang benar.

Kesesatan-Kesesatan Ajaran Tasawuf

Di antara sekian banyak kesesatan ajaran Tasawuf adalah:

1. Wihdatul Wujud, yakni keyakinan bahwa Allah menyatu dengan segala sesuatu yang ada di
alam semesta ini. Demikian juga Al-Hulul, yakni keyakinan bahwa Allah dapat menjelma dalam
bentuk tertentu dari makhluk-Nya (inkarnasi).

Al-Hallaj, seorang dedengkot sufi, berkata: “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada
makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah,
karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Iwaji, 2/600)

Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata: “Seorang hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba.
Duhai kiranya, siapakah yang diberi kewajiban beramal? Jika engkau katakan hamba, maka ia
adalah Rabb. Atau engkau katakan Rabb, kalau begitu siapa yang diberi kewajiban?” (Al-
Futuhat Al-Makkiyyah dinukil dari Firaq Al-Mu’ashirah, hal. 601)

bahwasanya beliau bersabda:Muhammad Sayyid At-Tijani meriwayatkan (secara dusta, pen)


dari Nabi

ُ ‫َرأَي‬
ٍ ‫ْت َربِّي فِي صُوْ َر ِة َشا‬
‫ب‬

“Aku melihat Rabbku dalam bentuk seorang pemuda.”

(Jawahirul Ma’ani, karya ‘Ali Harazim, 1/197, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 615)

Padahal Allah  telah berfirman:

ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِه َش ْي ٌئ َوهُ َو ال َّس ِمي ُع ْالب‬


‫صي ُر‬ َ ‫لَي‬

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (Asy-Syura: 11)
َ َ‫… قَا َل َربِّ أَ ِرنِي أَ ْنظُرْ إِلَ ْيكَ ق‬
‫ال لَ ْن ت ََرانِي‬

“Berkatalah Musa: ‘Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat
melihat-Mu.’ Allah berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihatku’…” (Al-A’raf:
143)

2. Seorang yang menyetubuhi istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah


Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu)
ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam).1 Betapa kufurnya kata-kata ini…, tidakkah orang-
orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini?

3. Keyakinan kafir bahwa Allah  adalah makhluk dan makhluk adalah Allah, masing-masing
saling menyembah kepada yang lainnya

Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dan Dia menyembahku
dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).2

Padahal Allah telah berfirman:

َ ‫ت ْال ِج َّن َو ْا ِإل ْن‬


‫س إِالَّ لِيَ ْعبُ ُدوْ ِن‬ ُ ‫َو َما خَ لَ ْق‬

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-
Dzariyat: 56)

ِ ْ‫ت َو ْاألَر‬
‫ض إِالَّ آتِى الرَّحْ َم ِن َع ْبدًا‬ ِ ‫إِ ْن ُكلُّ َم ْن فِي ال َّس َما َوا‬

“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha
Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (Maryam: 93)

4. Keyakinan tidak ada bedanya antara agama-agama yang ada

Ibnu ‘Arabi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku.
Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta,
tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-
Makkiyyah).3

Jalaluddin Ar-Rumi, seorang tokoh sufi yang sangat kondang, berkata: “Aku seorang muslim,
tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah
sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”4

Padahal Allah berfirman:

ِ ‫َو َم ْن يَ ْبت َِغ َغ ْي َر ْا ِإل ْسالَ ِم ِد ْينًا فَلَ ْن يُ ْقبَ َل ِم ْنهُ َوه َُو فِي ْاألَ ِخ َر ِة ِمنَ ْال َخ‬
َ‫اس ِر ْين‬
“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran:
85)

5. Bolehnya menolak hadits yang jelas-jelas shahih

Ibnu ‘Arabi berkata: “Kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawi-
perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (Sufi yang mengetahui ilmu
ghaib dan batin). Ia bertanya kepada Nabi shalallohu’alaihi wassalam secara langsung: “Apakah
engkau mengatakannya?” Maka beliau shalallohu’alaihi wassalam mengingkarinya seraya
berkata: “Aku belum pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shahih.”
Maka diketahuilah, dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa diamalkan sebagaimana
keterangan dari Rabbnya walaupun para ulama mengamalkannya berdasarkan isnadnya yang
shahih.” (Al-Futuhat Al-Makkiyah).1

6. Pembagian ilmu menjadi syariat dan hakikat. Di mana bila seseorang telah sampai pada
tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah. Oleh
karena itu, menurut keyakinan Sufi, gugur baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama
ini.

Mereka berdalil dengan firman Allah dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99:
ُ‫كَ ْاليَقِين‬RRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRَ‫ك َحتَّى يَأْتِي‬
َ َّ‫ ْد َرب‬RRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRُ‫َوا ْعب‬
yang mana mereka terjemahkan dengan: “Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang
kepadamu keyakinan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan
iman, bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia
lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan
sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang
kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat.
Hakikat tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen).” (Majmu’
Fatawa, 11/401)

Beliau juga berkata: “Adapun pendalilan mereka dengan ayat tersebut, maka justru merupakan
bumerang bagi mereka. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: ‘Sesungguhnya Allah tidak
menjadikan batas akhir beramal bagi orang-orang beriman selain kematian’, kemudian beliau
membaca Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99, yang artinya: ‘Dan beribadahlah kepada Rabbmu
hingga datang kepadamu kematian’.”

Beliau melanjutkan: “Dan bahwasanya ‘Al-Yaqin’ di sini bermakna kematian dan setelahnya,
dengan kesepakatan ulama kaum muslimin.” (Majmu Fatawa, 11/418)

7. Keyakinan bahwa ibadah kepada Allah itu bukan karena takut dari adzab Allah (an-naar/
neraka) dan bukan pula mengharap jannah Allah . Padahal Allah berfirman:

ْ ‫َواتَّقُوا النَّا َر الَّتِي أُ ِع َّد‬


َ‫ت لِ ْل َكافِ ِر ْين‬
“Dan peliharalah diri kalian dari an-naar (api neraka) yang disediakan untuk orang-orang yang
kafir.” (‘Ali Imran: 131)

ْ ‫ات َو ْاألَرْ ضُ أُ ِع َّد‬


َ‫ت لِ ْل ُمتَّقِ ْين‬ ُ ْ‫ارعُوآ ِإلَى َم ْغفِ َر ٍة ِم ْن َربِّ ُك ْم َو َجنَّ ٍة َعر‬
ُ ‫ضهَا ال َّس َما َو‬ ِ ‫َو َس‬

“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada jannah (surga) yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (‘Ali Imran:
133)

8. Dzikirnya orang-orang awam adalah ُ‫ الَ إِلَهَ إِالَّ هللا‬, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan
paling khusus adalah “‫ هللا‬/ Allah”, “‫ هُ َو‬/ huwa”, dan “‫ آه‬/ aah” saja.

Padahal Rasulullah shalallohu’alaihi wassalam bersabda:

َ ‫أَ ْف‬
ُ‫ض ُل ال ِّذ ْك َر الَ إِلَ ِه إِالَّ هللا‬

“Sebaik-baik dzikir adalah ‫ ال إله إال هللا‬.” (HR. At-Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah ,
dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 1104).1

Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Dan barangsiapa yang beranggapan bahwa ‫ه إال هللا‬RR‫ال إل‬
adalah dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus
adalah “‫ هُ َو‬/ Huu”, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah Al-’Ubudiyah, hal.
117-118, dinukil dari Haqiqatut Tasawuf, hal. 13)

9. Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu kasyaf (yang dapat menyingkap hal-hal
yang tersembunyi) dan ilmu ghaib.

Allah dustakan mereka dalam firman-Nya :

َ ‫ض ْال َغي‬
ُ‫ْب إِالَّ هللا‬ ِ ْ‫ت َو ْاألَر‬
ِ ‫قُلْ الَ يَ ْعلَ ُم َم ْن فِي ال َّس َما َوا‬

“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib
kecuali Allah.” (An-Naml: 65)

10. Keyakinan bahwa Allah menciptakan Nabi Muhammad shalallohu’alaihi wassalam dari nur/
cahaya-Nya, dan Allah ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad shalallohu’alaihi
wassalam.
Padahal Allah berfirman :

َ ‫… فُلْ إِنَّ َما أَنَا بَ َش ٌر ِم ْثلُ ُك ْم ي‬


َّ َ‫ُوحى إِل‬
‫ي‬

“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian,
yang diwahyukan kepadaku …” (Al-Kahfi: 110).

ٌ ِ‫ال َربُّكَ لِ ْل َمآلئِ َك ِة إِنِّي َخال‬


‫ق بَ َشرًا ِم ْن ِطي ٍْن‬ َ َ‫إِ ْذ ق‬
“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan ciptakan
manusia dari tanah liat.” (Shad: 71)

11. Keyakinan bahwa Allah menciptakan dunia ini karena Nabi Muhammad shalallohu’alaihi
wassalam.

Padahal Allah berfirman : “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Demikianlah beberapa dari sekian banyak ajaran Tasawuf, yang dari ini menjauhkan kita
darisaja, nampak jelas kesesatannya. Semoga Allah kesesatan-kesesatan tersebut …

Keterkaitan Antara Sufi dengan Kelompok “JI”

Keterkaitan antara Sufi dengan kelompok “JI” (Jama’ah Tabligh dan Ikhwanul Muslimin)
sangatlah erat karena pendiri kelompok “JI” ini adalah seorang Sufi. Jama’ah Tabligh, didirikan
oleh Muhammad Ilyas Al-Kandahlawi seorang Sufi dari tarekat Jisytiyyah. Dan seiring
bergulirnya waktu, Jama’ah Tabligh kemudian berbai’at di atas empat tarekat Sufi: Jisytiyyah,
Qadiriyyah, Sahruwardiyyah, dan Naqsyabandiyyah. (Lihat kitab Jama’atut Tabligh Mafahim
Yajibu An Tushahhah, karya Asy-Syaikh Hasan Janahi, hal. 2, 12.)

Adapun Ikhwanul Muslimin, pendirinya adalah Hasan Al-Banna, seorang Sufi dari tarekat
Hashafiyyah, sebagaimana yang ia katakan sendiri: “…Di Damanhur aku bergaul dengan kawan-
kawan dari tarekat Hashafiyyah dan setiap malamnya aku selalu mengikuti acara hadhrah yang
diadakan di Masjid At-Taubah…”

Ia juga berkata: “Terkadang kami berziarah ke daerah Azbah Nawam, karena di sana terdapat
makam Asy-Syaikh Sayyid Sanjar, salah seorang dari tokoh tarekat Hashafiyyah.”
(Mudzakkiratud Da’wah Wad Da’iyah, hal. 19, 23, dinukil dari kitab Fitnatut Takfir Wal
Hakimiyah, karya Muhammad bin Abdullah Al-Husain, hal. 63-64)

Wallahu a’lam bish shawab.

Artikel Dr. Yusuf Qardhawi


Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 
Characters: 11277
Lines: 278
Words: 1453
Sentences: 192
Paragraphs: 204
 
TASAWUF DIANTARA PEMUJI DAN PENGELAK
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
 
Pertanyaan:
 
Kapan lahir dan berkembangnya ilmu tasawuf, dan apa
pula keistimewaanya?
 
Apa alasan orang-orang yang menolaknya dan bagaimana
dalilnya bagi orang-orang yang memujinya?
 
Jawab:
 
Masalah tasawuf ini pernah dibahas, tetapi ada baiknya untuk
diulang kembali, sebab masalah ini amat penting untuk
menyatakan suatu hakikat dan kebenaran yang hilang di antara
orang-orang yang mencela dan memuji tasawuf tersebut secara
menyeluruh.
 
Dengan penjelasan yang lebih luas ini, sekiranya dapat
membuka tabir yang menyelimuti bagian yang cerah ini,
sebagai teladan bagi orang yang hendak meninjau ke arah itu,
misalnya ahli suluk yang berjalan ke arah Allah.
 
Di zaman para sahabat Nabi saw, kaum Muslimin serta
pengikutnya mempelajari tasawuf, agama Islam dan hukum-hukum
Islam secara keseluruhan, tanpa kecuali.
 
Tiada satu bagian pun yang tidak dipelajari dan
dipraktekkan, baik lahir maupun batin; urusan dunia maupun
akhirat; masalah pribadi maupun kemasyarakatan, bahkan
masalah yang ada hubungannya dengan penggunaan akal,
perkembangan jiwa dan jasmani, mendapat perhatian pula.
Timbulnya perubahan dan adanya kesulitan dalam kehidupan
baru yang dihadapinya adalah akibat pengaruh yang
ditimbulkan dari dalam dan luar. Dan juga adanya
bangsa-bangsa yang berbeda paham dan alirannya dalam
masyarakat yang semakin hari kian bertambah besar.
 
Dalam hal ini, terdapat orang-orang yang perhatiannya
dibatasi pada bagian akal, yaitu Ahlulkalam, Mu'tazilah. Ada
yang perhatiannya dibatasi pada bagian lahirnya (luarnya)
atau hukum-hukumnya saja, yaitu ahli fiqih. Ada pula
orang-orang yang perhatiannya pada materi dan foya-foya,
misalnya orang-orang kaya, dan sebagainya.
 
Maka, pada saat itu, timbullah orang-orang sufi yang
perhatiannya terbatas pada bagian ubudiah saja, terutama
pada bagian peningkatan dan penghayatan jiwa untuk
mendapatkan keridhaan Allah dan keselamatan dari
kemurkaan-Nya. Demi tercapainya tujuan tersebut, maka
diharuskan zuhud atau hidup sederhana dan mengurangi hawa
nafsu. Ini diambil dari pengertian syariat dan takwa kepada
Allah.
 
Disamping itu, kemudian timbul hal baru, yaitu cinta kepada
Allah (mahabatullah). Sebagaimana Siti Rabi'ah Al-Adawiyah,
Abu Yazid Al-Basthami, dan Sulaiman Ad-Darani, mereka adalah
tokoh-tokoh sufi. Mereka berpendapat sebagai berikut:
 
"Bahwa ketaatan dan kewajiban bukan karena takut
pada neraka, dan bukan keinginan akan surga dan
kenikmatannya, tetapi demi cintanya kepada Allah
dan mencari keridhaan-Nya, supaya dekat
dengan-Nya."
 
Dalam syairnya, Siti Rabi'ah Al-Adawiyah telah berkata:
 
"Semua orang yang menyembah Allah karena takut
akan neraka dan ingin menikmati surga. Kalau aku
tidak demikian, aku menyembah Allah, karena aku
cinta kepada Allah dan ingin ridhaNya."
 
Kemudian pandangan mereka itu berubah, dari pendidikan
akhlak dan latihan jiwa, berubah menjadi paham-paham baru
atas Islam yang menyimpang, yaitu filsafat; dan yang paling
menonjol ialah Al-Ghaulu bil Hulul wa Wahdatul-Wujud (paham
bersatunya hamba dengan Allah).
 
Paham ini juga yang dianut oleh Al-Hallaj, seorang tokoh
sufi, sehingga dihukum mati tahun 309 H. karena ia berkata,
"Saya adalah Tuhan."
 
Paham Hulul berarti Allah bersemayam di dalam makhluk-Nya,
sama dengan paham kaum Nasrani terhadap Isa Al-Masih.
 
Banyak di kalangan para sufi sendiri yang menolak paham
Al-Hallaj itu. Dan hal ini juga yang menyebabkan kemarahan
para fuqaha khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya.
 
Filsafat ini sangat berbahaya, karena dapat menghilangkan
rasa tanggung jawab dan beranggapan bahwa semua manusia
sama, baik yang jahat maupun yang baik; dan yang bertauhid
maupun yang tidak, semua makhluk menjadi tempat bagi Tajalli
(kasyaf) Al-Haq, yaitu Allah.
 
Dalam keadaan yang demikian, tentu timbul asumsi yang
bermacam-macam, ada yang menilai masalah tasawuf tersebut
secara amat fanatik dengan memuji mereka dan menganggap
semua ajarannya itu baik sekali. Ada pula yang mencelanya,
menganggap semua ajaran mereka tidak benar, dan beranggapan
aliran tasawuf itu diambil dari agama Masehi, agama Budha,
dan lain-lainnya.
 
Secara obyektif bahwa tasawuf itu dapat dikatakan sebagai
berikut:
 
"Tasawuf ada dalam Islam dan mempunyai dasar yang
mendalam. Tidak dapat diingkari dan disembunyikan,
dapat dilihat dan dibaca dalam Al-Qur'an, Sunnah
Rasul saw. dan para sahabatnya yang mempunyai
sifat-sifat zuhud (tidak mau atau menjauhi
hubudunya), tidak suka hidup mewah, sebagaimana
sikap khalifah Umar r.a, Ali r.a, Abu Darda',
Salman Al-Farisi, Abu Dzar r.a. dan lainnya."
 
Banyak ayat Al-Qur'an yang menganjurkan agar mawas diri dari
godaan yang berupa kesenangan atau fitnah dunia.
 
Tetapi hendaknya selalu bergerak menuju ke jalan yang
diridhai oleh Allah swt. dan berlomba-lomba memohon ampunan
Allah swt, surga-Nya dan takutlah akan azab neraka.
 
Dalam Al-Qur,an dan hadis Nabi saw. juga telah diterangkan
mengenai cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya dan cinta
hambaNya kepada Allah. Sebagaimana disebutkan dalam ayat
Al-Qur,an:
 
"Adapun orang-orang yang beriman cintanya sangat
besar kepada Allah ..." (Q.s. Al-Baqarah: 165).
 
"... Allah mencintai mereka dan mereka pun
mencintai-Nya ..." (Q.s. Al-Maidah: 54).
 
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berjihad di jalan Allah dalam barisan yang teratur
(tidak tercerai-berai) ..." (Q.s. Ash-Shaff: 4).
 
Diterangkan pula dalam Al-Qur'an dan hadis mengenai masalah
zuhud, tawakal, tobat, syukur, sabar, yakin, takwa,
muraqabah (mawas diri), dan lain-lainnya dari maqam-maqam
yang suci dalam agama.
 
Tidak ada golongan lain yang memberi perhatian penuh dalam
menafsirkan, membahas dengan teliti dan terinci, serta
membagi segi-segi utamanya maqam ini selain para sufi.
Merekalah yang paling mahir dan mengetahui akan penyakit
jiwa, sifat-sifatnya dan kekurangan yang ada pada manusia,
mereka ini ahli dalam ilmu pendidikan yang dinamakan Suluk.
 
Tetapi, tasawuf tidak berhenti hingga di sini saja dalam
peranannya di masa permulaan, yaitu adanya kemauan dalam
melaksanakan akhlak yang luhur dan hakikat dari ibadat yang
murni semata untuk Allah swt. Sebagaimana dikatakan oleh
Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi, yaitu: "Ilmu tasawuf itu,
kemudian akan meningkat ke bidang makrifat perkenalan,
setelah itu ke arah khasab ungkapan dan karunia Allah. Hal
ini diperoleh melalui pembersihan hati nurani.
 
Akhirnya, dengan ditingkatkannya hal-hal ini, timbullah
penyimpangan, tanpa dirasakan oleh sebagian ahli sufi."
 
Di antara yang tampak dari penyimpangan sebagian orang-orang
sufi adalah sebagai berikut:
 
1. Dijadikannya wijid (perasaan) dan ilham sebagai ukuran
untuk dasar pengetahuan dan lain-lain; juga dapat dijadikan
ukuran untuk membedakan antara yang benar dan salah.
Sehingga sebagian ada yang berkata, "Aku diberi tahu oleh
hati dari Tuhanku (Allah)."
 
Berbeda dengan ungkapan dari ahli sunnah bahwa apabila
mereka meriwayatkan ini dari si Fulan, si Fulan sampai
kepada Rasulullah saw.
 
2. Dibedakannya antara syariat dan hakikat, antara hukum
Islam dan yang bebas dari hukumnya.
 
3. Dikuasai oleh paham Jabariah dan Salabiah, sehingga dapat
mempengaruhi iman dan akidah mereka, dimana manusia mutlak
dikendalikannya. Maka tidak perlu lagi melawan dan selalu
bersikap pasif, tidak aktif.
 
Tidak dihargainya dunia dan perkembangannya. Apa yang ada di
dunia dianggapnya sepele, padahal ayat Al-Qur,an telah
menyatakan:
 
"... dan janganlah kamu melupakan akan nasibmu
(kebahagiaanmu) dari (kenikmatan) dunia ..."
(Q.s. Al-Qashash: 77).
 
Pikiran dan teori di atas telah tersebar dan dipraktekkan
dimana-mana, dengan dasar dan paham bahwa hal ini bagian
dari Islam, ditetapkan oleh Islam, dan ada sebagian,
terutama dari golongan intelektual, keduanya belum mengerti
benar akan hal itu karena tidak mempelajarinya.
 
Sekali lagi kita tandaskan, bahwa orang sufi dahulu, selalu
menyuruh jangan sampai menyimpang dari garis syariat dan
hukum-hukumnya.
 
Ibnul Qayyim berkata mengenai keterangan dari tokoh-tokoh
sufi, "Tokoh-tokoh sufi dan guru besar mereka, Al-Junaid bin
Muhammad (297 H.), berkata, 'Semua jalan tertutup bagi
manusia, kecuali jalan yang dilalui Nabi saw.'"
 
Al-Junaid pun berkata:
 
"Barangsiapa yang tidak hafal Al-Qur'an dan
menulis hadis-hadis Nabi saw. maka tidak boleh
dijadikan panutan dan ditiru, karena ilmu kita
(tasawuf) terikat pada kitab Al-Qur'an dan
As-Sunnah."
 
Abu Khafs berkata:
 
"Barangsiapa yang tidak menimbang amal dan segala
sesuatu dengan timbangan Al-Kitab dan As-Sunnah,
serta tidak menuduh perasaannya (tidak membenarkan
wijid-nya), maka mereka itu tidak termasuk
golongan kaum tasawuf."
 
Abu Yazid Al-Basthami berkata:
 
"Janganlah kamu menilai dan tertipu dengan
kekuatan-kekuatan yang luar biasa, tetapi yang
harus dinilai adalah ketaatan dan ketakwaan
seseorang pada agama dan syariat pelaksanaannya."
 
Kiranya keterangan yang paling tepat mengenai tasawuf dan
para sufi adalah sebagaimana yang diuraikan oleh Al-Imam
Ibnu Taimiyah dalam menjawab atas pertanyaan, "Bagaimana
pandangan ahli agama mengenai tasawuf?"
 
Ibnu Taimiyah memberi jawaban sebagai berikut,
 
"Pandangan orang dalam masalah tasawuf ada dua,
yaitu:
 
Sebagian termasuk ahli fiqih dan ilmu kalam
mencela dan menganggap para sufi itu ahli bid'ah
dan di luar Sunnah Nabi saw.
 
Sebagian lagi terlalu berlebih-lebihan dalam
memberikan pujian dan menganggap mereka paling
baik dan sempurna di antara manusia setelah Nabi
saw. Kedua-duanya tidak benar. Yang benar ialah
bahwa mereka ini sedang dalam usaha melakukan
pengabdian kepada Allah, sebagaimana usaha
orang-orang lain untuk menaati Allah swt. Dalam
kondisi yang prima di antara mereka, ada yang
cepat sampai dan dekat kepada Allah, orang-orang
ini dinamakan Minal muqarrabiin (orang-orang yang
terdekat dengan Allah), sesuai dengan ijtihadnya;
ada pula yang intensitas ketaatannya sedang-sedang
saja. Orang ini termasuk bagian kanan: Min
ashhaabilyamiin (orang-orang yang berada di antara
kedua sikap tadi)."
 
Di antara golongan itu ada yang salah, ada yang berdosa,
melakukan tobat, ada pula yang tetap tidak bertobat. Yang
lebih sesat lagi adalah orang-orang yang melakukan kezaliman
dan kemaksiatan, tetapi menganggap dirinya orang-orang sufi.
 
Masih banyak lagi dari ahli bid'ah dan golongan fasik yang
menganggap dirinya golongan tasawuf, yang ditolak dan tidak
diakui oleh tokoh-tokoh sufi yang benar dan terkenal.
Sebagaimana Al-Junaid dan lain-lainnya.
 
Wallaahu A'lam.
 
Thariqat Mauliyyah

Di daerah saya terdapat kelompok lain yang terkenal dengan nama Tarekat Mauliyyah. Mereka
bermarkas di masjid besar, tempat dimana sholat wajib didirikan. Di sana terdapat banyak
kuburan yang ditutup dengan kain kelambu. Nisannya dihiasi dengan batu-batu marmer yang
indah dan tinggi. Di atasnya tertulis ayat-ayat Al-Qur’an, nama orang yang sudah meninggal itu
dan bait-bait syair. Kelompok ini menghadiri perayaan setiap hari Jum’at atau pada acara-acara
tertentu dengan memakai topi yang panjang terbuat dari kulit berwarna abu-abu dan beberapa
alat-alat musik yang mereka gunakan ketika berdzikir dapat didengarkan dari kejauhan. Saya
melihat salah seorang dari mereka duduk di tengah lingkaran, kemudian berputar-putar sendirian
di tempat itu, dilakukan berkali-kali dan tidak beranjak dari tempatnya. Mereka menundukkan
kepala ketika memohon pertolongan kepada Syaikh mereka, Jalaluddin Ar-Rumi atau yang
lainnya.

Yang sangat aneh adalah banyak di antara masjid-masjid di beberapa negeri Islam, termasuk
masjid ini, yang menguburkan orang-orang mati di dalam Masjid, mengikuti apa yang dilakukan
oleh orang-oran Yahudi dan Nashrani.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫لعن اهلل اليهود والنصارى اختذوا قبور أنبيائهم‬


) ‫مساجد حيذر ما صنعوا ( رواه البخاري‬
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kiburan Nabi-nabi mereka
sebagai masjid, perbuatan mereka mendapat peringatan” (HR. Bukhori).

Sholat menghadap ke kuburan juga terlarang, berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam:

‫ وال تصلوا إليها ( واه‬,‫ال جتلسوا على القبور‬


) ‫ أمحد‬,‫مسلم‬
“Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan janganlah kalian sholat menghadap kuburan” (HR.
Muslim; Ahmad).
Adapun membangun kuburan secara permanent, lengkap dengan kubah, dinding, tulisan dan
pengecatan, maka dengarlah larangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang itu:

) ‫هنى أن خيصص القرب وأن يبىن عليه ( رواه مسلم‬


“Beliau melarang mengecat kuburan dan mendirikan bangunan di atasnya” (HR. Muslim).

Dalam riwayat lain berbunyi:

)‫هنى أن يكتب على القرب شيء ( رواه الرتمذي‬


“Beliau melarang menulis sesuatu di atas kuburan” (HR. At-Tirmidzi; Al-Hakim dan disepakati
oleh Adz-Dzahabi).

Menggunakan alat musik di Masjid dan ketika dzikir adalah termasuk perbuatan bid’ah orang-
orang shufi yang datang belakangan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang
musik dalam sabdanya:

‫ليكونن من أميت أقوام يستحلون احلر واحلرير‬


) ‫واخلمر واملعازف ( رواه البخاري‬
“Akan datang pada ummatku kaum yang menghendaki dihalalkannya zinah, sutrah, khamer, dan
alat musik” (HR. Al-Bukhori; Abu Dawud dan di SHAHIH kan oleh Al-Albani dan lain-lain).

Dikecualikan dari alat musik ini, rebana yang dipukul pada hari raya ‘ied atau untuk kaum
wanita pada acara pernikahan.

Kelompok ini berpindah dari satu Masjid ke Masjid lain untuk mengadakan apa yang mereka
namakan An-Naubah yaitu dzikir yang disertai dengan alat musik. Mereka begadang hingga larut
malam, sehingga suara gaduh musik ini mengganggu penduduk daerah itu.

Saya mengenal salah seorang diantara mereka, ia memakaikan anaknya topi yang sering dipakai
orang-orang kafir. Lalu dengan sembunyi-sembunyi saya mengambil topi itu dan merobeknya.
Orang shufi itu tidak menerima perlakuanku dan marah kepadaku. Saya katakan kepadanya,
“Saya melakukan ini karena rasa ghirahku (kecemburuan atas dasar Islam)” terhadap anakmu
yang memakai pakaian ala orang-orang kafir. Lalu saya minta maaf.

Orang Shufi ini memasang tulisan di ruang kerjanya:

‫يا حضرة موالنا جالل الدين‬


“ Wahai Hadhrah Maulana Jalaluddin”

Lalu saya bertanya kepadanya, “Bagaimana Anda memanggil Syaikh yang tidak mendengar dan
tidak mengabulkan permintaan ini?” Dia hanya bisa diam membisu, tidak menjawab. Inilah
kesimpulan tentang Tarekat Mauliyyah

Sumber:
Bagaimana Aku Mencapai Jalan Tauhid oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Penerjemah :Abu Muhammad Abdurrahman bin Sarijan

Ebook compiled by :

Akhukum Fillah La Adri At Tilmidz

Kisah Taubat Seorang Syaikh Sufi (XIII)


Filed under: As-Sunnah, At-Tauhid — Tinggalkan Komentar
28 Februari 2012

Perdebatan Dengan Seorang Syaikh Shufi

Ketika syaikh yang biasa mengajariku itu tahu bahwa saya pergi belajar kepada orang-orang
Salaf dan mendengarkan pelajaran yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-
Albani, ia sangat marah sekali, karena khawatir saya meninggalkannya dan berubah haluan.
Setelah beberapa saat kemudian, salah seorang tetangga majid datang untuk ikut menghadiri
pengajian bersama kami di masjid setelah sholat Maghrib. Ia bercerita, bahwa ia telah menyimak
pelajaran dari syaikh golongan shufi. Syaikh itu berkata, bahwa istri salah seorang muridnya
kesulitan ketika akan melahirkan. Kemudian muridnya itu beristighotsa (memohon bantuan)
kepada syaikh kecil (yang ia maksudkan adalah diri sang shufi itu sendiri), lalu istrinya itu
melahirkan dengan mudah tanpa mengalami kesulitan. Kemudian syaikh tempat kami belajar itu
bertanya kepada laki-laki tetangga masjid ini:”Jadi, bagaimana pendapatmu tentang peristiwa
itu?”. Lelaki itu menjawab:”Ini jelas perbuatan syirik”.
Syaikh itu langsung menghardik dan berkata:”Diam! Apa yang kamu ketahui tentang syirik,
kamu hanyalah seorang tukang pandai besi, sementara kami adalah para syaikh yang memiliki
ilmu dan lebih banyak mengetahui berbagai hal daripada kamu!”.
Kemudian syaikh itu berdiri dan menuju kamarnya lalu kembali dan membawa buku Al-Adzkar
karangan Imam An-Nawawi rahimahullah. Selanjutnya ia membaca suatu kisah tentang
Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma bahwa bila kaki beliau tersandung beliau berkata:”Ya
Muhammad!!”. Jadi apakah beliau telah melakukan perbuatan syirik? Laki-laki tadi
menjawab:”Riwayat ini dloif (lemah)”.
Lalu dengan suara keras syaikh itu berkata:”Kamu itu tidak tahu mana yang lemah dan mana
yang shahih, kamilah para ulama yang mengetahui itu semua”.
Kemudian syaikh itu menoleh kepadaku dan berkata:”Bila orang ini hadir sekali lagi, saya akan
membunuhnya”.

Kami semua keluar dari masjid, lalu laki-laki itu meminta agar aku menyuruh anakku
menemaninya untuk mengambil buku Al-Adzkar yang ditahqiq (=diteliti) oleh Syaikh Abdul
Qodir Al-Arna’ut. Lalu anak itupun datang dan memberikan buku itu kepadaku. Ternyata kisah
yang diceritakan tadi, menurut orang yang mentahqiq buku ini (baca: Al-Adzkar) adalah riwayat
yang dloif (=lemah).

Dan pada hari kedua, anak saya menyerahkan buku ini kepada syaikh itu. Ternyata ia membaca
bahwa kisah itu adalah tidak shahih, tetapi syaikh itu tidak mau mengakui kesalahannya dan
berkata bahwa riwayat ini adalah termasuk fadla’ilul a’mal (=keutamaan amal) yang dapat
diterapkan dengan menggunakan hadits-hadits lemah.

Saya katakan, bahwa kisah ini bukan termasuk diantara amalan-amalan yang utama sebagaimana
yang diduga oleh syaikh itu, tetapi ini adalah termasuk masalah aqidah yang tidak boleh
digunakan dengan sandaran hadits-hadits yang lemah.

Sebagai informasi tambahan, bahwa Imam Muslim dan imam-imam yang lain memandang
ketidakbolehan menggunakan hadits-hadits lemah dalam masalah fadla’ilul a’mal. Adapun
ulama-ulama jaman sekarang (mutaakhirin) memandang bolehnya menggunakan hadits-hadits
lemah dalam masalah fadla’ilul a’mal dengan syarat-syarat yang banyak dan semua syarat itu
juga sulit diwujudkan. Kisah Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma ini bukanlah hadits dan bukan juga
termasuk amalan-amalan yang utama, tetapi ia adalah dasar aqidah, seperti yang saya jelaskan
tadi.

Kemudian pada hari selanjutnya, kami pergi untuk mengikuti pengajian sebagaimana biasanya.
Dan setelah sholat, syaikh shufi itu langsung keluar dari masjid, dan tidak duduk untuk memberi
pengajian sebagaimana biasanya.

Syaikh ini berusaha menjelaskan kepadaku, bahwa memohon pertolongan (isti’anah) kepada
selain Allah Azza wa Jalla adalah boleh, sebagaimana halnya dengan tawassul. Ia memberiku
beberapa buku, diantaranya adalah buku Muhiqqut Taqawwul Fii Mas’alatit Tawassul karangan
Zaahid Al-Kautsari. Saya membaca buku itu, dan ternyata buku itu membolehkan isti’anah
kepada selain Allah Azza wa Jalla. Adapun hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
ِ‫استَعِن بِاهلل‬َ‫ف‬ ‫ت‬
ْ َ ََ ‫ن‬
ْ ‫ع‬ ‫است‬ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ِ
‫إ‬‫و‬َ ,‫اهلل‬ ِ
‫َل‬‫أ‬ ‫اس‬
ْ َ‫ف‬ ‫ت‬
َ ‫ل‬
َْ‫أ‬ ‫س‬
َ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ‫إ‬
) ‫( رواه الرتمذي‬
“Apabila engkau memohon, maka mohonlah kepada Allah dan apabila engkau meminta
pertolongan mintalah kepada Allah” (HR. At-Tirmidzi. Ia berkata hadits Hasan Shahih).

Pengarang buku ini mengatakan bahwa sanad hadits ini lemah, oleh karena itu ia tidak
memakainya, padahal hadits ini disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya
Arba’in An-Nawawi hadits no 19. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan ia
berkata:Hadits Hasan Shahih. Imam Nawawi dan imam lainnya juga memakai hadits ini. Dan
yang mengherankan, bagaimana Al-Kautsari menolak hadits ini. Itu karena hadits ini
bertentangan dengan aqidah mereka.

Sayapun semakin marah kepadanya dan kepada aqidahnya dan semakin cinta kepada orang-
orang salaf dan aqidah mereka yang melarang isti’anah kepada selain Allah Azza wa Jalla
berdasarkan hadits tadi dan firman Allah Azza wa Jalla.

‫ضُّر َك فَِإن‬ ‫ي‬ ‫ال‬ ‫و‬ ‫ك‬‫ع‬ ‫ف‬‫ن‬ ‫ي‬ ‫ال‬ ‫ا‬‫م‬ ِ
‫ه‬ ‫ل‬ ‫ال‬ ِ
‫ون‬ ‫د‬ ِ
ُ َ َ َ َ َُ َ َ َ ّ ُ ُ‫َوالَ تَ ْدع‬
‫ن‬ ‫م‬
‫) سورة يونس‬106( ‫ني‬ ‫م‬ِ ِ‫ك إِ ًذا ِّمن الظَّال‬ َّ
َ َ‫ت ف‬
‫ن‬ ِ
‫إ‬
َ َ َ ‫َف َع ْل‬
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula)
memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka
sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Yunus: 106).

Dan juga sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:

) ‫الد َعاءُ ُه َو العِبَ َادة ( رواه الرتمذي‬.


ُ
“Do’a itu adalah ibadah” (HR. At-Tirmidzi. Ia berkata: Hasan Shahih).
Ketika syaikh itu melihatku tidak puas dengan buku yang ia berikan kepadaku. Ia mulai
menjauhiku dan menyebarkan kepada orang lain bahwa saya adalah seorang “Wahhabi, hati-hati
terhadapnya”.

Saya berkata dalam hati:”Mereka mengatakan tentang Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa ia seorang tukang sihir dan gila dan berkata tentang Imam Syafi’I bahwa ia seorang
Rafidli, kemudian beliau membalasnya dengan syair:

‫ضي‬ِ ِ‫الث َقالَ ِن أَيِّن راف‬


َّ ِ ‫َف ْلي ْشه‬
‫د‬
َ َ َ
‫د‬Tٍ ‫حمم‬
ّ ‫آل‬ ‫ب‬
ُّ ‫ح‬
ُ ً َ‫ا‬ ‫ض‬ ‫ف‬
ْ ‫ر‬ ‫ن‬
َ ‫ا‬ ‫ك‬
َ ‫ن‬ْ ِ
‫إ‬
Bila Rafidlo itu adalah kecintaan kepada Keluarga Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam
Maka saksikanlah wahai Jin dan Manusia bahwa aku adalah seorang Rafidlo

Mereka juga menuduh salah seorang yang mentauhidkan Allah dengan sebutan Wahhabi, lalu
orang itu menjawabnya:

‫فَأَنَا امل ِقُّر بِأَنَّيِن َو َّهايِب‬


ُ
ً‫إِ ْن َكا َن تَابِ ُع أَمْح َ َد ُمَت َو ِّهبا‬
Bila orang yang mengikuti Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dianggap seorang Wahabi
Maka saya menyatakan bahwa saya adalah seorang Wahabi

‫الو َّهاب‬ ِ ‫ب ِسوى املت َفِّر‬


‫د‬ ٌّ ‫ر‬
َ َ َ َ
ِ ‫يك ع ِن‬ ُ ِْ‫أَن‬
‫اإلله َفلَْيس يِل‬ َ َ ِ
‫ر‬ ‫الش‬
َّ ‫ي‬ ‫ف‬
َ
Saya meniadakan sekutu bagi Allah, maka saya tidak punya Tuhan kecuali Allah
Rabb Yang Maha Tunggal dan Maha Memberi
‫اب‬ِ ‫َسب‬ ‫أل‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫م‬ِ ‫َقبر لَه سبب‬
َْ ٌ ََ ُ ٌْ
‫ َواَل َوثَ ٌن َواَل‬,‫الَ ُقبَّةٌ ُت ْر َجى‬
Saya tidak memohon kepada Qubah, berhala,
atau kuburan yang dianggap sebagai sarana penghubung (kepada Allah)

Saya memuji kepada Allah yang telah memberiku petunjuk kepada jalan Tauhid, aqidah kaum
salaf. Dan saya mulai berdakwah mengajak orang lain untuk menuju kepada Tauhid dan
menyebarkannya diantara manusia. Mengikuti penghulu seluruh manusia (Nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wa sallam) yang telah memulai dakwahnya kepada Tauhid selama 13 tahun di
Makkah. Dengan penuh kesabaran beliau dan para sahabatnya menghadapi siksaan dan
gangguan, hingga akhirnya Tauhid itu menyebar dan berhasil mendirikan Negara berasaskan
Tauhid, dengan pertolongan Allah Azza wa Jalla<

Sumber:
Bagaimana Aku Mencapai Jalan Tauhid oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Penerjemah :Abu Muhammad Abdurrahman bin Sarijan

Ebook compiled by :

Akhukum Fillah La Adri At Tilmidz

Kisah Taubat Seorang Syaikh Sufi (VIII)


Filed under: As-Sunnah, At-Tauhid — Tinggalkan Komentar
22 Februari 2012
Kesimpulan Tentang Thariqat Qodiriyyah

Memukul tubuh dengan besi, tidak pernah dilakukan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
para sahabatnya, tabi’in, Tabi’ut Tabi’in (ed), dan imam-imam Mujtahid. Seandainya perbuatan
tersebut mengadung kebaikan, tentulah mereka yang pertama kali melakukannya sebelum kita.
Tetapi perbuatan tersebut adalah perbuatan bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang sebelum
mereka yang senantiasa meminta pertolongan kepada syaithon-syaithon. Mereka adalah orang-
orang musyrik kepada Allah Azza wa Jalla. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengancam perbuatan bid’ah ini dalam sabdanya:
‫ وكل‬,‫ فإن حمدثة بدعة‬,‫إياكم وحمدثات األمور‬
‫ وكل ضاللة يف النار‬,‫بدعة ضاللة‬
“Hati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang muhdats (=baru dalam agama)karena setiap
yang muhdats adalah bid’ah, setiap yang bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat di Neraka
tempat kembalinya” (HR. An-Nasa’i. Hadits Shohih).

Dan perbuatan ahli bid’ah itu tertolak dan tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla, berdasarkan
sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:

:‫من عمل عمال ليس عليه أمرنا فهو رد (يعين‬


)-‫مردود –عبد الرمحن‬.
“Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka
perbuatan itu tertolak” (HR. Muslim).

Ahli Bid’ah, meminta pertolongan kepada orang yang sudah meninggal dan kepada syaithon-
syaithon. Perbuatan ini termasuk perbuatan syirik yang mendapatkan peringatan keras dari
Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

{ ‫يح ابْ ُن‬ ‫س‬ ِ ‫لََق ْد َك َفر الَّ ِذين قَالُواْ إِ َّن اللّه هو الْم‬
ُ َ َُ َ َ َ
‫ه‬ّ‫ل‬ ‫ال‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫د‬ ‫ب‬ ‫اع‬ ‫يل‬ ِ
‫ائ‬ ‫ر‬ ‫س‬ ِ
‫إ‬ ‫يِن‬
‫َمْرمَيَ َوقَ َال الْ َم ُ َ َ ْ َ َ ْ ُ ُ ْ َ َ يِّب‬
‫ر‬ ‫ب‬ ‫ا‬‫ي‬ ‫يح‬ ‫س‬ِ
‫َو َربَّ ُك ْم إِنَّهُ َمن يُ ْش ِر ْك بِاللّ ِه َف َق ْد َحَّر َم اللّهُ َعلَ ِيه‬
‫َنصا ٍر‬
‫أ‬ ‫ن‬ ِ ‫( }اجْل نَّةَ ومأْواه النَّار وما لِلظَّالِ ِمني‬72)
‫م‬
َ ْ َ ََ ُ ُ َ ََ َ
‫سورة املائدة‬
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih
putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah
Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah,
maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada
bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al-Maidah: 72).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫من مات وهو يدعو من دون اهلل ندا دخل النار‬


)‫(رواه البخاري‬.
“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan ia memohon kepada sesuatu selain Allah sebagai
tandingan-Nya, maka ia akan masuk Neraka” (HR. Bukhori).

Dan barangsiapa yang mempercayai dan menolong mereka, maka ia termasuk golongan
mereka.

Debat Cerdas Seorang Imam Sufi VS Inspirator Salafy Wahabi


Published February 14, 2011 | By Ummati

Kaum Sufi Sejati Berdo'a Hanya Kepada Allah Swt


Dalam postingan terdahulu  “Ketika Sufi Dianggap Musyrik, Justru Para Sufi Lebih Fasih
Bicara Kemusyrikan”, kami pernah menjanjikan akan menampilkan kisah dialog seorang Imam
Sufi yang brilliant. Postingan ini insyaallah akan memberikan gambaran tentang para Sufi
yang ternyata adalah sosok-sosok yang alim berilmu tinggi dan sekaligus pengamal
Ilmunya. Salah satu Sosok tersebut adalah Ibn Athaillah Al Sakandari, seorang Imam Sufi yang
namanya tetap harum hingga hari ini di dunia Islam. Kitab karyanya yang fenomenal: Al-Hikam
disyarah dan dikaji oleh kaum muslimin dari dulu hingga kini seakan tak habis-habisnya dan
terus memancarkan hikmah-hikmah yang tersembunyi dalam kitab Al-Hikam tersebut.

Adapun tentang kisah dialognya yang cerdas dengan seorang inspirator Salafy Wahabi
yaitu Ibnu Taymiyah, telah membuka tabir misteri isu-isu yang mengatakan bahwa para sufi
adalah orang-orang yang bodoh dan musyrik. Isu-isu ini samasekali tidak benar dan sangat
meleset jauh dari fakta, ternyata sesungguhnya para sufi adalah orang-orang brilliant dan
bertauhid murni tanpa syirik seperti yang diisukan.

Nah, di akhir dialog itu Ibnu Taymiyah tetap bersikeras menuduh sosok sufi adalah kafir
musyrik. Walaupun kepada Ibnu Athaillah menyanjungya sebagai seorang ahli ibadah yang
sempurna di seluruh Mesir, tetapi kepada guru Ibnu Athaillah tetap dikafir-musyrikkan.
Demikian sikap hipokrit seorang Ibnu Taymiyah, meskipun sudah dijelaskan panjang lebar
oleh Ibnu Athaillah, sikapnya terhadap kaum Sufi tetap tidak berubah. Tapi kenapa di hadapan
Ibnu Athaillah sang ispirator kaum Salafy Wahabi itu mampu menyanjungnya setinggi
langit tapi kepada guru Ibnu Athaillah (Beliau adalah murid Abu al Abbas Al-Musrsi – wafat
686) tetap di-kafirkannya? Ada apa dengan sikapnya itu? Mari kita ikuti kisah selengkapnya….  

Dialog Ibn Athaillah Al Sakandari dengan Ibn Taymiyah


Dialog Ibn Athaillah Al Sakandari (w.709 H) dengan Ibn Taymiyah (w. 728 H).
Diterjemahkan dari On Tasawuf Ibn Atha’illah Al-Sakandari: “The Debate with Ibn Taymiyah
Ditranslasi dari buku karya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani’s  The repudiation of  “Salafi”
Innovations (Kazi, 1996)

Bismillahi ar-rahmani ar-rahiim.

Abu Fadl Ibn Athaillah Al Sakandari (wafat 709), salah seorang imam sufi terkemuka yang
juga dikenal sebagai seorang muhaddits, muballigh sekaligus ahli fiqih Maliki, adalah penulis
karya-karya berikut: Al Hikam, Miftah ul Falah, Al Qasdul al Mujarrad fi Makrifat al ism al-
Mufrad, Taj al-Arus al-Hawi li tadhhib al-nufus, Unwan al-Taufiq fi al Adad al-Thariq. Juga
sebuah biografi: Al-Lataif fi manaqib Abi al Abbas al Mursi wa sayykhihi Abi al Hasan, dan
lain-lain. Beliau adalah murid Abu al Abbas Al-Musrsi (wafat 686) dan generasi penerus
kedua dari pendiri tarekat Sadziliyah: Imam Abu Al Hasan Al Sadzili.

Ibn Athaillah adalah salah seorang yang membantah Ibn Taymiyah atas serangannya yang
berlebihan terhadap kaum sufi yang tidak sefaham dengannya. Ibn Athaillah tak pernah
menyebut Ibn Taymiyah dalam setiap karyanya, namun jelaslah bahwa yang disinggungnya
adalah Ibn Taymiyah saat ia mengatakan dalam Lataif:  sebagai “cendekiawan ilmu
lahiriyah”. Satu HalamanPostingan berikut ini merupakan terjemahan dari bahasa Inggris untuk
pertama kali atas dialog bersejarah antara kedua tokoh tersebut.

Naskah Dialog : Dari Usul al-Wusul karya Muhammad Zaki Ibrahim

Ibn Katsir, Ibn Al Athir, dan penulis biografi serta kamus biografi, kami memperoleh
naskah dialog bersejarah yang otentik. Naskah tersebut memberikan ilham tentang etika
berdebat di antara kaum terpelajar (berpendidikan keislaman). Di samping itu, ia juga merekam
kontroversi antara pribadi yang bepengaruh dalam tsawuf:  Syaikh Ahmad Ibn Athaillah Al
Sakandari, dan tokoh yang tak kalah pentingnya dalam gerakan “Salafi”:  Syaikh Ahmad
Ibn Abd Al Halim Ibn Taymiyah selama era Mamluk di Mesir yang berada dibawah
pemerintahan Sulthan Muhammad Ibn Qalawun (Al Malik Al Nasir).

Kesaksian Ibn Taymiyah kepada Ibn Athaillah yang Notabene adalah Imam Sufi:

Ibn Taymiyah ditahan di Alexandria. Ketika sultan memberikan ampunan, ia kembali ke


Kairo. Menjelang malam, ia menuju masjid Al Ahzar untuk sholat maghrib yang diimami
Syaikh ibn Athaillah. Selepas shalat, Ibn Athailah terkejut menemukan Ibn Taymiyah sedang
berdoa dibelakangnya. Dengan senyuman, sang syaikh sufi menyambut ramah kedatangan Ibn
Taymiyah di Kairo seraya berkata: Assalamualaykum, selanjutnya ia memulai pembicaraan
dengan tamu cendekianya ini.

IBN ATHAILLAH: “Biasanya saya sholat di masjid Imam Husein dan sholat Isya di sini. Tapi
lihatlah bagaimana ketentuan Allah berlaku! Allah menakdirkan sayalah orang pertama yang
harus menyambut anda (setelah kepulangan anda ke Kairo). Ungkapkanlah kepadaku wahai
faqih, apakah anda menyalahkanku atas apa yang telah terjadi?”

IBN TAYMIYAH: “Aku tahu, anda tidak bermaksud buruk terhadapku, tapi perbedaan
pandangan di antara kita tetap ada. Sejak hari ini, dalam kasus apa pun, aku tidak
mempersalahkan dan membebaskan dari kesalahan, siapapun yang berbuat buruk terhadapku”

IBN ATHAILLAH: Apa yang anda ketahui tentang aku, syaikh Ibn Taymiyah?

IBN TAYMIYAH: Aku tahu anda adalah seorang yg saleh, berpengetahuan luas, dan
senantiasa berbicara benar dan tulus. Aku bersumpah tidak ada orang selain anda, baik di
Mesir maupun Syria yang lebih mencintai Allah ataupun mampu meniadakan diri di
(hadapan) Allah atau lebih patuh atas perintah-Nya dan menjauhi laranganNya. Tapi
bagaimanapun juga kita memiliki perbedaan pandangan. Apa yang anda ketahui tentang saya?
Apakah anda atau saya sesat dengan menolak kebenaran (praktik) meminta bantuan seseorang
untuk memohon pertolongan Allah (istighatsah)?

IBN ATHAILLAH: Tentu saja, Rekanku, anda tahu bahwa istighatsah atau memohon
pertolongan sama dengan tawassul atau mengambil wasilah (perantara) dan meminta
syafaat; dan bahwa Rasulullah saw, adalah seorang yang kita harapkan bantuannya karena
beliaulah perantara kita dan yang syafaatnya kita harapkan.
IBN TAYMIYAH: Mengenai hal ini saya berpegang pada sunnah rasul yang ditetapkan dalam
syariat. Dalam hadits berbunyi sebagai: Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat. Dalam ayat
al Qur’an juga disebutkan: “Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu (wahai Nabi) ke
tempat yang terpuji (Q.S Al Isra : 79). Yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah syafaat.
Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali ra wafat, Rasulullah berdoa pada Allah di kuburnya:
“Ya Allah Yang Maha Hidup dan Tak pernah mati, Yang Menghidupkan dan Mematikan,
ampuni dosa-dosa ibunda saya Fatimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan
dimasukinya dengan syafaatku, utusanMu, dan para nabi sebelumku. Karena Engkaulah
Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun”.
Inilah syafaat yang dimiliki rasulullah saw. Sementara mencari pertolongan dari selain Allah,
merupakan suatu bentuk kemusyrikan; Rasulullah saw sendiri melarang sepupunya,
Abdullah bin Abbas, memohon pertolongan dari selain Allah.

IBN ATHAILLAH: Semoga Allah mengaruniakanmu keberhasilan, wahai faqih?! Maksud


dari saran Rasulullah saw kepada sepupunya Ibn Abbas, adalah agar ia mendekatkan diri
kepada Allah tidak melalui kekerabatannya dengan rasul melainkan dengan ilmu
pengetahuan. Sedangkan mengenai pemahaman anda tentang istighosah sebagai mencari
bantuan kepada selain Allah, yang termasuk perbuatan musyrik, saya ingin bertanya kepada
anda, ”Adakah muslim yang beriman pada Allah dan rasulNya yang berpendapat ada selain
Allah yang memiliki kekuasaaan atas segala kejadian dan mampu menjalankan apa yang telah
ditetapkanNya berkenaan dengan dirinya sendiri?”.

”Adakah mukmin sejati yang meyakini ada yang dapat memberikan pahala atas kebaikan
dan menghukum atas perbuatan buruk, selain dari Allah? Di samping itu, seharusnya kita
sadar bahwa ada berbagai ekspresi yang tak bisa dimaknai sebatas harfiah belaka. Ini bukan saja
dikhawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah sarana
kemusyrikan. Sebab, siapapun yang meminta pertolongan Rasul berarti mengharapkan anugerah
syafaat yang dimilikinya dari Allah, sebagaimana jika anda mengatakan: “Makanan ini
memuaskan seleraku”. Apakah dengan demikian makanan itu sendiri yang memuaskan
selera anda? Ataukah disebabkan Allah yang memberikan kepuasan melalui makanan?

Sedangkan pernyataan anda bahwa Allah melarang muslim untuk mendatangi seseorang
selain DiriNya guna mendapat pertolongan, pernahkah anda melihat seorang muslim
memohon pertolongan kepada selain Allah? Ayat Al qur’an yang anda rujuk, berkenaan
dengan kaum musyrikin dan mereka yang memohon pada dewa dan berpaling dari Allah.
Sedangkan satu-satunya jalan bagi kaum muslim yang meminta pertolongan rasul adalah dalam
rangaka bertawassul atau mengambil perantara atas keutamaan (hak) rasul yang diterimanya dari
Allah (bihaqqihi inda Allah) dan tashaffu atau memohon bantuan dengan syafaat yang telah
Allah anugerahkan kepada rasulNya.

Sementara itu, jika anda berpendapat bahwa istighosah atau memohon pertolongan itu
dilarang syariat karena mengarah pada kemusyrikan, maka kita seharusnya
mengharamkan buah anggur karena dapat dijadikan minuman keras. Dan (seharusnya)
mengebiri (melumpuhkan kemapuan besetubuh) laki-laki yang tidak menikah untuk
mencegah zina.
(Kedua syaikh tertawa atas komentar terakhir ini, sebab  konon Syaikh Ibnu Taymiyah adalah
pria yang tidak menikah)).

Lalu IBN ATHAILLAH melanjutkan:  “Saya kenal betul dengan segala inklusifitas dan
gambaran mengenai sekolah fiqih yang didirikan oleh syaikh anda, Imam Ahmad, dan saya tahu
betapa luasnya teori fiqih serta mendalamnya “prinsip-prinsip agar terhindar dari godaan
syaitan” yang anda miliki, sebagaimana juga tanggung jawab moral yang anda pikul selaku
seorang ahli fiqih.

Namun saya juga menyadari bahwa anda dituntut menelisik di balik kata-kata untuk menemukan
makna yang seringkali terselubung dibalik kondisi harfiahnya. Bagi sufi, makna laksana ruh,
sementara kata-kata adalah jasadnya. Anda harus menembus ke dalam jasad fisik ini
untuk meraih hakikat yang mendalam. Kini anda telah memperoleh dasar bagi pernyataan
anda terhadap karya Ibn Arabi, Fususul Hikam. Naskah tersebut telah dikotori oleh musuhnya
bukan saja dengan kata-kata yang tak pernah diucapkannya, juga pernyataan-pernyataan yang
tidak dimaksudkannya (memberikan contoh tokoh islam).

Ketika syaikh al-Islam Al Izz ibn Abd Salam memahami apa yang sebenarnya diucapan
dan dianalisa oleh Ibn Arabi, menangkap dan mengerti makna sebenarnya dibalik
ungkapan simbolisnya, ia segera memohon ampun kepada Allah swt atas pendapatnya
sebelumnya dan menokohkan Muhyiddin Ibn Arabi sebagai Imam Islam.

Sedangkan mengenai pernyataan al Syadzili yang memojokkan Ibn Arabi, perlu anda
ketahui, ucapan tersebut tidak keluar dari mulutnya, melainkan dari salah seorang murid
Sadziliyah. Lebih jauh lagi, pernyataan itu dikeluarkan saat para murid membicarakan sebagian
pengikut Sadziliyah. Dengan demikian, pernyataan itu diambil dalam konteks yang tak pernah
dimaksudkan oleh sang pembicaranya sendiri. “Apa pendapat anda mengenai khalifah Sayyidina
Ali bin Abi Thalib?”

IBN TAYMIYAH: Dalam salah satu haditsnya, rasul saw bersabda: “Saya adalah kota ilmu dan
Ali adalah pintunya”. Sayyidina Ali adalah merupakan seorang mujahid yang tak pernah keluar
dari pertempuran kecuali dengan membawa kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha
sesudahnya yang mampu berjuang demi Allah menggunakan lidah, pena dan pedang sekaligus?
Dialah sahabat rasul yang paling sempurna-semoga Allah membalas kebaikannya. Ucapannya
bagaikan cahaya lampu yang menerangi sepanjang hidupku setelah al quran dan sunnah. Duhai!
Seseorang yang meski sedikit perbekalannya namun panjang perjuangannya.

IBN ATHAILLAH: Sekarang, apakah Imam Ali ra meminta agar orang-orang berpihak
padanya dalam suatu faksi? Sementara faksi ini mengklaim bahwa malaikat jibril melakukan
kesalahan dengan menyampaikan wahyu kepada Muhammad saw, bukannya kepada Ali! Atau
pernahkah ia meminta mereka untuk menyatakan bahwa Allah menitis ke dalam tubuhnya dan
sang imam menjadi tuhan? Ataukah ia tidak menentang dan memberantas mereka dengan
memberikan fatwa (ketentuan hukum) bahwa mereka harus dibunuh di manapun mereka
ditemukan?
IBN TAYMIYAH: Berdasarkan fatwa ini saya memerangi mereka di pegunungan Syria selama
lebih dari 10 tahun.

IBN ATHAILLAH: Dan Imam Ahmad- semoga Allah meridoinya-mempertanyakan perbuatan


sebagian pengikutnya yang berpatroli, memecahkan tong-tong anggur (di toko-toko penganut
kristen atau dimanapun mereka temukan), menumpahkan isinya di lantai, memukuli gadis para
penyanyi, dan menyerang masayarakat di jalan.

Meskipun sang Imam tak memberikan fatwa bahwa mereka harus mengecam dan menghardik
orang-orang tersebut. Konsekuensinya para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan
diarak di punggung keledai dengan menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad bertanggung
jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut Hanbali, dengan dalih
melarang benda atau hal-hal yang diharamkan?

Dengan demikian, Syaikh Muhyidin Ibn Arabi tidak bersalah atas pelanggaran yang
dilakukan para pengikutnya yang melepaskan diri dari ketentuan hukum dan moral yang
telah ditetapkan agama serta melakukan pebuatan yang dilarang agama. Apakah anda
tidak memahami hal ini?

IBN TAYMIYAH: “Tapi bagaimana pendirian mereka di hadapan Allah? Di antara kalian,
para sufi, ada yang menegaskan bahwa ketika Rasulullah saw memberitakan khabar
gembira pada kaum miskin bahwa mereka akan memasuki surga sebelum kaum kaya,
selanjutnya kaum miskin tersebut tenggelam dalam luapan kegembiraan dan mulai
merobek-robek jubah mereka; saat itu malaikat jibril turun dari surga dan mewahyukan
kepada rasul bahwa Allah akan memilih di antara jubah-jubah yang robek itu; selanjutnya
malaikat jibril mengangkat satu dari jubah dan menggantungkannya di singgasana Allah.
Berdasarkan ini, kaum sufi mengenakan jubah kasar dan menyebut dirinya fuqara atau
kaum “papa”.

IBN ATHAILLAH: “Tidak semua sufi mengenakan jubah dan pakaian kasar. Lihatlah apa
yang saya kenakan; apakah anda tidak setuju dengan penampilan saya?

IBN TAYMIYAH: “Tetapi anda adalah ulama syariat dan mengajar di Al Ahzar.”

IBN ATHAILLAH: “Al Ghazali adalah seorang imam syariat maupun tasawuf. Ia
mengamalkan fiqih, sunnah, dan syariat dengan semangat seorang sufi. Dan dengan cara
ini, ia mampu menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kita tahu bahwa dalam tasawuf,
noda tidak memiliki tempat dalam agama dan bahwa kesucian merupakan ciri dari kebenaran.
Sufi yang tulus dan sejati harus menyuburkan hatinya dengan kebenaran yang ditanamkan ahli
sunnah.
Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang anda sendiri telah mengecam
dan menolaknya. Dimana sebagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan peraturan
keagamaan, melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan sholat wajib lima kali sehari.
Ditunggangi kemalasan dan ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu
kewajiban beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam Qusyairi sendiri
mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar Risalah ( Risalatul Qusyairiyah ).
Di sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni berpegang
teguh pada Al Quran dan Sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia
pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima
akal manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui penyucian
hati dan pelenyapan ego yang dapat dicapai dengan mengamalkan laku spiritual.

Kelompok diatas selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba Allah sejati, seseorang
tidak akan menyibukkan diriya kecuali demi kecintaannya pada Allah dan rasul-NYA.
Inilah posisi mulia yang menyebabkan seorang menjadi hamba yang shaleh, sehat dan sentosa.
Inilah jalan guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodai manusia, semacam
cinta harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu.

Meskipun demikian, kita harus berusaha di jalan Allah agar memperoleh ketentraman
beribadah. Sahabatku yang cendekia, menerjemahkan naskah secara harfiah terkadang
menyebabkan kekeliruan. Penafsiran harfiahlah yang mendasari penilaian anda terhadap Ibn
Arabi, salah seorang imam kami yang terkenal akan kesalehannya. Anda tentunya mengerti
bahwa Ibn Arabi menulis dengan gaya simbolis; sedangkan para sufi adalah orang-orang ahli
dalam menggunakan bahasa simbolis yang mengandung makna lebih dalam dan gaya hiperbola
yang menunjukkan tingginya kepekaan spiritual serta kata-kata yang menghantarkan rahasia
mengenai fenomena yang tak tampak.

IBN TAYMIYAH: “Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk anda. Karena saat Imam al-
Qusyairi melihat pengikutnya melenceng dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk
membenahi mereka. Sementara apa yang dilakukan para syaikh sufi sekarang? Saya
meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami (salafi) yang saleh dan
terkemuka: para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang
mengikuti langkah mereka.

Siapapun yang menempuh jalan ini, saya berikan penghargaan setinggi-tingginya dan
menempatkan sebagai imam agama. Namun bagi mereka yang melakukan pembaruan yang
tidak berdasar dan menyisipkan gagasan kemusyrikan seperti filososf Yunani dan
pengikut Budha, atau yang beranggapan bahwa manusia menempati Allah (hulul) atau
menyatu denganNya (ittihad), atau teori yang menyatakan bahwa seluruh penampakan adalah
satu adanya/kesatuan wujud (wahdatul wujud) ataupun hal-hal lain yang diperintahkan syaikh
anda: semuanya jelas perilaku ateis dan kafir”.

IBN ATHAILLAH: “Ibn Arabi adalah salah seorang ulama terhebat yang mengenyam
pendidikan di Dawud al Zahiri seperti Ibn Hazm al Andalusi, seorang yang pahamnya
selaras dengan metodologi anda tentang hukum islam, wahai penganut Hanbali! Tetapi meskipun
Ibn Arabi seorabg Zahiri (menerjemahkan hukum islam secara lahiriah), metode yang ia
terapkan untuk memahami hakekat adalah dengan menelisik apa yang tersembunyi,
mencari makna spiritual (thariq al bathin), guna mensucikan bathin (thathhir al bathin).

Meskipun demikian tidak seluruh pengikut mengartikan sama apa-apa yang tersembunyi. Agar
anda tidak keliru atau lupa, ulangilah bacaan anda mengenai Ibn Arabi dengan pemahaman
baru akan simbol-simbol dan gagasannya. Anda akan menemukannya sangat mirip dengan
al-Qusyairi. Ia telah menempuh jalan tasawuf di bawah payung al-quran dan sunnah, sama
seperti hujjatul Islam Al Ghazali, yang mengusung perdebatan mengenai perbedaan mendasar
mengenai iman dan isu-isu ibadah namun menilai usaha ini kurang menguntungkan dan
berfaedah.

Ia mengajak orang untuk memahami bahwa mencintai Allah adalah cara yang patut
ditempuh seorang hamba Allah berdasarkan keyakinan. Apakah anda setuju wahai faqih?
Atau anda lebih suka melihat perselisihan di antara para ulama? Imam Malik ra. telah
mengingatkan mengenai perselisihan semacam ini dan memberikan nasehat: Setiap kali
seseorang berdebat mengenai iman, maka kepercayaannya akan berkurang.”
Sejalan dengan ucapan itu, Al Ghazali berpendapat: Cara tercepat untuk mendekatkan
diri kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad. Bukan berarti hati dalam bentuk fisik
yang dapat melihat, mendengar atau merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan
menyimpan dalam benak, rahasia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak
dapat dilihat atau diraba.

Sesungguhnya ahli sunnahlah yang menobatkan syaikh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai
Hujjatul Islam, dan tak seorangpun yang menyangkal pandangannya bahkan seorang
cendekia secara berlebihan berpendapat bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al
Quran. Dalam pandangan Ibn Arabi dan Ibn Al Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana
ibadah yang mihrab atau sajadahnya menandai aspek bathin, bukan semata-mata ritual lahiriah
saja.

Karena apalah arti duduk berdirinya anda dalam sholat sementara hati anda dikuasai
selain Allah. Allah memuji hambaNya dalam Al Quran:”(Yaitu) orang-orang yang khusyuk
dalam sholatnya”; dan Ia mengutuk dalam firmanNya: “(Yaitu) orang-orang yang lalai dalam
sholatnya”. Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat mengatakan: “Ibadah bagaikan mihrab
bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya”.

Seorang muslim takkan bisa mencapai keyakinan mengenai isi Al Quran, baik dengan
ilmu atau pembuktian itu sendiri, hingga ia membersihkan hatinya dari segala yang dapat
mengalihkan dan berusaha untuk khusyuk. Dengan demikian Allah akan mencurahkan ilmu
ke dalam hatinya, dan dari sana akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak mencukupi dirinya
dengan meminta sedekah.

Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri di (hadapan) Allah dengan
mematuhiNya. Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn Arabi adalah
karena kritik beliau terhdap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar
masalah iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru dihipotesakan
(dibayangkan padahal belum terjadi).

Ibn Arabi mengkritik demikian karena ia melihat betapa sering hal tersebut dapat
mengalihkan mereka dari kejernihan hati. Ia menjuluki mereka sebagai “ahli fiqih basa-basi
wanita”. Semoga Allah mengeluarkanmu karena telah menjadi salah satu dari mereka!
Pernahkan anda membaca pernyataan Ibn Arabi bahwa: ”Siapa saja yang membangun
keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif,
maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan
selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari
alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati.” Adakah pernyataan yang seindah ini?”

IBN TAYMIYAH: “Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti
yang anda katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia
ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.”

*****

*Diterjemahkan dari On Tasawuf Ibn Atha’illah Al-Sakandari: “The Debate with Ibn Taymiyah,
dalam buku karya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani’s The repudiation of “Salafi”
Innovations (Kazi, 1996) h. 367-379.

Foot Note:

1. Ibn Atha’illah, Lata’if al minan fi manaqib Abi al Abbas. Pada bagian Lata’if al-minan wa
al akhlaq, karya Sya’rani (Kairo, 1357) 2:17-18.

2. Lihat Ibn Al Imad, Shadharat al dzahab (1350/1931) 6:20; Al Zirikly, al A’lam


(1405/1984) 1:221; Ibn Hajar, al Dhurrar al Kamina (1348/1929) 1:148-273; Al Maqrizi, Kitab
al Suluk (1934-1958) 2:40-94; Ibn Kathir, al Bidayah wa al Nihayah (1351/1932) 14:45; Subki,
Tabaqat al Shafi’iyyah (1324/1906) 5:177. dan 9:23; Suyuti, Husn al Muhadara fi Akhbar misr
wa al qahira (1299/) 1:301; Al Dawadari, al Durr al fakhir fi sirat Al Malik Al Nasir (1960) hal
200; Al Yafi’I, Mi’rat Al Janan (1337/1918) 4:246; Sya’rani, Al Tabaqat al Kubra (1355/1936)
2:19; Al Nabhani, jami’ karamat al awliya (1381/1962) 2:25.

Klik Sumber

Muallaf Menggugat Selamatan


Pada saat ini kita menyimak hikmah dari hidayah Allah yang diberikan kepada seseorang. Siapa dia?
Beliau adalah H. Abdul Aziz asal agama beliau adalah hindu yang taat. Seluruh saudara dan keluarganya
juga beragama hindu. Akan tetapi dengan perjalanan hidup beliau Allah merubah menjadi dan masuk
agama Islam.

Ketika masih agama hindu, beliau tingkatannya sebagai Romo Surugih, kalau di Yogya seperti istilahnya
Ustad setelah tingkat Romo Pimandika yaitu ulamanya. Dan termasuk tim pemurtad yang mengajak
Umat Islam masuk agama hindu. Sasaran hindu adalah umat islam Cuma punya KTP saja. Tetapi
perjalanan dakwahnya banyak tantangan sehingga kendala tersebut diadukan kepada Romo Pamandika.
Dia menganjurkan agar dia mengilmu ilmu untuk penyempurna ilmu Yoga samadi dengan memakai ilmu
Mantram Traybagam. Barang siapa yang bisa mengerjakan ilmu tersebut dia akan mempunyai kekuatan
supernatural yang bisa menyembuhkan orang sakit, gelisah jadi tenang. Ritual yang harus dilakukan
puasa 7 hari 7 malam. Setelah beliau lakukan puasa tersebut ada guncangan dan ujian dan cobaan yang
dia hadapi. Dari akhir puasa itu harapan / keyakinan untuk bertemu Tuhan, ternyata Tuhan itu tidak
muncul, akan tetapi muncul suara Takbir dan ditolak dengan mantram Trybagam ternyata tidak hilang
malah semakin keras suara takbir. Akhirnya puasa dibatalkan dengan kondisi lemah.Setelah muncul
hikmah dengan mantap dia masuk Islam dan belajar Al-Qur’an dan Assunnah.

Dari cerita diatas bahwa kita harus ambil hikmah. Umat Islam yang sudah Islam dari kecil tetapi belum
banyak mengamalkan ajaran Islam. Tetapi dia baru sebentar langsung yakin bahwa agama yang benar
adalah agama islam.

Di dalam surat Al-Baqarah ayat 120 Allah berfirman, yang artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani
tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya
petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka
setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”

Ayat diatas menjelaskan agama Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepada Islam sebelum umat Islam
masuk agama Yahudi. Asal mula agama hindu dimulai sungai lembah Hindus Peradaban, sungai di India
dari kata Sanskerta. Pada tahun 1500 bangsa Arya menguasai bangsa Inggris. Bangsa Arya juga disebut
bangsa Simit. Bangsa Simit adalah orang Yahudi ialah Pakai Kasta. Maka terciptalah kitab Rikwada. Itu
sekilas bahwa agama hindu pecahan dari agama Yahudi.

Tantangan umat Islam saat ini adalah dari internal umat Islam belum bersatu. Dan dari Eksternal umat
Islam digoncang dan dirusak melalui aqidah, budaya, pemikiran. Yang paling harus orang Yahudi ialah
merusak Islam melalui (Bid’ah, khurofat, dan tahayul). Berangkat kebencian yahudi agar umat islam jauh
dari syareat Islam. Apa kita gak sadar? Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 70 yang
artinya:

Mereka berkata: “Mohonlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami
bagaimana hakikat sapi betina itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan
mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu).”

Kita tak boleh meniru-niru agama orang lain karena kita punya pedoman yaitu Al-Qur’an dan Assunnah.

KHATIMAH

Sesungguhnya Islam adalah ad-dien yang sempurna. Islam disebut ad-dien oleh karena di dalamnya
berisikan tentang aturan-aturan yang mengatur umatnya dalam beribadah karena Allah dan mengatur
dalam kaitannya sesama manusia.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-
Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamabagimu. (Q.S. Al-Maidah (5) : 3)

Karena itu tidaklah perlu umat islam mencari ad-dien (aturan-aturan) selain Islam. Karena peringatan
Allah SWT,
“Sesungguhnya agama yang diridhai disisi Allah hanyalah Islam. (Q.S. Al-Imron (3) : 19)

Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Q.S Ali Imran (3) :85)

Termasuk dalam hal ini adalah cara bershadaqah yang benar sebagai upaya pendekatan diri kepada
Allah SWT. Umat Islam tidak perlu membuat aturan-aturan baru yang sebenarnya didalam Al-Qur’an dan
as-sunnah sudah ada. Anggapan tidak ada atau belum adanya aturan-aturan itu hanya semata-mata
karena umat ini belum mengkaji ajaran agama Islam secara tuntas dan utuh (masih persia), bukan
karena memang tidak ada.

Andaikan tidakpun, para ulama telah bersepakat untuk melakukan upaya penggalian secara mendalam
dengan penuh kehati-hatian agar tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang kemudian
dikenal dengan ijma dan qiyas.

Untuk sampai pada amalan yang benar sudah saatnya umat ini kembali membuka dan mengkaji dua
warisan Rasulullah saw, yaitu Al-Qur’an dan as-sunnah.

Dari malik bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Telah aku tinggalkan pada kamu dua perkara, kalian
tidak akan sesat selama kamu berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnah nabinya.
‘(Imam Malik al Muwaththa’,1395)

103. Katakanlah: “Apakah akan kami beeritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-
baiknya. 105. Mereka itu orang-orang yang Telah Kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur
terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan
suatu penilaian bagi amalan mereka pada hari kiamat. 106. Demikianlah balasan mereka itu neraka
jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-
rasul-Ku sebagai olok-olok. 107. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi
mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal. (Q.S. Al-Kahfi (18) : 103-107)

Kelak, sangatlah besar resikonya disisi Allah, orang yang beramal hanya dengan mengikuti kebanyakan
orang dan tidak berdasar pada tuntunan Allah dan Rasul. Allah mengingatkan bahaya beramal dengan
tidak berdasar pada aturan Allah dan Rasul.

116. Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka
tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). 107. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih
mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang
yang mendapat petunjuk (QS. Al-An’am (6) : 116-117)
Di akhirat mereka akan menyesal karena pendengaran, penglihatan dan hati serta akal fikirannya akan
dimintai pertanggungjawaban.

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyaipengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai
pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isra’ (17) : 36)

9. Mereka menjawab: “Benar ada”, Sesungguhnya tellah datang kepada kami seseorang pemberi
peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakan : “Allah tidak menurunkan sesuatupun;
kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar”. 10. Dan mereka berkata: “Sekiranya kami
mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni
neraka yang menyala-nyala”. 11. Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-
penghuni neraka yang menyala-nyala. 12. Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang
tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Mulk
(67) : 9-12)

Akhirnya, semoga kita termasuk golongan orang-orang yang mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pertanyaan dan jawaban seputar selamatan:

Apakah 3 bulanan (Telonan), 7 bulanan (Mitoni dan Tingkepan) masa kehamilan, bagian dari Ajaran
Islam ?

Seorang mantan Pandita Hindu ditanya;


[Sebelum masuk Islam beliau bernama Pandita Budi Winarno, setelah masuk Islam bernama Abdul Aziz]

Pertanyaan : Apakah Telonan, Mitoni dan Tingkepan dari ajaran Islam ?


[Telonan : Upacara 3 bulan masa kehamilan, Mitoni dan Tingkepan : Upacara 7 Bulan masa kehamilan; biasanya
dengan mandi-mandi]

Jawab : Telonan, Mitoni dan Tingkepan yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarkat adalah
teradisi masyarakat Hindu. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon keselamatan anak yang ada di
dalam rahim (kandungan). Upacara ini biasa disebut Garba Wedana [garba : perut, Wedana : sedang
mengandung]. Selama bayi dalam kandungan dibuatkan tumpeng selamatan Telonan, Mitoni, Tingkepan
[terdapat dalam Kitab Upadesa hal. 46]

Intisari dari sesajinya adalah :

1. Pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip).


2. Sambutan, yaitu upacara penyambutan atau peneguhan letak atman (urip) si jabang bayi.
3. Janganan, yaitu upacara suguhan terhadap "Empat Saudara" [sedulur papat] yang menyertai
kelahiran sang bayi, yaitu : darah, air, barah, dan ari-ari. [orang Jawa menyebut : kakang kawah adi ari-
ari]

Hal ini dilakukan untuk panggilan kepada semua kekuatan-kekuatan alam yang tidak kelihatan tapi
mempunyai hubungan langsung pada kehidupan sang bayi dan juga pada panggilan kepada Empat
Saudara yang bersama-sama ketika sang bayi dilahirkan, untuk bersama-sama diupacarai, diberi
pensucian dan suguhan agar sang bayi mendapat keselamatan dan selalu dijaga oleh unsur kekuatan
alam.

Sedangkan upacara terhadap ari-ari, ialah setelah ari-ari terlepas dari si bayi lalu dibersihkan dengan air
yang kemudian dimasukkan ke dalam tempurung kelapa selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil atau
guci. Ke dalamnya dimasukkah tulisan "AUM" agar sang Hyang Widhi melindungi. Selain itu dimasukkan
juga berbagai benda lain sebagai persembahan kepada Hyang Widhi. Kendil kemudian ditanam di
pekarangan, di kanan pintu apabila bayinya laki-laki, di kiri pintu apabila bayinya perempuan.
Ari-ari yang diberi penerangan lampu, di
sebagian daerah menggunakan media ember

Kendil yang berisi ari-ari ditimbun dengan baik, dan pada malam harinya diberi lampu, selama tiga
bulan. Apa yang diperbuat kepada si bayi maka diberlakukan juga kepada Empat Saudara tersebut. Kalau
si bayi setelah dimandikan, maka airnya juga disiramkan kepada kendil tersebut. (Kitab Upadesa,
tentang ajaran-ajaran Agama Hindu, oleh : Tjok Rai Sudharta, MA. dan Drs. Ida Bagus Oka Punia Atmaja,
cetakan kedua 2007)

Dikutip dari buku : Santri Bertanya Mantan Pendeta (Hindu) Menjawab


__________________________

KETERANGAN TAMBAHAN ;

*1. KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-5 Di Pekalongan, pada tanggal 13 Rabiul
Tsani 1349 H / 7 September 1930 M. Lihat halaman : 58.

Pertanyaan :
Bagaimana hukumnya melempar kendi yang penuh air hingga pecah pada waktu orang-orang yang
menghadiri UPACARA PERINGATAN BULAN KE TUJUH dari umur kandungan pulang dengan membaca
shalawat bersama-sama, dan dengan harapan supaya mudah kelahiran anak kelak. Apakah hal tersebut
hukumnya haram karena termasuk membuang-buang uang (tabzir) ?

Jawab :
Ya, perbuatan tersebut hukumnya H A R A M karena termasuk tabdzir.

*2. KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-7 Di Bandung, pada tanggal 13 Rabiul Tsani
1351 H / 9 Agustus 1932 M. Lihat halaman : 71.

Menanam ari-ari (masyimah/tembuni) hukumnya sunnah. Adapun menyalakan lilin (lampu) dan
menaburkan bunga-bunga di atasnya itu hukumnya H A R A M, karena membuang-buang harta (tabzir)
yang tidak ada manfa'atnya.

______________________

*Dikutip dari buku : "Masalah Keagamaan" hasil Muktamar/Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang
terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan
Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah Denanyar Jombang, Kata Pengantar Menteri Agama Maftuh Basuni.
Hasil scan KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-5 Di Pekalongan, pada tanggal 13
Rabiul Tsani 1349 H / 7 September 1930 M. Lihat halaman : 58.

Hasil scan KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA (NU) KE-7 Di Bandung, pada tanggal 13
Rabiul Tsani 1351 H / 9 Agustus 1932 M. Lihat halaman : 71.
***********
Wallahu a'lam.

Di dunia, kita diperintah oleh Allah SWT untuk mencari ilmu sejak kita lahir sampai masuk liang
lahat. Dan dgn ilmu, kita dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Quran Digital
(DENGARKAN AYAT SUCI DULU)
Gadgets powered by Google
Assalamu'alaikum wr.wb suvendal!Terima kasih adalah kata yang bisa saya ucapkan kepada
suvendal karena suvendal telah berkunjung ke Blog ini. Dan jika Blog ini dapat memberi
suvendal tambahan ilmu, jangan lupa untuk berkunjung lagi ke Blog "Berbagi Ilmu" ini ya
suvendal!
Minggu, 25 April 2010 4/25/2010 04:05:00 PM by BERBAGI ILMU

P ada saat ini kita menyimak hikmah dari hidayah Allah yang diberikan kepada seseorang. Siapa
dia? Beliau adalah H. Abdul Aziz asal agama beliau adalah hindu yang taat. Seluruh saudara dan
keluarganya juga beragama hindu. Akan tetapi dengan perjalanan hidup beliau Allah merubah
menjadi dan masuk agama Islam.

Ketika masih agama hindu, beliau tingkatannya sebagai Romo Surugih, kalau di Yogya seperti
istilahnya Ustad setelah tingkat Romo Pimandika yaitu ulamanya. Dan termasuk tim pemurtad
yang mengajak Umat Islam masuk agama hindu. Sasaran hindu adalah umat islam Cuma punya
KTP saja. Tetapi perjalanan dakwahnya banyak tantangan sehingga kendala tersebut diadukan
kepada Romo Pamandika. Dia menganjurkan agar dia mengilmu ilmu untuk penyempurna ilmu
Yoga samadi dengan memakai ilmu Mantram Traybagam. Barang siapa yang bisa mengerjakan
ilmu tersebut dia akan mempunyai kekuatan supernatural yang bisa menyembuhkan orang sakit,
gelisah jadi tenang. Ritual yang harus dilakukan puasa 7 hari 7 malam. Setelah beliau lakukan
puasa tersebut ada guncangan dan ujian dan cobaan yang dia hadapi. Dari akhir puasa itu
harapan / keyakinan untuk bertemu Tuhan, ternyata Tuhan itu tidak muncul, akan tetapi muncul
suara Takbir dan ditolak dengan mantram Trybagam ternyata tidak hilang malah semakin keras
suara takbir. Akhirnya puasa dibatalkan dengan kondisi lemah.Setelah muncul hikmah dengan
mantap dia masuk Islam dan belajar Al-Qur’an dan Assunnah.

Dari cerita diatas bahwa kita harus ambil hikmah. Umat Islam yang sudah Islam dari kecil tetapi
belum banyak mengamalkan ajaran Islam. Tetapi dia baru sebentar langsung yakin bahwa agama
yang benar adalah agama islam.

Di dalam surat Al-Baqarah ayat 120 Allah berfirman, yang artinya: “Orang-orang Yahudi dan
Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah :
“Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi
menjadi pelindung dan penolong bagimu.”

Ayat diatas menjelaskan agama Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepada Islam sebelum umat
Islam masuk agama Yahudi. Asal mula agama hindu dimulai sungai lembah Hindus Peradaban,
sungai di India dari kata Sanskerta. Pada tahun 1500 bangsa Arya menguasai bangsa Inggris.
Bangsa Arya juga disebut bangsa Simit. Bangsa Simit adalah orang Yahudi ialah Pakai Kasta.
Maka terciptalah kitab Rikwada. Itu sekilas bahwa agama hindu pecahan dari agama Yahudi.

Tantangan umat Islam saat ini adalah dari internal umat Islam belum bersatu. Dan dari Eksternal
umat Islam digoncang dan dirusak melalui aqidah, budaya, pemikiran. Yang paling harus orang
Yahudi ialah merusak Islam melalui (Bid’ah, khurofat, dan tahayul). Berangkat kebencian
yahudi agar umat islam jauh dari syareat Islam. Apa kita gak sadar? Sebagaimana firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 70 yang artinya:

Mereka berkata: “Mohonlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami
bagaimana hakikat sapi betina itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah
akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu).”

Kita boleh meniru-niru agama orang lain karena kita punya pedoman yaitu Al-Qur’an dan
Assunnah.
KHATIMAH (PENUTUP)

Sesungguhnya Islam adalah ad-dien yang sempurna. Islam disebut ad-dien oleh karena di
dalamnya berisikan tentang aturan-aturan yang mengatur umatnya dalam beribadah karena Allah
dan mengatur dalam kaitannya sesama manusia.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamabagimu. (Q.S. Al-Maidah (5) : 3)

Karena itu tidaklah perlu umat islam mencari ad-dien (aturan-aturan) selain Islam. Karena
peringatan Allah SWT,

“Sesungguhnya agama yang diridhai disisi Allah hanyalah Islam. (Q.S. Al-Imron (3) : 19)

Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Q.S Ali Imran (3) :85)

Termasuk dalam hal ini adalah cara bershadaqah yang benar sebagai upaya pendekatan diri
kepada Allah SWT. Umat Islam tidak perlu membuat aturan-aturan baru yang sebenarnya
didalam Al-Qur’an dan as-sunnah sudah ada. Anggapan tidak ada atau belum adanya aturan-
aturan itu hanya semata-mata karena umat ini belum mengkaji ajaran agama Islam secara tuntas
dan utuh (masih persia), bukan karena memang tidak ada.

Andaikan tidakpun, para ulama telah bersepakat untuk melakukan upaya penggalian secara
mendalam dengan penuh kehati-hatian agar tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-
Sunnah, yang kemudian dikenal dengan ijma dan qiyas.

Untuk sampai pada amalan yang benar sudah saatnya umat ini kembali membuka dan mengkaji
dua warisan Rasulullah saw, yaitu Al-Qur’an dan as-sunnah.

Dari malik bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Telah aku tinggalkan pada kamu dua
perkara, kalian tidak akan sesat selama kamu berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan
sunnah nabinya. ‘(Imam Malik al Muwaththa’,1395)

103. Katakanlah: “Apakah akan kami beeritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka
berbuat sebaik-baiknya. 105. Mereka itu orang-orang yang Telah Kufur terhadap ayat-ayat
Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan
mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi amalan mereka pada hari kiamat. 106.
Demikianlah balasan mereka itu neraka jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan
mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok. 107. Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat
tinggal. (Q.S. Al-Kahfi (18) : 103-107)

Kelak, sangatlah besar resikonya disisi Allah, orang yang beramal hanya dengan mengikuti
kebanyakan orang dan tidak berdasar pada tuntunan Allah dan Rasul. Allah mengingatkan
bahaya beramal dengan tidak berdasar pada aturan Allah dan Rasul.

116. Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka
akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka
tidak menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). 107. Sesungguhnya Tuhanmu,
Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih
mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Al-An’am (6) : 116-117)

Di akhirat mereka akan menyesal karena pendengaran, penglihatan dan hati serta akal fikirannya
akan dimintai pertanggungjawaban.

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyaipengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai
pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isra’ (17) : 36)

9. Mereka menjawab: “Benar ada”, Sesungguhnya tellah datang kepada kami seorsng pemberi
peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakan : “Allah tidak menurunkan
sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar”. 10. Dan mereka berkata:
“Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami
termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. 11. Mereka mengakui dosa mereka.
Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala. 12. Sesungguhnya
orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan
memperoleh ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Mulk (67) : 9-12)

Akhirnya, semoga kita termasuk golongan orang-orang yang mengikuti petunjuk Allah dan
Rasul-Nya.

Anda mungkin juga menyukai